Anda di halaman 1dari 17

1

MODUL PERKULIAHAN

P322130003
PAJAK INTERNASIONAL

Tax Treaty Provision-1 :


Beneficial Owner

Abstrak Sub-CPMK 3

Modul ini membahas tentang Diharapkan mahasiswa mampu


tax treaty provision I: Beneficial menjelaskan dan memahami tax treaty
Owner, Certificate of Domicile, provision I: Beneficial Owner, Certificate of
dan Limitation on Benefit Domicile, dan Limitation on Benefit Article
Article

Latar Belakang
Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh

05
Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Fakutas Ekonom dan Bisnis Akuntansi
Bervariasinya manfaat P3B antar negara mendorong investor menyalahgunakan
(abuse) perjanjian untuk mendapatkan manfaat ataupun intensif yang paling
menguntungkan (Hutagaol, 2007). Perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum apabila semata-mata dilakukan untuk menghindari pajak melalui
manfaat-manfaat P3B yang bertentangan dengan tujuan dibentuknya P3B itu sendiri.
Upaya penyalahgunaan P3B ini disebut treaty shopping. Treaty shopping
merupakan suatu skema untuk mendapatkan manfaat P3B yang dilakukan oleh pihak
yang seharusnya tidak berhak. Penghindaran pajak melalui treaty shopping terjadi karena
lemahnya peraturan yang ada dalam P3B, sehingga menimbulkan celah yang dapat
dimanfaatkan oleh oknum yang tidak berhak atas manfaat-manfaat P3B, misalnya
mendapatkan tarif pajak yang lebih rendah dari tarif yang seharusnya dikenakan oleh
negara sumber penghasilan.
Langkah antisipasi yang banyak dilakukan adalah melalui penerapan konsep
beneficial owner. Beneficial owner disepakati sebagai satu-satunya pihak yang berhak
untuk mendapatkan manfaat P3B.

Konsep Beneficial Owner


A. Definisi beneficial ownwer
Istilah beneficial ownwer dilihat dari sejarahnya terdapat dalam konteks hukum
status tanah di UK. Dalam common law, terminologi kepemilikan terbagi menjadi dua,
yaitu kepemilikan secara hukum (legal ownership) dan kepemilikan secara faktual
(beneficial ownership). Dalam common law dijelaskan bahwa definisi beneficial owner
adalah pihak yang memenuhi kriteria sebagai pemilik tanpa adanya keharusan
pengakuan kepemilikan dari sudut pandang hukum. Konsep ini digunakan dalam secara
internasional dalam OECD Model Tax Convention tahun 1977.
Dalam konteks pajak internasional, konsep beneficial owner pertama kali
ditemukan dalam protokol P3B UK dan Amerika Serikat tahun 1966, yaitu dalam nota
penjelasan terhadap protokol.
“Relief from tax on dividends, interest and royalties (...) in the country of origin will
no longer depend on whether the recipient is subject to tax in the other country, but
will depend on income being beneficially owned by a resident of the other country.”
Nota penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa pembebasan pajak atas penghasilan
berupa dividen, bunga, dan royalti di negara sumber penghasilan tidak lagi didasarkan
atas persyaratan bahwa penerima penghasilan tersebut dikenakan pajak di negaranya

2021 Nama Mata Kuliah dari Modul


2 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
(subject to tax). Namun, terkait dengan persyaratan apakah penghasilan tersebut dimiliki
oleh beneficial owner yang merupakan subjek pajak dalam negeri di negara domisili.
Konsep beneficial owner sangat penting dalam upayanya untuk memberikan
batasan yang jelas tentang pihak yang dianggap sebagai penerima fasilitas tarif pajak
yang lebih rendah di negara sumber atas penghasilan dividen, bunga dan royalti. Ada
beberapa pendapat mengenai beneficial owner dan beneficial ownership:
1 Vogel (2007), beneficial owner adalah mereka yang memiliki hak untuk
menentukan apakah suatu modal atau kekayaan harus dimanfaatkan bagi orang
lain atau menentukan bagaimana hasil dari modal atau kekayaan itu
dimanfaatkan.
2 Herman LJ yang dikutip oleh Meyer (2010), beneficial owner adalah kepemilikan
yang tidak hanya sebatas tedaftar secara hukum sebagai pemilik, melainkan
memiliki hak untuk mengambil keputusan akan apa yang akan dilakukan terhadap
benda yang dikuasai itu.
3 Olivier, Libin, Weeghel , dan Toit (2000) menyatakan bahwa konsep beneficial
owner merupakan ketentuan yang penting dalam menentukan apakah suatu
subjek pajak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif
pajak atas penghasilan royalti, dividen, dan bunga. 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beneficial owner adalah pihak yang memiliki
hak untuk menikmati suatu kekayaan dan hasil yang timbul dari kekayaan itu, dapat
dengan dengan bebas menggunakan kekayaan yang dikuasainya, memiliki kontrol, dan
menanggung resiko atas kekayaan yang dikuasainya tanpa perlu adanya pengakuan
secara legal.
Konsep beneficial owner bertujuan untuk menentukan keterkaitan antara
penghasilan dividen, bunga dan royalti yang timbul di negara sumber dan subjek pajak
di negara lain yang berhak untuk menikmati fasilitas penurunan tarif yang disediakan oleh
P3B.  Dengan demikian, konsep beneficial owner memiliki peranan penting dalam
mengartikan pihak yang berhak menggunakan fasilitas penurunan tarif dalam tax
treatyagar tidak disalahgunakan (Tobing,2013).

B. Nomineee, Agent, dan Conduit


Salah satu ciri dari adanya kegiatan treaty shopping adalah adanya agent,
nomineee atau conduit. Dalam International Tax Glossary yang dikutip oleh Hutagaol
(2007), nomineee dan agent diartikan sebagai pihak yang menguasai harta untuk pihak
lain yang merupakan beneficial owner dari harta tersebut. Sedangkan conduit
didefinisikan sebagai suatu badan yang didirikan berkaitan dengan skema penghindaran
2021 Nama Mata Kuliah dari Modul
3 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
pajak (Meyer, 2010).
P3B dapat disalahgunakan subjek pajak dalam negeri di negara ketiga yang
bukan merupakan pihak P3B dengan cara menempatkan nominee atau agent, yaitu pihak
yang bertindak atas nama orang lain di salah satu negara yang mengadakan P3B
(Darussalam dan Ngantung, 2017).
Ada dua bentuk dasar conduit company, yaitu direct conduit dan stepping stone
conduit (Yoshimura, 2013). Direct conduit adalah conduit company yang dikuasai melalui
penguasaan langsung dalam bentuk kepemilikan saham atas conduit company.
Sedangkan stepping stone conduit adalah conduit company yang dikuasai bukan melalui
kepemilikan saham atas conduit company umumnya melalui kewajiban tertentu, misalnya
melalui hutang, convertible bonds, ataupun melalui penguasaan saham, namun bukan
sebagai pemilik mayoritas yang dapat dilakukan melalui share holders agreement
ataupun saham preferen.

C. Beneficial Owner dalam P3B


Definisi pasti mengenai beneficial owner hingga saat ini sebenarnya masih belum jelas.
Ketidakjelasan tersebut disebabkan oleh konsep beneficial owner tidak diberikan
definisinya dalam pasal-pasal OECD Model dan hanya dijelaskan secara terbatas dalam
OECD Commentary dan OECD Conduit Companies Report tahun 1986 (Demin et al.,
2019). Berikut perinciannya:
 Dalam OECD Model, konsep beneficial owner pertama kali diperkenalkan dalam
Model 1977, yaitu pada Pasal 10 mengenai Dividen, Pasal 11 mengenai Bunga,
dan Pasal 12 mengenai Royalti. Namun, konsep tersebut tidak didefinisikan lebih
lanjut dalam OECD Model, melainkan hanya terdapat suatu penjelasan singkat
dalam Commentaries yang menyatakan bahwa agents dan nominees bukan
merupakan beneficial owners.
 Pembahasan mengenai ketentuan beneficial owner sebagaimana digunakan pada
Model 1977 dilakukan lebih lanjut ketika OECD dengan mempublikasikan Conduit
Company Report pada tahun 1986. Dalam paragraf 14b Conduit Company
Report dijelaskan bahwa perusahaan conduit pada umumnya tidak dapat
dianggap sebagai beneficial owner. Adanya penjelasan tersebut memperlihatkan
bahwa Conduit Company Report telah memperluas makna daripada beneficial
owner. Yaitu, pihak yang bukan merupakan agent dan nominee, tetapi juga bukan
merupakan perusahaan conduit (suatu pihak yang hanya memiliki kewenangan
terbatas atas penghasilan yang diterimanya).

2021 Nama Mata Kuliah dari Modul


4 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
 Perubahan selanjutnya mengenai konsep beneficial owner dilakukan oleh OECD
pada tahun 2003, yaitu dengan suatu perubahan dalam Commentaries.
Melanjutkan analisis dalam Conduit Company
Report, Commentaries menyebutkan bahwa istilah beneficial owner tidak
mempunyai makna teknis yang terbatas. Namun, harus diartikan sesuai dengan
konteks dan tujuan diadakannya P3B, yaitu untuk menghindari pajak berganda
dan penyelundupan pajak.
Dengan demikian, konsep beneficial owner tidak dapat diartikan sesuai dengan
ketentuan domestik suatu negara, namun harus diartikan secara internasional
(international meaning).
 Pada tanggal 29 April 2011, OECD mengusulkan perubahan terhadap
interpretasi beneficial owner dengan mempublikasi suatu Discussion Draft. Salah
satu perubahan yang penting adalah paragraf baru yang ditambahkan pada
penjelasan Pasal 10, yaitu Paragraf 12.4 (diulang juga dalam penjelasan pada
Pasal 11 dan Pasal 12), yang menjelaskan bahwa nominee, agent, atau conduit
company bukan merupakan beneficial owner,  sebab penerima penghasilan tidak
mempunyai keleluasaan untuk menggunakan maupun memanfaatkan
penghasilan yang diterimanya.
Selain itu, dijelaskan lebih rinci bahwa beneficial owner adalah jika penerima
penghasilan (dividen, bunga maupun royalti) mempunyai keleluasaan untuk
menggunakan maupun memanfaatkan penghasilan yang diterimanya sesuai
dengan keputusannya sendiri. Yaitu, tanpa kendala oleh adanya ikatan kontrak
atau kewajiban secara hukum untuk meneruskan penghasilan tersebut
kepada pihak-pihak lain.
 Setelah menerima berbagai saran dari akademisi pajak mengenai usulan
perubahan Commentaries OECD Model 2011, OECD memutuskan untuk merevisi
rancangan penjelasan makna beneficial owner pada usulan
perubahan Commentaries OECD Model 2012. Dalam revisi tersebut, OECD
menghapus kata-kata ‘full right to use and enjoy’ dan menggantinya dengan
penjelasan yang lebih menitikberatkan pada situasi di mana terdapatnya ‘limited
rights’. Dengan demikian, dalam hal tidak terdapatnya kewajiban secara
kontraktual maka persyaratan beneficial owner dianggap telah terpenuhi.
 Pada 15 Juli 2014, pembaruan dari OECD Model telah disetujui oleh Dewan
OECD. Klarifikasi dari pengertian beneficial owner dalam OECD Model 2014,
mengusulkan adanya revisi atas Commentary dari Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal

2021 Nama Mata Kuliah dari Modul


5 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
12. Pada dasarnya, klarifikasi dari pengertian beneficial owner dalam OECD
Model 2014 ini merupakan pengertian beneficial owner pada usulan
perubahan Commentaries OECD Model 2012.
Dalam rangka pencegahan penyalahgunaan P3B, dalam OECD model
diterapkan anti avoidance rule dengan penggunaan prinsip beneficial owner
pada tahun 1977 sebagaimana dikatakan oleh Du Toit yang dikutip oleh Hutagaol (2007).
Dengan demikian, yang dapat menikmati treaty benefit hanyalah beneficial owner. Namun
demikian, OECD model dan model P3B lainnya kecuali milik Amerika Serikat tidak
memiliki aturan jelas mengenai syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai
beneficial owner, melainkan hanya gambaran umum dari beneficial owner. Oleh karena
itu, merujuk pada pasal 3 ayat (2) dari model P3B, hal yang tidak diatur jelas dalam P3B
akan dikembalikan pada peraturan domestik negara yang terikat dalam P3B

D. Konsep Beneficial Owner dalam Peraturan Perpajakan di Indonesia

1. Istilah Benefit Owner pertama kali diperkenalkan dalam SE-04/PJ.34/2005 tentang


petunjuk penetapan kriteria beneficial owner sebagaimana tercantum dalam
persetujuan penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan negara
lainnya. Penegasan ini dikeluarkan akibat beberapa poin penting berikut ini:
 Masih adanya persepsi yang berbeda, yaitu seolah-olah wajib pajak luar negeri
yang menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari suatu negara yang mempunyai
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang paripurna dengan
Indonesia, maka Wajib Pajak tersebut secara langsung dapat menikmati fasilitas
penurunan tarif.
 Sementara menurut P3B yang bersangkutan, wajib pajak dalam negeri dari
negara mitra perjanjian, dapat menikmati pengurangan tarif apabila wajib pajak
tersebut adalah beneficial owner dari penghasilan berupa dividen, bunga dan
royalti.
2. . Berdasarkan latar belakang tersebut, maka SE-04/PJ.34/2005 merumuskan
pengertian dan kriteria tentang Benefit Owner sebaga berikut:
 Yang dimaksud dengan “beneficial owner” adalah pemilik yang sebenarnya dari
penghasilan berupa dividen, bunga dan atau royalti baik wajib pajak perorangan
maupun wajib pajak badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara
langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
 “Special purpose vehicles” dalam bentuk “conduit company“, “paper box
company“, “pass-through company” serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk
2021 Nama Mata Kuliah dari Modul
6 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
dalam pengertian “beneficial owner” tersebut di atas.
 Apabila terdapat pihak lain yang bukan merupakan “beneficial owner”
sebagaimana telah dijelaskan di atas, yang menerima pembayaran dividen, bunga
dan atau royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan
dividen, bunga dan atau royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh
Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20% 
dari jumlah bruto yang dibayarkan.
3. Konsep Benefit Owner juga terdapat dalam Pasal 26 ayat (1a) UU PPh No 36
Tahun 2008 yang mengatakan:
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima
manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
4. Konsep Pemilik Manfaat terkandung dalam Perpres No. 13 Tahun 2018 tentang
Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPU) dan
Tindak Pidana Terorisme (TPM) (selanjutnya disebut Perpres No. 13/2018).
Pasal 1 angka 2 tentang definisi Pemilik Manfaat, di mana ditekankan pada orang
perseorangan yang memiliki sebenarnya atas dana atau saham korporasi
sebagai akibat dari kepemilikan tiga kewenangan, yaitu:
(i) menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus,
pembina, atau pengawas pada Korporasi,
(ii) memiliki kemampuan untuk
mengendalikan korporasi, dan
(iii) berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik secara
langsung maupun tidak langsung.
secara keseluruhan, orang perseorangan dapat dikatakan sebagai Pemilik
Manfaat :
I. apabila ia memiliki penghasilan dan/atau keuntungan akibat kepemilikan
lebih dari 25% saham, modal, kekayaan awal, sumber pendanaan, atau
hak-hak lain yang dapat menimbulkan keuntungan dari korporasi.
II. jika ia memiliki kewenangan tidak terbatas terkait penunjukan perangkat
pengurus korporasi dan pengendalian korporasi tanpa harus mendapat
persetujuan dari otoritasi dari pihak manapun, atau
III. merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan korporasi.
2021 Nama Mata Kuliah dari Modul
7 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Adapun ruang lingkup korporasi meliputi: perseroan terbatas, yayasan,
perkumpulan, korporasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk
korporasi lainnya. Pemilik manfaat ini merupakan orang/individu, bukan badan.
F. Limitation on Benefit (LOB)
Pencegahan unacceptable tax avoidance melalui penyalahgunaan P3B dilakukan
melalui identifikasi beneficial owner. Identifikasi beneficial owner bukanlah sesuatu yang
mudah dan sering menimbulkan perbedaan pendapat. Oleh karena itu digunakan
pendekatan limitation of benefit (LOB). Langkah ini mendapat banyak kritikan dan
dipandang tidak praktis dan tidak realistis, tetapi klausal limitation of benefit semakin
banyak digunakan dalam tax treaty karea dianggap dapat membantu menentukan
beneficial owner (Koichiro, 2013)
Dalam beberapa penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Setyawan
(2007) disimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya treaty shopping adalah tidak
adanya definisi yang jelas tentang beneficial owner ataupun limitation of benefit clause
yang menjelaskan siapa yang berhak mendapatkan treaty benefit.
Dalam bagian commentary, OECD menyarankan beberapa bentuk pendekatan
LOB yang dapat diterapkan (OECD, 2010), yaitu:
1. Look-through approach
2. Subject to tax approach
3. Channel Approach
4. Bonafide Provision
Bila semua pendekatan diatas diterapkan secara langsung (literaly), terdapat resiko
bahwa hal itu akan berujung pada hasil yang tidak masuk akal yang menghalangi P3B
untuk dinikmati pihak yang layak mendapatkannya. Oleh karena itu, ada beberapa
ketentuan yang dapat ditambahkan untuk melengkapi, seperti:
a. Activity provision
b. Amount tax provision
c. Alternative relief provision
d. Stock exchange provision
e. Competent authority provision
Menurut Shofia Maharani(2019), Terdapat tiga solusi yang dapat diterapkan untuk
mencegah penghindaran pajak terkait dengan isu beneficial owner, yaitu: 
1. pengenaan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak melaporkan siapa pemilik
manfaat sebenarnya dari perusahaan sesuai dengan yang diatur Perpres 13/2018.
2. meningkatkan transparansi data beneficial owner antar instansi pemerintah dan
memastikan pertukaran data berjalan dengan baik. 
2021 Nama Mata Kuliah dari Modul
8 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
3. bekerja sama dengan instansi pemerintahan di negara lain untuk dapat berbagi dan
mengakses data beneficial owner masing-masing negara

F. Certificate of Domicile

Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang berhak untuk mendapatkan manfaat dari
Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty adalah:
1. terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh dan
ketentuan yang diatur dalam P3B;
2. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
3. penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan
subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
4. WPLN menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif
dan persyaratan tertentu lainnya;
5. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
6. penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan
dalam P3B.
Tata Cara Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Dan Pelaporan Pajak
Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti pemotongan dan/atau
pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang bukti pemotongan
dan/atau pemungutan pajak penghasilan.
1. Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN tetapi tidak
terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut di Indonesia berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tetap
harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak
2. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus menyampaikan SKD WPLN yang telah
memenuhi persyaratan administratif dan tertentu lainnya sebagai lampiran dalam
SPT Masa untuk masa terutangnya pajak penghasilan.
3. Dalam hal Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tidak menyampaikan SKD WPLN,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Manfaat P3B tidak diberikan kepada WPLN; dan
b. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan
dan/atau pemungutan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang PPh.
2. Penyampaian SKD WPLN dapat dilakukan secara elektronik sesuai ketentuan
yang berlaku
2021 Nama Mata Kuliah dari Modul
9 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Prosedur Administrasi dalam Penerapan P3B di Indonesia
Apabila dilihat dari putusan-putusan Pengadilan Pajak di Indonesia, sengketa terkait
penerapan P3B seringkali dikaitkan dengan persyaratan prosedur administrasi berupa
pemenuhan Surat Keterangan Domisili (SKD). Ketentuan mengenai prosedur administratif
penerapan P3B itu sendiri, tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan P3B sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010.
Lebih lanjut, adanya persyaratan administrasi berupa pemenuhan SKD dalam
mengaplikasikan P3B, sering berujung pada timbulnya sengketa pemotongan pajak.
Dalam hal ini, pemotongan PPh Pasal 26.
ilustrasi kasus
Gambar 5.1 Ilustrasi Kasus

Singapore Company
Pembayaran, tidak ada
Singapura pemotongan PPh Pasal 26

Indonesia Jasa Pemberian jasa


PT A

Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Misal, pada tahun 2013, PT A
memperoleh jasa manajemen dari Singapore Company yang berdomisili di Singapura.
Jasa manajemen diberikan oleh Singapore Company melalui email ataupun
teleconference. Sehubungan dengan pemberian jasa manajemen ini, PT A membayar,
misal sebesar Rp 100 juta kepada Singapore Company.

Berdasarkan P3B Indonesia dan Singapura, Indonesia mempunyai hak untuk


mengenakan pajak apabila terbentuk BUT dari Singapore Company di Indonesia melalui
pemberian jasa yang dilakukan di Indonesia. Namun, karena pemberian jasa dilakukan di
luar Indonesia, konsekuensinya tidak terbentuk BUT di Indonesia. Dengan demikian,
Indonesia tidak mempunyai hak pemajakan atas pembayaran imbalan jasa tersebut
sehingga PT A tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas transaksi ini. Misalkan
pula dalam kasus ini, otoritas pajak Singapura (Inland Revenue Authority of Singapore
atau IRAS) terlambat menerbitkan SKD bagi Singapore Company.

Atas kasus tersebut, pertanyaannya apakah keterlambatan untuk memberikan SKD


sebelum pembayaran atas imbalan jasa tersebut merupakan hal yang menentukan untuk
dapat atau tidaknya suatu P3B diterapkan?

2021 Nama Mata Kuliah dari Modul


10 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Gambar 5.2 SKD dalam Menerapkan P3B

Ketentuan Domestik Indonesia: Ketentuan P3B Indonesia


PPh Pasal 26 dan Singapura: Pasal 7

Pemotongan PPh Pasal 26 dengan


tarif sebesar 20%
Tidak dikenakan pemotongan PPh

ISU: Apakah SKD merupakan hal yang menentukan untuk menerapkan suatu P3B?

SKD sebagai Aspek Administratif dalam Menerapkan Suatu P3B

Untuk menentukan apakah subjek pajak merupakan subjek pajak dalam negeri
dari salah satu atau kedua negara yang mengadakan perjanjian sehingga berhak untuk
menerapkan dan menikmati fasilitas P3B, dapat dibuktikan oleh subjek pajak (proven by
taxpayer) melalui SKD. Namun di lain pihak, otoritas pajak juga dapat membuktikan hal
tersebut (proven by tax authorities) melalui cara yang diatur dalam Pasal 26 P3B
Indonesia dan Singapura, yaitu melalui pertukaran informasi (exchange of information)
yang dapat digunakan untuk mencegah penghindaran pajak berganda, pencegahan
pengelakan pajak, dan penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak.

Gambar 5.3 Dua Cara untuk Menentukan Subjek Pajak Dalam Negeri secara
Administratif

Penentuan subjek pajak dalam negeri secara administratif

Oleh waj ib pajak Oleh otorit as pajak

Melalui persyaratan administrasi Melalui Exchange of Information


Surat Keterangan Domisili/ sebagaimana diatur dalam
Certificate of Domicile ketentuan Pasal 26 P3B Indonesia
dan Singapura

2021 Nama Mata Kuliah dari Modul


11 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Dengan adanya fasilitas pertukaran informasi yang disediakan oleh P3B tersebut,
menunjukkan bahwa:

I. SKD bukanlah satu-satunya cara yang dapat membuktikan bahwa subjek


pajak berhak untuk menerapkan dan menikmati fasilitas P3B; dan

II. SKD hanya dapat memberikan ‘indikasi’ apakah subjek pajak dalam negeri
dari negara mitra P3B berhak untuk mendapatkan fasilitas P3B dan bukan
sebagai suatu ‘kondisi’ atau syarat untuk dapat menerapkan P3B.29

SKD bukan merupakan satu-satunya syarat substantif untuk menerapkan suatu P3B.
SKD hanya merupakan instrumen administratif domestik yang umum digunakan oleh
otoritas pajak berbagai negara untuk melakukan verifikasi status subjek pajak dalam
negeri suatu subjek pajak yang hendak menerapkan P3B.30

G. Kasus Beneficial Owner di Luar Negeri


Kasus Indofood merupakan kasus gugatan perdata di UK dan bukan suatu kasus
yang ditangani oleh pengadilan pajak. Walaupun demikian, kasus Indofood merupakan
salah satu kasus terpenting dalam pajak internasional yang membahas isu konsep
beneficial owner. Secara singkat, berikut adalah latar belakang kasus tersebut.
Pada tahun 2002, Indofood, suatu perusahaan di Indonesia, menerbitkan surat
utang (notes) dalam rangka pengumpulan dana pinjaman dari pasar internasional melalui
suatu perusahaan perantara (special purpose vehicle atau disingkat SPV) di Mauritius.
Jika Indofood menerbitkan surat utang tersebut secara langsung, pembayaran bunga
kepada noteholder di UK akan terkena tarif withholding tax sebesar 20% sesuai dengan
ketentuan pajak domestik Indonesia. Namun, dengan menggunakan SPV di Mauritius,
tarif withholding tax atas pembayaran bunga dapat diturunkan menjadi 10% dengan
menerapkan P3B Indonesia dan Mauritius. Kasus ini dapat diperjelas dengan Gambar
dibawah ini:

2021 Nama Mata Kuliah dari Modul


12 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Kasus Indofood

Indonesia
JP Morgan Trustee
iii) 20% withholding tax

UK

Mauritius
i) 0% withholdingtax (note) ii) 0% withholdingtax loan

Berikut penjelasan dari Gambar diatas:


i. SPV Mauritius menerbitkan surat hutang (notes) dan mendapatkan modal
pinjaman dari noteholders di UK. Pembayaran bunga oleh SPV kepada
noteholders tidak dikenakan withholding tax;
ii. modal yang dikumpulkan oleh SPV Mauritius kemudian dipinjamkan (loan) kepada
Indofood. Pembayaran bunga oleh Indofood kepada SPV Mauritius dikenakan tarif
withholding tax sebesar 10% berdasarkan P3B Indonesia dan Mauritius;
iii. apabila Indofood menerbitkan surat hutang (notes) langsung kepada noteholders
di UK, tarif withholding tax yang berlaku adalah 20%.
Lebih lanjut, dalam kontrak pinjaman tersebut diatur bahwa:
i. apabila tarif withholding tax di Indonesia mengalami perubahan tarif melebihi 10%,
Indofood wajib menanggung beban pajak yang melebihi batas tarif 10% tersebut
dengan cara gross up;
ii. apabila terjadi perubahan tarif pajak withholding tax, Indofood berhak untuk
melunasi pinjaman lebih awal dari jangka waktu yang telah ditentukan;
iii. hak Indofood untuk melunasi pinjaman lebih awal hanya dapat diterapkan apabila
tidak terdapat solusi wajar lainnya yang dapat dilakukan (no reasonable measures
available) untuk menurunkan tarif withholding tax kembali menjadi 10%.
Kemudian, pada tahun 2005, P3B Indonesia dan Mauritius diberhentikan. Hal ini
menyebabkan tarif withholding tax atas pembayaran bunga menjadi 20% sesuai dengan
ketentuan domestik Indonesia.
Dengan adanya beban pajak tambahan yang harus ditanggung oleh Indofood sebagai
konsekuensi dari gross up sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak pinjaman,
Indofood memutuskan untuk melunasi pinjaman tersebut lebih awal dari jangka waktu
yang telah ditetapkan. Di lain pihak, JP Morgan berargumen bahwa tarif withholding tax
sebesar 10% tetap dapat dipertahankan dengan suatu struktur pinjaman yang baru
2021 Nama Mata Kuliah dari Modul
13 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
sehingga Indofood tidak berhak melunasi pinjamannya lebih awal dari jangka waktu yang
telah ditetapkan.
Struktur pinjaman baru yang diajukan oleh JP Morgan adalah suatu struktur yang
menggunakan SPV di Belanda. Tujuannya, agar dapat menggunakan tarif withholding tax
sebesar 10% atas pembayaran bunga sebagaimana diatur dalam P3B Indonesia dan
Belanda yang berlaku pada waktu itu. Struktur tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut.
Struktur Pinjaman Baru dalam Kasus Indofood

Berikut adalah penjelasan Gambar:


i. Pinjaman SPV Mauritius kepada Indofood dialihkan kepada SPV Belanda sehingga
kreditur atas utang Indofood menjadi SPV Belanda. Pembayaran bunga oleh
Indofood kepada SPV Belanda dikenakan tarif withholding tax sebesar 10% jika P3B
Indonesia dan Belanda dapat diterapkan.
ii. Terdapat perjanjian antara SPV Belanda dan SPV Mauritius, yaitu SPV Belanda
diwajibkan meneruskan penghasilan yang diterimanya dari Indofood kepada SPV
Mauritius. Pembayaran bunga oleh SPV Belanda kepada SPV Mauritius tidak
dikenakan withholding tax.
iii. Kewajiban SPV Mauritius untuk membayar utangnya kepada noteholders tidak
berubah dari struktur sebelumnya.
Indofood tidak menyetujui struktur yang diajukan JP Morgan dan berargumen bahwa jika
struktur tersebut diterapkan, otoritas pajak di Indonesia akan tetap menetapkan tarif
withholding tax sebesar 20% sesuai dengan ketentuan domestic Indonesia. Alasannya,
SPV di Belanda bukan merupakan beneficial owner sebagaimana disyaratkan dalam P3B
antara Indonesia dan Belanda sehingga tarif withholding tax sebesar 10% tidak dapat
diterapkan.
2021 Nama Mata Kuliah dari Modul
14 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Isu yang dihadapi oleh hakim adalah apakah SPV di Belanda merupakan beneficial owner
jika struktur baru tersebut diterapkan oleh pihak-pihak yang bersengketa? Fakta-fakta
penting yang terungkap dalam persidangan adalah sebagai berikut:
i. terdapat keterkaitan antara penghasilan yang diterima oleh SPV Mauritius dari
Indofood dengan pembayaran oleh SPV Mauritius kepada noteholders. Bahkan,
terdapat ketentuan dalam perjanjian bahwa SPV Mauritius hanya diperbolehkan
untuk membayar utangnya kepada noteholders dengan penghasilan yang
diterimanya dari Indofood. Dengan kata lain, SPV tidak diperbolehkan
menggunakan dananya sendiri untuk melunasi utangnya kepada noteholders;
ii. seluruh penghasilan yang diterima oleh SPV Mauritius diteruskan kepada
noteholders. SPV Mauritius tidak mendapatkan spread sama sekali;
iii. di atas kertas, pembayaran SPV Mauritius kepada noteholders dilakukan sehari
setelah SPV Mauritius menerima pembayaran dari Indofood. Pada faktanya,
Indofood melakukan pembayaran langsung kepada noteholders. Dengan demikian,
tidak terdapat aliran dana melalui SPV Mauritius;
iv. SPV Mauritius mempunyai substansi ekonomi yang kecil (tidak mempunyai ruang
kantor maupun pegawai) di Mauritius.
Berikut adalah rangkuman dari pertimbangan-pertimbangan penting oleh hakim dalam
kasus ini.
i. Dengan mempertimbangkan OECD Commentary dan pendapat Philip Baker
sebagai saksi ahli, majelis hakim berpendapat bahwa konsep beneficial owner
harus mempunyai makna internasional, yaitu suatu makna yang terlepas dari
pengertian teknis hukum domestik negara-negara yang mengadakan P3B.42
ii. Konsep beneficial owner tidak dapat disamakan dengan konsep pemilik formal
(formal owner) yang tidak mempunyai hak sepenuhnya untuk menerima manfaat
dari penghasilan yang diterimanya (the full privilege to directly benefit from the
income).43
iii. Dalam mencari makna sebenarnya atas konsep beneficial owner, majelis hakim
melakukan pendekatan ‘substance over matter’44, yaitu apakah secara praktis atau
komersil SPV Belanda akan mendapatkan hak sepenuhnya untuk menerima
manfaat dari penghasilan yang diterimanya.45
iv. Faktanya, dalam kasus ini, pinjaman dan penerbitan surat utang sangat terkait satu
dengan yang lainnya. Lebih lanjut, sebagaimana terungkap dari perjanjian Trust
Deed, SPV Belanda akan diwajibkan untuk meneruskan penghasilan yang
diterimanya kepada noteholders. Secara ‘praktis’, SPV Belanda tidak akan
mendapatkan hak sepenuhnya (full privilege) untuk menerima manfaat dari
2021 Nama Mata Kuliah dari Modul
15 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
penghasilan tersebut. Manfaat satu-satunya yang dapat diperoleh SPV Belanda
atas penghasilannya adalah untuk membayar utang SPV Mauritius. Dengan
demikian, SPV Belanda tidak akan mempunyai hak sepenuhnya (full privilege) atas
penghasilan yang diterimanya sehingga SPV Belanda tidak dapat memenuhi
persyaratan beneficial owner.

2021 Nama Mata Kuliah dari Modul


16 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Daftar Pustaka

Darusasalam,John Hutagaol, Dany Sepriadi,2010.Konsep dan Aplikasi Perpajakan


Internasional,Jakarta: Danny Darussalam Tax Center
Darussalam dan Septriadi, Danny. 2017. Perjanjian penghindaran pajak berganda,
Jakarta: Dimensi Internasional Tax
Gunadi, 2007. Perpajakan Internasional, Jakarta: FEUI
Organization of Economic Cooperation and Development Model Conventions for
Avoidance of Double Taxation of Income and Capital, OECD , 2010
Timbul Hamonangan Simnajuntak, 2019. Perpajakan Internasional, Yogyakarta: Andi
Undang-Undang Perpajakan dan aturan pelaksanaannya
Peraturan Dirjen Paja No. PER-25/PJ/2018, Tentang Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda.
Anthony Tiono dan R. Arja Sadjiarto,2013, Penentuan Beneficial Owner Untuk Mencegah
Penyalahgunaan Perjanjian dan Penghindaran Pajak Berganda, Tax & Accounting
Review, Vol.3,no.3, 2013
https://news.ddtc.co.id/beneficial-owner-7931
https://www.pajakku.com/forum-topic/5d4a3be8acba1f1207ece243/Tatacara-Penerapan-
Penerapan-Persetujuan-Penghindaran-Pajak-Berganda?page=1
https://news.ddtc.co.id/beneficial-owner-dalam-konteks-perpres-no-13-2018-dan-pajak-
12661
https://news.ddtc.co.id/mencegah-penghindaran-pajak-dalam-isu-beneficial-owner-
17033?page_y=1500

2021 Nama Mata Kuliah dari Modul


17 Yenny Dwi Handayani, SE., MSi., AK., CA
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai