Disusun Oleh:
Ni Putu Bhatarisma Gerananda 1901030004
I Dewa Ayu Rai Utari 1901030015
I Gede Wikan Aditya 1901030018
Ni Kadek Dwi Febriani 1901030037
Ni Kadek Sintya 1901030038
1. Pengawasan dan pengaturan yang berfokus pada Fintech yang telah berkembang
dan digunakan di Indonesia
Untuk menyegerakan upaya perlindungan konsumen terkait produk Fintech di Indonesia,
maka OJK sebagai regulator perlu untuk menentukan fokus pada Fintech yang telah dan akan
berkembang di Indonesia. Fokus tersebut meliputi : Fintech lending; Fintech payment; Fintech
supporting (Fintech scoring, Fintech information site, Fintech financial management, Fintech
big data analytic). Adapun untuk Robo-Advisor, Blockchain, dan Bitcoin, meskipun merupakan
hal yang penting, namun hal tersebut belum menjadi hal yang urgent untuk dilakukan saat ini
dikarenakan tingkat literasi masyarakat Indonesia belum mendukung berkembangnya jenis-
jenis Fintech tersebut. Setelah menentukan area fokus tersebut, maka OJK dapat segera
melakukan pemetaan regulasi terkait yang ada di Indonesia. Tidak seperti halnya di Singapura,
Australia, maupun Inggris yang menerapkan sistem hukum yang bersifat Common Law,
Indonesia menerapkan sistem hukum yang bersifat European Continental (Civil Law) dimana
semua hal harus dinyatakan dan tercatat secara jelas dalam hukum. Jika suatu jenis Fintech yang
berkembang di Indonesia belum ada aturan hukumnya, maka apabila terjadi suatu
permasalahan, tidak terdapat dasar hukum untuk menyelesaikannya. Hal tersebut juga berkaitan
dengan perlindungan konsumen. Sesuai kewenangan OJK yang ada pada sektor jasa keuangan,
maka Fintech dari PUJK yang berkaitan dengan sektor jasa keuangan dapat diatur berdasarkan
UU OJK dan UU di masing masing sektor jasa keuangan. Fintech yang terkait dengan sektor
perbankan dapat diatur dengan hukum yang ada di sektor perbankan. Begitu juga dengan
Fintech yang terkait sektor pasar modal dan lembaga keuangan non-bank (contohnya seperti
asuransi, pembiayaan, pegadaian). Sedangkan untuk Fintech yang terkait dengan layanan
pembayaran dapat diatur dengan menggunakan peraturan di Bank Indonesia. OJK sebaiknya
menyusun standar atau pedoman terkait aspek perlindungan konsumen pada produk/layanan
Fintech yang menjadi cakupan kewenangannya, melengkapi pedoman lain yang berkaitan
dengan operasional layanan.Pedoman ini nantinya dapat digunakan oleh ketiga sektor
pengawasan OJK (Perbankan, IKNB, dan Pasar Modal) dalam melakukan pengawasan
Ketiga cara diatas diyakini dapat dilakukan oleh OJK atau regulator lainnya untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat dan konsumen tentang produk/layanan Fintech karena
dapat mitigasi potensi risiko seperti : risiko penipuan, risiko pemalsuan atau pencurian identitas,
dan risiko peretas. Trustmark sudah diberlakukan untuk menjadi legitimasi keamanan bisnis e-
commerce dan beberapa penyedia trustmark sudah ada saat ini.
2. Faktor Non-Normatif
a. Pengawasan P2P lending ilegal yang sulit dilakukan.
Pengawasan terkait P2P lending ilegal sulit dilakukan karena perkembangannya yang
sangat pesat padahal SWI (Satuan Waspada Investasi) membutuhkan waktu yang lama
untuk mendeteksi aplikasi P2P lending ilegal.
b. Pengetahuan atau literasi masyarakat yang minim terkait P2P lending.
Masyarakat masih asal dalam memilih website pinjaman online dan tidak mengetahui
dampak yang ditimbulkan apabila mereka melakukan pinjaman online di P2P lending
ilegal, misalnya tingginya suku bunga pinjaman yang akan memberatkan masyarakat.
c. Permintaan P2P lending ilegal yang tinggi dari masyarakat.
Banyak masyarakat yang lebih memilih melakukan pinjaman online melalui platform
P2P lending ilegal karena kemudahan dalam prosedur pinjaman jika dibandingkan dengan
P2P lending legal atau perbankan.
d. Kemudahan dalam proses pembuatan aplikasi atau website
Adanya kemajuan teknologi ditambah dengan proses pembuatan aplikasi atau website yang
mudah memungkinkan semua orang untuk membuat P2P lending ilegal. Disamping itu,
adanya kemajuan teknologi memungkinkan adanya keberadaan lintas negara. Fenomena
tersebut menyebabkan banyaknya server fintech P2P lending ilegal yang keberadaannya
dari luar negeri.
Pada dasarnya, OJK tidak memiliki kewenangan khusus dalam penanganan fintech P2P lending
illegal. Karena adanya keterbatasan tersebut, kemudian dibentuklah Satgas Waspada Investasi
(SWI) yang berada di bawah pengawasan OJK. SWI dibentuk untuk mencegah dan menangani
dugaan tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana dan pengelolaan investasi,
termasuk penghimpunan dana dan pengelolaan investasi yang dilakukan melalui platform fintech.
SWI merupakan forum koordinasi untuk menangani kasus-kasus penipuan berkedok penawaran
investasi atau penawaran investasi tanpa izin (ilegal) termasuk fitech ilegal. SWI merupakan hasil
kerja sama beberapa instansi pemerintah, dengan harapan agar upaya OJK untuk meminimalisir
perkembangan P2P lending ilegal dapat dioptimalkan dengan kerjasama antara para instansi
tersebut, sebab ada beberapa tugas dari Satgas yang pelaksanaannya bukan merupakan
kewenangan OJK. Namun karena adanya keterbatasan dari pihak OJK terkait penanganan P2P
lending ilegal, maka permasalahan tersebut belum dapat ditangani secara maksimal. Hal tersebut
dikarenakan fintech P2P lending ilegal bukan merupakan ranah kewenangan OJK. Karena adanya
keterbatasan tersebut, OJK melalui SWI hanya dapat meng-cover permasalahan yang berkaitan
dengan fintech P2P lending ilegal melalui kerjasama dengan beberapa instansi antara lain
Kemkominfo dan Bareskrim Polri. Saat ini OJK masih terus melakukan upaya terkait penanganan
terhadap P2P lending ilegal di Indonesia. Upaya tersebut dilakukan oleh OJK sebagai cara untuk
meminimalisir pertumbuhan P2P lending ilegal di Indonesia.
Berikut peranan OJK dalam melakukan upaya penanganan P2P lending ilegal:
1. Mencantumkan daftar P2P lending yang terdaftar dan berizin di website resmi OJK. Hal
tersebut dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan menggunakan fintech legal
sesuai data dalam website resmi OJK.
2. Mensosialisasikan kepada masyarakat terkait ciri-ciri P2P lending ilegal yang harus
dihindari.Beberapa website yang berada di bawah pengawasan OJK (www.duwitmu.com)
selalu update terkait permasalahan dan ciri-ciri P2P lending ilegal.
3. Memberitahukan kepada masyarakat mengenai data dan informasi P2P lending ilegal di
Indonesia. Pihak OJK selalu memberitahukan data terbaru terkait P2P lending ilegal tersebut
melalui keterangan resmi yang kemudian dapat dibaca pada website seperti CNN, Kompas,
Detik, dan lain sebagainya.
4. Melakukan penutupan terhadap P2P lending illegal.
Penutupan fintech P2P lending ilegal tersebut dilakukan oleh SWI dengan cara menghentikan
izin pengoperasian perusahaan fintech P2P lending ilegal di Indonesia.
5. Pemblokiran aplikasi dan website P2P lending ilegal secara rutin.
Pemblokiran aplikasi dan website tersebut dilakukan melalui permohonan atau pengajuan oleh
SWI kepada Kemkominfo.
6. Melakukan pemeriksaan secara selektif bagi perusahaan P2P lending yang mengajukan
pembukaan rekening baru SWI meminta agar pihak perbankan menghambat perkembangan
fintech P2P lending ilegal sejak awal pendaftaran rekening baru.
7. Memberlakukan aturan khusus bagi perusahaan P2P lending terkait fintech payment system.
Sesuai dengan POJK Nomor 77/POJK.01/2016, penyelenggara fintech P2P lending wajib
membuka virtual account di Bank yang berkedudukan di Indonesia serta telah memiliki izin
usaha sebagai Bank.
8. Menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri terkait tindakan cyber crime. SWI
akan menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri apabila para pelaku P2P lending
ilegal melakukan penagihan disertai teror, intimidasi, atau pencemaran nama baik.
Disamping banyaknya upaya yang telah dilakukan oleh OJK, namun upaya tersebut masih
dianggap belum maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya laporan terkait
permasalahan yang ditimbulkan oleh P2P lending ilegal. Dapat diketahui bahwa laporan fintech
P2P lending ilegal yang diterima OJK akhir-akhir ini meningkat jumlahnya. Beberapa laporan
yang diterima OJK terkait fintech P2P lending illegal antara lain yaitu:
1. Bunga pinjaman tinggi
2. Penagihan dilakukan dengan cara pengancaman sampai pencemaran nama baik
3. Penagihan dilakukan kepada kontak darurat yang dicantumkan oleh peminjam
4. Penyebaran data pribadi peminjam oleh perusahaan fintech ilegal
5. Penggunaan data KTP peminjam oleh perusahaan aplikasi fintech ilegal untuk
mengajukan pinjaman di aplikasi lain.
a. Adapun ciri - ciri perbedaan fintech lending ilegal vs Fintech lending legal
12. Akses Data Pribadi Meminta akses kepada seluruh Fintech Lending yang
pribadi yang ada di dalam terdaftar/berizin OJK
handphone (HP) Pengguna hanya diizinkan mengakses
diantaranya meminta dapat camera, microphone, dan
mengakses seluruh nomor location pada handphone
kontak di HP, foto, storage. Pengguna. Tidak
Data-data yang kemudian dibolehkan mengakses data
dapat disalahgunakan saat selain di atas baik langsung
melakukan penagihan maupun tidak langsung
selama UU Perlindungan
Data Pribadi belum
ditetapkan oleh DPR
13. Risiko bagi Lender Lender pada Penyelenggara Pada Penyelenggara Fintech
Fintech Lending ilegal Lending yang
memiliki risiko yang sangat terdaftar/berizin OJK, lalu
tinggi, terutama risiko lintas dana dilakukan
penyalahgunaan dana, melalui sistem perbankan
pengembalian pinjaman dan segala manfaat
yang tidak sesuai, dan/atau ekonomi maupun biaya
berpotensi praktik shadow yang dikenakan kepada
banking dan ponzi scheme Lender dinyatakan secara
jelas dalam perjanjian
1. Tidak ada regulator khusus yang bertugas mengawasi kegiatan usaha fintech ilegal.
2. Fintech ilegal melakukan kegiatan tanpa tunduk pada peraturan, baik POJK maupun peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
3. Bunga dan denda yang dibebankan oleh fintech ilegal sangat besar dan tidak transparan.
4. Melakukan penagihan dengan cara kasar, cenderung mengancam, tidak manusiawi, dan
bertentangan dengan hukum.
5. Proses pengajuan cenderung sangat mudah, tanpa menanyakan keperluan pinjaman.
6. Tidak memiliki asosiasi dan tidak dapat menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI).
7. Fintech ilegal akan menjadi target SWI, Kominfo, Google Indonesia, dan Direktorat
Cybercrime Polri.
Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman)
kepada masyarakat. Hukum merupakan sarana mutakhir dalam mengendalikan berbagai
perubahan di masyarakat sehingga perubahan yang ada mampu juga mewujudkan pembangunan
bangsa dan negara ke arah yang lebih positif. Hukum mampu memberikan solusi atas
kemungkinan penggunaan dan pemanfaatan iptek untuk sebesar-besarnya kemanfaatan dan
kelangsungan hidup manusia, dalam konteks Fintech, salah satu tujuan hukum adalah untuk
melindungi konsumen. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi
manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar
mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Apabila konsumen itu adalah
masyarakat,artinya melindungi konsumen berarti juga melindungi masyarakat. Salah satu bentuk
perlindungan hukum terhadap konsumen Fintech adalah perlindungan terhadap keamanan data
pribadinya.
Keberadaan OJK sebagai lembaga pengawas di sektor jasa keuangan, diharapkan mampu
melindungi konsumen dari PUJK yang dinilai dapat merugikan kepentingan konsumen, dalam hal
ini konsumen Fintech. OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengawasi kegiatan
usaha di sektor jasa keuangan, harus mampu melindungi konsumen pengguna jasa keuangan yang
menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan.
1. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 14/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan
Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen
Konsumen Fintech sebagai pengguna jasa keuangan memiliki hak untuk mendapatkan
perlindungan atas data pribadinya pada perusahaan Fintech yang memberikan jasa keuangan
kepadanya. Oleh karena itu, OJK melalui Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No.
14/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi
Konsumen, data pribadi yang harus dilindungi dalam bisnis Fintech di Indonesia yaitu:
1) Data perseorangan, yang harus dilindungi: nama, alamat, tanggal lahir dan/atau umur,
nomor telepon, dan/atau nama ibu kandung.
2) Data korporasi, yang harus dilindungi: nama, alamat, nomor telepon, susunan direksi dan
komisaris termasuk dokumen identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)/paspor/izin
tinggal, dan/atau susunan pemegang saham.
Tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, data pribadi yang harus dilindungi yaitu:
1) Perseorangan seperti: nama, alamat domisili, kartu identitas (KTP, Surat Izin Mengemudi
(SIM), paspor), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tanggal lahir dan/atau umur, alamat
email, IP address, nomor telepon, nomor rekening, nama ibu kandung, nomor kartu kredit,
identitas digital (biometrik), tanda tangan, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, rekening
koran, daftar harta kekayaan, data dan informasi terkait lainnya.
2) Korporasi: nama korporasi, alamat, nomor telepon, susunan direksi dan komisaris termasuk
dokumen identitas berupa KTP/ paspor/izin tinggal, susunan pemegang saham, nomor
rekening, rekening koran, daftar aset, dokumen perusahaan, data dan informasi terkait
lainnya.
3) Data dan informasi non-publik yang bersifat material: laporan keuangan, kinerja usaha,
keputusan manajemen, jumlah pelanggan, data dan informasi terkait lainnya.
3. Peraturan Menkominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem
Elektronik
Setiap pemilik data pribadi memiliki hak atas datanya dalam sistem elektronik. Hak-hak
tersebut diatur dalam Pasal 26, yaitu:
a. berhak atas kerahasiaan data pribadinya;
b. mengajukan pengaduan dalam rangka penyelesaian sengketa data pribadi atas kegagalan
perlindungan kerahasiaan data pribadinya oleh penyelenggara sistem elektronik kepada
menteri;
c. mendapatkan akses atau kesempatan untuk mengubah atau memperbarui data pribadinya
tanpa mengganggu sistem pengelolaan data pribadi, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan
peraturan perundang undangan;
d. mendapatkan akses atau kesempatan untuk memperoleh historis data pribadinya yang pernah
diserahkan kepada penyelenggara sistem elektronik sepanjang masih sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. dan meminta pemusnahan data perseorangan tertentu miliknya dalam sistem elektronik yang
dikelola oleh penyelenggara sistem elektronik, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. POJK No. 77 /POJK.01/ 2016 tentang Tata Kelola Sistem Teknologi Informasi
Penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
Perlindungan data konsumen yang berkaitan dengan data pribadi diatur dalam Pasal 26. Pasal
tersebut mewajibkan penyelenggara untuk menjaga kerahasiaan data pribadi pengguna jasa.
5. POJK No. 13/POJK.02/ 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan
(1)Penyelenggara bisnis Fintech wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data
pribadi, data transaksi dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data
tersebut dimusnahkan.
(2)Ketentuan pemanfaatan data dan informasi pengguna yang diperoleh Penyelenggara harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Memperoleh persetujuan dari pengguna;
b. Menyampaikan batasan pemanfaatan data dan informasi kepada pengguna;
c. Menyampaikan setiap perubahan tujuan pemanfaatan data dan informasi kepada pengguna
dalam hal terdapat perubahan tujuan pemanfaatan data dan informasi; dan
d. Media dan metode yang digunakan dalam memperoleh data dan informasi terjamin
kerahasiaan, keamanan serta kebutuhannya.
5. USAHA PEMERINTAH DALAM MEMBERANTAS FINTECH ILLEGAL
Untuk mengatasi maraknya layanan pinjaman online ilegal, diperlukan beberapa upaya.
a. Pertama, perlu adanya sinergi kerja sama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kominfo), OJK, dan kepolisian dalam mengawasi layanan pinjaman online. Saat ini OJK
melalui satgasnya telah membuat langkah pencegahan terhadap layanan pinjaman online
ilegal. Hal tersebut dilakukan dengan mengumumkan daftar layanan pinjaman online yang
ilegal kepada masyarakat lalu mengajukan permohonan pemblokiran melalui Kominfo
untuk memutus akses keuangannya, kemudian menyampaikan laporan kepada pihak
kepolisian.
b. Kedua, peningkatan literasi digital masyarakat. Mengingat dampak negatif dari layanan
pinjaman online ilegal paling besar terjadi pada masyarakat, maka perlu adanya literasi
kepada masyarakat mengenai pinjaman berbasis digital/teknologi. Masyarakat perlu
mengetahui ketentuan, dampak, serta perlindungan hukum dari transaksi pinjaman online
tersebut. Masyarakat harus pintar dan waspada sebelum melakukan transaksi pinjaman
online, terutama pada layanan pinjaman online ilegal yang tidak terdaftar di OJK. Saat ini
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPBI) telah melakukan literasi kepada
masyarakat di berbagai daerah agar masyarakat memiliki pemahaman tentang cara memilih
pinjaman online yang aman.
c. Ketiga, perlunya regulasi terkait perlindungan bagi konsumen layanan pinjaman online
ilegal. Berdasarkan PJOK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dan POJK No. 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan
Digital di Sektor Jasa Keuangan, OJK hanya dapat memberikan sanksi bagi perusahaan
layanan pinjaman online yang terdaftar secara resmi di OJK (legal). Namun, OJK tidak
dapat memberikan sanksi lain selain menutup perusahaan bagi perusahaan layanan
pinjaman online ilegal. Padahal di satu sisi, banyak masyarakat yang mengalami kerugian
karena berinvestasi ataupun meminjam melalui perusahaan layanan pinjaman online ilegal.
Di sini dibutuhkan regulasi atau kebijakan khusus terkait perlindungan konsumen yang
menggunakan layanan pinjaman online ilegal.
d. Mekanisme perizinan atau pendaftaran perusahaan layanan pinjaman online di OJK. Sama
halnya dengan aturan mengenai sanksi, berdasarkan PJOK No. 77/ POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK No.
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, OJK juga
hanya berwenang untuk melakukan 22 pengawasan pada perusahaan layanan pinjaman
online yang telah terdaftar di OJK. Adanya perusahaan layanan pinjaman online ilegal
dapat dimungkinkan muncul akibat mekanisme perizinan di OJK yang sulit. Hal tersebut
hendaknya menjadi pertimbangan bagi OJK untuk mengevaluasi mekanisme perizinan
atau pendaftaran bagi perusahaan layanan pinjaman online.
e. Masyarakat dapat melakukan pengecekan legalitas perusahaan pinjaman online antara lain
dengan cara Kontak OJK 157, WhatsApp di 081157157157, cek Website OJK
(www.ojk.go.id) dan e-mail di konsumen@ojk.go.id. Jika masyarakat menemukan pinjol
illegal, masyarakat dapat melaporkan atau mengadukan kasus pinjol ilegal ke Kepolisian
untuk proses hukum ke https://patrolisiber.id/ dan info@cyber.polri.go.id. Selain itu,
masyarakat dapat melaporkan pada Satgas Waspada Investasi untuk pemblokiran ke
waspadainvestasi@ojk.go.id. Selain itu masyarakat juga dapat mengadukan konten ke
Kominfo melalui aduankonten.id,aduankonten@kominfo.go.id atau menghubungi
08119224545.
https://kontak157.ojk.go.id/appkpublicportal/Website/FileShowcase/AttDownload/39
https://ejurnalunsam.id/index.php/jhsk/article/download/3407/2534/
https://katadata.co.id/intan/finansial/620f6f9321321/mengenal-binomo-hingga-beragam-ciri-
investasi-ilegal
https://economy.okezone.com/read/2021/01/28/320/2352450/binomo-dan-fbs-diblokir-ini-
148-fintech-resmi-terdaftar-di-ojk
https://ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/direktori/fintech/Documents/Fintech%20Lending%20Legal%20vs.%20Ilegal.pdf
https://ejournal.uksw.edu/refleksihukum/article/view/2413/1226
https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat---4-II-P3DI-Februari-2019-
219.pdf