Anda di halaman 1dari 26

RMK FINANCIAL TECHNOLOGY

Perlindungan Konsumen Fintech di Indonesia


Dosen: I Gst. Agung Pramesti Dwi Putri, S.E., M.Si.

Disusun Oleh:
Ni Putu Bhatarisma Gerananda 1901030004
I Dewa Ayu Rai Utari 1901030015
I Gede Wikan Aditya 1901030018
Ni Kadek Dwi Febriani 1901030037
Ni Kadek Sintya 1901030038

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER


(STMIK) PRIMAKARA
TAHUN AJARAN 2021/2022
1. PERLINDUNGAN KONSUMEN FINTECH DI INDONESIA
A. Analisa Aspek Perlindungan Pada Fintech di Indonesia
Untuk layanan Fintech yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) yang
telah mendapatkan izin dan diawasi oleh OJK (atau dapat disebut sebagai Fintech 2.0), maka
PAJAK tersebut wajib memperhatikan dan melaksanakan ketentuan perlindungan konsumen
pada Peraturan OJK No. POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan. Sedangkan untuk layanan Fintech yang dilakukan oleh non PUJK (atau dapat
disebut sebagai Fintech startup) maka Fintech tersebut wajib memperhatikan dan melaksanakan
ketentuan perlindungan konsumen pada Peraturan OJK No. 77/POJK.07/ 2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Sampai dengan saat, Fintech startup
yang telah diatur oleh OJK baru Fintech P2P Lending.
Namun demikian, memperhatikan kajian pemetaan potensi risiko dari proses bisnis
Fintech, pengaturan Fintech yang telah ada di Indonesia, beberapa temuan kegiatan operasi
intelijen yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Market Conduct OJK, dan telaahan beberapa
artikel Fintech, maka setidaknya terdapat 4 (empat) aspek perlindungan konsumen pada Fintech
yang harus menjadi perhatian baik bagi pemerintah maupun regulator di sektor jasa keuangan,
yaitu : kelengkapan informasi dan transparansi produk/layanan, penanganan pengaduan dan
penyelesaian sengketa konsumen, pencegahan penipuan dan keandalan sistem layanan, dan
perlindungan terhadap data pribadi (cybersecurity). Meskipun ke-empat hal tersebut telah
disebutkan dalam pengaturan Fintech di atas, namun perlu dipastikan agar aspek ini benar-benar
diterapkan secara seksama oleh pelaku Fintech.

1. Kelengkapan Informasi dan Transparansi Produk/Layanan


Fintech wajib menyediakan informasi secara lengkap, up-to-date, dan transparan terkait
produk atau layanan yang ditawarkan kepada konsumen dan masyarakat. Karena hal sangat
krusial dalam pengambilan keputusan dan untuk membangun kepercayaan konsumen.
Kurangnya informasi dan kejelasan tentang produk dan layanan dapat mengakibatkan
kekeliruan pemahaman konsumen dan masyarakat tentang fitur produk yang ditawarkan,
seperti syarat dan ketentuan produk, manfaat, biaya, dan risiko.
Penyelenggara harus memastikan bahwa informasi yang diberikan bersifat transparan
sehingga hal tersebut dapat memberikan kesempatan bagi konsumen untuk memahami dan
memilih produk dengan baik serta menghindarkan diri dari risiko yang mereka ingin hindari,
seperti misleading advertisement dan penipuan. Aspek kelengkapan informasi dan transparansi
pada Fintech di Indonesia harus meliputi : biaya-biaya dan kewajiban yang akan dikenakan
kepada konsumen, transparansi syarat dan ketentuan penggunaan produk/layanan,
pemberitahuan kepada konsumen apabila terdapat perubahan biaya, syarat dan ketentuan,
kejelasan informasi dari periklanan produk yang dipasarkan seperti penggunaan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami dalam media periklanan yang digunakan, seperti website
perusahaan, brosur, iklan media massa, online, dan sebagainya. Penyedia layanan Fintech harus
menginformasikan syarat dan ketentuan produk/layanan dalam perjanjian sejelas jelasnya
dengan bahasa yang mudah dimengerti, mengingat tingkat literasi keuangan masyarakat
Indonesia secara umum relatif masih rendah. Apabila terdapat perubahan terhadap biaya yang
dikenakan atau syarat dan ketentuan terkait produk yang dipasarkan, penyedia layanan Fintech
seharusnya menginformasikan hal tersebut kepada konsumen melalui berbagai jalur
komunikasi hingga konsumen tersebut terinformasikan dengan baik. Perjanjian juga dilarang
menyatakan adanya pengalihan tanggung jawab atau kewajiban dari pelaku Fintech kepada
konsumen (klausula eksonerasi). Penyedia layanan Fintech juga harus menghindarkan
penggunaan iklan yang berpotensi menciptakan pemahaman yang keliru bagi konsumen dan
masyarakat. Layanan Fintech memang dapat memberikan banyak manfaat kemudahan dan
kenyamanan, namun layanan tersebut tidak dapat menghilangkan biaya dan potensi risiko dari
penggunaan produk dan layanan keuangan itu sendiri. Salah satu contoh bahasa periklanan yang
dapat memberikan gambaran yang keliru pada masyarakat adalah penawaran fasilitas
pembelian barang secara kredit online. Masyarakat hanya diinformasikan mengenai kemudahan
dan kepraktisan dalam mengajukan kredit secara online, namun sejak awal tidak diinfokan
mengenai besarnya kewajiban biaya bunga dari besarnya pinjaman. Jika kondisi ini tidak
diperhatikan, maka dikhawatirkan akan muncul kebiasaan masyarakat yang mudah berhutang
tanpa memperhatikan kebutuhan dan kemampuan membayar kembali (irresponsible lending).
Untuk itu penyedia layanan wajib ikut bertanggungjawab terhadap iklan produk yang
dipasarkan dan regulator wajib memonitor dengan seksama terhadap informasi dan iklan yang
disampaikan ke masyarakat. Bagi masyarakat dan konsumen wajib disediakan kanal informasi
yang mudah diakses untuk meminta informasi sejelas-jelasnya dari penyedia layanan Fintech
sehingga pemahaman konsumen terhadap produk lengkap dan tercipta awareness konsumen
terhadap biaya dan risiko yang akan timbul dari penggunaan produk (menghindari informasi
asimetris).

2. Penanganan Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen


Permasalahan dan pengaduan dari konsumen merupakan salah satu hal yang pasti akan dihadapi
oleh pelaku Fintech, sehingga aspek penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa
merupakan hal yang wajib disediakan. Untuk itu penyedia layanan harus memiliki mekanisme
penerimaan pengaduan dan penyelesaian sengketa. Pelaksanaan hal tersebut nantinya akan
meningkatkan kepercayaan konsumen. Selain itu, pelaku yang telah memiliki mekanisme
penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif akan memiliki peluang untuk
menyempurnakan produk/layanannya, karena dari data pengaduan yang diterima dapat
dianalisa penyebabnya dan hal tersebut dapat memacu upaya perbaikan dan pengembangan
produk/layanan.
Penyedia layanan Fintech setidaknya harus :
a. Menyediakan jalur atau kanal kontak penerimaan pengaduan yang mudah diakses oleh
konsumen, seperti telepon, e-mail, instant messaging, dan surat;
b. Memiliki unit atau fungsi serta prosedur standar penanganan pengaduan konsumen.
Prosedur tersebut harus memperhatikan pengaturan perlindungan konsumen yang ada pada
POJK terkait dan diinformasikan kepada konsumen;
c. Menyediakan dan menginformasikan kepada konsumen jika terdapat mekanisme alternatif
penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) yang dapat digunakan apabila
penyelesaian pengaduan dan sengketa secara internal tidak menghasilkan kesepakatan.

3. Pencegahan Penipuan dan Keandalan Sistem Layanan


Pencegahan penipuan atau fraud melalui Fintech merupakan hal penting yang harus
diperhatikan regulator seiring dengan semakin berkembangnya keragaman tawaran
produk/layanan Fintech. Upaya penipuan di Fintech dapat berbentuk seperti penyalahgunaan
situs layanan (phishing), peretasan terhadap sistem keamanan, dan pemasaran produk/layanan
yang menipu. Dengan banyaknya layanan Fintech yang menggunakan media seperti situs
jejaring dan aplikasi dalam melakukan promosi dan pemasaran produk/layanannya, maka
potensi kerentanan terjadinya penipuan juga akan meningkat. Para pelaku Fintech wajib
memastikan sistemnya andal. Pelaku wajib memiliki sistem keamanan dan aplikasi yang aman
dan tersertifikasi agar terhindar dari upaya peretasan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pelaku layanan wajib melakukan pemeriksaan dan penyempurnaan sistem secara
berkesinambungan karena baik teknologi maupun bentuk ancamannya juga terus berkembang.
Peran dari regulator adalah memastikan bahwa sistem keamanan dan aplikasi layanan Fintech
selalu dilakukan upaya perbaikan yang diperlukan dan tersertifikasi keandalannya.

4. Perlindungan Terhadap Data Pribadi (Cybersecurity)


Aspek perlindungan terhadap data pribadi menjadi salah satu hal penting yang harus
diperhatikan penyedia layanan dan regulator. Hal karena penyalahgunaan data pribadi
(konsumen) dapat berdampak pada pencurian identitas, penyalahgunaan profil konsumen,
penawaran produk kepada konsumen yang datanya tercuri, hingga berdampak pada risiko dan
kerugian yang lebih besar lainnya seperti ketidakpercayaan masyarakat terhadap layanan
Fintech. Keamanan dan pemeliharaan data pribadi konsumen harus dilakukan dengan baik
dikarenakan data tersebut bersifat digital sehingga relatif mudah untuk dicuri data dan hilang.
Namun patut diperhatikan juga jika data pribadi dapat disalahgunakan oleh pihak internal.
Sehingga untuk itu, terkait dengan upaya perlindungan terhadap data pribadi dapat dilakukan
dengan fokus terhadap hal-hal sebagai berikut :
a. Pelaku layanan Fintech wajib melakukan enkripsi data terhadap data yang berkaitan
dengan konsumen;
b. Pelaku layanan Fintech wajib menjaga keamanan data konsumen;
c. Pelaku layanan Fintech wajib melakukan manajemen akses data;
d. Konsumen mempunyai hak untuk meminta penjelasan dari pelaku terkait penggunaan
informasi dan data yang telah diberikannya
B. Upaya Peningkatan Perlindungan Konsumen Fintech di Indonesia
Untuk meningkatkan aspek perlindungan konsumen pada Fintech yang makin berkembang saat
ini di Indonesia, maka berikut beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh OJK :

1. Pengawasan dan pengaturan yang berfokus pada Fintech yang telah berkembang
dan digunakan di Indonesia
Untuk menyegerakan upaya perlindungan konsumen terkait produk Fintech di Indonesia,
maka OJK sebagai regulator perlu untuk menentukan fokus pada Fintech yang telah dan akan
berkembang di Indonesia. Fokus tersebut meliputi : Fintech lending; Fintech payment; Fintech
supporting (Fintech scoring, Fintech information site, Fintech financial management, Fintech
big data analytic). Adapun untuk Robo-Advisor, Blockchain, dan Bitcoin, meskipun merupakan
hal yang penting, namun hal tersebut belum menjadi hal yang urgent untuk dilakukan saat ini
dikarenakan tingkat literasi masyarakat Indonesia belum mendukung berkembangnya jenis-
jenis Fintech tersebut. Setelah menentukan area fokus tersebut, maka OJK dapat segera
melakukan pemetaan regulasi terkait yang ada di Indonesia. Tidak seperti halnya di Singapura,
Australia, maupun Inggris yang menerapkan sistem hukum yang bersifat Common Law,
Indonesia menerapkan sistem hukum yang bersifat European Continental (Civil Law) dimana
semua hal harus dinyatakan dan tercatat secara jelas dalam hukum. Jika suatu jenis Fintech yang
berkembang di Indonesia belum ada aturan hukumnya, maka apabila terjadi suatu
permasalahan, tidak terdapat dasar hukum untuk menyelesaikannya. Hal tersebut juga berkaitan
dengan perlindungan konsumen. Sesuai kewenangan OJK yang ada pada sektor jasa keuangan,
maka Fintech dari PUJK yang berkaitan dengan sektor jasa keuangan dapat diatur berdasarkan
UU OJK dan UU di masing masing sektor jasa keuangan. Fintech yang terkait dengan sektor
perbankan dapat diatur dengan hukum yang ada di sektor perbankan. Begitu juga dengan
Fintech yang terkait sektor pasar modal dan lembaga keuangan non-bank (contohnya seperti
asuransi, pembiayaan, pegadaian). Sedangkan untuk Fintech yang terkait dengan layanan
pembayaran dapat diatur dengan menggunakan peraturan di Bank Indonesia. OJK sebaiknya
menyusun standar atau pedoman terkait aspek perlindungan konsumen pada produk/layanan
Fintech yang menjadi cakupan kewenangannya, melengkapi pedoman lain yang berkaitan
dengan operasional layanan.Pedoman ini nantinya dapat digunakan oleh ketiga sektor
pengawasan OJK (Perbankan, IKNB, dan Pasar Modal) dalam melakukan pengawasan

2. Peningkatan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait


OJK sebaiknya berkoordinasi dan bekerjasama dengan para pemangku kepentingan Fintech
lainnya, dengan tujuan agar :
a. Saling melengkapi pengaturan Fintech, namun menghindarkan dari duplikasi pengaturan
yang tumpang tindih (duplicative regulations);
b. Dapat mitigasi potensi risiko dan tantangan dalam mewujudkan keseimbangan antara
perkembangan sistem keuangan nasional, perkembangan Fintech, dan aspek perlindungan
konsumen
Koordinasi tersebut dilakukan dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi
dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, asosiasi di sektor jasa keuangan, asosiasi dan
praktisi Fintech, serta akademisi. Dengan koordinasi yang baik, diharapkan pengaturan Fintech
dapat diwujudkan dalam skala nasional dan terkoordinasi dengan baik. Selain itu, saat ini
terdapat perusahaan Regtech (Regulatory Technology) yang dapat mendukung pelaku Fintech
untuk memastikan agar comply terhadap peraturan terkait. OJK perlu mendukung penggunaan
Regtech di dalam aktivitas bisnis penyedia layanan Fintech. Manfaat dari penggunaan fitur
Regtech yaitu dapat meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan yang ada dan memaksimalkan
fungsi manajemen risiko penyedia layanan. Selain itu, fitur dari Regtech dapat meminimalisir
pelanggaran dari ketentuan yang telah disusun oleh OJK. Dengan adanya fitur otomasi laporan
dan dokumen terkait transaksi antar pelaku Fintech, Regtech dapat mendeteksi dan menganalisa
apabila terdapat transaksi yang mencurigakan maupun melanggar ketentuan yang ada. Apabila
OJK mampu mendorong penggunaan Regtech, OJK dapat mendukung terbentuknya layanan
Fintech yang sesuai dengan ketentuan yang ada sehingga konsumen dan masyarakat dapat
menikmati penggunaan layanan yang aman dan tidak perlu takut untuk merasa dirugikan. Guna
mendukung pengawasan secara digital, OJK dapat berkolaborasi dengan penyedia layanan
Supervisory Technology (Suptech). Beberapa Suptech memiliki fitur utama seperti, otomasi
pelaporan data, analisis validitas data dan standarisasi laporan. Fitur – fitur tersebut dapat
memudahkan pengawas dalam menganalisa data yang diberikan oleh lembaga jasa keuangan
maupun penyedia layanan Fintech lainnya. Selain itu, Suptech juga dapat mempercepat proses
pengawasan yang biasanya membutuhkan durasi cukup panjang dikarenakan pengawasan
dilakukan dengan metode analisis manual dari data yang sangat banyak. Dengan otomasi
pengiriman laporan secara akurat dan pengumpulan data yang valid, upaya pengawasan
terhadap Fintech dapat lebih optimal, efektif dan efisien.

3. Penyiapan mekanisme penyelesaian sengketa pada Fintech startup


Penyelesaian sengketa terkait Fintech yang dilakukan oleh PUJK (Fintech 2.0) dapat dilakukan
melalui internal PUJK (mekanisme Internal Dispute Resolution), Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa (LAPS), dan fasilitasi terbatas dari OJK. Namun untuk Fintech yang
Non PUJK (Fintech startup), sampai dengan saat ini belum ditentukan mekanisme penyelesaian
sengketa konsumen jika pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh pelaku Fintech sendiri.
Sehingga untuk itu, OJK perlu segera mendiskusikan hal ini dengan pelaku Fintech P2P
Lending yang saat ini telah terdaftar dan diawasi oleh OJK. OJK perlu menyusun standar
mekanisme pelaksanaan internal dispute resolution (IDR) dan alternative dispute resolution
(ADR). Tujuannya agar konsumen pengguna layanan P2P Lending mendapatkan kejelasan atas
penanganan pengaduan dan sengketanya. Selain itu, salah satu hal yang dapat dipertimbangkan
untuk pelaksanaan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa pada Fintech adalah
Online Dispute Resolution (ODR). ODR merupakan sistem penyelesaian sengketa yang
memanfaat sarana teknologi informasi, contohnya seperti telepon, email, aplikasi, webchat, dan
video conference. Konsep ODR dapat dipertimbangkan untuk dimanfaatkan oleh pelaku
Fintech (baik Fintech 2.0 maupun Fintech startup), mengingat keseluruhan data konsumen telah
terekam secara digital dan telah memahami mekanisme online. Dengan ODR, maka upaya
penyelesaian sengketa akan relatif lebih praktis dan efisien untuk dilakukan. Namun demikian,
apabila ODR akan dipertimbangkan untuk dilaksanakan, maka terdapat beberapa hal yang harus
dilakukan terlebih dahulu :
a. Mempersiapkan dasar hukum dari implementasi ODR.
b. Penguatan kelembagaan LAPS;
c. Meningkatkan awareness dan literasi kepada masyarakat tentang ODR
4. Peningkatan legitimasi Fintech
Terkait upaya ini, terdapat tiga hal yang dapat dilaksanakan oleh OJK untuk meningkatkan
legitimasi Fintech di Indonesia.
a. Pertama, OJK ataupun regulator terkait dapat memberlakukan trustmark (dapat berupa
logo, gambar, atau lencana) pada semua situs dan/atau aplikasi pelaku Fintech yang telah
terdaftar dan diawasi. Trustmark ini juga akan menunjukkan bahwa Fintech tersebut telah
diaudit sistemnya baik oleh regulator atau pihak lain yang ditunjuk.
b. Kedua, menerapkan sertifikat digital signature yang akan mengotentikasi identitas
konsumen secara elektronik dengan memakai tanda tangan.
c. Ketiga, menerapkan verifikasi biometrik yang dapat mengidentifikasi satu atau lebih ciri-
ciri biologis unik konsumen. Identifikasi unik ini dapat berupa sidik jari, geometri telapak
tangan, pola retina, dan gelombang suara.

Ketiga cara diatas diyakini dapat dilakukan oleh OJK atau regulator lainnya untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat dan konsumen tentang produk/layanan Fintech karena
dapat mitigasi potensi risiko seperti : risiko penipuan, risiko pemalsuan atau pencurian identitas,
dan risiko peretas. Trustmark sudah diberlakukan untuk menjadi legitimasi keamanan bisnis e-
commerce dan beberapa penyedia trustmark sudah ada saat ini.

2. KEBERADAAN FINTECH ILEGAL


Keberadaan fintech ilegal terutama P2P lending, saat ini memberikan dampak yang cukup
signifikan dimana keberadaan fintech ilegal tersebut meresahkan masyarakat dengan bunga
pinjaman tinggi dan penagihan yang tidak sesuai ketentuan. Di Indonesia, fintech telah
berkembang sejak tahun 2006 (Aprita, 2021). Namun P2P lending itu sendiri baru muncul
pertama kali pada tahun 2016 dan terus mengalami pertumbuhan. Sebenarnya terdapat
beberapa faktor yang mendorong tumbuh maraknya fintech ilegal berbentuk P2P lending di
Indonesia, yang kemudian dapat dikategorikan menjadi dua faktor:
1. Faktor Normatif
a. Tidak adanya aturan terkait besaran suku bunga P2P lending.
Saat ini aturan penetapan besaran suku bunga P2P lending hanya disesuaikan dengan profil
dan skala usahanya. Aturan tersebut diatur secara tidak langsung melalui Asosiasi Fintech
Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
b. Kurang maksimalnya penegakan hukum P2P lending ilegal.
Sampai saat ini OJK baru memberlakukan sanksi bagi fintech P2P lending yang terdaftar
dan berizin saja. Sedangkan terkait banyaknya aplikasi fintech ilegal, OJK hanya dapat
melakukan upaya penutupan dan pemblokiran aplikasi melalui SWI yang kemudian
ditindaklanjuti oleh Kemkominfo.
c. Belum adanya ketentuan pidana yang menjerat P2P lending tanpa izin, karena
pengaturannya hanya sebatas Peraturan OJK (POJK) atau setingkat.
Saat ini OJK melalui POJK Nomor 77/POJK.01/2016 hanya mengatur sanksi bagi fintech
P2P lending yang terdaftar dan berizin OJK saja. Sedangkan terkait pelanggaran yang lebih
jauh, OJK akan menyampaikan laporan kepada Bareskrim Polri untuk proses penegakan
hukum.

2. Faktor Non-Normatif
a. Pengawasan P2P lending ilegal yang sulit dilakukan.
Pengawasan terkait P2P lending ilegal sulit dilakukan karena perkembangannya yang
sangat pesat padahal SWI (Satuan Waspada Investasi) membutuhkan waktu yang lama
untuk mendeteksi aplikasi P2P lending ilegal.
b. Pengetahuan atau literasi masyarakat yang minim terkait P2P lending.
Masyarakat masih asal dalam memilih website pinjaman online dan tidak mengetahui
dampak yang ditimbulkan apabila mereka melakukan pinjaman online di P2P lending
ilegal, misalnya tingginya suku bunga pinjaman yang akan memberatkan masyarakat.
c. Permintaan P2P lending ilegal yang tinggi dari masyarakat.
Banyak masyarakat yang lebih memilih melakukan pinjaman online melalui platform
P2P lending ilegal karena kemudahan dalam prosedur pinjaman jika dibandingkan dengan
P2P lending legal atau perbankan.
d. Kemudahan dalam proses pembuatan aplikasi atau website
Adanya kemajuan teknologi ditambah dengan proses pembuatan aplikasi atau website yang
mudah memungkinkan semua orang untuk membuat P2P lending ilegal. Disamping itu,
adanya kemajuan teknologi memungkinkan adanya keberadaan lintas negara. Fenomena
tersebut menyebabkan banyaknya server fintech P2P lending ilegal yang keberadaannya
dari luar negeri.

Pada dasarnya, OJK tidak memiliki kewenangan khusus dalam penanganan fintech P2P lending
illegal. Karena adanya keterbatasan tersebut, kemudian dibentuklah Satgas Waspada Investasi
(SWI) yang berada di bawah pengawasan OJK. SWI dibentuk untuk mencegah dan menangani
dugaan tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana dan pengelolaan investasi,
termasuk penghimpunan dana dan pengelolaan investasi yang dilakukan melalui platform fintech.
SWI merupakan forum koordinasi untuk menangani kasus-kasus penipuan berkedok penawaran
investasi atau penawaran investasi tanpa izin (ilegal) termasuk fitech ilegal. SWI merupakan hasil
kerja sama beberapa instansi pemerintah, dengan harapan agar upaya OJK untuk meminimalisir
perkembangan P2P lending ilegal dapat dioptimalkan dengan kerjasama antara para instansi
tersebut, sebab ada beberapa tugas dari Satgas yang pelaksanaannya bukan merupakan
kewenangan OJK. Namun karena adanya keterbatasan dari pihak OJK terkait penanganan P2P
lending ilegal, maka permasalahan tersebut belum dapat ditangani secara maksimal. Hal tersebut
dikarenakan fintech P2P lending ilegal bukan merupakan ranah kewenangan OJK. Karena adanya
keterbatasan tersebut, OJK melalui SWI hanya dapat meng-cover permasalahan yang berkaitan
dengan fintech P2P lending ilegal melalui kerjasama dengan beberapa instansi antara lain
Kemkominfo dan Bareskrim Polri. Saat ini OJK masih terus melakukan upaya terkait penanganan
terhadap P2P lending ilegal di Indonesia. Upaya tersebut dilakukan oleh OJK sebagai cara untuk
meminimalisir pertumbuhan P2P lending ilegal di Indonesia.

Berikut peranan OJK dalam melakukan upaya penanganan P2P lending ilegal:
1. Mencantumkan daftar P2P lending yang terdaftar dan berizin di website resmi OJK. Hal
tersebut dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan menggunakan fintech legal
sesuai data dalam website resmi OJK.
2. Mensosialisasikan kepada masyarakat terkait ciri-ciri P2P lending ilegal yang harus
dihindari.Beberapa website yang berada di bawah pengawasan OJK (www.duwitmu.com)
selalu update terkait permasalahan dan ciri-ciri P2P lending ilegal.
3. Memberitahukan kepada masyarakat mengenai data dan informasi P2P lending ilegal di
Indonesia. Pihak OJK selalu memberitahukan data terbaru terkait P2P lending ilegal tersebut
melalui keterangan resmi yang kemudian dapat dibaca pada website seperti CNN, Kompas,
Detik, dan lain sebagainya.
4. Melakukan penutupan terhadap P2P lending illegal.
Penutupan fintech P2P lending ilegal tersebut dilakukan oleh SWI dengan cara menghentikan
izin pengoperasian perusahaan fintech P2P lending ilegal di Indonesia.
5. Pemblokiran aplikasi dan website P2P lending ilegal secara rutin.
Pemblokiran aplikasi dan website tersebut dilakukan melalui permohonan atau pengajuan oleh
SWI kepada Kemkominfo.
6. Melakukan pemeriksaan secara selektif bagi perusahaan P2P lending yang mengajukan
pembukaan rekening baru SWI meminta agar pihak perbankan menghambat perkembangan
fintech P2P lending ilegal sejak awal pendaftaran rekening baru.
7. Memberlakukan aturan khusus bagi perusahaan P2P lending terkait fintech payment system.
Sesuai dengan POJK Nomor 77/POJK.01/2016, penyelenggara fintech P2P lending wajib
membuka virtual account di Bank yang berkedudukan di Indonesia serta telah memiliki izin
usaha sebagai Bank.
8. Menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri terkait tindakan cyber crime. SWI
akan menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri apabila para pelaku P2P lending
ilegal melakukan penagihan disertai teror, intimidasi, atau pencemaran nama baik.

Disamping banyaknya upaya yang telah dilakukan oleh OJK, namun upaya tersebut masih
dianggap belum maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya laporan terkait
permasalahan yang ditimbulkan oleh P2P lending ilegal. Dapat diketahui bahwa laporan fintech
P2P lending ilegal yang diterima OJK akhir-akhir ini meningkat jumlahnya. Beberapa laporan
yang diterima OJK terkait fintech P2P lending illegal antara lain yaitu:
1. Bunga pinjaman tinggi
2. Penagihan dilakukan dengan cara pengancaman sampai pencemaran nama baik
3. Penagihan dilakukan kepada kontak darurat yang dicantumkan oleh peminjam
4. Penyebaran data pribadi peminjam oleh perusahaan fintech ilegal
5. Penggunaan data KTP peminjam oleh perusahaan aplikasi fintech ilegal untuk
mengajukan pinjaman di aplikasi lain.

3. CIRI CIRI FINTECH ILEGAL

a. Adapun ciri - ciri perbedaan fintech lending ilegal vs Fintech lending legal

Fintech Lending Ilegal Fintech Lending Legal

1. Regulator/ pengawas Tidak ada regulator khusus Penyelenggara Fintech


yang bertugas mengawasi Lending yang
kegiatan Penyelenggara terdaftar/berizin di OJK
Fintech Lending ilegal berada dalam pengawasan
OJK sehingga sangat
memperhatikan aspek
perlindungan konsumen

2. Bunga dan denda Penyelenggara Fintech Fintech Lending yang


Lending ilegal mengenakan terdaftar/berizin OJK
biaya dan denda yang diwajibkan memberikan
sangat besar dan tidak keterbukaan informasi
transparan mengenai bunga, dan denda
maksimal yang dapat
dikenakan kepada
Pengguna. AFPI mengatur
biaya pinjaman maksimal
0,8% per hari dan total
seluruh biaya termasuk
denda adalah 100% dari
nilai pokok Pinjaman

3. Kepatuhan Peraturan Penyelenggara Fintech Penyelenggara Fintech


Lending ilegal melakukan Lending yang
kegiatan tanpa tunduk pada terdaftar/berizin OJK wajib
peraturan, baik POJK untuk tunduk pada
maupun peraturan peraturan, baik POJK,
perundang-undangan lain maupun peraturan
yang berlaku perundang-undangan yang
berlaku

4. Pengurus Tidak ada standar pengalaman Direksi dan Komisaris


apapun yang harus Penyelenggara Fintech
dipenuhi oleh Lending yang
Penyelenggara Fintech terdaftar/berizin OJK jelas
Lending Ilegal orang-orangnya dan harus
memiliki pengalaman
minimal 1 tahun di Industri
Jasa Keuangan, pada level
manajerial

5. Cara Penagihan Penyelenggara Fintech Tenaga penagih pada Fintech


Lending ilegal melakukan Lending yang
penagihan dengan cara cara terdaftar/berizin dari OJK
yang kasar, cenderung wajib mengikuti sertifikasi
mengancam, tidak tenaga penagih yang
manusiawi, dan dilakukan oleh AFPI
bertentangan dengan
hukum
6. Asosiasi Penyelenggara Fintech Penyelenggara Fintech
Lending ilegal tidak Lending yang
memiliki asosiasi ataupun terdaftar/berizin di OJK
tidak dapat menjadi wajib menjadi anggota
anggota AFPI asosiasi yang ditunjuk,
yaitu Asosiasi Fintech
Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI).

7. Lokasi kantor/ domisili Lokasi kantor Fintech lokasi kantor Penyelenggara


Lending ilegal tidak Fintech Lending yang
jelas/ditutupi dan bisa jadi terdaftar/berizin OJK jelas,
berada di luar negeri untuk disurvei oleh OJK, dan
menghindari aparat hukum dapat dengan mudah
ditemui di Google

8. Status Penyelenggara Fintech Penyelenggara Fintech


Lending ilegal tentunya Lending yang
berstatus ilegal, dan terdaftar/berizin OJK
menjadi target dari Satgas berstatus legal sesuai
Waspada Investasi (SWI) dengan POJK
bersama Kominfo, Google 77/POJK.01/2016
Indonesia, dan Direktorat
Cybercrime Polri.

9. Syarat Pinjam Meminjam Pinjaman pada Penyelenggara Penyelenggara Fintech


Fintech Lending ilegal Lending yang
cenderung sangat mudah, terdaftar/berizin OJK perlu
tanpa menanyakan mengetahui tujuan
keperluan pinjaman pinjaman serta
membutuhkan dokumen
dokumen untuk melakukan
credit scoring

10. Pengaduan Konsumen Fintech Lending ilegal tidak Penyelenggara Fintech


menanggapi pengaduan Lending yang
Pengguna dengan baik terdaftar/berizin OJK
menyediakan sarana
pengaduan Pengguna dan
wajib menindaklanjuti
pengaduan serta
melaporkan tidak lanjutnya
kepada OJK. Selain itu,
Pengguna juga dapat
menyampaikan pengaduan
melalui AFPI, dan OJK.
Selain itu, dalam hal terjadi
sengketa, Pengguna juga
dapat difasilitasi oleh OJK
maupun Lembaga
Alternatif Penyelesaian
Sengketa

11. Kompetensi Pengelola Penyelenggara Fintech Direksi, Komisaris dan


Lending ilegal tidak Pemegang Saham pada
mewajibkan Penyelenggara Fintech
pelatihan/sertifikasi apapun Lending yang
terdaftar/berizin OJK wajib
mengikuti sertifikasi yang
diadakan oleh AFPI untuk
menyamakan pemahaman
dalam mengelola bisnis
Fintech Lending

12. Akses Data Pribadi Meminta akses kepada seluruh Fintech Lending yang
pribadi yang ada di dalam terdaftar/berizin OJK
handphone (HP) Pengguna hanya diizinkan mengakses
diantaranya meminta dapat camera, microphone, dan
mengakses seluruh nomor location pada handphone
kontak di HP, foto, storage. Pengguna. Tidak
Data-data yang kemudian dibolehkan mengakses data
dapat disalahgunakan saat selain di atas baik langsung
melakukan penagihan maupun tidak langsung
selama UU Perlindungan
Data Pribadi belum
ditetapkan oleh DPR

13. Risiko bagi Lender Lender pada Penyelenggara Pada Penyelenggara Fintech
Fintech Lending ilegal Lending yang
memiliki risiko yang sangat terdaftar/berizin OJK, lalu
tinggi, terutama risiko lintas dana dilakukan
penyalahgunaan dana, melalui sistem perbankan
pengembalian pinjaman dan segala manfaat
yang tidak sesuai, dan/atau ekonomi maupun biaya
berpotensi praktik shadow yang dikenakan kepada
banking dan ponzi scheme Lender dinyatakan secara
jelas dalam perjanjian

14. Keamanan Nasional Penyelenggara Fintech Penyelenggara Fintech


Lending ilegal tidak patuh Lending yang
pada aturan menempatkan terdaftar/berizin OJK wajib
data pengguna di Indonesia menempatkan Pusat Data
dan tidak memiliki Pusat dan Pusat Pemulihan
Pemulihan Bencana pada Bencana di wilayah
saat terjadi gangguan Republik Indonesia
terhadap sistem elektronik.

2. Cara Fintech Ilegal Bekerja sebagai berikut :

1. Tidak ada regulator khusus yang bertugas mengawasi kegiatan usaha fintech ilegal.
2. Fintech ilegal melakukan kegiatan tanpa tunduk pada peraturan, baik POJK maupun peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
3. Bunga dan denda yang dibebankan oleh fintech ilegal sangat besar dan tidak transparan.
4. Melakukan penagihan dengan cara kasar, cenderung mengancam, tidak manusiawi, dan
bertentangan dengan hukum.
5. Proses pengajuan cenderung sangat mudah, tanpa menanyakan keperluan pinjaman.
6. Tidak memiliki asosiasi dan tidak dapat menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI).
7. Fintech ilegal akan menjadi target SWI, Kominfo, Google Indonesia, dan Direktorat
Cybercrime Polri.

4. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEAMANAN DATA KONSUMEN DALAM


BISNIS FINTECH

Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman)
kepada masyarakat. Hukum merupakan sarana mutakhir dalam mengendalikan berbagai
perubahan di masyarakat sehingga perubahan yang ada mampu juga mewujudkan pembangunan
bangsa dan negara ke arah yang lebih positif. Hukum mampu memberikan solusi atas
kemungkinan penggunaan dan pemanfaatan iptek untuk sebesar-besarnya kemanfaatan dan
kelangsungan hidup manusia, dalam konteks Fintech, salah satu tujuan hukum adalah untuk
melindungi konsumen. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi
manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar
mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Apabila konsumen itu adalah
masyarakat,artinya melindungi konsumen berarti juga melindungi masyarakat. Salah satu bentuk
perlindungan hukum terhadap konsumen Fintech adalah perlindungan terhadap keamanan data
pribadinya.

Keberadaan OJK sebagai lembaga pengawas di sektor jasa keuangan, diharapkan mampu
melindungi konsumen dari PUJK yang dinilai dapat merugikan kepentingan konsumen, dalam hal
ini konsumen Fintech. OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengawasi kegiatan
usaha di sektor jasa keuangan, harus mampu melindungi konsumen pengguna jasa keuangan yang
menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan.

1. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 14/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan
Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen

Konsumen Fintech sebagai pengguna jasa keuangan memiliki hak untuk mendapatkan
perlindungan atas data pribadinya pada perusahaan Fintech yang memberikan jasa keuangan
kepadanya. Oleh karena itu, OJK melalui Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No.
14/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi
Konsumen, data pribadi yang harus dilindungi dalam bisnis Fintech di Indonesia yaitu:

1) Data perseorangan, yang harus dilindungi: nama, alamat, tanggal lahir dan/atau umur,
nomor telepon, dan/atau nama ibu kandung.

2) Data korporasi, yang harus dilindungi: nama, alamat, nomor telepon, susunan direksi dan
komisaris termasuk dokumen identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)/paspor/izin
tinggal, dan/atau susunan pemegang saham.

2. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 18 /SEOJK.02/2017

Tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, data pribadi yang harus dilindungi yaitu:

1) Perseorangan seperti: nama, alamat domisili, kartu identitas (KTP, Surat Izin Mengemudi
(SIM), paspor), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tanggal lahir dan/atau umur, alamat
email, IP address, nomor telepon, nomor rekening, nama ibu kandung, nomor kartu kredit,
identitas digital (biometrik), tanda tangan, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, rekening
koran, daftar harta kekayaan, data dan informasi terkait lainnya.

2) Korporasi: nama korporasi, alamat, nomor telepon, susunan direksi dan komisaris termasuk
dokumen identitas berupa KTP/ paspor/izin tinggal, susunan pemegang saham, nomor
rekening, rekening koran, daftar aset, dokumen perusahaan, data dan informasi terkait
lainnya.

3) Data dan informasi non-publik yang bersifat material: laporan keuangan, kinerja usaha,
keputusan manajemen, jumlah pelanggan, data dan informasi terkait lainnya.

4) Data dan informasi terkait transaksi keuangan.

5) Data dan informasi terkait kontrak/perjanjian.

3. Peraturan Menkominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem
Elektronik

Setiap pemilik data pribadi memiliki hak atas datanya dalam sistem elektronik. Hak-hak
tersebut diatur dalam Pasal 26, yaitu:
a. berhak atas kerahasiaan data pribadinya;
b. mengajukan pengaduan dalam rangka penyelesaian sengketa data pribadi atas kegagalan
perlindungan kerahasiaan data pribadinya oleh penyelenggara sistem elektronik kepada
menteri;
c. mendapatkan akses atau kesempatan untuk mengubah atau memperbarui data pribadinya
tanpa mengganggu sistem pengelolaan data pribadi, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan
peraturan perundang undangan;
d. mendapatkan akses atau kesempatan untuk memperoleh historis data pribadinya yang pernah
diserahkan kepada penyelenggara sistem elektronik sepanjang masih sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. dan meminta pemusnahan data perseorangan tertentu miliknya dalam sistem elektronik yang
dikelola oleh penyelenggara sistem elektronik, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. POJK No. 77 /POJK.01/ 2016 tentang Tata Kelola Sistem Teknologi Informasi
Penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Perlindungan data konsumen yang berkaitan dengan data pribadi diatur dalam Pasal 26. Pasal
tersebut mewajibkan penyelenggara untuk menjaga kerahasiaan data pribadi pengguna jasa.

Kemudian Pasal 29 mengatur bahwa penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar


perlindungan pengguna yaitu transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan
keamanan data serta penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat dan biaya
terjangkau.

5. POJK No. 13/POJK.02/ 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan

Tertuang pada bab X tentang Perlindungan dan Kerahasiaan Data Pasal 30

(1)Penyelenggara bisnis Fintech wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data
pribadi, data transaksi dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data
tersebut dimusnahkan.
(2)Ketentuan pemanfaatan data dan informasi pengguna yang diperoleh Penyelenggara harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Memperoleh persetujuan dari pengguna;
b. Menyampaikan batasan pemanfaatan data dan informasi kepada pengguna;
c. Menyampaikan setiap perubahan tujuan pemanfaatan data dan informasi kepada pengguna
dalam hal terdapat perubahan tujuan pemanfaatan data dan informasi; dan
d. Media dan metode yang digunakan dalam memperoleh data dan informasi terjamin
kerahasiaan, keamanan serta kebutuhannya.
5. USAHA PEMERINTAH DALAM MEMBERANTAS FINTECH ILLEGAL
Untuk mengatasi maraknya layanan pinjaman online ilegal, diperlukan beberapa upaya.

a. Pertama, perlu adanya sinergi kerja sama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kominfo), OJK, dan kepolisian dalam mengawasi layanan pinjaman online. Saat ini OJK
melalui satgasnya telah membuat langkah pencegahan terhadap layanan pinjaman online
ilegal. Hal tersebut dilakukan dengan mengumumkan daftar layanan pinjaman online yang
ilegal kepada masyarakat lalu mengajukan permohonan pemblokiran melalui Kominfo
untuk memutus akses keuangannya, kemudian menyampaikan laporan kepada pihak
kepolisian.
b. Kedua, peningkatan literasi digital masyarakat. Mengingat dampak negatif dari layanan
pinjaman online ilegal paling besar terjadi pada masyarakat, maka perlu adanya literasi
kepada masyarakat mengenai pinjaman berbasis digital/teknologi. Masyarakat perlu
mengetahui ketentuan, dampak, serta perlindungan hukum dari transaksi pinjaman online
tersebut. Masyarakat harus pintar dan waspada sebelum melakukan transaksi pinjaman
online, terutama pada layanan pinjaman online ilegal yang tidak terdaftar di OJK. Saat ini
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPBI) telah melakukan literasi kepada
masyarakat di berbagai daerah agar masyarakat memiliki pemahaman tentang cara memilih
pinjaman online yang aman.
c. Ketiga, perlunya regulasi terkait perlindungan bagi konsumen layanan pinjaman online
ilegal. Berdasarkan PJOK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dan POJK No. 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan
Digital di Sektor Jasa Keuangan, OJK hanya dapat memberikan sanksi bagi perusahaan
layanan pinjaman online yang terdaftar secara resmi di OJK (legal). Namun, OJK tidak
dapat memberikan sanksi lain selain menutup perusahaan bagi perusahaan layanan
pinjaman online ilegal. Padahal di satu sisi, banyak masyarakat yang mengalami kerugian
karena berinvestasi ataupun meminjam melalui perusahaan layanan pinjaman online ilegal.
Di sini dibutuhkan regulasi atau kebijakan khusus terkait perlindungan konsumen yang
menggunakan layanan pinjaman online ilegal.
d. Mekanisme perizinan atau pendaftaran perusahaan layanan pinjaman online di OJK. Sama
halnya dengan aturan mengenai sanksi, berdasarkan PJOK No. 77/ POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK No.
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, OJK juga
hanya berwenang untuk melakukan 22 pengawasan pada perusahaan layanan pinjaman
online yang telah terdaftar di OJK. Adanya perusahaan layanan pinjaman online ilegal
dapat dimungkinkan muncul akibat mekanisme perizinan di OJK yang sulit. Hal tersebut
hendaknya menjadi pertimbangan bagi OJK untuk mengevaluasi mekanisme perizinan
atau pendaftaran bagi perusahaan layanan pinjaman online.
e. Masyarakat dapat melakukan pengecekan legalitas perusahaan pinjaman online antara lain
dengan cara Kontak OJK 157, WhatsApp di 081157157157, cek Website OJK
(www.ojk.go.id) dan e-mail di konsumen@ojk.go.id. Jika masyarakat menemukan pinjol
illegal, masyarakat dapat melaporkan atau mengadukan kasus pinjol ilegal ke Kepolisian
untuk proses hukum ke https://patrolisiber.id/ dan info@cyber.polri.go.id. Selain itu,
masyarakat dapat melaporkan pada Satgas Waspada Investasi untuk pemblokiran ke
waspadainvestasi@ojk.go.id. Selain itu masyarakat juga dapat mengadukan konten ke
Kominfo melalui aduankonten.id,aduankonten@kominfo.go.id atau menghubungi
08119224545.

6. TINDAKAN KONSUMEN UNTUK MELINDUNGI DIRI DARI FINTECH ILEGAL


a. Meminjam hanya kepada fintech peer-to-peer lending yang terdaftar di OJK.
b. Cek legalitas dan rekam jejak digital perusahaan pinjol.
c. Besar pinjaman yang diajukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan bayar
d. Meminjam uang untuk kepentingan yang produktif dalam rangka meningkatkan
ekonomi keluarga.
e. Sebelum meminjam, pahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya.
f. Waspadai pencurian data pribadi
CONTOH KASUS
Binomo adalah platform binary option yang menyediakan aset berupa uang asing (forex),
saham, emas, dan perak. Situs trading binary option ini diluncurkan pada tahun 2014. Pengguna
situs ini Namun siapa sangka jika situs ini ternyata ilegal atau tidak resmi. Sehingga jika terjadi
kerugian investor Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) tidak dapat
memberikan fasilitas nasabah untuk melakukan mediasi. Baru-baru ini Satgas Waspada
Investasi (SWI) meminta masyarakat untuk waspada terhadap penawaran binary option dan
broker ilegal yang tidak terdaftar di Bappebti.
Sistem binary option mempunyai cara kerja yang mirip dengan judi. Sebab, pengguna
yang bermain akan diminta untuk menebak angka yang akan keluar dalam waktu relatif cepat.
Dalam praktiknya, situs binary option mengharuskan pengguna memilih aset seperti emas,
forex, saham hingga kripto, kemudian menebak harga dalam waktu tertentu. Pengguna diminta
mempertaruhkan modal untuk menebak. Sebagai contoh, seseorang mempertaruhkan modal
untuk menebak harga bitcoin lima menit kedepan. Jika tebakan orang tersebut benar, maka ia
akan mendapatkan keuntungan 80 % dari modal yang diberikannya. Namun jika salah, maka
semua yang ia pertaruhkan akan hilang. Maka dari itu, binary option sering disebut sebagai
permainan cash or nothing. Pengguna akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda jika
berhasil menebak, namun bisa rugi besar jika salah menebak.
Binary option bukan real market. Pengguna tidak membeli aset apapun, hanya menebak
angka saja. Felicia juga menyebutkan bahwa binary option mengandalkan pasar over the counter
(OTC). Di pasar tersebut, platform akan mengambil data dan harga dari real market seperti emas,
forex, saham, kripto, dan lain-lain. Binary option menerapkan teknik kompensasi saat
penggunanya kalah. Mereka bisa menebak harga lagi, dengan syarat modalnya harus lebih
tinggi. Praktik ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 8 Undang-undang Nomor 10
tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi. Investasi Ilegal Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa Binamo merupakan
platform investasi ilegal. Untuk mencegah merugikan masyarakat, pemerintah telah memblokir
situs investasi ilegal. Pemblokiran tersebut perlu dilakukan karena investasi bodong atau ilegal
telah memberikan banyak kerugian bagi masyarakat Indonesia. M Puncak kerugian terjadi pada
tahun 2020 dengan nominal sebesar Rp 5,9 triliun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat
dalam lima tahun terakhir, total kerugian masyarakat akibat investasi ilegal mencapai Rp 21,1
triliun. Jika dihitung dalam satu dekade penuh, maka uang masyarakat yang hilang akibat
investasi bodong mencapai Rp 114,9 triliun.
DAFTAR PUSTAKA

https://kontak157.ojk.go.id/appkpublicportal/Website/FileShowcase/AttDownload/39
https://ejurnalunsam.id/index.php/jhsk/article/download/3407/2534/
https://katadata.co.id/intan/finansial/620f6f9321321/mengenal-binomo-hingga-beragam-ciri-
investasi-ilegal
https://economy.okezone.com/read/2021/01/28/320/2352450/binomo-dan-fbs-diblokir-ini-
148-fintech-resmi-terdaftar-di-ojk
https://ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/direktori/fintech/Documents/Fintech%20Lending%20Legal%20vs.%20Ilegal.pdf
https://ejournal.uksw.edu/refleksihukum/article/view/2413/1226
https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat---4-II-P3DI-Februari-2019-
219.pdf

Anda mungkin juga menyukai