Anda di halaman 1dari 18

MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI BARU LAHIR

DENGAN  ASFIKSIA  SEDANG DI PUSKESMAS RANOMUT


KECAMATAN PAAL II KOTA MANADO TAHUN 2021

PROPOSAL

OLEH:
KARNILA
1815301309

PROGRAM STUDI D IV SARJANA TERAPAN KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS
FORT DE KOCK BUKITTINGGI
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
       Bayi baru lahir normal adalah individu yang lahir dari dunia dalam keadaan yang
terbatas, maka individu yang terbatas sangatlah membutuhkan perawatan dari orang lain
(Janah, 2009). Pada masa tersebut terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di
dalam rahim dan terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Bayi hingga usia
kurang satu bulan merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan
paling tinggi, berbagai masalah kesehatan bisa muncul. Sehingga tanpa penanganan yang
tepat, bisa berakibat fatal. Bayi baru lahir dengan komplikasi adalah bayi dengan penyakit
atau kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian,
seperti asfiksia (Kementrian Kesehatan, 2015).
      Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas, sehingga dapat
menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam
kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2010).
    Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga
dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya (Prawirohardjo, 2009).
Klasifikasi asfiksia dibagi 3 macam yaitu, yang pertama asfiksia ringan (nilai apgar 7-10),
yang kedua asfiksia sedang (nilai apgar 4-6), dan yang ketiga asfiksia berat (nilai apgar 0-3)
(Dewi, 2013).
       Angka Kematian Bayi (AKB) di Dunia masih tinggi. Menurut WHO ( World Health
Orgazation), pada tahun 2013 angka kematian bayi di dunia 34 per 1.000 kelahiran hidup,
angka kematian bayi di Negara berkembang 37 per 1.000 kelahiran hidup, angka kematian
bayi di Negara maju 5 per 1.000 kelahiran hidup, dan Asia Timur 11 per 1.000 kelahiran
hidup, Asia Selatan 43 per 1.000 kelahiran hidup, Asia Tenggara 24 per 1.000 lelahiran
hidup, dan Asia Barat 21 per 1.000 kelahiran hidup (WHO, 2014).
      Di Indonesia Angka Kematian Bayi masih tinggi dibanding negara-negara di ASEAN
lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina (Depkes RI 2010). Menurut SDKI tahun
2012 Angka Kematian Bayi di Indonesia terdapat 32 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan
data yang didapat kan dari WHO ( World Health Orgazation ).
      Pada tahun 2017 angkat kemtaian paba bayi (AKB ) sangat tingngi dimana WHO
mencatat sekitar 3% (3, 6 juta) dari 28 juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta
bayi yang meninggal ( Rochwati & Rizq, 2017).
      Berdasarkan penelitian World Heatlh Orgazation (WHO), seluruh dunia terdapat
kematian bayi khususnya nenonatus sebesar 10.000.000 per tahun (Katiandagdo dan
Kusmiayati). Laporan  World Heatld Orgazitaion (WHO) juga menyebabkan bahwa AKB
sangat tinggi di indobesia dinama penyebab kemataian karna askfisia sangat tinggi 36 per 146
kelahiran hidup. World Heatlh Orgazation
(WHO, 2018). Berdasarkan hasil Survey Dinas Kesehatan Sulawesi Utara tahun 2016, Angka
Kematian Bayi di Kota Manado terdapat 21 per 1047 kelahiran hidup, 19,04% per 1047
kelahiran hidup meninggal disebabkan oleh asfiksia (SDKI, 2018).
      Survey awal dilakukan pada tanggal 29 maret 2019 di Puskesmas Ranomut  Kecamatan
Paal II di Kota Manado, didapatkan data selama 3 bulan (2019) terdapat 14 per 129  kelahiran
hidup yang mengalami asfiksia. 10 per 129 kelahiran hidup mengalami asfiksia sedang, dan 7
per 129 kelahiran hidup mengalami asfiksia berat. Hal ini menunjukkan angka
kejadian asfiksia sedang di Puskesmas Ranomut Kecamatan Paal II Kota Manado masih
tinggi, sehingga asfiksia sedang membutuhkan penanganan segera yang tepat.
      Masalah pada bayi baru lahir dengan asfiksia salah satunya partus macet, mekonium,
kehamilan lewat bulan (serotinu). Apabila  tidak segeera ditagani akan mengakibat
komplikasi kedepannya. Dan apabila asfiksia tidak segera ditangani akang mengakinbatkan
kemtaian pada bayi. Solusinya harus melakukan pengangnan dengan secara efektif dan
efisien.  
      Asfiksia atau gagal nafas dapat menyebabkan suplai oksigen ke tubuh menjadi terhambat,
jika terlalu lama membuat bayi menjadi koma, walaupun sadar dari koma bayi akan
mengalami cacat otak. Kejadian asfiksia jika berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan
perdarahan otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang. Asfiksia juga
dapat menimbulkan cacat seumur hidup seperti buta, tuli, cacat otak dan kematian (Safrina
2011).
      Penatalaksanaan asfiksia bayi baru lahir, ada beberapa tindakan resusitasi yaitu, jaga bayi
tetap hangat, atur posisi bayi, membersihkan jalan nafas, keringkan dan rangsang bayi, atur
posisi kembali, serta lakukan penilaian (Manuaba, 2008). Bila bayi tidak bernafas atau
megap-megap, segera lakukan tindakan ventilasi yang adekuat yaitu memasang sungkup,
ventilasi percobaan (2 kali), ventilasi definitif (20 kali dalam 30 detik), lakukan penilaian
kembali (JNPK-KR,2009).
      Berdasarkan uraian data di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan
tentang judul “Manajemen Asuhan Kebidnan Pada Bayi Baru Lahir Degan Asfiksia sedang Di
Puskesmas Ranomut  Kecamatan Paal II Kota Manado”.
B.     Perumusan Masalah
      Bagaimana penerapan “Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Bayi Baru Lahir
Dengan Asfiksia Sedang Di Puskesmas Ranomut Kecamatan Paal II Kota Manado?”
C.    Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
      Mampu melaksanakan “Manajemen Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir
dengan Asfiksia Sedang sesuai dengan manajemen asuhan Keperawatan dengan
menggunakan metode 7 langkah Varney” (Seminen, 2010).
2.      Tujuan Khusus
      Untuk menerapkan manajemen asuhan Kebidanan pada bayi baru lahir
dengan asfiksia sedang sesuai dengan 7 langkah Varney yaitu:
a.       Laksanakan pengkajian pada bayi baru lahir dengan asfiksia sedang di Puskesmas Ranomut 
Kecamatan Paal II Kota Manado.
b.      Dinterpretasi data untuk menegakkan diagnosa Kebidanan, masalah dan kebutuhan pada bayi
baru lahir dengan asfiksia sedang di Puskesmas Ranomut  Kecamatan Paal II Kota Manado.
c.       Ditentuka diagnosa potensial pada bayi baru lahir dengan asfiksia sedang di Puskesmas
Ranomut Kecamatan Paal II Kota Manado.
d.      Diantisipasi penanganan atas tindakan pada bayi baru lahir dengan asfiksia sedang di
Puskesmas Ranomut Kecamatan Paal II Kota Manado.
e.       Disusun rencana asuhan Kebidanan pada bayi baru lahir dengan asfiksia sedang di
Puskesmas Ranomut Kecamatan Paal II Kota Manado.
.
D.    Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
a.       Bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan digunankan dalam proses belajar mengajar, dan dapat
digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa.
b.      Bagi penelitian
 Dapat menambah wawasan dan melakukan manajemen asuhan Kbidanan pada bayi baru
lahir dengan asfiksia neonatorum sedang
c.       Bagi peneliti selanjutnya
Dapat menjadi bahan bacaan dan penelitian lanjut.
2.      Manfaat Praktis
a.       Bagi instansi penelitian
Sebagai bahan masukkan bagi petugas kesehatan yang ada di Puskesmas, dalam penerapan
manajemen asuhan Kebidanan pada bayi baru lahir dengan asfiksia neonatorum sedang.
b.      Bagi responden
Agar dapat mengetahui tentang keadaan dan hal-hal yang perlu diperhatikan dan perlu
dipersiapkan sehubungan dengan asfiksia neonatorum sedang pada bayi baru lahir.
A.    Kerangka Konsep Dasar Manajemen Asuhan Kebidanan
1.      Pengertian
       Manajemen asuhan kebidanan adalah serangkaian proses penatalaksaan yang terdiri dari
tujuh langkah Varney, yang secara periodik sempurna. Proses penatalaksanaan ini dimulai
dengan mengumpulkan data dasar dan berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah ini
mencakup seluruh kerangka kerja yang dapat diaplikasikan pada setiap situasi. Setiap langkah
dapat dibagi menjadi tugas-tugas yang lebih spesifik dan bervariasi untuk dapat disesuaikan
dengan kondisi ibu atau bayi baru lahir. Sedapat mungkin harus disadari bahwa langkah-
langkah ini diambil dari kolaborasi dengan ibu dan siapapun yang ibu inginkan terlibat, atau
dalam kolaborasi dengan orang tua bayi baru lahir (Varney, 2010).
Tujuh langkah tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Menyelidiki dengan cara memperoleh semua data yang dibutuhkan untuk melengkapi
evaluasi ibu atau bayi baru lahir.
b.      Membuat sebuah identifikasi masalah atau diagnosa dari kebutuhan perawatan kesehatan
yang akurat berdasarkan perbaikan interpretasi data yang benar.
c.       Mengantipasi masalah atau diagnosa yang akan terjadi lainnya yang dapat menjadi tujuan
yang diharapkan, karena telah ada masalah atau diagnosis yang teridentifikasi.
d.      Mengevaluasi kebutuhan akan intervensi dan konsultasi bidan atau dokter yang dibutuhkan
dengan segera serta manajemen kolaborasi dengan anggota tim tenaga kesehatan lainnya,
sesuai dengan kondisi yang diperlihatkan oleh ibu dan bayi yang baru lahir.
e.       Mengembangkan sebuah rencana kesehatan yang menyeluruh, didukung oleh penjelasan
rasional yang valid, yang mendasari keputusan yang dibuat dan didasarkan pada langkah-
langkah sebelumnya
f.       Mengembangkan tanggung jawab terhadap pelaksanaan rencana perawatan yang efisien dan
aman.
g.      Mengevaluasi keefektifan perawatan kesehatan yang diberikan, mengolah kembali dengan
tepat setiap aspek perawatan yang belum efektif melalui proses penatalaksanaan diatas.
2.      Proses Manajemen Varney
      Proses penatalaksanaan ini pada hakikatnya sudah menjelaskan dengan jelas pengertian
masing-masing. Pembahasan singkat dan pemberian contoh tugas yang dapat tercakup pada
masing-masing langkah dan dapat menjelaskan dengan jelas proses berpikir yang terlibat
dalam proses klinis yang berorientasi dalam tindakan (Varney, 2010).
a.       Langkah I: Pengumpulan Data Dasar
Langkah pertama adalah mengumpulkan data dasar yang menyeluruh untuk mengevaluasi ibu
dan dan bayi baru lahir. Data dasar ini meliputi pengkajian riwayat, pemeriksaan
fisik pelvik sesuai indikasi, meninjau kembali proses perkembangan keperawatan saat ini atau
catatan rumah sakit terdahulu, dan meninjau kembali data hasil laboratorium dan laporan
penelitian terkait secara singkat, data dasar yang di perlukan adalah semua data yang berasal
dari sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi ibu dan bayi baru lahir. Bidan
mengumpulkan data dasar awal lengkap, bahkan jika ibu dan bayi baru lahir mengalami
komplikasi yang mengharuskan mereka mendapat konsultasi dokter sebagai bagian dari
penatalaksaan kolaborasi. Pada waktu tertentu, langkah satu tumpangtindih dengan langkah 5
dan 6 (menjadi bagian dari sebuah alur berkelanjutan) karena upaya untuk memperoleh data
tambahan dari uji laboratorium atau penelitian diagnosis lainnya dapat merupakan bagian dari
rencana. Kadang-kadang bidan perlu memulai langkah dengan langkah 4 (Varney, 2010).
b.      Langkah II: Interpretasi Data Dasar
Langkah kedua bermula dari data dasar: Menginterpretasi data untuk kemudian diproses
menjadi masalah atau diagnosis serta kebutuhan perawatan kesehatan yang diidentifikasi
khusus. Data masalah dan diagnosis sama-sama digunakan karena beberapa masalah tidak
didefinisikan sebagai sebuah diagnosis, tetapi tetap perlu di pertimbangkan dalam
mengembangkan rencana perawatan kesehatan yang menyeluruh. Masalah sering kali
berkaitan dengan bagaimana ibu menghadapi kenyataan tentang diagnosisnya dan ini sering
kali bisa diidentifikasi berdasarkan pengalaman bidan dalam mengenali masalah seseorang
(Varney, 2010).
h.    Langkah III: Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
      Langkah ketiga mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial
berdasarkan masalah diagnosis saat ini berkenaan dengan tindakan antisipasi, pencegahan
jika memungkinkan, menunggu dengan waspada penuh, dan persiapan terhadap semua
keadaan yang mungkin muncul. Langkah ini adalah langkah yang sangat penting dalam
memberi perawatan kesehatan yang aman. Sebagai contoh, seorang wanita
memiliki uterus yang mengalami distensi berlebihan (overdistention). Melihat keadaan ini,
bidan harus memperkirakan alasan terjadinya distensi berlebihan
(misalnya: polihidraamnion, bayi besar untuk masalah kehamilan, ibu diabetes gestasional,
atau kehamilan kembar) dan kemudian mengambil langkah antipasi, melakukan tindakan
kewaspadaan, dan kemudian mempersiapkan beberapa alternatif tindakan terhadap
kemungkinan perdarahan pasca partum mendadak sebagai akibat atonia uterus karena
distensi berlebihan (Varney, 2010).
c.       Langkah IV: Identifikasi dan Penetapan Kebutuhan yang Memerlukan penanganan segera
Langkah keempat mencerminkan sifat kesinambungan proses penatalaksanaan, yang tidak
hanya dilakukan selama perawatan primer atau kunjungan prenatal periodik, tetapi saat bidan
melakukan perawatan berkelanjutan bagi wanita tersebut. Data baru yang diperoleh terus
dikaji dan kemudian dievaluasi. Beberapa data mengidentifikasi situasi kedaruratan,
mengharuskan bidan mengambil tindakan yang cepat untuk mempertahankan ibu dan
bayinya. Situasi lain bukan merupakan situasi darurat, tetapi membutuhkan konsultasi dokter
atau penatalaksanaan darurat, tetapi membutuhkan konsultasi dokter atau penatalaksanaan
kolaborasi (Varney, 2010).
d.      Langkah V: Perencanaan Asuhan Secara Menyeluruh
Langkah kelima mengembangkan sebuah rencana perawatan yang menyeluruh ditemukan
ditentukan dengan mengaju pada hasil langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan
pengembangan masalah atau diagnosis yang diidentifikasi baik pada saat ini maupun yang
dapat diidentifikasi baik pada saat ini maupun yang dapat diantisipasi serta perawatan yang
dibutuhkan. Langkah ini dilakukan dengan mengumpulkan setiap informasi yang hilang atau
untuk melengkapi data dasar. Sebuah rencana perawatan yang menyeluruh tidak hanya
melibatkan kondisi ibu dan bayi baru lahir yang terlihat dan masalah lain yang berhubungan,
tetapi juga menggambarkan petunjuk antipasi bagi ibu atau orang tua apa yang akan terjadi
selanjutnya. Petunjuk antipasi ini juga mencakup didikan dan masalah sosial, ekonomi,
agama, keluarga, budaya atau psikologis. Dengan kata lain, setiap yang berkaitan dengan
aspek perawatan kesehatan dapat digunakan dalam rencana perawatan kesehatan (Varney,
2010).
e.    Langkah VI: Pelaksanaan Perencanaan
Langkah keenam adalah melaksanakan rencana perawatan secara menyeluruh. Langkah ini
dapat dilakukan secara keseluruhan oleh bidan atau dilakukan sebagian oleh ibu dan orang
tua, bidan, atau anggota tim kesehatan lain. Apabila tidak dapat melakukan sendiri, bidan
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa implementasi benar-benar dilakukan. Pada
keadaan melakukan kolaborasi dengan dokter dan memberi kontribusi terhadap
penatalaksanaan perawatan ibu dengan komplikasi, bidan dapat mengambil tanggung jawab
mengimplementasi rencana perawatan kolaborasi yang menyeluruh. Implementasi yang
efisien akan meminimalkan waktu dan biaya serta meningkatkan kualitas perawatan
kesehatan.  Suatu komponen implementasi yang sangat penting adalah pendokumentasian
secara berkala, akurat, dan menyeluruh (Varney, 2010).
f.       Langkah VII: Evaluasi
Langkah ketujuh merupakan tindakan untuk memeriksa apakah rencana perawatan yang
dilakukan benar-benar mencapai tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan ibu, seperti yang telah di
identifikasi pada langkah kedua tentang masalah, diagnosa, maupun kebutuhan perawatan
kesehatan. Rencana tersebut menjadi efektif  bila bidan mengimplementasi semua tindakan
dalam rencana dan menjadi tidak efektif bila tidak diimplementasi. Mungkin saja sebagian
efektif, sementara sebagian lain rencana tersebut tidak efektif. Apabila kita memadai proses
penatalaksanaan sebagai sebuah proses kesinambungan maka sangat penting untuk
memperbaiki setiap perawatan yang tidak efektif dan kemudian rencana disesuaikan lagi
(Varney, 2010).

B.     Kerangka Teori Dasar Bayi Baru Lahir


1.      Pengertian
      Bayi baru lahir (Neonatus) adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran, berusia 0–
28 hari. Bayi baru lahir memerlukan penyesuaian fisiologis berupa maturasi, adaptasi (dari
kehidupan intrauterin ke kehidupan extrauterindan toleransi bayi baru lahir untuk dapat
hidup dengan baik (Marmi, 2012).
      Bayi baru lahir adalah bayi dengan berat lahir antara 2.500-4.000 gram, cukup bulan,
lahir langsung menangis, dan tidak ada kelainan kongenital (cacat bawaan) yang berat seperti
kelinan yang terdapat di daerah mulut, kelainan jantung, atresia oesophagus dan lainnya
(Suryandari, 2014).
2.      Ciri-Ciri Bayi Baru Lahir Normal
Ciri-ciri bayi baru lahir menurut Dwienda (2012), adalah sebagai berikut:
a.       Berat badan 2.500-4.000 gram.
b.      Panjang badan 48-52 cm.
c.       Lingkar dada 30-38 cm.
d.      Lingkar kepala 33-35 cm.
e.       Frekuensi jantung 120-160 x/menit.
f.       Pernafasan 40-60 x/menit.
g.      Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan cukup terbentuk dan
diliputi verniks caeseosa.
h.      Rambut lanugo telah tidak terlihat, rambut kepala biasanya tempak sempurna.
i.        Kuku agak panjang dan lemas.
j.        Genetalia: labia mayora sudah menutupi labia minora (pada perempuan), testis sudah turun
(pada anak laki-laki).
k.      Refleks hisap dan menelan sudah terbentuk dengan baik.
l.        Refleks moro sudah baik, bayi bila dikagetkan akan memperlihatkan gerakan seperti
memeluk.
m.    Graff reflex sudah baik, apabila diletakan satu benda ke telapak tangan, bayi akan
menggenggam atau adanya gerakan reflex.
n.      Eliminasi baik, urin dan meconium akan keluar dalam 24 jam pertama, meconium akan
berwarna kecoklatan.

3.      Adaptasi Perubahan Bayi Baru Lahir


a.   Perubahan Sistem Respirasi
Selama dalam uterus, janin mendapatkan oksigen dari pertukaran gas melalui plasenta.
Setelah pelepasan plasenta yang tiba-tiba pada saat kelahiran, adaptasi sangat cepat terjadi
untuk memastikan kelangsungan hidup. Bayi harus bernafas dengan paru-paru (Dwienda dkk,
2012).
b.    Perubahan Sistem Peredaran Darah
 Setelah lahir, darah bayi harus melewati paru-paru untuk mengambil oksigen dan
mengadakan sirkulasi melalui tubuh guna mengantarkan oksigen ke jaringan. Untuk
membuat sirkulasi yang baik guna mendukung kehidupan luar rahim, harus terjadi 2
perubahan besar, yaitu: penutupan foramen ovale pada atrium jantung dan penutupan duktus
arteriosus antara arteri aorta danparu-paru (Walyani, 2014).
c.       Sistem Perlindungan Termal (Termoregulasi)
Mekanisme pengaturan suhu tubuh pada bayi baru lahir belum berfungsi sempurna. Agar
tetap hangat, bayi baru lahir dapat menghasilkan panas melalui gerakan tungkai dan
dengan stimulasi lemak cokelat. Namun, jika lingkungannya terlalu dingin, bayi rentan
mengalami kehilangan panas. Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan kehilangan panas
tubuh agar bayi baru lahir tidak mengalami hipotermia (Suryandari, 2014).
      Menurut Dwienda (2012), hilangnya panas tubuh dari bayi baru lahir kelingkungannya
dapat terjadi dalam beberapa mekanisme, yaitu sebagai berikut.
1.      Konduksi
 Kehilangan panas melalui konduksi adalah kehilangan panas tubuh melalui kontak langsung
antara tubuh bayi dan objek bayi yang lebih dingin, misalnya meja, tempat tidur, atau
timbangan yang suhunya lebih rendah dari suhu bayi. Benda-benda tersebut akan menyerap
panas tubuh bayi melalui mekanisme konduksi apabila bayi di letakkan di atasnya.
2.      Konveksi
Kehilangan melalui kenveksi adalah kehilangan panas tubuh yang terjadi saat bayi terpapar
udara sekitar yang lebih dingin. Bayi yang dilahirkan atau di tempatkan di dalam ruangan
yang dingin akan cepat mengalami kehilangan panas. Kehilangan panas juga terjadi jika
ada konveksi aliran udara melalui ventilasi atau pendingin ruangan.
3.     Radiasi
Kehilangan panas melalui radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi karena bayi
ditempatkan di dekat benda yang mempunyai suhu lebih rendah dari suhu tubuh bayi. Bayi
dapat kehilangan panas dengan cara ini karena benda tersebut menyerap radiasi panas tubuh
bayi (walaupun tidak bersentuhan secara langsung).
4.      Evaporasi
Kehilangan panas melalui evaporasi merupakan jalan utama bayi kehilangan panas.
Kehilangan panas dengan cara ini dapat terjadi karena penguapan cairan ketuban pada
permukaan tubuh oleh panas tubuh bayi sendiri, karena setelah lahir tubuh bayi tidak segera
dikeringkan.
d.      Sistem Gastrointestinal
Kemampuan bayi baru lahir cukup bulan untuk menelan dan mencerna makanan (selain susu)
masih terbatas. Kapasitas bayi masih terbatas, kurang dari 30 cc untuk bayi baru lahir cukup
bulan. Kapasitas lambung ini akan bertambah secara perlahan seiring dengan pertumbuhan
dan perkembangan bayi (Marmi, 2012).
e.       Perubahan Sistem Kekebalan Tubuh (Imun)
Perubahan sistem kekebalan tubuh bayi sebelum lahir, janin dilindungi oleh plasenta
dari antigen dan stress imunologik. Setelah lahir bayi terlepas dari plasenta sehingga bayi
menjadi rentan terhadap berbagai infeksi dan alergi karena sistem kekebalan tubuhnya belum
matang (Marmi, 2012).
f.       Perubahan Metabolism Karbohidrat
Di dalam kandungan, janin mendapatkan kebutuhan akan glukosa dari plasenta. Tindakan
penjepitan tali pusat dengan klem pada lahir menyebabkan seorang bayi harus mulai
mempertahankan kadar glukosa darahnya sendiri. Pada BBL, glukosa darah akan turun dalam
waktu capat (1-2 jam). Untuk memperbaiki kadar gula tersebut, dapat dilakukan tiga cara,
yaitu: melalui penggunaan ASI, melalui penggunaan cadangan glikogen, dan melalui
pembuatan glukosa dari sumber lain terutama lemak (Suryandari, 2014).
4.      Penanganan Bayi Baru Lahir Normal
      Penanganan pada BBL mencakup menjaga bayi agar tetap hangat membersihkan saluran
nafas (hanya jika perlu), mengeringkan tubuh bayi (kecuali telapak tangan), memantau tanda
bahaya, memotong dan mengikat tali, melakukan inisiasi menyusu dini (IMD), memberikan
suntikan vitamin K1, memberi salep mata antibiotic pada kedua mata, memberi imunisasi
hepatitis B, serta melakukan pemeriksaan fisik (Mika, 2016).
a.       Menjaga bayi agar tetap hangat
        Langkah awal dalam menjaga bayi agar tetap hangat adalah dengan menyelimuti bayi
segera mungkin setelah lahir. Lalu, tunda atau jangan dulu memandikan bayi selama
setidaknya enam jam atau sampai bayi stabil untuk mencegah hipotermi (Suryandari, 2014).
b.      Membersihkan saluran nafas
      Setelah menjaga bayi agar tetap hangat, bersihkan saluran pernafasan dengan menghisap
lender di mulut dan hidung. Namun, hal ini hanya di lakukan jika di perlukan. Tindakan ini
juga di lakukan sekaligus dengan penilaian skor APGAR menit pertama (Mika, 2016). Bayi
normal akan menangis spontan segera setelah lahir. Apabila bayi tidak langsung menangis,
jalan nafas harus segera dibersihkan dengan cara sebagai berikut:
1)      Penolong mencuci tangan dan memakai sarung tangan steril.
2)      Bayi diletakan pada posisi terlentang di tempat tidak terlalu empuk dan hangat. Badan bayi
dalam keadaan terbungkus.
3)      Posisi kepala bayi diatur lurus sedikit tengadah ke belakang.
4)      Pangkal penghisap lender dibungkus dengan kan kassa steril, kemudian di masukan kedalam
mulut bayi.
5)      Tangan kanan penolong membuka mulut bayi, kemudian jari telunjuk tangan kiri dimasukan
ke dalam mulut bayi sampai epiglottis (untuk menahan lidah). Setelah itu, jari tangan kanan
memasukan pipa.
6)      Dengan posisi sejajar dengan jari telunjuk tangan kiri, lender dihisap
sebanyak-banyaknya dengan arah memutar.
7)      Selang dimasukkan berulang-ulang ke hidung dan mulut untuk dapat menghisap lender
sebanyak-banyaknya.
8)      Lendir ditampung diatas bengkok dan ujung pipa dibersihkan dengan kassa.
9)      Penghisapan di lakukan sampai bayi menangis dan lendirnya bersih. Setelah itu, telinga dan
bagian sekitarnya dibersihkan.
a)   Mengeringkan tubuh bayi
      Tubuh bayi dikeringkan dari cairan ketuban dengan menggunakan kain atau handuk
kering, bersih dan halus. Mengeringkan tubuh bayi juga merupakan tindakan stimulasi untuk
bayi yang sehat, hal ini biasanya cukup untuk merangsang pernapasan spontan. Jika bayi
tidak memberikan respons terhadap pengeringan dan rangsangan serta menunjukan tanda-
tanda kegawatan, segera lakukan tindakan untuk membantu pernafasan (Mika, 2016).
      Tubuh bayi dikeringkan mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan lembut
tanpa menghilangkan verniks. Verniks akan membantu menyamankan dan menghangatkan
bayi. Setelah dikeringkan, selimuti bayi dengan kain kering untuk menunggu dua menit
sebelum tali pusat diklem. Hindari mengeringkan punggung tangan bayi. Bau
cairan amnion pada tangan bayi membantu mencari puting ibunya yang berbau sama
(Walyani, 2011).
b)   Memotong dan mengikat tali pusat
      Menurut Suryandari (2014), ketika memotong dan mengikat tali,
teknik aseptic dan antiseptic harus diperhatikan. Tindakan ini sekaligus dilakukan untuk
menilai skor APGAR menit kelima. Cara pemotongon dan pengikatan tali pusat adalah
sebagai berikut.
(1)   Klem, potong, dan ikat tali pusat dua menit paska bayi lahir. Penyuntikan oksitosin pada ibu
dilakukan sebelum tali pusat dipotong (oksitosin 10 IU intramuscular).
(2)   Lakukan penjepitan ke-1 dengan klem logam DTT 3 cm dari dinding perut (pangkal pusat)
bayi. Dari titik jepitan, tekan tali pusat dengan dua jari kemudian dorong isi tali pusat
(3)   kearah ibu (agar darah tidak terpancar pada saat dilakukan
pemotongan tali pusat). Lakukan penjepitan ke-2 dengan jarak 2 cm dari tempat jepitan ke-1
ke arah ibu,
(4)   Pegang tali pusat diantara kedua klem tersebut, satu tangan menjadi landasan tali pusat
sambil melindungi bayi, tangan yang lain memotong ke dua tali pusat diantara kedua klem
tersebut dengan menggunakan gunting DTT atau steril.
(5)   Ikat tali pusat dengan benang DTT atau steril pada satu sisi, kemudian lingkarkan kembali
benang tersebut dan ikut dengan simpul kunci pada sisi lainnya
(6)   Lepaskan klem logam penjepit tali pusat dan masukan ke dalam larutan klorin 0,5%.
(7)   Letakan bayi tengkurap di dada ibu dengan inisiasi menyusu dini.
c) Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
      Prinsip pemberian ASI adalah dimulai sedini mungkin, eksklusif selama 6 bulan
diteruskan sampai 2 tahun dengan makanan pendamping ASI sejak usia 6 bulan. Pemberian
ASI pertama kali dapat dilakukan setelah tali pusat bayi dipotong dan diikat (Suryandari,
2014).
d)   Memberikan identitas diri
       Segera setelah IMD, bayi baru lahir difasilitas kesehatan       segera mendapat tanda
pengenal berupa gelang yang digunakan pada bayi dan ibunya untuk menghindari tertukarnya
bayi. Gelang pengenal tersebut berisi identitas nama ibu dan ayah, tanggal, jam lahir, dan
jenis kelamin (Suryandari, 2014).
e)Memberikan suntikan vitamin K1
       Karena sistem pembukaan darah bayi baru lahir belum   sempurna, semua BBL beresiko
mengalami perdarahan. Untuk mencegah terjadinya perdarahan, pada semua bayi baru lahir,
terutama bayi berat lahir rendah, berikan suntikan vitamin K1 (Phytomenadione) sebanyak 1
mg dosis tunggal, intramuscular pada anterolateral paha kiri (Mika, 2016).
f)   Memberi salep mata antibiotic pada kedua mata
      Salep mata antibiotic diberikan untuk mencegah terjadinya   infeksi pada mata. Salep ini
diberikan 1 jam setelah lahir. Salep mata antibiotic yang biasa digunakan
adalah tetrasiklin 1%.
g)      Memberikan imunisasi
      Imunisasi hepatitis B pertama (HB-0) diberikan 1-2 jam setelah pemberian vitamin K1
secara intramuscular. Imunisasi B bermanfaat untuk mencegah infeksi hepatitis B terhadap
bayi, terutama jalur penularan ibu ke bayi baru lahir (Marmi, 2012).
h)   Melakukan pemeriksaan fisik
      Pemeriksaan/pengkajian fisik pada bayi baru lahir dilakukan untuk mengetahui apakah
terdapat kelainan yang perlu mendapat tindakan segera serta kelainan yang berhubungan
dengan kehamilan, persalinan, dan kelahiran (Marmi, 2012).

C.    Konsep Dasar Asfiksia
1.      Pengertian
      Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bisa bernafas secara spontan dan teratur.
Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah
persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada
bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2010).
      Asfiksia atau gagal bernafas adalah keadaan bayi baru lahir dimana bayi baru lahir tidak
dapat bernafas secara spontan dan teratur saat lahir atau beberapa menit setelah lahir.
Keadaan gagal bernafas ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir
dengan asidosis (Marmi, 2012).
      Asfiksia neonatorum adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir
atau beberapa saat setelah bayi lahir yang ditandai dengan hipiksemia, hiperkarbia,
dan asidosi  (Dwienda dkk, 2012).
2.      Gejala dan Tanda
      Gejala dan tanda terjadinya asfiksia neonatorum menurut Marmi (2012), adalah:
a.       DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur.
b.      Mekonium dalam air ketuban pada janin letak janin.
c.       Tonus otot buruk karena keurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain.
d.      Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
e.       Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung
f.       Pernafasan cepat karena kegagalan obseorbsi cairan paru-paru atau nafas megap-megap
g.      Sianosis atau pucat karena kekurangan oksigen dalam darah
h.      Penurunan terhadap rangsangan
      Gejala dan tanda terjadinya asfiksianonatorum menurut Sudarti (2013), adalah:
a.       Tidak bernafas atau bernafas megap-megap atau bernafas lambat (kurang dari 30 x/menit).
b.      Pernafasan tidak teratur, tidak atau adanya retraksi (pelekukan dada).
c.       Tangisan lemah atau merintih.
d.      Warna kuli pucat atau biru.
e.       Tonus otot lemas atau ekstremitas terkulai.
f.       Denyut jantung tidak ada atau lambat (kurang dari 100 x/menit).
3.      Klasifikasi
      Menurut Marmi (2012) kalsifikasi asfiksia adalah sebagai berikut:
a.      Virgous Baby
Skor apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan segera.
b.      Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang)
Skor apgar 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100
x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilita tidak ada.
c.       Asfiksia berat
Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisisk ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100
x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilita, tidak
ada.  
Klasifikasi asfiksia menurut Maryanti, dkk (2011) adalah:
a.       Bayi lahir normal (nilai APGAR 7-10).
b.      Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6).
c.       Asfiksia berat (nilai APGAR 0-3).
6.      Pencegahan Asfiksia Neonatorum
      Pencegahan, eliminasi dan antisipasi terhadap faktor-faktor risiko asfiksia menjadi
prioritas utama. Bila ibu memiliki faktor yang memungkinkan bayi lahir
dengan asfiksia, maka langkah-langkah yang harus dilakukan.
Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan seperti anjuran WHO
Untuk mencari dan mengeliminasi faktor-faktor risiko.
       Bila bayi berisiko premature yang kurang dari 34 minggu, pemberian kortikosteroid 24
jam sebelum lahir menjadi prosedur rutin yang dapat membantu maturasiparu-paru bayi dan
mengurangi komplikasi sindroma komplikasi sindroma pernafasan (Marmi, 2012).
       Pada saat persalinan, penggunaan partograph yang benar dapat membantu deteksi dini
kemungkinan diperlukannya resusitasineonatus. Adanya kebutuhan dan tantangan untuk
meningkatkan kerja sama antara tenaga obstetric dikamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan
untuk penanganan situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan.
7.      Komplikasi dan Masalah
       Menurut Arif dkk (2009), masalah yang sering timbul pada bayi baru lahir
dengan asfiksia sedang adalah hipotermi, risiko infeksi, dan gangguan nutrisi.
       Menurut Kosim (2010), komplikasi dan masalah yaitu:
a.    Otak (ensopalo hipoksis iskemik)
b.    Ginjal (gagal ginjal akut)
c.    Jantung (gagal jantung
DAFTAR PUSATAKA
Arief dan Kristiyanasari. 2009. Neonatus Dan Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Depkes RI. 2010. Angka Kematian Bayi Baru Lahir.
(AKB). http://Cetak.Kompas.Com/read/xml/2007/29/0051226//Stimulososial.Diakses
Depkes RI. 2009. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Depkes RI
Dewi, Vivian Nanny Lia. 2013. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika.
Dwienda, 2012. Neonatus, Bayi/Balita Dan Anak Prasekolah. Yogyakarta.
Jannah, Nurul 2009. Definisi Bayi Baru Lahir Normal. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Kementerian Kesehatan RI (2015) Profil Kesehatan Indonesia Tahun. 2014.
Manuaba, Ida Ayu Candranita, Bagus, dan Gede 2010. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi dan
Obstetri Ginekologi untuk Profesi Bidan. Jakarta:EGC.
Manuaba, Ida Ayu Candranita, Bagus dan Gede. 2010. Ilmu kebidanan penyakit kandungan dan
KB. Jakarta: EGC.
Marmi.  2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita Dan Anak Prasekolah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Maryanti, Dwi. 2011. Neonatus, Byi dan Bidan. Jakarta: CV.Trans Info Media.
Mufdilah. 2009. Panduan Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. Jogjakarta: Nuha Medika Press.
Notoatmojo,S. 2010. metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. 2009. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Prawirahardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Buku Bina Pustaka.
Riwidikdo, H. 2009. Statistik Kesehatan.Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.
Seminen, 2009. Asuhan Kebidanan Kehamilan Normal. Jakarta: EGC.
Stoppard.Miriam. 2009. Buku Panduan Lengkap Kehamilan dan Persalinan Modern. Jakarta:
Media Abadi.
Sudarti. 2013. Asuhan Neonatus Resiko Tinggi dan Kegawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sulistyawati Ari dan Esti Nugraheni. 2010. Asuhan Kebidanan pada ibu bersalin. Jakarta:
Salemba Medika.
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia. 2012. Laporan Pendahuluan SDKI
2012. http://www.bkkbn.go.id/.
Suryandari, 2014. Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara.
Trisnawati, Friska. (2016) Pengantar Ilmu Kebidanan. Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Varney, Helen.2007. Varney Midwifery. Jakarta: EGC.
WHO. Maternal Mortality: World Health Organization: 2014.
Wiknjosastro. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yaasan Buku Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai