Anda di halaman 1dari 201

Yandri Mursalim_N21021089

Pengumpulan proyek tugas uas

J1urnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1kan
Volume 20, Nomor 3, 325 - 334 The
ISSN 1412-565 X re
Desember 2020 are
e-ISSN 2541-4135
ma
Tantangan Belajar Bahasa Inggris di ny
obst
Sekolah Pedesaan
acle
s
Challenges of Learning English in fou
Rural School nd
in
lear
Hariya Harlina* & nin
Fazri Nur Yusuf g
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa
Barat, Indonesia Eng
hariyaharlin lish
a@gmail.co in
m* rur
al
Naskah diterima tanggal 11/09/2020, direvisi akhir tanggal 23/12/2020, disetujui sch
tanggal 31/12/2020 ools
.
The
A obst
b acle
s s
t that
r enc
a oun
k tere
Terdapat banyak kendala yang ditemukan pada pembelajaran bahasa Inggris di d
sekolah pedesaan. Kesulitan yang ditemui dalam pembelajaran bahasa Inggris rela
di sekolah pedesaan berkaitan dengan kondisi siswa, lingkungan, dan juga ted
kompetensi guru bahasa Inggris. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor to
kendala yang muncul pada pembelajaran bahasa Inggris di sekolah pedesaan. the
Penelitian ini menggunakan desain metode kualitatif dengan dua guru bahasa stud
Inggris sebagai responden. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masih ent
banyak kendala yang ditemui pada pembelajaran bahasa Inggris di sekolah con
pedesaan. Pembelajaran bahasa Inggris sulit karena beberapa sebab, diti
diantaranya rendahnya minat siswa terhadap pelajaran bahasa Inggris, ons,
kurangnya support terhadap pembelajaran bahasa Inggris seperti support dari the
orang tua dan lingkungan sekitar, serta kualitas guru bahasa Inggris yang lear
dinilai masih rendah. nin
Kata kunci: Tantangan Belajar Bahasa Inggris; g
Sekolah Pedesaan. envi
ron
men
A t,
b and
s the
t com
r pete
nce
J2urnal Penelitian Jurnal Penelitian
Pendidikan Pendidi2kan
of English teachers. This study aims to explore the obstacles that occured in
learning English in rural schools. This study used a qualitative research design
with two English teachers as the respondents. The results showed that there are
still many obstacles encountered by rural schools in learning English. Learning
English is difficult because of several reasons, including the low interest
of students in learning English, the lack of support for learning English such as
support from parents and the environment, and the low quality of English
teachers.
Keywords: Challenges in Learning
English, Rural School.

J3urnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3kan
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

I. PENDAHULUAN tiba.
Bahasa Inggris merupakan salah satu Selain itu, kurikulum yang sering kali
bahasa terpenting di dunia saat ini (Crystal, layak juga menjadi kendala. Bahkan beberapa
1997). Bahasa inggris sangat dibutuhkan sekolah seringkali tidak bisa melakukan proses
hampir dalam semua aspek kehidupan pembelajaran saat musim penghujan
seperti dunia pendidikan, dunia kerja,
bisnis, dan lain sebagainya. Dengan
menguasai bahasa Inggris seseorang dapat
dikatakan berpeluang besar dalam berbagai
kesempatan mendapat pekerjaan. Sehingga
hal tersebut membuat semua negara
mendorong warganya untuk belajar bahasa
Inggris, tidak terkecuali Indonesia. Namun,
posisinya sebagai bahasa asing di Indonesia
membuat pengajaran bahasa Inggris
memiliki tantangan tersendiri (Akbari,
2015). Bahasa Inggris telah diajarkan di
negara ini sejak lama, mulai dari tingkat
sekolah menengah hingga tingkat
universitas, namun hal ini tidak menjamin
siswa tidak mengalami kesulitan dalam
belajar bahasa Inggris.
Pengajaran bahasa Inggris menjadi
semakin sulit bagi siswa terutama ketika
pembelajaran bahasa Inggris dikaitkan
dengan konteks sekolah pedesaan. Hal
tersebut sangat erat kaitannya dengan sumber
daya dan lingkungan belajar yang tidak
memadai. Sekolah pedesaan tidak memiliki
banyak kesempatan untuk mengetahui bahasa
Inggris seperti halnya sekolah perkotaan.
Akses untuk mendapat informasi tentang
bahasa Inggris sangat terbatas. Sehingga
siswa dalam kesehariannya tidak mengenal
bahasa Inggris dengan baik, yang kemudian
hal tersebut berakibat pada kurangnya minat
mereka dalam belajar bahasa Inggris.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplor tantangan yang muncul pada
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah
pedesaan. Sekolah pedesaan identik dengan
fasilitas yang tidak memadai dalam berbagai
aspek. Keberadaan buku-buku sebagai
sumber belajar sering tidak cukup, ruang
kelas yang tidak memadai, dan tidak
tersedianya layanan internet yang pada saat
ini telah menjadi hal umum dan biasa
digunakan untuk mengakses sumber belajar
lainnya. Ketersediaan gedung sekolah yang

J4urnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4kan
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN
berubah-ubah membuat guru dan 1991). Menurut Rich & Evans (2009), jumlah
pihak siswa di setiap kelas sekolah pedesaan
sekolah pedesaan kewalahan untuk biasanya tidak lebih dari 30 siswa. Daerah
mengikuti aturan kurikulum baru. Seperti sekolah pedesaan juga sering
contoh penggunaan kurikulum 2013 saat ini
menjadi tantangan besar bagi guru maupun
siswa sekolah pedesaan. Isi kurikulum 2013
lebih menekankan pembelajaran saintifik
dimana pendekatan ini fokus ke keaktifan
siswa dalam belajar. Hal tersebut menjadi
tantangan yang besar bagi siswa karena
pembelajaran mereka siswa sekolah
pedesaan biasanya (jika tidak selalu)
berfokus kepada guru.
Selain menjadi tantangan bagi siswa,
kurikulum 2013 juga menjadi tantangan bagi
guru dimana gurupun diharapkan mampu
menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam
mengembangkan rencana pembelajaran di
kelas. Kesuksesan kurikulum ini dipandang
berkesempatan lebih besar pada sekolah kota
yang tentunya memiliki pendukung yang
maksimal. Sementara untuk sekolah
pedesaan yang memiliki segala macam
polemik terkait fasilitas dan pendukung
pendidikan, pelaksanaan kurikulum 2013
yang notabenenya merupakan kurikulum
yang banyak menggunakan media teknologi
dirasa akan sulit terealisasi dan akan
menyulitkan guru maupun siswa sendiri
(Nurfuadah, 2014).
Bagian ini akan memaparkan kondisi
sekolah pedesaan dan kualitas guru bahasa
Inggris di sekolah pedesaan.

1.1. Kondisi Sekolah


Pedesaan
Tantangan yang paling besar
yang
dihadapi oleh Indonesia dalam sistem
pendidikannya adalah letak geografis
yang
luas serta banyaknya daerah pedesaan.
Kesenjangan letak geografis dari daerah
yang satu ke daerah yang lain membuat
pemerataan fasilitas pendidikan menjadi hal
yang sulit terwujud (Luschei & Zubaidah,
2012, yang dikutip dari Febriana et al.,
2018). Sekolah pedesaan memiliki
karakteristik jumlah siswa pada setiap kelas
cenderung lebih sedikit dan lokasi sekolah
yang jauh dari perkotaan (Mccracken et al.,
J5urnal Penelitian Jurnal Penelitian
Pendidikan Pendidi5kan
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN
menggunakan konsep sekolah yang berlokasi Selain itu para orang tua juga tidak
di daerah pertanian dimana daerah pertanian menginginkan anaknya meninggalkan rumah.
acapkali dikaitkan dengan masyarakat tingkat Kekhawatiran mereka dilatarbelakangi oleh
ekonomi menengah kebawah (Bonnano, alasan bahwa pada umumnya, anak-anak atau
2014, seperti dikutip dalam Biddle & Azano,
2016).
Selain itu, du Plessis (2014)
menyebutkan beberapa ciri-ciri daerah
pedesaan menurut UNESCO 2005,
diantaranya: jarak pedesaan yang umumnya
jauh dari pusat perkotaan; kondisi topografi
yang tidak mendukung, seperti kondisi jalan,
jembatan dan lain sebagainya; akses ke
berbagai teknologi informasi sangat kurang;
serta infrastruktur transportasi seperti bus,
taksi; akses ke layanan dan fasilitas seperti
listrik, air, sanitasi; kesehatan, pendidikan,
dan status ekonomi masyarakat yang
cenderung di bawah garis kemiskinan.
Sekolah yang menjadi objek penelitian
ini terletak di daerah pedesaan dimana tidak
banyak media atau sumber belajar yang
mendukung dalam pembelajaran bahasa
Inggris. Di samping itu, kondisi siswa di dua
sekolah tersebut tidak terlalu memperhatikan
pentingnya belajar bahasa Inggris, begitu
juga dengan lingkungan keluarga dan
masyarakat sekitar. Sudut pandang
masyarakat terhadap sekolah perkotaan dan
pedesaan berbeda. Sekolah yang berada di
daerah pedesaan cenderung memiliki siswa
lebih sedikit dan biaya sekolah rendah
daripada sekolah perkotaan (Howley et al.,
2009).
Terkait dengan masalah ini, banyak (jika
tidak semua) keluarga ekonomi menengah ke
bawah yang tinggal di daerah pedesaan
menganggap bahwa pendidikan tidak dapat
menjamin kesuksesan dalam hidup mereka.
Selain itu, daerah pedesaan adalah tempat
yang ditandai oleh berbagai faktor seperti
keterbatasan sarana dan prasarana, rendahnya
kesejahteraan masyarakat, dan juga kualitas
pendidikan yang dianggap tidak memadai
dan pendidikan yang sering diabaikan (du
Plessis,
2014). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
orang tua yang menganggap bahwa
pendidikan tidak dapat menjamin
kesejahteraan hidup mereka.

J6urnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi6kan
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

pemuda yang meninggalkan komunitas mempengaruhi pola pikir siswa sekolah


pedesaan baik untuk belajar atau bekerja ke pedesaan. Siswa sekolah pedesaan cenderung
luar daerah tidak akan pernah kembali. merasa rendah diri dan menganggap diri
Mereka akan menetap di daerah tertentu
untuk mencari penghidupan yang lebih baik
dari daerah asal mereka (Stricker, 2008,
seperti dikutip dalam Howley et al., 2009).
Pola pikir orang tua yang telah ditanamkan
sejak awal tidak dapat diubah dengan mudah.
Para orang tua sulit membiarkan anak
mereka masuk sekolah maupun melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Mereka lebih menyukai anak mereka bekerja
daripada bersekolah (Febriana et al., 2018).
Kesulitan ekonomi juga menjadi salah
satu kendala bagi masyarakat pedesaan dan
membuat para orang tua untuk tidak
menyekolahkan anak-anak mereka ke
jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, tidak
sedikit dari masyarakat pedesaan yang tidak
pernah mengenyam bangku sekolah sejak
lahir, tidak juga bangku sekolah dasar.
Sehingga orang tua yang buta huruf dan
tidak bisa berhitung banyak ditemukan
daerah pedesaan (du Plessis,
2014). Pelajar di daerah pedesaan tidak
mendapat dukungan yang cukup dari orang
tua mereka karena alasan-alasan tersebut.
Kondisi ini bahkan menjadi lebih buruk
karena pendapat dari masyarakat sekitar dan
bahkan pihak pemerintah yang menganggap
hal ini sebagai hal yang biasa terjadi di
daerah pedesaan. Daripada membantu untuk
meluruskan pola pikir masyarakat pedesaan
tentang pendidikan, mereka lebih condong
membiarkan hal tersebut sebagai suatu hal
yang lumrah terjadi.
Selain itu, sumber daya pendukung
pembelajaran seperti buku, media proyektor,
dan lainnya tidak tersedia dengan cukup,
sehingga fokus pembelajaran hanya pada
penjelasan guru (DeYoung, 1991; Febriana
et al., 2018). Faktor-faktor itu membuat
masyarakat dari keluarga ekonomi menengah
ke atas cenderung meremehkan sekolah di
daerah pedesaan dan lebih suka memasukkan
anak-anak mereka ke sekolah favorit yang
sebagian besar memiliki biaya sekolah tinggi
dan fasilitas sekolah yang memadai. Sudut
pandang tersebut secara tidak langsung

J7urnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi7kan
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

mereka tidak lebih baik daripada siswa di kesulitan untuk merekrut guru yang
sekolah perkotaan (Hargreaves et al. 2009, berkualitas karena beberapa pertimbangan,
dikutip dari Febriana et al., 2018). termasuk akses

1.2. Kualitas Guru Bahasa Inggris


Guru memiliki peran penting dalam
mencapai tujuan pembelajaran di kelas. Guru
sebagai pendidik haruslah seseorang yang
memiliki profesionalisme tinggi dan
kemampuan tinggi untuk membantu
mendidik siswa. Guru harus mampu menjahit
potongan tantangan sebagai jalan yang dapat
dilalui agar siswa tidak terpuruk pada
motivasi rendah dalam belajar. Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, membimbing, mengajar,
mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi siswa dalam pendidikan formal
(Sadulloh, 2018).
Keterampilan guru yang berbeda dapat
menghasilkan hasil belajar yang berbeda
juga. Oleh karena itu, diharapkan guru
bahasa Inggris dapat memiliki pengetahuan
yang luas dalam membimbing siswa dalam
mengembangkan kemampuan belajar bahasa
Inggris. Mutu sekolah pedesaan lebih rendah
dibanding sekolah di perkotaan dilihat dari
ketersediaan guru yang berkompeten dan
akses terhadap sumber belajar yang lebih
mudah.
Beberapa penelitian menganggap bahwa
guru di sekolah perkotaan memiliki lebih
banyak akses dalam mengembangkan materi
pelajaran, sedangkan guru sekolah pedesaan
lebih sering kekurangan akses dalam
mengembangkan materi pelajaran. Hal ini
kemudian mendorong proses pembelajaran di
kelas hanya berfokus kepada guru
(Hargreaves et al. 2009, dikutip dari Febriana
et al., 2018). Fokus pembelajaran yang hanya
berada di tangan guru mengakibatkan siswa
tidak memiliki kemauan dan kemampuan
dalam belajar mandiri. Barley & Beesley
(2007, dikutip dari du Plessis, 2014) juga
mengemukakan bahwa ketidakberhasilan
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah-
sekolah pedesaan dipengaruhi oleh
kekurangan guru yang berkualitas dan
sumber daya yang mendukung proses
pembelajaran. Sekolah pedesaan mengalami

J8urnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi8kan
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

terbatas ke sekolah, gaji yang lebih sedikit lain-lain, sebagai target yang diharapkan dari
jika dibandingkan sekolah perkotaan, sumber proses belajar-mengajar. Selain itu, untuk
daya dan fasilitas sekolah yang tidak mengetahui apakah tujuan pembelajaran telah
mencukupi (du Plessis, 2014; Knoblauch & dicapai oleh siswa, proses penilaian
Chase, 2015). (assessment) hasil siswa perlu dilakukan
Biddle & Azano (2016) juga (Jabbarifar, 2009; Looney et al., 2018).
mengidentifikasi perekrutan guru dan Penilaian pembelajaran
pelatihan guru sebagai topik umum yang
sebagian besar muncul di sekolah pedesaan.
Guru-guru sekolah pedesaan perlu memiliki
pelatihan mengenai proses belajar-mengajar,
seperti pengembangan metode dan strategi
dalam pengajaran bahasa Inggris,
pelatihan
penggunaan media ajar, maupun pelatihan
dalam membuat materi yang menarik
minat siswa. (Shibley, 1917, seperti dikutip
dalam Biddle & Azano, 2016) menyatakan
bahwa isolasionisme di pedesaan sering
berdampak pada proses belajar-mengajar di
sekolah. Oleh karena itu, guru di sekolah
pedesaan membutuhkan lebih banyak
pelatihan dan persiapan awal.
Seorang guru dikatakan berkualitas salah
satunya dikarenakan guru memiliki
kemampuan untuk merancang kegiatan
belajar
dalam suatu rencana pembelajaran, dimana
rencana pembelajaran itu merupakan
kelengkapan belajar yang diambil dari
kurikulum pendidikan dan menjadi panduan
utama proses pembelajaran. Seperti yang
dikatakan Nunan (1999) bahwa kurikulum
pendidikan merupakan elemen yang sangat
penting pada proses pembelajaran dan guru
sebagai pendidik memegang peranan penting
dalam mengimplementasikannya di kelas.
Richard (2001, seperti dikutip
Nurfuadah,
2014) mengatakan kurikulum
pendidikan
terdiri dari seluruh kegiatan pembelajaran di
kelas, dimulai dari bagaimana siswa belajar,
bagaimana guru membantu siswa belajar,
jenis materi pembelajaran, metode apa yang
diterapkan guru, bagaimana guru menilai
tugas siswa, serta mencakup fasilitas
pembelajaran yang digunakan di dalam
kelas.
Kegiatan belajar harus dimasukkan
dalam perangkat rencana pembelajaran yang
berisi tujuan pembelajaran, indikator, dan

J9urnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi9kan
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

adalah bagian penting dari keseluruhan yang terkait dengan masalah sosial (Creswell
proses pembelajaran sehingga kegiatan
penilaian harus dilakukan oleh guru selama
proses pembelajaran.
Ada dua fungsi utama penilaian kelas,
pertama adalah untuk menunjukkan apakah
proses pembelajaran telah berhasil mencapai
tujuan pembelajaran atau tidak, kedua adalah
untuk menjelaskan harapan para guru tentang
siswa (Biggs, 1999; Dunn et al., 2004, seperti
dikutip di Jabbarifar, 2009). Dengan
demikian, kemampuan untuk melakukan
penilaian adalah kemampuan yang
diperlukan untuk setiap staf pengajar.
Jelaslah bahwa dalam semua referensi yang
berkaitan dengan tugas belajar, selalu
ditekankan pentingnya kemampuan guru
untuk menilai dan kemampuan ini selalu
menjadi salah satu indikator kualitas
kompetensi guru.
Terlepas dari itu, seorang guru yang
baik juga dapat dilihat dari beberapa hal
diantara kepribadian guru, perilaku guru
terhadap siswa di dalam dan di luar kelas,
pemahaman guru tentang kebutuhan siswa,
dan bahkan
dari gaya berpakaian guru (Harmer, 2007).
Sebagai tambahan, guru yang baik adalah
orang yang mampu menginspirasi siswa,
menghormati siswa, membuat suasana yang
baik dalam mengajar, menyediakan beberapa
media kreatif, memperhatikan kebutuhan
siswa dan menghargai usaha yang dilakukan
siswa saat proses belajar-mengajar
berlangsung. Juga, guru yang baik adalah
seseorang yang dapat mengoreksi atau
mengkritik siswa tanpa menyinggung
perasaan mereka (Harmer, 2007).
Meskipun masing-masing guru memiliki
kepribadian yang beragam serta cara yang
berbeda dalam berinteraksi dengan siswa,
namun etika guru yang baik dapat lebih
memberi kesan yang baik terhadap siswa
sehingga hal tersebut secara tidak langsung
bisa mempengaruhi kepercayaan diri siswa
dalam mengajar.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan desain
penelitian kualitatif. Desain penelitian ini
digunakan untuk mengeksplorasi dan
memahami makna individu atau kelompok

J1u0rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k0an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

& Guetterman, 2018). Penelitian ini 3.1. Hasil


bertujuan untuk mengetahui tantangan dari
Penelitian ini bertujuan untuk
pembelajaran bahasa Inggris yang ada di
mengeksplore kesulitan dalam pembelajaran
sekolah pedesaan. Pertanyaan yang muncul
bahasa Inggris di sekolah pedesaan. Observasi
terkait dengan topik penelitian ini adalah (1)
kelas dan wawancara digunakan untuk
Apa saja tantangan belajar bahasa Inggris
yang sering muncul di sekolah pedesaan?
Partisipan dalam penelitian ini adalah
dua guru bahasa Inggris dari dua sekolah
yang berbeda. Untuk mengumpulkan data,
wawancara semi-struktur dan observasi kelas
telah dilakukan. Wawancara semi-struktur
bertujuan untuk mengetahui tantangan
belajar bahasa Inggris dari perspektif guru
bahasa Inggris. Wawancara semi-struktur
digunakan untuk mendapat data yang lebih
luas dan dalam.
Instrumen selanjutnya adalah observasi
kelas, dimana observasi ini bertujuan
untuk mengamati perilaku guru dan siswa
saat proses pembelajaran berlangsung. Jenis
observasi kelas yang digunakan adalah
observasi non- partisipan yang artinya
peneliti hanya datang sebagai observer, tidak
mengambil bagian dari aktifitas belajar di
kelas.
Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan empat langkah, yaitu: kode,
konsep, kategori, dan teori (Mente et
al.,
2011). Data yang diperoleh dari dua
instrumen kemudian dikodekan untuk
menemukan data yang dibutuhkan untuk
menjadi data yang dapat memberikan
jawaban atas pertanyaan dalam penelitian,
dikarenakan tidak semua data yang
diperoleh sesuai dengan kebutuhan
penelitian, terutama data yang diperoleh dari
jenis pertanyaan terbuka.
Setelah melalui tahap pengkodean, data
kemudian dikonseptualisasikan atau
disatukan sesuai dengan kesamaan konten.
Selanjutnya data dikategorikan sehingga
akan menghasilkan teori, dan tahap terakhir
adalah data dijelaskan secara lebih detail
dan mendalam, sehingga akan membentuk
teori penelitian.

III. HASIL DAN


PEMBAHASAN

J1u1rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k1an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

mengambil data. Hasil data yang didapatkan pelajaran bahasa Inggris dan menjadikannya
dianalisis menggunakan empat metode yang pilihan
dirancang oleh (Mente et al., 2011). Data
yang didapat dari penelitian ini menunjukkan
bahwa sekolah pedesaan mengalami
kesulitan dalam pembelajaran bahasa Inggris
di kelas. Kesulitan tersebut akan dibahas
secara mendalam di bagian selanjutnya.

3.2. Pembahasan
Penelitian ini menemukan bahwa
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah
pedesaan mempunyai kendala yang lebih
besar jika dibandingkan dengan sekolah yang
berada di perkotaan (Plessis, 2014; Ponmozhi
& Thenmozhi, 2017; Hargreaves et al. 2009,
dikutip dari Febriana et al., 2018).
Hal tersebut dikarenakan berbagai faktor
di antaranya minat siswa terhadap pelajaran
bahasa Inggris terhitung rendah, kurangnya
dukungan dari orang tua dan lingkungan,
serta kompetensi guru bahasa Inggris yang
terbilang rendah. Berikut adalah penjelasan
lebih lanjut dari faktor yang menjadi kendala
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah
pedesaan.

A. Minat Siswa Terhadap Bahasa Inggris


Bahasa Inggris saat ini dikenal luas oleh
siswa di sekolah kota, namun lain halnya
dengan sekolah yang ada di pedesaan
(Ponmozhi & Thenmozhi, 2017). Bahasa
Inggris di lingkungan pedesaan tidak dikenal
secara luas baik itu di dalam lingkungan
sekolah maupun di luar sekolah (du Plessis,
2014). Siswa pedesaan tidak mengetahui
pentingnya belajar bahasa Inggris selain
sebagai salah satu mata pelajaran pada ujian
nasional.
Kurangnya pengetahuan tentang bahasa
Inggris sangat berpengaruh besar pada minat
belajar yang tumbuh pada diri siswa. Selain
itu, anggapan bahwa bahasa Inggris adalah
pelajaran yang sulit membuat mereka tidak
menaruh minat yang besar dalam belajar
bahasa Inggris. Banyak dari mereka belajar
bahasa Inggris tidak secara maksimal.
Bahkan banyak dari siswa hanya bertujuan
untuk menjawab ujian nasional saja. Selain
itu, banyak siswa yang mengabaikan

J1u2rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k2an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

kesekian dari pelajaran yang lain. terjadi yang membuat guru bahasa Inggris
Holguín & Morales (2016) juga kewalahan.
menambahkan bahwa minat rendah dalam Guru pertama: “Kalau dikasih tugas itu
belajar dilihat dari tingkah laku siswa selama mereka kebanyakan ngeluh, ngeluh karena
proses pembelajaran di kelas berlangsung,
seperti siswa tidak menunjukkan antusias
selama proses pembelajaran bahasa Inggris.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa
sebagian besar siswa tidak memperhatikan
penjelasan guru dengan baik. Mereka
bahkan mengerjakan hal lain seperti
membaca novel, menggambar, bercanda
dengan teman lainnya.
Kemudian saat guru mencari perhatian
dengan menanyakan materi yang
disampaikan, sebagian besar siswa terdiam,
sebagian lagi merespon dengan mengatakan
„yes/no‟ walaupun pertanyaan jauh berbeda
dari jawaban „yes/no‟. Bahkan beberapa
siswa tertawa mendengar jawaban mereka
sendiri, yang menunjukkan bahwa mereka
tidak benar- benar serius dalam belajar.
Hal tersebut mencerminkan siswa tidak
paham dengan penjelasan maupun
pertanyaan yang dilontarkan oleh guru.
Selain itu, siswa sering kali meninggalkan
kelas saat pelajaran berlangsung dan kembali
ke kelas saat jam pelajaran usai. Hal tersebut
sesuai dengan hasil wawancara yang
dilakukan kepada dua guru di dua sekolah.
Guru pertama; “Siswa laki-laki
suka keluar kelas dan tidak kembali sampai
pelajaran habis. Saya tidak mungkin mencari
mereka sedangkan waktu belajar hanya dua
jam. Jadi saya serahkan kasus seperti ini ke
guru BK. Saya laporkan mereka yang
bertingkah dan tidak mau dibilangin.
Hampir di setiap jam pelajaran saya selalu
ada kasusnya. Dan kasus ini sering terulang,
mereka tidak kapok.”
Kendala lain yang ada di sekolah
pedesaan terkait dengan siswa adalah siswa
tidak ingin mengerjakan tugas yang
diberikan oleh guru. Berbagai macam alasan
mereka kemukakan agar guru tidak
memberikan tugas kepada mereka, di antara
alasan-alasan itu adalah siswa merasa tidak
paham atas tugas yang diberikan guru
sehingga mereka tidak akan mungkin bisa
mengerjakannya. Hal tersebut seringkali

J1u3rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k3an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

tidak bisa menjawab. Nantinya tugas sekolah tugas sendiri.”


itu terpaksa saya jadikan PR karena mereka
tidak pernah menyelesaikan tugasnya dengan
tepat waktu. Banyak sekali alasan mereka.
Jadi mau tidak mau saya jadikan dijadikan
PR. Besoknya, belum tentu juga mereka
kerjakan. Alasan lupa bawa dan macam-
macam.”
Kasus yang lain terjadi di sekolah kedua
dimana siswa tidak pernah hadir pada
kegiatan kursus tambahan yang diadakan di
sekolah. Kursus yang diadakan oleh pihak
sekolah dijadwalkan dua kali seminggu, yang
bertujuan untuk memberi pelajaran tambahan
serta memberi tambahan waktu untuk
menyelesaikan materi di kelas yang belum
tuntas. Namun hanya segelintir siswa yang
hadir dalam kursus tersebut. Bahkan
beberapa kali tidak ada siswa yang hadir
sama sekali.
Sebagian besar siswa beralasan bahwa
mereka mempunyai banyak kegiatan ekstra
kulikuler yang dilakukan sepulang sekolah,
sehingga mereka tidak bisa hadir dalam
pelajaran tambahan di sore hari. Ditambah
lagi, siswa tidak jujur dalam mengerjakan
tugas. Ketika diberikan PR membuat sebuah
teks, sebagian besar siswa biasanya mencari
teks yang sudah tersedia di buku maupun di
sumber lain, daripada membuat sendiri sesuai
kemampuan mereka. Hal tersebut mereka
akui sendiri pada gurunya tanpa rasa
bersalah.
Guru kedua; “Kalau mereka benar-benar
niat dan ingin belajar, tentu saja mereka akan
memilih bahasa Inggris daripada kegiatan
yang lain. Tapi buktinya hanya segelintir
siswa yang datang saat kursus. Saya juga
bilang, minimal datang sekali seminggu, tapi
tidak ada yang mau. Banyak alasannya anak-
anak ini kalau disuruh belajar.”
Guru kedua: “Berapa kali saya bilang
bikin tugas sesuai kemampuanmu, tapi
begitulah mereka. Ketika saya bandingkan
tugas yang asli dengan yang hasil contekan,
kelihatan jelas mana hasil mereka. Saat
mereka ditanya, ya mereka ngaku. Mereka
akan bilang, -yang penting jadi Bu Guru-
Aduh, saya tidak tahu harus bagaimana.
Cuma sedikit siswa yang sadar dan mau bikin

J1u4rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k4an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

B. Pengaruh Guru pertama: “Karena mereka tinggal di


Lingkungan asrama, menurut saya lingkungannya
Lingkungan dinilai sangat berpengaruh mendukung. Jika ditanya apakah mereka
terhadap diri seseorang. Lingkungan minat dalam pelajaran bahasa Inggris, ya
berpengaruh membentuk mindset maupun mereka akan jawab minat. Tapi kalau disuruh
motivasi seseorang untuk melakukan ngerjain
sesuatu, tidak terkecuali bagi siswa sekolah
pedesaan dalam belajar bahasa Inggris.
Pada umumnya, motivasi didefinisikan
sebagai cara untuk mempengaruhi seseorang
atau banyak orang untuk melakukan sesuatu
yang di dalamnya terdapat tujuan tertentu
(Uno
& Lamatenggo, 2010). Lingkungan sekolah
pedesaan yang tidak familiar dengan bahasa
Inggris membuat siswa juga tidak menaruh
minat besar terhadap pembelajaran bahasa
Inggris.
Selain itu, lingkungan keluarga atau
orang tua dan tempat tinggal juga sangat
berperan dalam membantu meningkatkan
kualitas belajar siswa. Namun, peran orang
tua di lingkungan pedesaan dalam membantu
siswa belajar bahasa Inggris dinilai sangat
rendah (Holguín & Morales, 2016).
Para orang tua tidak membantu
siswa
belajar dan juga tidak mengontrol siswa
secara maksimal. Orang tua di daerah
pedesaan tidak memberikan motivasi secara
khusus untuk siswa dalam mengembangkan
kemampuan belajar mereka terutama yang
berkaitan dengan pembelajaran bahasa
Inggris. Para orang tua lebih menekankan
anak untuk bekerja daripada bersekolah. Hal
tersebut terkait dengan kondisi
perekonomian di lingkungan pedesaan yang
biasanya berasal dari ekonomi kelas
menengah ke bawah. Sehingga, walaupun
anaknya bersekolah, mereka tidak
mengontrol sejauh mana perkembangan
anaknya dalam proses belajar di sekolah.
Pernyataan tersebut didukung oleh data yang
didapatkan dari wawancara dengan dua
guru bahasa Inggris dari dua sekolah.
Di sekolah kedua, dimana siswa tinggal
di asrama dalam lingkungan sekolah, guru
menganggap minat siswa belajar bahasa
Inggris lumayan besar. Akan tetapi minat
yang besar itu tidak sejalan dengan usaha
yang siswa lakukan dalam proses belajarnya.

J1u5rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k5an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

soal latihan saja, mereka ngeluh semua. Sebelumnya, guru meminta siswa bertanya
Mereka akan bilang bahasa Inggris itu sulit. terkait materi yang belum mereka pahami.
Jadi kan minat ya sekedar minat, gak
didukung dengan usaha mereka. Menurut
saya ya gitu. Minat harus dibarengi usaha
kan?”
Sebagai tambahan, di sekolah kedua,
guru menyampaikan polemik yang dihadapi
siswa terkait dengan kondisi ekonomi
keluarga dan lingkungan sekitar tempat
tinggal yang tidak mendukung siswa dalam
menjalankan peran sebagai pelajar.
Guru kedua: “Anak-anak di sini sekolah
sambil kerja. Pada saat jadwal mereka kerja,
mereka tidak akan masuk sekolah. Dalam
seminggu bisa dihitung sehari dua hari
mereka bisa masuk sekolah, tiga hari tidak
masuk ya alasannya karena kerja. Nanti
kalau kami larang mereka kerja, mereka pasti
akan jawab gak punya uang belanja. Jadi
kami bisa apa?”
Guru kedua: “Lagipula di lingkungan
tempat tinggal mereka, banyak teman sebaya
mereka yang tidak bersekolah. Jadi mereka
kadang ikut-ikutan tidak sekolah. Dan yang
saya heran, orang tua tidak melarang.
Dilepas begitu saja.”

C. Kompetensi Guru Bahasa Inggris


Kompetensi guru dinilai dari
kemampuan mereka dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran di kelas dengan
baik dan maksimal sehingga tujuan
pembelajaran mampu dicapai secara
maksimal juga. Dua guru bahasa Inggris dari
dua sekolah ini memiliki cara yang berbeda
dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.
Guru bahasa Inggris di sekolah pertama
menyampaikan materi sesuai dengan apa
yang ada di buku paket. Penjelasan materi
diuraikan dengan bahasa yang sederhana
untuk membuat siswa cepat mengerti. Guru
menyampaikan materi secara detail, seperti
menjelaskan pengertian teks, struktur teks,
ciri-ciri kebahasaan teks, tujuan serta
menunjukkan contoh yang kemudian dibahas
bersama.
Setelah selesai membahas contoh teks,
guru meminta siswa membuat teks seperti
yang sudah dibahas bersama sebagai tugas.

J1u6rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k6an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

Pertanyaan yang muncul dari siswa bukan bahwa perbedaan metode mengajar bisa jadi
ketidakmengertian mereka tentang isi materi, menghasilkan pemahaman siswa yang berbeda
akan tetapi siswa lebih banyak serta membuat pencapaian belajar berbeda
menanyakan arti kosa kata yang tidak pula. Kedua guru memberikan contoh teks
dipahami dari contoh teks yang ada. yang diambil dari internet dengan topik yang
Hal tersebut dikarenakan siswa tidak cukup berat, dengan kosa kata yang tidak
memiliki kamus yang lengkap sebagai salah
satu sumber belajar. Sekolah hanya
menyediakan beberapa kamus yang dibagi
dengan kelas lain yang juga mempunyai
jadwal bahasa Inggris di hari yang sama. Ini
menjadi salah satu bukti bahwa fasilitas
sekolah sangat membantu terlaksananya
proses pembelajaran di kelas. Jika fasilitas
pembelajaran tidak memadai, maka proses
pembelajaran bisa terhambat (Holguín &
Morales, 2016).
Guru kedua menggunakan metode
yang berbeda. Guru bahasa Inggris di
sekolah kedua meminta masing-masing
siswa maju ke depan kelas untuk membaca
satu paragraf dari teks yang ada di buku,
dimana tujuannya adalah untuk melatih
kemampuan membaca siswa. Guru bahasa
Inggris menyatakan bahwa siswa masih
kesulitan dalam membaca teks bahasa
Inggris. Siswa masih membaca kosa kata
bahasa Inggris sesuai dengan tulisannya dan
dengan pengucapan yang tidak tepat.
Sebagai contoh pembacaan kata
„earth‟
dibaca „heart‟;
„noticeable‟
dibaca
„notaisable‟; „conclusion‟ dibaca sesuai
tulisannya „conclusion‟ dan lain sebagainya.
Siswa juga belum lancar dalam
mengucapkan angka dalam bahasa Inggris
seperti pengucapan „2007, 2010, 2018‟
dan seterusnya. Siswa masih tidak mampu
membedakan bilangan dasar maupun
bilangan bertingkat serta pengucapannya.
Setelah itu, guru meminta siswa menjawab
soal yang berkaitan dengan teks yang sudah
dibaca. Di sana, siswa merasa kesulitan
dalam memahami tugas mereka karena guru
belum menjelaskan materi secara detail.
Pada kasus ini, metode mengajar yang
guru gunakan perlu dipertimbangkan agar
siswa tidak kebingungan saat mengerjakan
tugas. Seperti yang dikatakan Harmer (2007)
J1u7rnal Penelitian Jurnal Penelitian
Pendidikan Pendidi1k7an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

mudah dipahami siswa. Untuk meminimalisir guru bahasa Inggris di sekolah pedesaan
kebingungan siswa, guru sebaiknya dinilai lebih rendah daripada guru di sekolah
memberikan contoh teks dengan topik yang
sederhana dan dengan kosa kata yang tidak
terlalu sulit agar siswa bisa memahami teks
dengan mudah.
Selain itu, seorang guru yang berkualitas
adalah mereka yang mempunyai kemampuan
untuk merancang rencana kegiatan belajar.
Kegiatan belajar harus dimasukkan dalam
rencana pembelajaran yang berisi tujuan
pembelajaran sebagai target yang diharapkan
dari proses belajar-mengajar. Untuk
mengetahui apakah tujuan pembelajaran telah
dicapai oleh siswa, proses penilaian hasil
siswa perlu dilakukan (Jabbarifar, 2009;
Looney et al., 2018).
Seluruh rangkaian ini tercakup dalam
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Guru yang baik seharusnya mempunyai
perangkat pembelajaran yang digunakan
sebagai pedoman dalam belajar. Namun
kenyataannya, penggunaan RPP tidak pernah
berjalan sebagaimana mestinya. Apa yang
tertulis di RPP tidak pernah sejalan dengan
realita pembelajaran di sekolah desa. Kedua
guru bahasa Inggris di dua sekolah tersebut
mengaku tidak pernah menggunakan RPP
saat mengajar.
Guru pertama dan kedua: “Tidak bisa.
Pemakaian RPP tidak bisa berjalan di sini.
Kondisi siswa di sini berbeda. Apalagi sama
anak-anak ini. Mereka susah dibilangin.
Memperhatikan penjelasan saja, saya harus
teriak-teriak sampai serak, baru mereka mau
sedikit memperhatikan. Jadi saya tidak
pernah berpatokan dengan RPP.”

IV. KESIMPULAN
Pembelajaran di sekolah pedesaan tidak
bisa dipandang sebelah mata. Terkait dengan
kondisi lingkungan yang serba kekurangan,
guru bahasa Inggris diharapkan memiliki
kemampuan yang tepat untuk teknik
pengajaran di daerah pedesaan, serta
mempunyai cara untuk mengatasi kondisi
siswa maupun kondisi fasilitas sekolah yang
biasanya tidak memadai.
Namun pada kenyataannya, kompetensi

J1u8rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k8an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

perkotaan (Hargreaves et al. 2009, dikutip tercapainya tujuan pembelajaran sesuai


dari Febriana et al., 2018). Akses terhadap kurikulum yang berlaku.
sumber belajar, fasilitas sekolah yang tidak Pelatihan terhadap guru merupakan hal
memadai, serta gaji yang sedikit membuat yang sangat penting dilakukan, karena
sekolah di pedesaan sulit untuk merekrut merupakan salah satu cara untuk
guru yang berkompeten, sehingga proses meningkatkan kompetensi guru dalam
pembelajaran di kelas hanya berfokus mengajar (Holguín & Morales, 2016).
kepada guru (du Plessis, Selain itu tantangan yang seringkali
2014; Knoblauch & Chase, muncul pada pembelajaran bahasa Inggris di
2015). sekolah pedesaan adalah kurangnya minat
siswa terhadap pelajaran bahasa Inggris,
Guru-guru di sekolah pedesaan juga
kurangnya dukungan orang tua pada
tidak difasilitasi dengan pelatihan terhadap perkembangan belajar siswa, serta kurangnya
proses pembelajaran seperti pelatihan jumlah guru yang berkompeten mengajar
kurikulum terbaru, dimana seharusnya guru bahasa Inggris.
juga harus memperoleh pelatihan guna
Knobl
a
DAFTAR PUSTAKA
u
Akbari, Z. (2015). Current Challenges in Teaching/Learning English for EFL Learners: The c
Case of Junior High School and High School. Procedia - Social and Behavioral h
Sciences, 199, 394–401. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.07.524 ,
Biddle, C., & Azano, A. P. (2016). Constructing and Reconstructing the “Rural School D
Problem.” Review of Research in Education, 40(1), 298–325. .,
https://doi.org/10.3102/0091732X16667700 &
Cooney, S., & Bottoms, G. (2003). Middle Grades to High School: Mending a Weak Link.
Research Brief. Southern Regional Education Board, 592 10th St. N.W., Atlanta, GA C
30318. Tel: 404-875-9211; Web site: http://www.sreb.org. For full text: h
http://www.sreb.org/programs/hstw/publications/briefs/Middle_Grades_To_HS.pdf. a
www.sreb.org s
Creswell, J. W., & Guetterman, T. C. (2018). Educational Research: Planning, Conducting, e
and Evaluating Quantitative and Qualitative Research (6th Edition). Pearson. ,
https://www.researchgate.net/publication/324451568_Educational_Research_Planning_C M
onducting_and_Eva luating_Quantitative_and_Qualitative_Research_6th_Edition .
Crystal, D. (1997). English as a global language Second edition (Second). Cambridge A
University Press. www.cambridge.org .
DeYoung, A. J. (1991). Rural Education: Issues and Practice (Vol. 25). Routledge. (
https://eric.ed.gov/?id=ED382438 2
du Plessis, P. (2014). Problems and complexities in rural schools: Challenges of education and 0
social development. 1
Mediterranean Journal of Social Sciences, 5(20), 1109–1117. 5
https://doi.org/10.5901/mjss.2014.v5n20p1109 )
Febriana, M., Nurkamto, J., Rochsantiningsih, D., & Muhtia, A. (2018). Teaching in Rural .
Indonesian Schools: Teachers‟ Challenges. International Journal of Multicultural and R
Multireligious Understanding, 5(5), 1–11. https://doi.org/10.18415/ijmmu.v5i5.305 u
Harmer, J. (2007). How to Teach English (Second). Person Education Limited . r
https://docs.google.com/viewer? a
a=v&pid=sites&srcid=ZGVmYXVsdGRvbWFpbnxzZXJzZXBvcnRmb2xpb l
3xneDo1MzRmMTZ ,
kMTFlNTQ2OWEy s
Howley, A., Rhodes, M., & Beall, J. (2009). Challenges Facing Rural Schools: implications u
for Gifted Students. b
Journal for the Education of the Gifted, 32(4), 515–536. u
http://www.prufrock.com r
Jabbarifar, T. (2009). THE IMPORTANCE OF CLASSROOM ASSESSMENT AND b
EVALUATION IN EDUCATIONAL SYSTEM. Proceedings of the 2nd International a
Conference of Teaching and Learning, 1– n
9
,
.

J1u9rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi1k9an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN
and urban schools: The impact of school setting onthe efficacy beliefs and attributions of A
student teachers. Teaching and Teacher Education, 45, 104e114-114. l
https://doi.org/10.1016/j.tate.2014.10.001 f
Looney, A., Cumming, J., van Der Kleij, F., & Harris, K. (2018). Reconceptualising the role of a
teachers as assessors: teacher assessment identity. Assessment in Education: Principles, b
Policy and Practice, 25(5), 442–467. https://doi.org/10.1080/0969594X.2016.1268090 e
Mccracken, J. D., David, J., & Barcinas, T. (1991). High School and Student t
Characteristics in Rural and Urban a
A -
r i
e .
a 3
s 0
4
6
o 5
f 6
0
O .
h 1
4
i 3
o 8
. 2
Mente, I., Elliot, D., Hulme, M., Lewin, J., & Lowden, K. (2011). A Guide to Practitioner 6
Research in Education. 7
SAGE Publications Ltd. https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/a-guide- 9
to- practitioner-research-in- education/book234154 6
Nunan, D. (1999). Second Language Teaching & Learning. In Heinle & Heinle 7
Publishers. Heinle & Heinle Publishers. Uno,
https://books.google.co.id/books/about/ H. B.,
Second_Language_Teaching_Learning.html? &
id=svPtAAAAMAAJ&r edir_esc=y Lamate
Nurfuadah, R. N. (2014, December 11). 10 Masalah Utama Kurikulum 2013 . nggo,
Https://News.Okezone.Com/. N.
https://news.okezone.com/read/2014/12/11/65/1077829/10-masalah-utama- (2010).
kurikulum- Teknol
2013 ogi
Ponmozhi, D., & Thenmozhi, A. (2017). Difficulties Faced By the Rural Students in Learning Komun
English at High School Level. IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR- ikasi
JHSS, 22(6), 31–34. https://doi.org/10.9790/0837-
2206133134
Ramos Holguín, B., & Aguirre Morales, J. (2016). English Language Teaching in Rural
Areas:
CuadernosA Newde Challenge
LingüísticaforHispánica,
English 27,Language
219. Teachers in Colombia. dan
https://doi.org/ Inform
10.19053/0121053x asi
Rich, .E42.,1&7 Evans, J. (2009). mative Health in Schools: Welfare Policy, Neoliberalism
andPerfor
Social Regulation. aPjeamrabne.l Bumi
Biopolitics and the “obesity epidemic”: Governing bodies. In J. Wright & V. Harwood Aksara
(Eds.), Biopolitics and the “obesity epidemic”: Governing bodies (Vol. 3, pp. 157–171). .
Routledge. https://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:217929
Sadulloh, U. (2018). PEDAGOGIK ILMU MENDIDIK (Sixth). Alfabeta.
https://shopee.co.id/BUKU- PEDAGOGIK-ILMU-MENDIDIK-Uyoh-
Sadulloh-

J2u0rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k0an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

View publication stats

Volume 20, Nomor 3, 325 - 334 ISSN 1412-565 X


Desember 2020 e-ISSN 2541-4135

Tantangan Belajar Bahasa Inggris di Sekolah Pedesaan

Challenges of Learning English in Rural School

Hariya Harlina* & Fazri Nur Yusuf


Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
hariyaharlina@gmail.com *

Naskah diterima tanggal 11/09/2020, direvisi akhir tanggal 23/12/2020, disetujui tanggal 31/12/2020

Abstrak
Terdapat banyak kendala yang ditemukan pada pembelajaran bahasa Inggris di sekolah
pedesaan. Kesulitan yang ditemui dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah pedesaan
berkaitan dengan kondisi siswa, lingkungan, dan juga kompetensi guru bahasa Inggris.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor kendala yang muncul pada pembelajaran bahasa
Inggris di sekolah pedesaan. Penelitian ini menggunakan desain metode kualitatif dengan dua
guru bahasa Inggris sebagai responden. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masih
banyak kendala yang ditemui pada pembelajaran bahasa Inggris di sekolah pedesaan.
Pembelajaran bahasa Inggris sulit karena beberapa sebab, diantaranya rendahnya minat siswa
terhadap pelajaran bahasa Inggris, kurangnya support terhadap pembelajaran bahasa Inggris
seperti support dari orang tua dan lingkungan sekitar, serta kualitas guru bahasa Inggris yang
dinilai masih rendah.
Kata kunci: Tantangan Belajar Bahasa Inggris; Sekolah
Pedesaan.

Abstract
There are many obstacles found in learning English in rural schools. The obstacles that
encountered related to the student conditions, the learning environment, and the competence
of English teachers. This study aims to explore the obstacles that occured in learning
English in rural schools. This study used a qualitative research design with two English
teachers as the respondents. The results showed that there are still many obstacles
encountered by rural schools in learning English. Learning English is difficult because of
several reasons, including the low interest of students in learning English, the lack of support
for learning English such as support from parents and the environment, and the low quality of
English teachers.
Keywords: Challenges in Learning English, Rural School.

J2u1rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k1an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

I. PENDAHULUAN tiba.
Bahasa Inggris merupakan salah satu Selain itu, kurikulum yang sering kali
bahasa terpenting di dunia saat ini (Crystal, layak juga menjadi kendala. Bahkan beberapa
1997). Bahasa inggris sangat dibutuhkan sekolah seringkali tidak bisa melakukan proses
hampir dalam semua aspek kehidupan pembelajaran saat musim penghujan
seperti dunia pendidikan, dunia kerja,
bisnis, dan lain sebagainya. Dengan
menguasai bahasa Inggris seseorang dapat
dikatakan berpeluang besar dalam berbagai
kesempatan mendapat pekerjaan. Sehingga
hal tersebut membuat semua negara
mendorong warganya untuk belajar bahasa
Inggris, tidak terkecuali Indonesia. Namun,
posisinya sebagai bahasa asing di Indonesia
membuat pengajaran bahasa Inggris
memiliki tantangan tersendiri (Akbari,
2015). Bahasa Inggris telah diajarkan di
negara ini sejak lama, mulai dari tingkat
sekolah menengah hingga tingkat
universitas, namun hal ini tidak menjamin
siswa tidak mengalami kesulitan dalam
belajar bahasa Inggris.
Pengajaran bahasa Inggris menjadi
semakin sulit bagi siswa terutama ketika
pembelajaran bahasa Inggris dikaitkan
dengan konteks sekolah pedesaan. Hal
tersebut sangat erat kaitannya dengan sumber
daya dan lingkungan belajar yang tidak
memadai. Sekolah pedesaan tidak memiliki
banyak kesempatan untuk mengetahui bahasa
Inggris seperti halnya sekolah perkotaan.
Akses untuk mendapat informasi tentang
bahasa Inggris sangat terbatas. Sehingga
siswa dalam kesehariannya tidak mengenal
bahasa Inggris dengan baik, yang kemudian
hal tersebut berakibat pada kurangnya minat
mereka dalam belajar bahasa Inggris.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplor tantangan yang muncul pada
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah
pedesaan. Sekolah pedesaan identik dengan
fasilitas yang tidak memadai dalam berbagai
aspek. Keberadaan buku-buku sebagai
sumber belajar sering tidak cukup, ruang
kelas yang tidak memadai, dan tidak
tersedianya layanan internet yang pada saat
ini telah menjadi hal umum dan biasa
digunakan untuk mengakses sumber belajar
lainnya. Ketersediaan gedung sekolah yang

J2u2rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k2an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN
berubah-ubah membuat guru dan 1991). Menurut Rich & Evans (2009), jumlah
pihak siswa di setiap kelas sekolah pedesaan
sekolah pedesaan kewalahan untuk biasanya tidak lebih dari 30 siswa. Daerah
mengikuti aturan kurikulum baru. Seperti sekolah pedesaan juga sering
contoh penggunaan kurikulum 2013 saat ini
menjadi tantangan besar bagi guru maupun
siswa sekolah pedesaan. Isi kurikulum 2013
lebih menekankan pembelajaran saintifik
dimana pendekatan ini fokus ke keaktifan
siswa dalam belajar. Hal tersebut menjadi
tantangan yang besar bagi siswa karena
pembelajaran mereka siswa sekolah
pedesaan biasanya (jika tidak selalu)
berfokus kepada guru.
Selain menjadi tantangan bagi siswa,
kurikulum 2013 juga menjadi tantangan bagi
guru dimana gurupun diharapkan mampu
menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam
mengembangkan rencana pembelajaran di
kelas. Kesuksesan kurikulum ini dipandang
berkesempatan lebih besar pada sekolah kota
yang tentunya memiliki pendukung yang
maksimal. Sementara untuk sekolah
pedesaan yang memiliki segala macam
polemik terkait fasilitas dan pendukung
pendidikan, pelaksanaan kurikulum 2013
yang notabenenya merupakan kurikulum
yang banyak menggunakan media teknologi
dirasa akan sulit terealisasi dan akan
menyulitkan guru maupun siswa sendiri
(Nurfuadah, 2014).
Bagian ini akan memaparkan kondisi
sekolah pedesaan dan kualitas guru bahasa
Inggris di sekolah pedesaan.

1.1. Kondisi Sekolah


Pedesaan
Tantangan yang paling besar
yang
dihadapi oleh Indonesia dalam sistem
pendidikannya adalah letak geografis
yang
luas serta banyaknya daerah pedesaan.
Kesenjangan letak geografis dari daerah
yang satu ke daerah yang lain membuat
pemerataan fasilitas pendidikan menjadi hal
yang sulit terwujud (Luschei & Zubaidah,
2012, yang dikutip dari Febriana et al.,
2018). Sekolah pedesaan memiliki
karakteristik jumlah siswa pada setiap kelas
cenderung lebih sedikit dan lokasi sekolah
yang jauh dari perkotaan (Mccracken et al.,
J2u3rnal Penelitian Jurnal Penelitian
Pendidikan Pendidi2k3an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN
menggunakan konsep sekolah yang berlokasi Selain itu para orang tua juga tidak
di daerah pertanian dimana daerah pertanian menginginkan anaknya meninggalkan rumah.
acapkali dikaitkan dengan masyarakat tingkat Kekhawatiran mereka dilatarbelakangi oleh
ekonomi menengah kebawah (Bonnano, alasan bahwa pada umumnya, anak-anak atau
2014, seperti dikutip dalam Biddle & Azano,
2016).
Selain itu, du Plessis (2014)
menyebutkan beberapa ciri-ciri daerah
pedesaan menurut UNESCO 2005,
diantaranya: jarak pedesaan yang umumnya
jauh dari pusat perkotaan; kondisi topografi
yang tidak mendukung, seperti kondisi jalan,
jembatan dan lain sebagainya; akses ke
berbagai teknologi informasi sangat kurang;
serta infrastruktur transportasi seperti bus,
taksi; akses ke layanan dan fasilitas seperti
listrik, air, sanitasi; kesehatan, pendidikan,
dan status ekonomi masyarakat yang
cenderung di bawah garis kemiskinan.
Sekolah yang menjadi objek penelitian
ini terletak di daerah pedesaan dimana tidak
banyak media atau sumber belajar yang
mendukung dalam pembelajaran bahasa
Inggris. Di samping itu, kondisi siswa di dua
sekolah tersebut tidak terlalu memperhatikan
pentingnya belajar bahasa Inggris, begitu
juga dengan lingkungan keluarga dan
masyarakat sekitar. Sudut pandang
masyarakat terhadap sekolah perkotaan dan
pedesaan berbeda. Sekolah yang berada di
daerah pedesaan cenderung memiliki siswa
lebih sedikit dan biaya sekolah rendah
daripada sekolah perkotaan (Howley et al.,
2009).
Terkait dengan masalah ini, banyak (jika
tidak semua) keluarga ekonomi menengah ke
bawah yang tinggal di daerah pedesaan
menganggap bahwa pendidikan tidak dapat
menjamin kesuksesan dalam hidup mereka.
Selain itu, daerah pedesaan adalah tempat
yang ditandai oleh berbagai faktor seperti
keterbatasan sarana dan prasarana, rendahnya
kesejahteraan masyarakat, dan juga kualitas
pendidikan yang dianggap tidak memadai
dan pendidikan yang sering diabaikan (du
Plessis,
2014). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
orang tua yang menganggap bahwa
pendidikan tidak dapat menjamin
kesejahteraan hidup mereka.

J2u4rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k4an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

pemuda yang meninggalkan komunitas mempengaruhi pola pikir siswa sekolah


pedesaan baik untuk belajar atau bekerja ke pedesaan. Siswa sekolah pedesaan cenderung
luar daerah tidak akan pernah kembali. merasa rendah diri dan menganggap diri
Mereka akan menetap di daerah tertentu
untuk mencari penghidupan yang lebih baik
dari daerah asal mereka (Stricker, 2008,
seperti dikutip dalam Howley et al., 2009).
Pola pikir orang tua yang telah ditanamkan
sejak awal tidak dapat diubah dengan mudah.
Para orang tua sulit membiarkan anak
mereka masuk sekolah maupun melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Mereka lebih menyukai anak mereka bekerja
daripada bersekolah (Febriana et al., 2018).
Kesulitan ekonomi juga menjadi salah
satu kendala bagi masyarakat pedesaan dan
membuat para orang tua untuk tidak
menyekolahkan anak-anak mereka ke
jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, tidak
sedikit dari masyarakat pedesaan yang tidak
pernah mengenyam bangku sekolah sejak
lahir, tidak juga bangku sekolah dasar.
Sehingga orang tua yang buta huruf dan
tidak bisa berhitung banyak ditemukan
daerah pedesaan (du Plessis,
2014). Pelajar di daerah pedesaan tidak
mendapat dukungan yang cukup dari orang
tua mereka karena alasan-alasan tersebut.
Kondisi ini bahkan menjadi lebih buruk
karena pendapat dari masyarakat sekitar dan
bahkan pihak pemerintah yang menganggap
hal ini sebagai hal yang biasa terjadi di
daerah pedesaan. Daripada membantu untuk
meluruskan pola pikir masyarakat pedesaan
tentang pendidikan, mereka lebih condong
membiarkan hal tersebut sebagai suatu hal
yang lumrah terjadi.
Selain itu, sumber daya pendukung
pembelajaran seperti buku, media proyektor,
dan lainnya tidak tersedia dengan cukup,
sehingga fokus pembelajaran hanya pada
penjelasan guru (DeYoung, 1991; Febriana
et al., 2018). Faktor-faktor itu membuat
masyarakat dari keluarga ekonomi menengah
ke atas cenderung meremehkan sekolah di
daerah pedesaan dan lebih suka memasukkan
anak-anak mereka ke sekolah favorit yang
sebagian besar memiliki biaya sekolah tinggi
dan fasilitas sekolah yang memadai. Sudut
pandang tersebut secara tidak langsung

J2u5rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k5an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

mereka tidak lebih baik daripada siswa di kesulitan untuk merekrut guru yang
sekolah perkotaan (Hargreaves et al. 2009, berkualitas karena beberapa pertimbangan,
dikutip dari Febriana et al., 2018). termasuk akses

1.2. Kualitas Guru Bahasa Inggris


Guru memiliki peran penting dalam
mencapai tujuan pembelajaran di kelas. Guru
sebagai pendidik haruslah seseorang yang
memiliki profesionalisme tinggi dan
kemampuan tinggi untuk membantu
mendidik siswa. Guru harus mampu menjahit
potongan tantangan sebagai jalan yang dapat
dilalui agar siswa tidak terpuruk pada
motivasi rendah dalam belajar. Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, membimbing, mengajar,
mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi siswa dalam pendidikan formal
(Sadulloh, 2018).
Keterampilan guru yang berbeda dapat
menghasilkan hasil belajar yang berbeda
juga. Oleh karena itu, diharapkan guru
bahasa Inggris dapat memiliki pengetahuan
yang luas dalam membimbing siswa dalam
mengembangkan kemampuan belajar bahasa
Inggris. Mutu sekolah pedesaan lebih rendah
dibanding sekolah di perkotaan dilihat dari
ketersediaan guru yang berkompeten dan
akses terhadap sumber belajar yang lebih
mudah.
Beberapa penelitian menganggap bahwa
guru di sekolah perkotaan memiliki lebih
banyak akses dalam mengembangkan materi
pelajaran, sedangkan guru sekolah pedesaan
lebih sering kekurangan akses dalam
mengembangkan materi pelajaran. Hal ini
kemudian mendorong proses pembelajaran di
kelas hanya berfokus kepada guru
(Hargreaves et al. 2009, dikutip dari Febriana
et al., 2018). Fokus pembelajaran yang hanya
berada di tangan guru mengakibatkan siswa
tidak memiliki kemauan dan kemampuan
dalam belajar mandiri. Barley & Beesley
(2007, dikutip dari du Plessis, 2014) juga
mengemukakan bahwa ketidakberhasilan
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah-
sekolah pedesaan dipengaruhi oleh
kekurangan guru yang berkualitas dan
sumber daya yang mendukung proses
pembelajaran. Sekolah pedesaan mengalami

J2u6rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k6an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

terbatas ke sekolah, gaji yang lebih sedikit lain-lain, sebagai target yang diharapkan dari
jika dibandingkan sekolah perkotaan, sumber proses belajar-mengajar. Selain itu, untuk
daya dan fasilitas sekolah yang tidak mengetahui apakah tujuan pembelajaran telah
mencukupi (du Plessis, 2014; Knoblauch & dicapai oleh siswa, proses penilaian
Chase, 2015). (assessment) hasil siswa perlu dilakukan
Biddle & Azano (2016) juga (Jabbarifar, 2009; Looney et al., 2018).
mengidentifikasi perekrutan guru dan Penilaian pembelajaran
pelatihan guru sebagai topik umum yang
sebagian besar muncul di sekolah pedesaan.
Guru-guru sekolah pedesaan perlu memiliki
pelatihan mengenai proses belajar-mengajar,
seperti pengembangan metode dan strategi
dalam pengajaran bahasa Inggris,
pelatihan
penggunaan media ajar, maupun pelatihan
dalam membuat materi yang menarik
minat siswa. (Shibley, 1917, seperti dikutip
dalam Biddle & Azano, 2016) menyatakan
bahwa isolasionisme di pedesaan sering
berdampak pada proses belajar-mengajar di
sekolah. Oleh karena itu, guru di sekolah
pedesaan membutuhkan lebih banyak
pelatihan dan persiapan awal.
Seorang guru dikatakan berkualitas salah
satunya dikarenakan guru memiliki
kemampuan untuk merancang kegiatan
belajar
dalam suatu rencana pembelajaran, dimana
rencana pembelajaran itu merupakan
kelengkapan belajar yang diambil dari
kurikulum pendidikan dan menjadi panduan
utama proses pembelajaran. Seperti yang
dikatakan Nunan (1999) bahwa kurikulum
pendidikan merupakan elemen yang sangat
penting pada proses pembelajaran dan guru
sebagai pendidik memegang peranan penting
dalam mengimplementasikannya di kelas.
Richard (2001, seperti dikutip
Nurfuadah,
2014) mengatakan kurikulum
pendidikan
terdiri dari seluruh kegiatan pembelajaran di
kelas, dimulai dari bagaimana siswa belajar,
bagaimana guru membantu siswa belajar,
jenis materi pembelajaran, metode apa yang
diterapkan guru, bagaimana guru menilai
tugas siswa, serta mencakup fasilitas
pembelajaran yang digunakan di dalam
kelas.
Kegiatan belajar harus dimasukkan
dalam perangkat rencana pembelajaran yang
berisi tujuan pembelajaran, indikator, dan

J2u7rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k7an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

adalah bagian penting dari keseluruhan yang terkait dengan masalah sosial (Creswell
proses pembelajaran sehingga kegiatan
penilaian harus dilakukan oleh guru selama
proses pembelajaran.
Ada dua fungsi utama penilaian kelas,
pertama adalah untuk menunjukkan apakah
proses pembelajaran telah berhasil mencapai
tujuan pembelajaran atau tidak, kedua adalah
untuk menjelaskan harapan para guru tentang
siswa (Biggs, 1999; Dunn et al., 2004, seperti
dikutip di Jabbarifar, 2009). Dengan
demikian, kemampuan untuk melakukan
penilaian adalah kemampuan yang
diperlukan untuk setiap staf pengajar.
Jelaslah bahwa dalam semua referensi yang
berkaitan dengan tugas belajar, selalu
ditekankan pentingnya kemampuan guru
untuk menilai dan kemampuan ini selalu
menjadi salah satu indikator kualitas
kompetensi guru.
Terlepas dari itu, seorang guru yang
baik juga dapat dilihat dari beberapa hal
diantara kepribadian guru, perilaku guru
terhadap siswa di dalam dan di luar kelas,
pemahaman guru tentang kebutuhan siswa,
dan bahkan
dari gaya berpakaian guru (Harmer, 2007).
Sebagai tambahan, guru yang baik adalah
orang yang mampu menginspirasi siswa,
menghormati siswa, membuat suasana yang
baik dalam mengajar, menyediakan beberapa
media kreatif, memperhatikan kebutuhan
siswa dan menghargai usaha yang dilakukan
siswa saat proses belajar-mengajar
berlangsung. Juga, guru yang baik adalah
seseorang yang dapat mengoreksi atau
mengkritik siswa tanpa menyinggung
perasaan mereka (Harmer, 2007).
Meskipun masing-masing guru memiliki
kepribadian yang beragam serta cara yang
berbeda dalam berinteraksi dengan siswa,
namun etika guru yang baik dapat lebih
memberi kesan yang baik terhadap siswa
sehingga hal tersebut secara tidak langsung
bisa mempengaruhi kepercayaan diri siswa
dalam mengajar.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan desain
penelitian kualitatif. Desain penelitian ini
digunakan untuk mengeksplorasi dan
memahami makna individu atau kelompok

J2u8rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k8an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

& Guetterman, 2018). Penelitian ini 3.1. Hasil


bertujuan untuk mengetahui tantangan dari
Penelitian ini bertujuan untuk
pembelajaran bahasa Inggris yang ada di
mengeksplore kesulitan dalam pembelajaran
sekolah pedesaan. Pertanyaan yang muncul
bahasa Inggris di sekolah pedesaan. Observasi
terkait dengan topik penelitian ini adalah (1)
kelas dan wawancara digunakan untuk
Apa saja tantangan belajar bahasa Inggris
yang sering muncul di sekolah pedesaan?
Partisipan dalam penelitian ini adalah
dua guru bahasa Inggris dari dua sekolah
yang berbeda. Untuk mengumpulkan data,
wawancara semi-struktur dan observasi kelas
telah dilakukan. Wawancara semi-struktur
bertujuan untuk mengetahui tantangan
belajar bahasa Inggris dari perspektif guru
bahasa Inggris. Wawancara semi-struktur
digunakan untuk mendapat data yang lebih
luas dan dalam.
Instrumen selanjutnya adalah observasi
kelas, dimana observasi ini bertujuan
untuk mengamati perilaku guru dan siswa
saat proses pembelajaran berlangsung. Jenis
observasi kelas yang digunakan adalah
observasi non- partisipan yang artinya
peneliti hanya datang sebagai observer, tidak
mengambil bagian dari aktifitas belajar di
kelas.
Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan empat langkah, yaitu: kode,
konsep, kategori, dan teori (Mente et
al.,
2011). Data yang diperoleh dari dua
instrumen kemudian dikodekan untuk
menemukan data yang dibutuhkan untuk
menjadi data yang dapat memberikan
jawaban atas pertanyaan dalam penelitian,
dikarenakan tidak semua data yang
diperoleh sesuai dengan kebutuhan
penelitian, terutama data yang diperoleh dari
jenis pertanyaan terbuka.
Setelah melalui tahap pengkodean, data
kemudian dikonseptualisasikan atau
disatukan sesuai dengan kesamaan konten.
Selanjutnya data dikategorikan sehingga
akan menghasilkan teori, dan tahap terakhir
adalah data dijelaskan secara lebih detail
dan mendalam, sehingga akan membentuk
teori penelitian.

III. HASIL DAN


PEMBAHASAN

J2u9rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi2k9an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

mengambil data. Hasil data yang didapatkan pelajaran bahasa Inggris dan menjadikannya
dianalisis menggunakan empat metode yang pilihan
dirancang oleh (Mente et al., 2011). Data
yang didapat dari penelitian ini menunjukkan
bahwa sekolah pedesaan mengalami
kesulitan dalam pembelajaran bahasa Inggris
di kelas. Kesulitan tersebut akan dibahas
secara mendalam di bagian selanjutnya.

3.2. Pembahasan
Penelitian ini menemukan bahwa
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah
pedesaan mempunyai kendala yang lebih
besar jika dibandingkan dengan sekolah yang
berada di perkotaan (Plessis, 2014; Ponmozhi
& Thenmozhi, 2017; Hargreaves et al. 2009,
dikutip dari Febriana et al., 2018).
Hal tersebut dikarenakan berbagai faktor
di antaranya minat siswa terhadap pelajaran
bahasa Inggris terhitung rendah, kurangnya
dukungan dari orang tua dan lingkungan,
serta kompetensi guru bahasa Inggris yang
terbilang rendah. Berikut adalah penjelasan
lebih lanjut dari faktor yang menjadi kendala
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah
pedesaan.

A. Minat Siswa Terhadap Bahasa Inggris


Bahasa Inggris saat ini dikenal luas oleh
siswa di sekolah kota, namun lain halnya
dengan sekolah yang ada di pedesaan
(Ponmozhi & Thenmozhi, 2017). Bahasa
Inggris di lingkungan pedesaan tidak dikenal
secara luas baik itu di dalam lingkungan
sekolah maupun di luar sekolah (du Plessis,
2014). Siswa pedesaan tidak mengetahui
pentingnya belajar bahasa Inggris selain
sebagai salah satu mata pelajaran pada ujian
nasional.
Kurangnya pengetahuan tentang bahasa
Inggris sangat berpengaruh besar pada minat
belajar yang tumbuh pada diri siswa. Selain
itu, anggapan bahwa bahasa Inggris adalah
pelajaran yang sulit membuat mereka tidak
menaruh minat yang besar dalam belajar
bahasa Inggris. Banyak dari mereka belajar
bahasa Inggris tidak secara maksimal.
Bahkan banyak dari siswa hanya bertujuan
untuk menjawab ujian nasional saja. Selain
itu, banyak siswa yang mengabaikan

J3u0rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k0an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

kesekian dari pelajaran yang lain. terjadi yang membuat guru bahasa Inggris
Holguín & Morales (2016) juga kewalahan.
menambahkan bahwa minat rendah dalam Guru pertama: “Kalau dikasih tugas itu
belajar dilihat dari tingkah laku siswa selama mereka kebanyakan ngeluh, ngeluh karena
proses pembelajaran di kelas berlangsung,
seperti siswa tidak menunjukkan antusias
selama proses pembelajaran bahasa Inggris.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa
sebagian besar siswa tidak memperhatikan
penjelasan guru dengan baik. Mereka
bahkan mengerjakan hal lain seperti
membaca novel, menggambar, bercanda
dengan teman lainnya.
Kemudian saat guru mencari perhatian
dengan menanyakan materi yang
disampaikan, sebagian besar siswa terdiam,
sebagian lagi merespon dengan mengatakan
„yes/no‟ walaupun pertanyaan jauh berbeda
dari jawaban „yes/no‟. Bahkan beberapa
siswa tertawa mendengar jawaban mereka
sendiri, yang menunjukkan bahwa mereka
tidak benar- benar serius dalam belajar.
Hal tersebut mencerminkan siswa tidak
paham dengan penjelasan maupun
pertanyaan yang dilontarkan oleh guru.
Selain itu, siswa sering kali meninggalkan
kelas saat pelajaran berlangsung dan kembali
ke kelas saat jam pelajaran usai. Hal tersebut
sesuai dengan hasil wawancara yang
dilakukan kepada dua guru di dua sekolah.
Guru pertama; “Siswa laki-laki
suka keluar kelas dan tidak kembali sampai
pelajaran habis. Saya tidak mungkin mencari
mereka sedangkan waktu belajar hanya dua
jam. Jadi saya serahkan kasus seperti ini ke
guru BK. Saya laporkan mereka yang
bertingkah dan tidak mau dibilangin.
Hampir di setiap jam pelajaran saya selalu
ada kasusnya. Dan kasus ini sering terulang,
mereka tidak kapok.”
Kendala lain yang ada di sekolah
pedesaan terkait dengan siswa adalah siswa
tidak ingin mengerjakan tugas yang
diberikan oleh guru. Berbagai macam alasan
mereka kemukakan agar guru tidak
memberikan tugas kepada mereka, di antara
alasan-alasan itu adalah siswa merasa tidak
paham atas tugas yang diberikan guru
sehingga mereka tidak akan mungkin bisa
mengerjakannya. Hal tersebut seringkali

J3u1rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k1an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

tidak bisa menjawab. Nantinya tugas sekolah tugas sendiri.”


itu terpaksa saya jadikan PR karena mereka
tidak pernah menyelesaikan tugasnya dengan
tepat waktu. Banyak sekali alasan mereka.
Jadi mau tidak mau saya jadikan dijadikan
PR. Besoknya, belum tentu juga mereka
kerjakan. Alasan lupa bawa dan macam-
macam.”
Kasus yang lain terjadi di sekolah kedua
dimana siswa tidak pernah hadir pada
kegiatan kursus tambahan yang diadakan di
sekolah. Kursus yang diadakan oleh pihak
sekolah dijadwalkan dua kali seminggu, yang
bertujuan untuk memberi pelajaran tambahan
serta memberi tambahan waktu untuk
menyelesaikan materi di kelas yang belum
tuntas. Namun hanya segelintir siswa yang
hadir dalam kursus tersebut. Bahkan
beberapa kali tidak ada siswa yang hadir
sama sekali.
Sebagian besar siswa beralasan bahwa
mereka mempunyai banyak kegiatan ekstra
kulikuler yang dilakukan sepulang sekolah,
sehingga mereka tidak bisa hadir dalam
pelajaran tambahan di sore hari. Ditambah
lagi, siswa tidak jujur dalam mengerjakan
tugas. Ketika diberikan PR membuat sebuah
teks, sebagian besar siswa biasanya mencari
teks yang sudah tersedia di buku maupun di
sumber lain, daripada membuat sendiri sesuai
kemampuan mereka. Hal tersebut mereka
akui sendiri pada gurunya tanpa rasa
bersalah.
Guru kedua; “Kalau mereka benar-benar
niat dan ingin belajar, tentu saja mereka akan
memilih bahasa Inggris daripada kegiatan
yang lain. Tapi buktinya hanya segelintir
siswa yang datang saat kursus. Saya juga
bilang, minimal datang sekali seminggu, tapi
tidak ada yang mau. Banyak alasannya anak-
anak ini kalau disuruh belajar.”
Guru kedua: “Berapa kali saya bilang
bikin tugas sesuai kemampuanmu, tapi
begitulah mereka. Ketika saya bandingkan
tugas yang asli dengan yang hasil contekan,
kelihatan jelas mana hasil mereka. Saat
mereka ditanya, ya mereka ngaku. Mereka
akan bilang, -yang penting jadi Bu Guru-
Aduh, saya tidak tahu harus bagaimana.
Cuma sedikit siswa yang sadar dan mau bikin

J3u2rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k2an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

B. Pengaruh Guru pertama: “Karena mereka tinggal di


Lingkungan asrama, menurut saya lingkungannya
Lingkungan dinilai sangat berpengaruh mendukung. Jika ditanya apakah mereka
terhadap diri seseorang. Lingkungan minat dalam pelajaran bahasa Inggris, ya
berpengaruh membentuk mindset maupun mereka akan jawab minat. Tapi kalau disuruh
motivasi seseorang untuk melakukan ngerjain
sesuatu, tidak terkecuali bagi siswa sekolah
pedesaan dalam belajar bahasa Inggris.
Pada umumnya, motivasi didefinisikan
sebagai cara untuk mempengaruhi seseorang
atau banyak orang untuk melakukan sesuatu
yang di dalamnya terdapat tujuan tertentu
(Uno
& Lamatenggo, 2010). Lingkungan sekolah
pedesaan yang tidak familiar dengan bahasa
Inggris membuat siswa juga tidak menaruh
minat besar terhadap pembelajaran bahasa
Inggris.
Selain itu, lingkungan keluarga atau
orang tua dan tempat tinggal juga sangat
berperan dalam membantu meningkatkan
kualitas belajar siswa. Namun, peran orang
tua di lingkungan pedesaan dalam membantu
siswa belajar bahasa Inggris dinilai sangat
rendah (Holguín & Morales, 2016).
Para orang tua tidak membantu
siswa
belajar dan juga tidak mengontrol siswa
secara maksimal. Orang tua di daerah
pedesaan tidak memberikan motivasi secara
khusus untuk siswa dalam mengembangkan
kemampuan belajar mereka terutama yang
berkaitan dengan pembelajaran bahasa
Inggris. Para orang tua lebih menekankan
anak untuk bekerja daripada bersekolah. Hal
tersebut terkait dengan kondisi
perekonomian di lingkungan pedesaan yang
biasanya berasal dari ekonomi kelas
menengah ke bawah. Sehingga, walaupun
anaknya bersekolah, mereka tidak
mengontrol sejauh mana perkembangan
anaknya dalam proses belajar di sekolah.
Pernyataan tersebut didukung oleh data yang
didapatkan dari wawancara dengan dua
guru bahasa Inggris dari dua sekolah.
Di sekolah kedua, dimana siswa tinggal
di asrama dalam lingkungan sekolah, guru
menganggap minat siswa belajar bahasa
Inggris lumayan besar. Akan tetapi minat
yang besar itu tidak sejalan dengan usaha
yang siswa lakukan dalam proses belajarnya.

J3u3rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k3an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

soal latihan saja, mereka ngeluh semua. Sebelumnya, guru meminta siswa bertanya
Mereka akan bilang bahasa Inggris itu sulit. terkait materi yang belum mereka pahami.
Jadi kan minat ya sekedar minat, gak
didukung dengan usaha mereka. Menurut
saya ya gitu. Minat harus dibarengi usaha
kan?”
Sebagai tambahan, di sekolah kedua,
guru menyampaikan polemik yang dihadapi
siswa terkait dengan kondisi ekonomi
keluarga dan lingkungan sekitar tempat
tinggal yang tidak mendukung siswa dalam
menjalankan peran sebagai pelajar.
Guru kedua: “Anak-anak di sini sekolah
sambil kerja. Pada saat jadwal mereka kerja,
mereka tidak akan masuk sekolah. Dalam
seminggu bisa dihitung sehari dua hari
mereka bisa masuk sekolah, tiga hari tidak
masuk ya alasannya karena kerja. Nanti
kalau kami larang mereka kerja, mereka pasti
akan jawab gak punya uang belanja. Jadi
kami bisa apa?”
Guru kedua: “Lagipula di lingkungan
tempat tinggal mereka, banyak teman sebaya
mereka yang tidak bersekolah. Jadi mereka
kadang ikut-ikutan tidak sekolah. Dan yang
saya heran, orang tua tidak melarang.
Dilepas begitu saja.”

C. Kompetensi Guru Bahasa Inggris


Kompetensi guru dinilai dari
kemampuan mereka dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran di kelas dengan
baik dan maksimal sehingga tujuan
pembelajaran mampu dicapai secara
maksimal juga. Dua guru bahasa Inggris dari
dua sekolah ini memiliki cara yang berbeda
dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.
Guru bahasa Inggris di sekolah pertama
menyampaikan materi sesuai dengan apa
yang ada di buku paket. Penjelasan materi
diuraikan dengan bahasa yang sederhana
untuk membuat siswa cepat mengerti. Guru
menyampaikan materi secara detail, seperti
menjelaskan pengertian teks, struktur teks,
ciri-ciri kebahasaan teks, tujuan serta
menunjukkan contoh yang kemudian dibahas
bersama.
Setelah selesai membahas contoh teks,
guru meminta siswa membuat teks seperti
yang sudah dibahas bersama sebagai tugas.

J3u4rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k4an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

Pertanyaan yang muncul dari siswa bukan bahwa perbedaan metode mengajar bisa jadi
ketidakmengertian mereka tentang isi materi, menghasilkan pemahaman siswa yang berbeda
akan tetapi siswa lebih banyak serta membuat pencapaian belajar berbeda
menanyakan arti kosa kata yang tidak pula. Kedua guru memberikan contoh teks
dipahami dari contoh teks yang ada. yang diambil dari internet dengan topik yang
Hal tersebut dikarenakan siswa tidak cukup berat, dengan kosa kata yang tidak
memiliki kamus yang lengkap sebagai salah
satu sumber belajar. Sekolah hanya
menyediakan beberapa kamus yang dibagi
dengan kelas lain yang juga mempunyai
jadwal bahasa Inggris di hari yang sama. Ini
menjadi salah satu bukti bahwa fasilitas
sekolah sangat membantu terlaksananya
proses pembelajaran di kelas. Jika fasilitas
pembelajaran tidak memadai, maka proses
pembelajaran bisa terhambat (Holguín &
Morales, 2016).
Guru kedua menggunakan metode
yang berbeda. Guru bahasa Inggris di
sekolah kedua meminta masing-masing
siswa maju ke depan kelas untuk membaca
satu paragraf dari teks yang ada di buku,
dimana tujuannya adalah untuk melatih
kemampuan membaca siswa. Guru bahasa
Inggris menyatakan bahwa siswa masih
kesulitan dalam membaca teks bahasa
Inggris. Siswa masih membaca kosa kata
bahasa Inggris sesuai dengan tulisannya dan
dengan pengucapan yang tidak tepat.
Sebagai contoh pembacaan kata
„earth‟
dibaca „heart‟;
„noticeable‟
dibaca
„notaisable‟; „conclusion‟ dibaca sesuai
tulisannya „conclusion‟ dan lain sebagainya.
Siswa juga belum lancar dalam
mengucapkan angka dalam bahasa Inggris
seperti pengucapan „2007, 2010, 2018‟
dan seterusnya. Siswa masih tidak mampu
membedakan bilangan dasar maupun
bilangan bertingkat serta pengucapannya.
Setelah itu, guru meminta siswa menjawab
soal yang berkaitan dengan teks yang sudah
dibaca. Di sana, siswa merasa kesulitan
dalam memahami tugas mereka karena guru
belum menjelaskan materi secara detail.
Pada kasus ini, metode mengajar yang
guru gunakan perlu dipertimbangkan agar
siswa tidak kebingungan saat mengerjakan
tugas. Seperti yang dikatakan Harmer (2007)
J3u5rnal Penelitian Jurnal Penelitian
Pendidikan Pendidi3k5an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

mudah dipahami siswa. Untuk meminimalisir guru bahasa Inggris di sekolah pedesaan
kebingungan siswa, guru sebaiknya dinilai lebih rendah daripada guru di sekolah
memberikan contoh teks dengan topik yang
sederhana dan dengan kosa kata yang tidak
terlalu sulit agar siswa bisa memahami teks
dengan mudah.
Selain itu, seorang guru yang berkualitas
adalah mereka yang mempunyai kemampuan
untuk merancang rencana kegiatan belajar.
Kegiatan belajar harus dimasukkan dalam
rencana pembelajaran yang berisi tujuan
pembelajaran sebagai target yang diharapkan
dari proses belajar-mengajar. Untuk
mengetahui apakah tujuan pembelajaran telah
dicapai oleh siswa, proses penilaian hasil
siswa perlu dilakukan (Jabbarifar, 2009;
Looney et al., 2018).
Seluruh rangkaian ini tercakup dalam
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Guru yang baik seharusnya mempunyai
perangkat pembelajaran yang digunakan
sebagai pedoman dalam belajar. Namun
kenyataannya, penggunaan RPP tidak pernah
berjalan sebagaimana mestinya. Apa yang
tertulis di RPP tidak pernah sejalan dengan
realita pembelajaran di sekolah desa. Kedua
guru bahasa Inggris di dua sekolah tersebut
mengaku tidak pernah menggunakan RPP
saat mengajar.
Guru pertama dan kedua: “Tidak bisa.
Pemakaian RPP tidak bisa berjalan di sini.
Kondisi siswa di sini berbeda. Apalagi sama
anak-anak ini. Mereka susah dibilangin.
Memperhatikan penjelasan saja, saya harus
teriak-teriak sampai serak, baru mereka mau
sedikit memperhatikan. Jadi saya tidak
pernah berpatokan dengan RPP.”

IV. KESIMPULAN
Pembelajaran di sekolah pedesaan tidak
bisa dipandang sebelah mata. Terkait dengan
kondisi lingkungan yang serba kekurangan,
guru bahasa Inggris diharapkan memiliki
kemampuan yang tepat untuk teknik
pengajaran di daerah pedesaan, serta
mempunyai cara untuk mengatasi kondisi
siswa maupun kondisi fasilitas sekolah yang
biasanya tidak memadai.
Namun pada kenyataannya, kompetensi

J3u6rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k6an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

perkotaan (Hargreaves et al. 2009, dikutip tercapainya tujuan pembelajaran sesuai


dari Febriana et al., 2018). Akses terhadap kurikulum yang berlaku.
sumber belajar, fasilitas sekolah yang tidak Pelatihan terhadap guru merupakan hal
memadai, serta gaji yang sedikit membuat yang sangat penting dilakukan, karena
sekolah di pedesaan sulit untuk merekrut merupakan salah satu cara untuk
guru yang berkompeten, sehingga proses meningkatkan kompetensi guru dalam
pembelajaran di kelas hanya berfokus mengajar (Holguín & Morales, 2016).
kepada guru (du Plessis, Selain itu tantangan yang seringkali
2014; Knoblauch & Chase, muncul pada pembelajaran bahasa Inggris di
2015). sekolah pedesaan adalah kurangnya minat
siswa terhadap pelajaran bahasa Inggris,
Guru-guru di sekolah pedesaan juga
kurangnya dukungan orang tua pada
tidak difasilitasi dengan pelatihan terhadap perkembangan belajar siswa, serta kurangnya
proses pembelajaran seperti pelatihan jumlah guru yang berkompeten mengajar
kurikulum terbaru, dimana seharusnya guru bahasa Inggris.
juga harus memperoleh pelatihan guna

DAFTAR PUSTAKA
Akbari, Z. (2015). Current Challenges in Teaching/Learning English for EFL Learners: The Case of Junior High
School and High School. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 199, 394–401.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.07.524
Biddle, C., & Azano, A. P. (2016). Constructing and Reconstructing the “Rural School Problem.” Review of
Research in Education, 40(1), 298–325.
https://doi.org/10.3102/0091732X16667700
Cooney, S., & Bottoms, G. (2003). Middle Grades to High School: Mending a Weak Link. Research Brief.
Southern Regional Education Board, 592 10th St. N.W., Atlanta, GA 30318. Tel: 404-875-9211; Web site:
http://www.sreb.org. For full text:
http://www.sreb.org/programs/hstw/publications/briefs/Middle_Grades_To_HS.pdf. www.sreb.org
Creswell, J. W., & Guetterman, T. C. (2018). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating
Quantitative and Qualitative Research (6th Edition). Pearson.
https://www.researchgate.net/publication/324451568_Educational_Research_Planning_Conducting_and_Eva
luating_Quantitative_and_Qualitative_Research_6th_Edition
Crystal, D. (1997). English as a global language Second edition (Second). Cambridge University Press.
www.cambridge.org
DeYoung, A. J. (1991). Rural Education: Issues and Practice (Vol. 25). Routledge. https://eric.ed.gov/?
id=ED382438
du Plessis, P. (2014). Problems and complexities in rural schools: Challenges of education and social development.
Mediterranean Journal of Social Sciences, 5(20), 1109–1117.
https://doi.org/10.5901/mjss.2014.v5n20p1109
Febriana, M., Nurkamto, J., Rochsantiningsih, D., & Muhtia, A. (2018). Teaching in Rural Indonesian Schools:
Teachers‟ Challenges. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 5(5), 1–11.
https://doi.org/10.18415/ijmmu.v5i5.305
Harmer, J. (2007). How to Teach English (Second). Person Education Limited . https://docs.google.com/viewer?
a=v&pid=sites&srcid=ZGVmYXVsdGRvbWFpbnxzZXJzZXBvcnRmb2xp
b
3xneDo1MzRmMTZkMTFlNTQ2OWEy
Howley, A., Rhodes, M., & Beall, J. (2009). Challenges Facing Rural Schools: implications for Gifted Students.
Journal for the Education of the Gifted, 32(4), 515–536.
http://www.prufrock.com
Jabbarifar, T. (2009). THE IMPORTANCE OF CLASSROOM ASSESSMENT AND EVALUATION IN
EDUCATIONAL SYSTEM. Proceedings of the 2nd International Conference of Teaching and Learning,
1–
9.
Knoblauch, D., & Chase, M. A. (2015). Rural, suburban, and urban schools: The impact of school setting onthe
efficacy beliefs and attributions of student teachers. Teaching and Teacher Education, 45, 104e114-114.
https://
doi.org/10.1016/j.tate.2014.10.001
Looney, A., Cumming, J., van Der Kleij, F., & Harris, K. (2018). Reconceptualising the role of teachers as
assessors: teacher assessment identity. Assessment in Education: Principles, Policy and Practice, 25(5), 442–
467.
https://doi.org/10.1080/0969594X.2016.1268090
J3u7rnal Penelitian Jurnal Penelitian
Pendidikan Pendidi3k7an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN
Mccracken, J. D., David, J., & Barcinas, T. (1991). High School and Student Characteristics in Rural and Urban

J3u8rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k7an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN
Areas of Ohio.
Mente, I., Elliot, D., Hulme, M., Lewin, J., & Lowden, K. (2011). A Guide to Practitioner Research in Education.
SAGE Publications Ltd. https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/a-guide-to-practitioner-
research- in- education/book234154
Nunan, D. (1999). Second Language Teaching & Learning. In Heinle & Heinle Publishers. Heinle & Heinle
Publishers. https://books.google.co.id/books/about/Second_Language_Teaching_Learning.html?
id=svPtAAAAMAAJ&r edir_esc=y
Nurfuadah, R. N. (2014, December 11). 10 Masalah Utama Kurikulum 2013 . Https://News.Okezone.Com/.
https://news.okezone.com/read/2014/12/11/65/1077829/10-masalah-utama-kurikulum-2013
Ponmozhi, D., & Thenmozhi, A. (2017). Difficulties Faced By the Rural Students in Learning English at High
School Level. IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS, 22(6), 31–34.
https://doi.org/10.9790/0837-2206133134
Ramos Holguín, B., & Aguirre Morales, J. (2016). English Language Teaching in Rural Areas: A New Challenge
for English Language Teachers in Colombia. Cuadernos de Lingüística Hispánica, 27, 219.
https://doi.org/10.19053/0121053x.4217
Rich, E., & Evans, J. (2009). Performative Health in Schools: Welfare Policy, Neoliberalism and Social Regulation.
Biopolitics and the “obesity epidemic”: Governing bodies. In J. Wright & V. Harwood (Eds.), Biopolitics
and the “obesity epidemic”: Governing bodies (Vol. 3, pp. 157–171). Routledge.
https://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:217929
Sadulloh, U. (2018). PEDAGOGIK ILMU MENDIDIK (Sixth). Alfabeta. https://shopee.co.id/BUKU-
PEDAGOGIK-ILMU-MENDIDIK-Uyoh-Sadulloh-Alfabeta-i.3046560.1438267967
Uno, H. B., & Lamatenggo, N. (2010). Teknologi Komunikasi dan Informasi Pembelajaran. Bumi Aksara.

BINGO GAMES TO ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS

Yeni Kristiyana, Gunarso Susilohadi, Handoko Pudjobroto


English Education Department of Teacher Training and Education Faculty
SebelasMaret University Surakarta

Email: yenikristiyana@ymail.com

Abstract

This article describes a classroom action research held in English class WKURXJK WKH
LPSOHPHQWDWLRQ RI %LQJR JDPHV WR LPSURYH WKH WKLUG JUDGH VWXGHQWV¶ YRFDEXODU\ PDVWHU\
DQG VWXGHQWV¶ PRWLYDWLRQ 7KLV UHVHDUFK ZDV FRQGXFWHG LQ WZR cycles. Each cycle
included four stages: planning, implementing, observing, and reflecting. The data that
were obtained qualitatively and quantitatively show that ELQJR JDPHV FRXOG LPSURYH
WKH VWXGHQWV¶ DELOLW\ LQ PHPRUL]LQJ WKH PHDQLQJ
RI ZRUGV WKH VWXGHQWV¶ DELOLW\ LQ SURQRXQFLQJ WKH ZRUGV FRUUHFWO\ WKH
VWXGHQWV¶ DELOLW\ LQ VSHOOLQJ WKH ZRUGV FRUUHFWO\ WKH VWXGHQWV¶ DELOLW\ LQ LGHQWLI\LQJ
SURSHU ZRUG XVH VWXGHQWV¶ PRWLYDWLRQ

Keywords: Classroom action research, vocabulary mastery, Bingo games,


elementary school

Abstrak

Artikelinimendeskripsikanpenelitiantindakankelas yang dilaksanakan di


kelasbahasaInggrismelaluipenerapanpermainan Bingo
untukmeningkatkanpenguasaankosa kata
danmotivasisiswakelastiga.Penelitianinitelahdiselenggarakandalamduasiklus.Ti
a psiklusterdiridariempatlangkah: perencanaan, penerapan,
pengamatandanpencerminan.Data yang

J3u8rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k8an
Volume 20, Nomor 3, 325 –- IISSSSNN114411
333344 22--556655XX
ee--IISSSSNN

telahdiperolehsecarakualitatifdankuantitatifmenunjukkanbahwapermainan Bingo
dapatmeningkatkan: (1) kemampuansiswadalammenghafalkanarti kata-kata; (2)
kemampuansiswadalammengucapkan kata-kata denganbenar; (3)
kemampuansiswadalammengeja kata-kata denganbenar; (4)
kemampuansiswadalammengidentifikasipenggunaan kata yang tepat;
(5)motivasisiswa

Kata kunci: penelitiantindakankelas, penguasaankosakata, permainan Bingo,


SekolahDasar
In learning a foreign language, the most important component of a
mastering the fourth skill in English; language power. Vocabulary is one of
listening, speaking, reading and the most aspects of the foreign
writing, vocabulary is language learning. Without

J3u9rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi3k9an
40

vocabulary, we cannot communicate Based on the pre


effectively. So, the first step to learn observation the writer found some
English is learning vocabulary. problems in elementary school
Vocabulary can be defined students, as indicated by the
asthe stock of words that used by following indicators: (1) the
person, class, or profession. The students could not pronounce the
meaning is clear enough that in word correctly. The students
almost cases of human life, they use tended to pronounce the letters of
of the words. The use of words itself the words; (2) the students found
differentiated according to the field, difficulties in spelling the words.
class, person, or profession (Burns For example, they write mouth
and Broman, 1975: 295). According instead of moth, nose instead of
to Hatch and Brown (1995: 1) argue nos. There was letter that lost; (3)
that the term vocabulary refers to a the students found difficulties in
list or set of words for a particular memorizing the meaning of the
language or words that individual words. In the pre observation,
speakers of language might use. when the teacher gave them
Mastering English question or exercise about meaning
vocabulary therefore is much they could not answer well; (4) the
needed to learn more about students found difficulties in
English. Hornby (1995: 721) states identifying the proper word use.
that mastery is complete Somestudents could not identify
knowledge or great skill. While as the proper function of things
stated in Oxford dictionary (1995) although the context was given.
defines mastery as the complete ,Q DGGLWLRQ WKH VWXGHQWV¶
control of knowledge. It means that motivation is low as indicated by
to be able to control our four following indicators: (1)The
language skills for communicating, students did not pay attention
without having proportional during teaching learning process.
English vocabulary, we will great They got bored easily, were not
deal of difficulties in using enthusiastic and were less
English, both written and orally. interested to the English lesson. (2)
To conclude, vocabulary Some students were passive. (3)
mastery is the complete knowledge The smart students were dominant
or great skill to comprehend and to in joining class activities. (4) Some
apply stock of words of a language students also created a joke, made
with their meaning might use noise and disturbed the others.
which is differentiated according to The problems faced by the
person, class or profession. students are caused by
somefactors that may come from

J4u0rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k0an
41

the students, the teacher, media, or teaching English especially


technique used inteaching learning vocabulary.
process: (1) The teacher played Thus, it can be
less attention to teaching concludedthat Bingo games are
vocabulary. (2) The teacher used kinds of word game consists of
the conventional method in card instruction which is designed
teaching the materials. There was and created to perform and
no variation or other teaching enjoying activity restricted by rules
media used by her. There was also where the player to be the winner.
no handbook or LKS It aims as a tool in assessing and
(LembarKerjaSiswa). The teaching English especially
students took a note all the time. vocabulary.
The only teaching media was By playing Bingo games,
whiteboard. (3) The students the students felt fun, relaxed and
assumed that English was a enjoyable, and they could
difficult subject, especially in memorize the vocabulary in
memorizing and pronouncing the different way. It made the
words. teaching-learning process more
Considering the problems attractive.
in mastering
vocabularyencountered by the RESEARCH METHOD
studentsabove, the researcher The method used in this
proposes a teaching technique of research is action research.
using Bingo gamesinteaching Kemmis (1983) in Hopkins (1993:
vocabulary as a solution. Bingo 45) states that action research is
games are the word game that trying out an idea in practice with a
consists of picture and word card. view to improving or changing
Bingo games are the effective way something, trying to have a real
to teach vocabulary. According to effect on the situation. However,
Smith (2002) vocabulary Bingo the research is aimed at improving
game is an effective way to help vocabulary of the students. So, it is
students review vocabulary words best conducted by using action
as well as learn new words. This research method. The researcher in
activity uses sight-word her research tries to improve
recognition by allowing students VWXGHQWV¶ YRFDEXODU\ PDVWHU\ E\
to match the correct word with using Bingo games.
picture. In addition Kavaliuskiene While Carr &Kemmis
(2000) adds that Bingo game is an (1986) in Burns (1999: 30) states
ideal tool in assessing and that action research is simply a
form of self-reflective inquiry

J4u1rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k1an
42

undertaken by participants in social Burns (1999: 157-160) which


situations in order to improve the consists of:(1) assembling the
rationality and justice of their own data mean the researcher
practices, their understanding of collected all the data over the
those practices and the situations in period of the research: field-
which the practices are carried out. notes, journal entries,
In this classroom questionnaires and so on; (2)
action research, the researcher coding the data means the
uses the model developed researcher categorizes or codes
byKemmis and McTaggart in the data which can be developed
Burns (1999: 32). KemmisandMc to identify patterns more
Taggart (1998) in Burns (1999: specifically; (3) comparing the
32) state that Action Research data means the researcher
occurs through a dynamic and compares the data; (4) building
complementary process, which interpretations. It is the point
consists of four fundamental where moving beyond
steps in a spiraling process. They describing, categorizing, coding,
are:(1)identifying problem and and comparing to make some
planning the action; sense of the meaning of the data;
(2)implementing the action; and (5) reporting the outcomes.
(3)observing the action; (4) In analyzing the quantitative
reflecting the result of the data, the researcher used
observation. descriptive statistics formula.
This action research The improvement can be seen if
which concerns on using Bingo the mean score in post-test is
games in teaching vocabulary higher than mean score in pre-
needs some data to be test.
analyzed.The researcher collects
the data using qualitative and
RESULT AND DISCUSSION
quantitative method. The
After implementing
qualitative data were collected
Bingo game to improve VWXGHQWV¶
from observation, interviews,
vocabulary mastery, the
and field notes. The quantitative
researcher got some results
data was collected from the
dealing with both vocabulary
VWXGHQWV¶ YRFDEXODU\ VFRUH
mastery and class situation. The
obtained from test.
results are presented in the Table
In analyzing qualitative
1.
data, the researcher used
descriptive analysis proposed by

J4u2rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k2an
43

7DEOH 7KH VWXGHQWV¶ LPSURYHPHQW LQ YRFDEXODU\ PDVWHU\


Aspects Meaning Spelling Using Pronunciation Mean Score
Passing 6.00 6.00 6.00 6.00 60
Grade
Pre-test 5.41 4.29 4.85 3.15 44.26

Post test 1 8.67 5.81 6.96 5.56 67.22

Post test 2 9.33 7.07 8.55 8.33 80.57


Table 1 presents the researcher gave simple sentence
VWXGHQWV¶ LPSURYHPHQW LQ to tell the means of the picture.
vocabulary mastery. Before In the first cycle the
action, it was shown that the researcher still found some
students had problem in weaknesses of vocabulary
vocabulary mastery. The DVSHFWV DQG VWXGHQWV¶ PRWLYDWLRQ
VWXGHQWV¶ PHDQ VFRUH RI SUH-test Some weaknesses of vocabulary
did not pass the passing grade DVSHFWV DUH D WKH VWXGHQWV¶
that was 60. After the ability in pronunciation was still
implementation of Bingo games low, most of students still
in cycle 1, it was found that the pronounced the
students got improvement in their wordsincorrectly.; (b) the
mean score, although there were students were poor in spelling
only two indicators that fulfill the such as they wrote as they
passing grade. The two indicators sounded the words out. The
improved through some weakQHVVHV RI VWXGHQWV¶
treatments that were conducted motivation are: (a) some students
by the researcher: (a) The were still passive; (b) the smart
researcher used one of procedure students still dominant in joining
in play Bingo games; the class activities; (c) some students
researcher asked the students to still disturbed the teaching
match the word with the picture learning process by making a
in Bingo card. The students could joke, they spoke aloud when they
match the word with the picture make a joke.
correctly. It means that the The problems that still
students could memorize the happen in the first cycle caused
meaning of words easily through by some factors related to
Bingo games. (b) Aspect of using teaching and learning process in
the words could be reached the case of vocabulary mastery
through giving clue by the and motivation: (a) the researcher
researcher to the students from was less in drilling the students
the picture in Bingo card. The so they have not gotten yet into

J4u3rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k3an
44

the habitual of pronouncing the and forced them to respond the


English words; (b) the students activity more so that they were
were still strange with English active in positive way.
letter; (c) the researcher were less Then, after cycle 2, the
in giving spelling exercise; (d) finding showed that the score of
the researcher found difficulties WKH VWXGHQWV¶ YRFDEXODU\ PDVWHU\
in managing the class. increased. Almost all vocabulary
The researcher prepared mastery indicators scores
two meetings for the next cycle. fulfilled the passing grade of each
In this cycle the researcher as the indicator. From the improvement,
teacher used different topic in it can be seen that WKH VWXGHQWV¶
accordance with the material in YRFDEXODU\ PDVWHU\ was improved
the school. The researcher by Bingo games.
revised the next action plan to Bingo games gave
overcome the problems that students chances to explore their
appeared in the first cycle. In knowledge or vocabulary related
cycle two, the researcher would to the topic. According to Jeannie
focus on how to make all (2000) bingo game is a game for
students to be more active, to the whole class, which
keep their enthusiasm, and to encourages students to study and
LPSURYH WKH VWXGHQWV¶ DELOLW\ RQ review their vocabulary. The use
pronunciation and spelling. The of bingo games can be used
researcher used different effectively to improve the
strategy: (a) the researcher would VWXGHQWV¶ YRFDEXODU\ PDVWHU\
give more activity to practice through some stages: (a)
sWXGHQWV¶ VSHOOLQJ E WKH Pictures, pronunciation and
researcher would change the motor processing in bingo games
group work into individual work; technique are used to support
(c) the researcher also gave more memorizing process and help
DFWLYLW\ WR SUDFWLFH WKH VWXGHQWV¶ anchor words in the long term
pronunciation; (d) the researcher memory. It becomes more long-
would point the students who lasting when words were
were still passive and motivated repeated often enough. (b)
them to be confidents in Imitating the teacher as a model
answering or giving opinion; (e) or native speaker can help
the researcher would control the students learn pronunciation
students who liked to disturb the easier. (c) Other types of bingo
lesson or create a joke in the games (spelling bingo game) can
classroom by admonish them cover the spelling practice. It
strictly using positive admonish helps students spell the words

J4u4rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k4an
45

easier and more fun. (d) Giving The second finding is the
clue of the picture in bingo card studentV¶ PRWLYDWLRQ LPSURYHG
is stated for introducing the word 7KH LPSURYHPHQW RI VWXGHQWV¶
use. motivation is presented in table
2.
7DEOH 7KH VWXGHQWV¶ LPSURYHPHQW LQ PRWLYDWLRQ
6WXGHQWV¶
The beginning of The end of cycle 1 The end of cycle 2
Motivation
cycle 1
6WXGHQWV¶ ™ The students had ™ The students ™ All of the
participation low motivation to were happier and VWXGHQWV¶
learn English, got more interested motivation
bored easily, were with the lesson increased. They
not enthusiastic during the Bingo kept enthusiastic
and less interested games. It was during the Bingo
to the lesson. easy for the games.
students to
understand the
lesson.
6WXGHQWV¶ ™ Only few ™ Some students ™ Most of the
Involvement students were were more students were
active to answer confident and active to join in
or give their brave to raise their the class activity
opinions. hands to be and felt free to
The smart chosen by the state their answer
students were teacher. or opinions. They
dominant in the ™ Some students were also brave to
class. still compete in some
™ Some students made a joke and activities.
were naughty in disturbed the ™ The naughty
the class, made others. boys could be
noise, and handled and
disturbed the stopped from
others. making any noise.

Table 2 presents positive picture Bingo, word Bingo, and


LPSURYHPHQWV WRZDUG VWXGHQWV¶ spelling Bingo which were
PRWLYDWLRQ 7KH VWXGHQWV¶ designed with colorful cartoon
motivation improved through pictures (3) The researcher gave
some treatments that were more attention to the passive
conducted by the researcher: (1) students through point them to
The researcher used colorful answer the questions. (4) The
pictures which were changeable WR researcher gave admonish strictly
NHHS WKH VWXGHQWV¶ IRFXVing. (2) to the students who were always
the researcher used many types made a joke.
of Bingo games such as

J4u5rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k5an
46

After implementing this study and enhance learning by


research, the students show a the students.
good response toward Bingo The third finding is the
games. It can be seen from their VWXGHQWV¶ DFKLHYHPHQW LQFUHDVHG
participation. The teaching Based on Ur (1998: 274) the
learning process showed that motivation is very strongly
their participation improved. The related to achievement in
improvement could be seen in language learning. It means that
their behavior. The students WKH LPSURYHPHQW RI WKH VWXGHQWV¶
became happy and enthusiastic motivation has influenced the
during teaching learning VWXGHQWV¶ DFKLHYHPHQW %DVHG RQ
process.All the students were the computation of the test
ready in the class when the scores, the mean score of the
teacher entered the students students increased in each cycle.
actively DQVZHU WHDFKHU¶V The mean score of cycle one is
questions. The students were better than the mean score of
more active in teaching learning pretest while the mean score of
process. Bingo games created fun cycle two is better than that in
learning situation, therefore it cycle one. It means that there is
either made the students enjoyed an improvement in each cycle.
and became more involved in
learning vocabulary. In other CONCLUSION AND
words, Bingo games reduced the SUGGESTION
VWXGHQWV¶ DQ[LHW\ LQ OHDUQLQJ Based on the research
DQG increased learning findings, it can be concluded that
motivation. The competition in Bingo games can improvethe
Bingo games could stimulate and VWXGHQWV¶ YRFDEXODU\ PDVWHU\
encourage them to participate in the The students had positive progress in
activity since naturally they would vocabulary indicators as
to beat with other teams. mentioned in the research
Based on the explanation findings. Bingo games are the
above, it can be concluded that appropriate method that can LPSURYH
teaching vocabulary through VWXGHQWV¶ YRFDEXODU\ PDVWHU\
Bingo games improved their DQG VWXGHQWV¶ PRWLYDWLRQ in
motivation. It is suitable to learning English.
statement of Wilmott (2007) The improvement can
states that the interactive and be seen from the result score of
light-hearted medium of a Bingo pre-test and post test. The mean
game can provide motivation for score of pre-test was 44.26 while
the mean score of post test in

J4u6rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k6an
47

cycle one increased up to 67.22. cooperation when doing task in


The mean score of post test in group. Then for the school, it
cycle two was better than the should support English teachers to
mean score of post test in cycle improve their teaching quality. It
one that was 80.57. The can be done by providing facilities
improvement RI VWXGHQWV¶ that support the teaching and
motivationduring the teaching- learning process. The school also
learning process also gives should provide handbook for the
positive contribution in the students in order to help students
increase of the mean score. easier to learn. It is also to manage
Thestudents become more active the time easily. Finally, for other
and enthusiastic in learning researcher, it is expected that the
process. Teaching vocabulary findings of this study will be used
through Bingo games can as an additional reference for
decrease the boredom and it also further research in different
UDLVHV WKH VWXGHQWV¶ SDUWLFLSDWLRQ context which will give valuable
activities, and interaction in contribution to teaching and
teaching learning process. learning English.
Having concluded the
result of the research, the BIBLIOGRAPHY
researcher would like to propose
some suggestions for the teacher, Burns, Anne. 1999. Collaborative
the students, the school and other Action Research for
researcher. For the teacher, s/he English Teachers.
can use Bingo games in teaching Melbourne: Cambridge
in order to make the students more University Press
motivated,attractive and active in
joining the lesson. It is important Burns, Paul C. and Broman, Betty
to the teacher to create an L. 1975.The Language Arts
enjoyable situation of teaching in Childhood. Chicago:
learning process in order to make Rand Mcnally.
them eager to improve their
English. For the student, they Finch, Andrew. 2000. Interactive
should be more discipline in time Bingo. Kyungpook National
in order that the teaching learning University. Available at:
process using bingo games can www.finchpark.com
start and finish on time. They
should be more confident when Hatch, Evelyn and Chary 1 Brown.
giving or answer the question. The 1995. Vocabulary,
students also should improve their Semantic and Language

J4u7rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k7an
48

Education. Cambridge: Cambridge University Press

Hopkins, David. 1993. $ 7HDFKHU¶V Guide to Classroom Research.


Buckingham: Open University Press.

Jeannie. 1999. Vocabulary Bingo.


Available at:
http://teachers.net/lessons
/posts/1201.html. Downloaded at Monday
19:28

Kavaliuskiene. 2000. A Learner- Centred Approach to Vocabulary Review


Using Bingo. Retrieved from (TESL_TEFL).htm. The Internet TESL
Journal, Vol.

J4u8rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k8an
49
VI, No. 10, October
2000.http://iteslj.org/

Smith. 2002. The Westing Game Vocabulary Bingo. Retrieved October


16th,2011, from
http://novelinks.org/.../378- vocab%20bingo.pdf

Ur, Penny. 1996. A Course in


Language Teaching.
Cambridge: Cambridge
University Press

Wilmott. 2007. Revision Bingo.


Leicester. Available at https://lra.le.ac.uk/jspui
/bitstream /...
/06%20Revision%20Bingo. pdf

J4u9rnal Penelitian Jurnal Penelitian


Pendidikan Pendidi4k9an
50

ISSN : 1979-6889

KEEPING JOURNAL WRITING TO IMPROVE THE WRITING


ABILITY OF THE TENTH GRADE STUDENTS OF SMA N 1
JEKULO KUDUS
IN THE ACADEMIC YEAR 2009/2010
1
Asmal Wafa, Muh.Syafei, Ahdi Riyono

ABSTRAK
Sejak bertahun-tahun lalu, orang sering kali berpikir bahwa menulis adalah
ketrampilan yang paling sulit. Lemahnya grammar, kesulitan dalam pemilihan kata dan
ketakutan dalam membuat kesalahan adalah beberapa alasan mengapa menulis dianggap
sebagai ketrampilan yang sulit. Hal ini juga yang menyebabkan kebanyakan siswa di SMA N
1 Jekulo yang notabennya merupakan sekolah yang lengkap dalam hal fasilitas untuk
mendukung proses pembelajaran bahasa justru mendapatkan nilai yang rendah dibidang
menulis yang dibuktikan dengan perolehan nilai dibawah KKM yaitu 52,4. Penelitian ini
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa kelas satu SMA N 1 Jekulo Kudus pada
tahun ajaran 2009/2010 dengan menulis jurnal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan ada tidaknya perkembangan yang signifikan dalam kemampuan menulis siswa
kelas sepuluh SMA N 1 Jekulo Kudus tahun ajaran 2009/2010 setelah menulis jurnal. Penelitian
ini tergolong kedalam penelitian eksperimen dengan pre-test dan post test. Penelitian ini
berfokus pada penerapan jurnal pada siswa kelas sepuluh SMA N 1 Jekulo Kudus tahun ajaran
2009/2010 berdasarkan pada konsep learning journal oleh Hiemstra (2001) yang dipadukan
dengan beberapa pengembangan dari penulis. Setelah dilakukan treatment, siswa dites dalam
post-test. Hasil dari post-test menunjukkan bahwa siswa tersebut menempati berada dalam ketegori
“Baik” dengan nilai rata-rata 58,2 menjadi 80,5 dengan to
8,04 > tt 2,04 pada level signifikan 5% dan degree of freedom 34 (n-1).

Kata Kunci: Menulis, Kemampuan Menulis, Journal, Menjaga Journal, Meningkatkan


Kemampuan Menulis

ABSTRACT
Since years ago, people often think that writing is the most difficult skill. Limited in
grammar, difficult in word choice and afraid in making mistakes are some reasons why
writing viewed as difficult skill. These also made most of the students on SMA N 1 Jekulo
Kudus that has good facilities in support the English learning process precisely has a low ability
in writing that proved by the score of 52, 4 under the KKM score. This research is conduct to
improve the writing ability of the tenth grade students SMA N 1 Jekulo Kudus in the academic year
2009/2010 by keeping journal. The purpose of this research is describes whether there is or no
significance progress in the students writing ability of the tenth grade students of SMA N 1 Jekulo
Kudus after keeping journal writing. This study belongs to experimental research with pre-test
and post-test design. This study focus on applying journal writing to the tenth grade students of
SMA N 1 Jekulo Kudus in the academic year 2009/2010 based on learning journal on Hiemstra
(2001) concept and adding by the writer‟s own develop. After getting treatment, students are
tested in the post-test. The result of post test
KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE STUDENTS
OF
1
1
SMA N 1 JEKULO KUDUS I N THE ACADEMI C YEAR 2009/2010
Staf Pengajar Fakultas FKIP Universitas Muria Kudus

Veronica
51
showed that the students stand on the categorize of “Good” from the mean score 58,2 into
80,5 with to 8,04 > tt 2,04 on the level of significance 5% and degree of freedom 34 (n-1).

Keywords: Writing, Writing Ability, Journal, Keeping Journal, Improve Writing Ability

INTRODUCTION

Writing is viewed as the most difficult skill since years ago. People often think
that the success of language learning is seen generally through the speaking ability as
the primary skill while writing is slighted. That is because they felt that writing is
so difficult to do. As my experience on the field experience program in SMA 1
Jekulo Kudus, most of the students feel that writing is not easy thing to do, even it is so
difficult. Whereas, SMA N 1 Jekulo is one of the SMA that has good facilities to
support the teaching learning process, they have more than five English teachers and
the luxury language laboratory. It can be proved by the score of English lesson
especially in writing topic that the teacher shown, the mean of the tenth grade students‟
score is 39,84, while after getting remedial test the mean of their score is 52,45. After
discussed with the English teacher and observed the tenth grade students these
difficulties caused by some reasons, the first is that they have lack of practice,
afraid in making mistakes and they experienced the difficulty in choosing the correct
word, arranged the word, the lack of vocabulary, and limited in grammar understanding.
These conditions often stressed the students so that they feel more difficult in
writing. Actually the problems encountered can be faced by add more occasions to the
students to get practice in writing but in fact, the teacher also the students often
believe the old orientation that the success of English learning is regard from speaking
ability. Whereas the writing skill is a development process that demands an experiences,
times, opportunities, training, and ideas that expressed clearly and organized
attractively. (Tarigan, 2009: 9). With regard to this phenomenon, therefore this
research conducted to less the problem encountered by the students in writing
process by conducting an experimental on applying journal in teaching writing as
students‟ assignment.
There are several reasons why keep a journal is chosen as very interesting thing to
apply as writing treatment. First, journal is a simple thing but it has a significance
impact. Crosby and Carter (1986) stated that journal help bridge the gap between
personal writing in public writing, and it is viewed as appropriate way to continue the
intensive training for the writer. Second, keeping a journal makes someone more
enjoy to explore their mind. Hollowell on
52
http://selfawareness.suite101.com/article.cfm/keeping a journal 2009 share
his
52
experience in
53
keeping journal that journal make him can explore his innermost “working” and
freely express himself without any worry of wondering eyes. Third, journal proved as
effective media used in some research to improve some skill. Boud (2001) applied
keeping journal writing to increase the reflective practice, he described that journal
writing is a multifaceted activity use for many purposes. Lewis
(2009) retrieved from
http://k6educators.about.com/cs/languageartswr/a/journalwriting.html, as the teacher
who applying journal in teaching writing for his elementary students stated that ask
students to keep a journal make the teacher to be more creative to choose the
appropriate topic for the students. The last reason is that by keep a journal the
students will get more occasions to study and practice their full ability as Tarigan
(2008) stated that the writing skill will appear by experienced, time, occasion, and
training. Due to that, I am interested in conducting the research about the way to
improve the student‟s writing ability by keeping journal and use the students of SMA 1
Jekulo Kudus as a population because this SMA the writing skill of the students is low
as proved by the score of the students; 52,45.The main research questions for present
study were addressed as follow:
Is there any significant progress between the writing ability of the tenth grade
students of SMA N 1 Jekulo Kudus in the academic year 2009/2010 before and
after keeping a journal?
Based on the statements of the research, the significance of the research as follows:
To describe whether there is or no significant progress of the writing ability of the tenth
grade students of SMAN 1 Jekulo Kudus in academic year 2009/2010 before and after
keeping journal.
In the following section, journal writing uses, kinds of journal type, and the
previous research are discussed.

LITERATURE
REVIEW
Journal
Journal is a media like a notes, book, pad, etc. that generally has function as a
diary. Journal is same as the diary, but that not contains of the students experienced
only. Tarigan (2008: 37) explained that Journal is one of the personal note that actually

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 3
ST
U
DE
54
almost same with the diary, on the diary we are the talking points and so do on the
journal, but the difference is that on the journal we are give other people to read our
journal while on the diary we usually keep our privacy. Lewis (2009) stated that Journal
is one of the effective programs that can

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 3
ST
U
DE
55
help the students to organize and inspired their own writing. Hollowell (2009)
retrieved from http://selfawareness.suite101.com/article.cfm/keeping a journal on
December 9th
2009 share his experienced in writing journal, he stated that the journal is the placed where
he explore the innermost working and he also fell freely expressing what he fells and
thinks without the worry of wondering eyes. From the statement above, it can be
conclude that journal writing is the personal note that almost same with the diary
where people used to express their self without any fears but it may have no privacy
because anyone can see what the writer write.

Kinds of Journal
Writing
A variety of journaling types and formats have been developed over the years. There
are many educators who divided the kinds of journal writing into some types, but here I
just roll out the types of journal writing that explain by Hiemstra (2001) who has found
particularly useful in the graduate classroom. He stated that each has advantages and
disadvantages, but all are effective in helping students to record important information to
their efforts. Hiemstra (2001) divided the kinds of journal into:
1. Learning Journals
This is the recording device during an educational experience that has a
function to enhance frequent writing by give stimulation while reading
course materials or talking with fellow students. Stimulation here can be from
the topic, article, songs, etc. (Hiemstra, R.: 2001)
2. Diaries
A diary is consist of daily experiences involves the unstructured,
chronological recording of the events of a person‟s life as they are perceived.
(Hiemstra, R. : 2001)
3. Dream Book or Log
This is use for personal or psychological reasons in recording and/or interpreting
their dreams. (Hiemstra, R. : 2001)
4. Autobiographies, Life Stories, and Memoirs
Autobiography focuses on self-assessment, life stories typically assess someone
else's life but can be used personally, and memoirs take a more informal approach
to telling a life story. (Hiemstra, R. : 2001)
5. Spiritual Journals
A spiritual journal usually is somewhat different than a regular journal56 or
diary. It normally involves recording personal reactions to spiritual or
56
religious matters. (Hiemstra, R. (2001)
5
6. Professional
Journals
This type is appertain as a specific purpose journal. On his experience,
Hiemstra ask the students to keep a professional journal that includes
developing a statement of professional commitment. The professional journal
then becomes part of the learner's professional portfolio and all these materials
are shared with and critiqued by fellow seminar members and him. (Hiemstra, R. :
2001)
7. Interactive Reading
Log
The interactive reading log provides a mechanism for a student to critically reflect
on information as it is read. (Hiemstra, R. : 2001)
8. Theory
Log
The assumption serving as a basis for this activity is that each student
taking a graduate course will need to learn to think and critically reflect on
corresponding terminology, theory, and knowledge. Brookfield (1995) stated on
Hiemstra (2001) refers to this as reading theory critically. (Hiemstra, R. : 2001)
9. Electronic
Journaling.
This is the journal that write on the electronic media such as computer or net
book. (Hiemstra, R. : 2001)

Benefits of Journal Writing


Journal as the effective program to develop the writing skill has it own criteria.
Keep journal writing doesn‟t mean that the teacher force the students to write. Lewis
(2009) stated:
“An effective Journal Writing program doesn't mean you just sit back and relax
while your kids write about whatever they want. You can use well-chosen
journal topics, classical music, and checklists to make the most of your students' daily
writing time”

It‟s mean that the teacher also has a big authority to make the students has their
on responsibility to get their skill. Teacher as the mediator just help the students to
get the purpose of teaching by giving them some topics to write. The topics are very
KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 5
ST
U
DE
important to give, because the topic can help the student focuses on their6 writing.
Lewis

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 5
ST
U
DE
7
(2009) add that if the students write anything they want, the student writing can tend to
get silly with a lack of focus and Journal writing helps them to get the focus.
Crosby and Carter (1986) stated that journal help bridge the gap between personal
writing in public writing, and it is viewed as appropriate way to continue the intensive
training for the writer. They also said that journal is a good place to play, to experiment,
and to take risk because we can begin to formulate
ideas

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 6
ST
U
DE
8
which we would hesitate to expose to the world. It is believed that by keep a journal
students can play with words, rhythms, metaphor, balance, and voice. Not only that,
journal also helps develop a valuable personal trait for the writer discipline and focus.
(Crosby and Carter:
1986). While Moon (1999) identified the proposes of journal
into:
1. To deepen the quality of learning, in the form of critical thinking or
developing a questioning attitude
2. To enable learners to understand their own learning process
3. To increase active involvement in learning and personal ownership of learning
4. To enhance professional practice or the professional self in practice
5. To enhance the personal valuing of the self towards self-empowerment
6. To enhance creativity by making better use of intuitive understanding
7. To free-up writing and the representation of learning
9. To provide an alternative „voice‟ for those not good at expressing themselves
10. To foster reflective and creative interaction in a group
From those benefits above, it is believe that journal writing is the effective
way to improve the students writing ability because by writing journal, the students
have more opportunities in writing practice and share the thoughts and ideas without any
fears.

Previous
Study
There are so many research efforts to improve the writing ability. Susanto, in 2006
try to improve the writing ability of the second semester students of English
Education Department Muria Kudus University in the academic year 2005/2006 by
using diary as a media. In 2009 there was also the research to improve the students
writing ability of the tenth grade students of SMA N 1 Jekulo Kudus did by Fitriyani.
This research focused on how to improve the writing ability of the students, as her
treatment she used the picture as the media in teaching writing to the students. The
result of these researches showed that media include diary and pictures are the
effective way that can be used to stimulate the students in writing.
Give stimulate to the students in writing is something important to less their afraid,
that is why this research is conducted to improve the writing ability by keeping a journal
writing. This is not the first time people using journal as a treatment in their teaching
research. Boud (2001) applied keeping journal writing to increase the reflective practice
on the students of University of Technology, Sidney on 2001, on his research, he found
9
that journal writing is a multifaceted activity use for many purposes. It can be used
in
8
many different ways to promote reflection. Different strategies and devices can be used
in other stages of learning to focus on
7
events anticipated as well as those that have passed. Boud et. al. was begin promote
journal writing in adult learning, that of course because the benefits of keep a journal
as Moon (1999) said above. That also mean that, journal can be use in anything side
of learning include of writing, so that is way the writer going to prove again that
keep journal is an effective way to increase the students learning in writing. Moreover,
Lewis (2009) as the teacher who applied journal in his class stated that keep a journal
make students get more practice to write, while by writing every day, the students gain
fluency while getting a chance to practice important punctuation, spelling, and style
skills in context. It was proved that it‟s working when it‟s applied on Lewis class, and
to prove it more the writer going to conduct the research with same way, but the
difference is the purpose and the subject of the research. Iliyanti (2009) was also
use the same media to improve the students writing ability, she was conduct her
research to the fourth semester students of English Education Department of Muria
Kudus University in academic year 2008/2009. As her treatment, she gave the students
some articles to be commented but she was not teaching them directly. She only came to
the class for three times to check give articles and check the students‟ journal. Different
from this research, here I applying journal writing to improve the writing ability of the
tenth grade students of SMA N
1 Jekulo Kudus in academic year 2009/2010 by teaching them directly, I also check
their journal and give occasion for each person to correct another journal. The journal
here is a book that students should be writing down into after they get some articles
and topics. The following sections will be discussed about the methodology, population
and sample, model of treatment, system scoring and technique of analyzing data, and
also the hypothesis of this research.

METHODOLOG
Y
This research belongs to quantitative quasi experimental research uses
pretest- treatment-posttest designs. The population of this research is all the teanth grade
students of SMA N 1 jekulo Kudus in the cademic year 2009/2010, while the subject of
investigation of this research is the tenth point three grade students (X.3) of SMA N 1
Jekulo Kudus in the academic year 2009/2010 which choose by random sampling
technique. The number of students is 38, while the sample here is the students who get

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABILITY OF THE TENTH GRADE 7
ST
U
DE
8
pre-test and post-test which is consist of 35 students. The treatment of this research is
keeping journal writing. The treatment of this research will be a strategy to increase the
writing ability of the students by keeping a journal. The journal that use is based on the
concept of Learning Journal which is the teacher

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABILITY OF THE TENTH GRADE 8
ST
U
DE
9
give the article or topic to be write as Hiemstra (2001) said that learning journal is
hand written in notebook or on a pad of paper that usually use to find a recording device
to make comfortable and enhances frequent writing by give stimulation by reading course
material or talking with fellow students. Beside use the concept of learning journal
based on Hiemstra (2001), I also make some development in applying learning
journal. The group would be treated to master the writing ability by giving articles to be
commended or making a new text based on the genre material that they have learned and
write it down into their journal. The instrument of this research is test, the system
scoring of the test is based on the criteria of system scoring by Brown (2003). To
analyze data, it is used an analyzes statistical descriptive with count mean, median
modus and also the deviation standard. While to analyze the differences between the
result of writing ability before and after keeping journal, it is used t- test technique for
dependent sample as noted by Nazir (1984:467) in the book of Metode Penelitian.

FINDINGS AND
DISCUSSION
Finding
There are two important things that should be discussed clearly in this section;
the level the writing ability of the tenth grade students of SMA N 1 Jekulo Kudus
before keeping a journal and the level of the writing ability of the tenth grade
students of SMA N 1 Jekulo Kudus after keeping journal. Based on the calculation
score of the writing ability of the tenth grade students of SMA N 1 Jekulo Kudus in
academic year
2009/2010 before keeping journal writing it is found that the lowest score is 37 and the
highest score 78.

Number Score Number Score


1 37 20 68
2 63 21 59
3 53 22 68
4 55 23 75
5 60 24 58
6 78 25 48
7 59 26 77
8 48 27 58
9 50 28 40
9
10 49 29 57
11 57 30 37
12 48 31 53
13 63 32 67
14 76 33 48
15 78 34 73
16 62 35 58
17 77
18 53
19 57

From the data above, the pre-test can be computed to the table frequency as follows:
2 2
No Score F X f.x x1 f.x1 (x1) f. (x1) %
1 72-78 5 75 375 3 15 9 45 14,29%
2 65-71 7 68 476 2 14 4 28 20%
3 58-64 4 61 244 1 4 1 4 11,43%
4 51-57 10 54 540 0 0 0 0 28,57%
5 44-50 6 47 282 -1 -6 1 6 17,14%
6 37-43 3 40 120 -2 -6 4 12 8,57%
∑ 35 2037 21 19 95 100%

Based on the students score above, it is found the average (mean) score of the
students‟ writing ability in Pre-Test is 58,2 with the deviation standard of 10,73. It is
mean that the writing ability of the tenth grade students of SMA N 1 Jekulo Kudus is
categorized as “Less” and it‟s under the constancy of KKM score. The figure of the
students‟ writing ability achievement before keeping journal writing can be describes
with the diagram as follow:

1 0
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
4 0 47 54 61 68 75

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABILITY OF THE TENTH 9


GRAVDeEroSnTicUa DENTS OF
SMA N 1 JEKULO KUDUS N THE ACADEM C YEAR 2009/2010
10
While the data of the students writing ability after keeping journal found that the lowest
score is 46 and the highest score 99.
Number Score Number Score
1 56 20 95
2 95 21 70
3 83 22 94
4 81 23 98
5 83 24 80
6 84 25 64
7 74 26 93
8 47 27 74
9 76 28 76
10 84 29 99
11 83 30 74
12 46 31 73
13 98 32 78
14 98 33 56
15 81 34 99
16 98 35 78
17 90
18 81
19 61

From the data above, the post-test can be computed to the table frequency as follows:

2 2
No Score F X f.x x1 f.x1 (x1) f. (x1) %
1 91-99 10 95 950 2 20 4 40 28,58%
2 82-90 6 86 516 1 6 1 6 17,14%
3 73-81 12 77 924 0 0 0 0 34,29%
4 64-72 2 68 136 -1 -2 1 2 5,71%
5 55-63 3 59 177 -2 -6 4 12 8,57%
6 46-54 2 50 100 -3 -6 9 18 5,71%
∑ 35 2803 -3 12 19 78 100%
11
Based on the students score above it is found the average (mean) score of the
students‟ writing ability in Post-Test is 80,85 (see appendix 5) with the deviation
standard of 13,08. It is mean that the writing ability of the tenth grade students of
SMA N 1
Jekulo Kudus is categorized as “Good” and it‟s surpass the constancy of minimum KKM
score. The figure of the students‟ writing ability achievement after keeping journal
writing can be describes with the diagram as follow:

Discussion
The result above showed that most of the students were influenced by keeping
journal writing as a treatment. It occurs because the students free up to express their
imaginations then they pour it out into the written form. More over, I found that keeping
journal writing is not only increasing their score in writing, but also improving the
power of imaginations that have a big impact in their vocabulary building. For example,
one of the students who show that she has a wild imagination after keeping journal,
she change the Cinderella story who loss her shoe because she was in a hurry in order
not to back home before mid night into the Cinderella who loss her open-toe slipper
because she was slip of banana. Keeping journal writing is the ideal medium for
initiating writing activities because keeping journal force and stimulated students‟
imagination and thought which stimulated students‟ creative writing.
The data of the writing ability of the tenth grade students of SMA N 1 Jekulo
Kudus in the academic year 2009/2010 before keeping a journal writing shows that the
mean is 58,2 and the deviation standard is 10,73. It indicates that before keeping
journal writing the students have less ability in writing. While after keeping journal
writing the mean score of the students is grow into 80,85 and the deviation standard is
13, 08. During my observation, the increasing writing achievement is only work on the
students who keeps journal seriously, while the other who not really serious in writing
journal are get a bad mark. But this is not always happening of all, because I also found

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 11
ST
U
DE
Veronica
12
the students who get a good mark in pre-test but in post-test they get a low. It may
happen because they choose the different topic in pre-test and post-test while they have

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 11
ST
U
DE
Veronica
12
not enough preparing in writing it. In the other word, they only fetching up in one and try
not to develop their imagination in the other one.

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 12
ST
U
DE
13
The result of experiment shows that the hypothesis of the research is accepted. Based
on the calculation of t-test with the level of significance 5% from the degree of
freedom (df=n-1)
35-1, t-table (tt) 2,04, the t-observation (to) obtained is 11,96. On other words, t-
observation is higher than t-table (to > tt). Therefore, the Null Hypothesis (Ho) that
states that there is no significant progress of the writing ability of the tenth grade
students of SMA N 1 Jekulo Kudus in the academic year 2009/2010 after keeping
journal writing is rejected.
In detail, after keeping journal writing, the mean is 80,85 and it is categorized
as “Good”. It is higher than the mean of the writing ability of the students before keeping
journal writing that is 58,2 or categorized as “Less”. Thus, the hypothesis research that
states there is significant difference of the writing ability of the tenth students of SMA N
1 Jekulo Kudus in the academic year of 2009/2010 after keeping journal writing is
accepted.
The comparison between the writing ability of the tenth grade students before and
after keeping journal can be categorized as follows:

Pre Test Score Post Test Score


Categorized Categorized
Number Score Number Score
1 37 Poor 1 56 Less
2 63 Fair 2 95 Excellent
3 53 Poor 3 83 Good
4 55 Less 4 81 Good
5 60 Fair 5 83 Good
6 78 Good 6 84 Good
7 59 Less 7 74 Fair
8 48 Poor 8 47 Poor
9 50 Poor 9 76 Good
10 49 Poor 10 84 Good
11 57 Less 11 83 Good
12 48 Poor 12 46 Poor
13 63 Fair 13 98 Excellent
14 76 Good 14 98 Excellent
15 78 Good 15 81 Good
16 62 Fair 16 98 Excellent
17 77 Good 17 90 Excellent
13
18 53 Less 18 81 Good
19 57 Less 19 61 Fair
20 68 Fair 20 95 Excellent
21 59 Less 21 70 Fair
22 68 Fair 22 94 Excellent
23 75 Fair 23 98 Excellent
24 58 Less 24 80 Good
25 48 Poor 25 64 Fair
26 77 Good 26 93 Excellent
27 58 Less 27 74 Fair
28 40 Poor 28 76 Good
29 57 Less 29 99 Excellent
30 37 Poor 30 74 Fair
31 53 Poor 31 73 Fair
32 67 Fair 32 78 Good
33 48 Poor 33 56 Less
34 73 Good 34 99 Excellent
35 58 Less 35 78 Good

During the experiment, I found that most of the students were still get
difficulties in using vocabulary and grammar. It was indicated that during the treatment in
teaching learning process, the made many mistakes in constructing the sentence (the
whole, idea, concept, vocabulary, and grammar). But, later they can minimize their
mistakes practicing writing in their journal. Students not only forced to write by the topic
given, but they also have freedom to correct their friends‟ journal under the teacher
guidance.
Based on the research finding and the explanation above, I make sure that
keeping journal writing is effective and works well in improving the writing ability of the
tenth grade students of SMA N Jekulo Kudus in the academic year 2009/2010.

HYPOTHESIS TESTING
To find out whether there is or no significant the writing ability of the tenth
grade students of SMA N 1 Jekulo Kudus in academic year 2009/2010 before and

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABILITY OF THE TENTH GRADE 13
ST
U
DE
NT
S
14
after keeping journal writing in academic year 2009/2010. I analyze it by using t-test.
From that calculation,

KEEPI NG JOURNAL WRI TI NG TO I MPROVE THE WRI TI NG ABI LI TY OF THE TENTH GRADE 14
ST
U
DE
15
it is found to [t observation] =11,96 and in the level significance 5% with the degree
of freedom n-1 (df=35-1) it is found t-table [tt] = 2,04. Because t-observation =11,96 >
2,04, so the null hypothesis is rejected and alternative hypothesis is accepted.
Thus, it can be concluded that the Alternative Hypothesis is confirmed. It can be
conclude that there is significant difference between the writing ability of the tenth
grade students of SMA N 1
Jekulo Kudus in academic year 2009/2010 before and after keeping journal writing
in academic year 2009/2010.

CONCLUSION AND
SUGGESTIONS
Completing this research, It is shows that the writing ability of the tenth grade
students of SMAN 1 Jekulo Kudus in academic year 2009/2010 after keeping journal is
categorized as “Good” with the mean 81 and deviation standard 13,08 from the mean
58 and deviation standard 10,73 before keeping journal writing. Not only that, during the
treatment also found that keeping journal help the students to less their fears in making
mistake by express their wild and innermost imaginations because they have full freedom
in expressing their thoughts. Thus, it is conclude that keeping journal writing proved as
effective medium in improving students writing ability and the hypothesis research is
accepted.
Because of the success of this research, it‟s suggested to the English teacher to
use this media in improving the students writing ability, teacher also should help
the students to develop their idea in writing and it can be do by giving a topic to make
them focus on what they write and also arousing the students‟ motivation to reduce
their fear in writing. the success of English learning is not only come from the
teacher work, it is also need the students awareness, so the students also should
breaking out their feeling that writing English is difficult to do, they should be able
express their imaginations to make a creative writing.

BIBLIOGRAPH
Y
Boud, David. 2001. Journal: Using Journal Writing to Enhance the Reflective Practice.
New
Directions in Adult and Continuuing Education no: 90. San Francisco: Jossey-Bass.
Brown, H.Douglas. 2003. Language Assessment Principles and Classrom Practices.
San
Francisco: State University.
Crosby, Harry.H and Carter. Duncan A. 1986. The Committed Writer: Mastering
16
Nonfiction
Genres. Caledonia: University Graphics, Inc. (ECU)
Gould, Eric et.al. 1989. The Act of Writing. United States of America: Random House Inc.
Hamalik, Oemar. 1993. Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan dan
Pelatihan,
Sistem dan Prosedur. Bandung: Tri Gena Karya.
Iliyanti, Novi. 2009. Skripsi: The Writing Ability of the Fourth Semester Students
of English Education Department Teacher Training and Education Muria
Kudus University in Academic Year 2008/2009 Taught by Using
Journal Writing: A Heuristic Activity.Kudus: University of Muria Kudus.
Lewis, Beth. 2007. Journal Writing in the Elementary Classroom; Offer Your
Students an Organized and Inspired Journal Writing Program.
Retrieved from
th
http://k6educators.about.com/cs/languageartswr/a/journalwriting.html April 9
2009.
Nazir, Moh, Ph.D. 1985. Metode Penelitian. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia.
Nowlan, Andrew G. P.2009. Motivation and Learner Autonomy: Activities to
Encourage Independent Study. Retrieved from
th
http://iteslj.org/Techniques/Nowla n- Autonomy.html, on 9 December 2009.
Susanto, Edi. 2006: Hubungan Menulis Diary Bahasa Inggris dengan Kemampuan
Writing I Mahasiswa Semester II Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus Tahun Ajaran
2005/2006.
Tarigan, H.Guntur, Prof. DR. 2008. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan Bahasa.
Bandung: Penerbit Angkasa.

THE STUDY OF EFFECTIVENESS COOPERATIVE


LEARNING MODEL IN EFL CLASSROOM
Riski Rahmadani
Harahap
Department of English Education, Samudra
University
Langsa, Aceh,
Indonesia

Abstr
act

This research focused on the use of Think Pair Share technique in Students‟
Writing Descriptive Text and characteristic effectiveness of use cooperative
learning model in EFL classroom. This learning model is a kind of cooperative
learning model to encourages students actively involve in the
learninVgeronpicraocess. This research was conducted with qualitative design type
library research. The instrument of this research were six article that related
about Think Pair Share for
17
students writing skill in Descriptive text, books, and journal. The qualitative data
were analyzed by data reduction, data display, and verification. The result of the
research Based on the implementation of each articles, showed that Think Pair
Share was effective to helped students in writing descriptive text. It showed from
the characteristic of effectiveness aspect that suitable to the article, such as
quality of learning it marked by the success of the students to achieve the lesson
goals. Appropriate level of instruction, it showed the ability of the teacher to
ensure the readiness of each students to learn. Incentives, it showed the ability of
the teacher to encourage that students are motivated to learn. Times setting, it
showed from the steps of the lesson process used.
Keywords: Think Pair Share, Writing skill, Library
Research

1.
INTRODUCTION
Education is a conscious and planned effort to create an atmosphere of
the learning process so that students actively develop their potential to have
spiritual strength, self-control, intelligent personality, noble character, and the
skills needed in society, nation, and state. (UU No. 20 Tahun 2003). Education
in schools has the goal of changing students to have knowledge, skills, and
learning attitudes. As a form of change in learning behavior, teaching defined
as showing or helping someone to learn how to do something, and giving
knowledge (Brown,1994).
This is also the basis for the importance of improving the quality
of education. To improve the quality of education, it can be done in various
ways, such as developing and improving curriculum, structuring teachers, and
improving learning methods. One of the ways that can be used in improving
the quality of education is by increasing the quality of the learning process. So
that learning subjects can be achieved more optimally.In the learning process,
the teacher plays a very important role.
Teachers can lead to having critical thinking ability, have social abilities,
and the results of achieving creativity ( Ismail Arief, 2008). Because creative
teachers will make the learning process more enjoyable so that subject
matter can be
delivered optimally, to help teachers optimize the teaching and learning process. It
requires a learning model that is appropriate, interesting, and effective so that
students can be active in learning activities and can understand what students have
to master after the learning process. Learning models are methods or techniques
for presenting teaching materials that will be used by the teacher when presenting
lesson material, either individually or in groups.

The existence of this learning model will function to help students obtain
information, ideas, skills, values, and ways of thinking. The useful function of the
learning model is a guide for teaching designers and teachers in implementing
learning (Trianto 2010). Learning will be more effective if students take an active
role in the process of learning. It can be realized by using a cooperative learning
model.
Dewey (1989) states that “Cooperative learning is an instructional use of
small groups in which students work together to maximize their own and each
other‟s learning”. In this model of learning, students learn together in small
groups to solve a topic or problem, complete a task, or do something to
achieve a common goal. learning that is based on cooperation between students
can make students who do not understand certain material feel not ashamed to
express their opinions. Students can ask their group friends who are considered
more understanding. Cooperative learning is also beneficial learning for
students because it gives students a chance to become a tutor for their friends
so that students with low abilities can more freely ask questions (Asma,2006).
There are many kinds of cooperative learning models. Such as Student
Team Achievement Division, Jigsaw, Group Investigation, Trio Exchange, Group
Resume and Think Pair Share ( Isojoni, 2010 ). This research will focus to
analyze Think Pair Share. Isjoni (2010: 78) says that "the Think Pair Share
technique is a technique that provides opportunities for students to work alone and
collaborate with other students, and be able to participate fully in the learning
process".
This type of cooperative learning model is considered appropriate or
suitable to be applied in learning to write text. When using this learning model,
students are given the opportunity first to think and work individually in
developing a theme or material. Then, students create a small group to unite and
develop their ideas. Finally, each group was given the opportunity for presenting
written text to other students in front of the class (Salam,2017)
Reflecting on teaching and training experience in SMA N 2 Langsa in
2019, there were still many students who do not pass the standard of minimum
completeness criteria (kkm) in English lessons, especially in writing material. This
is because writing material is considered a difficult material. There are several
factors that influence this problem. Among them are students who do not pay
attention to the teacher's explanation during learning, student concentration was
less focused on learning English, and the teaching-learning process is still
dominated by one-way approach, where the teacher is considered as the center of
truth. As a result, students' interest in learning becomes low. It makes the process
of learning does not effective. Based on the background above, the researcher
is interested in the

18
analysis "A Study of Effectiveness Cooperative Learning Models in EFL
Classroom”.

2. REVIEW OF LITERATUR
2.1 Learning Model
In Indonesian Dictionary (KBBI 2008: 23), learn means, trying to gain
intelligence or knowledge. Meanwhile, the teaching and learning process is a
systematic effort to realize the learning process takes place effectively and
efficiently, starting from planning, implementing, and evaluating. The ability to
manage the learn is an absolute requirement for teachers to realize professional
competence. Consequently, teachers must have a proper understanding of the
concept of learning and teaching itself (Evaline, 2011).
Learning is also basically the process of adding new information and
abilities. In this process, the teacher will think about what information and
abilities the students should have, at that time, the teacher will think about what
strategies to do so that all the things that have been planned can be maximally
achieved so that the learning process becomes active. Active learning is learning
that invites students to learn actively. With active learning, students are invited to
participate in all learning processes, in this way students will usually feel a more
pleasant atmosphere so that learning outcomes can be maximized (Evaline, 2011).
In an active learning process, there will be a model or style used by the
teacher to make the efficiency of the teaching and learning process more
enjoyable. The learning model is defined as a systematic procedure or approach
that is applied by the teacher in the teaching and learning process to achieve
learning goals ( Isojoni, 2008). The use of the right learning model can encourage
the growth of student pleasure in a lesson. so that it will increase motivation in
doing assignments and make it easy for students to understand the lesson. So, the
learning model is a systematic procedure carried out in the learning process that
runs effectively and efficiently starting from planning, implementing, and
evaluating to achieve learning objectives.
2.1.2 Cooperative Learning
Cooperative Learning comes from two words, namely Cooperative and
Learning. Cooperative means cooperation and Learning means learning. So,
Cooperative Learning is learning through joint activities. The originator of the
idea of cooperative learning was Jonh Dewey in 1916 in his book entitled
Democracy and Education. He states that “learning is an instructional use of small
groups in which students work together to maximize their own and each other‟s
learning” . ( Dewey , 2001)
Then in 1954-1960 Herbert Thelen developed more specific procedures
regarding rules in group work to help students. This strategy is based on
Vygotsky's (1978, 1986) learning theory which emphasizes social interaction as a
mechanism to support cognitive development (Eggen, 2010). In the process, this
model helps students to more easily process the information obtained.
Cooperative Learning is a learning model with a learning community, namely by
forming study groups.

19
During the collaboration process , of course, there is a discussion,
exchanging ideas, those who are good at teaching the weak, from individuals or
groups who don't know to know (Thobroni, 2013). According to Isjoni (2010: 16)
says that "cooperative learning is a learning model that is centered on students
(student oriented)". Especially to overcome the problems that the teacher found in
activating students, who could not cooperate with others. This learning model can
be used in various subjects and at various ages.
Cooperative learning is a group learning activity organized by the principle
that learning must be based on changes in social information between learning
groups, and each individual has responsibility for his learning and is encouraged
to improve the learning of other members (Huda, 2012). Cooperative learning is a
structured and systematic learning model. Where small groups work together to
achieve common goals. This learning model emphasizes cooperation between
students in groups. This is based on the idea that students find and understand a
concept more easily if they discuss a problem with their friends. This is in
accordance with the opinion (Slavin 2008) said that all methods in cooperative
contain the idea that students who work together in learning and are responsible
for their teammates and able to make themselves learn equally well. So it can be
concluded that the cooperative method prioritizes group work, where, in the
learning process students have responsibility for themselves and their friends.
The activities of students in cooperative learning include following the
teacher's explanations actively, completing tasks in groups, giving explanations to
their group friends, encouraging their group friends to participate actively, and
discussing. To make the activities of students running well and smoothly, so
special skills are needed. which are called cooperative skills. Cooperative skills
can be built by developing communication and division of tasks between group
members. The same thing was also said by Lie (2003) who stated that the
cooperative learning model is based on the homo socius philosophy which
emphasizes that humans are social creatures.
In other words, group work is a very important requirement in creating
relationships to achieve goals. Based on this description, it can be said that
cooperative learning is learning based on the group. In each group, the student will
cooperate with each other. The cooperation that is made by each student is not
only in completing the assignments given by the teacher but is more complex by
working together in understanding the material that has been delivered by the
teacher. Thus, in cooperative learning, the student used as a source of learning
besides teachers, books, and other learning resources. It is suitable with Rahadjito,
Rahardjo, Sadiman(2012) state that, “Students, training participants, community
leaders, and people with certain skills in the society are sources of learning. They
are classified as a source of learning types of people.”
From some of these theories, it can be concluded that cooperative learning
is a learning model based on a student-centered approach. Where, the teacher
provides opportunities for each student to be actively involved in the process of
teaching and learning activities by emphasizing teamwork to solve a problem,
complete a task, and achieve goals together. So, learning objectives can be
achieved optimally.

20
2.1.2.1 Characteristics of Cooperative Learning
Cooperative learning is different from other learning strategies. it can be
seen from the learning process. where the cooperative learning model emphasizes
the collaboration process in groups. In this learning model, the learning objectives
to be achieved are not only academic abilities, but there is an element of
cooperation between students to master the learning material. In the end, this
cooperation is what becomes the hallmark of cooperative learning. According to
Rusman(2011,p,
207) there are some characteristics of cooperative learning. It can be explained
as follows:

1. Team Learning
Cooperative learning is learning as a team, where the team is a place to
achieve learning objectives. Therefore, the team must be able to make every
student learn. All group members must help each other to achieve learning
objectives. Its means, the success of the team is the success of individually itself,
because all the material given by the teacher, will be done by all the member of
the team. So, every student must contribute to finishing the tasks.
2. Based On Cooperative Management.
As in general, management has three main functions, namely a planning
function, an organizational function, and a control function. The planning function
shows that cooperative learning is carried out in accordance with the planning and
learning steps which has been determined. Such as determining learning
objectives, how, and what to do to achieve learning goals. Organizational
functions show that cooperative learning requires the right strategy to achieve
learning goals, and the learning process takes place effectively. The control
function is a test component designed to determine the success of a lesson.
3. Willingness to Cooperate
Cooperative learning is said to be successful if the groups formed in a
lesson achieve the specified learning objectives. In other words, group success is
the success of cooperative learning itself. Therefore, the principle of working
together needs to be emphasized in the cooperative learning process. because
without good cooperation, cooperative learning will not achieve optimal results.
4. Teamwork skills.
After students have a sense of willingness to work together, the willingness
to cooperate will be practiced through activities in cooperative learning groups.
Thus, students need to be encouraged to be willing and able to interact with other
members of the group to achieve learning goals.
Based on the explanation above, the interesting thing about the cooperative
learning model is that it can increase social relations, foster an attitude of
accepting deficiencies, mutual help to others, and respect for the opinions of
others. From the description above, it can be concluded that the
characteristics of cooperative learning are learning that emphasizes the aspects
of cooperation among its members, where there is interaction, as well as
individual skills in group processing. Besides, the purpose of cooperative
learning is to improve academic learning
outcomes, acceptance of diversity and social development.

21
2.1.2.2 Steps of Cooperative Learning
In the process of application cooperative learning, there are six main steps
or stages of cooperative learning models that use in learning process. Lessons
begin with the delivery of learning objectives and motivation by the teacher,
followed by the presentation of information, Then, grouping students into
learning teams. The last phase in this model learning is the presentation of group
work. In detail,Triyanto, Bandar( 200 p, 117 ) explain these steps in the table
below:
STEP TEACHER CONDUCT LEVEL
STAGE 1. The teacher conveys all the learning
convey goals and objectives to be achieved and emphasizes
motivate students the importance of the topic to be studied,
then motivates students to learn.
Stage 2 The teacher presents information related to
Presenting learning material to students by
information demonstrations or through reading
materials
Stage 3 The teacher explains to students how to
Form a study group. form study groups and helps each group
make the transition effectively
Stage 4 The teacher guides each study group as
Guiding groups in they work on their assignments.
discussion and
learning
Stage 5 The teacher evaluates the learning
Evaluation outcomes of the material that has been
studied through the presentation of each
group.
Stage 6 The teacher makes an effort to appreciate
Give awards the results of individual and group
learning
Table 2.1 Steps of Cooperative Learning
2.1.3 Think Pair Share
The Cooperative learning model is a teaching model in which students
study in small groups who have different levels of ability. In completing
group
assignments, each member cooperates with each other and helps to understand a
learning material. Cooperative learning accommodates how students can work
together in groups. Where, the group goal, is a common goal. There are several
variations in the types of models in cooperative learning, although the basic
principles of cooperative learning have not changed. One of the types of
cooperative learning is Think Pair share (Isojoni p 78, 2010)
Think-Pair-Share is a type of cooperative learning developed by Frank
Lyman at the University of Maryland in 1985. Think-Pair-Share gives students the
opportunity to think and respond or help each other. Arends in Khaeruddin (2006,
p, 26) states that "TPS is an effective way to make class discussion pattern
variations". Assuming that all discussions require arrangements to control the
class
22
as a whole, and the procedures used in TPS can give students more time to think,
respond, and help each other.
Lie (2004) states that “Think Pair Share (TPS) is a structure for
cooperative learning activities. This technique allows students to work alone and
work in groups”. Another advantage of this technique is the optimization of
student participation, which is to provide opportunities for each student to be
recognized and show their participation to others. The same thing was also
expressed by Isjoni (2010: 78) state that " Think Pair Share technique is a
technique that provides opportunities for students to work alone and collaborate
with other students, and be able to fully participate in the learning process".
According to Huda ( 2012) in his book states that "TPS is a simple, but very useful
method".
From some of the opinions above, it can be concluded that the cooperative
learning model type Think Pair Share is a learning model, which uses the pair
wise discussion method, followed by a plenary discussion held by the teacher. By
using the TPS learning model students are trained on how to convey and respect
the opinions, even though they have different opinions, and still referring to the
material/learning objectives that have been set. In the implementation process,
TPS itself has several stages/processes that must be completed so that learning is
called TPS. According to Arends (2008) the following Think-Pair-Share learning
techniques:
1. Think.
In the thinking stage, the teacher asks students a question or problem
related to the lesson. After that, the teacher can ask them to think about the
answer for a few minutes.
2. In pairs.
In this stage, the teacher asks students to pair up and discuss something
they have obtained. In general, the time is given to pair up ranges from
four to five minutes. Interaction during the time provided can make it
easier for them to find answers to the questions asked as well as combine
ideas with their respective partners.
3. Sharing.
In this stage, the teacher asks groups to share t ideas with other groups. If
time allows for all pairs it is hoped that all pairs can share the result of
discussion material, but if not then the teacher asks several pairs to share
with the whole class what they have talked about.
As a system that will be applied to the teaching and learning process, this
learning model also has advantages and disadvantages. According to lie ( 2003,p, )
that the advantages of a paired group (a group consisting only of 2 group
members) are:
1. TPS will increase student participation
2. Suitable for simple tasks
3. More members have the opportunity to contribute to each group member.
4. Easier interaction
5. It is easier and faster to form groups

23
Besides the advantages of this learning model, there are also some
disadvantages of this type of learning model that every teacher must understand.
The weaknesses of think pair share according to Lie (2003, p) are:
1. Many groups report and need to be monitored
2. Fewer ideas emerged
3. If there is a dispute, there is no arbitrator.
After knowing the advantages and disadvantages of cooperative learning
type Think Pair Share, It is hoped that both students and teachers will master the
rules of the TPS learning model. Thus, this learning model can be implemented
optimally and create a pleasant learning atmosphere.

2.1.4 Writing Skills


Skill is the ability to perform behavior patterns both motor and cognitive to
achieve certain results quickly and correctly. According to the large dictionary of
the Indonesian language (2008 p 1688), skills derive from the word skilled which
means capable, nimble, and skill itself is defined as a skill to complete a task. The
task in question is related to one's ability to do and accomplish something, such as
the ability to use language, so the term language skills arises. If it is related to
writing, then writing ability is a person's ability to use language in writing.
In language learning, there are four skills that must be mastered. Namely,
listening skills, speaking skills, reading skills, and writing skills (Suparno, 2010 p,
17). Writing skills are one type of language skill that students must master.
However, writing is a language skill that is often considered the most difficult by
students. This happens because writing skills are one of the language skills with
the highest level (UPI, 2007 p. 124). According to Tarigan (2008 p: 21) Writing is
lowering or depicting a graphic symbol to describe a language that can be
understood by someone. Meanwhile, according to Suparno (2010 p 13) writing is
an activity to convey messages or communication using written language as a tool
or medium. Writing activity is also the author's attempt to achieve certain goals.
Therefore, the writer must choose, set goals, then put them in a language that is
easy to read and used by the readers Callan and Hodijah in ( Idris, 2019 ). Thus it
can be said that writing is a non-spoken language activity that must be learned so
that other people understand and understand what the writer wants.
Based on the opinion above, it can be concluded that writing skills are the
ability to communicate indirectly, through transferring thoughts or feelings by
utilizing, language structures, and vocabulary using symbols so that a language
product is created such as articles, essays, reports, reviews, literary works, and
books, which can be communicated to others.

2.1.4.1 Stage of Writing


According to Broughton, Brumfit, Flavell, Hill and Pincas (2001, p 115)
There are several aspects that must be considered in writing in learning English,
namely:
1. Mechanical in English script
2. Grammar accuracy in English

24
3. Ways to relate writing style to the purpose you want to convey
4. How to develop or express writing ideas
To achieve this aspect, it is necessary to have the stages of writing that
must be understood. According to Broughton, Brumfit, Flavell, Hill, and Pincas
(2001,p118) writing skills in foreign languages through three main stages. namely:
controlled writing, guided writing, and free writing. Singleton (2002, p 11) divide
of writing stage into :

1. Pre-writing stage
This stage is the preparation stage for writing. In this pre-writing stage,
there are activities to select topics, set goals and objectives, collect the necessary
materials or information, and organize ideas in the form of an essay framework.
Determining the topic means determining what will be discussed in the writing. In
determining topics, it can be taken from various sources, for example experience,
observations, attitudes, opinions, responses or imagination. After determining the
topic, the next step in this stage is to limit the topic. This was done so that the
discussion was not too broad.
The next step is to set goals. by determining the purpose of writing, we can
find out what we are doing in the writing stage. for example, the extent to which
the discussion is covered, how is the organization, and the point of view used.
After setting goals, the next step is to determine the source. Writing materials can
be obtained from various sources, such as experiences, books, magazines, papers
and others. After the steps above have been carried out, the final step is to compile
an outline. Compiling the outline of an essay means breaking the topic into sub-
topics (Sabarti Akhadiah,1988, p 4). The outline must be structured logically,
systematically and consistently.

2. Writing Stage
In the Prewriting stage, the topic and purpose of the essay have been
determined, gathered relevant information, and made the outline of the essay. At
the writing stage, the activities carried out are discussing and developing each
topic item contained in the essay framework. by making use of the materials or
information we have selected and collected. The structure of the essay consists of
the beginning, the content, and the end. The beginning of the essay serves to
introduce as well as to lead the reader to the subject of our writing. Contents of the
essay, presenting the topic discussion or main idea of the essay.Things that clarify
or support the idea such as examples, illustrations, information, evidence, or
reasons. The end of the essay serves to return the reader to the core ideas of the
essay by summarizing or emphasizing important ideas. In writing, the correct
choice of words is needed. Because good writing is writing that cannot be
separated from the rules of the prevailing language.
3. Post writing stage
Completing writing does not mean having finished writing activities.
Authors still need to reread the writings that have been made. This re-reading
activity is to look carefully at the parts that need improvement, especially in the
use

25
of spelling, punctuation, choice of words, paragraphs, sentence logic, and writing
systematics. The post-writing stage consists of editing and revision activities.

2.1.4.2 Descriptive text

Descriptive text is a process to creates a clear and vivid impression of


person, place or thing Callaghan (1988: 138). Wishon and Burks (1980: 128) also
stated that in descriptive writing the writer is required to give the reader a detailed
vivid picture of person, place, scene, object or anything. A description is a
drawing in words. Mostly descriptive texts depict or describe the image of a
certain person, animal, things, and location or place. The social function of
descriptive text is to inform the readers about the illustration of certain persons,
places, or some things in specific ways.
Descriptive text also has a purpose like in the Gerot and Wignel‟s
statement (1995:208) that “The purpose of descriptive text is to describe a
particular person, place or thing”. It can be concluded that the purpose of
descriptive text is to describe and reveal a particular person, place or thing
As a kind of text, descriptive text also have the generic structure in the
form of writing. “Descriptive text has two generic structures, namely
identification and description” (Hammond, 1996). Identification is the person,
place or thing to be described. The description is describing parts, qualities, and
characteristics of an object. It is in line with (Gerot and Wignel, 1995) stated that
“Descriptive text has two generic structures. They are identification and
description”.
1. Identification. In this stage, the writer will Identifies phenomenon to be
described.
2. Description. Here, the writers Describes parts, qualities, characteristics
clearly.
From the explanation about it can be conclude if the generic structure of a
descriptive text consists two elements. They are identification and description.

2.1.5 Effectiveness of Learning


Increasing the effectiveness of learning is very important in order to
improve the quality of learning itself. Therefore, to increase the effectiveness of
learning, a teacher must be good at choosing what methods to use, so that students
can understand learning more easily and quickly. In the learning process and the
development of learning models, the suitability between the efforts and the results
to be achieved is very important. this will show how effective the efforts we make
on the learning process. When viewed from these terms, there are two different
syllables, namely effectiveness and learning. Effectiveness comes from the
English word, the word effective, which means successful. Effectiveness will
indicate the level of achievement of a goal, an effort is said to be effective if the
effort achieves its ideal goals.
In the Big Indonesian Dictionary (2003 p, 284) effective means something
that can bring results. The meaning of effectiveness itself is efficient, obtains

26
results, and supports supporting objectives. Whereas learning is a two-way
communication, where the teacher's activities as educators must teach and students
as educated learners. In connection with the learning process, (Aunurrahman
2009) states that effective learning is characterized by the occurrence of a learning
process in students. A person is said to have experienced a learning process when
there has been a change in him, from not knowing to know, from not
understanding to understanding, and so on. Another opinion by Sutikno (2005: 88)
that the effectiveness of learning is the ability to carry out planned learning that
allows students to be able to learn easily and achieve the expected goals and
results.
From some of these opinions, it can be concluded that the effectiveness of
learning is a standard or measure used to achieve learning objectives by paying
attention to indicators that have been previously compiled. Slameto in Triwibowo
(2015. p. 5) argues "Creating effective learning conditions is important for
teachers, this is because effective learning can help students to improve their
abilities in accordance with the instructional goals to be achieved".

2.1.5.1 Characteristics of the Effectiveness of Learning


Learning can be said to be effective if the desired learning objectives are
achieved in accordance with predetermined indicators. To know how to get
effective results in the learning process, it is very important to know the
characteristics of effective learning itself. According to Slameto (2003 p, 94)
Effective learning has the following characteristics:
1) Learn actively both mentally and physically. Mentally active is shown by
developing intellectual abilities, the ability to think critically. And
physically, for example compiling the essence of lessons, holding
practices, and others
2) Various methods, so that it is easy to attract students' attention.
3) Teacher motivation towards classroom learning. The higher the motivation
of a teacher will encourage students to be active in learning.
4) A democratic atmosphere in schools, namely by creating an environment
of mutual respect, being able to understand the needs of students,
being tolerant, giving students the opportunity to learn independently,
respecting the opinions of others.
5) Lessons at school need to be linked to real life.
6) Conducive learning interactions, by giving students the freedom to solve a
problem, will lead to a greater sense of responsibility in their work and
more confidence so that children do not depend on others.
7) Providing remedial and diagnosis of learning difficulties that arise, looking
for causative factors, and providing remedial teaching as remedies.
Agsha (2015) also state that the effectiveness of learning is marked by the
following characteristics :
1) Successfully delivering students to achieve the instructional goals that
have been set
2) Provide an attractive learning experience, involve students actively, to
achieve learning goals.
3) Having facilities that support the teaching and learning process.

27
In the learning process many things that can influence effectiveness.
According to Mutianingsih (2011) There are several factors that influence the
effectiveness of learning, including :
1) Destination factors
The learning objectives to be achieved of course are very optimal.
Therefore, there are several things that every teacher needs to pay attention
to, one of which is the learning model. the better of learning model, the
more effective of achievement learning objectives will be.
2) The Situation or atmosphere factors
This factor also greatly affects the effectiveness of learning. Learning at a
fresh time and situation usually will be more effective, rather than an
exhausting class situation. because it greatly affects on students' interest in
learning.
3) Teacher factors.
This factor will later affect the situation factor because in this factor every
teacher is required to manage the class into an active, but still conducive
class. When the class conditions are active and conducive, then whatever
model of learning established will be effective and give maximum results.

2.1.5.2 Indicators the Effectiveness of Learning


Effectiveness is said to be successful if the goals that have been set are
achieved. Likewise in education, learning can be said effective, if the learning
objectives set in the learning device are achieved. According to Slavin (2000) said
that there are four things that can be used as indicators to measure the
effectiveness or failure of learning. These indicators are :
a. quality of learning.
Namely the presentation of information to students so that it is easier for
students to understand the learning material. The quality of learning can be
seen from the process of learning or student achievement through student
completeness standards that set by school, while the quality of teaching
will be effective when students' completeness in learning reaches 85%.
b. The appropriate level of instruction
Namely the ability of the teacher to ensure the readiness of each student to
learn. According to (Slameto) the readiness of students in learning can be
seen from 3 aspects, namely:
mental and emotional physical condition
needs, motives and goals
skills, knowledge
An effective level of teaching can be said when students are completely
ready to receive learning material
c. incentives.
The ability of the teacher to ensure that students are motivated to learn and
complete the assignments that will be given. Incentives can be seen from
the teacher's activities to motivate students. According to (Slameto, 2010)

28
there are several things that teachers can do when motivating students,
namely:
generate encouragement for students to learn
explain concretely about the lesson
Give rewards if they get an achievement so that students are more
enthusiastic in learning
d. Time
Namely the time needed to complete learning activities. Learning will be
effective if students can complete the lesson according to the specified
time. Beside that, Sinambela (2006: 78), also stated that, learning is said
to be
effective if it achieves the desired goals, both in terms of learning objectives and
student achievement. Several indicators of learning effectiveness :
a. Mastery learning,
b. The effectiveness of student activities
c. Effectiveness of the teacher's ability to manage learning, and student
responses to positive learning.
According to Wotruba and Wright in Yusuf hadi Miarso (2004), indicators
that can be used to determine effectiveness in the learning process are:
a. good material organization,
b. effective communication,
c. mastery and enthusiasm for the subject matter,
d. positive attitude towards students,
e. giving fair value,
f. flexibility in learning approaches, and
g. good student learning outcomes
From the explanation above, it can be concluded that a good learning
model is how teachers succeed in delivering their students to gain knowledge and
provide an attractive learning experience.

3. METHODOLOGY
The research design refers to the strategy to integrate the different
components of the research project in a cohesive and coherent way. The function
of a research design is to ensure that the evidence obtained enables to answer the
initial question as possible. In this research, researchers used a qualitative research
design. It is a research method used to examine the conditions of natural objects,
where the researcher is the key instrument, the collection technique is done by
triangulation (combined), data analysis is inductive, and the results of qualitative
research emphasizes more on meaning than generalization (Sugiono, p 7, 2018). In
conducting the research design the researcher used of descriptive method
approach, which is a method of research that attempts to describe and interpret the
object in accordance with reality. It is implemented because the data analysis is
presen ted descriptively. In relation to the title of this research, the type of
research used is library research. It is research that utilizes library resources
to obtain research data. Strictly speaking, library research limits its activities
to data sourced only from libraries without the need for field research (Zed,
2014).

29
4. RESULT
4.1 The use of think cooperative learning type think pair share

According to the six articles above, there are various steps, purpose, and
kind of method. Several articles were concluded steps about how the researcher
applied think pair share in various classes, and in various schools. Based on the
research It was found if the steps researcher in the various article follows the
standard of think pair share technique steps by Arends ( 2008 ). That was :
1. Thinking
2. Pair
3. And share
The teacher begins the class by explaining the learning objectives to be
achieved, and also give apperception, after that, the teacher will explain the
material. This stage, support by all the articles. Where all the articles agree and
explain the material first as the first steps of think pair share technique. Some of
the articles used media when explaining the material of learning, such as Dwi
Suci Amaniarsih (2019) used PowerPoint in her article, and Riska Angraini (2017)
used the picture as the media. But other articles just explain the material without
media, such as Rosnaini Sahardin( 2017 ), when explaining the material, just
explain orally and asked students to write about their mother. After finish in
explains the material, the teacher will give the student a question about the
material. The question that given by the teacher will be answered individually or
independently. This process that we called "Think" stage. This stage, will give a
chance for students to show their ability, and built critical thinking.
After the time to worked on the question individually, the teacher asks the
students to sit in their pairs. Students are given time to discuss with their partners.
This can train students to work with others and foster a resilient soul in the face of
adversity. At this time, the students will change their result from the first result
they got in think stage. This stage is called "Pair" phase. This stage also supports
by all the article that was found, were, all the article applied pairing to the
students, after explaining the material. In the process of pairing itself, most of the
articles asked the student to pair with their partner without manage who is going
to be their partners. The students free to choose their partner. But there is a
difference with Dr. Tiur (2013). He already managed the partner start from the
first time he enters the class. But, the process he chooses the pair partner was
random. He makes a number of students from 1 to number 4. Then the students
who get numbers 1 and 2 will be pair in the group, and the students who get
numbers 3 and number 4 will be pair in another group. When discussing with
partners, students are also trained to be able to express their opinions, which are
useful for finding the solution to the questions given by the teacher.
After the discussion is over, the teacher asked the students randomly to
share their results in front of the class. Every couple must be ready and confident
about the answer they share. This stage is called "Share" phase. All of the
articles start from Mahraodatul( 2018 ), Asriani ( 2019 ), DwiSuci (2019) and
others agree with this stage and applied this stage in the class. But in Riska
Angraini( 2017 ), on the

30
Share stage, she manages the class if just one group from one pair partner to share
the result, and continue with correct all the worked of students together. The
researcher found that kind of steps in the previous article that was conducted. All
of the articles applied those steps when applied think pair share in the class. These
steps support by all the articles such as Mahraodatul ( 2018 ). Asriani ( 2019 ),
Rosnani Sahardin and friends ( 2017 ), Dwi suci Amaniarsih (2019), Dr. Tiur Asih
Siburian ( 2013 ), and also Riska Angraini ( 2017 ). Even though there are some
differences in regulation in timing, and the process when applied that step.

4.2 The effectiveness of cooperative learning type think pair share


From the analysis of all the articles by previous research, it can be
concluded if the cooperative learning model type think pair share was effective
used in the learning process to improve the students' ability in writing descriptive
text. It can be seen from the indicator of effectiveness learning that state by Slavin
( 2000
) Such as:

1. The quality of learning.


It is marked by the success of the student to achieve the lesson goals that
set by the school, such as the ability of students to pass the standard of
completeness criteria. From all the analysis above, it can be concluded if the use
of cooperative learning type think pair share was effective to increase the
students' achievement incomplete the KKM at the school. From six article that
was reviewed, All of them showed the same perception about this side, where all
the article showed the increasing of students achievement in writing descriptive
text after used think pair share technique. Starting from Riska Angraini ( 2017 )
article, showed the students' mean score of students XB SMA SANTUN UNTAN
2016/ 2017 before used the think pair share technique was 59.98. Where this
score is not reached the KKM in the school that was sett 65. It showed if this
score is not suitable to the standard of effective learning by Slavin. In the next
meeting, the score changed after students were the treatment with think pair share.
The improvement of the score was significant, where, the mean of students'
scores in writing the descriptive text was
68,89. Even though it is not a high score, but students were already complete the
KKM of the school as the standard to say the students pass at that lesson or not.
These criteria also support by Asriani HAsibuan( 2019 ) where, on the first
test that given, before used think pair share, the mean score of X Mia 2 students in
SMA 1 Pinangsori was 60,9. On the pre-test some students just have 49 scores,
the highest score was 71. Even though there are students that get 75, but
SMA 1
Pinangsori sett the students' completeness minimum was 75. So, it means the
students also didn‟t pass the KKM that was already sett. By doing think pair share
technique, the students more interesting in the study and also get the target lesson
plan that was already sett, that is, the students can write descriptive text and got a
minimum score 75. The mean of students' scores after conducting think pair share
become 81,7 and categorized “ good “.
The same result was also found by Mahraodatul (2018 ) in SMA 2 Kab.
Tangerang on tenth-grade students. The students' score on the pre-test was 67,23

31
and the post-test was 70,67. It showed if the use of think pair share tech nique

32
follows the standard of criteria effective in learning, that stated by Slavin (2000 ).
On the other hand, Rosnani Sahardin and friends ( 2017 ) also showed the
effectiveness of think pair share in first categories where there is an improvement
of students' score from the pre test into post test. The students' score before
applied think pair share was 49. This score to much far from the students'
standard completeness. But after conducting think pair share, the score was
change become
67. She also found an increase in aspect writing in English. There are content,
organization, vocabulary, Grammar, and mechanics.
Nia Daniati Zebua ( 2019 ) also found the same thing, there is an
improvement of students' achievement in students writing descriptive text after
used think pair share technique. In the analysis of the students' scores, she used
the criteria of descriptive text to get the final score. There are, identifying generic
structure, identifying social function, and identifying language features
of descriptive text. She showed the mean of students score before used think
pair share was 60,9 and categorized fail. But after change the model of learning in
the class by used think pair share, the mean score was significant change,
become
81,7, and categorized good.
But Dwi Suci Amaniarsih( 2019 ) didn‟t show the increase of students'
scores in writing before and after conducting think pair share. She just explains
the effect of think pair share can increase knowledge and understanding of
students in improving the ability to develop a description paragraph.
Overall, the use of Think Pair Share in students writing the descriptive text
was effective to increase students' achievement in writing skills.
2. The appropriate level of instruction.
Here, it showed the ability of the teacher to ensure the readiness of each
student to learn. It shows from the article if students from previous research
showed the characteristic of the student was bored when they were studying, such
as Mahraodatul Abidah ( 2018 ), Dr. Tiur ( 2013 ) and also Dwi Suci Amaniarsih
(2019) but all the article above show if the students more interesting in learning
when applied think pair share in the class. This stage support by Dwi Suci
Amaniarsih (2019) that found that there is an increase in students' interest in
learning English when the teacher applied to think pair share. Besides that, Dr.
Tiur ( 2013 ) also states that the students more enjoyable and active when think
pair share was applied. From all the articles above, it can be concluded if students
were more ready and accepted the learning process by using think pair share
technique.

3. Incentives.
This incentive side is showed the ability of the teacher to encourage that students
are motivated to learn and complete the assignment that will be given. The role of
the teacher is needed in increasing students' motivation in the study, that‟s why,
Riska Angraini( 2017 ) delivered the motivation for students about their score,
after getting the score of pre test, and started to do the think pair share technique.
Riska Angraini stated that the students of under average feel the increasing
motivation and effect on their learning spirit, especially in writing skills. But there
is the other finding by Dwi Suci Amaniarsih ( 2019 ) in her article. She doesn‟t do
the motivation to the students before the learning process, but she believes, the
33
stage

34
of the discussion group to work on the question will make students actively and at
the same time, it will make students motivate to study material. It showed in her
interview, that found, the increase of students' motivation by the use of think pair
share technique in the class.
This finding is also supported by Rosnani Sahardin and friends ( 2017 ) in
their article, which found the increase of students' motivation in learning English
especially in writing descriptive text, even though they didn‟t give the formal
motivation before the lesson to the students. From the various article above, it can
be concluded if the teacher success to motivate students to complete the task. It
can be seen from the activity of the students, where all the articles showed the
students interesting in doing the task and showed from the score of students after
conducting think pair share itself. Its mean, the teacher was success to encourage
the students'
motivation in active learning to do all the task from the teacher.

4. Times setting
Here, the application of think pair share in writing skills had a good time
setting. It showed from the steps of the lesson process used think pair share in the
class. Where start from the first time teacher enters the class, the teacher was
already set, what should they do on the class until times over. In doing every
activity in the class, the teacher was already sett limited time to make the learning
process was effective. It can be seen from the article such as Riska Angraini (
2017 ) article, that conduct the lesson plan before entering the class into 4 stages.
There are:
a. Planning
b. Acting
c. Observing
d. And reflecting
All the stages above achieve in the learning process for 40 minutes. Its also
support by Dwi Suci Amaniarsih ( 2019 ) that sett the form of activity to manage
the time in the learning process. Start from doing the introduction, explain
description paragraph, describe think pair share learning method, provide
understanding and expansion materials, give a question, assign students in pairs to
discuss think pair share, present the result, assign student deepening, evaluation,
and closing. All that stage was already sett before the teacher enters to the class,
and all the activity above can achieve in the learning process.
By having this learning model, there is a significant effect of using this
learning model. It can be shown from the indicator of effectiveness that is related
to the result of previous research above. Such as the achievement of students
writing in writing skills, the setting time, the appropriate level instruction, and the
incentives of the learning process when applied think pair share in the class.

5. CONCLUSION AND SUGGESTION


Having analyzed the data that have been presented in the previous chapter,
it was found that all the researchers in previous research, having the same
perception about think pair share in writing skills, especially for descriptive text.
Where, the use of think pair share in writing descriptive text, showed the

35
effectiveness. It can be said from the analysis of the researcher if there is some
indicator of the effectiveness of learning that conduct in previous research itself.
Based on analysis of this previous library research, the findings are
resulted based on the proposed research question, the conclusion can be presented
as follows
:
1. By several steps of implementation and routine treatment with the Think
Pair Share Technique, it can answer the first research question of this
study, that the use of think pair share in writing skills follows the role of
think pair share technique itself. There are thinking, pairing, and sharing
and result in discussion to other friends by guiding the teacher.
2. Think Pair Share was effective use in EFL Classroom for students writing
skills. It shows from the indicator of effectiveness learning, can achieve
from the data research.

5.2 Suggestion
The result of this study showed if cooperative Learning models type think
pair share was effective in EFL classrooms for students writing skill of descriptive
texts. In relation to the conclusion above, some point are suggested, as follows :
1. The English lecturer can applied this technique to make the class situation
especially in teaching writing skills interesting rather than having stressful
or boring atmosphere.
2. It can be a chance for students to develop their ideas, promote effective
teamwork, learn to criticize and accept criticism, exchange ideas and give
peer correction, work collaboratively, and to be responsible for their own
learning duties.

REFERENCES

Al- Tabany, Trianto Ibnu badar. 2014. Mendesain Model Pembelajaran


Inovayif, Progresif, dan Kontekstual : Konsep, landasa, implementasinya
pada Kurikulum 2013. Jakarta. Kencana
Arends, Ricard 1. 2008. Learning to teach. Yogyakarta : Pustaka belajar.
Asma, Nur. 2006. Model pembelajaran kooperatif. Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional.
Aunurrahman. 2009. Belajar dan pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
Brown, H. Douglas. 1994. Principles of language learning and teaching.Prentice
hall
D. w., Johnshon,R. 1989. Cooperation and completion : theory of research.
Depdiknas. 2003. Undang Undang RI No 20, Tahun 2003, tentang sistem
Pendidikan Nasional.
Eveline and hartini. 2011. Teori pembelajaran. Bogor: Galia Indonesia

36
Isojoni. 2011. Pembelajaran cooperative meningkatkan kecerdasan
komunikasi antar peserta didik. Yogyakarta. Pustaka Belajar.
Isojoni & Ismail, A.,M. 2008. Model model pembelajaran mutakhir. Yogyakarta :
Pustaka Belajar
Reskiwati, salam. 2017. Efektivitas penggunaan model pembelajaran cooperative
tipe think pair share ( TPS ) untuk meningkatakan kepercayaan diri
dan komunikasi matematis. Jurnal pendidikan insane. Volume 20,
Nomor 2
Sugiyono. 2018. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D.
Jakarta. Alfabeta.
Slavin, Robert. 2008. Cooperative Learning teory riset dan praktik. Bandung :
Nusa Media
Slameto. 2003. Belajar dan fktor factor yang mempengaruhinya. Jakarta : PT
Rineka cipta
Sutikno, M. S. 2005. Pembelajaran efektive. Apa dan bagaimana upayanya ?.
Mataram : NTP Press
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa.
Bandung : Angkasa.
Tim penysun KBBI. 2008. KBBI. Jakarta : Pusat bahasa.
Thobroni, Muhammad. 2013. Belajar dan pembelajaran. Yogyakarta : Ar ruzza
Zed, mestika. 2014. Metode penelitian kepustakaan. Jakarta : yayasan pustaka
obor Indonesia.

37
THE APPLICATION OF SPEED READING TECHNIQUE IN
READING ACTIVITY FOR STUDENTS OF SENIOR HIGH
SCHOOL 1 KLUET SELATAN

Suhalida1, Surya Asra2, Rollis


Juliansyah3
1
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Kluet Selatan, Tapak
Tuan, Indonesia
2
English Education Department, Universitas Samudra, Langsa,
Indonesia
3
Department of Development Economics, Universitas Teuku Umar, Meulaboh,
Indonesia
Corresponding author‟s email:
spdisuhailida@gmail.com

A
bs
tr
ac
t

The study aims to observe the application of speed-reading techniques to improve


reading skills for students in SMAN 1 Kluet Selatan. The research took place through
Classroom Action Research (CAR) in class XII-IPA 1, which consisted of 27 students
and involved a researcher (as a teacher) and an observer. The results of this study
indicated that the use of speed reading techniques can improve students' reading skills.
The technique application was confirmed to be effective if supported by the teacher's
ability to plan the lesson in the classroom. It include d proportional activities in
the teaching and learning process and a conducive classroom atmosphere created
by providing learning facilities and infrastructure. The success of applying the speed
reading technique was confirmed by the appearance of positive student responses and
their active participation in each learning activity.

Keywords: speed reading technique, reading activity, reading


ability

INTRODU
CTION
English has been widely used as the basis of modern human communication. One can
express ideas, feelings, emotions, suggestions, and thoughts through English to be
understood by other people globally. English is also used to share information with
others, not to mention it is one of the languages that has developed rapidly in society.
Schools have adopted English to become a compulsory subject taught at the high
school level.
Furthermore, the government has established English as the main foreign
language studied by all high school students in Indonesia (Kemdikbud, 2018). In
academics, students are required to master four English skills, namely reading, writing,
listening, and speaking. Each skill must be taught comprehensively instead of
separately. To be successful in mastering the language, students must learn every skill,

38
including reading skills. In other words, reading skills are very beneficial for academic
success.
Reading is also known as a language learning medium. It means that reading is
one of the most components of learning processes and aspects. In this case, the ability
to get information from reading is considered a learning process to achieve better
skills (Tarigan,
2011). Reading skills is how a person can understand the message conveyed in reading
a text well (Mulyasa, 2003). However, the process of learning reading by teachers
currently only emphasizes students' reading ability without looking at their
effectiveness and efficiency.
In reality, many students fear to learn reading skills. They are afraid of being
asked to read because they are considered "unable" to read and understand the meaning
of reading. Based

39
on interviews with class teachers at SMAN 1 Kluet Selatan, only 15 out of 27 students could
understand reading texts correctly. In addition, students tended to be passive and quiet in the
reading activities. Therefore, various techniques to learn reading is highly recommended to
create a fun learning style and provide encouraging learning outcomes. One of the techniques
in reading is speed reading.
Speed reading prioritizes pace by using eye movements and not making sounds. As
stated by Sutz and Waverka (2009), speed reading includes seeing the words, identifying and
recognizing the words, as well as understanding the meaning of words faster and in silence.
The purpose of speed reading is to obtain accurate and comprehensive information in a short
time (Soedarso, 2006; Wainwright, 2006). Speed reading requires a very high pace, usually
by reading sentence by sentence and paragraph by paragraph, not reading word by word (Sutz
& Waverka, 2009). The benefit of speed reading is that it sorts out and masters
important
information quickly. Therefore, learning to read with the speed reading method will be
beneficial for students to find out topics in reading texts, find out other people's opinions, get
something important, and save reading time (Hidayati, 2019).
This study aims to observe the application of speed reading to improve reading
comprehension in high school students. It is because reading comprehension in class is still
low. The teacher also still used unsuitable methods that only one-way interaction occurs.

METHOD
The research was conducted through Classroom Action Research (CAR) to diagnose and
solve problems in the classroom. Classroom Action Research concerns the actions to solve
existing problems (Arikunto, 2005). This study was to determine SMAN 1 Kluet Selatan
students' learning outcomes during the learning process in using the speed reading technique.
The learning success was determined from the test results, questionnaires, observations, and
student activeness in class. It was conducted at SMAN 1 Kluet Selatan class XII IPA. The
subjects of this study were one English teacher and 27 students in an English class.
The instruments of this research were learning tools, learning tests, observation
checklists, and student responses to questionnaires. The data collection techniques used
observation techniques, mechanical tests, and questionnaire techniques. The data analysis
technique in this study was descriptive quantitative by using percentages to describe the data
obtained in determining the criteria for learning success.
The planning stage begins with reflection and analysis of student learning outcomes,
identifying problems, analyzing problems, and finding alternative solutions (Kemmis &
Taggart, 1988; Mulyana, 2007; Stringer, 1996; Wibawa, 2003). After the results were
obtained, the following steps were taken: (1) Improving the lesson plans – to overcome
learning problems to improve the quality of the process and student learning outcomes; (2)
Preparing exercises for students that contain tasks to see student learning outcomes; (3)
Making data collection instruments, namely the observation checklist used to observe
activities during the learning process; (4) Determining the criteria for success or achievement
improvement. In this study, improvements were approved if the test results reach 85% of all
students with the criteria of minimum learning mastery (Kriteria Ketuntasan Minimal
[KKM] ) of 75.
At the implementation stage, the implementation of the lesson plans was carried out
with the following activity stages: (1) The teacher explained how to read using speed reading
techniques and conveyed important aspects that must be obeyed by teachers and students; (2)
The teacher asked students to practice speed reading and discussed their difficulties; (3) The
teacher distributed exercise sheets to students to measure their reading comprehension; and
(4) the teacher concluded that the material studied.
4
The next stage was observing. Observations were performed to determine the learning
process using speed reading techniques. It was to get the descriptive data to support the data
of students‟ score.
At the reflection stage, reflection was carried out with colleagues to carry out activities
based on the results achieved in each cycle. The results of the reflection were then used as the
basis for efforts to improve the learning in the next cycle. Reflection is based on the data
obtained during the learning process occurs.

RESULT AND DISCUSSIONS


The results of this study found that in the cycle I, only ten (10) students (37.03%) actively
participated in the learning process through speed reading techniques. On the other hand, the
number of passive readers shows seventeen (17) students (62.96%). From the data obtained, it
could be concluded that the number of passive readers was higher than the active one.
The results of the reading test that measured reading speed and comprehension in the
cycle I showed that there was only one student who scored “Very Good” (3.7%), there were
four (4) students who scored “Good” (14.81%), 16 students scored “Enough” (59.25%), three
(3) students scored “Poor” (11.11%), and three (3) students scored “Very Bad” (11.11%). The
table below presents the results of the cycle I assessment.

Table 1. The students‟ score of cycle I


# Test Results Number of Students
1 A (85-100) 1
2 B (75-84) 4
3 C (65-74) 16
4 D (55-64) 3
5 E (<54) 3
Total 27

Based on the table above, the implementation of speed reading in cycle I could
therefore be said to have failed because 22 students had not achieved the KKM. For this
problem, it needed a solution to improve the quality of the learning process and results.
According to the observer, the failure had occurred because the learning media was
not optimal, effective, and efficient. The observer agreed that the use of media was essential
in the learning stage. At this stage, students should experience proper reinforcement material.
On the other hand, observers also commented that students' activities in class tend to be
undisciplined because they were not familiar with speed reading techniques, and the teacher
paid less attention to time allocation.
Comments and suggestions from observers were the basis of corrective actions for
cycle II. In this case, it needed to improve the lesson plan in cycle II. The preparation and
improvement of the lesson plans in the cycle II were expected to improve the student learning
outcomes. The improvements were made especially on teaching media using powerpoint. The
use of powerpoint media in teaching and learning could be effective because it provided
encouragement and support both to teacher and students by facilitating the structuring of
teaching materials (Jones, 2003). That is why this media used in the cycle II.
At the implementation stage of cycle II, students were allowed to do reading exercises
using speed reading techniques. Students had to read several texts in a limited time to achieve
an effective learning experience. After that, reflection was performed to find out the success
of this cycle. The analysis of reading test data in cycle II to measure reading speed
and
4
comprehension revealed that four (4) students got “Very Good” (14.81%), 20 students got
“Good” (74.07%), three (3) students got “Enough” (11.11%). No students scored “Poor” and
“Very Bad”. The results of the cycle II of assessment are as in the table below.

Table 1. The students‟ score of cycle II


# Test Results Number of Students
1 A (85-100) 4
2 B (75-84) 20
3 C (65-74) 3
4 D (55-64) 0
5 E (<54) 0
Total 27

Based on the table above, there is a significant increase, namely as many as 24


students (88.88%) who reached the KKM and only three (3) students (11.11%) who failed. In
terms of learning activeness, all students (27 students) were active in learning. The three
students who did not reach the KKM were due to their low vocabulary skills. From these
results, it could be concluded that the speed reading technique could help students to read and
understand texts. In addition, the speed reading technique could make students participate
actively in the learning process. This proved that the application of speed reading in the
exercise in cycle II received a positive response from students. These results are in line with
the theory presented by experts such as Soedarso (2006); Hidayati (2019); Sutz and Waverka
(2009); and Wainwright (2006) that speed reading has the benefit of quickly mastering
important information, knowing the topic, knowing the author‟s opinion, and saving reading
time. The cycle II was closed as the end of the classroom action research cycle.
In summary, the application of speed-reading in cycle 1 was categorized to have failed
because 20 students could not reach the KKM. There was an increase in the cycle II, with 24
students having achieved the KKM. In the cycle II, the teacher also began to improve from the
weaknesses in the cycle I. The weaknesses found in the cycle I were: the less relevant learning
media, the students were not being familiar with the speed reading technique, and the
limitation of time allocation at each stage that the teacher had not paid attention to. Those are
the basis for improvement in cycle II. Then the teacher fixed it by using teaching media,
namely powerpoint. The students were enthusiastic during the learning process. The
comparison data of students who achieved the KKM and the level of student activity in
learning in cycle I and cycle II can be seen in the following table.

Table 3. Number of students achieving KKM and level of students‟ activity in learning
Not Achieving Achieving KKM Inactive in Active in
KKM Learning Learning
Cycle I 22 (81.48%) 5 (18.51%) 17 (62.9%) 10 (37.03%)
Cycle II 3 (11.11%) 24 (88.88%) 0 27 (100 %)

The table above shows that the implementation of speed reading in the cycle II
experienced a significant increase, although the results were not satisfactory. The KKM value
increased from 18.51% in the cycle I to 88.88% in the cycle II. Meanwhile, students'
activeness had increased from 37.03% in the cycle I to 100% in the cycle II. We could
conclude that the purpose of this research has been achieved by successfully improving
students' reading learning outcomes. In other words, the application of speed reading
techniques could improve students'
4
ability to read quickly and understand reading texts. In addition, speed reading could
also increase student activity in the learning process.

CONCLUSION
Reading speed could improve reading comprehension for students from class XII of SMAN
1
Kluet Selatan. As proof of the improvements, the evaluation test with the average KKM
grade in the cycle I is 68.6 had increased to 78.4 in the cycle II. The implementation of speed
reading in the cycle I was considered to fail since 22 students had not reached the KKM.
They experienced an increase in the cycle II with only three (3) students who failed to
achieve the KKM. That means 24 students reached the KKM. In the cycle II, the teacher had
improved the learning process with powerpoint as a teaching medium. The students also were
enthusiastic during the learning process. Therefore, the application of the speed reading
technique were said to be successful in increasing students' reading scores. Speed reading
could also increase student activity in the learning process.

REFERENCES
Arikunto, S. (2005). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Dirjen
PMPTK.
Hidayati, P. S. (2019). Speed reading: University EFL students‟ strategies
and perceptions.
Pedagonal, 3 (1), 22-42. Retrieved on August 12, 2021 from
https://journal.unpak.ac.idindex.php/pedagonal
Jones, A. M. (2003). The use and abuse of powerpoint in teaching and learning in the life
science: A personal overview. Bioscience Education, 2 (1), 1-13. doi:
https://doi.org/10.3108/beej.2003.02000004
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan [Kemdikbud]. (2018). Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomer 36 Tahun 2018. Retrieved
on August 20,
2021 from
https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud%20Nomor%2037%20Tahun%2020
18.pdf
Kemmis, S. & Taggart, R. (1988). The action research planner. Deakin: Deakin University.
Mulyana, S. (2007). Penelitian tindakan kelas dalam pengembangan profesi guru. Bandung:
LPMP.
Mulyasa. (2003). Kurikulum berbasis kompetensi, konsep, karakteristik dan
implementasi.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Soedarso. (2006). Speed Reading. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Sutz, R. & Waverka, P. (2009). Speed reading for dummies. Indiana: Wiley Publishing, Inc.
Stringer, R.T. (1996). Action research: A handbook for practitioners. London: London
International Educational and Profesional Publisher.
Tarigan, H. G. (2011). Membaca dalam kehidupan. Bandung: Angkasa.
Wainwright, G. (2006). Speed reading better recalling. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wibawa, B. (2003). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Depdiknas Dirjen Pendasmen
Dirtendik.

4
STUDI KASUS: ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN ASFIKSIA
NEONATORUM
Derma Wani Damanik1, Julwansa Saragih2, Riris Artha Dhita Purba3
1,2,3
Akper Kesdam I/Bukit Barisan Pematangsiantar
Email: dermawanidamanik@gmail.com, 2saragihjuan02@gmail.com, 3ririspurba1207@gmail.com
1

ABSTRAK
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi dimana bayi tidak mampu bernapas spontan dan teratur setelah
lahir, dikarenakan oleh berkurangnya pasokan oksigen pada sel dan jaringan janin dalam uterus. Tujuan
penelitian ini bertujuan untuk memahami rangkaian proses keperawatan pada pasien dengan asfiksia neonatorum.
Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan melalui pengelolaan asuhan
keperawatan pada Bayi R usia 0 hari. Metode studi kasus dilakukan di Rumah Sakit Tentara TK IV 010701
Pematangsiantar pada bulan April 2021. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan format pengkajian
bayi baru lahir melalui wawancara pada keluarga dan perawat serta observasi pada pasien. Berdasarkan
pengkajian diperoleh data bayi sesak frekuensi 68x/menit, apgar score 5/6, irama nafas irregular, adanya retraksi
dada, penggunaan otot bantu pernafasan, mata dan kulit kekuningan, urin kuning pekat, feces berwarna pucat,
suhu tubuh 37,5ºC, peningkatan nilai bilirubin dan leukosit. Seluruh masalah teratasi, setelah dilakukan
implementasi keperawatan selama 4 hari. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu Implementasi yang dilakukan sesuai
dengan rencana yang disusun sehingga masalah keperawatan pola nafas inefektif, ikterik neonatus dan resiko
infeksi dapat teratasi.

Keywords: Asuhan Keperawatan, Pasien, Asfiksia


Neonatorum.

ABSTRACT
Neonatal asphyxia is a condition in which the baby is unable to breathe spontaneously and regularly after
birth, due to reduced oxygen supply to fetal cells and tissues in the uterus. The purpose of this study was to
understand the series of nursing processes in patients with asphyxia neonatorum. This research method uses a
descriptive method with an approach through the management of nursing care in Infant R aged 0 days. The case
study method was carried out at Rumah Sakit Tentara TK IV 010701 Pematangsiantar in April 2021. Data
collection was carried out using the newborn assessment format through interviews with families and nurses and
observation of patients. Based on the study obtained data baby shortness of breath frequency 68x/minute, Apgar
score 5/6, irregular breathing rhythm, chest retraction, use of accessory muscles for respiration, yellowish eyes and
skin, dark yellow urine, pale stools, body temperature 37.5ºC, increased bilirubin and leukocyte values. All
problems were resolved, after the implementation of nursing for 4 days. The conclusion of this study is that the
implementation is carried out in accordance with the prepared plan so that the nursing problems of ineffective
breathing patterns, neonatal jaundice and the risk of infection can be
resolved.

Keywords: Nursing Care, Patient, Neonatorum


Asphyxia.
1. PENDAHULUAN unsur penentu status kesehatan. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan ibu dan anak adalah salah satu anak dimulai sebelum bayi lahir melalui pelayanan

44
kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil.
oleh berkurangnya pasokan oksigen pada sel dan
Pertumbuhan dan perkembangan bayi pada masa
jaringan janin dalam uterus, sehingga
neonatal adalah masa yang paling kritis karena bisa
mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan
menyebabkan terjadinya kesakitan dan kematian bayi.
kematian pada bayi baru lahir (Putri, 2019).
Kematian pada masa perinatal paling banyak
Asfiksia merupakan penyebab kematian
disebabkan oleh asfiksia (Utami, 2019).
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi tertinggi ketiga setelah infeksi neonatal dan
dimana bayi tidak mampu bernapas spontan dan teratur prematuritas/bayi berat lahir rendah (Kemenkes,
setelah lahir, dikarenakan 2019) yang disebabkan oleh defisiensi
surfaktan, pertumbuhan paru yang masih lemah,
dan tulang iga yang mudah melengkung,
sehingga janin tidak mendapatkan oksigen yang
cukup dari plasenta (Yanti, 2017).
Data organisasi kesehatan dunia (WHO)
menunjukkan bahwa penderita asfiksia

45
neonatorum setiap tahunnya sebanyak 3,6 juta (3%) bayi yang mengalami asfiksia, dapat
dari keseluruhan jumlah bayi baru lahir yaitu 120 diwujudkan dengan koordinasi yang baik,
juta, dan sekitar 1 juta bayi diantaranya meninggal standar pelayanan yang berkualitas serta
dunia (Sa‟danoer, 2020). Berdasarkan hasil membekali perawat dengan pengetahuan
penelitian (Workineh et al, 2020) di Afrika Timur serta sikap yang baik (Lumatauw et al.,
dan Tengah bahwa asfiksia neonatorum 2014). Studi kasus ini bertujuan untuk
menyebabkan sekitar 4 juta kematian neonatal memahami rangkaian proses keperawatan
setiap tahun di dunia. pada pasien dengan asfiksia neonatorum.
Berdasarkan hasil penelitian
(Gebregziabher et al, 2020) di Rumah Sakit 2. METODE STUDI KASUS
Spesialis Ethiopia Utara bahwa dari 267 neonatus, Penelitian ini menggunakan pendekatan
48 orang diantaranya menderita asfiksia dengan studi kasus pada pasien melalui proses
prevalensi 18%. Kematian neonatus yang keperawatan. Pasien dalam pelitian ini adalah
disebabkan oleh asfiksia neonatorum sekitar 8 By Ny R dengan jenis kelamin laki-laki, usia
sampai 35% di negara maju, 31 sampai 56,5% di 0 hari. Pengambilan sampel menggunakan
negara berkembang yang disebabkan oleh kondisi teknik purposive sampling. Penelitian
ibu, kondisi bayi, dan faktor plasenta (Notoatmodjo dilakukan di Rumah Sakit Tentara TK IV
& Rakhmawatie, 2012). 010701 Pematangsiantar pada bulan April
Angka kematian asfiksia neonatorum di 2021. Pengumpulan data dilakukan dengan
Indonesia mencapai 29,9% yang berlangsung pada menggunakan format pengkajian bayi baru
hari pertama bayi lahir, dan sebanyak 75,6% terjadi lahir melalui wawancara pada keluarga dan
setelah satu minggu kelahiran, sedangkan di perawat serta observasi pada pasien. Peneliti
Provinsi Lampung pada tahun 2017 terdapat 47 menggunakan 5 tahap proses keperawatan
kejadian asfiksia neonatorum per 1000 neonatus yang terdiri dari: 1). Pengkajian, peneliti
(Rahmawati, 2019). Sementara itu, angka kejadian mengumpulkan data yang berasal dari
penderita asfiksia di Kota Pariaman tergolong wawancara dengan keluarga pasien dan
tinggi, dimana tahun 2018 asfiksia menduduki perawat, 2). Diagnosa keperawatan,
urutan kedua yaitu sebanyak 267 kasus dan setiap melakukan analisisa data oleh peneliti untuk
bulannya yaitu sebanyak 22 bayi yang lahir dan membantu dalam menegakkan diagnosa, 3).
menderita (Sa‟danoer, 2020). (Farahdiba & Rahmat, Intervensi keperawatan, dilakukan dengan
2017) menambahkan bahwa kematian maternal bayi menyusun perencanaan guna mengatasi
baru lahir pada tahun 2015 yang mengalami asfiksia masalah keperawatan yang ada, 4).
mencapai 27%. Implementasi keperawatan, yaitu
Profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara melakukan tindakan keperawatan sesuai
(2018) menunjukkan bahwa Angka Kematian dengan perencanaan yang telah dibuat, dan
Neonatal (AKN) sebesar 2,6 dari 5). Evaluasi Keperawatan, yaitu
1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi melaksanakan peneliti melakukan penilaian
(AKB) sebesar 3,1 per 1.000 kelahiran hidup. berdasarkan tahapan proses keperawatan
Sedangkan penyebab kematian neonatal akibat yang sudah dilakukan.
asfiksia sebanyak 263 kasus.
Menurut (Tampubolon, 2019) asfiksia pada
bayi baru lahir menjadi faktor yang menyebabkan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
kematian yaitu sebanyak 5 juta (19%) dalam setiap 3.1 Hasil
tahun. Frekuensi asfiksia pada bayi dengan BBLR Hasil penelitian yang diperoleh
tertinggi terjadi pada tahun 2016 yaitu mencapai berdasarkan tahapan proses keperawatan
18 bayi, pada tahun 2017 menurun menjadi 8 bayi, pada pengkajian adalah sebagai berikut: bayi
pada 2018 sebanyak 4 bayi dan tahun 2019 menurun lahir tidak segera menangis, jenis persalinan
Kembali menjadi 3 bayi. section cesarea dengan usia kehamilan 36
Oleh sebab itu diperlukan peran perawat dalam minggu, berat badan 2230 gr, panjang badan
membantu bayi baru lahir terutama 46 cm, dan nilai apgar score 5/6. keluhan
utama bayi tampak sesak. Keadaan umum
sedang, tanda-tanda vital: suhu 37,5ºC, nadi
144x/menit, pernafasan 68x/menit.
Pemeriksaaan fisik diperoleh ikterik pada
lapisan conjuntiva, mukosa bibir kering,
refleks mengisap lemah, nafas cepat, bunyi

46
napas irreguler, adanya retraksi dada, terpasang pantau penyerapan oksigen), 4). Pemberian
oksigen (O2) 2 liter/menit, terpasang mesin khusus obat (jelaskan jenis obat, alasan pemberian,
yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen atau tindakan yang diharapkan, dan efek samping
yang disebut mesin CPAP, klien tampak rewel, sebelum pemberian, identifikasi
kulit tampak kekuningan, rentang gerak lemah, urin kemungkinan alergi, interaksi, dan
kuning pekat, feces berwarna pucat. kontraindikasi obat, verifikasi order obat
Hasil pemeriksaan darah didapatkan nilai sesuai dengan indikasi, monitor pemberian
bilirubin indirek 12,08 mg/dl, bilirubin direk 0,90 obat), 5). Edukasi pengukuran respirasi
mg/dl, dan nilai leukosit 16.000/mm3. Berdasarkan (Identifikasi kesiapan dan kemampuan
hasil analisa data, peneliti menetapkan 3 diagnosa menerima informasi, siapkan bahan media
keperawatan untuk kasus ini, merujuk kepada (Tim pendidikan kesehatan, dokumentasikan hasil
Pokja SDKI DPP PPNI, 2018) yaitu pola napas pengukuran).
inefektif berhubungan dengan penekanan pusat Intervensi keperawatan untuk diagnosa
pernapasan, gangguan upaya napas, sindrom kedua yaitu interik neonatus terdiri dari: 1).
hipoventilasi ditandai dengan bayi tampak sesak, Fototerapi neonatus (monitor ikterik,
frekuensi pernapasan 68x/menit, irama nafas indentifikasi kebutuhan jumlah cairan, minta
irregular, adanya retraksi dada bagian dalam, ibu untuk menyusui bayi selama 20-30
menggunakan otot bantu pernafasan, oksigen menit), 2). Perawatan bayi (observasi tanda-
terpasang 2 liter/menit, terpasang mesin khusus tanda vital, mandikan bayi sebanyak 2 kali
yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen (CPAP). dalam sehari, rawat tali pusat), 3). Edukasi
Diagnosa kedua yaitu ikterik neonatus berhubungan orang tua (indentifikasi pengetahuan dan
dengan kesulitan transisi kehidupan ekstra uterin, kesiapan orangtua belajar tentang perawatan
pola makan tidak tepat, usia < 7 hari ditandai bayi, ajarkan keterampilan merawat bayi)
dengan warna kulit dan conjunctiva mata Intervensi keperawatan untuk diagnosa
kekuningan, urin kuning pekat, feces berwarna ketiga yaitu resiko tinggi infeksi yaitu: 1).
pucat, nilai bilirubin indirek 12,08 mg/dl, bilirubin Manajemen imunisasi atau vaksinasi
direk 0,90 mg/dl. Diagnosa ketiga yaitu resiko (idendentifikasi riwayat kesehatan dan
tinggi infeksi berhubungan dengan peningkatan riwayat alergi, identifikasi kontraindikasi
paparan organisme patogen lingkungan, pemberian imunisasi, jadwalkan imunisasi
ketidakseimbangan pertahanan tubuh primer pada waktu yang tepat), 2). Pencegahan
ditandai dengan bayi rewel, suhu 37,50C, nilai infeksi (monitor adanya gejala infeksi lokal
leukosit 16.000 mm3. dan sistemik, batasi jumlah pengunjung,
Intervensi keperawatan pada kasus ini, peneliti lakukan pencucian tangan sebelum dan
menggunakan standart intervensi keperawatan sesudah kontak dengan pasien dan
Indonesia dari (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). lingkungan pasien, pertahankan teknik
Untuk diagnosa pertama yaitu pola nafas inefektif, aseptik pada resiko tinggi).
intervensi keperawatan terdiri dari: 1). Manajemen Implemetasi keperawatan dilakukan
jalan nafas (observasi pola nafas, frekuensi, selama 4 hari, dimulai pada tanggal 14 April
kedalaman, usaha nafas, bunyi nafas tambahan, 2021 pukul 08.00 WIB. Untuk diagnosa
pertahankan kepatenan jalan napas, beri posisi pertama peneliti: 1). Melakukan manajemen
fowler atau semi fowler, berikan oksigen jalan nafas 2). Melakukan pemantauan 3).
sesuai kebutuhan, 2). Pantau respirasi (monitor Memberikan dukungan ventilasi, 4).
adanya Memberikan obat dexamethasone 0,7 mg/8
sumbatan jalan nafas, lakukan perabaan jam, 5). Memberikan edukasi pengukuran
kesimetrisan ekspansi paru, auskultasi bunyi nafas, respirasi. Implementasi pada diagnosa
monitor saturasi oksigen), 3). Dukungan ventilasi keperawatan kedua, peneliti melakukan
(identifikasi adanya penggunaan otot bantu fototerapi neonatus, melakukan perawatan
pernafasan, kenali dampak berubahnya posisi bayi dan memberikan edukasi kepada orang
dengan kondisi pernafasan, tua tentang pengetahuan, kesiapan dan
keterampilan perawatan bayi sedangkan
implementasi untuk diangnosa ketiga peneliti
melakukan manajemen imunisasi dan
pencegahan infeksi dengan memantau adanya
gejala infeksi lokal dan sistemik, batasi
jumlah pengunjung, melakukan pencucian

47
tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien tampak ibu memberikan ASI, refleks
dan lingkungan pasien, memberikan injeksi mengisap meningkat, terpasang infus
cefotaxime 150mg/8 jam, memberikan injeksi dextrose 5% 7 tts/menit, nilai bilirubin
gentamicin 20 mg/24 jam. indirek 12,08 mg/dl, bilirubin direk 0,90
Hasil evaluasi keperawatan pada hari pertama mg/dl. Assessment masalah teratasi sebagian.
pada tanggal 14 April 2021 untuk diagnosa pertama, Planning: lanjutkan intervensi. Diagnosa
data subjektif yaitu ibu klien mengatakan bayi ketiga, data subjektif yaitu ibu klien
masih sesak, data objektifnya klien masih tampak
mengatakan bayi sudah tidak demam. Data
sesak, RR 68x/menit, irama nafas irregular, adanya
penggunaan otot bantu pernafasan, adanya retraksi objektif yaitu suhu tubuh 36,80C, rewel
dada, terpasang oksigen 2 liter/menit, terpasang berkurang, belum dilakukan pemeriksaan
mesin khusus yang berfungsi untuk menyalurkan darah ulang, nilai leukosit 16.000 mm3.
oksigen (CPAP), SPO2 88%, sumbatan jalan nafas Assessment masalah teratasi sebagian.
tidak ada, pulmo dalam batas normal, sistema tulang Planning: lanjutkan intervensi.
infak. Assessment masalah belum teratasi. Planning: Hasil evaluasi keperawatan pada hari
lanjutkan intervensi. ketiga pada tanggal 16 April 2021 untuk
Diagnosa kedua, data subjektifnya yaitu ibu diagnosa pertama, data subjektif yaitu ibu
mengatakan kulit bayi kuning. Data objektif yaitu klien mengatakan bayi tidak sesak, data
mata dan kulit tampak berwarna kekuningan, urin objektifnya RR 48x/menit, irama nafas
kuning pekat, feces pucat, refleks mengisap lemah, reguler, tidak adanya penggunaan otot bantu
terpasang infus dextrose 5% 7 tts/menit, tampak ibu pernafasan, bunyi nafas tambahan tidak ada
memberikan ASI, nilai bilirubin indirek 12,08 retraksi dada tidak ada, terpasang oksigen 2
mg/dl, bilirubin direk 0,90 mg/dl. Assessment liter/menit jika sesak, SPO2 96%, sumbatan
masalah belum teratasi. Planning: lanjutkan jalan nafas tidak ada, pulmo dalam batas
intervensi. normal, sistema tulang infak. Mesin khusus
Diagnosa ketiga, data subjektif yaitu ibu klien yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen
mengatakan badan bayi hangat. Data objektif (CPAP) tidak terpasang. Assasment masalah
yaitu suhu tubuh 37,5ºC, badan teraba hangat, teratasi sebagian. Planning: lanjutkan
bayi tampak rewel, bayi belum dijadwalkan untuk intervensi. Diagnosa kedua, data subjektifnya
imunisasi, nilai leukosit yaitu ibu mengatakan warna kekuningan
16.000 mm3. Assasment masalah belum berkurang. Data objektif yaitu kulit bayi
teratasi. Planning: lanjutkan intervensi. mulai tampak memerah, urin kuning jernih,
Hasil evaluasi keperawatan pada hari kedua
warna feces normal, refleks mengisap kuat,
pada tanggal 15 April 2021 untuk diagnosa pertama,
masih terpasang infus dextrose 5% 7
data subjektif yaitu ibu klien mengatakan sesak
berkurang, data objektifnya klien tampak sesak tts/menit, nilai bilirubin indirek 5,68 mg/dl,
namun sudah berkurang, RR 60x/menit, irama nafas bilirubin direk 0,40 mg/dl. Assessment
irregular, adanya penggunaan otot bantu masalah teratasi sebagian. Planning:
pernafasan, bunyi nafas tambahan tidak ada adanya lanjutkan intervensi. Diagnosa ketiga, data
retraksi dada, terpasang oksigen 2 liter/menit, subjektif yaitu ibu klien mengatakan bayi
terpasang mesin yang berfungsi untuk sudah tidak demam. Data objektif yaitu suhu
menyalurkan oksigen (CPAP), SPO2 90%, tubuh 36,50C, bayi tidak rewel, nilai leukosit
sumbatan jalan nafas menjadi 9200 mm3. Assessment masalah
tidak ada, pulmo dalam batas normal, sistema tulang teratasi. Planning: intervensi dihentikan.
infak. Assessment masalah belum teratasi. Planning: Hasil evaluasi keperawatan pada hari
lanjutkan intervensi. keempat pada tanggal 17 April 2021 untuk
Diagnosa kedua, data subjektifnya, ibu diagnosa pertama, data subjektif yaitu ibu
mengatakan kulit bayi masih kuning. Data objektif klien mengatakan sesak tidak ada, data
yaitu mata dan kulit tampak berwarna kekuningan, objektifnya RR 40x/menit, irama nafas
urin kuning pekat namun berkurang, warna feces teratur, otot bantu pernafasan tidak ada, bunyi
normal, nafas tambahan tidak ada retraksi dada tidak
ada, SPO2 98%, sumbatan jalan nafas tidak
ada, pulmo dalam batas normal. Assessment
masalah teratasi. Planning: intervensi
dihentikan. Diagnosa kedua, data
subjektifnya yaitu ibu mengatakan warna
kulit sudah memerah. Data objektif yaitu

48
kulit bayi tampak memerah, urin dan feces Diagnosa keperawatan
normal, refleks mengisap kuat, nilai bilirubin Diagnosa keperawatan merupakan
indirek 5,68 mg/dl, bilirubin direk 0,40 mg/dl. penilaian klinis perawat tentang respon klien
Assessment: masalah teratasi. Planning: intervensi terhadap kondisi atau kebutuhan kesehatan
dihentikan. aktual atau potensial. Data yang diperoleh
untuk diagnosa pola napas inefektif adalah
3.2 Pembahasan bayi tampak sesak, frekuensi pernapasan
Pembahasan menjelaskan tentang proses 68x/menit, irama nafas irregular, adanya
keperawatan yang telah dilakukan oleh peneliti retraksi dada bagian dalam, penggunaan otot
yang terdiri dari: bantu pernafasan, oksigen terpasang 2
Pengkajian liter/menit, terpasang mesin khusus yang
Tahap pengkajian merupakan tahap awal dalam berfungsi untuk menyalurkan oksigen. Sesuai
melaksanakan pengumpulan data terkait masalah dengan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
klien agar dapat memberi arah dalam intervensi bahwa gejala minor dan mayor untuk
keperawatan (Astar et al., 2018). Dalam hal ini diagnosa pola nafas inefektif mencakup
peneliti mengkaji data identitas klien, riwaya dipsnea, penggunaan otot bantu pernafasan,
kesehatan mencakup keluhan utama, riwayat fase ekspirasi memanjang, pola nafas
penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, abnormal, pernafasan cuping hidung dan
riwayat penyakit keluarga, riwayat antenatal, ventilasi semenit menurun. Penulis
riwayat intranatal, keadaan bayi baru lahir, menetapkan diagnosa ikterik neonatus
pemeriksaan umum, pemeriksaan atrometri dengan memperoleh data yaitu warna kulit
pemeriksaan khusus (head to toe) dan pemeriksaan dan sklera mata kekuningan, urin kuning
penunjang. pekat, feces berwarna pucat, nilai bilirubin
Berdasarkan hasil pengkajian diperoleh indirek 12,08 mg/dl, bilirubin direk 0,90
keluhan utama pada klien adalah sesak dengan nilai mg/dl. Ikterus untuk bayi baru lahir adalah
apgar score 5/6. Menurut (Fida & Maya, 2014),
meningkatnya kadar bilirubin pada jaringan
asfiksia neonatorum memiliki gejala dan tanda
terdalam ekstravaskuler menyebabkan kulit,
yaitu dypsnea, pernapasan cuping hidung (kedua
selaput konjungtiva, dan bagian tubuh lainnya
hidung kembang kempis), kebiruan dan nadi
berwarna menguning. Ikterus patologik
berdenyut cepat. Sementara itu gejala selanjutnya terjadi dalam 24 jam awal dengan bilirubin
pada asfiksia neonatorum adalah pernafasan dalam, serum meninggi melebihi dari 5 mg% perhari
denyut jantung terus menurun, tekanan darah mulai (Puspita, 2018). Data yang diperoleh untuk
menurun, anak terlihat lemas (flaccid), penurunan
diagnosa resiko tinggi infeksi yaitu bayi
tekanan oksigen dalam darah (PaO2), meningginya rewel, suhu 37,50C, nilai leukosit 16.000
tekanan CO2 darah (PaCO2), menurunnya pH (akibat
mm3. Sesuai dengan (Tim Pokja SDKI DPP
asidosis respiratorik dan metabolik), yang PPNI, 2017) bahwa batasan karateristik
digunakan sebagai sumber glikogen bagi tubuh
resiko infeksi yaitu demam, dan adanya
anak dan metabolisme anaerob, serta perubahan
tanda-tanda infeksi.
sistem peredaran darah.
Data pemeriksaan fisik diperoleh bahwa mata
dan kulit berwarna kekuningan, reflek mengisap Intervensi keperawatan
kurang, pernafasan cepat, retraksi dada ada, rentang Dalam tahap intervensi dilakukan
pergerakan lemah, urin berwarna kuning pekat, berdasarkan penyusunan prioritas masalah
feces pucat, terpasang oksigen, terpasang mesin keperawatan. Intervensi merupakan
khusus yang berfungsi untuk menyalurkan serangkaian tindakan yang dapat mencapai
oksigen. Sesuai dengan (Kemenkes, 2019) bahwa tiap tujuan khusus (Astar et al., 2018).
sekitar Intervensi adalah elemen kunci dari rencana
26% bayi asfiksia akan mengalami gangguan asuhan keperawatan. Intervensi keperawatan
pada pernafasan. Asfiksia terjadi karena yang direncanakan untuk diagnosa
kekurangan keperawatan pola nafas inefektif yaitu:
oksigen baik saat kehamilan, persalinan maupun manajemen jalan nafas, pemantauan
saat lahir (Saptanto & Anggraheny, 2014). respirasi, dukungan ventilasi, pemberian
obat, dan edukasi pengukuran respirasi.
Rasionalnya manajemen jalan nafas dan
pemantauan respirasi dapat mengidentifikasi
dan

49
memastikan kepatenan jalan nafas dan dukungan semenit membaik, sesak menurun, dan
ventilasi dapat memfasilitasi dalam penggunaan otot bantu nafas menurun.
mempertahankan pernafasan spontan untuk Outcome untuk diagnosa ikterik neonatus
memaksimalkan pertukaran gas di paru-paru yaitu integritas kulit dan jaringan membaik,
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). eliminasi fekal dan status nutrisi membaik.
Didukung penelitian (Pratama n.d, 2018) bahwa Dan outcome diagnosa yaitu resiko infeksi
intervensi keperawatan pada masalah pola nafas terkontrol. Menurut (Astar et al., 2018),
inefektif dapat dilakukan dengan sebelum melakukan implementasi yang sudah
memaksimalkan direncanakan perawat perlu melakukan
ventilasi, mendengarkan bunyi nafas, memantau validasi secara singkat untuk mengetahui
status pernafasan dan oksigenasi, monitor
apakah rencana tindakan masih sesuai dan
kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan
bernafas, pantau pergerakan dada dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisi pada
ketidaksimetrisan penggunaan otot bantu saat ini. Perawat juga perlu memberikan
pernafasan, palpasi kesimetrisan ekspansi paru, dan penilaian terhadap diri sendiri, apakah
pertahankan (kepatenan) jalan nafas. memiliki kemampuan interpersonal,
Intervensi keperawatan untuk diagnosa interik intelektual, dan teknik sesuai dengan
neonatus terdiri dari: fototerapi neonatus, perawatan tindakan yang akan dilakukan. (Shiferaw et
bayi dan edukasi orang tua. Rasionalnya pemberian al, 2020) menambahkan implementasi
fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dan keperawatan dalam pengaturan klinis dapat
edukasi orang tua memberikan informasi dalam memfasilitasi asuhan keperawatan yang
peningkatan pengasuhan fisik yang dibutuhkan bayi berkualitas tinggi dan meningkatkan hasil
dalam tahun pertama kehidupan (Tim Pokja SIKI kesehatan klien.
DPP PPNI, 2018). Sejalan dengan penelitian
(Mulyati et al, 2019) bahwa fotoherapi merupakan Evaluasi
terapi pilihan pertama yang dilakukan pada bayi Pada penelitian ini, ketiga masalah
dengan hyperbilirubinemia. Intervensi keperawatan sudah teratasi setelah tindakan keperawatan
untuk diagnosa resiko tinggi infeksi yaitu: dilakukan selama 4 hari. Sesuai dengan
manajemen imunisasi atau vaksinasi dan pendapat (Nursalam, 2014) bahwa evaluasi
pencegahan infeksi. Rasionalnya manajemen dilakukan berdasarkan kriteria yang telah
imunisasi/vaksinasi dapat mengidentifikasi dan ditetapkan dalam perencanaan dan
mengelola pemberian kekebalan tubuh secara aktif membandingkan hasil tindakan yang telah
dan pasif dan resiko infeksi dapat menurunkan dilaksanakan secara berkesinambungan serta
resiko terserang organisme patogenik (Tim Pokja menilai efektifitas proses keperawatan mulai
SIKI DPP PPNI, 2018). Penelitian (Yulia Sari, dari tahap pengkajian, perencanaan dan
2020) bahwa intervensi keperawatan untuk diagnosa pelaksanaan.
resiko tinggi infeksi yaitu pantau gejala infeksi lokal
dan sistemik, batasi jumlah pengunjung, cegah 4. KESIMPULAN
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh bagi By Ny R dengan jenis kelamin laki-laki,
pasien dengan resiko tinggi. usia 0 hari dengan keluhan utama sesak.
Diperoleh 3 masalah utama yaitu pola nafas
Implementasi keperawatan inefektif, ikterus neonatus, dan resiko tinggi
Berdasarkan kasus diketahui bahwa infeksi. Sesudah tindakan keperawatan
implementasi yang dilakukan sudah sesuai dilakukan selama 4 hari, maka ketiga
dengan perencanaan/intervensi yang disusun oleh ketiga masalah keperawatan yaitu pola
peneliti. Penulis berusaha semaksimal mungkin nafas
untuk melakukan tindakan keperawatan sehingga inefektif, ikterik neonatus dan resiko infeksi,
tercapainya tujuan yang diharapkan. Outcome yang teratasi. Dengan pengetahuan perawat yang
diperoleh pada diagnosa pola napas inefektif yaitu baik sangat bermanfaat untuk meningkatkan
frekuensi dan irama nafas membaik, ventilasi implementasi proses keperawatan. Oleh
sebab itu, perawat dapat dididik tentang
pentingnya pengetahuan guna meningkatkan
implementasi proses keperawatan dan
kualitas asuhan keperawatan secara
keseluruhan.

50
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
REFERENCES Pratama, R. T. B. (n.d.). (2018). Asuhan
Astar, F., Tamsah, H., & Kadir, I. (2018). keperawatan pada By. M dan By. L
Pengaruh Pelayanan Asuhan pasca asfiksia neonatorum dengan
Keperawatan terhadap Kepuasan Pasien masalah keperawatan Ketidakefektifan
di Puskesmas Takalala Kabupaten pola nafas di Ruang perinatologi RSUD
Soppeng. YUME: Journal of Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018.
Management, 1 (2). Profil Kesehatan. (2018). Provinsi Sumatera
Farahdiba, I., & Rahmat, B. (2017). Faktor- Utara 2018. Dibuka pada website http:
faktor yang berhubungan terjadinya kemenkes.go.id. Dibuka pada 1 Maret
asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah 2021.
Sakit Syech Yusuf Gowa Tahun 2017. Puspita, N. (2018). The Effect of Low
Jurnal Kesehata Delima Pelamonia, Birthweight on the Incidence of
1 Neonatal Jaundice in Sidoarjo. Jurnal
(2), 185–192. Berkala Epidemiologi, 6(2), 174.
Fida., & Maya. (2014). Pengantar Ilmu https://doi.org/10.20473/jbe.v6i22018.17
Kesehatan Anak. D-Medika: 4-181.
Yogyakarta. Putri, N. N. B. K. A. (2019). Analisis faktor
Gebregziabher, G. T., Hadgu, F. B., & penyebab kejadian asfiksia pada bayi
Abebe, H. T. (2020). Prevalence and baru lahir di RS Aura Syifa Kabupaten
associated factors of perinatal asphyxia Kediri. Jurnal Ners Dan Kebidanan
in neonates admitted to ayder
(Journal of Ners and Midwifery), 6(2),
comprehensive specialized hospital,
251–262.
Northern Ethiopia: a cross-sectional
Rahmawati, R. (2019). Faktor-faktor risiko
study. International Journal of
yang berhubungan dengan kejadian
Pediatrics.
asfiksia neonatorum (Studi di RSUD dr.
Kemenkes. (2019). Keputusan Menteri
Soekardjo Kota Tasikmalaya Tahun
Kesehatan Republik Indonesia No 214.
Diakses pada 2019). Universitas Siliwangi.
https://yankes.kemkes.go.id. Sa‟danoer, I. M. (2020). Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Asfiksia
Lumatauw, S., Kumaat, L. T., & Karundeng, Neonatorum di RSUD Pariaman. Jurnal
M. (2014). Hubungan pengetahuan dan Bidan Komunitas, 3(3), 93–98.
sikap perawat dengan penanganan Saptanto, A., & Anggraheny, H. D. (2014).
asfiksia berat pada bayi baru lahir Di Faktor Risiko yang Mempengaruhi
Ruang Nicu Rsup Prof Dr RD Kandou Kematian Bayi Asfiksi. Jurnal
Manado. Jurnal Keperawatan. 2 (2). Kedokteran Muhammadiyah, 3(1).
Mulyati, M., Iswati, N., & Wirastri, U. Shiferaw, W. S., Akalu, T. Y., Wubetu, A.
(2019). Analisis Asuhan Keperawatan D., & Aynalem, Y. A. (2020).
pada Pasien Neonatus dengan Implementation of Nursing Process and
Hiperbilirubinemia di RSUD Prof. dr. Its Association with Working
Margono Soekarjo Purwokerto. Environment and Knowledge in
Proceeding of The URECOL, 203–212. Ethiopia: A Systematic Review and
Notoatmodjo, H., & Rakhmawatie, M. D. Meta-Analysis. Nursing Research
(2012). Faktor-Faktor Yang and Practice, 2020.
Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia
Tampubolon, I. K. (2019). Angka
Neonatorum. Jurnal Kedokteran
kejadian asfiksia pada bayi Berat
Muhammadiyah, 1 (2).
Badan Lahir Rendah (BBLR) di Rumah
Nursalam, D. (2014). Manajemen
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.
Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik
Utami, R. P. (2019). Faktor-faktor yang
Keperawatan Profesional. Salemba berhubungan dengan kejadian asfiksia
Medika. neonatorum di Rumah Sakit Umum
PPNI, Tim Pokja SDKI D P P. (2017). daerah H. Abdul Manan Simatupang
Standar diagnosis keperawatan Kabupaten Asahan tahun 2017. Yanti, J.
indonesia. S. (2017). Hubungan hipertensi
PPNI, Tim Pokja SIKI D P P. (2018). kehamilan dengan asfiksia neonatorum
Standar intervensi keperawatan di RSUD Arifin Achmad. Menara Ilmu,
indonesia.

This work is licensed under a Cr e a tive Com mon s Att rib u tio n- N o nC o m m e r c ial 4. 0 51
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
11(76). terhadap By R DI Ruang Neonatus
Yulia Sari, D. (2020). Asuhan Keperawatan RSUD Mayjend HM Ryacudu Kotabumi
pasien dengan gangguan kebutuhan Lampung Utara. Poltekkes
oksigenasi pada kasus pneumoni Tanjungkarang.

GAMBARAN PENGETAHUAN KELUARGA


TENTANG PEMBUANGAN LIMBAH
SAMPAH TERHADAP PENCEGAHAN DBD
DILINGKUNGAN V KELURAHAN LABUHAN
DELI
Sarmaida Siregar1, Aureliya Hutagaol2, Hamonangan Damanik3, Sarida Surya
Manurung4
1
Program Studi D-III Keperawatan, Universitas Imelda Medan
2,3,4
Program Studi S-1 Keperawatan, Universitas Imelda
Email: sarmaidabahtiar.123@gmail.com , 2aureliyanovita@gmail.com,
1

3
hamonangandamanik1112@gmail.com, 4sarida.manurung1@gmail.com

ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue.
Ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Ditandai dengan demam mendadak selama dua sampai tujuh
hari tanpa penyebab yang jelas, lemas atau lesu, mudah tersinggung, mulas dengan gejala perdarahan
yang muncul di kulit berupa bercak berdarah (petechia), ruam (purpura). Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan pengetahuan keluarga tentang pembuangan limbah sampah terhadap pencegahan
DBD di Lingkungan V Kelurahan Medan Marelan. Metode yang digunakan adalah deskriptif yang
bertujuan untuk membuat gambaran pengetahuan keluarga tentang pembuangan limbah sampah
terhadap pencegahan DBD dengan rancangan cross sectional. Pada penelitian ini mengunakan
kuesioner dalam pengumpulan data. Populasi dalam penelitian seluruh keluarga yang tinggal di
Lingkungan V Kelurahan Medan Marelan dan salah satu anggota keluarganya pernah menderita
penyakit DBD. Jumlah populasi adalah sebanyak 37 orang dan sampel yang diambil dengan tehnik total
sampling yaitu 37 orang. Identifikasi pengetahuan Keluarga tentang pembungan limbah sampah
terhadap pencegahan DBD menggunakan instrumen dalam bentuk kuisioner tertutup. Berdasarkan hasil
penelitian mayoritas pengetahuan keluarga cukup sebanyak 18 responden (48%) dan minoritas baik
sebanyak 9 responden (24%), Untuk itu masih sangat penting penyuluhan pada keluarga tentang
pembungan limbah sampah terhadap pencegahan DBD di Lingkungan V Kelurahan Medan Marelan
agar tercapai kategori pengetahuan keluarga baik.

Kata Kunci: Pengetahuan, Keluarga, Limbah, Sampah, DBD.

ABSTRACT

This work i s licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4. 0 52


Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is an infectious disease caused by the Dengue virus and transmitted
by the Aedes aegypti mosquito which is characterized by a sudden fever of two to seven days without
apparent cause, weakness or lethargy, anxiety, heartburn, accompanied by signs bleeding in the skin in
the form of bleeding spots (petechia), rashes (purpura). The purpose of this is to describe family
knowledge about waste disposal against DHF prevention in the V Environment in Medan Marelan
Kelurahan. The method used in this study is descriptive which aims to make a description of the family's
knowledge about waste disposal against DHF prevention with a cross sectional design. In this study
using a questionnaire in data collection. The population in the study was all families living in the Medan
V neighborhood, Medan Marelan and one of his family members had suffered from dengue disease. The
total population is 37 people and the sample taken with a total sampling technique is 37 people.
Identification of family knowledge about waste disposal of dengue prevention using instruments in the
form of a closed questionnaire. Based on the results of the study, the majority of family knowledge is
sufficient as many as 18 respondents (48%) and a good minority of 9 respondents (24%) nice family.
Keywords: Knowledge, Family, Waste, Waste, DHF.
1. PENDAHULUAN mudah tersinggung, Mulas, disertai dengan
Penyakit Demam Berdarah Dengue
tanda perdarahan, muncul pada kulit berupa
(DBD) merupakan penyakit menular yang
bercak perdarahan (petechia), ruam
disebabkan oleh virus dengue. Ditularkan
(purpura). Kadang mimisan, disentri, muntah
oleh nyamuk Aedes aegypti. Ditandai dengan
darah, penurunan kesadaran, dan
demam mendadak selama dua sampai tujuh
kecenderungan menyebabkan sengatan listrik
hari tanpa sebab yang jelas, lemas atau lesu,

This work is licensed under a Cr e a tive Com mon s Att rib u tio n- N o nC o m m e r c ial 4. 0
5
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
(sengatan listrik) dan kematian (Mubin, hampir 60 negara pada tahun 2000-2009
2009). (WHO, 2014).
Penyakit Demam Berdarah Dengue Demam berdarah dengue (DBD) masih
(DBD) merupakan penyakit yang ditemukan menjadi salah satu masalah kesehatan
di sebagian besar daerah tropis dan subtropis, masyarakat terpenting di Indonesia, seiring
terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, dengan meningkatmya mobilitas dan
Amerika dan Karibia. Host alami DBD kepadatan penduduk, jumlah penderita dan
adalah manusia, dan patogennya adalah virus luas daerah penyebarannya semakin
Dengue dari family Flaviviridae. Flavivirus bertambah di Indonesia, demam berdarah
genus mencakup empat serotipe yaitu Den-1, pertama kali di temukan di Kota Surabaya
Den-2, Den-3 dan Den-4 yang ditularkan ke pada tahun 1968 dimana sebanyak 58 orang
manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi dan 24 orang di nyatakan
terinfeksi, terutama Aedes aegypti dan Aedes meninggal dunia, dengan Angka Kematian
aegypti.Albinisme. Masa inkubasi (masa (AK) mencapai 41% sejak saat itu penyakit
inkubasi internal) virus dengue dalam tubuh ini menyebar luas ke seluruh Idonesia.
manusia adalah antara 3 hingga 14 hari (Kemenkes RI, 2011).
sebelum timbulnya gejala. Gejala klinis rata- DBD merupakan salah satu penyakit
rata muncul pada hari keempat hingga menular yang sering menyebabkan kejadian
ketujuh, sedangkan masa inkubasi eksternal Luar Biasa (KLB) di Indonesia, DKI Jakarta
(pada nyamuk) berlangsung sekitar 8 sampai merupakan salah satu tempat wabah penyakit
10 hari (Candra, 2010). yang sering terjadi, merupakan ibu kota
Demam berdarah adalah penyakit negara Indonesia dengan jumlah penduduk
arbovirus paling umum dan utama, dengan yang besar. Masalah ini sangat mendukung
5 miliar hingga 100 juta kasus dilaporkan Jakarta menjadi daerah edemik DBD.
setiap tahun, dengan sekitar 500.000 kasus Dimana penduduk yang banyak, lingkungan
parah dan 20.000 kasus fatal. Data dari yang padat dan arus urbanisasi yang tinggi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadikan Jakarta kota memiliki
menunjukkan bahwa meskipun hampir 40% pernasalah lingkungan (Kemenkes RI,
penduduk dunia tinggal di daerah endemik 2011).
DBD, meskipun terdapat banyak sumber Sulitnya menurunkan insiden DBD di
daya untuk pemantauan dan pengendalian Jakarta merupakan tantangan sendiri bagi
demam berdarah, beberapa negara telah DKI Jakarta. Hal ini perlu di kaji lebih lebih
berhasil mengendalikan demam berdarah jauh mengingat sudah adanya program kader
(Resende et al., 2013). Jumantik. Menjadi tanda tanya besar
Menurut data World Health sesungguhnya bagaimana praktik pencegahan
Organization (WHO, 2014) demam berdarah DBD yang berjalan di wilayah DKI Jakarta,
dengue pertama kali dilaporkan di Asia terutama di Jakarta Timur. Perlu dikaji lebih
Tenggara (Filipina) pada tahun 1954, lanjut praktik pencegahan apa sajakah yang
kemudian menyebar ke berbagai negara. dilakukan oleh masyarakat setempat. Upaya
Sebelum tahun 1970 hanya ada 9 negara yang penanggulangan virus dengue melalui
terjangkit DBD, namun sekarang DBD kampanye PSN membutuhkan ketekunan,
mewabah di lebih dari 100 negara, antara lain semangat dan partisipasi masyarakat, oleh
Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia karena itu diperlukan penelitian untuk
Tenggara dan Pasifik Barat yang merupakan menguraikan perilaku sehat terkait praktik
negara dengan kejadian DBD tertinggi. pencegahan DBD di daerah dengan DBD
Jumlah kasus di Amerika Serikat, Asia tinggi. (Kementerian Kesehatan Provinsi RI,
Tenggara dan kawasan Pasifik Barat melebihi 2011)
1,2 juta pada 2008 dan 2,3 juta pada 2010. Pada tahun 2012 terdapat 4367 kasus
Pada 2013, Amerika Serikat melaporkan DBD di Provinsi Sumatera Utara, dengan IR
2,35 juta kasus, di mana 37.687 di antaranya (angka kejadian) 33 per 100.000 penduduk;
adalah demam berdarah parah. Menurut pada tahun 2013 terdapat 4.732 kasus DBD
laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Provinsi Sumatera Utara, IR As berikut:
kasus demam berdarah global berkembang ada 35,5 kasus per 100.000 orang, jumlah
dari 980 kasus di hampir 100 negara pada kasus meningkat menjadi 7.140 pada tahun
tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612 kasus di 2014, dan IR 51,9 per 100.000 orang. Kolera
telah menyebar luas di Sumatera Utara

This work is licensed under a Cr e a tive Com mon s Att rib u tio n- N o nC o m m e r c ial 4. 0
5
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
dengan morbiditas dan mortalitas yang relatif Pengetahuan Keluarga tentang Pembuangan
tinggi. Menurut KLB, Sumatera Utara dapat Limbah Sampah terhadap Pencegahan DBD
dibedakan menjadi daerah endemis DBD, di Lingkungan V Kelurahan Medan
DBD sporadis dan daerah berpotensi atau Marelan”.
daerah bebas DBD. Upaya–upaya
pencegahan kejadian luar biasa (KLB) sudah 2. METODE
seharusnya dilakukan secara komprensif. Jenis penelitian ini bersifat deskripsi
Baik pada tingkat kelompok maupun pada yaitu untuk mengetahui gambaran
tingkat individu, salah satunya pada tingkat pengetahuan keluarga tentang pembuangan
kelompok dengan merubah perilaku limbah sampah terhadap pencegahan DBD di
masyarakat. Lingkungan V Desa Labuhan Deli
Perilaku masyarakat dalam menjaga Kecamatan Medan Marelan dengan
kebersihan lingkungan sekitar rumah menggunakan pendekatan cross sectional
menjadi salah satu faktor terkait penyakit yaitu penelitian sectional silang yang diukur
DBD. Penelitian yang dilakukan oleh dan dikumpulkan secara simultan atau secara
(Mahardika, bersamaan dan data yang dikumpulkan pada
2009) menunjukkan bahwa masih banyak waktu tertentu untuk menggambarkan
penderita DBD yang membuang keadaan waktu itu, dimana bertujuan untuk
sampahnya. menetapkan pertanyaan, mengidentifikasi
Kebiasaan membuang sampah di sini terkait
setiap variabel, objek, pengukuran dan
erat dengan keberadaan nyamuk Ae.aegypti
berfungsi sebagai pembawa infeksi dengue. analisis penelitian (Setiadi, 2009).
Ini karena Ae.aegypti bisa berkembang biak Waktu dalam penelitan ini dilakukan
di tempat sampah. 4 Hal ini terkait erat bulan Maret – Mei tahun 2019. Penelitian di
dengan cara masyarakat menangani sampah. lakukan di Lingkungan V Desa Labuhan Deli
Penelitian yang dilakukan oleh (Endang Puji Kecamatan Medan Marelan. Adapun yang
menjadi populasi pada penelitian ini adalah
Restuti, 2016) di Jawa Barat menunjukkan
seluruh keluarga yang salah satu anggota
bahwa sebagian besar masyarakat masih
menggunakan metode pembakaran untuk keluarganya pernah menderita penyakit DBD
membuang sampah, dan nyamuk dapat di Lingkungan V Desa Labuhan Deli
berkembang biak disini. Trias ilmu Kecamatan Medan Marelan berjumlah dan
epidemiologi menjelaskan hubungan antara berjumlah 37 kepala keluarga. Teknik
tiga faktor utama yang berperan dalam pengambilan sampel pada penelitian ini
terjadinya penyakit dan gangguan kesehatan, adalah Probability Sampling yaitu memberi
yaitu inang (inang), patogen (faktor kesempatan kepada semua populasi untuk
penyebab), dan lingkungan (environment): menjadi sampel dengan menggunakan Total
masyarakat memelihara lingkungan Sampling dimana seluruh populasi dijadikan
sekitarnya. Kebersihan rumah merupakan sampel penelitian (Setiadi, 2009).
salah satu faktor yang berhubungan dengan Sampel adalah bagian dari keseluruhan
demam berdarah. Penelitian yang dilakukan objek yang di teliti dan dianggap menjadi
oleh (Mahardika, 2009) menunjukkan bahwa seluruh atau sebagian pupulasi. Sampel
masih banyak penderita DBD yang dalam penelitian ini berjumlah 37 kepala
membuang sampah. Kebiasaan membuang keluarga. Sebelum proses pengumpulan data
sampah di sini terkait erat dengan keberadaan dilakukan, tahap awal dari proses ini adalah
nyamuk Ae.aegypti berfungsi sebagai melakukan persiapan untuk melancarkan
pembawa infeksi dengue. Ini karena pelaksanaan penelitian dengan cara
Ae.aegypti bisa berkembang biak di tempat melakukan pendekatan pada responden guna
sampah. Hal ini terkait erat dengan cara menjelaskan makna dan tujuan penelitian.
masyarakat menangani sampah. Peneliti wajib menjelaskan kepada responden
Dari Survey awal yang penulis terhadap bahwa penelitian tidak berdampak negatif
beberapa keluarga lakukan di Kelurahan kepada fisik, mental dan kerahasiaan
Labuhan Deli Lingkungan V Kecamatan
responden sangat terjaga.
Medan Marelan, masih banyak keluarga yang
belum mengetahui tentang pembuangan Data yang digunakan dalam penelitian
adalah sebagai berikut:
limbah sampah. Dalam konteks diatas,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul tersebut “Gambaran

This work is licensed under a Cr e a tive Com mon s Att rib u tio n- N o nC o m m e r c ial 4. 0
5
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
1. Data Primer Sedangkan untuk mengetahui presentase
Data primer yaitu, data yang didapat dari jawaban responden dengan kriteria
responden dan dikumpulkan secara responden, Fmenggunakan rumus:
khusus untuk menjawab pertanyaan P = x 100%
N
penelitian ini, meliputi:
a. Data tentang identitas klien meliputi Keterangan :
inisial nama, umur, pekerjaan, P = persentase
pendidikan, jenis kelamin F = Jawaban yang benar
dikumpulkan dengan kuesioner. N= Jumlah Pertanyaan (Setiadi, 2007)
b. Data penyuluhan kesehatan
dikumpulkan dengan kuesioner. Pada variabel pengetahuan dengan
c. Data upaya pencegahan dikumpulkan menggunakan skala Guttman apabila jika
dengan kuesioner. jawaban penjawab salah, itu 0, dan jika
2. Data Sekunder
jawaban penjawab benar, itu adalah 1
Data sekunder merupakan data yang
sehingga kriteria jawaban responden dapat
mendukung penelitian data sekunder
dapat diperoleh dari berbagai sumber, disimpulkan melalui nilai dan presentase
diantaranya yaitu instansi terkait dengan jawaban sebagai berikut:
R Nilai Tertinggi − Nilai
penelitian, buku-buku, dan artikel.
Ter d
3. Data Tersier en ah I = =
Yaitu data yang didapat dari hasil K Kelas
24 − 0
penelitian atau jurnal terdahulu. I= =8
3
Variabel adalah sesuatu yang digunakan Keterangan:
sebagai ciri, ciri atau ukuran kepemilikan I = Interval
atau perolehan, atau unit penelitian dari suatu K = Jumlah (kategori)
konsep makna, seperti usia, jenis kelamin, Range = Skor maksimal – skor minimal
tingkat pendidikan, status perkawinan, Sedangkan untuk mengetahui presentase
pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, jawaban sesuai dengan kriteria responden
penyakit dll (Notoatmodjo, 2012). Variabel memakai rumus Determinan oleh (Setiadi,
dan penelitian adalah pengetahuan keluarga. 2009), yaitu:
F
Definisi operasional adalah semua variabel x 100% P =
N
dan istilah yang akan digunakan secara Keterangan :
operasional, sehingga pada akhirnya P = perensentase
memudahkan pembaca dalam menjelaskan F = jumlah jawaban yang benar
penelitian N = jumlah soal
Pengetahuan keluarga adalah segala
sesuatu yang diketahui keluarga tentang Tabel 1. Interval Jawaban Kategori
pembuangan limbah sampah terhadap Pengetahuan
pencegahan DBD di Lingkungan V Desa No Kategori Skor (%)
Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan. Pengetahuan Jawaban
Teknik pengukuran yang dilakukan peneliti Baik 17 – 24 71– 100
dengan kuesioner tertutup kepada responden Cukup 9 – 16 37 – 66
sebanyak 24 pertanyaan untuk variabel Buruk 0– 0 – 33
pengetahuan diformulasikan variabel respon Ada beberapa kegiatan yang dilakukan
interval menggunakan rumus Sturges untuk oleh peneliti dalam pengolahan data/analisis
menentukan standar respon responden: data, dibagi menjadi beberapa tahap yaitu:
R Nilai Tertinggi − Nilai 1. Editing (memeriksa)
� = Terendah Digunakan untuk memeriksa daftar
= Kelas pertanyaan yang diajukan oleh pengumpul
K
Keterangan : data. Periksa daftar pertanyaan lengkap
I = Interval kelas berdasarkan kelengkapan jawaban,
R=Jarak kelas (Skor Maksimal-Skor keterbacaan tulisan dan relevansi jawaban.
Minimal)
K=Jumlah (Kategori) (Sudjana, 2009).

This work is licensed under a Cr e a tive Com mon s Att rib u tio n- N o nC o m m e r c ial 4. 0
5
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
2. Coding (memberi tanda/kode) Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa
dari Mengkategorikan jawaban responden. 37 responden mayoritas berpendidikan SMA
Biasanya klasifikasi dilakukan dengan sebanyak 20 responden (54%), pendidikan SMP
memberikan simbol / kode berupa angka sebanyak 10 responden (27%) pendidikan SD
pada setiap jawaban. Sorting adalah sebanyak 5 (13%) dan minoritas berpendidikan
D mengurutkan dengan memilih atau III/S I sebanyak 2 responden (5%).
mengelompokkan data sesuai dengan jenis
yang diinginkan. Tabel 4. Distribusi Karakteristik Responden
3. Sorting (sortir) Berdasarkan Pekerjaan
Merupakan dengan memilih atau No Pekerjaan (F) (%)
mengelompokkan data sesuai dengan jenis 1 IR T 12 32
yang diinginkan. 2 Wiraswasta 8 21
4. Entry Data (memasukkan data) 3 Karyawan Swasta 7 10
Jawaban untuk kode kategori yang 4 Buruh Harian Lepas 10 27
diberikan dimasukkan ke dalam formulir. Total 37 100
Penginputan data dapat dilakukan secara Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa
manual atau diolah dengan komputer. dari 37 responden mayoritas responden
5. Cleaning bekerja sebagai IRT sebanyak 12 responden
Adalah tahap memastikan bahwa seluruh (32%), pekerjaan buruh harian lepas
data yang telah dimasukkan kedalam sebanyak 10 responden (27%) pekerjaan
pengolahan data selesai dengan wiraswasta sebanyak 8 responden (21%) dan
sebenarnya (Setiadi, 2007). minoritas pekerjaan karyawan swasta
sebanyak 7 responden (10%).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Tabel 5. Distribusi Karakteristik Responden
Setelah dilakukan penelitian terhadap 37 Berdasarkan Sumber Informasi
responden dengan judul Gambaran No Sumber Informasi (F ) (%)
Pengetahuan Keluarga Tentang Pembuangan 1 Media Cetak 7 18
Limbah Sampah Terhadap Pencegahan DBD 2 Media Elektronik 5 13
di lingkungan V Desa Labuhan Deli 3 Tenaga Kesehatan 15 41
Kecamatan Medan Marelan kemudian 4 Keluarga 10 27
hasilnya ditampilkan pada tabel distribusi Total 37 100
dibawah ini: Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa
dari 37 responden mayoritas mendapat
1. Data Umum informasi dari media cetak sebanyak 7 (18%)
Tabel 2. Distribusi Karakteristik Responden media Elektronik 5 (13%) Tenaga Kesehatan
Berdasarkan Umur 15 (41%) Keluarga 10 (27%).
No Umur(tahu n) (f) ( %)
1 3 0 -3 4 16 43 % 2. Data Khusus
2 35 -39 1 57 % Tabel 6. Distribusi Karakteristik Responden
T o ta l 37 10 0 Berdasarkan Pengetahuan
Dari tabel diatas dijelaskan bahwa dari No Pengetahuan (F ) (%)
37 responden mayoritas responden berumur 1 B aik 9 24
35-39 sebanyak 21 responden (57%) dan 2 Cukup 18 49
minoritas berumur 30-34 sebanyak 16 3 Bur uk 10 27
responden (43%). Jumlah 37 100
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa
Tabel 3. Distribusi Karakteristik Responden 37 pengetahuan responden mayoritas cukup
Berdasarkan Pendidikan sebanyak 18 responden (49%), yang memiliki
No Pendidikan (F) (%) pengetahuan buruk sebanyak 10 responden
1 SD 5 14 (27%), dan minoritas responden
2 SM P 10 27 berpengetahuan baik sebanyak 9 responden
3 SMA 20 54 (24%).
4 D III/S I 2 5
Total 37 100

This work is licensed under a Cr e a tive Com mon s Att rib u tio n- N o nC o m m e r c ial 4. 0
5
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
3.2 Pembahasan Cukup, dimana hasil penelitian antara
Berdasarkan data responden pengetahuan dan sikap sama dengan
“Pengetahuan Keluarga Tentang Pembuangan kategori mayoritas cukup. Hasil penelitian
Limbah Sampah Terhadap Pencegahan DBD ini selain usia dan pendidikan, bahwa
di lingkungan V Desa Labuhan Deli dalam hal ini pengetahuan sangat
Kecamatan Medan Marelan”, menunjukkan diperlukan atau dibutuhkan dalam
bahwa dari 37 orang yang menjadi responden menentukan sikap yang terlihat dalam
mayoritas memiliki pengetahuan cukup perilaku seseorang. Dalam hal ini
sebanyak 18 responden (49%), dan minoritas pengetahuan sangat diperlukan atau
pengetahuan baik sebanyak 9 responden dibutuhkan dalam menentukan sikap yang
(24%). Hasil penelitian ini sesuai dengan terlihat dalam perilaku seseorang dan juga
pendapat (Notoatmodjo, 2009), semakin tua dipengaruhi pekerjaan ibu yang mayoritas
usia seseorang maka semakin berkembang ibu rumah tangga yang kesehariannya
pemahaman dan cara berpikirnya, sehingga menghabiskan waktu dirumah.
ilmu yang diperoleh semakin baik.
Semakin tinggi tingkat pendidikan REFERENCES
seseorang maka semakin mudah orang Azwar. (2019). Prinsip-prinsip Kesehatan.
tersebut memperoleh informasi kesehatan Jakarta: Binarupa Aksara Cipta.
dan menginformasi kesehatan yang Antholeo. (2010). Faktor-faktor yang
diperolehnya. Dimana mayoritas Berhubungan Dengan Kejadian
berpendidikan SMA Tuberculosis.
sebanyak sebanyak 20 responden (54%), dan Diakses pada tanggal 13 Juli 2013. http:/
minoritas pendidikan DIII/S1 sebanyak 2 antholeo.wordpress.com/2010/07/08fakt
responden (5%), sedangkan sumber informasi or-faktor-yang-berhubungan-
mayoritas dari tenaga kesehatan 15 orang dengan- kejadian-Tuberculosis.
(41%), dari tenaga kesehatan sebanyak 10 Asrori. (2009). Gambaran Pengetahuan.
responden (27%), dari teman/lingkungan Diakses pada tanggal 11 Juli 2013.
sebanyak 6 responden (16%) dan minoritas http://Asrori.blogspot.com/2009/09/Gam
dari media elektronik sebanyak 5 orang baran-Pengetahuan.html.
(13%). Decha. (2013) Faktor Penyebab dan
Pencegah Dermatitis. Diakses pada
4. KESIMPULAN tanggal 3 Juli 2013.
Berdasarkan analisa data dalam http://health.lintas.me/
penelitian yang telah dilakukan maka dapat article/health.kom pas.com/ilmu-
disimpulkan sebagai berikut: penyakit-dermatitis
1. Gambaran Pengetahuan Keluarga Tentang Hetharia, R. (2009) Asuhan Keperawatan
Pembuangan Limbah Sampah Terhadap Gangguan Pernafasan. Jakarta: Trans
Pencegahan DBD Di Lingkungan V Desa Info Media.
Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan. Herlisa, P. (2008). Cara mencegah Penyakit
Hasil penelitian ini di pengaruhi oleh usia Tuberculosis. Diakses pada tanggal 3
(mayoritas responden 30–34 tahun) dan Juli 2013. http:/www.semarang-eye-
center.com/v1.1/index.php?option=com
pendidikan (mayoritas responden lulusan _content&view=article&id.
SMA) yang mempengaruhi pengetahuan, Intan, S. (2013). Penyakit Tuberculosis.
semakin tua usia seseorang maka semakin Diakses pada tanggal 4 Juli 2013.
berkembang pemahaman dan cara Juli 2013. http:/www.read.sariintan/0641
berpikirnya, sehingga ilmu yang diperoleh 5832.2013.tanda-gejala-Tuberculosis.
semakin baik. Semakin tinggi tingkat Irwan. (2011). Tuberculosis dan Alergi.
pendidikan seseorang makan semakin Diakses pada tanggal 3 Juli 2013.
mudah orang tersebut memperoleh Irwan.blogspot.com/2011/10/penyakit-
informasi dan informasi kesehatan yang tuberculosis-dan-alergi.
diperolehnya. Lestari. (2011). Penyakit Tuberculosis.
2. Gambaran Pengetahuan Keluarga Tentang Diakses pada tanggal 11 Juli 2013.
Pembuangan Limbah Sampah Terhadap http:/www.blogdokter.net.penyakit-
Pencegahan DBD Di Lingkungan V Desa tuberculosis-penyakit-pernafasan.
Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan,
mayoritas dengan kategori Pengetahuan

This work is licensed under a Cr e a tive Com mon s Att rib u tio n- N o nC o m m e r c ial 4. 0
5
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN
Maharani (2009). Asuhan Juli 2013.
Keperawatan Gangguan Sistem http:/www.blogdokter.net/2011/02/04/ek
Pernafasan. Diakses pada tanggal sim-tuberculosis-penyakit-paru.
11 Juli 2013 Posted. (2009). Keluarga dan Pasien.
http:/www.blogspot.com/2011/02/04/pe Diakses pada tanggal 10 Juli 2013
nyakit-tuberculosis-penyakit-pernafasan. http:www.health.kompas.com/posted/20
Maya. (2013). Senandung Doa Ibu. Jakarta: 09.
Hikmah Suwada. Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset
Muttaqin, E. (2011). Asuhan Keperawatan Keperawatan. Edisi I. Yogyakarta:
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Graha Ilmu.
Salemba Medika. Zakiuddin, M. (20013) Tuberculosis Atopik
Notoatmodjo. (2007). Kesehatan Masyarakat Pada Pasien. Diakses pada Tanggal 2
Ilmu Dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Juli 2013
Notoatmodjo. (2007). Pendidikan http:/www.health.kompas.com/read/201
Kesehatan 3/tuberculosis-atopik-pada-pasien.
dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pamela, R. (2011). Pengobatan Penyakit
Tuberculosis. Diakses pada tanggal 11

This work is licensed under a Cr e a tive Com mon s Att rib u tio n- N o nC o m m e r c ial 4. 0
5
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN

60
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda Vol. 7, No. 2, September 2021
http://jur nal.uim ed an .ac.id/index.php / e-ISSN 2597-7172, p-ISSN

PERAN PERAWAT ANAK DALAM MENCEGAH MASALAH TUMBUH KEMBANG


PADA ANAK DENGAN PENYAKIT KRONIS

Nurhannifah Rizky Tampubolon*, Ani Rahmadhani Kaban, Maya Ardilla Siregar Program
Studi D3 Keperawatan, Fakultas Farmasi dan Kesehatan, Institut Kesehatan Helvetia Jl. Kapten
Sumarsono No. 107, Kec. Medan Helvetia, Medan, Sumatera Utara, 20124, Indonesia
*nurhannifahrizkytampubolon@helvetia.ac.id

ABSTRAK
Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronis berbeda dengan anak yang memiliki penyakit
akut
karena adanya kompleksitas kebutuhan dan masalah kesehatan yang menyangkut kualitas hidup anak.
Perawat anak berperan dalam memenuhi kebutuhan anak termasuk kebutuhan untuk tumbuh kembang,
namun kebutuhan ini sering luput karena asuhan yang diberikan perawat fokus pada perbaikan
kesehatan fisik anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana peran perawat anak dalam
mencegah masalah tumbuh kembang pada anak dengan penyakit kronis. Penelitian kualitatif dengan
rancangan studi kasus melibatkan 23 perawat anak dari 3 rumah sakit yang telah memenuhi kriteria
inklusi. Pengumpulan data dilakukan melalui focus group discussion, observasi, dan telaah dokumen untuk
mendapatkan data yang komprehensif. Data dianalisis menggunakan metode Colaizzi dan proses
organisir data menggunakan software Open Code versi
4.03. Hasil yang diperoleh yaitu perawat anak memiliki perspektif yang holitistik sehingga mampu
memberikan asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga. Perawat anak melakukan stimulasi
perkembangan anak yang terintegrasi dengan upaya mengatasi distress hospitalisasi dan
menyampaikan
edukasi terkait stimulasi perkembangan yang dapat dilakukan oleh orangtua. Perawat mengalami
kesulitan
menyampaikan temuan masalah tumbuh kembang pada orangtua sehingga melibatkan dokter spesialis anak
untuk menindaklanjuti masalah tersebut.

Kata kunci: anak dengan penyakit kronis; masalah tumbuh kembang; peran perawat
anak.

PEDIATRIC NURSES’S ROLE IN PREVENTING GROWTH AND


DEVELOPMENT PROBLEMS OF A CHILD WITH CHRONIC DISEASES

ABSTRACT
Nursing care for children with chronic diseases is different from children with acute illnesses because of
the complexity of needs and health problems that involve the qua lity of life of children. Pediatric nurse
provide children's needs including the need for growth and development, but this need is often missed
because the care provided by nurses focuses on improving children's physical health. This study aims to
explore the role of pediatric nurses in preventing developmental problems in children with chronic
diseases. Qualitative research with a case study design involving 23 pediatric nurses from 3 hospitals
who met the inclusion criteria. Data collection was carried out through focus group discussions,
observation, and document review to obtain comprehensive data. The data were analyzed using the
Colaizzi method and the process of organizing the data using the Open Code software version 4.03.
The results obtained are that pediatric nurses have a holistic perspective so that they are able to provide
nursing with family centered care. Pediatric nurses carry out child development stimulation that is
integrated with efforts to overcome hospitalization distress and provide education related to
developmental stimulation that can be carried out by parents. Nurses have difficulty conveying findings
of growth problems to parents, so that they involve pediatricians to follow up on the problem.

Keywords: children with chronic diseases; developmental problems; role of pediatric nurses

61
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

PENDAHULUAN
Perawat anak merupakan tenaga kesehatan yang memiliki kedekatan dan keterlibatan paling
banyak
dalam perawatan anak di rumah sakit (Carroll & Rosa, 2016). Peran perawat terus berkembang
dalam
menerapkan praktik asuhan keperawatan untuk menjawab kebutuhan pasien dengan penyakit kronis
(Bovero et al., 2018), termasuk perawat anak. Perawat anak dalam memberikan asuhan keperawatan
tidak hanya fokus pada masalah fisik anak, tetapi juga mempertimbangkan aspek tumbuh
kembang anak (O‟Byrne et al., 2016). Konsep perkembangan anak sesuai dengan usia harus
sudah dikuasai oleh perawat anak sehingga hubungan dan komunikasi antara perawat dan pasien anak
dapat terjalin dengan baik.

Rumusan asuhan keperawatan pada pasien anak tidak sama dengan pasien dewasa karena
pengambilan keputusan melibatkan orangtua sehingga perawatan yang dilakukan berbasis keluarga
(Weiss et al., 2017). Perawat anak dalam memberikan asuhan keperawatan mempertimbangkan
kondisi psikologis orangtua dan sibling (Bovero et al., 2018). Tidak hanya pasien anak yang
mengalami stres hospitalisasi, tetapi keluarga, khususnya orangtua dan sibling terkena dampak
hospitalisasi. Hal ini yang menjadi pembeda perawat anak, yaitu perlunya memahami dan
mempertimbangkan dampak hospitalisasi pada pasien anak dan keluarganya.

Pada pasien anak dengan penyakit kronis, masa hospitalisasi lebih panjang. Anak dapat berulang kali
keluar-masuk rumah sakit, menjalani pemeriksaan kesehatan dan menerima prosedur tindakan yang
berkali-kali. Hospitalisasi tersebut berdampak pada terhambatnya pencapaian tugas
perkembangan anak sesuai usia (Choo et al., 2019). Perkembangan anak yang terhambat
berdampak pada kualitas hidup atau kepuasan hidupnya (Blackwell et al., 2019).

Anak yang menderita penyakit kronis dapat kembali sehat dan terbebas dari penyakitnya. Setelah
kondisi tersebut tercapai, anak akan menghadapi masalah baru, yaitu mengejar tugas
perkembangan yang terlewat. Perkembangan anak yang tertinggal akan berdampak pada
bagaimana anak dapat berbaur dengan lingkungannya (Marrus & Hall, 2017). Anak
membutuhkan adaptasi yang lebih panjang dan berdampak pada emosionalnya, seperti rasa malu,
tidak berdaya, dan menarik diri (Weiss et al., 2017). Selain itu, saat anak telah pulang ke rumah, anak
menjadi ketergantungan atau tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yang merupakan
aktivitas rutin harian (Blackwell et al., 2019).

Penting bagi perawat anak untuk melakukan pengkajian perkembangan anak dan mengetahui masalah
perkembangannya (Choo et al., 2019). Data tersebut dapat digunakan untuk menyusun asuhan
keperawatan anak dalam mencegah terjadinya masalah perkembangan dan upaya-upaya stimulasi
perkembangan yang dapat dilakukan baik oleh perawat maupun keluarga (Mithyantha et al., 2017).
Aspek perkembangan seringkali luput dalam asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronis
karena lebih mengutamakan perbaikan fisiknya.

Asuhan keperawatan yang memuat aspek perkembangan dapat mendukung optimalnya upaya
stimulasi perkembangan anak (Marrus & Hall, 2017). Perawat anak yang memberikan asuhan
keperawatan berbasis pada keluarga dapat melibatkan keluarga dalam memberikan pemahaman
terkait masalah perkembangan anak dan mengajarkan upaya stimulasi-stimulasi yang dapat diberikan
keluarga dalam mendukung perkembangan anak (Choo et al., 2019).

62
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Belum banyak literatur yang menjelaskan bagaimana peran perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan yang mempertimbangan aspek perkembangan anak. Kondisi tersebut menjadi
latarbelakang tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengeksplorasi bagaimana peran perawat anak dalam
mencegah masalah tumbuh kembang pada anak dengan penyakit kronis.

METODE
Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan rancangan studi kasus eksplanatoris.
Penelitian
dilakukan di 3 Rumah Sakit Mitra Medika di Kota Medan, yaitu Rumah Sakit Mitra Medika
Bandar
Klippa, Rumah Sakit Mitra Medika Amplas, dan Rumah Sakit Mitra Medika Tanjung Mulia.
Penelitian dilakukan selama 2 bulan, yaitu dari Bulan April sampai Bulan Mei 2021. Subjek
penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling sebagai partisipan utama (P),
yaitu perawat yang memiliki pengalaman memberikan layanan keperawatan pada anak dengan
penyakit kronis. Selain itu, kriteria perawat yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu yang memiliki
pengalaman kerja minimal 1 tahun di layanan keperawatan anak. Subjek penelitian terdiri dari
perawat anak dari 3 Rumah Sakit Mitra Medika, yaitu perawat pelaksana, ketua tim dari ruang rawat
inap anak, perawat poli anak, kepala ruang rawat inap anak, dan kepala keperawatan.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan FGD (Focus Group Discussion) untuk mengekplorasi
bagaimana peran perawat anak dalam mencegah masalah tumbuh kembang pada anak dengan
penyakit kronis. Panduan FGD telah disusun sebelumnya yang memuat pertanyaan terkait bagaimana
persepsi perawat terhadap tumbuh kembang anak dengan penyakit kronis dan bagaimana upaya yang
dilakukan untuk mencegah dan/atau mengatasi masalah tumbuh kembang pada anak dengan penyakit
kronis melalui asuhan keperawatan. Ada tiga kelompok FGD yang dilakukan di setiap lokasi
penelitian. Demi menjaga keabsahan data, pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi
metode dan triangulasi sumber. Triangulasi metode dilakukan dengan observasi dan telaah
dokumen. Observasi dilakukan untuk melihat bagaimana perawat memberikan asuhan keperawatan
pada anak dengan penyakit kronis dan mengobservasi fasilitas serta lingkungan ruang rawatan anak.
Telaah dokumen dilakukan untuk melihat bagaimana asuhan keperawatan anak tertuang di rekam
medis dan adanya dokumen SPO atau dokumen kebijakan terkait pemberian asuhan keperawatan
pada anak. Triangulasi sumber dilakukan dengan wawancara pada orangtua dari pasien anak
yang menerima asuhan keperawatan.

Analisis data dilakukan menggunakan metode analisis Colaizzi (Creswell, 2017). Peneliti melakukan
transkrip verbatim pada hasil FGD. Hasil transkrip verbatim dibaca berulang kali untuk menentukan
koding, dan menyusunnya menjadi kategori dan tema. Proses organisir data dan transkrip verbatim
dilakukan dengan menggunakan software open code versi 4.03.
Pengumpulan data penelitian dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Peneliti memberikan lembar penjelasan dan lembar
persetujuan (informed consent) pada setiap calon partisipan penelitian. Lembar penjelasan
memuat
informasi terkait tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerahasiaan data, dan kontak peneliti.
Setelah
calon partisipan memahami keterlibatan dalam penelitian, calon partisipan dapat memilih untuk
setuju atau tidak setuju menjadi partisipan penelitian dengan mengisi lembar informed
consent.

63
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

HASIL
Total partisipan yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 23 orang yang terbagi ke dalam
3
kelompok FGD, yaitu 8 orang dari RS Mitra Medika Amplas, 8 orang dari RS Mitra Medika
Bandar
Klippa, dan 7 orang dari RS Mitra Medika Tanjung Mulia. Partisipan penelitian terdiri dari 10 orang
perawat pelaksana di ruang rawat inap anak, 5 orang perawat poli anak, 3 orang ketua tim, 3 orang
kepala ruangan, dan 2 orang kepala keperawatan. Mayoritas partisipan (19 orang) memiliki
jenjang pendidikan Diploma III Keperawatan dan 4 partisipan lain memiliki jenjang pendidikan Profesi
Ners. Semua partisipan belum pernah mengikuti pelatihan khusus keperawatan anak. Hasil analisis
tematik ditemukan 4 tema, yaitu: 1) strategi mengurangi distress hospitalisasi, 2) perspektif
perawat yang holistik, 3) masalah tumbuh kembang dalam asuhan keperawatan, dan 4) pendidikan
kesehatan yang melibatkan keluarga. Penjabaran keempat tema tersebut sebagai berikut:

Tema 1: Strategi Mengurangi Distress Hospitalisasi


Distress hospitalisasi yang dihadapi pasien anak dan orangtuanya membutuhkan bantuan dari
perawat untuk dapat beradaptasi. Pasien anak membutuhkan waktu beradaptasi untuk dapat
menerima perawatan dan berinteraksi dengan tenaga kesehatan, sementara orangtua membutuhkan
informasi
yang lengkap untuk dapat menurunkan distress
hospitalisasi.
Pasien anak dengan berbagai latar belakang dan tahap perkembangan yang berbeda
membutuhkan waktu untuk adaptasi yang berbeda-beda, namun kebanyakan partisipan
menyebutkan pasien anak dapat beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit sekitar 2-3 hari.
“pendekatan ke anak itu, perlu 2-3 hari, baru dia bisa kita ajak ngomong, jadi
sebelum itu kita pendekatan ke anak melalui orangtua, lama-kelamaan mau dia ikut
ngomong” (P6)
Proses adaptasi dapat lebih cepat jika orangtua turut terlibat ketika perawat sedang berinteraksi
dengan pasien anak. Misalnya saat perawat memberikan obat atau memberikan makan, orangtua turut
berpartisipasi dan membantu perawat.
“Kalau ngasih obat senangnya kalau ada bujukan juga dari orangtua si anak.”
(P13)

Pasien anak dengan penyakit kronis dapat mengalami distress hospitalisasi berulang, walaupun
sudah berulang kali masuk rumah sakit dan mengenal tenaga kesehatan yang merawatnya di
ruangan. Hal ini terjadi karena kondisi kesehatan fisik anak, sehingga perawat tetap membutuhkan
strategi yang berbeda untuk memberikan rasa nyaman pada pasien anak. Beberapa tindakan yang
paling sering dilakukan adalah dengan menggunakan terapi bermain seperti menggunakan alat-alat
medis agar anak familiar, dengan bercerita, bermain dengan boneka, tidak mengekang anak di
ruangan, dan memberikan saran pada orangtua untuk menyediakan mainan kesukaan anak selama
anak berada di rumah sakit. Beberapa orangtua membantu perawat untuk menenangkan anak
dengan menonton video melalui handphone atau mengizinkan anak untuk bermain game di
handphone.

“kalau anaknya nangis, biasanya kita minta mamaknya buat gendong, atau main handphone,
nonton video yang lucu-lucu” (P11)

“dikasihnya spuit yang kosong, dikasih itu dulu, baru dia mau minumnya. Mindsetnya
disetting dulu, biar nggak ketakutan waktu datang suster” (P15)

Peneliti melakukan obervasi dan menemukan beberapa orangtua dengan pasien anak yang berusia
7 tahun ke bawah memiliki mainan yang dibawa sendiri dari rumah. Hal
ini

64
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

dikarenakan rumah sakit belum menyediakan fasilitas ruang bermain dan alat-alat permainan untuk
pasien anak. Informasi terkait terapi bermain juga disampaikan oleh orangtua pasien anak
bahwa anaknya diajak bermain dengan menggunakan sarung tangan atau syringe kosong saat
anak akan diberikan obat oral. Penanganan distress hospitalisasi menjadi lebih lama ketika perawat
dan orangtua tidak mencapai kesepakatan dan persepsi yang sama, sehingga anak akan mengalami
kebingungan untuk menerima perawatan. Orangtua mendukung keinginan anak untuk
menolak perawatan, sementara tindakan perawatan perlu diberikan pada anak. Hal ini menyebabkan
proses adaptasi membutuhkan waktu lebih lama.

Tema 2: Perspektif Perawat yang Holistik


Perawat anak memiliki perspektif yang holistik sehingga memberikan asuhan keperawatan dengan
melihat pasien anak dari berbagai sudut pandang. Perawat dapat mengambil posisi sebagai pasien anak
dengan keterbatasan perkembangan. Perawat memposisikan diri sebagai orangtua atau ibu
dengan
kondisi cemas dan tidak mengerti dengan prosedur perawatan. Perawat juga dapat memposisikan diri
sebagai bagian dari keluarga pasien anak yang merupakan bagian dari sasaran asuhan keperawatan.

Perspektif holistik yang dimiliki perawat dibentuk dari seringnya berinteraksi dengan pasien anak dan
keluarganya sehingga membuat perawat menjadi lebih peka atau empati terhadap situasi pasien dan
keluarganya. Perawat anak memiliki pemahaman bahwa anak sebagai pasien memiliki ciri khas
karena tumbuh kembangnya, sehingga dibutuhkan kepekaan dan empati dalam menentukan kebutuhan
pasien anak jika kebutuhan dasar telah terpenuhi.
Pengalaman perawat anak memengaruhi bagaimana perawat dapat melihat kebutuhan pasien
anak, khususnya pada anak yang belum bisa berkomunikasi. Pengalaman tersebut diperoleh dari
interaksi yang telah berlangsung dan dari mengamati bagaimana perawat yang lebih senior
mengatasi situasi yang sulit, seperti menenangkan anak yang rewel saat kebutuhan dasarnya telah
terpenuhi.

“ada juga yang udah semua diapain, masih nagis-nangis juga, mungkin itu karena anaknya
suntuk di ruangan aja, jadi kita anjurkan untuk jalan-jalan di koridor, diganti la tiang
infusnya yang bisa dibawa-bawa” (P4)

Perawat memiliki pengalaman berulang kali ketika pasien anak merasakan nyeri atau
ketidaknyamanan akibat tindakan invasif. Pengalaman yang dimiliki perawat anak dalam
merawat anak semakin mengasah kepekaan, terutama pada perawat anak yang sudah menjadi ibu.

“Kita anggap semua anak itu kan, apalagi saya sudah punya anak, jadi semua dianggap
seperti anak sendiri”. (P15)

“kalau kita sudah punya anak, kepekaan kita jauh lebih, mungkin dari yang anak gadis. Ada
pasien yang berulang, udah kita rujuk pun, dia balik lagi ke rumah sakit kita, sampai
akhirnya dia meninggal di rumah sakit kita. Artinya kan ada manfaat yang dia rasakan dari
pelayanan yang kita berikan” (P4)

“Pertama kali infus anak, kasian, ya jujur, terus ku bayangkanlah keponakanku di kayak
gitukan, karna kalau infus nggak bisa langsung dapat 1 kali tusuk”. (P9)
Perawat anak yang telah memiliki pengalaman merawat anak dengan penyakit kronis
memiliki empati dalam memahami kondisi terminal atau situasi kritis. Empati akan kondisi

65
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

terminal pasien anak terjadi karena perawat memposisikan diri sebagai ibu, tante, atau bagian dari
keluarga anak, sehingga diupayakan untuk tidak menambah penderitaan.

“pasien yang udah penyakit terminal, dia hanya minta, sus, boleh nggak aku ketemu sama
adekku, kalau bisa nangis kita sih disitu, nangis, cuman ya nahan gitu kan kak, jadi
bilang sama satpam, masukkan aja, dan ternyata memang itu pertemuan terakhir dia sama
adeknya. Kalau misalnya kita nggak peka, nggak ngasih, kan jadi beban juga untuk kita, jadi
penyesalan” (P5)

Tema 3: Masalah Tumbuh Kembang Anak dalam Asuhan Keperawatan


Perawat anak melakukan pengkajian pertumbuhan pasien anak melalui pengukuran berat badan,
tinggi
badan dan dikonversikan ke usia anak. Perawat mendeteksi anak dengan penyakit kronis
memiliki
masalah perkembangan yang juga sudah kronis. Upaya pencegahan masalah tumbuh kembang
anak yang dilakukan perawat anak bertujuan agar keterlambatan perkembangan tidak semakin mundur
sehingga dilakukan berbagai stimulasi perkebangan pada pasien anak melalui interaksi dalam
pemberian asuhan keperawatan.

“ada hambatan tumbuh kembang, dia belum bisa ngomong, udah 2 tahun lebih, nggak bisa
duduklah, masih dipangku mamaknya (P9)

“umur 3-4 tahun, belum bisa jalan, kurus kali, nangis aja tahunya, demam, kejang,
dan duduk ditopang. Aktifitas fisik dan harian dibantu bapaknya. Dari kecil si anak sudah ada
masalah perkembangan, tapi nggak dilatih sama bapaknya. Dia cuma bisa manggil ayah.
Dialihkan perhatiannya nggak bisa, Anak juga tidak ada respon balik kalau kita ajak
komunikasi. Di pengkajian kita kaji, cari tahu kenapa dia dengan mamak dan bapaknya. Kita
kaji juga beratnya kurang, tingginya kurang dan kenapa belum bisa berjalan” (P-21)

Perawat melakukan pengkajian perkembangan pada anak dengan penyakit kronis, namun hasil
pengkajian tersebut tidak disampaikan ke orangtua karena perawat beranggapan bahwa hal tersebut
bukan kewenangannya. Perawat khawatir mendapat respon negatif dari orangtua pasien anak bila hasil
tersebut disampaikan. Hasil pengkajian tersebut juga tidak dimasukkan ke dalam asuhan keperawatan
pada catatan perkembangan pasien. Perawat berkoordinasi dengan dokter spesialis anak untuk
membahas masalah tumbuh kembang yang ditemukan. Kemudian dokter spesialis anak yang
menangani lebih lanjut masalah tumbuh kembang anak.

“oh nggak berani, paling kita bilang sama orangtuanya, supaya sering ajak anaknya
ngomong” (P9)

Perawat tetap memberikan asuhan terhadap masalah tumbuh kembang anak dengan
menstimulasi melalui interaksi seperti terapi bermain. Perawat juga menyarankan agar orangtua
mengajak anaknya berbicara atau memberikan stimulus terhadap perkembangan anak. Intervensi terkait
masalah tumbuh kembang anak masih terbatas karena belum adanya fasilitas ruang bermain atau
alat permainan dan media edukasi sebagai stimulasi perkembangan pasien anak. Asuhan yang
dilakukan perawat belum diintegrasikan dengan dokumentasi asuhan keperawatan. Perawat
mempertimbangkan kondisi kesehatan fisik pasien anak akan terganggu jika dilakukan stimulasi
tumbuh kembang. Selain itu, karena belum ada landasan perawat seperti instrumen pendukung
dan pedoman keperawatan anak untuk memberikan asuhan keperawatan anak, termasuk intervensi
masalah tumbuh kembang pada pasien anak yang disesuaikan dengan layanan
keperawatan anak di rumah sakit.

66
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Tema 4: Pendidikan Kesehatan yang Melibatkan Keluarga


Perawat anak mempertimbangkan adanya keluarga di luar keluarga inti yang mengasuh anak,
seperti
nenek atau saudara yang lain. Perawat ketika akan memberikan edukasi, mengkaji terlebih
dahulu
siapa yang merawat anak di rumah, selain orangtuanya. Hal tersebut dilakukan agar edukasi
yang diberikan tepat sasaran.

“karena sering bukan Ibunya yang menjaga anak di rumah, tapi neneknya atau wawaknya.
Jadi kalau dikasih tahu ke ibunya belum tentu disampaikan ke yang jaga” (P16)
Perawat memberikan edukasi sesuai dengan kebutuhan pasien. Pada pasien anak dengan
penyakit kronis, karena beberapa kali keluar masuk rumah sakit, edukasi yang diberikan sering kali
berulang, terutama terkait nutrisi dan kebersihan diri dan alat makan, serta menjauhkan anak dari
paparan rokok dari orang-orang sekitarnya. Adapun terkait masalah tumbuh kembang, karena
perawat anak menemukan kasus anak dengan penyakit kronis yang sudah mengalami keterlambatan
perkembangan, sehingga edukasi yang diberikan bukan berupa pencegahan keterlambatan,
melainkan agar keterlambatan tidak berlanjut atau untuk mengejar ketertinggalan perkembangan.

“Kita paling sering itu ingatkan untuk jadwal kontrol ya, datang ke poli anak. Nah
disana nanti akan disarankan untuk ke klinik tumbuh kembang anak”. (P21)

“Jadi orangtua atau yang jaga itu kita ingatkan untuk tidak sering kasih hp ke anaknya, biar
anaknya belajar ngomong juga, udah 2 tahun ada itu anak yang belum bisa bilang kalau mau
makan, jadinya anaknya nunjuk-nujuk aja itu ke makanan atau buah yang dia mau. Kalo
anaknya nunjuk-nunjuk, Ibunya langsung kasih. Jadi anaknya ya nggak perlu ngomong”
(P13)

Perawat dalam memberikan edukasi mempertimbangkan kondisi kesehatan anak, karena penyakit
kronis anak menyebabkan kondisi fisik anak lemah. Perawat juga mempertimbangkan kekhawatiran
orangtua terhadap kesehatan anaknya, jika stimulasi perkembangan dilakukan sementara kondisi fisik
belum sehat. Oleh karena itu, edukasi yang diberikan perawat ke orangtua seperti mengajak anaknya
sering-sering bicara dibandingkan diberikan handphone, mengajak anak berjalan-jalan, dan
berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

PEMBAHASAN
Intervensi yang diberikan pada anak dengan penyakit kronis seharusnya tidak sama dengan
intervensi yang diberikan pada umumnya. Anak dengan penyakit kronis memiliki kondisi yang
kompleks sehingga dibutuhkan asuhan keperawatan yang komprehensif untuk memenuhi
kebutuhannya (Bentti Vockell et al., 2017; da Nóbrega et al., 2017).

Anak yang dirawat di rumah sakit rentan mengalami distress hospitalisasi dan salah satu upaya
yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan terapi bermain. Pada hasil penelitian ditemukan
perawat mengajak pasien anak bermain menggunakan peralatan medis. Bermain menggunakan
peralatan medis dapat mengatasi ketakutan, miskonsepsi terhadap prosedur tindakan, menurunkan
kecemasan dan stress, serta meningkatkan koping yang positif pada pasien anak (Nijhof et al., 2018;
Schleisman & Mahon, 2018). Bermain ketika melibatkan anggota keluarga dari pasien anak dapat
memberikan rasa persahabatan, keamanan, dan kenyamanan (Schleisman &
Mahon, 2018).

67
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Pengalaman yang dimiliki perawat anak membantu perawat memahami kebutuhan pasien anak dan
keluarganya dalam menjalani perawatan di rumah sakit, termasuk menghadapi distress hospitalisasi.
Perawat melakukan berbagai strategi, salah satunya dengan terapi bermain untuk membantu mengatasi
distress hospitalisasi dan menjalin hubungan terapeutik antara pasien anak dan keluarganya.
Empati yang dimiliki perawat dalam memberikan asuhan karena perawat memandang pasien anak
dengan berbagai perspektif, termasuk dari sudut pandang pasien anak. Empati yang dimiliki
perawat membantu perawat anak mengkaji masalah dan memenuhi kebutuhan pasien anak, termasuk
masalah tumbuh kembang. Masalah tumbuh kembang yang ditemukan dari hasil pengkajian,
diintervensi oleh perawat anak melalui koordinasi dengan dokter spesialis anak, tetapi belum
diintegrasikan dalam asuhan keperawatan karena perawat anak menilai bahwa hal tersebut
bukan bagian dari kewenangannya. Perawat dalam penelitian ini mayoritas memiliki tingkat
pendidikan Diploma III dan belum pernah mengikuti pelatihan khusus terkait asuhan keperawatan pada
anak. Tingkat pendidikan memengaruhi perawat memahami kewenangan, otonomi tindakan, dan
kemandirian perawat dalam memberikan asuhan keperawatan (Würtz et al., 2019).

Perawat dan orangtua dapat berbeda persepsi dalam memprioritaskan perawatan anak sehingga
memperlambat proses adaptasi. Kondisi tersebut sering terjadi, bahkan perbedaan persepsi tidak hanya
berasal dari orangtua melainkan dari anggota keluarga yang lain. Motivasi orangtua dan sikap
orangtua terhadap lingkungan rumah sakit memiliki pengaruh yang besar terhadap perawatan
pada anak dengan penyakit kronis (Bentti Vockell et al., 2017).

Kesulitan perawat anak dalam memahami dan menyamakan persepsi orangtua dapat dibantu melalui
koordinator orangtua (Bentti Vockell et al., 2017) jika pasien tersebut tergabung dalam sebuah
komunitas. Selain itu, tingkat pendidikan orangtua/keluarga memengaruhi bagaimana
orangtua mampu memahami kondisi anak dan memenuhi kebutuhannya (Fernandes et al., 2017).
Rasa empati perawat dan keterampilan komunikasi dapat membantu perawat untuk
memberikan asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga (Fitzgerald & Ward, 2019).

Rasa empati dibutuhkan perawat anak untuk mampu menilai kebutuhan-kebutuhan pasien anak
(Latimer et al., 2017). Maka ketika perawat anak memposisikan dirinya sebagai ibu dari pasien anak,
perawat dapat mengetahui apa saja masalah dan kebutuhan anak yang belum terpenuhi untuk segera
diatasi, seperti kebutuhan akan edukasi. Perawat anak memberikan asuhan keperawatan yang berfokus
pada keluarga karena yang dihadapi perawat tidak hanya pasien anak, melainkan juga keluarganya
(Würtz et al., 2019).

Perawat anak saat akan melakukan tindakan invasif menganggap pasien anak sebagai bagian
dari keluarganya, anak atau keponakan. Hal ini dapat terjadi karena perawat anak sering kali
terpapar pengalaman nyeri yang dirasakan pasien anak ketika menerima tindakan invasif (Drayton et
al., 2019; Latimer et al., 2017). Tindakan invasif yang menimbulkan nyeri atau trauma pada anak dapat
memberikan dampak negatif terhadap kehidupan anak, dampak tersebut tidak terbatas pada
perkembangan bahasa, interaksi sosial, respon terhadap stress, dan respon nyeri terhadap
prosedur yang akan dilakukan, serta terhadap kemampuan akademik anak (Latimer et al., 2017).

Pengalaman menjadi perawat anak dapat mengasah rasa empati dan menghadirkan keinginan untuk
memberikan pelayanan kepada anggota keluarga. Hal ini merupakan konsep multidimensional yang
mencakup aspek kognitif dan afektif (Latimer et al., 2017). Perawat

68
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

anak pada penelitian ini menunjukkan rasa empatinya pada anggota keluarga dengan memberikan
kesempatan untuk mendampingi pasien anak pada saat terakhir kehidupannya. Rasa empati pada
perawat dapat dilatih dan diasah melalui program pelatihan naratif terstruktur sehingga dapat
membentuk suatu budaya dengan memberikan asuhan keperawatan dengan rasa empati dari perawat
anak dalam lingkungan rumah sakit (Adamson et al., 2018). Komunikasi merupakan keterampilan
penting yang harus dimiliki oleh perawat anak. Hubungan saling percaya antara pasien anak dan
keluarganya terbangun ketika interaksi dengan perawat mampu menjawab kebutuhan seperti
kebutuhan akan edukasi perawatan anak (Akard et al., 2019). Terbatasnya interaksi pasien dan
keluarga dengan dokter membuat komunikasi dengan perawat sebagai kompensasi dan jalan
alternatif untuk menjawab kebutuhan terkait kondisi anak dan bagaimana perawatan yang dapat
diberikan keluarga.

Komunikasi merupakan kebutuhan timbal balik antara perawat dan pasien anak atau keluarga. Ketika
pasien anak dan keluarganya merasa nyaman berkomunikasi dengan perawat, maka asuhan
keperawatan yang diberikan akan semakin menjawab kebutuhan pasien karena perawat mampu
mengetahui apa yang dibutuhkan pasien anak dan keluarganya melalui komunikasi dan
hubungan yang terjalin (Fernandes et al., 2017). Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini
yaitu ketika perawat memberikan komunikasi dan menjalin hubungan yang mampu menjawab
kebutuhan pasien dan keluarga, membuat keluarga dari pasien anak akan memilih kembali ke
rumah sakit yang sama ketika terjadi kekambuhan dari penyakit kronis yang diderita pasien.

Perawat anak sebagai praktisi yang paling sering berinteraksi dengan pasien anak dan keluarga
membuat perawat lebih memahami apa saja masalah dan kebutuhan pasien yang belum terpenuhi.
Perawat memiliki peran sebagai komunikator antara keluarga pasien anak dan tenaga kesehatan
professional seperti dokter (Walter et al., 2019) untuk memfasilitasi kebutuhan pasien anak dan
keluarganya. Perawat menempati posisi yang ideal untuk menjembatani kesenjangan antara praktisi di
rumah sakit, pasien anak dan keluarganya, mahasiswa praktik, peneliti, dan pengambil kebijakan
di rumah sakit (Akard et al., 2019). Kerja sama yang dibangun perawat dengan tenaga professional lain
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup anak sehingga masalah tumbuh kembang pada
anak dengan penyakit kronis dapat dijembatani oleh perawat untuk penyusunan instrumen pengkajian
dan pedoman asuhan keperawatan termasuk masalah tumbuh kembang yang disesuaikan dengan
layanan kesehatan rumah sakit.

SIMPULAN
Perawat anak melakukan stimulasi perkembangan anak yang terintegrasi dengan upaya
mengatasi
distress hospitalisasi dan dengan meningkatkan frekuensi interaksi antara perawat dan
pasien.
Perspektif perawat anak yang holistik membantu memenuhi kebutuhan pasien anak dengan
menerapkan asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga. Perawat anak memberikan
edukasi pada orangtua dan keluarga untuk sering melakukan stimulasi perkembangan anak sesuai
dengan kemampuan fisik anak. Perawat anak melakukan koordinasi dengan dokter spesialis anak untuk
menindaklanjuti adanya masalah tumbuh kembang anak dan agar anak dirujuk ke poli tumbuh
kembang. Anak dengan penyakit kronis pada umumnya telah mengalami keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan. Perawat anak mengalami kesulitan saat akan menyampaikan hasil
temuan masalah tumbuh kembang pada anak ke orangtuanya karena kurangnya pemahaman terkait
kewenangan klinis perawat anak.
.

69
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

DAFTAR PUSTAKA
Adamson, K., Sengsavang, S., Charise, A., Wall, S., Kinross, L., & Balkaran, M. (2018). Narrative
Training as a Method to Promote Nursing Empathy Within a Pediatric Rehabilitation Setting.
Journal of Pediatric Nursing, 42, e2–e9. https://doi.org/10.1016/j.pedn.2018.06.011

Akard, T. F., Hendricks-Ferguson, V. L., & Gilmer, M. J. (2019). Pediatric palliative care nursing.
Annals of Cardiothoracic Surgery, 8, S39–S48. https://doi.org/10.21037/apm.2018.06.01

Bentti Vockell, A. L., Wimberg, J., Britto, M., & Nye, A. (2017). Using a Parent Coordinator
to Support the Role of the Pediatric Nurse Practitioner in Care Coordination. Journal of Pediatric
Health Care, 32(1), 36–42. https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2017.06.008

Blackwell, C. K., Elliott, A. J., Ganiban, J., Herbstman, J., & Hunt, K. (2019). General Health
and Life Satisfaction in Children With Chronic Illness. 143(6).
https://doi.org/10.1542/peds.2018-2988
Bovero, M., Giacomo, C., Ansari, M., & Roulin, M. J. (2018). Role of advanced nurse practitioners in
the care pathway for children diagnosed with leukemia. European Journal of Oncology
Nursing, 36(February), 68–74.
https://doi.org/10.1016/j.ejon.2018.08.002
Carroll, S. M., & Rosa, K. C. (2016). Role and Image of Nursing in Children‟s Literature: A
Qualitative Media Analysis. Journal of Pediatric Nursing, 31(2), 141–151.
https://doi.org/10.1016/j.pedn.2015.09.009

Choo, Y. Y., Agarwal, P., How, C. H., & Yeleswarapu, S. P. (2019). Developmental delay:
Identification and management at primary care level. Singapore Medical Journal, 60(3), 119–
123. https://doi.org/10.11622/smedj.2019025
Creswell, J. W. (2017). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran (4th ed.). Pustaka Pelajar.
da Nóbrega, V. M., Silva, M. E. de A., Fernandes, L. T. B., Viera, C. S., Reichert, A. P. da S., &
Collet, N. (2017). Chronic disease in childhood and adolescence: Continuity of care in the
Health Care Network. Revista Da Escola de Enfermagem, 51, 1–8.
https://doi.org/10.1590/S1980-220X2016042503226

Drayton, N. A., Waddups, S., & Walker, T. (2019). Exploring distraction and the impact of a child life
specialist: Perceptions from nurses in a pediatric setting. Journal for Specialists in Pediatric
Nursing, 24(2), 1–8. https://doi.org/10.1111/jspn.12242

Fernandes, L. T. B., Nóbrega, V. M. da, Silva, M. E. de A., Machado, A. N., & Collet, N. (2017).
Supported self-care for children and adolescents with chronic disease and their families. Revista
Brasileira de Enfermagem, 70(6), 1318–1329. https://doi.org/10.1590/0034-7167-2016-0553
Fitzgerald, M., & Ward, J. (2019). Using standardized actors to promote family-centered care.
Journal of Pediatric Nursing, 45, 20–25. https://doi.org/10.1016/j.pedn.2018.12.002
Latimer, M., Jacson, P. L., Eugene, F., Macleod, E., Hatfield, T., Vachon-Presseau, E.,

70
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Michon, P.-E., & Prkachin, K. M. (2017). Empathy in Pediatric Intensive Care Nurses Part 1:
Behavioral and psychological correlates. Leading Global Nursing Research, 38(1), 42–49.
https://doi.org/10.1111/ijlh.12426

Marrus, N., & Hall, L. (2017). Intellectual Disability and Language Disorder. Child
and Adolescent Psychiatric Clinics of North America, 26(3), 539–554.
https://doi.org/10.1016/j.chc.2017.03.001
Mithyantha, R., Kneen, R., McCann, E., & Gladstone, M. (2017). Current evidence-based
recommendations on investigating children with global developmental delay. Archives
of Disease in Childhood, 102(11), 1071–1076. https://doi.org/10.1136/archdischild- 2016-311271

Nijhof, S. L., Vinkers, C. H., van Geelen, S. M., Duijff, S. N., Achterberg, E. J. M., van der Net, J.,
Veltkamp, R. C., Grootenhuis, M. A., van de Putte, E. M., Hillegers, M. H. J., van der Brug,
A. W., Wierenga, C. J., Benders, M. J. N. L., Engels, R. C. M. E., van der Ent, C. K.,
Vanderschuren, L. J. M. J., & Lesscher, H. M. B. (2018). Healthy play, better coping: The
importance of play for the development of children in health and disease. Neuroscience and
Biobehavioral Reviews, 95, 421–429. https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2018.09.024

O‟Byrne, J. J., Lynch, S. A., Treacy, E. P., King, M. D., Betts, D. R., Mayne, P. D., & Sharif,
F. (2016). Unexplained developmental delay/learning disability: guidelines for best practice
protocol for first line assessment and genetic/metabolic/radiological investigations.
Irish Journal of Medical Science, 185(1), 241–248. https://doi.org/10.1007/s11845-015-1284-7
Schleisman, A., & Mahon, E. (2018). Creative play: A nursing intervention for children and
adults with cancer. Clinical Journal of Oncology Nursing, 22(2), 137–140.
https://doi.org/10.1188/18.CJON.137-140

Walter, J. K., Sachs, E., Schall, T. E., Dewitt, A. G., Miller, V. A., Arnold, R. M., & Feudtner, C.
(2019). Interprofessional Teamwork During Family Meetings in the Pediatric Cardiac Intensive
Care Unit. Journal of Pain and Symptom Management, 57(6), 1089–1098.
https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2019.03.002

Weiss, M. E., Sawin, K. J., Gralton, K., Johnson, N., Klingbeil, C., Lerret, S., Malin, S., Yakusheva,
O., & Schiffman, R. (2017). Discharge Teaching, Readiness for Discharge, and Post-discharge
Outcomes in Parents of Hospitalized Children. Journal of Pediatric Nursing, 34, 58–64.
https://doi.org/10.1016/j.pedn.2016.12.021

Würtz, G. M. F., Jensen, C. S., & Egerod, I. (2019). International perspectives on the pediatric
nurse practitioner role. Journal of the American Association of Nurse Practitioners,
31(12), 773–781. https://doi.org/10.1097/JXX.0000000000000252

Jurnal Jendela Pendidikan


Volume 01 No 04 November 2021
ISSN: 2776-267X (Print) / ISSN: 2775-6181 (Online)
The article is published with Open Access at: https://www.ejournal.jendelaedukasi.id/index.php/JJP

Efektivitas Penggunaan Teknologi


Dalam Pembelajaran Daring Di Masa
Pandemi Covid-19
Ida Maskanah, Universitas Kristen Satya Wacana
Herlin Lusiana Sae Universitas Kristen Satya Wacana

herlinsae23@gmail.com

71
Jurnal Keperawatan Volume 13 No 4, Hal 761 - 772, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Abstract: The COVID-19 pandemic has greatly affected various fields of life, including in the world of
education. The government has set a new policy related to the education system in Indonesia, which was
originally face-to-face learning to online learning. Therefore, various technologies are needed to support the
online learning process. This study was conducted to determine the effectiveness of using technology in online
learning during the COVID-19 pandemic. This study uses a qualitative method. In the implementation of online
learning requires technology to assist the learning process. Even now there are more and more technologies that
can be used to support online learning. More and more learning platforms such as e-learning, google classroom,
moodle, study houses, video conferences and so on.
Keywords: Use of Technology, Online Learning, Covid-
19
Abstrak: Pandemi covid-19 sangat berpengaruh terhadap berbagai bidang kehidupan, termasukdalam dunia
pendidikan. Pemerintah menetapkan kebijakan baru terkait sistem pendidikan di Indonesia yaitu yang semula
pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran secara daring. Maka diperlukan berbagai macam teknologi untuk
menunjang proses pembelajaran daring. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas penggunaan
teknologi dalam pembelajaran daring di masa pandemi covid-19. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Dalam pelaksanaan pembelajaran daring memerlukan teknologi untuk membantu proses pembelajaran. Bahkan
sekarang sudah semakin banyak teknologi yang dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran daring. Semakin
banyak platform pembelajaran seperti e-learning, google classroom, moodle, rumah belajar, video konferens dan
sebagainya.
Kata kunci: Penggunaan Teknologi, Pembelajaran daring, Covid-
19

Received 26 Oktober 2021; Accepted 17 November 2021; Published 20 November


2021
Citation: Maskanah, I., & Sae, H.L. (2021). Efektivitas Penggunaan Teknologi Dalam Pembelajaran Daring
Di
Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Jendela Pendidikan, 01 (04), 279-
285.

Copyright ©2021 Jurnal Jendela


Pendidikan
Published by CV. Jendela Edukasi Indonesia. This work is licensed under the Creative Commons Attribution-Non
Commercial- Share Alike 4.0 International License.

72
Maskanah, Sae

PENDAHULUAN

Pandemi covid-19 telah melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.
Ada setidaknya dua jenis Coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit
jenis baru yang sebelumnya belum pernah diidentifikasi pada manusia. Virus penyebab covid-19
ini dinamakan Sars-CoV-2. Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing
luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun hewan yang menjadi
sumber penularan COVID-19 ini sampai saat ini masih belum diketahui(Isbaniah, 2020).
Covid-
19 merupakan penyakit menular yang dapat menyebar baik secara langsung ketika berinteraksi
dengan orang yang membawa virus corona maupun secara tidak langsung melalui udara.
Penyakit ini menyerang tubuh manusia terutama pada sistem pernapasan (paru-paru). Berbagai
cara dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, salah satunya dengan menaati
protokol kesehatan, seperti: rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir,
memakai masker, menjaga jarak sosial, dan menghindari tempat-tempat keramaian.
Jaga jarak (physical distancing) merupakan salah satu protokol kesehatan yang dianggap
berakibat pada terhambatnya laju perkembangan dan pertumbuhan dalam berbagai bidang
kehidupan. Salah satu sektor yang signifikan terdampak Korona adalah pendidikan
beserta elemen-elemennya. Alasan ini berdasarkan analisis pakar bahwa sekolah yang
biasanya digunakan untuk berinteraksi oleh pendidik dan peserta didik dinilai menjadi
tempat yang
berisiko tinggi dalam penularan covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan
kebijakan baru dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menetapkan kebijakan bahwa pendidikan di Indonesia tetap diselenggarakan,
namun dengan sistem pembelajaran yang berbeda yaitu Study From Home (SFH). Dalam hal
ini Kemendikbud mendorong agar sistem pembelajaran dilaksanakan secara daring.
Dalam pelaksanaan pembelajaran daring memberikan sebuah tantangan tersendiri untuk
pendidik, peserta didik, maupun untuk para orangtua. Sistem pembelajaran daring tentu berbeda
dengan pembelajaran tatap muka. Hal ini sangat membutuhkan berbagai persiapan dan cara
bagaimana pendidik tetap dapat memberikan materi pembelajaran dengan mudah diterima
peserta didik. Selain itu, peserta didik juga harus bisa beradaptasi dengan situasi yang ada
dengan tetap mengikuti pembelajaran dengan efektif.
Pembelajaran daring merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan teknologi
baik dalam bahan ajarnya maupun cara mengajar secara daring sehingga muncul interaksi
dalam pembelajaran. Pendidik harus cakap dalam menggunakan teknologi agar dapat
memudahkan
interaksi dengan peserta didik dalam pembelajaran. Penggunaan teknologi dinilai dapat sebagai
penunjang pembelajaran daring dalam setiap jenjang pendidikan, mulai dari PAUD, sekolah
dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi. Namun
dalam
pelaksanaannya masih banyak kendala mengenai efektivitas penggunaan teknologi dalam proses
belajar mengajar secara daring.Penyampaian materi melalui kelas virtual cenderung
mempengaruhi perkembangan dan keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar.
Oleh karena itu dengan penggunaan teknologi secara efektif dapat membantu pendidik untuk
menyampaikan materi dan pendampingan belajar peserta didik meskipun secara daring.
Proses pembelajaran daring membutuhkan dukungan perangkat-perangkat teknologi
seperti smartphone, computer, laptop, tablet, dan sebagainya untuk menunjang proses
pembelajaran daring. Teknologi dapat berperan untuk menghubungkan pendidik dengan peserta
didik maupun dengan sumber belajarnya dapat berinteraksi dan berolaborasi baik secara
langsung maupun tidak
langsung. Seiring dengan perkembangan teknologi, semakin banyak platform yang
dapat membantu pelaksanaan pembelajaran

7
Maskanah, Sae

daring seperti google classroom, moodle, rumah belajar, dan sebagainya. Sedangkan platform
dalam bentuk video konferens seperti zoom, google meet, dan visco webex. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan teknologi dalam pembelajaran daring di
Sekolah Dasar Inpres Oebesa, Nusa Tenggara Timur.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sumber data didapatkan dari wawancara kepada
guru di Sekolah Dasar Inpres Oebesa dan data dikumpulkan dari literatur buku dan artikel yang
mendukung penelitian ini. Data dianalisis secara deskriptif yang menggambarkan efektivitas
penggunaan teknologi dalam pembelajaran daring di masa pandemi covid-19.Peneliti
menyadari bahwa pembelajaran daring sangat membutuhkan dukungan perangkat teknologi
dalam setiap proses pembelajaran. Oleh karena itu peneliti berusaha mengungkap efektivitas
penggunaan teknologi dalam pembelajaran daring disekolah dasar.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang guru di Sekolah Dasar Inpres Oebesa dan
berbagai sumber-sumber artikel yang mendukung penelitian ini,kami mendapatkan informasi
bahwa perkembangan teknologi dalam kehidupan modern saat ini memberikan pengaruh yang
sangat besar terutama dalam bidang pendidikan. Kondisi daerah yang masih belum stabil terkait
dengan kasus covid-19 ini menuntut kita sebagai pengajar untuk bisa terampil dalam
menerapkan pembelajaran berbasis online. Penggunaan media teknologi sangat berperan penting
dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Munculnya permasalahan baru di bidang pendidikan dilatarbelakangi oleh wabah Korona
yang menyebar hampir di seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyebarannya
yang masif berdampak pada kegiatan belajar-mengajar sejak dikeluarkannya Surat Edaran dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tanggal 13 Maret 2020
terkait pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan Corona
Virus Disease (COVID-19). Surat edaran tersebut merupakan respon pendidikan dalam
menyikapi pandemi Covid-19. Sejak surat edaran dikeluarkan, proses pembelajaran di kelas
dialihkan pada pembelajaran daring yang biasa kita sebut dengan school from home.
Pembelajaran daring adalah proses pembelajaran yang menggunakan akses komputer dan
jaringan internet untuk membantu proses interaksi dalam proses pembelajaran (Tesniyadi,
2018).
Pendidik dan peserta didik dapat melangsungkan kegiatan belajar-mengajar tanpa harus
bertatap muka secara langsung untuk mencegah penyebaran virus Korona. Pembelajaran
daring bertujuan memberikan layanan pembelajaran bermutu dalam jaringan yang bersifat
masif dan terbuka untuk menjangkau peminat yang lebih banyak dan lebih luas (Adhe &
Kartika, 2018). Pembelajaran daring memerlukan dukungan perangkatperangkat mobile yang
mumpuni, yang
dapat digunakan untuk mengakses informasi kapan saja dan di mana saja. Pada titik
ini, penggunaan internet memberikan banyak sumbangan di bidang pendidikan,
termasuk terlaksananya proses pembelajaran jarak jauh.
Penggunaan media online yang tersedia saat ini sangat efektif dalam memperlancar proses
pembelajaran. Pada tanggal 24 Maret 2020 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan
Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran COVID, dalam Surat Edaran tersebut
dijelaskan
bahwa proses belajar dilaksanakan di rumah melalui pembelajaran daring/jarak jauh
dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran
daring atau
pembelajaran jarak jauh sendiri bertujuan untuk memenuhi standard pendidikan melalui
pemanfaatan Teknologi

7
Maskanah, Sae

Informasi dengan menggunakan perangkat komputer atau gadget yang saling terhubung
antara siswa dan guru.
Melalui pemanfaatan teknologi tersebut pembelajaran bisa tetap dilaksanakan dengan baik.
Dengan adanya teknologi informasi ini diharapkan pembelajaran bisa berjalan dengan baik
mengingat masyarakat Indonesia saat ini mayoritas sudah menggunakan internet, seperti yang
dijelaskan dalam penelitian We Are Sosial, “Digital Reports 2020” yang dirilis pada akhir
bulan Januari 2020 yang menyatakan hampir 64% penduduk Indonesia sudah terkoneksi
dengan jaringan internet. Beberapa teknologi informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai
media
pembelajaran di antaranya dengan menggunakan e-learning.
E-learning merupakan inovasi yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran,
tidak hanya dalam penyampaian materi pembelajaran, tetapi juga perubahan dalam kemampuan
berbagai kompetensi peserta didik. E-learning adalah suatu sistem pembelajaran yang
memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet atau
media jaringan komputer lainnya yang bisa diakses kapan pun dan di mana pun. Pada masa
pandemi COVID-19 ini e-learning digunakan oleh semua tingkat pendidikan, baik TK, SD,
SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi dengan harapan proses pembelajaran dapat berlangsung
dengan
baik. Pembelajaran yang dilaksanakan pada sekolah dasar juga menggunakan pembelajaran jarak
jauh atau e- learning melalui bimbingan orang tua.
Dengan pembelajaran jarak jauh siswa memiliki keleluasaan waktu belajar, dapat
belajar kapan pun dan di mana pun. Siswa dapat berinteraksi dengan guru menggunakan
beberapa
aplikasi seperti google classroom, video converence, telepon atau live chat, zoom maupun melalui
whatsapp group. Pembelajaran ini merupakan inovasi pendidikan untuk menjawab
tantangan akan ketersediaan sumber belajar yang variatif.
Keberhasilan dari suatu model ataupun media pembelajaran tergantung dari karakteristik
peserta didiknya. Sebagai mana yang diungkapkan oleh Nakayama (2007) bahwa dari semua
literatur dalam e-learning mengindikasikan bahwa tidak semua peserta didik akan sukses dalam
pembelajaran online. Ini disebabkan faktor lingkungan belajar dan karakteristik peserta didik
(Nakayama, 2007). Beberapa aplikasi di atas merupakan aplikasi yang digunakan dan
diterapkan
saat pembelajaran daring dilakukan.
Pembelajaran daring adalah pembelajaran yang mampu mempertemukan peserta didik dan
pengajar untuk melaksanakan interaksi pembelajaran dengan bantuan internet (Kuntarto, 2017).
Proses pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan sudah sangat biasa, dikarenakan
keadaan bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini yang mengharuskan untuk dapat beradaptasi
dengan keadaan. Perkembangan dan peranan teknologi sangat mengambil andil dan peran
penting
dalam pelaksanaan pembelajaran daring ini
Peneliti melakukan penelitian pada salah satu Sekolah Dasar di daerah Nusa Tenggara
Timur, lebih tepatnya SD Inpres Oebesa. SD Inpres Oebesa adalah salah satu sekolah dasar di
NTT yang juga turut berpartisipasi dalam pelaksanaan pembelajaran daring. Proses pembelajaran
daring di SD Inpres Oebesa didukung dengan adanya Wa Group dan Classroom yang mewadahi
proses interaksi antara guru dan siswa, baik dalam penyampaian materi secara elektonik
maupun pengecekan kehadiran siswa. Keterbatasan alat komunikasi dan teknologi yang
dimiliki oleh sebagian orangtua yang memiliki pendapatan dibawah rata-rata atau bahkan
dengan penghasilan yang tidak tetap seperti petani, pedagang, tukang ojek, dan sebagainya,
tidak menjadi suatu penghalang bagi para siswa untuk terus aktif dalam proses pembelajaran
daring.
Peranan penggunaan teknologi sangat efektif untuk memperlancar proses pembelajaran
daring. E-learning adalah teknologi informasi dan komunikasi untuk mengaktifkan siswa untuk
belajar kapan pun dan di mana pun. Dahiya dalam(Hartanto, 2016). E-learning memiliki dua
tipe yaitu : pertama Synchronous. Synchronous berarti pada waktu yang sama. Proses
pembelajaran terjadi pada saat yang sama antara pendidik

7
Maskanah, Sae

dan peserta didik. Hal ini memungkinkan interaksi langsung antara pendidik dan peserta
didik secara online.
Dalam pelaksanaan, synchronoustraining mengharuskan pendidik dan peserta didik
mengakses internet secara bersamaan. Pendidik memberikan materi pembelajaran dalam bentuk
makalah atau slide prestasi dan peserta didik dapat mendengarkan prestasi secara langsung
melalui internet. Peserta didik juga dapat mengajukan pertanyaan atau komentar secara
langsung
ataupun shat windows.
Synchronous training merupakan gambaran dari kelas nyata, namun bersifat maya (virtual)
dan semua peserta didik terhubung melalui internet. Synchronous training sering juga disebut
sebagai virtual classroom. Kedua, Asynchronous berarti tidak pada waktu bersamaan.
Peserta didik dapat mengambil waktu pembelajaran berbeda dengan pendidik memberikan
materi.
Asynchronoustraining popular dalam e-learning karena peserta didik dapat mengakses
materi pembelajaran dimanapuun dan kapanpun. Peserta didik dapat pemaksanakan
pembelajaran dan menyelesaikannnya setiap saat sesuai rentang jadwal yang sudah ditentukan.
Google
Classroom atau ruang kelas Google merupakan suatu serambi pembelajaran campuran untuk
ruang lingkup pendidikan yang dapat memudahkan pengajar dalam membuat, membagikan
dan menggolongkan setiap penugasan tanpa kertas, Afrianti ( dalam Yustianti dan Novita,
2019).
Google Classroom digunakan untuk memaksimalkan proses penyampaian materi kepada
peserta didik tetapi dilakukan secara online sehingga materi bisa tersampaikan secara
keseluruhan. Google classroom hanya sebuah media atau alat yang dapat digunakan
oleh
pendidik dan peserta didik untuk menciptakan kelas online atau kelas virtual, di mana pendidik
dan peserta didik dapat melakukan pembelajaran secara langsung. Desain Google classroom
diperuntukan bagi pengajar, peserta didik, wali dan administrator. Guru dapat menggunakan
fasilitas membuat dan mengelola kelas, tugas, nilai serta memberikan masukan secara
langsung (real-time).
Berdasarkan data hasil wawancara, peneliti menemukan beberapa kendala yang
dialami Sekolah Dasar Inpres Oebesa dalam penggunaan teknologi dimasa pembelajaran
daring, diantaranya:
1. Keluhan pemberian tugas dan kesulitan memahami materi pelajaran
Salah satu kendala fatal yang sering dihadapi oleh sekolah pada saat melakukan
pembelajaran daring yaitu kurangnya pemahaman siswa tentang materi
dikarenakan
kurangnya penjelasan yang diberikan guru. Karena kebanyakan dalam pembelajaran
daring ini siswa hanya diberi banyak materi kemudian siswa diminta membaca dan
memahaminya sendiri.
2. Terkendala jaringan internet
Jaringan internet yang lambat dapat menjadi penghambat dalam proses pembelajaran
daring, karena ketika dilakukan pertemuan tatap muka online melalui zoom dan sebagainya
memerlukan kestabilan jaringan sehingga para siswa dapat memahami dengan baik
penjelasan yang diberikan oleh guru.
3. Siswa merasa jenuh
Kegiatan pembelajaran yang monoton sering kali membuat siswa jenuh karena aktivitasnya
itu-itu saja, tidak ada kegiatan yang membuat mereka benar-benar merasakan suasana
mereka seperti disekolah. Kejenuhan ini juga bisa menjadi salah satu factor
menurunnya prestasi dan minat belajar siswa.
4. Terkendala dalam penguasaan teknologi dan tersedianya kuota internet
Keterbatasan dalam penggunaan teknologi juga sangat berpengaruh dalam suatu
proses pembelajaran. Apalagi masih ada beberapa orangtua siswa yang bisa dibilang
buta dan lambat dalam penggunaan teknologi, ditambah dengan siswa yang karena
keterbatasan ekonomi keluarga mereka tidak mempunyai alat komunikasi sehingga
harus bergabung dengan teman-teman yang memiliki agar bisa mengikuti
pembelajaran.

7
Maskanah, Sae

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang dibahas diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
peran perkembangan dan penggunaan teknologi dalam masa pandemic Covid-19 ini
merupakan salah satu solusi yang sangat efektif untuk tetap memperlancar proses pembelajaran
yang dilakukan secara online. Seiring dengan perkembangan Covid-19 yang tidak dapat
diprediksi kapan akan berakhir membuat pihak sekolah harus bisa menyesuaikan diri dan terus
meningkatkan kreatifitas dan mutu pendidikan melalui penyesuaian pembelajaran yang
dilakukan oleh guru, dan terus berinovasi dalam pembelajaran.
Pemanfaatan teknologi informasi sangat membantu dalam proses pembelajaran jarak jauh
ditengah pandemi virus corona covid-19 sehingga semua proses belajar mengajar dapat berjalan
dengan baik. Kemajuan teknologi informasi yang sudah sangat maju saat ini, internet bisa
menghubungkan siswa dengan guru melalui laman e-learning, whatsapp group, google
classroom,google doc atau google form,zoom. Dengan didampingi oleh orang tua, siswa
semakin antusias dalam mengikuti pembelajaran online melalui media yang digunakan oleh
guru dan pihak sekolah. Untuk mendapatkan proses pembelajaran yang efektif dan
menyenangkan diperlukan kerjasama guru dan orang tua dengan proses pembelajaran yang
bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adisel, A., & Prananosa, A. G. (2020). Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
dalam Sistem Manajemen Pembelajaran pada Masa Pandemi Covid 19. Journal Of
Administration and Educational Management (ALIGNMENT), 3(1), 1–10.
https://doi.org/10.31539/alignment.v3i1.1291
2. Astini, Sari, N. K. (2020). Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pembelajaran Tingkat
Sekolah Dasar pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Lembaga Penjaminan Mutu STKIP
Agama Hindu Amlapura, 11(2), 13–25.
3. Gunawan, A. (2016). Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Melalui
Penggunaan Media Pendidikan Dalam Pembelajaran IPS SD. Pedagogi Jurnal Penelitian
Pendidikan, 03(02), 24.
4. Hanifah Salsabila, U., Irna Sari, L., Haibati Lathif, K., Puji Lestari, A., & Ayuning, A.
(2020). Peran Teknologi Dalam Pembelajaran Di Masa Pandemi Covid-19.
Al- Mutharahah: Jurnal Penelitian Dan Kajian Sosial Keagamaan, 17(2), 188–
198.
https://doi.org/10.46781/al-mutharahah.v17i2.138
5. Komalasari, R. (2020). Manfaat Teknologi Informasi Dan Komunikasi Di Masa Pandemi
Covid 19. Tematik, 7(1), 38–50. https://doi.org/10.38204/tematik.v7i1.369
6. Latip, A. (2020). Peran Literasi Teknologi Informasi Dan Komunikasi Pada Pembelajaran
Jarak Jauh Di Masa Pandemi Covid-19. EDUTEACH : Jurnal Edukasi Dan
Teknologi Pembelajaran, 1(2), 108–116. https://doi.org/10.51878/edutech.v1i1.176
7. R. Adawiyah, A. H., & P. Mahanani. (2020). Efektivitas Pembelajaran Daring Di Masa
Pandemi Covid-19. Sosial : Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 21(2), 53–
56. https://doi.org/https://doi.org/10.33319/sos.v21i2.61
8. Sadikin, A., & Hamidah, A. (2020). Pembelajaran Daring di Tengah Wabah Covid-19.
Biodik, 6(2), 214–224. https://doi.org/10.22437/bio.v6i2.9759
9. Santoso, F. A. (2020). Dampak Penggunaan Gawai terhadap Pembelajaran Siswa Sekolah
Dasar. Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 2(1), 49–54.
https://doi.org/10.31004/edukatif.v2i1.87
10. Suni Astini, N. K. (2020). Tantangan Dan Peluang Pemanfaatan Teknologi Informasi
Dalam Pembelajaran Online Masa Covid-19. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(2), 241–
255. https://doi.org/10.37329/cetta.v3i2.452
11. Ula, S., Afifa, A. N., & Azizah, S. A. (2021). Pengaruh Penggunaan Teknologi Di Masa
Pandemi Covid-19 Terhadap Hasil Belajar Pada Mata Pelajaran Biologi Di Man 2
Jember. ALVEOLI: Jurnal Pendidikan Biologi, 2(1), 54–66.
https://doi.org/10.35719/alveoli.v2i1.35

PROFIL SINGKAT

7
Maskanah, Sae

Ida Maskanah adalah mahasiswa program studi pendidikan guru sekolah dasar, fakultas keguruan
dan ilmu pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana. Ia merupakan mahasiswa yangaktif dalam
mengikuti kegiatan di tingkat fakultas.
Herlin Lusiana Sae adalah mahasiswa program studi pendidikan guru sekolah dasar, fakultas
keguruan dan ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana. Ia merupakan mahasiswa yang aktif
dalam mengikuti kegiatan di tingkat fakultas.

7
Maskanah, Sae

Jurnal Jendela Pendidikan


Volume 01 Nomor 04 November 2021
ISSN: 2776-267X (Print) / ISSN: 2775-6181
(Online)
The article is published with Open Access at:
https://www.ejournal.jendelaedukasi.id/index.php/JJP

Pemahaman Pembuatan RPP yang Kreatif


dan Pengaplikasiannya dalam Pembelajaran
Laesa Ayun Universitas Kristen Satya
Wacana
Alfa Alfi Rahmawati, Universitas Kristen Satya
Wacana
Anisa Septi Purwaningsih, Universitas Kristen Satya
Wacana
292019114@student.uksw.edu
Abstract: The research aims to analyze the understanding and preparation of the Learning Implementation Plan (RPP)
and the application of the K-13 learning model. Research is a qualitative type. The research population is all in SDN 2
Bringin, Bringin sub-district. The samples taken were 6 teachers from Bringin 2 Elementary School. The research data
was obtained through seminar activities conducted by the Bringin 2 Elementary School principal. The results showed that
from 6 teachers there were 2 teachers or 35% of teachers understood the making of Learning Implementation Plans
(RPP) and learning models. K-13. Meanwhile, 4 teachers did not understand the making of creative lesson plans for
learning.
From that all there is a need for counseling and coordination of school principals to teachers to be able to increase
creativity in making lesson plans so that learning that will be carried out can be creative according to the educational
goals to be achieved. In analyzing the data we use narrative analysis. In conducting the research, we collected
descriptions of events or events that occurred at SD Negeri Bringin 02. By conducting interviews to obtain data, we
compiled a plot that we understood. With various stages of looking for problems that occur in schools, especially in
making lesson plans, then choosing a resource person for us to interview or we find out about information, collect
information, after that we analyze the information we get and then we write it down in the results of the study.
Keywords: Supervision, 2013 Curriculum Model, Learning
Plan
Abstrak: Penelitian bertujuan untuk menganalisis pemahaman dan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) dan pengaplikasian model pembelajaran K-13. Penelitian merupakan jenis kualitatif. Populasinya penelitian yaitu
semua di SDN 2 Bringin kecamatan Bringin. Sampel yang diambil adalah 6 orang guru dari sdn Bringin 2. Data
penelitian diperoleh melalui kegiatan seminar yang dilakukan kepala sekolah SDN Bringin 2. Hasil penelitian
menunjukan dari 6 guru terdapat 2 guru atau 35% guru memahami pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
dan model pembelajaran K-13. Sedangkan 4 guru belum memahami pembuatan RPP yang kreatif untuk pembelajaran
Hal ini dapat disimpulkan guru SDN Bringin 2 Kecamatan Bringin Belum memahami pembuatan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dan model pembelajaran K-13. Dari itu semua perlu adanya penyuluhan dan koordinasi kepala
sekolah kepada guru untuk dapat meningkatkan kreatifitas pembuatan RPP sehingga pembelajaran yang akan terlaksana
bisa kreatif sesuai tujuan pendidikan yang akan dicapai. Dalam menganalisis data kami menggunakan analisis naratif.
Dalam melakukan penelitian kami mengumpulkan deskripsi peristiwa atau kejadian yang terjadi di SD Negeri Bringin
02. Dengan melakukan wawancara untuk memperoleh data kami menyusun dengan alur yang kami pahami. Dengan
berbagai tahapan mencari masalah yang terjadi dalam sekolah terutama dalam pembuatan RPP, lalu memilih Narasumber
untuk kami wawancara atau kami mencari tau tentang informasi, mengumpulkan informasi, setelah itu kami
menganalisis informasi yang kami dapatkan kemudian kami tulis dalam hasil penelitian.
Kata kunci: Supervisi, Model Kurikulum 2013, Rencana
Pembelajaran
Received 15 Oktober 2021; Accepted 20 Oktober 2021; Published 20 November
2021
Citation: Ayun, L., Rahmawati, A.A., & Purwaningsih, A.S. (2021). Pemahaman Pembuatan RPP yang Kreatif dan
Pengaplikasiannya dalam Pembelajaran. Jurnal Jendela Pendidikan, 01 (04), 186-
191.

Copyright ©2021 Jurnal Jendela


Pendidikan
Published by CV. Jendela Edukasi Indonesia. This work is licensed under the Creative Commons Attribution-Non Commercial-
Share
Alike 4.0 International
License.
7
Ayun, Rahmawati, Purwaningsih

PENDAHULUAN

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan suatu rencana kegiatan pembelajaran


tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih (Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang
Standar Proses).
Perkembangan pada era teknologi dan informasi yang menunjukan perkembangan
tanpa batas. Pada zaman sekarang ini dituntut sumber daya manusia (SDM) berkualitas.
Langkah awal
dari itu semua adalah sumber daya manusia di bidang pendidikan. Suatu bangsa akan
menjadi
lebih baik jika sumber daya dipendidikan terus diperbaiki. Pemerintah Indonesia
melakukan upaya melalui kegiatan penyempurnaan- penyempurnaan kurikulum pendidikan
(Supriadi,
2009).
Saat ini pemerintah telah melakukan peningkatan kurikulum dari KTSP menuju K-
13. K-13 ini berpatokan kepada peningkatan pada proses sikap, proses keterampilan
dan perolehan pengetahuan. Harapan pemerintah bahwa lulusan tersebut tidak hanya sikap
tapi
juga pengetahuan, dan keterampilan (Depdiknas, 2003; Utami, Yamtinah, & ES, 2016).
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern
dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan Ilmiah dalam
kurikulum
2013 dikenal dengan nama scientific appoach dalam pembelajaran semua mata
pelajaran meliputi kegiatan pengamatan(observing), bertanya
(questioning)
. berkelompok (associating),mencoba (experimenting), dan jaringan
penghubung
(networking) (Alimuddin, 2014).
Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek
keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku. Pada materi pembelajaran kurikulum 2013
terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan
terlihat ada
di materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn. Selanjutnya pada kurikulum 2013 materi
yang
ditambahkan adalah materi Matematika (Joseph, 2017).

Pemahaman Guru Terhadap RPP

Berdasarkan wawancara terdapat beberapa permasalahan mengenai pelaksanaan


kurikulum
2013 di SDN Bringin 2. Salah satunya yaitu pemahaman guru terhadap pembuatan RPP.
Untuk guru yang belum memahami pembuatan rpp dan pengaplikasian rpp maka akan diikut
sertakan
pada seminar seminar dan diberikan pengarahan yang lebih baik. Agar semua guru
bisa
memahami pembuatan rpp yang kreatif untuk perkembangan teknologi seperti saat
ini.

Faktor Penyebab Guru Kurang Memahami Penyusunan


RPP

Faktor penyebab guru kurang memahami penyusunan RPP adalah: 1) guru belum pernah
mendapatkan bimbingan secara khusus bagaimana menyusun RPP yang baik dan benar
dari kepala sekolah, 2) setiap guru mengajukan RPP untuk disyahkan oleh kepala sekolah
tidak pernah disalahkan dan langsung ditanda tangani, 3) guru sangat jarang mengikuti
Pendidikan dan pelatihan (Diklat) tentang penyusunan RPP yang baik dan benar, kalaupun ada
yang pernah mengikuti kegiatannya kurang serius, di jadwalkan 5 (lima) hari kerja baru
tiga hari sudah ditutup, 4) alasan klasik guru beralasan jumlah jam mengajarnya banyak
sehingga tidak sempat untuk Menyusun RPP, prinsipnya yang penting mengajar di kelas
8
Ayun, Rahmawati, Purwaningsih
dengan berpedoman dengan buku paket siswa yang sudah disediakan oleh pihak sekolah dan
oleh peserta didik itu sendiri.

METODE

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman guru terhadap pelaksanaan K-13.
Peneliti menggunakan kualitatif deskriptif yaitu mendapat data hasil dan
menjelaskan

8
Ayun, Rahmawati, Purwaningsih

fenomena yang terjadi dengan menggunakan bahasa sendiri (Creswell, 2016; Riduwan,
2009).
Prosedur yang kami gunakan untuk mendapatkan data adalah dengan wawancara
secara langsung kepada guru dan memberikan sebuah pertanyaan tentang Penyusunan RPP di
SDN Bringin 02. Dengan wawancara kepala sekolah beserta guru kami mendapatkan hasil dan
data untuk penelitian selanjutnya.
Instrumen pengumpulan data kami menggunakan rangkaian kegiatan untuk
memperoleh data dan menjelaskan makna dari data tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan kreatifitas guru dalam pembuatan RPP dan meningkatkan
pemahaman maupun pengaplikasian RPP dalam pembelajaran.Fokus peneliti terhadap Rencana
RPP dengan model pembelajaran pada K-13 Revisi pada guru SDN Bringin 2 Kecamatan
Bringin .
Dalam menganalisis data kami menggunakan metode kualitatif. Saat melakukan
penelitian, kita harus menganalisis data agar data yang didapat mudah dipahami. Analisis
data juga penting untuk kita mendapatkan solusi atas permasalahan penelitian yang
tengah
dikerjakan.

HASIL PENELITIAN

Wawancara dilaksanakan dengan menggunakan teknik purposive terhadap 6 orang narasumber


kunci yang dilakukan di SD N Bringin 02, Kecamatan Bringin. Wawancara dengan Kepala
Sekolah beserta guru kelas dilaksanakan pada hari Kamis, 9 September 2021. Wawancara kami
lakukan secara langsung bersama- sama. Berikut merupakan inisial guru beserta jabatannya.

TABEL 1. Inisial guru beserta


jabatan

Nama Peserta Jabatan


N Guru Kelas 1
R Guru Kelas 2
ST Guru Kelas 3
K Guru Kelas 4
H Guru Kelas 5
PS Guru Kelas 6
R
N
DS

Kepala sekolah mengarahkan guru dalam pembuatan RPP yang kreatif kemudian
mengamati guru dalam mengaplikasikan RPP yang telah dibuat guru. Kegiatan diawali dengan
menentukan kalender pendidikan, membuat promes, prota, RPP sampai penilaian afektif,
psikomotor, kognitif. Prota atau promes dinilai berdasarkan alokasi waktu pada kalender
pendidikan. Selanjutnya yang akan dinilai RPP berdasarkan Kompeten Dasar, materi
pembelajaran, tujuan kegiatan pembelajaran, metode/teknik pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran.
Survey kepala sekolah di SDN 2 Bringin berfokus pada (1) pemahaman konsep
pembuatan RPP sehingga anak berfikir kritis, inovatif dan aktif, (2) melakukan kegiatan
pembimbingan menyusun silabus yang terfokus pada standar isi dan prinsip
pengembangan kurikulum, (3) melakukan bimbingan penggunaan media pembelajaran
sesuai RPP.

8
Ayun, Rahmawati, Purwaningsih

TABEL 2. Penilaian hasil pembuatan RPP


guru
Na ma Hasil RPP Skor
Guru Ko mpoet en Materi Tujuan
Dasar Pembelajaran Pembelajaran
NR 4 4 3 92
ST 4 3 3 85
KH 4 4 4 100
PS 4 3 4 92
RN 4 4 4 100
DS 4 4 3 92

Kepala sekolah telah melihat dan mensurvey guru kelas dalam pembuatan RPP dan
pengaplikasiannya dalam pembelajaran yang dilaksanakan dalam kelas. Peningkatan guru telah
terlihat dan bisa mendapatkan skor yang tinggi dengan presentase 87% guru telah
memahami dan mengalami peningkatan dalam pembuatan RPP yang memunculkan berfikir kritis
siswa.

PEMBAHASAN

Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek
keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku. Pada materi pembelajaran kurikulum 2013 terdapat
materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan terlihat ada
di materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn. Selanjutnya pada kurikulum 2013 materi yang
ditambahkan adalah materi Matematika (Joseph, 2017).
Dalam penelitian yang kami lakukan ini untuk mengetahui seberapa baiknya pemahaman
guru dalam pembuatan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang kreatif dan inovatif.
Sesuai dengan Kurikulum 2013 tentang pembelajaran Sekolah Dasar 2013 terdapat pada
permendikbud Nomor 67. Aturan tersebut berisi: (a) proses spiritual dan sosial (b) pengalaman
belajar siswa sehari-hari (c) afektif, kognitif, serta psikomotor
(d) pengembangan karakter positif siswa ((Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik
Indonesia), 2013).
Dalam pengembangan pendidikan yang maju guru harus memahami dasar pembuatan
RPP yang kreatif untuk pembelajaran yang menarik. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh
terdapat 3 kategori yang akan diamatati adalah RPP, Silabus, Praktek mengajaar. Terdapat
6
guru di SDN Bringin 02, Kecamatan Bringin yang telah mencapai nilai diatas 2 per indikator
dengan kategori baik dengan persentase 87% dan terdapat 2 orang guru yang memiliki nilai
indikator 2 dengan kategori cukup yaitu sebanyak 13% secara keseluruhan dengan rata-rata skor
83,3 kategori baik.
Dalam penelitian yang kami lakukan ini menggunakan metode kualitatif sehingga lebih
efektif karena memperoleh data secara langsung ke lapangan. Dalam penelitian
kami menemukan banyak sekali data dan informasi. Salah satunya RPP yang disusun guru ada
yang belum sesuai dengan tujuan pendidikan.
Berdasarkan wawancara dengan kepala sekolah beserta Guru kelas terdapat masalah
utama dan masalah pendamping terkait pelaksanaan K-13 di SDN 02 Bringin Kecamatan
Bringin. Kepala SDN 02 Bringin ditemukan: pertama, pada sekolah tersebut terdapat 6
guru mulai dari guru kelas hingga guru bidang studi, terdapat 2 orang guru atau sekitar 43%
guru tidak bisa menciptakan RPP sendiri dan 57% guru membuat RPP-nya sendiri. Hal ini
sesuai dengan penelitian Mislinawati & Nurmansyah (2018) bahwa 60% guru kesulitan membuat
RPP sendiri (Mislinawati. & Nurmasyitah.,
2018).

8
Ayun, Rahmawati, Purwaningsih

Maka dari penelitian ini kami mendapatkan solusi untuk guru di SD N 02 Bringin untuk
mengikuti seminar, pelatihan , dan edukasi dari kepala sekolah tentang penyusunan RPP yang
kreatif, inovatif, dan dapat membuat pembelajaran yang menarik bagi siswa. Dengan guru
memahami penyusunan RPP yang baik sehingga siswa dapat memahami pembelajaran
dan mampu membuat siswa kreatif serta berfikir kritis untuk pengetahuan siswa. Dalam
pembuatan RPP juga harus mencangkup keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga siswa
tidak hanya diam saja, tetapi bisa aktif dalam pembelajaran . Guru-guru harus diarahkan untuk
menulis RPP dengan sangat rinci sehingga banyak menghabiskan waktu yang
seharusnya bisa lebih difokuskan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses
pembelajaran itu sendiri.
Saat ini Kurikulum acuan Kurikulum acuan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional
di era teknologi dan informasi ini. Kurikulum disusun secara menyeluruh di seluruh
negara
termasuk Indonesia. Adanya kurikulum membuat kesetaraan antara dari segi kompetensi
dan
tujuan pembelajaran. Indonesia telah menjalani sepuluh kali perubahan kurikulum (Bentri,
Adree, & Putra, 2014; Permendikbud, 2013). Dalam mencapai tujuan pendidikan nasional di era
teknologi dan informasi ini. Kurikulum disusun secara menyeluruh di seluruh negara termasuk
Indonesia. Adanya kurikulum membuat kesetaraan antara dari segi kompetensi dan tujuan
pembelajaran. Indonesia telah menjalani sepuluh kali perubahan kurikulum (Bentri, Adree, &
Putra, 2014; Permendikbud, 2013). Sehingga seorang guru harus mampu mengembangkan dan
menyusun RPP dengan profesional.

SIMPULAN

Dari penelitian ini dapat kami


simpulkan:
1. Guru yang awalnya belum memahami RPP setelah diberi arahan menjadi
paham.
2. Langkah-langkah RPP telah sesuai denganmodel yang digunakan pelaksanaan K-
13
Revisi.
3. Pembuatan RPP menggunakan kreatifitas untuk memunculkan pemikiran siswa
yang kritis.
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, penulis
menyarankan :
1. Saran bagi pembaca
Penulis menyarankan agar peneliti selanjutnya meneliti lebih banyak sekolah,
terutama untuk SD terpencil dalam penyusunan RPP oleh guru dari berbagai
generasi agar
menemukan data yang akurat dan lebih beragam mengenai proses penyusunan RPP
yang lebih baik.
2. Saran untuk guru
Dalam penyusunan RPP penulis menyarankan untuk belajar lebih mendalam lagi
dalam penyusunan RPP. Mengikuti seminar dan pelatihan yang dapat mendukung
kreatifitasan guru dalam penyusunan RPP.

DAFTAR PUSTAKA

1. Creswell, J. W. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan


Campuran. SAGE Publication.
2. Joseph, W. (2017). Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP):
Dalam
Pembelajaran Seni Musik di SMA CitiSchool Semarang. Resital: Jurnal Seni
Pertunjukan,
25(1), 3–6.
3. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2013).
Implementasi
Kurikulum. Permendikbud.
8
Ayun, Rahmawati, Purwaningsih
4. Keputusan Mentri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007, Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru.
5. Nurmalasari, R., Dian, R., Wati, P., Puspitasari, P., Diana, W., & Dewi, N. K. (2016). Peran
Guru Dalam Implementasi Kurikulum 2013. Jurnal Berkala Program Pascasarjana UM
Malang.
6. Permendikbud. (2013). Peraturan Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia. Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebedayaan.
7. Suharjono, 2009, Melaksanakan Sekolah Sebagai Kegiatan Penelitian Tindakan
Sekolah

8
Ayun, Rahmawati, Purwaningsih

Sebagai Kegiatan Pengembangan Profesi Penelitia Sekolah, Jakarta: Bumi Aksara.


8. Supriadi, O. (2009). Pengembangan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar. Jurnal Tabularasa
PPS Unimed.
9. Utami, B., Yamtinah, S., & ES, W. A. (2016). Analisis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Tematik Yang Disusun Guru SD. In Peningkatan Kualitas Pembelajaran Sains dan
Kompetensi Guru Melalui Penelitian & Pengembangan dalam Menghadapi Tantangan Abad-
21.

PROFIL SINGKAT

Laesa Ayun adalah mahasiswa program studi Pendidikan guru sekolah dasar, fakultas keguruan
dan ilmu pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana.
Alfa Alfi Rahmawati adalah mahasiswa program studi Pendidikan guru sekolah dasar, fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana.
Anisa Septi Purwaningsih adalah mahasiswa program studi Pendidikan guru sekolah dasar,
fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana.

8
KEBIJAKAN PELAKSANAAN VAKSINASI
COVID-19 DI KOTA MEDAN TAHUN 2020
1
Fitriani Pramita Gurning, 2 Laili Komariah Siagian, 3 Ika Wiranti, 4Shinta Devi,
5
Wahyulinar Atika
1
Dosen Program S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara
2
Mahasiswa Program S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara
3
Mahasiswa Program S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara
4
Mahasiswa Program S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara
5
Mahasiswa Program S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara
lailisiagian910@gmail.com

ABSTRAK
Vaksinasi adalah proses di dalam tubuh, dimana seseorang menjadi kebal atau terlindungi dari suatu penyakit
sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut maka tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan, biasanya dengan pemberian vaksin. Vaksinasi tidak hanya bertujuan untuk memutus rantai penularan
penyakit dan menghentikan wabah saja, tetapi juga dalam jangka panjang untuk mengeliminasi bahkan
mengeradikasi (memusnahkan/ menghilangkan) penyakit itu sendiri. Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif untuk memperoleh data deskriptif dengan teknik pengumpulan data melakukan studi
kepustakaan (literature review). Menurut Dinas Kesehatan Kota Medan dalam pelaksanaan vaksinasi dilakukan dua
tahap. Untuk tahap pertama Pemko Medan menerima 20.000 vaksin covid-19, dimana untuk tahap pertama di
prioritaskan kepada tenaga kesehatan hingga bertahap ke masyarakat. Tahap kedua, Pemko Medan menerima
96.0 vaksin covid-19, vaksinasi tahap kedua ini juga diperuntukkan bagi petugas pelayanan publik termasuk
aparatur sipil negara (ASN), dan lain sebagainya. Perundang-undangan tentang Pengadaan Vaksin dan
Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19 dalam Perpres No. 99 Tahun
2020.
Kata Kunci: Kebijakan, Pelaksanaan, Vaksinasi Covid-
19

ABSTRACT
Vaccination is a process in the body, where a person becomes immune or protected from a disease so if the one
time
exposed to the disease then it will not hurt or only experience mild pain, usually with the administration of the
vaccine. Vaccination not only aims to break the chain of transmission of the disease and stop the outbreak, but also
in the long term to eliminate even mengeradikasi (destroy/ eliminate) the disease itself. This research method uses a
qualitative approach to obtain data descriptive with data collection techniques to study literature (literature
review). According to the Department of Health of the City of Medan in the implementation of the vaccination is
carried out in two stages. For the first phase of Pemko Medan receive 20,000 vaccine covid-19, where for the first
stage in priority to the health workers to gradually to the community. The second stage, Pemko Medan receive
96.000 vaccine covid-19, vaccination is the second stage is also intended for public service officer including the
state civil apparatus (ASN) and others. Legislation on Procurement of Vaccines and Implementation of Vaccination
In the Framework of Combating the COVID-19 in the Presidential decree No. A 99-Year 2020.
Key Word: Policy, Implementation, Vaccination Covid-19

85
PENDAHULUAN
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Bencana Non-
Alam Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Upaya lain yang hingga saat ini dilakukan
penanggulangan penyebaran Covid-19 adalah melalui riset untuk menghasilkan vaksin.
Berbagai Negara sedang berlomba-lomba untuk dapat menghasilkan vaksin, karena selain
memang untuk penanggulangan pandemi, vaksin akan menjadi komoditi yang akan
banyak dicari dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Perlu segera dilakukan intervensi tidak
hanya dari sisi penerapan protokol kesehatan namun juga diperlukan intervensi lain yang
efektif melalui upaya pemberian vaksinasi.
Vaksinasi adalah proses di dalam tubuh, dimana seseorang menjadi kebal atau
terlindungi dari suatu penyakit sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit
tersebut maka tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan, biasanya dengan
pemberian vaksin. Vaksinasi tidak hanya bertujuan untuk memutus rantai penularan
penyakit dan menghentikan wabah saja, tetapi juga dalam jangka panjang untuk
mengeliminasi bahkan mengeradikasi (memusnahkan/ menghilangkan) penyakit itu
sendiri.

Pemberian vaksin dengan injeksi diperlukan keahlian dan tidak dapat digunakan
secara mandiri oleh pasien. Presiden RI, Joko Widodo telah memberikan instruksi terkait
pelaksanaan program vaksinasi di Indonesia, adapun instruksi Presiden untuk Program
Vaksinasi Covid-19 antara lain:

1. Vaksin Covid-19 diberikan secara gratis dan masyarakat tidak dikenakan


biaya sama sekali.
2. Seluruh jajaran kabinet, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
agar memprioritaskan program vaksinasi pada tahun anggaran 2021.
3. Memprioritaskan dan merelokasi anggaran lain terkait ketersediaan dan
vaksinasi secara gratis.
4. Presiden akan menjadi yang pertama mendapat vaksin Covid-19.
Tujuannya untuk memberikan kepercayaan dan keyakinan kepada masyarakat
bahwa vaksin yang digunakan aman.
5. Meminta masyarakat untuk terus menjalankan disiplin 3M yaitu 5
memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (Ditjen P2P Kemenkes
RI, 2021).

86
Data Vaksinasi Covid-19 Indonesia tanggal 26 Maret 2021 dari Our World in
Data, yaitu dosis diberikan sebanyak 10,4 jt dengan divaksinasi lengkap sebanyak
3.233.810 dengan persentasi populasi 1,19%. Sedangkan minimal 1 dosis sebanyak
7.179.014 dengan persentasi populasi 2,65%

Vaksinasi Covid-19 di saat pandemi merupakan upaya “Public Goods” yang dilakukan
Pemerintah sebagai urusan wajib (Obligatory Public Health Functions). Oleh karena itu
seluruh biaya vaksinasi harus ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Untuk
mempercepat penurunan pandemi diperlukan cakupan imunisasi sebesar 70% agar „herd
immunity‟ segera tercapai dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Vaksinasi Covid-19
harus mencakup kelompok usia lanjut (>60 tahun) yang merupakan kelompok
risiko tinggi terinfeksi Covid-19 dengan mortalitas yang juga tinggi. Pelayanan vaksinasi
dilaksanakan melalui fasilitas Kesehatan pemerintah ataupun swasta yang telah
ditunjuk dan memenuhi standar.

METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif untuk memperoleh data
deskriptif. Pengumpulan data yang ditempuh dalam penelitian ini dengan
melakukan studi kepustakaan (literature review), sumber data penelitian berasal dari
sumber-sumber yang telah terkumpul dari perpustakaan. Studi kepustakaan yang
dimaksud adalah penelitian yang sumber-sumber datanya terdiri atas bahan-bahan tertulis
yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, surat kabar, majalah dan lain-
lain.

Literature review seperti yang dijelaskan Cooper dalam Creswell (2010), memiliki
beberapa tujuan yaitu menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian lain yang
berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu, menghubungkan penelitian
dengan literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah dalam penelitian-penelitian
sebelumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Isi Hasil dan Pembahasan
Rencana Vaksinasi Covid-19 massal di Indonesia menerangkan bahwa rencana
vaksinasi yang akan dilakukan adalah langkah yang efektif dalam
menangulangi penularan penyakit. Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 dimulai pada 13

87
Januari 2021 dengan vaksinasi pertama dilakukan pada Presiden RI Joko Widodo.
Program vaksinasi ini

88
terlaksana setelah pada tanggal 11 Januari 2021, Badan POM mengeluarkan persetujuan
penggunaan darurat (EUA) untuk vaksin dan dikeluarkannya fatwa halal oleh Majelis
Ulama Indonesia.

Tahap pertama vaksinasi COVID-19 yang menyasar pada tenaga kesehatan sudah
mencapai lebih dari 70 persen dan belum ditemukan Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI) yang serius. Kini, pemerintah pemerintah segera memulai vaksinasi
COVID-19 tahap kedua yang akan diberikan kepada Petugas Pelayanan Publik serta
kelompok masyarakat lanjut usia usia 60 tahun ke atas.

Maxi Rein Rondonuwu, Plt. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan mengungkapkan program vaksinasi tahap
kedua ini akan berlangsung mulai minggu ketiga Februari 2021 dan ditargetkan dapat
selesai pada Mei 2021. Total sasaran vaksinasi tahap kedua mencapai lebih dari 38
juta orang terdiri dari 21 juta lansia dan hampir 17 juta petugas pelayanan public.

a. Regulasi tentang Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19


1. Perpres No. 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan
Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19.
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.02./MENKES/12758/2021 tentang
Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19, Menetapkan :
a. Jenis dan kriteria vaksin yang dapat digunakan dalam pelaksanaan vaksinasi
COVID-19.
b. Menetapkan bahwa vaksin hanya dapat digunakan bila sudah mendapat EUA
dari BPOM.
c. Perubahan terhadap jenis vaksin dapat dilakukan berdasarkan rekomendasi
ITAGI dan pertimbangan KPCPEN
3. Permenkes No 84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka
Penanggulangan Pandemi COVID19.

b. Tahapan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19


Vaksinasi Covid-19 dilaksanakan dalam 4 tahapan dengan mempertimbangkan
ketersediaan, waktu kedatangan dan tahapan pelaksanaan vaksinasi COVID 19
dilaksanakan sebagai berikut:

1. Tahap 1 dengan waktu pelaksanaan Januari-April 2021.

88
Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 1 adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga
kesehatan, tenaga penunjang serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan
profesi kedokteran yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
2. Tahap 2 dengan waktu pelaksanaan Januari-April 2021.
Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 2 yaitu petugas pelayanan publik yaitu Tentara
Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat hukum, dan
petugas pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas di bandara/ pelabuhan/
stasiun/ terminal, perbankan, perusahaan listrik negara, dan perusahaan daerah air
minum, serta petugas lain yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan
kepada masyarakat serta kelompok usia lanjut (≥ 60 tahun).

3. Tahap 3 dengan waktu pelaksanaan April 2021-Maret 2022.


Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 3 adalah masyarakat rentan dari aspek
geospasial, sosial, dan ekonomi.

4. Tahap 4 dengan waktu pelaksanaan April 2021-Maret 2022.


Sasaran vaksinasi tahap 4 adalah masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya
dengan pendekatan kluster sesuai dengan ketersediaan vaksin.

Pentahapan dan penetapan kelompok prioritas penerima vaksin dilakukan dengan


memperhatikan Roadmap WHO Strategic Advisory Group of Experts on Immunization
(SAGE) serta kajian dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional
(Indonesian Technical Advisory Group.

Analisis SWOT pada Kebijakan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 meliputi:


1. Strengths (Kekuatan)
Vaksin COVID-19 bermanfaat untuk memberi perlindungan tubuh agar tidak jatuh
sakit akibat COVID-19 dengan cara menimbulkan atau menstimulasi kekebalan
spesifik dalam tubuh dengan pemberian vaksin.
2. Weaknesses (Kelemahan)
Efek samping umum dari vaksin virus corona dari Pfizer dan Moderna
mRNA, antara lain : nyeri, kemerahan, bengkak di lokasi suntikan, kelelahan,
sakit kepala, nyeri otot dan persendian, demam ringan dan menggigil.
3. Opportunities (Peluang)

89
Peserta vaksinasi Covid-19 akan mendapatkan sertifikat vaksinasi setelah
menerima dua dosis suntikan vaksin. Sertifikat ini nantinya diharapkan dapat
digunakan dalam syarat penerbangan.
4. Threats (Ancaman)
Keamanan dan keefektifan vaksin, ketidakpercayaan terhadap vaksin, dan
mempersoalkan kehalalan vaksin. Menurut survei yang dilakukan Kementerian
Kesehatan dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) ada
beberapa alasan masyarakat Indonesia tak bersedia disuntik vaksin. Berikut alasan
penolakannya:
a. Tidak yakin keamanannya (30%
b. Tidak yakin efektif (22%)
c. Takut efek samping (12%)
d. Tidak percaya vaksin (13%)
e. Keyakinan agama (8%)
f. Lain-lain (15%)

Isi hasil dan pembahasan


Sekda Kota Medan, Ir.Wiriya Alrahman,MM menjadi orang pertama yang divaksin
covid-19 di Kota Medan. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan, dr. Edwin Effendi,M.Sc
menjelaskan untuk tahap pertama Pemko Medan menerima 20.000 vaksin covid-19,
dimana untuk tahap pertama di prioritaskan kepada tenaga kesehatan. Kemudian
untuk tahap pertama mendapatkan 20.000 vaksin, dengan cakupan satu orang di vaksin dua
kali, oleh sebab itu hanya bisa memberikan kepada 10.000 tenaga kesehatan Medan,
kemudian akan bertahap ke masyarakat lainya.

Vaksinasi Covid-19 tahap kedua di Sumatra Utara (Sumut) sudah mulai dilakukan di
Kota Medan. Selain lansia, vaksinasi tahap kedua ini juga diperuntukkan bagi pekerja
publik, di antaranya tenaga pendidik, pedagang pasar, tokoh agama, wakil rakyat, pejabat
daerah, atlet, wartawan, petugas keamanan, pelayanan transportasi publik, dan pelaku
sektor pariwisata.Pemerintah Kota (Pemkot) Medan menyatakan telah menerima 96.000
dosis vaksin Covid-19 tahap kedua yang nantinya diperuntukkan bagi lansia, petugas
pelayanan publik termasuk aparatur sipil negara (ASN), dan lain sebagainya.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan, Edwin Effendi mengatakan, sebanyak 202.254
warga lansia yang berusia 60 tahun ke atas, sudah mendaftar untuk menjalani vaksinasi
Covid-19 di Kota Medan. Dengan total 361.855 orang yang sudah didata sebagai
peserta

90
vaksinasi tahap kedua, yang sasarannya meliputi warga lansia dan petugas pelayanan
publik. Jumlah ini akan terus bertambah dari data masing-masing instansi atau OPD, dan
pendaftaran daring.
KESIMPULAN
Pemerintah telah menetapkan pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
sebagai bencana non-alam. Perpres No. 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan
Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19.
Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 dimulai pada 13 Januari 2021 dengan vaksinasi
pertama dilakukan pada Presiden RI Joko Widodo, serta sejumlah perwakilan dari
berbagai latar belakang seperti tenaga kesehatan, pemuka agama, guru, dan lain-lain.
Data Vaksinasi Covid-19 Indonesia tanggal 26 Maret 2021 dari Our World in
Data, yaitu dosis diberikan sebanyak 10,4 jt dengan divaksinasi lengkap sebanyak
3.233.810 dengan persentasi populasi 1,19%. Sedangkan minimal 1 dosis sebanyak
7.179.014 dengan persentasi populasi 2,65%.

DAFTAR PUSTAKA
Ditjen P2P Kemenkes RI. (2021). Tentang Kebijakan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-
19.

Kemenkes RI. (2021). Frequently Ask Question (FAQ) Seputar Pelaksanaan


Vaksinasi
Covid-19.

Masnun, M. A., Sulistyowati, E., & Ronaboyd, I. (2021). Pelindung Hukum


Atas Vaksin Covid-19 Dan Tanggung Jawab Negara Pemenuhan Vaksin
Dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 17(1),
35-47.

Menkes RI. (2021). Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.02./MENKES/12758/2021


tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19.

Mufidah, L., & Tejomurti, K. (2021). Analisis Yuridis Pelaksanaan Pengadaan Vaksin
Dalam Penanganan Corona Virus 2019 (COVID-19)[A Legal Analysis of the
Implementation of Vaccine Procurement in Managing the Coronavirus Disease 19
(Covid-19)]. Law Review, 270-299.

Nadia, Inke D Lubis. (2021). Vaksin Covid-19. Fakultas Kedokteran,


Universitas
Sumatera Utara.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No 84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi


Dalam
Rangka Penanggulangan Pandemi COVID19.

Perpres. (2020). Perpres No. 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan
Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19.
91
Rahman, Y. A. (2021). Vaksinasi Massal Covid-19 sebagai Sebuah Upaya Masyarakat
dalam Melaksanakan Kepatuhan Hukum (Obedience Law). Khazanah Hukum,
3(2).

92
Rumiartha, I. N. P. B. (2021). Makna Hukum Pada Prinsip Tata Kelola Perspektif
Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19. Jurnal Ilmiah Raad Kertha,
4(1), 1-9.

Shafa, A., & Sriwidodo, S. (2021). Microneedle: Teknologi Baru Penghantar


Vaksin COVID-19. Majalah Farmasetika, 6(1), 85-98.

(https://m.merdeka.com/sumut/202254-lansia-sudah-daftar-ini-kabar-terbaru-
vaksinasi- covid-19-tahap-2-di -medan.html?page=4, 04 Maret 2021, diakses tgl
28 Maret
2021).

(https://pemkomedan.go.id/artikel-20726-vaksinasi-covid19-di-kota-medan-dimulai.html ,
15 Januari 2021, diakses tgl 28 Maret 2021).

(https://pemkomedan.go.id/artikel-20726-vaksinasi-covid19-di-kota-medan-dimulai.html ,
05 Januari 2021, diakses tgl 28 Maret 2021)

92
https://jurkes.polije.ac.id Vol. 9 No. 2 Agustus 2021 Hal 89-99
P-ISSN : 2354-5852 | E-ISSN 2579-5783 https://doi.org/10.25047/j-kes. v9i2

ubungan Pengetahuan, Perilaku Makan dan Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Hipertensi pada Lan
Ramadhaniah1, Cut Suci Aulia Nanda1, Nopa Arlianti1
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh,
Indonesia1

Abstract
The incidence of hypertension greatly interferes with daily activities such as frequent
headaches,
feeling tired quickly, easily feeling angry, chest pain, pulse and heart irregularities, especially
in
the elderly. Hypertension is a health problem that must be prioritized until now. Kuta
Raja
Community Health Center, Banda Aceh is the highest area of hypertension cases in the elderly
with
88.64% in 2019. This study was purposed to determine relationship between of knowledge, eating
behaviour and physical activity on the incidence of hypertension in the elderly at Kuta Raja
Community Health Center, Banda Aceh City. Data collection was carried out using a questionnaire
with interview techniques and research methods using “case control”. Data was analyzed
using the Logistic Regression test with the STATA 13 computer program. The result, it was found
that knowledge was the most influential risk factor for the incidence of hypertension (OR = 6.90),
95% CI: 2.1-22.0. It is expected that health workers can continue to improve the quality of services
and carry out health promotions related to hypertension to the entire community.
Keywords: eating behaviour, elderly, hypertension, knowledge, physical
activity
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,
1. Pendahuluan kesembuhan TBC
Tuberkulosis (TBC) pada anak
menjadi sebuah masalah yang berbeda
dengan TBC pada orang dewasa.
Perkembangan penyakit TBC pada anak saat
ini sangatlah pesat. Setiap tahunnya
menunjukkan angka hampir 500.000 anak di
seluruh dunia menderita penyakit TBC, untuk
setiap harinya hampir 200 anak di dunia
meninggal akibat TBC dan sebanyak
70.000 anak meninggal setiap tahunnya
akibat TBC (Kemenkes RI, 2016).
Proporsi jumlah kasus TBC pada anak
diantara seluruh kasus TBC menunjukkan
jumlah persentase kasus TBC anak pada usia
kurang dari 15 tahun diantara seluruh kasus
TBC yang tercatat. Sebagian besar kasus
TBC pada anak terjadi di negara endemis
TBC. Pada tahun 2012, WHO
memperkirakan secara global ada 530.000
kasus TBC pada anak-anak (di bawah usia
15 tahun) dan
74.000 kematian TBC dan kasus TBC dengan
HIV negatif masing-masing 6% dan 8% dari
total kasus secara keseluruhan (WHO, 2014).
Tuberkulosis paru anak di Indonesia
mengalami peningkatan pada tahun 2015
sebanyak 8,49% dibanding dengan tahun
2014 sebanyak 7,10% meskipun jumlahnya
relatif rendah dibanding dengan TBC pada
dewasa (WHO, 2017). Proporsi untuk kasus
TBC pada anak diantara munculnya kasus
baru tuberkulosis yang tercatat di Jawa
Tengah pada tahun 2018 menunjukkan angka
11,16%, jumlah ini mengalami peningkatan
dibandingkan proporsi jumlah kasus TBC
anak tahun 2017 yaitu sebesar 9,80%.
Peningkatan ini menunjukkan bahwa terjadi
penularan kasus tuberkulosis paru BTA
positif kepada anak yang tergolong cukup
besar. Sebanyak 5.536 anak yang tertular
tuberkulosis paru BTA positif dewasa yang
berhasil ditemukan hingga diobati (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Kasus penemuan TBC pada anak di
Kota Semarang pada tahun 2017 mencapai
916 jumlah kasus, jumlah ini mengalami
peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan penemuan kasus di
tahun 2016 yaitu sebesar 496 kasus.
Meskipun di tahun 2018 angka penderita
TBC paru untuk semua tipe yang ditemukan
di Kota Semarang mengalami penurunan
dengan penemuan 884 kasus, angka

94
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,
paru tahun 2017 hanya sebesar 65%. masih rendah. Sebagian besar orang tua tidak
Padahal di tahun 2016, angka kesembuhan mengetahui bahwa anaknya menderita TBC
TBC paru mencapai 68,4%. (Dinas paru dan mengalami kesulitan untuk
Kesehatan Kota Semarang, 2018) mengetahui asal
Puskesmas Bandarharjo merupakan
wilayah dengan penderita TBC tertinggi
se-Kota Semarang, baik TBC paru pada
dewasa maupun TBC paru pada anak.
Penemuan kasus TBC anak di Puskemas
Bandarharjo pada tahun 2016-2019 secara
fluktuatif mencapai 43 kasus yang
tersebar di
4 kelurahan yakni Tanjungmas,
Dadapsari, Kuningan dan Bandarharjo.
Kasus TBC paru anak di Puskesmas
Bandarharjo bulan Januari-April 2020
sudah mencapai 5 kasus. (Puskesmas
Bandarharjo, 2018). Penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Maulina et al. (2015)
menunjukkan bahwa status health literacy
dari 5 orang penderita TBC paru di
wilayah Puskesmas Bandarharjo sebagai
informan utama yang merupakan sampel
penelitian memiliki health literacy yang
kurang sehingga mereka DO (Drop Out)
dalam proses pengobatan. Hasil penelitian
lain yang dilakukan oleh Nurmandhani et
al. (2020) tingkat literacy petugas
Puskesmas Bandarharjo masih tergolong
kurang (65,4%), hal ini memberikan
dampak stigma petugas terhadap
masyarakat yang menderita penyakit
tuberkulosis.
Faktor resiko terjadinya TBC paru
pada anak adalah saat adanya riwayat
kontak dengan penderita TBC paru pada
orang dewasa, tingkat pendapatan orang
tua, tingkat pendidikan orang tua, hingga
tingkat pengetahuan orang tua
(Apriliasari, 2018). Tingkat pengetahuan
ibu tentang tuberkulosis paru pada anak
akan mempengaruhi pula perilaku
pencegahan terhadap TBC paru pada anak
(Ernawati, 2016). Penelitian lain yang
dilakukan di Kota Pekalongan
menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara pengetahuan, sikap serta perilaku
ibu terhadap pencegahan TBC paru
dengan kejadian kasus TBC paru pada
anak (Mudiyono, 2015).
Anak memiliki periode tumbuh
kembang, yang masih sangat tergantung
dengan orang tua, berdasarkan survei
pendahuluan, sebagian besar health
literacy orang tua tentang tuberkulosis

95
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,
mula penyakit tersebut diderita oleh anaknya.
39% termasuk dalam kategori kurang dan
Mereka hanya mengetahui jika anak
hanya 23% responden yang memiliki tingkat
mengalami gejala demam dengan durasi agak
literasi cukup. Mayoritas responden dalam
lama, kemudian mengalami batuk-batuk
penelitian ini (66%) mengalami kesulitan
dalam jangka waktu yang lama. Selain itu
dalam mencari informasi terkait gejala,
kondisi fisik dari anak tersebut menjadi
pencegahan dan upaya pengobatan untuk
kurus, hilangnya nafsu makan, hingga
tuberkulosis, 40% responden mengaku
kondisi anak menjadi cenderung lebih lemah.
kesulitan untuk memahami penjelasan dari
Padahal, jika diperhatikan bahwa penyakit
tenaga kesehatan terkait pengobatan
TBC paru pada anak bukanlah termasuk
tuberkulosis dan hanya 37% responden yang
masalah kesehatan yang harus disepelekan
mengetahui cara memanfaatkan informasi
melainkan merupakan masalah serius yang
dari penyedia layanan kesehatan untuk
harus diperhatikan. Pencegahan sedari dini
mengambil keputusan dalam meningkatkan
diharapkan mampu menekan bertambahnya
status kesehatan mereka. Penelitian lain yang
jumlah kasus maupun kematian yang
dilakukan oleh Mubarokah et al (2021)
disebabkan oleh penyakit TBC paru anak.
mengenai hubungan health literacy dan
Health literacy menjadi perhatian
perilaku pencegahan tuberkulosis terhadap
semua orang yang terlibat dalam bidang 450 orang di Kota Semarang yang terdiri dari
perawatan kesehatan. Health literacy adalah 197 pekerja kesehatan, 64 dosen kesehatan
sejauh mana seorang individu memiliki masyarakat dan 189 guru menunjukkan hasil
kapasitas untuk memperoleh, memproses dan bahwa 54% responden penelitian memiliki
memahami informasi kesehatan dasar dan literasi TBC yang rendah dan 54,2%
layanan yang dibutuhkan untuk responden tidak memiliki perilaku
meningkatkan status kesehatan sesuai dengan pencegahan TBC yang baik. Uji bivariate
yang diharapkan. Keterampilan tentang menggunakan rank spearman test
health literacy dibutuhkan dalam kegiatan menunjukkan ada hubungan yang signifikan
seperti pertukaran informasi dan diskusi antara literasi tuberkulosis terhadap perilaku
terkait kesehatan dan dalam membaca pencegahan tuberkulosis p value 0,001
informasi kesehatan. (<0,005). Penelitian yang pernah dilakukan
Di Indonesia, data mengenai health secara kualitatif terhadap 5 informan utama
literacy masih sangat terbatas, meski dan 3 informan cross check yang merupakan
demikian terdapat fakta-fakta yang penderita tuberkulosis di Puskesmas
menggambarkan kondisi yang terkait dengan Bandarharjo menunjukkan hasil bahwa 5
health literacy atau tingkat kemelekan informan utama health literacy yang kurang
kesehatan yang rendah (Nurhidayah, 2018). sehingga menyebabkan kasus DO (drop
Penelitian yang dilakukan oleh Tukayo et al out/default). Hal tersebut dapat dilihat dari
(2020) menunjukkan hasil bahwa tingkat akses terhadap pencarian informasi yang
pengetahuan (p value = 0,043) dan sikap masih rendah, pemahaman tentang informasi
pasien (p value = 0,014) berpengaruh secara yang diberikan belum lengkap, masih
signifikan terhadap kepatuhan pengobatan kurangnya petugas dalam pemberian
dalam mengupayakan kesembuhan terhadap informasi kepada informan dan kurang
tuberkulosis. Penelitian lain yang dilakukan maksimalnya dalam penemuan kasus DO
oleh Kondoy et al (2014) terkait kesadaran serta tidak adanya penerapan dalam perilaku
pasien dalam pengobatan tuberkulosis informan untuk penyembuhan membuktikan
menunjukkan hasil bahwa tingkat bahwa health literacy informan masih rendah
pengetahuan berpengaruh secara signifikan (Maulina et al, 2015). Tingkat pendidikan
dalam kepatuhan pengobatan pasien. merupakan landasan seseorang dalam berbuat
Penelitian yang dilakukan oleh Handayani sesuatu, membuat lebih mengerti dan
et al (2017) terhadap 166 responden di memahami, atau menerima dan menolak
wilayah pedesaan Indonesia sesuatu. Tingkat pendidikan juga
menunjukkan hasil bahwa tingkat literasi memungkinkan perbedaan pengetahuan dan
kesehatan responden sebanyak 38% pengambilan keputusan dalam kapasitas
termasuk dalam kategori sangat kurang,

96
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,
pasien untuk memperoleh, memproses dan didiagnosis secara klinis berdasarkan hasil
memahami informasi kesehatan dasar dan rontgen dan uji tuberkulin menderita TBC
layanan yang dibutuhkan untuk paru) di Puskesmas Bandarharjo dari tahun
meningkatkan status kesehatan sesuai 2016-2020 (Januari-April). Sampel kontrol
dengan yang diharapkan. dalam penelitian ini adalah anak usia 0-14
Rendahnya pendidikan seseorang sangat tahun yang anak yang berdasarkan diagnosis
mempengaruhi daya serap seseorang dalam secara klinis (dari hasil rontgen dan uji
menerima informasi sehingga dapat tuberkulin) tidak menderita TBC paru dan
mempengaruhi tingkat pemahaman tentang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas
penyakit TBC paru, cara pengobatan, dan Bandarharjo. Teknik pengambilan sampel
bahaya akibat minum obat tidak teratur. dengan cara consecutive sampling, yaitu
Tingginya angka kasus tuberkulosis di Kota semua subyek yang ada dan memenuhi
Semarang dapat disebabkan oleh rendahnya kriteria pemilihan dimasukkan dalam
health literacy, baik dari petugas kesehatan penelitian sampai jumlah subyek yang
maupun dari pasien tuberkulosis yang diperlukan terpenuhi. Sampel minimal untuk
berobat. Berdasarkan paparan di atas, kasus dan kontrol dengan perbandingan 1 : 1,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan jumlah kasus sebanyak 46 orang dan
mengenai hubungan health literacy
danperilaku pencegahan orang jumlah kontrol sebanyak 46 orang sehingga
tua terhadap kasus jumlah seluruh sampel adalah 92 orang.
tuberkulosis paru anak di Puskesmas Lokasi penelitian dilakukan di wilayah
Bandarharjo Semarang. kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang yang
teridiri dari 4 kelurahan yakni Kuningan,
2. Metode Dadapsari, Bandarharjo, dan Tanjung Mas.
Penelitian ini termasuk penelitian Prosedur pengambilan data primer
observasional analitik menggunakan telah mengikuti kaidah layak etik sesuai
rancangan penelitian case control, dengan protokol dari Komisi Etik Penelitian
variabel dependent adalah kasus TBC paru Kesehatan (KEPK) Universitas
anak. Penelitian ini akan mengukur tiga Muhammadiyah Semarang dengan No.
variabel input yaitu demografi responden, 479/KEPK- FKM/UNIMUS/2021.
health literacy dan perilaku pencegahan
tuberkulosis yang nantinya akan dikaitkan 2.2 Metode Analisis Data
dengan kasus TBC paru pada anak. Data yang terkumpul kemudian
dilakukan pengolahan data melalui
proses
2.1 Metode Pengumpulan Data entri data, editing, koding, dan tabulasi.
Pengambilan data primer dilakukan Analisis yang digunakan pada penelitian ini
dengan melibatkan tenaga kader adalah analisis univariat dan bivariat.
Puskesmas Analisis univariat dilakukan untuk
Bandarharjo menggunakan kuesioner yang memberikan gambaran variabel penelitian
berisi 5 item pertanyaan untuk dalam bentuk distribusi frekuensi. Analisis
mengidentifkasi karakteristik demografi bivariat dilakukan menggunakan chi-square
responden, 10 item pertanyaan untuk untuk mengetahui hubungan masing-masing
mengidentifikasi perilaku pencegahan orang variabel.
tua dan 15 item pertanyaan untuk
menganalisis status health literacy. Sebelum 3. Hasil dan Pembahasan
pelaksanaan wawancara, responden dijelaskan 3.1. Karakteristik Responden
terlebih dahulu mengenai tujuan diadakannya Karakteristik demografi responden
penelitian dan panduan pengisian inform dalam penelitian ini dengann jumlah sampel
consent. Pelaksanaan wawancara akan 92 orang adalah sebagai berikut:
didokumentasikan untuk memastikan akurasi Tabel 1. Karakteristik Responden
dan kevalidan proses pengambilan data.
Sampel dalam penelitian ini
menggunakan sampel kasus dan sampel
kontrol. Sampel kasus diambil dari seluruh
kasus TBC paru anak (usia 0-14 tahun yang

97
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,

orangtKuaarmaekntegreisntaiki status
k e s e h a ta n (PPuesrpsietnast asrie, 2015).
F r e k u Re en sspi o n den
R a ta - r a ta pendapatan orangtua p(e%r ) bulan untuk penderita TBC Paru
anak mayoritas
berpenUdsaiapaRtaesnpo<nUdeMn R Kota Semarang dengan 58,7%. Kondisi sosial ekonomi akan
memberikan
dampak a.ter1h2a-d2a5ptahteurnjadinya 6penyakit TB1C3,0 paru anak karena dengan rendahnya
b. 2 6 - 4 5 t ah u n 3 8 8 2 , 6
kondisi sosial ekonomi se b u a h k el u arga ak a n menimbul k a n berbagai masalah
seperti kecukupan keluarga dalam
c. 46-65 tahun 2
meme nuhi kebutuhan panga n di dal4,3 am kel uarga sehingga membuat anggota keluarga
tidak
meTnginkgoknast uPmensdi idmikaaknanan yang cukup gizi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
tubuhnya sehingga akan berdBaampapkak kepada imunitas tubuh dan penyakit yang akan
didapatkan anak. Sosial ekonomi yang rean. daThidajukgsaekaoklahn berjal1an beriringan2,d2engan
kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga dapat men/itnidgakkattkamanatrisiko terjadinya
penyakit termasuk penyakit TBC paru pada anak (Siregar P.A
SD
et al, 2018).
b. Tamat SD 7 15,2
c. Tamat SMP 15 32,6
d. Tamat SMA 21 45,7 3.2. Health Literacy
e. Diploma 2 4,3 Status health literacy responden dalam
f. Sarjana 0 0 penelitian ini dengan jumlah sampel 92 orang
adalah sebagai berikut:
Tingkat Pendidikan
Tabel 2. StaItbuus Health Literacy Responden
a. Tidak sekolah 1 2,2 Status
/ tidak tamat Responden Health Jumlah Persentase
SD
b. Tamat SD 4 8,7 Sangat 5 10,9%
Uc. siTa amreast pSoMndPen kurang
TBC
dari16penderita T34B,8C Kurang 23 50,0%
paru adn.akTadmidaot mSMinAasi oleh 2u2sia
26-45 ta4h7u,8n Sangat 14 30,4%
kurang
Non TBC
merupakfa.n Skarejlaonma pok usia1 yang
mem2il,i2ki mRoabtial-irtatsa
yPaendaspaantagnat tinggi sehingga adanya
Kurang 20
poO%
43,5 treannsgi Tua peurnBtuuklan terpapar kuman
Cukup 12
Mycoba c te ri u m tuberculos2i7s lebih b5e8sa,7r.
26,1% a . < U M R
Selain itu rKeaoktatifasi endogen (aktif
kembali yang Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui
telaShemaadraangdalam
tub1u9h) dapat te4rj1a,3di bahwa status health literacy, baik pada
pada ubs. ia≥UyManRg Ksoutdaah tua. Hal responden penderita TBC maupun responden
ini memicu non penderita TBC masih termasuk dalam
adanya potSeenmsiarpanegn ularan TBC paru kategori kurang. Penelitian Penaloza et al
anak di (2019) di Peru menyebutkan bahwa
rumah (Bati, 2013). meskipun hasil skoring health literacy 272
Tingkat pendidikan ibu dan bapak dari
penderita TBC paru anak mayoritas responden termasuk dalam kategori cukup,
merupakan lulusan SMA masing-masing 70% responden tidak mengetahui bahwa
dengan 45,7% dan 47,8%. Pendidikan melakukan kontak dengan pasien TBC
seseorang akan mempengaruhi sikap dan merupakan faktor risiko penularan TBC. Hal
perilaku dalam pencegahan penyakit. ini berarti bahwa pemahaman responden
Semakin tinggi pendidikan orang tua, maka
akan semakin mempermudah pemahaman

98
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,

99
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,

dalam mengakses informasi terkait penyakit


saja, tetap melakukan kontak dengan saudara
tuberkulosis belum maksimal. Hasil yang terserang kuman tuberkulosis (TBC),
penelitian lain di Klinik Dokter Keluarga serta menolak melakukan pemeriksaan ketika
Fakultas Kedokteran Indonesia Kiara ditemukan saudara / tetangga yang terserang
menunjukkan bahwa 72,6% responden kuman tuberkulosis (TBC) karena merasa
memiliki health literacy yang rendah tidak tertular kuman TBC.
(Santosa et al., 2012). Health literacy Penentuan cut off point terkait perilaku
masyarakat tentang tuberkulosis yang masih pencegahan dilakukan secara statistik
rendah memerlukan intervensi untuk menggunakan SPSS melalui uji normalitas.
meningkatkan literacy tentang tuberkulosis Data perilaku pencegahan tidak berdistribusi
normal, cut off point ditentukan
karena ketika individu memiliki health
menggunakan median.
literacy kurang akan menyebabkan individu
kurang mampu untuk memperoleh, 3.4. Hubungan antara Karakteristik
memproses dan memahami informasi Demografi, Health Literacy dan
kesehatan dasar dan layanan yang dibutuhkan Perilaku Pencegahan dengan Kasus
untuk meningkatkan status kesehatan sesuai TBC Paru Anak
dengan yang diharapkan.
Tabel 4. Hubungan antara Karakteristik
Demografi, Health Literacy dan Perilaku
3.3. Perilaku Pencegahan Orang Tua Pencegahan dengan Kasus TBC Paru Anak
terhadap TBC Paru Anak Variabel
Perilaku pencegahan orang tua terhadap TBC p value *
Paru anak dalam penelitian ini dengan jumlah Usia Responden 0,788
Tsaambeple3l. 9P2eroilraaknugPaednacelaghahs TPTiennigndkgaakptaaptt 0,844027
aenbOagrani gbeTruiakutet:rhadap aepnednoidrdaidnkigakna
tunbaaibpuaekr 0,037
TBC Paru Anak bulan
Perilaku
Responde Pencegaha Jumla Persentas HealthLiteracy 0,059
n h e Perilaku pencegahan orang
tua 0,296
Negatif 22 47,83%
TBC Positif 24 52,17% Keterangan: * chi-square test
Negatif 27 58,70%
Non TBC
Positif 19 41,30% Hasil uji bivariat menggunakan uji
chi square antara usia responden
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dengan kejadian TBC paru anak menunjukkan
diketahui bahwa perilaku pencegahan orang nilai p value sebesar 0,788 (p>0,050). Hal
tua dari responden penderita TBC masih ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
termasuk perilaku pencegahan positif hubungan antara usia responden dengan
(perilaku tidak beresiko terhadap tuberkulosis kejadian TBC paru anak. Hasil penelitian ini
paru anak) seperti memberikan makanan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
bergizi kepada anak setiap hari, membuka Kondoy et al. (2014) yang menemukan
jendela atau ventilasi sebagai pertukaran hasil bahwa tidak ada hubungan antara
udara setiap hari, rutin melakukan imunisasi umur dengan kejadian TBC paru dengan p
BCG untuk anak, mengajak anak olahraga value 0,337 (p>0,005) karena semua pasien
setiap pagi, dan menjemur alas tempat tidur TBC paru ingin sembuh dari penyakitnnya
supaya tidak lembab. Sedangkan perilaku sehingga semua responden patuh untuk
negatif (perilaku beresiko terhadap mengikuti panduan pengobatan yang
tuberkulosis paru anak) adalah melakukan diberikan meskipun membutuhkan waktu
penimbangan berat badan anak hanya ketika yang lama. Hasil penelitian ini justru
anak sakit saja, meludah di sembarang berbeda dengan penelitian yang dilakukan di
tempat, menggunakan masker di luar rumah Kota Pontianak oleh Mahfuzhah et al. (2014)
hanya ketika berkumpul di tengah kerumunan yang menyebutkan bahwa ada hubungan
orang

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember 0 Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,

antara umur dengan penderita tuberkulosis


sekolah menengah ke atas masih di bawah
paru. Penelitian lain yang dilakukan oleh 50%.
Setyaningrum et al. (2018) menunjukkan Hasil uji bivariat menggunakan uji chi
hasil bahwa terdapat pengaruh yang square antara pendapatan orang tua per bulan
signifikan antara umur, jenis kelamin dan dengan kejadian TBC paru anak
tingkat pendidikan terhadap kepatuhan menunjukkan p value sebesar 0,037
konsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (p<0,005). Hal ini dapat disimpulkan bahwa
sebagai upaya pengobatan tuberkulosis paru terdapat hubungan antara pendapatan orang
di Indonesia. Perbedaan hasil dengan tua per bulan dengan kejadian TBC paru
penelitian ini dapat disebabkan karena anak. Hasil penelitian ini sejalan dengan
responden pada penelitian ini adalah ibu penelitian yang dilakukan oleh Rusliana et al.
dengan anak yang menderita tuberkulosis, (2018) dengan hasil bahwa ada hubungan
sementara penelitian lain dilakukan kepada antara tingkat pendapatan orangtua dengan
responden dewasa yang menderita kejadian TBC paru pada anak, dibuktikan
tuberkulosis. Selain itu faktor karakteristik dengan p value sebesar 0,009 dan nilai OR =
demografi dan budaya dapat mempengaruhi 3,188 (95% CI = 1,403 – 7,241),
perilaku seseorang. Kelurahan Tanjung Mas artinya responden yang memiliki orangtua
merupakan daerah nelayan, sehingga faktor dengan penghasilan di bawah UMR
usia tidak berhubungan secara signifikan memiliki resiko 3,2 kali lebih besar untuk
dengan kejadian tuberkulosis pada penelitian terinfeksi tuberkulosis dibandingkan dengan
ini. responden yang memiliki orangtua dengan
Hasil uji bivariat menggunakan uji penghasilan lebih dari UMR. Pendapatan
chi square antara tingkat pendidikan ibu orang tua dapat
dengan menggambarkan status ekonomi keluarga.
kejadian TBC paru anak menunjukkan nilai Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
p yang dilakukan Siregar et al. (2018) yang
value sebesar 0,842 (p>0,050), sedangkan
menunjukkan bahwa anak yang memiliki
hasil uji bivariat menggunakan uji chi
square status sosial ekonomi rendah memiliki risiko
antara tingkat pendidikan bapak dengan terkena kejadian TBC paru anak sebanyak
5,51 kali lebih besar dibandingkan anak yang
kejadian TBC paru anak menunjukkan nilai p
memiliki sosial ekonomi tinggi. Kondoy et
value sebesar 0,407 (p>0,050). Hal ini dapat al. (2014) juga mengemukakan bahwa
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan penyakit TBC paru umumnya berasal dari
antara tingkat pendidikan orang tua dengan kelompok sosial ekonomi rendah serta
kejadian TBC paru anak. Hasil penelitian ini tingkat pendidikan yang rendah. Hasil
berbeda dengan penelitian yang dilakukan penelitian Azhar et al. (2013)
oleh Rusliana et al. (2018), yang menemukan memperlihatkan bahwa penderita TBC paru
hasil bahwa ada hubungan antara tingkat pada responden di Provinsi Banten, Provinsi
pendidikan orang tua dengan kejadian TBC Jakarta dan Provinsi Sulawesi Utara yang
paru pada anak, dibuktikan dengan p value memiliki sosial ekonomi rendah, rumah
sebesar 0,009 dan nilai OR = 3,579 (95% CI dengan dinding kayu dan triplek, atap
= 1,437 – 8,913), artinya responden yang anyaman bambu, lantai semen plesteran rusak
memiliki orangtua dengan tingkat dan lantai tanah. Hasil penelitian ini
pengetahuan rendah berisiko 3,6 kali lebih didukung oleh penelitian yang dilakukan
besar untuk terinfeksi tuberkulosis Mahfuzhah (2014) yang menunjukkan bahwa
dibandingkan dengn responden yang semakin rendah tingkat sosial ekonomi
memilliki orangtua dengan tingkat sebuah keluarga maka akan semakin resiko
pendidikan tinggi. Perbedaan hasil penelitian terkena penyakit TBC paru. Halim et al.
ini dikarenakan dalam penelitian sebelumnya (2015) mengemukakan bahwa status ekonomi
didapatkan hasil bahwa orang tua responden merupakan salah satu faktor yang
telah memiliki pendidikan yang tinggi yang berpengaruh terhadap kemampuan keluarga
telah menempuh Sekolah Menengah Atas untuk menyediakan kebutuhan gizi anak dan
mencapai 69%, sedangkan dalam penelitian fasilitas perumahan yang layak huni karena
ini tingkat pendidikan orang tua baik ibu tempat tinggal yang buruk atau kumuh
maupun bapak yang menduduki bangku menjadi faktor risiko terjadinya penularan
10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,

penyakit dan berbagai gangguan kesehatan.


masyarakat Tanjung Mas yang masih
Kepadatan hunian yang tinggi pada tergolong memiliki status ekonomi
umumnya terjadi kepada keluarga yang menengah ke bawah.
memiliki kondisi ekonomi yang rendah, Hasil uji bivariat menggunakan uji chi
sehingga dapat meningkatkan risiko square antara perilaku pencegahan orang tua
penularan TBC dari orang dewasa pada anak terhadap kejadian TBC Paru anak
karena anak akan lebih sering kontak dengan menunjukkan nilai p value 0,296 (p>0,005).
orang dewasa, sementara itu buruknya Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada
sanitasi lingkungan akan membuat bakteri hubungan antara perilaku pencegahan orang
Mycobactrium tuberculosis lebih mudah tua terhadap kejadian TBC paru anak. Hal ini
untuk hidup. Hal ini membuat kondisi status tidak sejalan dengan hasil penelitian yang
ekonomi keluarga yang rendah akan menjadi dilakukan oleh Astuti et al. (2019) terhadap
penyebab langsung maupun tidak langsung 82 pasien tuberkulosis dewasa berusia 20-59
terjadinya tuberkulosis khususnya pada anak tahun, dengan hasil bahwa pemberian edukasi
(Shafira et al, 2018). secara terstruktur terbukti meningkatkan
Hasil uji bivariat menggunakan uji chi pengetahuan p value 0, 001 (<0,005), sikap p
square antara healh literacy dengan kejadian value 0,001 (<0,005) dan perilaku pencegahan
TBC Paru anak menunjukkan nilai p value tuberkulosis p value 0,001 (<0,005). Perilaku
sebesar 0,059 (p>0,005). Hal ini dapat pencegahan tuberkulosis ini menjadi faktor
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan penting sebagai upaya pengembangan
antara health literacy dengan kejadian TBC intervensi dalam mengontrol penularan
paru anak. Hasil penelitian ini tidak sejalan tuberkulosis. Perbedaan hasil penelitian ini
dengan penelitian Gellert et al. (2015) yang disebabkan oleh faktor intervensi yang
menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang dilakukan. Pada penelitian ini, peneliti tidak
kuat antara health literacy yang rendah melakukan intervensi apapun terhadap
dengan penggunaan layanan kesehatan yang responden penelitian, tetapi mayoritas orang
tidak efisien dan merugikan status kesehatan. tua responden TBC [aru anak telah
Penelitian serupa juga dikemukakan oleh melakukan perilaku pencegahan positif
Maduramente et al. (2019) yang menemukan seperti memberikan makanan bergizi kepada
hasil bahwa keterbatasan health literacy anak setiap hari, membuka jendela atau
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ventilasi sebagai pertukaran udara setiap hari,
kesehatan pasien. Perbedaan hasil dengan rutin melakukan imunisasi BCG untuk anak,
penelitian sebelumnya dikarenakan adanya mengajak anak olahraga setiap pagi, dan
perbedaan karakteristik responden. Pada menjemur alas tempat tidur supaya tidak
penelitian sebelumnya, rendahnya status lembab. Hal ini dipengaruhi oleh budaya
health literacy berpengaruh terhadap bertetangga pada masyarakat di wilayah
kurangnya akses pasien terhadap fasilitas Tanjung Mas, padatnya pemukiman di
atau layanan kesehatan. Sementara dalam wilayah Tanjung Mas juga mempengaruhi
penelitian ini, rendahnya status health adanya kebiasaan yang dilakukan oleh pada
literacy terbukti tidak berhubungan terhadap orang tua penderita TBC paru anak.
kasus tuberkulosis yang menunjukkan bahwa Sementara dalam penelitian yang dilakukan
meskipun status health literacy responden oleh Astuti et al (2019) di Bogor, budaya
dalam penelitian ini rendah, penggunaan masyarakat setempat tidak terlalu
terhadap akses layanan kesehatan tergolong memperhatikan adat kebiasaan dalam
cukup tinggi. Karena masyarakat wilayah bertetangga sehingga satu sama lain
Tanjung Mas masih membudayakan cenderung acuh tak acuh. Tetapi peneliti
kebiasaan untuk selalu memeriksakan diri di melakukan intervensi dengan memberikan
Puskesmas ketika merasa dirinya sakit atau peningkatan edukasi terkait perilaku
tidak enak badan, mengingat lokasi pencegahan tuberkulosis paru. Faktor lain
Puskesmas yang sangat dekat dengan yang mempengaruhi perbedaan hasil dalam
masyarakat, biaya pengobatannya pun gratis penelitian ini adalah usia responden yang
sehingga hal ini cukup menguntungkan bagi merupakan penderita TBC paru. Pada

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,

penelitian ini, penderita TBC paru Paru pada Anak (Studi di Seluruh
merupakan anak-anak, sehingga orang tua Puskesmas
sebagai responden akan cenderung lebih
peduli terhadap kesehatan anaknya.
Sedangkan dalam penelitian Astuti et al.
(2019), penderita TBC paru merupakan
responden langsung yang berusia 20-59
tahun.
Faktor yang berkontribusi terhadap
kasus tuberkulosis paru anak di wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo adalah pendapatan
rata-rata orang tua per bulan karena dalam
penelitian ini sebagian besar responden
memiliki tingkat pendapatan yang rendah
(<UMR Kota Semarang), dan tingkat
pendapatan keluarga erat kaitannya dengan
status pemukiman yang padat, kumuh, jauh
dari standar pemukiman sehat, dan sulit
untuk memenuhi status gizi yang baik bagi
keluarga sehingga imunitas anak dalam
melawan bibit penyakit termasuk kuman
Mycobacterium tuberculosis akan rendah dan
mudah terserang penyakit tuberkulosis paru
anak.

4. Simpulan dan Saran


4.1 Simpulan
Terdapat hubungan yang bermakna
antara pendapatan rata-rata orang tua per
bulan dengan kejadian TBC Paru anak di
wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo
Semarang.

4.2 Saran
Bagi masyarakat di wilayah Puskesmas
Bandarharjo diharapkan dapat lebih
menerapkan budaya perilaku hidup bersih
dan sehat bagi keluarga masing-masing
meskipun berada pada lingkungan
pemukiman yang padat, kumuh serta rentan
dengan tingginya penularan kasus
tuberkulosis paru anak.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih kepada Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LPPM) Universitas Dian Nuswantoro yang
telah mendanai penelitian ini.

Daftar Pustaka
Apriliasari R., Hestiningsih R, Martini,
Udiyono A. (2018). Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian TB

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,
di Kabupaten Magelang). Jurnal Kes 274.
Masy, 6(1), 2356-3346. https://pdfs.semanticscholar.org/091c/
9
Astuti VW, Nursasi AY, Sukihananti. f58a507fd7a60ce14aee2e7397da7b9a2
(2019). Pulmonary
Tuberculosis
Prevention Behavior
Improvement and Structured-
Health Education in Bogor
Regency. Entermeria global.
Indonesia.
http://dx.doi.org/10.6018/eglobal.18
.2. 325821.

Azhar, K., & Perwitasari, D. (2013).


Kondisi fisik rumah dan perilaku
dengan prevalensi TB paru di
Propinsi DKI Jakarta, Banten, dan
Sulawesi Utara. Media
Litbangkes,
23(4), 172–181.

Bati HTS, Ratag BT, Umboh JML. (2013)


Analisis Hubungan Antara Kondisi
Ventilasi, Kepadatan Hunian,
kelembaban Udara, Suhu Dan
Pencahayaan Alami Rumah Dengan
kejadian Tuberkulosis Paru Di
Wilayah Kerja Puskesmas Wara
Utara Kota Palopo. Thesis. Fakultas
Kesehatan Masyarakat : Universitas
Sam Ratulangi.

Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2018).


Profil Kesehatan Kota Semarang
Tahun 2018. Semarang: Dinas
Kesehatan Kota.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.


(2018). Profil Kesehatan Jawa
Tengah Tahun 2018. Jawa Tengah:
Dinas Kesehatan Provinsi.

Ernawati N., Rahmawati F. (2016). Studi


Korelasional Pengetahuan dengan
Perilaku Ibu dalam Pencegahan TB
Paru pada Anak di Poli Anak
Rumah Sakit TK II dr. Soepraoen.
Jurnal Kes Hesti Wira Sakti, 4(2),
68-75.

Gellert, P., & Tille, F. (2015). What Do


We Know So Far? The Role of
Health Knowledge Within Theories
of Health Literacy. The European
Health Psychologist, 17(6), 266–

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,
6e.pdf?_ga=2.234445790.1557863600.
Mubarokah K, Rachmani E, Nurjanah,
1589130400-
1802008879.1589130400. Handayani S. (2021). Tuberculosis
Literacy Supports Preventive
Halim, Naning, R., & Satrio, D. B. (2015). Behaviour among Workers in
Faktor Risiko Kejadian TBC Paru pada Semarang, Indonesia. Annals of
Anak usia 1-5 Tahun di Kabupaten Tropical Medicine & Public Health
Kebumen. Jurnal Penelitian 24(1),
http://doi.org/10.36295/ASRO.2021.2
Universitas Jambi Seri Sains, 17(2),
4
26–39. 177
Handayani S, Indreswari SA, Petersen S, Mudiyono, Wahyuningsih NW., Adi MS.
Mubarokah K. (2017). Literacy of (2015). Hubungan Antara Perilaku Ibu
Tuberculosis among Male Indigenous dan Lingkungan Fisik Rumah dengan
People in Kalibening, Indonesia. Kejadian Tuberkulosis Paru Anak di
Conference: 5th AHLA International Kota Pekalongan. Jurnal Kesehatan
Health Literacy Conference At: Kuala Lingkungan Indonesia, 14(2):45-50.
Lumpur, Malaysia.
Nurhidayah, Fajriansih A, Rasimin R. (2018).
Kemenkes RI. (2016). Petunjuk Teknis Pengaruh Tingkat Kemelekan
Manajemen dan Tata Laksana TB Kesehatan (Health Literacy) terhadap
Anak. Jakarta : Direktorat Jenderal Kepatuhan Pengobatan Pasien Rawat
Pencegahan dan Pengendalian Jalan TB Paru di Puskesmas Sudiang
Penyakit. Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis 13(5), 597-603.
Kondoy, P. P., Rombot, D. V, Palandeng, H.
M., & Pakasi, T. A. (2014). Faktor- Nurmandhani, R., Lenci, A., Fitria, D.P.A.
faktor yang Berhubungan dengan (2020). Health Literacy dan Health
Kepatuhan Berobat Pasien Awareness terkait dengan Stigma
Tuberkulosis Paru di Lima Puskesmas
Tuberkulosis Petugas Puskesmas
di Kota Manado. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik, 2(1), 1–8. Bandarharjo Semarang, Jurnal
Kesehatan Masyarakat STIKES
Maduramente, T. S., Orendez, J. D., Saculo, Cendekia Utama Kudus, 8(1).
J. A., Trinidad, A. L. A., & Oducado,
R. Penaloza R, Navarro JI, Jolly P, Junkins A.
M. F. (2019). Health Literacy: (2019). Health Literacy and
Knowledge and Experience Among Knowledge Related to Tuberculosis
Senior Students in a Nursing College. Among Outpatients at a Referral
Indonesian Nursing Journal of Hospital in Lima Peru. Research and
Education & Clinic (INJEC), 4(1), 9– Reports in Tropical Medicine 10:1-
19. 10, doi:10.2147/RRTM.S189201.
http://search.ebscohost.com/login.aspx
?direct=true&db=cin20&AN=1414259 Puskesmas Bandarharjo. (2018). Data
42&site=ehost-live. Register Puskesmas Bandarharjo
Tahun 2018. Semarang : Puskesmas
Maulina, D.I., Nurjanah., Suharyo. (2015). Bndarharjo.
Health Literacy Penderita TBC di
Puskesmas Bandarharjo Kota Puspitasari RA, Saraswati LD, Hestiningsih
semarang Tahun 2015. Jurnal Visikes R. (2015). Faktor yang Berhubungan
Universitas Dian Nuswantoro. dengan Kejadian Tuberkulosis pada
Anak (Studi di Balai Kesehatan Paru
Masyarakat Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 3(1), 191-197.

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,
Santosa, K. S., Ilmu, F., Masyarakat, K.,
Pascasarjana, P., & Kesehatan, I.
(2012). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan dengan Tingkat
Kemelekan Kesehatan Pasien Di
Klinik Dokter Keluarga Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Shafira, Z., Sudarwati, S., & Alam, A.


(2018). Profil Pasien Tuberkulosis
Anak dengan Antituberculosis Drug
Induced Hepatotoxicity di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Sari Pediatri, 19(5), 290–
294.

Siregar PA, Gurning FP, Eliska, Pratama


M.Y. (2018). Analisis Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Anak di RSUD
Sibuhuan. Jurnal Berkala
Epidemiologi Universitas Airlangga
6(3):268-275, http://
10.20473/jbe.v6i32018.268-275.

Setyaningrum, R., Zubaidah, T., & Anhar, V.


Y. (2018). Correlation between
Gender, Age, Education Level, and
Working Status with Anti-
Tuberculosis Drug Uses (OATS) in
Patients with Lung TB in Indonesia
2013. Internasional Journal of
Chemical & Material Sciences,
1(1), 7-
13.https://doi.org/10.31295/ijcms.v1n1

Tukayo IJH, Hardyanti S, Madeso MS.


(2020). Faktor yang Mempengaruhi
Kepatuhan Minum Obat Anti
Tuberkulosis pada Pasien Tuberkulosis
Paru di Puskesmas Waena. Jurnal
Keperawatan Tropis Papua 3(1):145-
150.

WHO. (2014). Guidance for National


Tuberculosis Programmes on the
Management of Tuberculosis in
nd
Children 2 Ed. Geneva : WHO
Library Cataloguing-in-Publication
Data.

WHO. (2017). State of Health Inequality :


Indonesia. Geneva : WHO Report.

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Ramadhaniah, Cut Suci Aulia Nanda,
P-ISSN : 2354-5852 | E-ISSN 2579-5783 https://doi.org/10.25047/j-kes.
v9i2

Health Literacy dan Perilaku Pencegahan terhadap TBC Paru Anak di Puskesmas Bandarharjo
Fitria Dewi Puspita Anggraini1, Aprianti1, Dian Puspitaningtyas Laksana1, Fitria
Wulandari1
Fakultas Kesehatan, Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
1
Email: fitriadewi @dsn.dinus.ac.id

Abstract
Pediatric pulmonary tuberculosis cases in Semarang City in 2017 increased compared
to
2016 with 916 cases. Puskesmas Bandarharjo is the area with the highest TB sufferers in
Semarang City. The discovery of pediatric TB cases at Puskemas Bandarharjo in
2016-
2019 fluctuated up to 43 cases spread across 4 urban villages,. The high number of
tuberculosis cases in Semarang City can be caused by low health literacy. Low health
literacy will affect pulmonary tuberculosis prevention behavior so that it will increase the
number of cases of pulmonary tuberculosis. The purpose of this study is to determine the
relationship between health literacy and parental prevention behavior against cases of
pediatric pulmonary tuberculosis at Puskesmas Bandarharjo, Semarang. Primary data
collection was carried out by Puskesmas Bandarharjo cadres using a questionnaire The
questionnaire contains questions that related the demographic characteristics, 10
questions about tuberculosis prevention behavior and 15 questions regarding health
literacy. The sampling technique was consecutive sampling with a total sample of
92 people. The analysis used in this research is univariate and bivariate analysis.
Univariate analysis was carried out to provide an overview of the research variables in the
form of a percentage distribution. Bivariate analysis was performed using chi-square to
determine the relationship of each variable. There is a significant relationship
between parental income per month with the incidence of child pulmonary tuberculosis p
value 0,037 (p<0,005) and there is no significant relationship between the age of the
respondent p value 0,788 (p>0,050), the level of parental education p value 0,842 and
0,407 (p>0,050), health literacy p value 0,059 (p>0,005) and parental prevention
behavior p value 0,296 (p>0,005) towards the incidence of pediatric pulmonary
tuberculosis in Puskesmas Bandarharjo Semarang. Parental income related with the
economic status of the family which contributes to the incidence of child pulmonary
tuberculosis, because the parental income will lead to dwellings in densely populated,
slum settlements and it is difficult to meet children's nutritional needs. The factor that
influences the cases of pediatric pulmonary tuberculosis is parental income.
Keywords: Health literacy, Pediatric pulmonary tuberculosis, preventive
behaviour

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
1. Pendahuluan sebesar 65%. Padahal
Tuberkulosis (TBC) pada anak
menjadi sebuah masalah yang berbeda
dengan TBC pada orang dewasa.
Perkembangan penyakit TBC pada anak saat
ini sangatlah pesat. Setiap tahunnya
menunjukkan angka hampir 500.000 anak di
seluruh dunia menderita penyakit TBC, untuk
setiap harinya hampir 200 anak di dunia
meninggal akibat TBC dan sebanyak
70.000 anak meninggal setiap tahunnya
akibat TBC (Kemenkes RI, 2016).
Proporsi jumlah kasus TBC pada anak
diantara seluruh kasus TBC menunjukkan
jumlah persentase kasus TBC anak pada usia
kurang dari 15 tahun diantara seluruh kasus
TBC yang tercatat. Sebagian besar kasus
TBC pada anak terjadi di negara endemis
TBC. Pada tahun 2012, WHO
memperkirakan secara global ada 530.000
kasus TBC pada anak-anak (di bawah usia
15 tahun) dan
74.000 kematian TBC dan kasus TBC dengan
HIV negatif masing-masing 6% dan 8% dari
total kasus secara keseluruhan (WHO, 2014).
Tuberkulosis paru anak di Indonesia
mengalami peningkatan pada tahun 2015
sebanyak 8,49% dibanding dengan tahun
2014 sebanyak 7,10% meskipun jumlahnya
relatif rendah dibanding dengan TBC pada
dewasa (WHO, 2017). Proporsi untuk kasus
TBC pada anak diantara munculnya kasus
baru tuberkulosis yang tercatat di Jawa
Tengah pada tahun 2018 menunjukkan angka
11,16%, jumlah ini mengalami peningkatan
dibandingkan proporsi jumlah kasus TBC
anak tahun 2017 yaitu sebesar 9,80%.
Peningkatan ini menunjukkan bahwa terjadi
penularan kasus tuberkulosis paru BTA
positif kepada anak yang tergolong cukup
besar. Sebanyak 5.536 anak yang tertular
tuberkulosis paru BTA positif dewasa yang
berhasil ditemukan hingga diobati (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Kasus penemuan TBC pada anak di
Kota Semarang pada tahun 2017 mencapai
916 jumlah kasus, jumlah ini
mengalami
peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan penemuan kasus di
tahun 2016 yaitu sebesar 496 kasus.
Meskipun di tahun 2018 angka penderita
TBC paru untuk semua tipe yang ditemukan
di Kota Semarang mengalami penurunan
dengan penemuan 884 kasus, angka
kesembuhan TBC paru tahun 2017 hanya

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
di tahun 2016, angka kesembuhan TBC menderita TBC paru dan mengalami
paru mencapai 68,4%. (Dinas Kesehatan kesulitan untuk mengetahui asal mula
Kota Semarang, 2018) Puskesmas penyakit tersebut diderita oleh anaknya.
a
Bandarharjo merup kan wilayah dengan Mereka hanya mengetahui jika anak
penderita TBC tertinggi se-Kota
Semarang, baik TBC paru pada dewasa
maupun TBC paru pada anak. Penemuan
kasus TBC anak di Puskemas Bandarharjo
pada tahun 2016-2019 secara fluktuatif
mencapai 43 kasus yang tersebar di
4 kelurahan yakni Tanjungmas,
Dadapsari, Kuningan dan Bandarharjo.
Kasus TBC paru anak di Puskesmas
Bandarharjo bulan Januari-April 2020
sudah mencapai 5 kasus. (Puskesmas
Bandarharjo, 2018). Penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Maulina et al. (2015)
menunjukkan bahwa status health literacy
dari 5 orang penderita TBC paru di
wilayah Puskesmas Bandarharjo sebagai
informan utama yang merupakan sampel
penelitian memiliki health literacy yang
kurang sehingga mereka DO (Drop Out)
dalam proses pengobatan. Hasil penelitian
lain yang dilakukan oleh Nurmandhani
et al. (2020) tingkat literacy petugas
Puskesmas Bandarharjo masih tergolong
kurang (65,4%), hal ini memberikan
dampak stigma petugas terhadap
masyarakat yang menderita penyakit
tuberkulosis.
Faktor resiko terjadinya TBC paru
pada anak adalah saat adanya riwayat
kontak dengan penderita TBC paru pada
orang dewasa, tingkat pendapatan orang
tua, tingkat pendidikan orang tua, hingga
tingkat pengetahuan orang tua
(Apriliasari, 2018). Tingkat pengetahuan
ibu tentang tuberkulosis paru pada anak
akan mempengaruhi pula perilaku
pencegahan terhadap TBC paru pada anak
(Ernawati, 2016). Penelitian lain yang
dilakukan di Kota Pekalongan
menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara pengetahuan, sikap serta perilaku
ibu terhadap pencegahan TBC paru
dengan kejadian kasus TBC paru pada
anak (Mudiyono, 2015).
Anak memiliki periode tumbuh
kembang, yang masih sangat tergantung
dengan orang tua, berdasarkan survei
pendahuluan, sebagian besar health
literacy orang tua tentang tuberkulosis
masih rendah. Sebagian besar orang tua
tidak mengetahui bahwa anaknya

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
mengalami gejala demam dengan durasi agak hanya 23% responden yang memiliki tingkat
lama, kemudian mengalami batuk- literasi cukup. Mayoritas responden dalam
batuk
dalam jangka waktu yang lama. Selain itu penelitian ini (66%) mengalami kesulitan
kondisi fisik dari anak tersebut menjadi dalam mencari informasi terkait gejala,
kurus, hilangnya nafsu makan, hingga pencegahan dan upaya pengobatan untuk
kondisi anak menjadi cenderung lebih lemah. tuberkulosis, 40% responden mengaku
Padahal, jika diperhatikan bahwa penyakit kesulitan untuk memahami penjelasan dari
TBC paru pada anak bukanlah termasuk tenaga kesehatan terkait pengobatan
masalah kesehatan yang harus disepelekan tuberkulosis dan hanya 37% responden yang
melainkan merupakan masalah serius yang mengetahui cara memanfaatkan informasi
harus diperhatikan. Pencegahan sedari dini dari penyedia layanan kesehatan untuk
diharapkan mampu menekan bertambahnya mengambil keputusan dalam meningkatkan
jumlah kasus maupun kematian yang status kesehatan mereka. Penelitian lain yang
disebabkan oleh penyakit TBC paru anak. dilakukan oleh Mubarokah et al (2021)
Health literacy menjadi perhatian mengenai hubungan health literacy dan
semua orang yang terlibat dalam bidang perilaku pencegahan tuberkulosis terhadap
perawatan kesehatan. Health literacy adalah 450 orang di Kota Semarang yang terdiri dari
sejauh mana seorang individu memiliki 197 pekerja kesehatan, 64 dosen kesehatan
kapasitas untuk memperoleh, memproses dan masyarakat dan 189 guru menunjukkan hasil
memahami informasi kesehatan dasar dan bahwa 54% responden penelitian memiliki
layanan yang dibutuhkan untuk literasi TBC yang rendah dan 54,2%
meningkatkan status kesehatan sesuai dengan responden tidak memiliki perilaku
yang diharapkan. Keterampilan tentang pencegahan TBC yang baik. Uji bivariate
health literacy dibutuhkan dalam kegiatan menggunakan rank spearman test
seperti pertukaran informasi dan diskusi menunjukkan ada hubungan yang signifikan
terkait kesehatan dan dalam membaca antara literasi tuberkulosis terhadap perilaku
informasi kesehatan. pencegahan tuberkulosis p value 0,001
Di Indonesia, data mengenai health (<0,005). Penelitian yang pernah dilakukan
literacy masih sangat terbatas, meski secara kualitatif terhadap 5 informan utama
demikian terdapat fakta-fakta yang dan 3 informan cross check yang merupakan
menggambarkan kondisi yang terkait dengan penderita tuberkulosis di Puskesmas
health literacy atau tingkat kemelekan Bandarharjo menunjukkan hasil bahwa 5
kesehatan yang rendah (Nurhidayah, 2018). informan utama health literacy yang kurang
Penelitian yang dilakukan oleh Tukayo et al sehingga menyebabkan kasus DO (drop
(2020) menunjukkan hasil bahwa tingkat out/default). Hal tersebut dapat dilihat dari
pengetahuan (p value = 0,043) dan sikap akses terhadap pencarian informasi yang
pasien (p value = 0,014) berpengaruh secara masih rendah, pemahaman tentang informasi
signifikan terhadap kepatuhan pengobatan yang diberikan belum lengkap, masih
dalam mengupayakan kesembuhan terhadap kurangnya petugas dalam pemberian
tuberkulosis. Penelitian lain yang dilakukan informasi kepada informan dan kurang
oleh Kondoy et al (2014) terkait kesadaran maksimalnya dalam penemuan kasus DO
pasien dalam pengobatan tuberkulosis serta tidak adanya penerapan dalam perilaku
menunjukkan hasil bahwa tingkat informan untuk penyembuhan membuktikan
pengetahuan berpengaruh secara signifikan bahwa health literacy informan masih rendah
dalam kepatuhan pengobatan pasien. (Maulina et al, 2015). Tingkat pendidikan
Penelitian yang dilakukan oleh Handayani merupakan landasan seseorang dalam berbuat
et al (2017) terhadap 166 responden di sesuatu, membuat lebih mengerti dan
wilayah pedesaan Indonesia menunjukkan memahami, atau menerima dan menolak
hasil bahwa tingkat literasi kesehatan sesuatu. Tingkat pendidikan juga
responden sebanyak 38% termasuk dalam memungkinkan perbedaan pengetahuan dan
kategori sangat kurang, 39% termasuk dalam pengambilan keputusan dalam kapasitas
kategori kurang dan

10
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas

pasien untuk memperoleh, memproses dan kasus TBC paru anak (usia 0-14 tahun yang
memahami informasi kesehatan dasar dan
layanan yang dibutuhkan untuk
meningkatkan status kesehatan sesuai
dengan yang diharapkan.
Rendahnya pendidikan seseorang sangat
mempengaruhi daya serap seseorang dalam
menerima informasi sehingga dapat
mempengaruhi tingkat pemahaman tentang
penyakit TBC paru, cara pengobatan, dan
bahaya akibat minum obat tidak teratur.
Tingginya angka kasus tuberkulosis di Kota
Semarang dapat disebabkan oleh rendahnya
health literacy, baik dari petugas kesehatan
maupun dari pasien tuberkulosis yang
berobat. Berdasarkan paparan di atas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan health literacy
danperilaku pencegahan orang
tua terhadap kasus
tuberkulosis paru anak di Puskesmas
Bandarharjo Semarang.

2. Metode
Penelitian ini termasuk penelitian
observasional analitik menggunakan
rancangan penelitian case control, dengan
variabel dependent adalah kasus TBC paru
anak. Penelitian ini akan mengukur tiga
variabel input yaitu demografi responden,
health literacy dan perilaku pencegahan
tuberkulosis yang nantinya akan dikaitkan
dengan kasus TBC paru pada anak.

2.1 Metode Pengumpulan Data


Pengambilan data primer dilakukan
dengan melibatkan tenaga kader
Puskesmas
Bandarharjo menggunakan kuesioner yang
berisi 5 item pertanyaan untuk
mengidentifkasi karakteristik demografi
responden, 10 item pertanyaan untuk
mengidentifikasi perilaku pencegahan orang
tua dan 15 item pertanyaan untuk
menganalisis status health literacy. Sebelum
pelaksanaan wawancara, responden
dijelaskan terlebih dahulu mengenai tujuan
diadakannya penelitian dan panduan
pengisian inform consent. Pelaksanaan
wawancara akan didokumentasikan untuk
memastikan akurasi dan kevalidan proses
pengambilan data.
Sampel dalam penelitian ini
menggunakan sampel kasus dan sampel
kontrol. Sampel kasus diambil dari seluruh
11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
didiagnosis secara klinis berdasarkan hasil
rontgen dan uji tuberkulin menderita TBC
paru) di Puskesmas Bandarharjo dari
tahun 2016-2020 (Januari-April). Sampel
kontrol dalam penelitian ini adalah anak
usia 0-14 tahun yang anak yang
berdasarkan diagnosis secara klinis (dari
hasil rontgen dan uji tuberkulin) tidak
menderita TBC paru dan bertempat
tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Bandarharjo. Teknik pengambilan sampel
dengan cara consecutive sampling, yaitu
semua subyek yang ada dan memenuhi
kriteria pemilihan dimasukkan dalam
penelitian sampai jumlah subyek yang
diperlukan terpenuhi. Sampel minimal
untuk kasus dan kontrol dengan
perbandingan 1 : 1, dengan jumlah kasus
sebanyak 46 orang dan jumlah kontrol
sebanyak 46 orang sehingga jumlah
seluruh sampel adalah 92 orang.
Lokasi penelitian dilakukan di
wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo
Semarang yang teridiri dari 4 kelurahan
yakni Kuningan, Dadapsari, Bandarharjo,
dan Tanjung Mas.
Prosedur pengambilan data primer
telah mengikuti kaidah layak etik sesuai
protokol dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan (KEPK) Universitas
Muhammadiyah Semarang dengan No.
479/KEPK- FKM/UNIMUS/2021.

2.2 Metode Analisis Data


Data yang terkumpul kemudian
dilakukan pengolahan data melalui proses
entri data, editing, koding, dan tabulasi.
Analisis yang digunakan pada penelitian
ini adalah analisis univariat dan bivariat.
Analisis univariat dilakukan untuk
memberikan gambaran variabel penelitian
dalam bentuk distribusi frekuensi.
Analisis bivariat dilakukan menggunakan
chi-square untuk mengetahui hubungan
masing-masing variabel.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Karakteristik Responden
Karakteristik demografi responden
dalam penelitian ini dengann jumlah
sampel 92 orang adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Karakteristik Responden

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas

akan seKmaarkaikntemriesmtikpermudFarhepkeumenashi amPaenrsoernatnagsteua mengenai status


kesehatan (Puspitasari, 2015).
RataR-reastpaonpdendapatan orangtua per (%bu)lan untuk penderita TBC Paru anak
mayoritas
berpenUdaspiaaRtaensp<oUndMenR Kota Semarang dengan 58,7%. Kondisi sosial ekonomi akan
memberikan dampak at.erh12a-d2a5ptatheurnjadinya enyakit TB1C3,0paru anak karena dengan
b . 2 6- 4 5 ta h un 3 8 8 2 ,6
rendahnya kondisi sosial ekonomi s eb u a h k e l arga aka n menimbulk a n berbagai
masalah seperti kecukupan keluarga dalam
c. 46-65 tahun 2 4,3
memenuhi kebutuhan pangan di dalam keluarga sehingga membuat anggota keluarga
tidak
menTgiknogknastuPmesnidimdiakkananan yang cukup gizi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
tubuhnya sehingga akan berdBaamppakak kepada imunitas tubuh dan penyakit yang akan
didapatkan anak. Sosial ekonomi yang rena.daThidjaukgasekaoklaanh berjala1n beriringan2,d2engan
kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga dapat meni/ntigdkaaktktaamnart isiko terjadinya
penyakit termasuk penyakit TBC paru pada anak (Siregar P.A
SD
et al, 2018).
b. Tamat SD 7 15,2
c. Tamat SMP 15 32,6
d. Tamat SMA 21 45,7 3.2. Health Literacy
e. Diploma 2 4,3 Status health literacy responden dalam
f. Sarjana 0 0 penelitian ini dengan jumlah sampel 92 orang
adalah sebagai berikut:
Tingkat Pendidikan
Tabel 2. StatIubsuHealth Literacy Responden
a. Tidak sekolah 1 2,2 Status
/ tidak tamat Responden Health Jumlah Persentase
SD
Ubs. iaTarmesapt oSnDden dari4 penderita T8B,7C Sangat 5 10,9%
paru acn.akTdamidaotmSMinPasi oleh 1u6sia 26-45 ta3h4u,8n kurang
dengand. 8T2,a6m%at. SKMeAlompok 2u2sia 26-45 ta4h7,u8n Kurang 23 50,0%
TBC Cukup 18 39,1%
e . D ip l o m a
merupak a n k e l o m pok usia yang 2 Sangat 14 30,4%
mem4il,i3ki mobilitasf. yaSnagrjasnaangat
tinggi1sehingga ada2n,2ya
poRtaetna-sriata Penudnatpuaktan terpapar kuman kurang
Non TBC
MOyrcaonbgaTcutearpiuemr Bultaunberculosis Kurang 20 43,5%
lebih besar. Selain iat.u <rUeaMktRifasi Cukup 12 26,1%
endoge2n7 (aktif kem5b8,a7li
yang telah Kaodtaa dalam tubuh) dapat terjadi Berdasarkan tabel 2 di atas dapat
diketahui
pada usiaSeymaanrgansgudah tua.19Hal ini bahwa status health literacy, baik pada
mem41i,c3u adanyab. po≥tUenMsRi pKeontua laran responden penderita TBC maupun responden
TBC paru anak di rumah (BatSie, m20ar1a3n)g. non penderita TBC masih termasuk dalam
Tingkat pendidikan ibu dan bapak dari kategori kurang. Penelitian Penaloza et al
penderita TBC paru anak mayoritas (2019) di Peru menyebutkan bahwa
merupakan lulusan SMA masing-masing
dengan 45,7% dan 47,8%. Pendidikan meskipun hasil skoring health literacy 272
seseorang akan mempengaruhi sikap dan responden termasuk dalam kategori cukup,
perilaku dalam pencegahan penyakit. 70% responden tidak mengetahui bahwa
Semakin tinggi pendidikan orang tua, maka melakukan kontak dengan pasien TBC

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
merupakan faktor risiko penularan TBC. Hal
sembarang tempat, menggunakan masker di
ini berarti bahwa pemahaman responden
luar rumah hanya ketika berkumpul di tengah
dalam mengakses informasi terkait penyakit kerumunan orang saja, tetap melakukan
tuberkulosis belum maksimal. Hasil kontak dengan saudara yang terserang kuman
penelitian lain di Klinik Dokter Keluarga tuberkulosis (TBC), serta menolak
Fakultas Kedokteran Indonesia Kiara melakukan pemeriksaan ketika ditemukan
menunjukkan bahwa 72,6% responden saudara / tetangga yang terserang kuman
memiliki health literacy yang rendah tuberkulosis (TBC) karena merasa tidak
(Santosa et al., 2012). Health literacy tertular kuman TBC.
masyarakat tentang tuberkulosis yang masih Penentuan cut off point terkait perilaku
rendah memerlukan intervensi untuk pencegahan dilakukan secara statistik
menggunakan SPSS melalui uji
meningkatkan literacy tentang tuberkulosis normalitas.
karena ketika individu memiliki health Data perilaku pencegahan tidak berdistribusi
literacy kurang akan menyebabkan individu normal, cut off point ditentukan
kurang mampu untuk memperoleh, menggunakan median.
memproses dan memahami informasi
kesehatan dasar dan layanan yang dibutuhkan 3.4. Hubungan antara Karakteristik
untuk meningkatkan status kesehatan sesuai Demografi, Health Literacy dan
dengan yang diharapkan. Perilaku Pencegahan dengan Kasus
TBC Paru Anak

3.3. Perilaku Pencegahan Orang Tua Tabel 4. Hubungan antara Karakteristik


terhadap TBC Paru Anak Demografi, Health Literacy dan Perilaku
Perilaku pencegahan orang tua Pencegahan dengan Kasus T BC Paru Anak
terhadap TBC Paru anak dalam penelitian ini Variabel p value*
dengan jumlah sampel 92 orang adalah
sebagai berikut: Usia Responden 0,788
Tingkat pendidikan ibu 0,842
Tabel 3. Perilaku Pencegahan Orang Tua terhadap Tingkat pendidikan bapak 0,407
TBC Paru Anak Pendapatan orang tua per 0,037
bulan
Responde Perilaku Jumla Persentas HealthLiteracy 0,059
n Pencegaha h e Perilaku pencegahan orang
0,296
Negatif 22 47,83% tua
T BC Positif 24 52,17% Keterangan: * chi-square test
Negatif 27 58,70%
Non TBC Positif 19 41,30% Hasil uji bivariat menggunakan uji chi
square antara usia responden dengan
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui kejadian TBC paru anak menunjukkan nilai
bahwa perilaku pencegahan orang tua dari p
responden penderita TBC masih termasuk value sebesar 0,788 (p>0,050). Hal ini dapat
perilaku pencegahan positif (perilaku tidak disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
beresiko terhadap tuberkulosis paru anak) antara usia responden dengan kejadian TBC
paru anak. Hasil penelitian ini sejalan dengan
seperti memberikan makanan bergizi
penelitian yang dilakukan oleh Kondoy et al.
kepada anak setiap hari, membuka jendela
(2014) yang menemukan hasil bahwa tidak
atau ventilasi sebagai pertukaran udara setiap ada hubungan antara umur dengan kejadian
hari, rutin melakukan imunisasi BCG untuk
TBC paru dengan p value 0,337 (p>0,005)
anak, mengajak anak olahraga setiap pagi, dan karena semua pasien TBC paru ingin sembuh
menjemur alas tempat tidur supaya tidak
dari penyakitnnya sehingga semua responden
lembab. Sedangkan perilaku negatif (perilaku
patuh untuk mengikuti panduan pengobatan
beresiko terhadap tuberkulosis paru anak)
yang diberikan meskipun membutuhkan
adalah melakukan penimbangan berat badan
waktu yang lama. Hasil penelitian ini justru
anak hanya ketika anak sakit saja, meludah di
berbeda dengan penelitian yang dilakukan di

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
Kota Pontianak oleh Mahfuzhah et al. (2014) ini tingkat pendidikan orang tua baik ibu
yang menyebutkan bahwa ada hubungan maupun bapak yang menduduki bangku
antara umur dengan penderita tuberkulosis sekolah menengah ke atas masih di bawah
paru. Penelitian lain yang dilakukan oleh 50%.
Setyaningrum et al. (2018) menunjukkan Hasil uji bivariat menggunakan uji chi
hasil bahwa terdapat pengaruh yang square antara pendapatan orang tua per bulan
signifikan antara umur, jenis kelamin dan dengan kejadian TBC paru anak
tingkat pendidikan terhadap kepatuhan menunjukkan p value sebesar 0,037
konsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (p<0,005). Hal ini dapat disimpulkan bahwa
sebagai upaya pengobatan tuberkulosis paru terdapat hubungan antara pendapatan orang
di Indonesia. Perbedaan hasil dengan tua per bulan dengan kejadian TBC paru
penelitian ini dapat disebabkan karena anak. Hasil penelitian ini sejalan dengan
responden pada penelitian ini adalah ibu penelitian yang dilakukan oleh Rusliana et al.
dengan anak yang menderita tuberkulosis, (2018) dengan hasil bahwa ada hubungan
sementara penelitian lain dilakukan kepada antara tingkat pendapatan orangtua dengan
responden dewasa yang menderita kejadian TBC paru pada anak, dibuktikan
tuberkulosis. Selain itu faktor karakteristik dengan p value sebesar 0,009 dan nilai OR =
demografi dan budaya dapat mempengaruhi 3,188 (95% CI = 1,403 – 7,241),
perilaku seseorang. Kelurahan Tanjung Mas artinya responden yang memiliki orangtua
merupakan daerah nelayan, sehingga faktor dengan penghasilan di bawah UMR memiliki
usia tidak berhubungan secara signifikan resiko 3,2 kali lebih besar untuk terinfeksi
dengan kejadian tuberkulosis pada penelitian tuberkulosis dibandingkan dengan responden
ini. yang memiliki orangtua dengan penghasilan
Hasil uji bivariat menggunakan uji chi lebih dari UMR. Pendapatan orang tua dapat
square antara tingkat pendidikan ibu dengan menggambarkan status ekonomi keluarga.
kejadian TBC paru anak menunjukkan nilai p Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
value sebesar 0,842 (p>0,050), sedangkan yang dilakukan Siregar et al. (2018) yang
hasil uji bivariat menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa anak yang memiliki
antara tingkat pendidikan bapak dengan status sosial ekonomi rendah memiliki risiko
kejadian TBC paru anak menunjukkan nilai p terkena kejadian TBC paru anak sebanyak
value sebesar 0,407 (p>0,050). Hal ini dapat 5,51 kali lebih besar dibandingkan anak yang
memiliki sosial ekonomi tinggi. Kondoy et
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
al. (2014) juga mengemukakan bahwa
antara tingkat pendidikan orang tua dengan
penyakit TBC paru umumnya berasal dari
kejadian TBC paru anak. Hasil penelitian ini
kelompok sosial ekonomi rendah serta
berbeda dengan penelitian yang dilakukan
tingkat pendidikan yang rendah. Hasil
oleh Rusliana et al. (2018), yang menemukan
penelitian Azhar et al. (2013)
hasil bahwa ada hubungan antara tingkat
memperlihatkan bahwa penderita TBC paru
pendidikan orang tua dengan kejadian TBC
pada responden di Provinsi Banten, Provinsi
paru pada anak, dibuktikan dengan p value
Jakarta dan Provinsi Sulawesi Utara yang
sebesar 0,009 dan nilai OR = 3,579 (95% CI
memiliki sosial ekonomi rendah, rumah
= 1,437 – 8,913), artinya responden yang
memiliki orangtua dengan tingkat dengan dinding kayu dan triplek, atap
pengetahuan rendah berisiko 3,6 kali lebih anyaman bambu, lantai semen plesteran rusak
besar untuk terinfeksi tuberkulosis dan lantai tanah. Hasil penelitian ini
dibandingkan dengn responden yang didukung oleh penelitian yang dilakukan
memilliki orangtua dengan tingkat Mahfuzhah (2014) yang menunjukkan bahwa
pendidikan tinggi. Perbedaan hasil penelitian semakin rendah tingkat sosial ekonomi
ini dikarenakan dalam penelitian sebelumnya sebuah keluarga maka akan semakin resiko
didapatkan hasil bahwa orang tua responden terkena penyakit TBC paru. Halim et al.
telah memiliki pendidikan yang tinggi yang (2015) mengemukakan bahwa status ekonomi
telah menempuh Sekolah Menengah Atas merupakan salah satu faktor yang
mencapai 69%, sedangkan dalam penelitian berpengaruh terhadap kemampuan keluarga
untuk menyediakan kebutuhan gizi

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
anak dan fasilitas perumahan yang layak huni
masyarakat, biaya pengobatannya pun gratis
karena tempat tinggal yang buruk atau kumuh
sehingga hal ini cukup menguntungkan bagi
menjadi faktor risiko terjadinya penularan
masyarakat Tanjung Mas yang masih
penyakit dan berbagai gangguan kesehatan.
tergolong memiliki status ekonomi
Kepadatan hunian yang tinggi pada
menengah ke bawah.
umumnya terjadi kepada keluarga yang
Hasil uji bivariat menggunakan uji
memiliki kondisi ekonomi yang rendah,
chi square antara perilaku pencegahan orang
sehingga dapat meningkatkan risiko tua terhadap kejadian TBC Paru
penularan TBC dari orang dewasa pada anak anak menunjukkan nilai p value 0,296
karena anak akan lebih sering kontak dengan (p>0,005). Hal ini dapat disimpulkan bahwa
orang dewasa, sementara itu buruknya tidak ada hubungan antara perilaku
sanitasi lingkungan akan membuat bakteri pencegahan orang
Mycobactrium tuberculosis lebih mudah tua terhadap kejadian TBC paru anak. Hal ini
untuk hidup. Hal ini membuat kondisi status tidak sejalan dengan hasil penelitian yang
ekonomi keluarga yang rendah akan menjadi dilakukan oleh Astuti et al. (2019) terhadap
penyebab langsung maupun tidak langsung 82 pasien tuberkulosis dewasa berusia 20-59
terjadinya tuberkulosis khususnya pada anak tahun, dengan hasil bahwa pemberian edukasi
(Shafira et al, 2018). secara terstruktur terbukti meningkatkan
Hasil uji bivariat menggunakan uji chi pengetahuan p value 0, 001 (<0,005), sikap p
square antara healh literacy dengan kejadian value 0,001 (<0,005) dan perilaku pencegahan
TBC Paru anak menunjukkan nilai p value tuberkulosis p value 0,001 (<0,005). Perilaku
sebesar 0,059 (p>0,005). Hal ini dapat pencegahan tuberkulosis ini menjadi faktor
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan penting sebagai upaya pengembangan
antara health literacy dengan kejadian TBC intervensi dalam mengontrol penularan
paru anak. Hasil penelitian ini tidak sejalan tuberkulosis. Perbedaan hasil penelitian ini
dengan penelitian Gellert et al. (2015) yang disebabkan oleh faktor intervensi yang
menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang dilakukan. Pada penelitian ini, peneliti tidak
kuat antara health literacy yang rendah melakukan intervensi apapun terhadap
dengan penggunaan layanan kesehatan yang responden penelitian, tetapi mayoritas orang
tidak efisien dan merugikan status kesehatan. tua responden TBC [aru anak telah
Penelitian serupa juga dikemukakan oleh melakukan perilaku pencegahan positif
Maduramente et al. (2019) yang menemukan seperti memberikan makanan bergizi kepada
hasil bahwa keterbatasan health literacy anak setiap hari, membuka jendela atau
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ventilasi sebagai pertukaran udara setiap hari,
kesehatan pasien. Perbedaan hasil dengan rutin melakukan imunisasi BCG untuk anak,
penelitian sebelumnya dikarenakan adanya mengajak anak olahraga setiap pagi, dan
perbedaan karakteristik responden. Pada menjemur alas tempat tidur supaya tidak
penelitian sebelumnya, rendahnya status lembab. Hal ini dipengaruhi oleh budaya
health literacy berpengaruh terhadap bertetangga pada masyarakat di wilayah
kurangnya akses pasien terhadap fasilitas Tanjung Mas, padatnya pemukiman di
atau layanan kesehatan. Sementara dalam wilayah Tanjung Mas juga mempengaruhi
penelitian ini, rendahnya status health adanya kebiasaan yang dilakukan oleh pada
literacy terbukti tidak berhubungan terhadap orang tua penderita TBC paru anak.
kasus tuberkulosis yang menunjukkan bahwa Sementara dalam penelitian yang dilakukan
meskipun status health literacy responden oleh Astuti et al (2019) di Bogor, budaya
dalam penelitian ini rendah, penggunaan masyarakat setempat tidak terlalu
terhadap akses layanan kesehatan tergolong memperhatikan adat kebiasaan dalam
cukup tinggi. Karena masyarakat wilayah bertetangga sehingga satu sama lain
Tanjung Mas masih membudayakan cenderung acuh tak acuh. Tetapi peneliti
kebiasaan untuk selalu memeriksakan diri di melakukan intervensi dengan memberikan
Puskesmas ketika merasa dirinya sakit atau peningkatan edukasi terkait perilaku
tidak enak badan, mengingat lokasi pencegahan tuberkulosis paru. Faktor lain
Puskesmas yang sangat dekat dengan yang mempengaruhi perbedaan hasil dalam
penelitian ini adalah usia responden yang

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
merupakan penderita TBC paru. Pada Udiyono A. (2018). Faktor yang
penelitian ini, penderita TBC paru
merupakan anak-anak, sehingga orang tua
sebagai responden akan cenderung lebih
peduli terhadap kesehatan anaknya.
Sedangkan dalam penelitian Astuti et
al.
(2019), penderita TBC paru merupakan
responden langsung yang berusia 20-59
tahun.
Faktor yang berkontribusi terhadap
kasus tuberkulosis paru anak di wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo adalah pendapatan
rata-rata orang tua per bulan karena dalam
penelitian ini sebagian besar responden
memiliki tingkat pendapatan yang rendah
(<UMR Kota Semarang), dan tingkat
pendapatan keluarga erat kaitannya dengan
status pemukiman yang padat, kumuh, jauh
dari standar pemukiman sehat, dan sulit
untuk memenuhi status gizi yang baik bagi
keluarga sehingga imunitas anak dalam
melawan bibit penyakit termasuk kuman
Mycobacterium tuberculosis akan rendah dan
mudah terserang penyakit tuberkulosis paru
anak.

4. Simpulan dan Saran


4.1 Simpulan
Terdapat hubungan yang bermakna
antara pendapatan rata-rata orang tua per
bulan dengan kejadian TBC Paru anak di
wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo
Semarang.

4.2 Saran
Bagi masyarakat di wilayah Puskesmas
Bandarharjo diharapkan dapat lebih
menerapkan budaya perilaku hidup bersih
dan sehat bagi keluarga masing-masing
meskipun berada pada lingkungan
pemukiman yang padat, kumuh serta rentan
dengan tingginya penularan kasus
tuberkulosis paru anak.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih kepada Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LPPM) Universitas Dian Nuswantoro yang
telah mendanai penelitian ini.

Daftar Pustaka
Apriliasari R., Hestiningsih R, Martini,

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
Berhubungan dengan Kejadian TB Health Knowledge Within Theories of
Paru pada Anak (Studi di Seluruh Health Literacy. The European Health
Puskesmas di Kabupaten
Magelang). Jurnal Kes Masy, 6(1),
2356-3346.

Astuti VW, Nursasi AY, Sukihananti.


(2019). Pulmonary
Tuberculosis
Prevention Behavior
Improvement and Structured-
Health Education in Bogor
Regency. Entermeria global.
Indonesia.
http://dx.doi.org/10.6018/eglobal.18
.2. 325821.

Azhar, K., & Perwitasari, D. (2013).


Kondisi fisik rumah dan perilaku
dengan prevalensi TB paru di
Propinsi DKI Jakarta, Banten, dan
Sulawesi Utara. Media Litbangkes,
23(4), 172–181.

Bati HTS, Ratag BT, Umboh JML. (2013)


Analisis Hubungan Antara Kondisi
Ventilasi, Kepadatan Hunian,
kelembaban Udara, Suhu Dan
Pencahayaan Alami Rumah Dengan
kejadian Tuberkulosis Paru Di
Wilayah Kerja Puskesmas Wara
Utara Kota Palopo. Thesis. Fakultas
Kesehatan Masyarakat : Universitas
Sam Ratulangi.

Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2018).


Profil Kesehatan Kota Semarang
Tahun 2018. Semarang: Dinas
Kesehatan Kota.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.


(2018). Profil Kesehatan Jawa
Tengah Tahun 2018. Jawa Tengah:
Dinas Kesehatan Provinsi.

Ernawati N., Rahmawati F. (2016). Studi


Korelasional Pengetahuan dengan
Perilaku Ibu dalam Pencegahan TB
Paru pada Anak di Poli Anak
Rumah Sakit TK II dr. Soepraoen.
Jurnal Kes Hesti Wira Sakti, 4(2),
68-75.

Gellert, P., & Tille, F. (2015). What Do


We Know So Far? The Role of

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas
Psychologist, 17(6), 266–274.
Tahun 2015. Jurnal Visikes Universitas
https://pdfs.semanticscholar.org/091c/9
Dian Nuswantoro.
f58a507fd7a60ce14aee2e7397da7b9a2
6e.pdf?_ga=2.234445790.1557863600.
Mubarokah K, Rachmani E, Nurjanah,
1589130400-
Handayani S. (2021). Tuberculosis
1802008879.1589130400.
Literacy Supports Preventive
Halim, Naning, R., & Satrio, D. B. (2015). Behaviour among Workers in
Faktor Risiko Kejadian TBC Paru pada Semarang, Indonesia. Annals of
Anak usia 1-5 Tahun di Kabupaten Tropical Medicine & Public Health
Kebumen. Jurnal Penelitian 24(1),
http://doi.org/10.36295/ASRO.2021.2
Universitas Jambi Seri Sains, 17(2), 4
26–39. 177
Handayani S, Indreswari SA, Petersen S, Mudiyono, Wahyuningsih NW., Adi MS.
Mubarokah K. (2017). Literacy of (2015). Hubungan Antara Perilaku Ibu
Tuberculosis among Male Indigenous dan Lingkungan Fisik Rumah dengan
People in Kalibening, Indonesia. Kejadian Tuberkulosis Paru Anak di
Conference: 5th AHLA International Kota Pekalongan. Jurnal Kesehatan
Health Literacy Conference At: Kuala Lingkungan Indonesia, 14(2):45-50.
Lumpur, Malaysia.
Nurhidayah, Fajriansih A, Rasimin R. (2018).
Kemenkes RI. (2016). Petunjuk Teknis Pengaruh Tingkat Kemelekan
Manajemen dan Tata Laksana TB Kesehatan (Health Literacy) terhadap
Anak. Jakarta : Direktorat Jenderal Kepatuhan Pengobatan Pasien Rawat
Pencegahan dan Pengendalian Jalan TB Paru di Puskesmas Sudiang
Penyakit. Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis 13(5), 597-603.
Kondoy, P. P., Rombot, D. V, Palandeng, H.
M., & Pakasi, T. A. (2014). Faktor- Nurmandhani, R., Lenci, A., Fitria, D.P.A.
faktor yang Berhubungan dengan (2020). Health Literacy dan Health
Kepatuhan Berobat Pasien Awareness terkait dengan Stigma
Tuberkulosis Paru di Lima Puskesmas Tuberkulosis Petugas Puskesmas
di Kota Manado. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik, 2(1), 1–8.
Bandarharjo Semarang, Jurnal
Kesehatan Masyarakat STIKES
Maduramente, T. S., Orendez, J. D., Saculo, Cendekia Utama Kudus, 8(1).
J. A., Trinidad, A. L. A., & Oducado,
R. Penaloza R, Navarro JI, Jolly P, Junkins A.
M. F. (2019). Health Literacy: (2019). Health Literacy and
Knowledge and Experience Among Knowledge Related to Tuberculosis
Senior Students in a Nursing College. Among Outpatients at a Referral
Indonesian Nursing Journal of Hospital in Lima Peru. Research and
Education & Clinic (INJEC), 4(1), 9– Reports in Tropical Medicine 10:1-
19. 10, doi:10.2147/RRTM.S189201.
http://search.ebscohost.com/login.aspx
?direct=true&db=cin20&AN=1414259
Puskesmas Bandarharjo. (2018). Data
42&site=ehost-live.
Register Puskesmas Bandarharjo
Maulina, D.I., Nurjanah., Suharyo. (2015). Tahun 2018. Semarang : Puskesmas
Health Literacy Penderita TBC di Bndarharjo.
Puskesmas Bandarharjo Kota
semarang Puspitasari RA, Saraswati LD, Hestiningsih
R. (2015). Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Tuberkulosis pada

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas

Anak (Studi di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat,
3(1), 191-197.

Santosa, K. S., Ilmu, F., Masyarakat, K., Pascasarjana, P., & Kesehatan, I. (2012). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan dengan Tingkat Kemelekan Kesehatan Pasien Di Klinik Dokter Keluarga Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Shafira, Z., Sudarwati, S., & Alam, A. (2018). Profil Pasien Tuberkulosis Anak dengan
Antituberculosis Drug Induced Hepatotoxicity di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Sari Pediatri, 19(5), 290–294.

Siregar PA, Gurning FP, Eliska, Pratama


M.Y. (2018). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Anak di
RSUD Sibuhuan. Jurnal Berkala Epidemiologi Universitas Airlangga 6(3):268-275, http://
10.20473/jbe.v6i32018.268-275.

Setyaningrum, R., Zubaidah, T., & Anhar, V.


Y. (2018). Correlation between Gender, Age, Education Level, and Working Status with
Anti- Tuberculosis Drug Uses (OATS) in Patients with Lung TB in Indonesia 2013.
Internasional
Journal of Chemical & Material Sciences, 1(1), 7-
13.https://doi.org/10.31295/ijcms.v1n1

Tukayo IJH, Hardyanti S, Madeso MS. (2020). Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum
Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Waena. Jurnal
Keperawatan Tropis Papua 3(1):145- 150.

WHO. (2014). Guidance for National Tuberculosis Programmes on the Management of


Tuberculosis in Children 2nd Ed. Geneva : WHO Library Cataloguing-in-
Publication Data.

11
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Fitria Dewi Puspita Anggraini, Aprianti, Dian Puspitaningtyas

https://jurkes.polije.ac.id Vol. 9 No. 2 Agustus 2021


Hal 72-80
P-ISSN : 2354-5852 | E-ISSN 2579-5783 https://doi.org/10.25047/j-
kes. v9i2

ungan Antara Profil Dermatoglifi Mahasiswa Penderita Asma dengan Indeks Prestasi Mahasiswa (
Yenni Zulhamidah1, Kencono Viyati1,2, Kinasih Prayuni2, Etty Widayanti1, Endang Purwaningsih1, Restu Samsul Hadi1,3,
Mirfat1
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, DKI Jakarta, Indonesia1
ga Penelitian Terpadu, Universitas YARSI, DKI Jakarta, Indonesia2 Pusat Penelitian Sel Punca, Lembaga Penelitian Terpadu, Universitas YARSI,

Abstract
Asthma is a respiratory disease caused by narrowing of the bronchial
tubes,
causing shortness of breath. Asthma is a multi-factorial disorder resulting from a
combination of genetic and environmental factors. Asthma impact on productivity
because most of patients experiencing symptoms that affect their daily lives.
Dermatoglyphs, patterns of skin ridges, are derived from the hypodermal neural
system and formed embryologically between the 10th and 17th weeks. Student
productivity can be measured by the Grade Point Average (GPA). In this study we
determine the dermatoglyphic profile and the relationship between asthma and
student‟s GPA. Dermatoglyphic prints were obtained from both hands of 57
students with asthma and 28 students without asthma. The frequency of GPA and
finger patters calculated directly using Excel sheet. The association of GPA,
student finger patterns and asthma calculated using Chi-Square. The results
showed that the distribution of finger patterns among students with asthma is 38%
whorl, 4% arch and 59% loop, whereas the finger patterns among students without
asthma is 32% whorl, 7% arch and 61% loop. These data show that the finger
pattern of the most asthmatic students is whorl compared to students without
asthma. There are no significant association between the finger patterns with
asthma. Students with asthma is relatively lower in GPA (<3) than students without
asthma. Further analysis showed that students with lower GPA (< 3) significantly
associated with asthma. Based on present study, it showed that the student
productivity is low in student with asthma than student without asthma. However,
there are no significant different between GPA of students with asthma and
students without asthma. Moreover, our findings cannot be generalized as our
study had a small sample size. Hence, more elaborate studies with larger samples
with student‟s relatives data worth to be done to get conclusive answers on whether
dermatoglyphics can be used to predict productivity of student with asthma
based on their GPA.
Keywords: Asthma, Dermatoglyphic, Grade Point Average
(GPA)

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal
Author(s) : Yenni Zulhamidah, Kencono Viyati, Kinasih Prayuni, Etty Widayanti,
Endang Purwaningsih, Restu Samsul Hadi, Mirfat
1. Pendahuluan
pertahun (Oemiati, Sihombing, Qomariah.
Asma merupakan penyakit pernapasan
2010).
kronik yang ditandai dengan berulangnya
Dermatoglifi merupakan pola yang
batuk, mengi (wheezing) episodik dan
terbentuk pada kulit luar, berasal dari sistem
kesulitan bernafas akibat penyumbatan
neural hipodermal dan terbentuk pada masa
saluran napas (Departemen Kesehatan RI,
embrio minggu ke 10 sampai minggu ke 17.
2009). Menurut World Health Organization
Seperti ciri fisik lainnya pada manusia,
(WHO), pada tahun 2016 terdapat sekitar 339 dermatoglifi juga dipengaruhi oleh gen dan
juta orang menderita asma secara global. lingkungan (Xue, Han dan Zhou, 2013).
WHO juga mengestimasikan terdapat Secara genetik pola dermatolifi ditentukan
417.918 kematian karena asma secara global dan kemungkinan suplai darah dan suplai
pada tahun 2016 (Vos et al., 2017). saraf juga memodulasi pola dermatoglifi.
Kebanyakan kasus asma yang disertai Pada masa sekarang, pola dermatoglifi telah
kematian terdapat pada negara miskin dan banyak dipakai sebagai diagnosis klinik pada
berkembang. beberapa penyakit yang berhubungan dengan
Jumlah penderita asma di Indonesia, kromosom dan kerusakan pertumbuhan
sebagai negara berkembang, termasuk seperti mongolism, sindrom turner, penyakit
yang kardiovaskular dan schizoprenia (Mahajan
cukup besar, Berdasarkan data WHO Non and Gour, 2011). Pola utama yang
Communicable Disease di Asia diidentifikasi dalam studi dermatoglifi adalah
Tenggara diperkirakan bahwa 1,4 juta orang pola lengkungan (arches), lingkaran (whorls),
meninggal dunia karena penyakit paru kronik dan loops (Ho et al., 2016). Namun
dengan presentase 86% disebabkan karena demikian, belum banyak studi yang
penyakit paru obstruktif kronik dan 7,8% menghubungkan antara pola dermatoglifi
disebabkan karena asma. Berdasarkan data dengan penyakit asma. Hanya beberapa
Departemen Kesehatan RI, terdapat 235 juta penelitian yang menunjukkan hubungan
orang menderita asma di dunia, 80% berada antara pola dermatoglifi yang membantu
di negara dengan pendapatan rendah dan dalam memprediksi terjadinya penyakit
menengah, termasuk Indonesia (Departemen asma
Kesehatan RI, 2009). (Gupta & Prakash, 2003; Pakhale et al.,
Asma dapat menyebabkan 2012; Sahana et al., 2016; Deepa et al.,
terganggunya pemenuhan kebutuhan dan 2020). Data di Indonesia juga menunjukkan
menurunkan produktivitas penderitanya. belum adanya data terkait pola hubungan
Dalam sebuah studi ditemukan bahwa dari dermatoglifi dengan penyakit asma. Oleh
3.207 kasus yang diteliti, penderita yang karena itu penelitian ini dilakukan untuk
mengaku mengalami keterbatasan dalam menilai hubungan antara pola dermatoglifi
berekreasi atau olahraga sebanyak 52,7%, 44- dengan asma.
51% mengalami batuk malam dalam sebulan Produktivitas mahasiswa dapat diukur
terakhir, keterbatasan dalam aktivitas fisik melalui indeks prestasi kumulatif (IPK). IPK
sebanyak 44,1%, keterbatasan dalam aktivitas merupakan angka yang menunjukkan prestasi
sosial sebanyak 37% dan keterbatasan dalam atau kemajuan belajar mahasiswa secara
cara hidup sebanyak 37,1%. Bahkan kumulatif mulai dari semester pertama
sampai dengan semester paling akhir yang
penderita yang mengaku mengalami
telah ditempuh (Wicaksono, 2012).
keterbatasan dalam melakukan pekerjaan
Produktivitas mahasiswa yang memiliki
rumah tangga sebanyak 32,6%. 28,3%
penyakit asma mungkin akan berbeda
mengaku terganggu tidurnya minimal sekali dengan mahasiswa yang tidak memiliki
dalam seminggu dan 26,5% orang dewasa penyakit asma. Hal tersebut dapat diukur
juga absen dari pekerjaannya. Selain itu biaya dengan melihat IPK mahasiswa.
pengobatan untuk asma sangat tinggi dengan Berdasarkan Buku
pengeluaran terbesar untuk ruang emergensi Panduan Akademik Mahasiswa YARSI tahun
dan perawatan di rumah sakit. Biaya 2018, IPK mahasiswa dapat dibagi menjadi
pengobatan untuk asma diperkirakan beberapa kategori yaitu Cukup (rentang IPK
mencapai sekitar 15 juta

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal
https://jurkes.polije.ac.id Vol. 9 No. 2 Agustus 2021 Hal 72-
80
P-ISSN : 2354-5852 | E-ISSN 2579-5783 https://doi.org/10.25047/j-kes. v9i2
2-2.75), Memuaskan (rentang IPK 2.76- (dikatakan sebagai kelompok kasus) dan
3.00), Sangat Memuaskan (rentang IPK 3.01 kelompok yang tidak menderita asma dan
– 3.5) dan Dengan Pujian (cumlaude) (IPK >
alergi sebanyak 28 orang (dikatakan
3.5) (Universitas YARSI, 2018).
Relevansi dermatoglifi bukanlah untuk kelompok kontrol). Data diambil dari setiap
diagnosis, tetapi untuk prognosis, tidak untuk subjek dengan terlebih dahulu mengisi inform
mendefinisikan penyakit yang ada, tetapi consent dan kuesioner. Penelitian ini telah
untuk identifikasi orang dengan predisposisi lolos uji etik dari Komisi Etik Universitas
genetik untuk perkembangan penyakit YARSI.
tertentu. Oleh karena itu, jika ada hubungan Pengambilan data dalam penelitian ini
yang bermakna antara pola dermatoglifi dan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
penyakit asma dapat menjadi prosedur 1. Pencatatan data mahasiswa yang akan di
ambil pola dermatoglifinya, yaitu nomer
penyaringan yang efektif untuk
induk mahasiswa, umur, jenis kelamin,
mengidentifikasi populasi berisiko sehingga
dan nilai indeks kumulatif (IPK) pada
membantu kita untuk berjaga-jaga untuk mahasiswa FK YARSI angkatan 2013.
gejala awal terhadap indiviu-individu ini. 2. Permukaan telapak tangan mahasiswa
Apabila pemeriksaan pola dermatolifi dicuci bersih dengan sabun, dibilas
dilakukan pada awal penerimaan mahasiswa dengan air dan dikeringkan dengan kain
baru diharapkan dapat memperkirakan bersih.
apakah ada pengaruh produktivitas 3. Pengambilan sampel pola jari tangan
mahasiswa tersebut kedepannya apabila mahasiswa dengan menggunakan tinta
mahasiswa tersebut penderita asma. hitam yang dioleskan menggunakan
Berdasarkan pemaparan di atas maka cotton swab dan secara perlahan-lahan
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ditekan ke kertas putih yang di tempelkan
hubungan antara profil dermatoglifi pada pada papan (Anitha et al., 2014).
mahasiswa penderita asma dengan IPK yang
diraih oleh mahasiswa angkatan 2013 2.2 Metode Analisis Data
Universitas YARSI. Analisis dermatoglifi dilakukan oleh
anatomist dan menghitung pola lengkungan
2. Metode (arches), lingkaran (whorls), dan loops yang
Penelitian ini merupakan penelitian terdapat pada kertas cetak dermatoglifi. Dari
kuantitatif deskriptif dengan pendekatan hasil hitungan pola tersebut akan dihitung
cross sectional, di mana pengumpulan data frekuensi masing-masing pola pada
dilakukan pada saat tertentu. Pengambilan mahasiswa penderita asma dan yang bukan
data dilakukan pada bulan Januari – Februari asma.
2017. Analisis statistik yang digunakan
adalah chi-square (χ2) untuk melihat
2.1 Metode Pengumpulan Data hubungan profil dermatoglifi mahasiswa
Subyek penelitian merupakan penderita asma dengan IPK. Nilai < 0.05
mahasiswa angkatan 2013 Fakultas dikatakan signifikan dengan tingkat
Kedokteran Universitas YARSI. Mahasiswa kepercayaan 95%.
angkatan 2013 kami pilih karena sebagian
besar mereka telah menyelesaikan 3. Hasil dan Pembahasan
perkuliahan sarjana di FK YARSI, sebelum Penelitian tentang asma termasuk
masuk ke perkuliahan profesi, sehingga data penelitian yang banyak dilakukan karena
IPK total dapat kami kumpulkan untuk asma merupakan salah satu Non
penelitian. Total subyek penelitian sebanyak Communicable Disease yang dapat
83 orang yang terbagi ke dalam dua menurunkan produktivitas penderitanya
kelompok, yaitu kelompok mahasiswa (Departemen Kesehatan RI, 2009). Namun
yang demikian penelitian terkait pola dermatoglifi,
menderita asma dan alergi sebanyak 55 orang penyakit asma dan IPK mahasiswa belum

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal
Author(s) : Yenni Zulhamidah, Kencono Viyati, Kinasih Prayuni, Etty Widayanti,
Endang Purwaningsih, Restu Samsul Hadi, Mirfat
banyak dilakukan. Oleh karena itu dalam
kelompok yang kami buat tersebut, kami
penelitian ini kami akan melihat pola
mengelompokkan mahasiswa dengan kinerja
dermatoglifi pada mahasiswa penderita asma
dan produktivitas yang baik memiliki IPK ≥
yang akan dikaitkan juga dengan IPK 3. Tabel 1 memperlihatkan jumlah dan
mahasiswa tersebut. frekuensi dari masing-masing kelompok IPK
Indeks prestasi kumulatif (IPK) yang pada mahasiswa dengan asma dan tanpa
di data dari mahasiswa dikelompokkan asma.
menjadi empat kelompok, yaitu IPK
2.26-
2.49, 2.5-
2.99, 3-3.49, dan 3.5-4.
Berdasarkan
Tabel 1. Distribusi Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Mahasiswa dengan asma dan tanpa asma
Asma (n = Frekuensi Tidak Asma Frekuensi
IPK 55) (%) (n=28) (%) p OR ( 9 5 % C I )
2.26-
2.49 5 9 1 4 0.43 2.7(0.3-24.3)
2.5-2.99 13 24 5 18 0.59 1.4(0.45-4.49)
3-3.49 21 38 13 46 0.49 0.71(0.28-1.78)
3.5-3.96 16 29 9 32 0.8 0.86(0.32-3.21)
Berdasarkan perhitungan frekuensi
diketahui bahwa mahasiswa penderita asma
pada kelompok IPK 2.26-2.49 dan 2.5-2.99
lebih tinggi dibandingkan pada kelompok
kontrol yang tidak asma. Pada kelompok IPK
3-3.49 dn 3.5-4 diketahui bahwa frekuensi
mahasiswa penderita asma lebih rendah di
bandingkan kelompok kontrol. Hal ini dapat
terlihat dengan jelas pada Gambar 1.
Penelitian dari Krenitsky-Korn (2011),
menunjukkan bahwa siswa dengan asma Gambar 1. Profil Indeks Prestasi Kumulatif
lebih sering absen, mendapat nilai lebih (IPK)
rendah dalam matematika, dan berpartisipasi antara mahasiswa penderita asma dan
lebih sedikit dalam kegiatan sekolah bukan penderita asma
dibandingkan teman-teman mereka yang Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh
tidak asma (Krenitsky-Korn, 2011). Lundholm et al. (2020) yang menemukan
Penelitian lain dari Gruffydd-Jones dkk asosiasi lemah terkait penyakit asma secara
(2019) menunjukkan bahwa hampir ¾ umum dengan kinerja yang lebih baik pada
responden penelitian melaporkan dampak siswa di Swedia yang berusia 15-16 tahun.
asma pada produktivitas mereka. Responden Namun demikian penelitian ini juga
pada penelitian tersebut menyoroti menunjukkan bahwa anak-anak dengan
bagaimana gejala pernapasan mempengaruhi penyakit asma yang parah dan tidak
mereka. Kelelahan, kelemahan dan terkontrol menunjukkan kinerja sekolah yang
ketegangan mental juga diidentifikasi buruk di bandingkan anak-anak tanpa asma
responden sebagai faktor yang menurunkan dan diketahui bertambah buruk pada anak-
produktivitas kerja (Gruffydd- Jones et al., anak asma dengan orang tua yang tingkat
2019).
pendidikannya rendah.
Dalam penelitian ini didapatkan hasil
yang serupa dengan penelitian sebelumnya
bahwa asma menurunkan produktivitas
mahasiswa yang ditunjukkan dengan nilai
IPK. Mahasiswa dengan asma cenderung
memiliki IPK lebih rendah dibandingkan

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal
https://jurkes.polije.ac.id Vol. 9 No. 2 Agustus 2021 Hal 72-
80
P-ISSN : 2354-5852 | E-ISSN 2579-5783 https://doi.org/10.25047/j-kes. v9i2
dengan mahasiswa tanpa asma. Indeks Selain itu berdasarkan perhitungan
prestasi kumulatif (IPK) merupakan angka statistik (Tabel 1), tidak ada perbedaan
yang menunjukkan prestasi atau kemajuan bermakna antara IPK yang diraih mahasiswa
belajar mahasiswa secara kumulatif mulai dengan asma dan mahasiswa tanpa asma
dari semester pertama sampai dengan pada seluruh kelompok IPK. Hal ini
semester paling akhir yang telah ditempuh menandakan bahwa mahasiswa dengan asma
dan dapat menjadi patokan dalam mengukur tidak mempengaruhi prestasi belajar
produktivitas mahasiwa di kampus akademik mahasiswa. Hal ini kemungkinan
(Wicaksono, 2012). Namun demikian besar karena pengaruh sampel yang sedikit,
kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan
menggali lebih jauh penyebab penurunan dengan sampel yang lebih banyak sehingga
produktivitas mahasiswa tersebut, apakah didapatkan data yang komprehensif.
karena kelelahan, banyaknya absen di kelas,
tingkat pendidikan orang tua atau faktor yang
lainnya.
Tabel 2. Distribusi pola dermatoglifi pada mahasiswa dengan asma dan tanpa asma
Total Pola Total Pola
Pola Dermatoglifi Sampel Sampel Tidak p OR (95% CI)
Asma Asma

Whorl 173 38 84 32 0.17 1.26(0.92-1.74)


Arch 17 4 18 7 0.07 0.51(0.26-1.02)
Loop 270 59 158 61 0.63 0.92(0.67-1.25)
Pola dermatoglifi yang
dikumpulkan dari mahasiswa terdiri dari
lengkungan (arches), lingkaran (whorls), dan
loops. Pola tersebut merupakan pola yang
umumnya digunakan dalam identifikasi
dermatoglifi (Ho et al., 2016). Tabel 2
merangkum jumlah dan distribusi frekuensi
pola dermatoglifi yang ditemukan pada
mahasiswa asma dan tanpa asma yang
menjadi subjek dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi
diketahui bahwa tipe whorl ditemukan lebih Gambar 2. Profil dermatoglifi pada
tinggi pada mahasiswa dengan asma yaitu mahasiswa penderita asma dan bukan
sebesar 38% dibandingkan dengan kelompok penderita asma
mahasiswa tanpa asma yaitu sebesar 32%.
Pola arch dan loop ditemukan lebih rendah Hasil yang diperoleh dalam
pada mahasiswa dengan asma (4% dan 58% penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
secara berurutan) dibandingkan dengan dilakukan oleh Gupta & Prakash (2003) yang
mahasiswa tanpa asma (7% dan 61% secara menyatakan bahwa frekuensi pola whorl
berurutan). Gambar 2 mempresentasikan data ditemukan jauh lebih tinggi pada penderita
frekuensi tersebut dengan lebih jelas. asma dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Selain itu hal ini juga diperkuat oleh
Phakale et al. (2012) yang menemukan
bahwa pola whorl ditemukan lebih banyak
pada pasien asma dibangingkan kontrol. Pola
arch dan loop ditemukan lebih rendah pada

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal penderita asma dibandingkan dengan
kelompok kontrol

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal
Author(s) : Yenni Zulhamidah, Kencono Viyati, Kinasih Prayuni, Etty Widayanti,
Endang Purwaningsih, Restu Samsul Hadi, Mirfat
(Gupta and Prakash, 2003). Penelitian lain
digunakan sebagai prosedur skrining untuk
dari Phakale et al. (2012) dan Sahana et al.
mengetahui produksifitas dan kinerja
(2016) juga menemukan bahwa pola arch
mahasiswa selama masa perkuliahan.
ditemukan lebih rendah pada penderita asma
Kelengkapan data seperti data keluarga
dibandingkan pada kontrol yang tidak asma.
apakah juga memiliki penyakit asma juga
Penelitian terbaru dari Deepa et al. (2020)
berlu dielaborasi untuk mendapatkan
mendukung hasil penelitian kami dan
gambaran komprehensif mahasiswa yang
penelitian sebelumnya bahwa pola whorl
memiliki kecenderungan genetik penyakit
merupakan gambaran konstan pada semua
asma dari keluarganya.
pasien asma dan frekuensi arch berkurang
pada pasien asma bila dibandingkan dengan
kontrol. Namun demikian dalam penelitian
ini tidak ditemukan perbedaan bermakna
pada pola dermatoglifi dengan asma (Tabel
2). Hal ini dapat terjadi karena sampel yang
mungkin masih terlalu sedikit sehingga tidak
dapat memberikan gambawan yang
komprehensif. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian lanjutan dengan
pengumpulan sampel yang lebih besar untuk
melihat hubungan antara pola dermatoglifi
dengan penderita asma.
Tabel 3 menunjukkan hubungan dari
ketiga variabel yang digunakan dalam
penelitian ini. Pada tabel 3 terlihat bahwa
pola whorl memiliki hubungan yang sangat
bermakna dengan IPK kategori rendah
(rentang 2.26 – 2.49; 2.50-2.99) dan
mahasiswa dengan asma. Pada kategori IPK
baik yaitu rentang 3-3.49 juga ditemukan
hubungan bermakna sedangkan IPK kategori
tinggi di atas 3.5 tidak memiliki hubungan
bermakna. Berdasarkan hasil tersebut dapat
diketahui bahwa total pola whorl ditemukan
jauh lebih tinggi pada mahasiswa asma
dibandingkan pada mahasiswa tidak asma,
yang memperkuat hasil sebelumnya pada
tabel 2. Pada pola arch ditemukan hubungan
bermakna pada rentang IPK 3-3.49
sedangkan pada pola loop ditemukan
hubungan bermakna pada rentang IPK 2.5-
2.99. Berdasarkan hasil yang ditemukan pada
penelitian ini, kami dapat menyimpulkan
sementara bahwa pola whorl ada hubungan
bermakna dengan penderita asma dengan IPK
yang rendah. Namun demikian penelitian ini
tidak dapat digeneralisasi karena penelitian
ini memiliki jumlah sampel yang kecil. Oleh
karena itu penelitian lanjutan dengan sampel
yang lebih besar dan data yang lebih lengkap
perlu dilakukan untuk mendapatkan jawaban
konklusif tentang apakah dermatoglifi dapat

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
https://jurkes.polije.ac.id Jurnal Vol. 9 No. 2 Agustus 2021 Hal 72-
80
P-ISSN : 2354-5852 | E-ISSN 2579-5783 https://doi.org/10.25047/j-kes. v9i2

Pola Total Pola Total Pola


Der ifi IPK
matogl Sampel Frekuensi Fre(%)
kuensi
(%) Sampel Tidak p OR (95% CI)
Asma Asma
2,26-
2,49 5 0 0 0.000053 NA
25
2,0-
25 5 31 12 0.0023 0.4245(0.2448-0.7363)
Whorl
3,0-
3,9 88 19 32 12 0.02 1.69(1.0889-2.609)
3,50-
3,96 35 8 21 8 0.88 0.94(0.5334-1.647)
2,26-
2,49 0 0 0 0 1 NA
2,50-
2 0 2 1 0.62 0.56(0.0789-4.023)
2,99
Arch 3,00- 1 11 4 0.019 0.29(0.1093-0.8186)
6
3,49
3,50- 5
3,96 9 2 2 1 1.02(0.3374-3.0696)
2,26- 15 3 10 4 0.83 0.84(0.373-1.9038)
2,49
2,50-
63 14 17 7 0.043 2.27(1.297-3.967)
2,99
Loop 3,00-
106 23 67 26 0.42 0.86(0.6062-1.2272)
3,49
3,50-
86 19 64 25 0.07 0.7042(0.488-1.0163)
3,96
Tabel 3. Distribusi pola dermatoglifi dan IPK
pada mahasiswa asma dan tanpa asma
4. Simpulan dan Saran
5. Pola whorl memliki hubungan bermakna
4.1 Simpulan
1. Mahasiswa penderita asma pada dengan mahasiswa yang memiliki
kelompok IPK 2.26-2.49 dan 2.5-2.99 rentang IPK rendah (< 3.0) pada
memiliki frekuensi yang lebih tinggi penderita asma dibandingkan dengan
dibandingkan pada kelompok kontrol kontrol.
yang tidak asma sedangkan mahasiswa
penderita asma pada kelompok IPK 3- 4.2 Saran
3.49 dn 3.5-4 memiliki frekuensi yang Penelitian lanjutan perlu dilakukan
lebih rendah di bandingkan kelompok dengan jumlah sampel subjek penelitian yang
kontrol. lebih besar (kami sarankan > 100 individu
2. Tidak ada perbedaan bermakna antara pada kelompok kontrol dan kasus). Selain itu
IPK dengan asma yang ditemukan parameter dan data pendukung yang lebih
dalam penelitian ini. lengkap terkait dengan hal-hal yang
3. Pola dermatoglifi whorl ditemukan lebih mempengaruhi produktivitas mahahasiswa
tinggi pada penderita asma dengan asma perlu dielaborasi dalam
dibandingkan dengan pola arch dan penelitian selanjutnya seperti data absensi
loop, yang ditemukan lebih tinggi dari mahasiswa, data penderita asma di keluarga,
kelompok kontrol. data tingkat pendidikan orang tua dan
4. Tidak ada perbedaan bermakna antara sebagainya. Selain itu saran dari kami, perlu
pola dermatoglifi dengan asma. juga melihat korelasi faktor genetik terhadap
pola dermatoglifi pada penderita asma,

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal
Author(s) : Yenni Zulhamidah, Kencono Viyati, Kinasih Prayuni, Etty Widayanti,
Endang Purwaningsih, Restu Samsul Hadi, Mirfat
sehingga didapatkan penelitian yang lebih
komprehensif. Krenitsky-Korn S. (2011). High school
students with asthma: attitudes about
Ucapan Terima Kasih
school health, absenteeism, and its
Terima kasih kepada Yayasan YARSI
dan Universitas YARSI yang telah impact on academic achievement.
memberikan pendanaan melalui Hibah Pediatr Nurs, 37(2), 61–68.
Internal Universitas.
Daftar Pustaka Lundholm C, Brew BK, D'Onofrio BM,
Anitha C, Konde S, Raj NS, Kumar NC, Osvald EC, Larsson H, Almqvist C.
Peethamber P. (2014). Dermatoglyphics: (2020). Asthma and subsequent school
a genetic marker of early childhood performance at age 15–16 years: A
caries. Journal of Indian Society of Swedish population-based sibling control
Pedodontics and Preventive Dentistry, study. Scientific Reports, 10, 7661. doi:
32(3), 220–224. https://doi.org/10.1038/s41598-020-
64633-w.
Deepa TK, Ranjith S, Sampson U, Fysal N,
Suhail N, Ansari AW, Jithesh TK. (2020). Mahajan AA. dan Gour K. (2011).
Study of Palmar Angles as a Dermatoglyphic Dermatoglyphic patterns in patients of
Feature in Bronchial Asthma. Scholars bronchial asthma a qualitative study. Int J
International Journal of Anatomy and Biol Med Res, 2(3), 806–807.
Physiology, 3 (1), 1-7. doi:
10.36348/sijap.2020.v03i01.001. Pakhale AV, Borole AS, Doshi MA,
More VP. (2012). Study of the fingertip
Departemen Kesehatan RI. (2009). pattern as a tool for the identification of
Pedoman the dermatoglyphic trait in bronchial
Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta. asthma. Journal of Clinical and
Diagnostic Research, 6(8), 1397-1400.
Gruffydd-Jones K, Thomas M, Roman- doi: 10.7860/JCDR/2012/4734.2368.
Rodriguez M, Infantino A, FitzGerald
JM, Pavord I, Haddon JM, Elsasser U, Sahana BN, Bannur BM, Patil BG,
Vogelberg C. (2019). Asthma impacts on Hadimani GA, Jose AP. (2016).
workplace productivity in employed Dermatoglyphic pattern in patients with
patients who are symptomatic despite bronchial asthma : A qualitative and
background therapy: A multinational quantitative study. International Journal
survey. Journal of Asthma and Allergy, of Healthcare and Biomedical Research,
12, 183–194. doi: 10.2147/JAA.S204278. 5(1), 68-72.

Gupta UK, Prakash S. (2003). Universitas YARSI. (2018). Buku Panduan


Dermatoglyphics: a study of finger tip Akademik Mahasiswa. Jakarta.
patterns in bronchial asthma and its
genetic disposition. Kathmandu Univ Vos T, Abajobir AA, Abbafati C, Abbas KM,
Med J (KUMJ), 1(4), 267–271. Abate KH, Abd-Allah F, Abdulle AM,
Abebo TA, Abera SF, Aboyans V, dkk.
Ho YYW, Evans DM, Montgomery G, (2017). Global, regional, and national
Henders AK, Kemp JP, Timpson NJ, St. incidence, prevalence, and years lived
Pourcain B, Heath AC, Madden PAF, with disability for 328 diseases and
Loesch DZ, McNevin D, Daniel R, injuries for 195 countries, 1990-2016: A
Davey-Smith G, Martin NG, Medland systematic analysis for the Global Burden
SE. (2016). Genetic variant influence on of Disease Study 2016. The Lancet,
whorls in fingerprint patterns. Journal 390(10100), 1211–1259. doi:
of Invest Dermatol, 136(4), 859–862. 10.1016/S0140-6736(17)32154-2.
doi:
10.1016/j.jid.2015.10.062.Genetic.

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021
Jurnal
https://jurkes.polije.ac.id Vol. 9 No. 2 Agustus 2021 Hal 72-
80
P-ISSN : 2354-5852 | E-ISSN 2579-5783 https://doi.org/10.25047/j-kes. v9i2
Wicaksono A. (2012). Hubungan Antara Xue W, Han W, Zhou ZS. (2013). ADAM33
Indeks Prestasi Kumulatif dan Nilai Uji polymorphisms are associated with
Kompetensi Dokter Indonesia pada asthma and a distinctive palm
Dokter Lulusan Universitas Tanjungpura. dermatoglyphic pattern.
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, 7(1), 664– Molecular Medicine Reports, 8(6),
674. doi: 10.26418/jvip.v7i1.335. 1795–1800. doi:
10.3892/mmr.2013.1733.

1
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 9 No. 2 Agustus 2021

Anda mungkin juga menyukai