Anda di halaman 1dari 8

BOOK CHAPTER KKN

PERIODE XIII UNISSULA


KELOMPOK 49

TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA SEBAGAI


FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING DI
KELURAHAN PEDALANGAN
Noveri Aisyaroh S.SiT, M. Kes 1, *Adelia Yunika2, An Nisa Yustisia2, Dyah
Nabilah2, Inge Elsa2, Mutiara Tri2
1
Kebidanan, Fakultas Kedokteran, Universitas islam Sultan Agung, Kota Semarang,
Indonesia
2
Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas islam Sultan Agung,
Kota Semarang, Indonesia

Abstrak

Tingkat pendidikan orang tua merupakan peran penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak karena bisa mempengaruhi keterlambatannya. Keterlambatan
tumbuh kembang salah satunya yaitu stunting atau kondisi dimana anak memiliki tinggi
badan lebih pendek dari anak seusianya. Kondisi ini disebabkan kurangnya asupan gizi
atau nutrisi yang diberikan oleh ibu pada 1000 hari pertama kehidupan, bahkan saat
anak masih didalam kandungan ibu. Tingkat pendidikan orang tua menjadi salah satu
faktor terjadinya stunting karena kurangnya pengetahuan, tidak mengikuti
perkembangan informasi, dan kurangnya pemahaman masyarakat terutama pada ibu
hamil dan ibu balita. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mencegah terjadinya
stunting yang lebih lanjut dengan memberikan sosialisasi rutin mengenai stunting oleh
kader posyandu RW 01 Kelurahan Pedalangan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuantitatif. Sampel diambil dari hasil wawancara bersama
keluarga dengan balita stunting di RW 01 Kelurahan Pedalangan. Hasil penelitian
melalui sosialisasi rutin posyandu dan wawancara didapatkan rata-rata tingkat
pendidikan orang tua dengan balita stunting yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Kata kunci : Stunting, Tingkat Pendidikan

Pendahuluan

Balita merupakan sekelompok manusia yang berada pada usia tertentu, yaitu
usia bayi yang berada pada rentang 0-2 tahun, usia balita yang berada pada rentang 2-3
tahun, dan usia pra-sekolah yang berada pada rentang usia 3-5 tahun. Pada rentang usia
balita kesehatan perlu diperhatikan karena mudah terserang penyakit, terutama stunting.
Stunting merupakan keadaan pertumbuhan balita yang mengalami kegagalan
akibat dari kurangnya asupan gizi optimal, sehingga berdampak pada tinggi badan anak
yang kurang dari yang lain. Keadaan stunting dapat diukur dengan mengukur tinggi atau
panjang badan lebih dari -2 standar di bawah median panjang berdasarkan tinggi badan
seusianya.

Kementrian Kesehatan menuturkan pendapatnya bahwa biasanya stunting terjadi


akibat kurangnya asupan gizi selama masa kehamilan dan pada awal bayi dilahirkan.
Tetapi kondisi tersebut akan nampak pada saat anak berusia 2 tahun.

Kementrian Kesehatan mengemukakan pendapatnya bahwa stunting merupakan


sebuah keadaan pada seorang balita yang tinggi badannya lebih pendek dibanding
dengan tinggi badan balita pada usianya. Sedangkan menurut WHO, stunting atau yang
biasa disebut kerdil adalah keadaan gizi yang tidak tercukupi yang berdampak pada
tinggi badan seorang balita menjadi lebih pendek dibandingkan dengan standardisasi
pertumbuhan. Keadaan gizi yang buruk pada ibu saat hamil, kondisi keuangan dan
sosial keluarga, dan makanan yang dikonsumsi saat masa pertumbuhan menjadi faktor
penyebab terjadinya stunting.

Prevalensi stunting pada balita yang dikumpulkan oleh WHO (World Health
Organization) menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga dengan
presentasi tertinggi se-Asia Tenggara. Presentasi stunting di Indonesia saat ini sebesar
30,8%. Prevalensi stunting di Indonesia mengalami fase pasang surut, dan terakhir
dikatakan mengalami penurunan. Walaupun terdapat penurunan namun masalah
stunting di Indonesia masih menjadi topik utama sehingga pemerintah menegakkan
pemantauan pada setiap tahunnya.

Stunting berdampak besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak,


berdampak pula terhadap perekonomian Indonesia di masa mendatang. Anak yang
mengalami stunting cenderung memiliki hambatan dalam perkembangan kognitif serta
motoriknya, dan hal ini dapat berakibat pada produktivitasnya saat dewasa. Selain itu,
anak juga berisiko besar mengalami penyakit seperti halnya diabetes, obesitas, dan
penyakit jantung pada saat dewasa.

Terjadinya Stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut WHO (World


Health Organization), ibu dengan tinggi badan yang pendek dan tingkat pendidikan
orang tua yang rendah menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Tingkat pendidikan
ayah dan ibu sangat berkesinambungan dengan adanya stunting. Hal tersebut sangat
diperlukan karena berpengaruh terhadap asupan gizi yang optimal yang perlu
dikonsumsi oleh anak. Jika pendidikan dan pengetahuan seorang ibu dikategorikan
rendah maka berakibat menjadi ibu tidak dapat memilih dan menyajikan makanan yang
memenuhi syarat gizi optimal untuk dikonsumsi oleh keluarga. Karena ibu dengan
pendidikan yang rendah kemungkinan besar tidak dapat mengakses informasi mengenai
gizi sehingga anak berisiko besar mengalami stunting.

Stunting perlu mendapatkan peran orang tua sebagai pemerhati status gizi. Hal
ini dikarenakan ayah dan ibu adalah tempat seorang anak dapat tumbuh dan
berkembang secara baik dengan gizi yang terpenuhi dengan baik pula. Dan salah satu
faktor serta peran orang tua dalam mencegah terjadinya stunting adalah tingkat
pendidikan, dikarenakan permasalahan gizi pada anak dapat dipengaruhi oleh rendahnya
tingkat pendidikan orang tuanya. Hal ini terjadi akibat kurangnya kemampuan dalam
mengakses informasi. Maka dari itu jurnal ini kami susun dengan tujuan untuk menggali
secara dalam terkait opini tingkat pendidikan orang tua sebagai faktor risiko kejadian stunting
terutama di RW 01 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang.

Metode/Metode Pelaksanaan

Metode Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan tujuan mengkaji


dengan rinci penyebab dari terjadinya anak stunting atau keadaan dimana anak memiliki
tinggi lebih pendek dari anak seusianya pada RW 01 Kelurahan Pedalangan,
Banyumanik, Semarang.

Pengambilan data pada penelitian kami dilakukan dengan cara wawancara dan
juga menganalisis data. Wawancara dilakukan bersama orangtua dengan balita yang
mengalami Bawah Garis Merah berdasarkan data posyandu RW 01 Kelurahan
Pedalangan, Banyumanik, Semarang. Setelah dilakukan Wawancara kami melakukan
analisis data yang sudah diambil yang meliputi data orang tua dan data anak.

Kuliah Kerja Nyata dilaksanakan di RW 01 Kelurahan Pedalangan Kecamatan


Banyumanik Kota Semarang. Kami melakukan sosialisasi terhadap orang tua yang
mempunyai pendidikan yang rendah dengan cara memperkenalkan definisi stunting,
dampak dari stunting, ciri-ciri stunting, penyebab dari stunting serta cara pencegahan
stunting.

Setelah melakukan kajian pada keluarga dengan anak yang berada di Bawah
Garis Merah dilanjutkan dengan melakukan program kerja Kuliah Kerja Nyata tematik
Kelompok 49 berupa bakti sosial yang dilakukan dari rumah ke rumah warga dengan
anak Bawah Garis Merah (BGM) dan juga dilakukan penyuluhan mengenai stunting.
Hasil dan Pembahasan

A. Hasil Pelaksanaan Kegiatan


Dari hasil wawancara didapatkan data keluarga dengan anak stunting meliputi
umur anak, tinggi badan anak, umur anak, pekerjaan orang tua, pendidikan terakhir
orangtua dan umur orang tua. Tingkat pendidikan orang tua memiliki peran penting
dalam mengasuh anak karena pengetahuan yang didapatkan orang tua akan diterapkan
dengan bagaimana cara mereka mengasuh anaknya.

Tabel 1. Data Pendidikan Terakhir Orang Tua Dengan Anak Stunting

NO Nama Anak Umur Anak Pendidikan Pendidikan


Terakhir Ayah Terakhir Ibu

1. Fiko Karim Wafi 45 bulan SMP SMA


2. Khalaf Al Hanan 22 bulan D3 D3
3. Nella Aulia Z 19 bulan SLTA S1
4. Yuni Kusuma Dewi 20 bulan SLTA SLTP
5. Aqilah Syafina 14 bulan SMP MA

Dengan data tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor tingkat pendidikan orang
tua sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal itu bisa terjadi
karena kurangnya pengetahuan, tidak mengikuti perkembangan informasi, dan
kurangnya pemahaman masyarakat terutama pada ibu hamil dan ibu balita serta keadaan
ekonomi yang kurang mengakibatkan kurangnya kebutuhan gizi pada anak sehingga
dapat meningkatkan jumlah stunting.
Gambar 1. Prevalensi kasus stunting pada anak dibawah 5 tahun
berdasarkan negara tahun 2018.

Stunting dan kekurangan gizi sekilas sama tetapi ternyata berbeda. Adapun yang
menjadi pembeda yaitu,
Stunting :
- Gabungan sangat pendek dan pendek
- Pertumbuhannya melambat
- Tubuh lebih pendek dan tampak lebih muda dengan teman seusianya
- Diukur dengan perbandingan tinggi badan dengan usia
- Berdampak gangguan metabolisme
- Berakibat ukuran fisik yang tubuh yang tidak optimal

Gizi Buruk :
- Gabungan gizi kurang dan gizi buruk
- Kulit kering, lemak dibawah kulit kurang, otot mengecil
- Adanya kemmungkinan perut anak menjadi buncit
- Diukur dari berat badan
- Mudah terkena infeksi kare kurangnya kekebalan tubuh
- Berakibat pertumbuhan anak berhenti sebelum waktunya.

Stunting sendiri dapat terjadi jika konsumsi zat gizi atau nutrisi pada anak tidak
tercukupi, khususnya di 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Adapun gizi untuk bayi 0-6 bulan :
- Mendapatkan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dengan meletakkan bayi ke dada
atau perut ibu segera setelah bayi dilahirkan untuk menyusu.
- Memberikan ASI Pertama atau kolostrum yang berbentuk cairan berwarna
kuning yang mengandung banyak zat kekebalan yang bagus untuk bayi.
- Memberikan ASI Eksklusif, bayi hanya mendapatkan ASI tanpa mendapatkan
makanan atau minuman lainnya termasuk air putih.

Gizi untuk bayi 6-8 bulan :


- Memberi makanan dengan beberapa tahap menurut umurnya. Mulai dengan
bubur kental sebanyak 2-3 sendok makan setiap kali makan.
- Makan 2-3 kali setiap hari dan mendapakan tambahan makanan selingan 1-2
kali.
- Tetap memberikan ASI

Gizi untuk bayi 9-11 bulan


- Memberi anak makan sebanyak ½ - ¾ mangkuk ukuran 250ml setiap makan
dengan tekstur makanan yang dicincang atau dicacah.
- Makan 3-4 kali setiap hari dan mendapatkan tambahan makanan selingan 1-2
kali.
- Tetap memberikan ASI

Gizi untuk bayi 12-23 Bulan


- Memberikan anak makanan keluarga ¾ - 1 mangkuk ukuran 250ml tiap makan
- Makan3-4 kali setiap hari dan mendapatkan tambahan makanan selingan 3-4 kali
- Tetap memberikan ASI

Stunting memiliki dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak


jangka pendek bisa berupa terganggunya fungsi otak dan perkembangan yang
menyebabkan keterlambatan dan gangguan kognitif anak secara permanen.
Keterlambatan dan gangguan ini menyebabkan cenderung sulit dalam menangkap
informasi yang didapatkan dibanding teman seusianya. Sementara itu, dampak jangka
panjang stunting dapat menurunkan Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang.

Pembentukan Garda Remaja Pencegah Stunting (GPRS) yang bergerak dalam


bidang edukasi tentang stunting, termasuk pentingnya pola pengasuhan anak dapat
menjadi solusi dalam mencegah stunting. Selain itu ibu bisa rutin untuk mengunjungi
POSYANDU guna :
- Memeriksa Kehamilan
- Mendapatkan tablet tambah darah untuk ibu hamil
- Mengikuti kelas ibu
- Memantau tumbuh kembang bayi dan balita
- Mendapatkan Vitamin A dan obat anti-cacing untuk balita
- Imunisasi

Penutup

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis kami di RW 01 Kelurahan Pedalangan


Kecamatan Banyumanik Kota Semarang mengenai tingkat pendidikan orang tua sebagai
faktor risiko kejadian stunting menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kejadian stunting pada
balita di Indonesia salah satunya juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua. Hal ini
diakibatkan karena tingkat pendidikan dapat berdampak pada pola hidup dan kondisi keuangan
keluarga. Keluarga dengan pendidikan ayah dan ibu yang tinggi cenderung lebih baik dalam
memberikan asupan gizi yang optimal bagi anaknya sehingga risiko anak mengalami stunting
akan berkurang. Selain itu, orang tua dengan tingkat pendidikan tinggi yang tinggi memiliki
akses yang lebih mudah terhadap pelayanan kesehatan sehingga kesehatan anak dan
keluarganya lebih terjaga.

Daftar Pustaka

Astuti, S. (2018). Gerakan Pencegahan Stunting Melalui Pemberdayaan Masyarakat Di


Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Dharmakarya, 7(3), 185–188.
https://doi.org/10.24198/dharmakarya.v7i3.20034

Atikah, Rahayu, dkk. (2018). Stunting dan Upaya Pencegahannya. In Buku stunting
dan upaya pencegahannya.

Iswati, R. S., Ayu, D. and Rosyida, C. (2020). Optimalisasi Peran Keluarga Dalam
Pencegahan Stunting Melalui Pelatihan Senam Bayi’, Jurnal Pengabdian
Masyarakat. Jurnal Universitas Muhammadiyah, 1102–1107.

Kominfo. Buku Saku Indonesia Sehat Bebas Stunting

Millati, Nisrina Anis dkk. (2021). Cegah Stunting Sebelum Genting

Norcahyanti, I., Pratama, A. N. W., & Pratoko, D. K. (2019). Upaya Pencegahan


Stunting dengan Optimalisasi Peran Posyandu Melalui Program Kemitraan
Masyarakat. Dedication : Jurnal Pengabdian Masyarakat, 3(2), 73–80.
https://doi.org/10.31537/dedication.v3i2.234

Putri, Nelvi et all. (2021). Gambaran Tingkat Pendidikan dan Tinggi Badan Orang tua
Balita Stunting Usia 24-59 Bulan. Jurnal Ilmiah Ners Indonesia. 2(1), 25-26.
Gambaran Tingkat Pendidikan dan Tinggi Badan Orangtua ...https://online-
journal.unja.ac.id
Rachman, Rizka Yuliana et all. (2021). Hubungan Pendidikan Orang tua Terhadap
Risiko Stunting Pada Balita: A Systematic Review. Jurnal Kesehatan Tambusai.
2(2), 61-62. https://doi.org/10.31004/jkt.v2i2.1790

https://dikti.kemdikbud.go.id/kabar-dikti/kampus-kita/implementasi-kampus-merdeka-
utu-bahas-rencana-aksi-penurunan-angka-stunting-di-aceh/

https://kampusmerdeka.kemdikbud.go.id

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20180524/4125980/penyebab-stunting-
anak

Anda mungkin juga menyukai