Anda di halaman 1dari 13

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah


Arbitrase dan ADR

DISUSUN OLEH KELOMPOK V:


SORIPADA MULIA

DOSEN PENGAMPU:
RESI ATNA SARI SIREGAR, M. S. I

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MANDAILING


NATAL
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
T. A 2022/2023

PENDAHULUAN
1
Peran arbitrase sebagai upaya penyelesaiaan sengketa dagang yang
bersekala internasional, di mulai pada penghujung abad ke-18, yang ditandai
dengan lahirnya jay Treaty pada tanggal 19 November 1794. Perjanjian ini terjadi
antara Amerika dan Inggris. Dengan perjanjian ini, terjadi tata cara perubahan
mendasar mengenai penyelsaian sengketa dagang internasional. Jika sebelum
perjanjian ini sengketa dagang dilakukan melalui saluran diplomatik, berubah cara
karekternya ,menjadi arbitrase internasional yang di dasarkan pada tata cara yang
di atas prinsip hukum. Cara penyelesaian lama sering mengecewakan.
Penyelesaaain cendrung dipengaruhi kepentingan politik. 1 Dengan Jay Treaty
dicapai kesepakatan untuk membentuk suatu institusi yang membentuk Mixed
Commission yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa dagang secara hukum.
Institusi ini berkembang dan menjadi cikal bakal arbitrase nasional dan
internasional.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan
sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para
pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang
mereka pilih.2 Sedangkan H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase
adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti
oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada
bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.3 Dan H. M. N Poerwosujtipto
menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu
peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan meraka
tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili
oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan
putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.4
A. Bentuk-Bentuk Arbitrase

1 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Perdilan dan Penyelesaian Sengketa,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 226.
2 Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1992), h. 1.
3 H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional diluar
Pengadilan, (Jakarta: Karya Karsa, 1996, h. 1.
4 H. M. N Poerwosutjipto, Pokok-Pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran, (Jakarta: Djambatan, 1992), h.1.
2
Bentuk arbitrase yang diakui keberadaan dan kewenangannya untuk
memeriksa dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang telah
diatur dibeberapa peraturan dan di berbagai konvensi yang ada. Di samping
telah diatur dalam Rv tentang arbitrase ad hoc, diatur pula dalam Konvensi
New York 1958, serta ketentuan dari UNCITRAL tentang Arbitration Rules.
Dari ketentuan-ketentuan diatas, dapat ditemukan bahwa terdapat 2 (dua)
macam jenis arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk
memeriksa dan memutus perselisihan atau sengketa yang terjadi antara para
pihak yang mengadakan perjanjian, yaitu:
1. Arbitrase Ad hoc
Arbitrase ad hoc disebut juga arbitrase ‘volunter’. Pasal 615 Rv ayat
(1) mengatur tentang lembaga abritrase ad hoc. Pengertian arbitrase ad hoc
sendiri adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau
memutus perselisihan tertentu.Dengan demikian, kehadiran dan keberadaan
arbitrase ad hoc bersifat insidentil atau tidak permanen. Kedudukan dan
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan
tertentu. Selesai sengketa diperiksa atau diputus, maka tugas para arbiter ad
hoc sesuai pembentukannya dengan sendirinya berakhir. Pada prinsipnya,
arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu lembaga
arbitrase.
2. Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase
sebagai sarana penyelesaian sengketa yang bersifat permanen sehingga
disebut “permanent arbitral body”.5 Yang dimaksud permanen disini ialah
selain dikelola dan diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga terus
menerus untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Disamping itu,
keberadaannya tidak hanya bergantung ketika adanya sengketa. Artinya, ada
sengketa yang masuk maupun tidak ada sengketa yang masuk, lembaga itu
tetap berdiri dan tidak bubar bahkan setelah sengketa yang ditanganinya

5 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, (Bandung: Erlangga, 1986), h. 20.


3
telah selesai sekalipun. Berbeda dengan arbitrase ad hoc yang akan bubar
dan berakhir keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai diputus.
Kedua arbitrase tersebut sama-sama memiliki wewenang untuk
mengadili dan memutus sengketa yang terjadi antara para pihak yang
mengadakan perjanjian. Adapun perbedaan antara kedua jenis arbitrase tersebut
terletak pada terkoordinasi atau tidak terkoordinasi. Arbitrase ad hoc (arbitrase
yang tidak terkoordinasi oleh suatu lembaga) sedangkan arbitrase institusional
(arbitrase yang dikoordinasi oleh suatu lembaga).6

B. Badan Arbitrase di Indonesia


Berikut ini ada beberapa badan arbitrase di Indonesia yaitu sebagai
berikut:
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Pada tanggal 3 Desember 1977, atas prakarsa Prof. R. Subekti, SH
(Mantan Ketua Mahkamah Agung), Harjono Tjitrosubono, SH (Ketua
Ikatan Advokat Indonesia), dan A.J. Abubakar, SH didirikanlah Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga penyelesaian
sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen. BANI merupakan
lembaga perdilan yang mempunyai status yang bebas, otonom, dan juga
independen. Tujuan dibentuknya lembaga ini adalah untuk memberikan
penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang
timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri, dan keuangan.7
2. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
Berdasarkan dukungan Bapepam-LK dan beberapa perusahaan seperti
PT Bursa Efek Jakarta (BEI), PT Bursa Efek Surabaya (BES), PT Kliring
Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan PT Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI) serta 17 asosiasi di lingkungan pasar modal Indonesia
membuat kesepakatan bersama untuk mendirikan sebuah lembaga Arbitrase

6 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,(Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2013), h.165.
7 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2013), h. 96-
98.
4
yang kemudian diberi nama Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
(BAPMI). Tujuan didirikannya lembaga ini tidak terlepas dari keinginan
pelaku pasar modal Indonesia untuk mempunyai sebuah lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan khusus di bidang pasar modal yang
ditangani oleh orang-orang yang memahami pasar modal, dengan proses
cepat dan murah, keputusan yang final dan mengikat, serta memenuhi rasa
keadilan.
3. Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia
Pada tanggal 7 November 2008, PT Bursa Berjangka Jakarta (BBI), PT
Kliring Berjangka Indonesia/ persero (KBI), Asosiasi Pialang Berjangka
Indonesia (APBI) dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia
(IP2BI), dengan difasilitasi dan didukung penuh Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), menandatangani akta
pendirian Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) yang
bertempat di Auditorium Utama Departemen Perdagangan dengan
disaksikan oleh Menteri Perdagangan.
4. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
Lembaga ini diresmikan pada tanggal 21 Oktober 1993 dengan
namanya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmian ini
ditandai dengan penandatanganan akta notars Yudo Paripurno, SH oleh
Dewan Pimpinan MUI Pusat yang diwakili KH Hasan Basri dan HS
Prodjokusumo (Ketua dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan MUI).
Sebagai saksi ikut menandatangani akta notaris antara lain : HM Sedjono
(Ketua MUI) dan H. Zainulbahar Noor, SE (Direktur utama Bank Muamalat
Indonesia). Pada tanggal 24 Desember 2003, atas keputusan rapat Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-09/MUI/XII/2003 nama
Badan Arbitrase Muamalat ndonesia (BAMUI) dirubah menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).8

8 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika.
2012), h. 403-404.4
5
5. Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Keakayaan Intelektual
Pada tanggal 19 April 2012, dibentuk suatu Badan Arbitrase dan
Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) yang berkedudukan di
Jakarta. Lembaga ini memberikan jasa penyelesaian sengketa yang bersifat
adjudikatif, yakni arbitrase dan yang non-adjudikatif termasuk mediasi,
negosiasi, dan konsiliasi untuk sengketa yang timbul dari transaksi-transaksi
komersial atau hubungan yang melibatkan bidang HKI. BAM HKI
merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang sifatnya
membantu penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Bidang-bidang yang
dapat ditangani oleh BAM HKI antara lain Paten, Merek, Indikasi
Goegrafis, Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,
Rahasia Dagang, Varietas Tanaman, serta bidang lainnya yang terkait
dengan HKI.

C. Perjanjian Arbitrase dan Bentuk Klausa Arbitrase


Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengartikan
perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula Arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu Perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa
perjanjian Arbitrase timbul karena adanya kesepakatan, berupa:
1. Klausula Arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Klausula pactum de
Compromittendo)
Sungguhpun istilah “pactum de compromittendo” secara harafiah
berarti “akta kompromis”, tetapi dalam beberapa literatur Indonesia
dibedakan antara keduanya.Perbedaannya semata-mata pada pemakaiannya
saja.9 Bentuk klausula pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak
sebelum terjadi sengketa atau perseisihan secara nyata. Para pihak

9 Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000), h. 117-118.
6
sebelumnya telah sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau
perselisihannya yang mungkin akan terjadi dikemudian hari kepada lembaga
Arbitrase atau Ad-hoc. Klausula arbitrase seperti ini dapat dimuat dalam
perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjian tersendiri.
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah
timbul sengketa (Klausula Acta Promise)
Bentuk klausula arbitrase lainnya adalah Acta Promise. Akta
kompromis dibuat setelah sengketa atau perselisihan terjadi sehubungan
dengan pelaksanaan perjanjian pokok.Dalam perjanjian pokok, para pihak
belum mencantumkan klausula arbitrase, baru setelah sengketa atau
perselisihan terjadi, para pihak bersepakat untuk memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.

D. Arbiter
Ada 2 prinsip dasar arbitrase yang harus dipegang oleh arbiter dalam
menjalankan tugasnya yaitu:
1. Penyelesaian arbitrase harus didasarkan pada penyelesaian yang cepat,
mandiri, dan adil;
2. Penyelesaian perkara diluar pengdilan atas dasar perdamaian, terjaminnya
kerahasiaan sengketa, terhindar dari kelambatan karena prosedural dan
administrasi, serta penyelesaian menekankan konsep win-win-solution.
Para pihak yang bersengketa dan memilih penyelesaian sengketa melalui
arbitrase memilih arbiter yang tepat kompeten, jujur dan memiliki integritas
bukan saja pribadinya akan tetapi juga kemampuan dan keahliannya dibidang
Hukum Arbitrase dan kemudian tentang inti sengketa yang dihadapinya.
Jumlah arbiter yang akan dipilih tergantung dari keinginan pihak, bisa satu (
tunggal ), bisa lebih, misalnya 3 orang, satu dipilih masing-masing oleh para
pihak dan yang ketiga oleh mereka bersama sehingga dengan demikian dicapai
jumlah yang ganjil. Adapun syarat-syarat untuk menjadi seorang arbiter
menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah sebagai
berikut

7
a. Cakap melakukan tindakan hukum.
b. Berumur paling rendah 35 tahun.
c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa.
d. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase
e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling
sedikit 15 tahun dengan ketentuan bahwa hakim, jaksa, panitera atau pejabat
peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
Di dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan
bahwa dalam hal para pihak tidak mencapai kesepakatan mengenai pemilihan
arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter,
Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbiter. Arbiter
memiliki Hak dan kewajiban diantaranya yaitu:
1. Ia harus independen dan menunjukkan sikap tidak memihak, terbuka
maupun tertutup ( walaupun ia dipilih oleh salah satu pihak yang
bersengketa bukan berarti ia mewakili atau harus membela pihak yang
memilihnya ).
2. Harus menyampaikan kepada para pihak dan tentunya kepada lembaga atau
institusi dimana ia terdaftar agar setiap fakta dan keadaan yang mungkin
akan menimbulkan keragu-raguan atas independensi dan ketidakpihakannya
yang mungkin timbul didalam ucapan maupun pikiran para pihak yang
bersengketa.
3. Terikat untuk menerapkan tata cara secara wajar (equitable) menghargai dan
menghormati prinsip perlakuan yang tidak memihak dan menghormati hak-
hak para pihak untuk didengar.
4. Menyelesaikan dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan
sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan.
5. Memelihara konfidensialitas para pihak juga setelah diterbitkan
keputusannya.

8
6. Selama pemeriksaan ia berhak memperoleh kerja sama yang jujur dan
terbuka dari para pihak.
7. Ia tidak bisa dituntut karena proses arbitrase atau isi putusannya, kecuali
terbukti melakukan pelanggaran pidana.
Arbiter yang menerima penunjukan sebagai arbiter tidak boleh menarik
diri atau mengundurkan diri kecuali atas persetujuanpara pihak. Larangan
penarikan diri iniadalah penarikan diri secara sepihak karenadimungkinkan
penarikan diri atas persetujuanpara pihak. Larangan penarikan diri iniadalah
penarikan diri secara sepihak karenadimungkinkan penarikan diri atas
persetujuan para pihak. Rasio larangan mengundurkan diriini sejalan dengan
tujuan penyelesaian perselisihan secara arbitrase, yang menuntut penyelesaian
dalam waktu singkat. Sikap arbiter yang mengundurkan diri seperti ini
merupakan hambatan yang sangat merintangi tujuan penyelesain perselisihan
dalam waktu singkat. Arbiter yang akan menarik diri harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada para pihak dan apabila permohonannya
tidak mendapat persetujuanpara pihak, arbiter harus mengajukan permohonan
pada Pengadilan untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan
mengajukan atasan yang-dapat diterima.
Prosedur ini harus dilalui oleharbiter, tanpa melalui proses seperti ini
arbiter tidak dapat menarik diri/mengundurkan diri. Oleh karena itu, alasan
pengunduran diri harus merupakan alasan yang benar-benar serius. Misalnya
karena gangguan kesehatan yang dibarengi dengan surat keterangan medis.
Bisa juga berupa alasan yang dapat diperkirakan akan menggangu kelancaran
pemeriksaan dan penyelesaiin fungsi arbitase. Misalnya karena terpaksa
melaksanakan tugas jabatan Larangan bagi arbiter untuk tidak menarik diri
terhitung sejak tanggal penerimaan penunjukan arbiter. Selama belum ada
penerirnaan penunjukan secara tertulis (perjanjian penunjukan arbiter) maka
larangan ini tidak berlaku bagi arbiter. Artinya jika proses baru sampai pada
penunjukan tetap.
Sejalan dengan larangan bagi arbiter untuk menarik diri, para pihak yang
telah menunjuk arbiter berdasarkan perjanjian arbitrase pada prinsipnya juga

9
dilarang, untuk menarik kembali arbiter yang ditunjuk kecuali ada alasan yang
cukup dan bukti otentik yang cukup yang menimbulkan keraguan bahwa
arbiter akan rnelakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam
mengambil putusan.
Mengingat pentingnya arbiter dalam proses arbitrase Gatot Somartono
memberikan pendapatnya sebagai berikut: Kualitas (proses) arbitrase
tergantung sepenuhnya pada kualitas arbiternya. Apakah proses pemeriksaan
arbitrase akan berjalan lancar, apakah pertimbangan yang diberikan berbobot,
apakah putusan yang dijatuhkan memenuhi rasa keadilan dan kepatutan, serta
syarat-syarat kewajaran sehingga dapat diterima oleh para pihak, semua itu
tergantung pada kemampuan arbiternya dan karenanya arbiter tersebut adalah
orang yang profesional di bidangnya.

E. Putusan Arbitrase
Merupakan hal yang umum dalam klausul arbitrase dinyatakan bahwa
putusannya “terakhir dan mengikat” atau “final and Binding”. Dalam konteks
ini, mengikat berarti para pihak bermaksud bahwa putusan arbitrase akan
menyelesaikan sengketa dan dapat ditegakkan melalui pengadilan nasional
terhadap pihak yang kalah. Hal ni bukan merupakan nasihat dimana para pihak
dapat bebas untuk mengabaikannya, melainkan merupakan suatu paksaanyang
harus ditaati oleh para pihak. Acuan dimana putusan terakhir harus diartikan
bahwa putusan tersebut tidak akan diperiksa lagi oleh pengadilan.
Bahkan, jika para pihak tidak menyatakan bahwa putusannya terakhir dan
mengikat, mereka dapat mencapai hasil yang sama dengan menggunakan
aturan-aturan BANI, ICC dan institusi-institusi lain. Aturan BANI dan ICC
menyatakan bahwa setiap putusan mengikat para pihak dan dengan mengambil
aturan-aturan tersebut maka para pihak melepaskan (waive) haknya untuk
berbagai bentuk jalan lain (recourse) selama pelepasan tersebut dibuat dengan
sah. Dengan memasukkan kata-kata “terakhir dan mengikat” (final and
Binding) maka setiap sengketa akan diselesaikan oleh arbitrase yang
putusannya mengikat dan para pihak pada dasarnya menyatakan bahwa mereka

10
bermaksud agar putusan ini ditegakkan oleh pengadilan tanpa harus diperiksa
kembali dasar-dasar putusan. Hal ini merupakan ketentuan penting dan
terutama jika aturan-aturan lembaga arbitrase tidak digunakan (Arbitrase ad
hoc).
Jadi berbeda dengan putusan badan peradilan yang masih dapat diajukan
banding dan kasasi, putusan arbitrase, baik yang diputuskan oleh arbitrase ad-
hoc maupun lembaga arbitrase adalah merupakan putusan pada tingkat akhir
(final) dan karenanya secara langsung mengikat (binding) bagi para pihak.
Putusan majelis arbitrase mempunyai kekuatan eksekusi maka dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan majelis arbitrase diucapkan,
lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri. Dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
melaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan
salah satu pihak yang bersengketa.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwaprinsipnya, putusan arbitrase
bersifat final dan mengikat para pihak yang berselisih dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh apabila salah satu pihak tidak menerimaputusan
arbiter untuk memeriksa kembali perselisihan tersebut. Putusan arbitrase hanya
dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak dengan mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Agung dalam waktuselambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sejak ditetapkannya putusan arbiter apabila putusantersebut
diduga mengandung unsur-unsur, yaitu:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan.
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.

11
Alasan-alasan yang dikemukakan diatas bersifat limitatif dengan
pengertian, sepanjang unsur tersebut tidak ditemukan dalam putusan arbiter
putusan tidak dapat ditinjau atau dimintakan pembatalan.

PENUTUP

Kesimpulan
l Bentuk arbitrase yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional
l Badan arbitrase di Indonesia yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Badan
Arbitrase Pasar Modal Indonesia, Badan Arbitrase Syariah Nasional, Badan
Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia dan Badan Arbitrase dan Mediasi Hak
Keakayaan Intelektual
l Perjanjian dan Klausa arbitrase yaitu:
1. Klausula Arbitrase yang berbentuk pactum de Compromittendo (sebelum
timbul sengketa)
2. Klausula Arbitrase yang berbentuk Acta Promise (setelah terjadi sengketa)
l Syarat menjadi seorang arbiter yaitu:
1. Cakap melakukan tindakan hukum.
2. Berumur paling rendah 35 tahun.
3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa.
4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase.
5. Memiliki pengalaman serta menguasaisecara aktif di bidangnya paling
sedikit 15 tahun dengan ketentuan bahwa hakim, jaksa, panitera atau pejabat
peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
l Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat dan tidak dapat diganggu gugat,
putusan arbitrase bisa dibatalkan apabila dalam proses sengketa arbitrase
terdapat proses kecurangan yang dilakukan oeh para pihak arbiter

12
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, H. Priyatna. Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan
Internasional diluar Pengadilan. Jakarta: Karya Karsa, 1996.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis).
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Gautama, Sudarto. Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Erlangga, 1986.
Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Poerwosutjipto, H. M. N. Pokok- Pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan
dan Penundaan Pembayaran. Jakarta: Djambatan, 1992.
Subekti. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta, 1992.
Usman, Rachmadi. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2013.
Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT Sinar Grafika,
2013.

13

Anda mungkin juga menyukai