NAMA
NIM
Oleh :
COVER
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Neonatus
B. Asuhan Neonatus
BAB III TINJAUAN KASUS
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG
Menurut Adetola et al., 2011 dalam jurnal (Mafticha, 2016), dua puluh
delapan hari pertama kehidupan atau periode neonatal merupakan periode
kehidupan yang rawan, dimana bayi rentan terhadap penyakit dan kematian.
Sebagian besar kematian neonatal dapat dicegah dengan pemberian paket
pelayanan minimum neonatal. Secara global hampir 3 juta neonatus meninggal
setiap bulan selama bulan pertama kehidupan (Lunze et al., 2015), 1,2 juta
diantaranya terjadi di India dan menyumbang lebih dari seperempat kematian
neonatal di dunia (Srivastava et al., 2010). Hal tersebut terjadi karena kurangnya
perawatan yang tepat (Zuraida, 2018). Bahkan proporsi kematian neonatal di
Uganda meningkat dari 22% pada tahun 1990 menjadi 33% pada tahun 2012
(Waiswa et al., 2015). Pada tahun 2013 sekitar 73% kematian neonatal terjadi
pada tujuh hari kehidupan dengan jumlah sekitar dua juta orang, 16% terjadi pada
hari pertama kehidupan dengan jumlah sekitar satu juta orang (UNICEF, 2013).
Hampir sekitar 99% kematian neonatal terjadi di negara berkembang, dimana dua
pertiganya terjadi di Afrika dan Asia Tenggara (Adetola et al., 2011 dalam jurnal
(Mafticha, 2016). Hal serupa disampaikan pula oleh Paudel bahwa kematian
neonatal terjadi di negara berkembang, termasuk tiga perempatnya terjadi di Asia
Selatan dan Afrika (Paudel et al., 2019) dan penurunan angka kematian neonatal
dinilai lebih lambat dibandingkan dengan Angka kematian bayi (AKB) (Khatri et
al., 2016). AKB di Indonesia dalam periode lima tahun (2010- 2015) sebesar 32
per 1.000 kelahiran hidup dimana 60% kematian bayi terjadi selama periode
neonatal. Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012 Angka Kematian Neonatal (AKN) sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup.
Angka ini sama dengan AKN berdasarkan SDKI tahun 2007 (Kemenkes RI,
2017). Menurut Utomo, dkk (2016) AKN di Indonesia merupakan yang tertinggi
diantara negara-negara ASEAN dengan penurunan yang relatif sangat lambat
yaitu sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup . Hal tersebut berarti dalam setiap jam
terdapat 10 kematian neonatal. Keadaan tersebut diakibatkan oleh penyebab
utama kematian yang sebenarnya dapat dicegah melalui pendekatan deteksi dini
dan penatalaksanaan yang tepat serta dukungan faktor ketrampilan tenaga
kesehatan khususnya penanganan neonatal serta pelayanan kesehatan bayi yang
berkualitas.
AKB merupakan indikator yang sensintif terhadap ketersediaan, kualitas
dan pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama pelayanan perinatal (Maria, 2014)
dimana hal senada juga disampaikan oleh Nugraheni et al., 2016 bahwa salah satu
indikator kematian anak yang dianggap penting adalah AKB karena merupakan
indikator status kesehatan masyarakat dan ndikator kesejahteraan suatu daerah
atau negara.
AKN merupakan jumlah kematian bayi umur kurang dari 28 hari (0-28
hari) per 1.000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKN
menggambarkan tingkat pelayanan kesehatan ibu dan anak. Semakin tinggi AKN,
berarti semakin rendah tingkat pelayanan kesehatan ibu dan anak (Kemenkes RI,
2014).
Masalah utama neonatal adalah karena masa ini merupakan masa kritis,
sangat rentan, mudah menjadi sakit, jika sakit sulit dikenali, cepat memburuk dan
dapat terjadi kematian. Sebagian besar penyebab kematian neonatal dapat dicegah
dan diobati dengan biaya murah dan efektif. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, WHO dan UNICEF merancang strategi Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) yang diperluas sehingga mencakup Manajemen Terpadu Bayi Muda
(MTBM) umur kurang dari 2 bulan baik dalam keadaan sehat maupun sakit,
dimana unsur penting dalam MTBM adalah manajemen kasus terintegrasi yang
berfokus pada penyebab utama kematian bayi (Haileamlak et al., 2010). MTBM
merupakan standar tatalaksana bayi muda usia kurang dari 2 bulan. Salah satu
penyebab pelaksanaan MTBM belum sesuai target dan harapan adalah karena
ketidakpatuhan petugas dalam melaksanakan kunjungan neonatal dengan
pendekatan MTBM (Hariyani, 2014). Kunjungan neonatal (KN) menggunakan
algoritma MTBM dinilai cost effective untuk menurunkan angka kematian
neonatal 30-60% (Iraningsih & Azinar, 2017). Bahkan lebih dari dua pertiga dari
kematian bayi baru lahir bisa dicegah dengan intervensi yang relatif murah dan
intervensi berteknologi rendah (Paudel et al., 2017). Senada dengan hasil
penelitian Taneja et al bahwa pelaksanaan MTBM pada kelompok intervensi
mengakibatkan penurunan kematian neonatal dan bayi 15% lebih rendah daripada
kelompok kontrol (Taneja et al., 2015).
Hasil penelitian kualitatif Jamhariyah (2013) menyebutkan bahwa
sebagian besar bidan desa belum melaksanakan kunjungan neonatal sesuai dengan
standar, bidan hanya mengukur suhu dan menimbang berat badan saja, tidak
membawa peralatan dengan lengkap, tidak mencatat hasil pemeriksaan
(Jamhariyah, 2013).
Dampak kekurangtahuan dan ketidakpatuhan bidan desa dalam
menerapkan langkah-langkah MTBM pada kunjungan neonatal menyebabkan
proses penilaian tidak lengkap, klasifikasi tidak tepat, pemberian tindakan tidak
sesuai, serta konseling menjadi sangat singkat. Hal ini mengakibatkan proses
deteksi dini, penanganan, pencegahan terhadap suatu penyakit, atau tanda bahaya
tidak dapat berjalan dengan baik, sehingga angka komplikasi dan kematian
neonatal mengalami peningkatan.
Kemenkes RI (2013) menyatakan hambatan dalam penerapan MTBM
dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu modul atau komponen tentang
penerapan manajeman terpadu tidak dibaca atau dipelajari dengan
sungguhsungguh, kurangnya bimbingan dan dukungan pimpinan puskesmas,
jumlah tenaga terlatih tidak sebanding dengan jumlah pasien, bayi baru lahir
cukup banyak sehingga kunjungan neonatal tidak maksimal, sementara tugas
bidan sangat banyak serta petugas merasa belum percaya diri terhadap
kemampuanya terhadap kemampuannya dalam menerapkan manajeman terpadu
bayi dan balita sakit.
Tantangan utama pelaksanaan MTBS di fasilitas kesehatan di Mwanza,
Tanzania adalah cakupan pelatihan petugas kesehatan yang rendah, kurangnya
obat esensial, kurangnya onsite mentoring dan kurangnya penyegaran dan
pengawasan terhadap pelaksanaan MTBS (Kiplagat et al., 2014), senada dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Gerensea bahwa konsistensi pelaksanaan
MTBM ada sebanyak 62,8% kasus dapat diklasifikasikan dengan benar dan ada
37,2% kasus diklasifikasikan salah, 42,7% kasus diobati dengan benar dan 57,3%
kasus tidak diberikan pengobatan dengan benar, dan hanya ada 24, 7% kasus
diberikan pesan untuk datang pada waktu yang tepat sedangkan 75,3% kasus
diberikan pesan untuk datang dengan tidak tepat waktu (Gerensea et al., 2018).
Berdasarkan dari uraian masalah diatas, penulis tertarik untuk menyusun Laporan
kasus Asuhan Kebidanan Neonatus Pada Bayi “S” Di Puskesmas Desa Gedang
Kota Sungai Penuh.
b. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana memberikan Asuhan Kebidanan Neonatus Pada Bayi “S” Di
Puskesmas Desa Gedang Kota Sungai Penuh.
c. TUJUAN PENULISAN
1) Tujuan Umum
Untuk dapat melakukan Asuhan Kebidanan Neonatus Pada Bayi “S” Di
Puskesmas Desa Gedang Kota Sungai Penuh.
2) Tujuan Khusus
a. Untuk dapat melakukan pengkajian data subjektif
b. Untuk dapat melakukan pengkajian data objektif
c. Untuk dapat melakukan assesment
d. Untuk dapat melakukan Pelaksanaan asuhan kebidanan
e. Untuk dapat melakukan Pendokumentasi
d. MANFAAT
1) Manfaat Teoritis
Laporan ini dapat menambahkan pengetahuan, pengalaman, dan wawasan, serta
bahan dalam penerapan asuhan kebidanan pada neonatus.
2) Manfaat Praktis
a. Bagi Dinas Kesehatan
Diharapkan dapat menjadi masukan untuk dinas kesehatan, agar
dapat menjadi pertimbangan dan peningkatan kualitas meningkatkan
pelayanan kesehatan pada neonatus.
b. Bagi keluarga
Diharapkan dapat mendukung pasien untuk menjalani aktivitas
sehari-hari dan meningkatkan kondisi kesehatan pada neonatus.
c. Bagi pasien
Diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam menghadapi
ketidaknyamanan pada neonatus.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KONSEP NEONATUS
1) Pengertian neonatus
Neonatus adalah bayi yang lahir dengan berat lahir antara 2500 –
4000 gram, cukup bulan, lahir langsung menangis, dan tidak ada kelainan
congenital (cacat bawaan) yang berat (Marmi dan Kukuh 2012).
Neonatus perlu menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterine ke
kehidupan ekstrauterin. Tiga faktor yang memengaruhi perubahan fungsi
ini yaitu maturasi, adaptasi dan toleransi. Maturasi mempersiapkan fetus
untuk transisi dari kehidupan intrauterine ke kehidupan ekstrauterin dan
ini berhubungan lebih erat dengan masa gestasi dibandingkan dengan berat
badan lahir. Adaptasi diperlukan oleh neonatus untuk dapat tetap hidup
dalam lingkungan baru yang dibandingkan dengan lingkungan selama
menjadi fetus, kurang menyenangkan. Toleransi yakni kemampuan tubuh
bertahan terhadap kondisi-kondisi abnormal seperti hipoksia,
hipoglikemia, dan perubahan pH yang dramatis dimana fatal bagi orang
dewasa tetapi tidak bagi bayi. Toleransi dan adaptasi berbanding terbalik
bila dibandingkan dengan maturasi. Makin matur neonatus, makin baik
adaptasinya tetapi makin kurang toleransinya (Hassan R, 2015).
2) Tanda-tanda neonatus normal
Tanda-tanda neonatus normal adalah appearance color (warna
kulit) seluruh tubuh kemerahan, pulse (denyut jantung) >100 x/menit,
grimace (reaksi terhadap rangsangan) menangis/batuk/bersin, activity
(tonus otot) gerakan aktif, respiration (usaha nafas) bayi menangis kuat.
(Rukiyah 2012).
Kehangatan tidak terlalu panas (lebih dari 38°C) atau terlalu dingin
(kurang dari 36°C), warna kuning pada kulit (tidak pada konjungtiva),
terjadi pada hari ke-2 sampai ke-3 tidak biru, pucat, memar. Pada saat
diberi makan, hisapan kuat, tidak mengantuk berlebihan, tidak muntah.
Tidak juga terlihat tanda-tanda infeksi seperti tali pusat merah, bengkak,
keluar cairan, berbau busuk, berdarah. Dapat berkemih selama 24 jam,
tinja lembek, sering hijau tua, tidak ada lendir atau darah pada tinja, bayi
tidak menggigil atau tangisan kuat, dan tidak terdapat tanda: lemas,
mengantuk, lunglai, kejangkejang halus tidak bisa tenang, menangis terus-
menerus (Rukiyah 2012).
3) Asuhan Kebidanan Neonatus
a. Penilaian neonatus
Pengkajian pertama pada seorang bayi dilakukan pada saat lahir
dengan menggunakan nilai Apgar dan melalui pemeriksaan fisik
singkat. Bidan atau penolong persalinan menetapkan nilai Apgar.
Pengkajian usia gestasi dapat dilakukan dua jam pertama setelah
lahir. Pengkajian fisik yang lebih lengkap diselesaikan dalam 24 jam
(Wijayarini, Maria A dan Anugrah, Peter I 2015).
Cara mengkaji nilai Apgar adalah sebagai berikut (Sondakh, Jenny
J.S 2013) :
Observasi tampilan bayi, misalnya apakah seluruh ubuh bayi
berwarna merah muda (2), apakah tubuh merah muda, tetapi
ekstremitas biru (1), atau seluruh tubuh bayi pucat atau biru (0).
Hitung frekuensi jantung dengan memalpasi umbilicus atau meraba
bagian atas dada bayi di bagian apeks 2 jari. Hitung denyutan
selama 6 detik, kemudian dikalikan 10. Tentukan apakah frekuensi
jantung >100 (10 denyut atau lebih pada periode 6 detik kedua) (2),
<100. (<10 denyut dalam 6 detik) (1), atau tidak ada denyut (0).
Bayi yang berwarna merah muda, aktif, dan bernapas cenderung
memiliki frekuensi jantung >100.
Respons bayi terhadap stimulus juga harus diperiksa, yaitu respons
terhadap rasa haus atau sentuhan. Pada bayi yang sedang
diresusitasi, dapat berupa respons terhadap penggunaan kateter
oksigen atau pengisapan. Tentukan apakah bayi menangis sebagai
respons terhadap stimulus (2), apakah bayi mencoba untuk
menangis tetapi hanya dapat merintih (1), atau tidak ada respons
sama sekali (0).
Observasi tonus otot bayi dengan mengobservasi jumlah aktivitas
dan tingkat fleksi ekstremitas. Adakah gerakan aktif yang
menggunakan fleksi ekstremitas yang baik (2), adakah fleksi
ekstremitas (1), atau apakah bayi lemas (0).
Observasi upaya bernapas yang dilakukan bayi. Apakah baik dan
kuat, biasanya dilihat dari tangisan bayi (2), apakah pernapasan
bayi lambat dan tidak teratur (1), atau tidak ada pernapasan sama
sekali (0).
Sedangkan prosedur penilaian Apgar adalah sebagai berikut
(Sondakh, Jenny J.S 2013) :
Pastikan bahwa pencahayaan baik, sehingga visualisasi warna
dapat dilakukan dengan baik, dan pastikan adanya akses yang baik
ke bayi.
Catat waktu kelahiran, tunggu 1 menit, kemudian lakukan
pengkajian pertama. Kaji kelima variabel dengan cepat dan
simultan, kemudian jumlahkan hasilnya.
Lakukan tindakan dengan cepat dan tepat sesuai dengan hasilnya,
misalnya bayi dengan nilai 0-3 memerlukan tindakan resusitasi
dengan segera.
Ulangi pada menit kelima. Skor harus naik bila nilai sebelumnya 8
atau kurang.
Ulangi lagi pada menit kesepuluh.
Dokumentasikan hasilnya dan lakukan tindakan yang sesuai.
Tabel 2.8 Tanda APGAR Bayi Baru Lahir
warna kulit
warna kulit
tubuh normal
tubuh, tangan,
merah muda,
seluruhnya dan kaki
Warna kulit tetapi tangan Appearance
biru normal merah
dan kaki
muda, tidak
kebiruan
ada sianosis
(akrosianosis)
Denyut jantung tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit Pulse
lemah/tidak
Tonus otot sedikit gerakan bergerak aktif Activity
ada
menangis kuat,
lemah atau
Pernapasan tidak ada pernapasan baik Respiration
tidak teratur
dan teratur
Interpretasi:
Nilai 1-3 asfiksia berat,
Nilai 4-6 asfiksia sedang,
Nilai 7-10 asfiksia ringan.
Hasil nilai APGAR skor dinilai setiap variabel dinilai dengan 0, 1,
dan 2 nilai tertinggi adalah 10, selanjutnya dapat ditentukan keadaan bayi
sebagai berikut :
Nilai 7-10 menunjukkan bahwa bayi dalam keadaan baik (Vigrous
baby)
Nilai 4-6 menunjukkan bayi mengalami depresi sedang dan
membutuhkan tindakan resusitasi
Nilai 0-3 menunjukkan bayi mengalami depresi serius dan
membutuhkan resusitasi segera sampai ventilasi (Walyani dan
Purwoastuti, 2015).
B. KONSEP MTBM
1) Pengertian Manajemen Terpadu Bayi Muda
Bayi muda adalah bayi dengan rentang usia kurang dari 2 bulan. Pada
bayi sistem fungsi tubuh belum sempurna sehingga bayi rawan mengalami
masalah yang memerlukan tatalaksana yang tepat. Tatalaksana yang
kurang tepat diduga dapat menyebabkan komplikasi dan kematian pada
bayi (Kemenkes RI, 2014).
MTBM merupakan suatu pendekatan yang terpadu dalam tatalaksana
bayi umur kurang dari 2 bulan, baik dalam keadaan sehat maupun sakit,
baik yang datang ke fasilitas rawat jalan maupun yang dikunjungi oleh
tenaga kesehatan pada saat kunjungan neonatal (Kemenkes RI, 2019).
MTBM adalah strategi yang mengintegrasikan semua langkah yang
tersedia untuk promosi kesehatan, pencegahan dan manajemen terpadu
penyakit anak melalui deteksi dini dan pengobatan yang efektif (Seid &
Sendo, 2018).
Fokus pelayanan MTBM terletak pada perawatan bayi baru lahir
melalui kunjungan rumah dan memperbaiki praktek perawatan bayi baru
lahir di rumah, selain peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan dalam
mengelola bayi yang sakit di fasilitas kesehatan (Prinja et al., 2016).
Menurut Putra et al., 2012 dalam melaksanakan MTBM, bidan diwajibkan
mengisi formulir bayi muda supaya penerapannya menjadi lebih
sistematis.
Menurut Kemenkes RI (2014), salah satu intervensi efektif untuk
mempercepat penurunan angka kematian neonatus dan bayi yaitu dengan
menerapkan MTBM berupa standar pelaksanaan tatalaksana bayi muda
secara terpadu di fasilitas kesehatan dasar. Senada dengan jurnal penelitian
dari Anggraini (2018) bahwa MTBM sangat cocok diterapkan di negara-
negara berkembang dalam upaya menurunkan angka kematian, kesakitan
dan kecacatan bayi apabila di laksanakan dengan lengkap dan baik.
Bayi muda mudah sekali menjadi sakit, cepat menjadi berat dan serius
bahkan meninggal terutama pada satu minggu pertama kehidupan bayi.
Guna mengantisipasi kondisi tersebut, program KIA memberikan
pelayanan kesehatan pada bayi baru lahir melalui kunjungan neonatal oleh
tenaga kesehatan. Secara teknis penerapan MTBM diutamakan
pelaksanaannya oleh bidan pada saat kunjungan neonatal I (KN1) sampai
kunjungan neonatal III (KN3). Melalui kegiatan ini bayi baru lahir dapat
dipantau kesehatannya dan di lakukan deteksi dini. Jika ditemukan
masalah petugas kesehatan dapat menasehati dan mengajari ibu untuk
melakukan asuhan dasar bayi muda di rumah, bila perlu merujuk bayi
segera. Senada dengan yang di sampaikan oleh Hartaty et al., 2018 bahwa
tujuan MTBM disamping untuk mempercepat penurunan angka kematian
bayi, juga peningkatan pelayanan kesehatan anak, untuk mengetahui
apakah anak perlu dirujuk atau tidak, memberikan kemampuan bagi
keluarga dan masyarakat untuk dapat melakukan perawatan dirumah.
Menurut Permenkes No. 28 tahun 2017 tentang tentang
penyelenggaraan praktik kebidanan kedudukannya lebih tinggi dari PP No.
52 tahun 200 tentang pekerjaan kefarmasian, hal ini dapat menjadi payung
hukum bagi seorang bidan dalam menangani bayi dengan pemberian obat
sesuai dengan panduan MTBM (Anggraini, 2018).
2) Pelaksanaan Manajemen Terpadu Bayi Muda
Proses manajemen kasus disajikan dalam bagan yang memperlihatkan
urutan langkah-langkah dan penjelasan cara pelaksanaannya, yaitu:
a. Penilaian dan Klasifikasi
Penilaian berarti melakukan penilaian dengan cara anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jika seorang anak atau bayi muda dibawa ke klinik,
petugas kesehatan menggunakan komunikasi yang baik untuk
menanyakan kepada ibu tentang masalah anaknya, memeriksa adakah
tanda bahaya umum yang menunjukkan kondisi yang mengancam jiwa
dan memeriksa bayi muda untuk tanda dan gejala, pemberian vitamin
K1 dan imunisasi (Kemenkes RI, 2017).
Klasifikasi berarti membuat keputusan mengenai penyakit atau
masalah serta tingkat keparahannya dan merupakan suatu kategori
untuk menentukan tindakan berdasarkan algoritma pada buku bagan.
Buku bagan terdapat 3 warna yaitu:
Merah muda artinya bayi sakit berat dan harus dirujuk segera
setelah diberi pengobatan pra rujukan.
Kuning artinya bayi dapat berobat jalan dan membutuhkan
pengobatan medis spesifik dan nasihat.
Hijau artinya bayi sakit ringan dan cukup diberi nasihat sederhana
tentang penanganan di rumah.
Menurut Kemenkes RI (2019), penilaian bayi muda umur kurang dari
2 bulan terdiri dari menilai dan Mengklasifikasikan Kemungkinan
Penyakit Sangat Berat atau Infeksi.
Bakteri Infeksi pada bayi muda dapat terjadi secara sistemik atau
lokal. Infeksi sistemik umumnya menggambarkan gangguan fungsi
sistem organ seperti tidak mau minum atau memuntahkan semua,
gangguan kesadaran sampai kejang, gangguan nafas, atau hipotermia.
Pada infeksi lokal, bagian yang terinfeksi biasanya teraba panas,
bengkak, merah. Infeksi lokal yang sering terjadi pada bayi muda
adalah infeksi pada tali pusat, kulit, mata dan telinga (Kemenkes RI,
2019).
Cara menilai kemungkinan penyakit sangat berat atau infeksi
bakteri: Memeriksa apakah bayi tidak mau minum atau
memuntahkan semua?
Bayi yang menunjukan tanda tidak mau minum atau menyusu
jika bayi terlalu lemah untuk minum atau tidak bisa mengisap atau
menelan apabila diberi minum atau disusui. Bayi yang mempunyai
tanda memuntahkan semuanya jika bayi sama sekali tidak dapat
menelan apapun. Semua cairan atau makanan yang masuk akan
keluar lagi. Bayi yang tidak bida minum atau malas minum atau
memuntahkan semuanya membutuhkan rujukan segera.
Memeriksa gejala kejang
Kejang merupakan tanda kelainan susunan saraf pusat dan
merupakan keadaan darurat. kejang pada bayi umur ≤ 2 hari
berhubungan dengan asfiksia, trauma lahir dan kelainan bawaan,
sedangkan kejang > 2 hari dikaitkan dengan tetanus neonatorum,
infeksi dan kelainan metabolik seperti kurangnya kadar gula
darah. Pada bayi kurang bulan, kejang lebih sering disebabkan
oleh perdarahan intrakranial.
Memeriksa gejala gangguan nafas
Bayi menunjukkan adanya gangguan nafas jika frekuensi
nafasnya cepat (≥ 60 kali/menit) atau lambat (< 40 kali/menit) dan
menetap. Biasanya disertai tanda/gejala sianosis, tarikan dinding
dada kedalam yang sangat kuat, pernafasan cuping hidung dan
terdengar suara merintih.
Memeriksa gejala hipotermia
Suhu normal bayi muda adalah 36,5 sampai 37,5ºC. Bayi
dikatakan demam jika suhu badannya 37,5ºC atau lebih dan
hipotermia jika suhu badannya kurang dari 36,5 ºC, dan disebut
hipotermi berat jika suhu < 35,5ºC dan hipotermi sedang jika suhu
35,5 – 36,0ºC. Untuk mengukur suhu badan, gunakan termometer
pada aksilar selama 5 menit. Jika tidak ada termometer, dapat
meraba bagian tangan, kaki atau badan bayi untuk mengetahui
apakah demam atau dingin.
Memeriksa infeksi bakteri lokal
Infeksi bakteri lokal yang sering terjadi pada bayi muda
adalah infeksi pada kulit, mata dan pusar. Periksa seluruh badan
bayi apakah ada tanda berupa bercak merah atau benjolan berisi
nanah (pustul) dikulit pada daerah yang tertutup, misalnya lipatan
leher dan ketiak.
b. Menilai dan Mengklasifikasikan Ikterus
Ikterus adalah warna kuning yang dapat terlihat pada sklera,
selaput lender, kulit dan organ lain akibat penumpukan bilirubin
(Marmi, dkk, 2012). Rohani et al., (2017) mengatakan bahwa ikterus
adalah suatu gejala diskolorasi kuning pada kulit, konjungtiva dan
mukosa akibat penumpukan bilirubin.
Menurut Kemenkes RI (2019), ikterus pada bayi baru lahir
dapat merupakan fisiologik dan patologik. Yang bersifat patologik
dikenal sebagai hiperbilirubinemia yang dapat mengakibatkan ganguan
susunan saraf pusat (kern icterus) atau kematian.
Menurut Kemenkes RI (2019), cara penilaian klinis ikterus
adalah sebagai berikut:
Lihat apakah mata dan kulit kuning? Apakah telapak tangan dan
kaki kuning?
Memeriksa ikterus sebaiknya dibawah cahaya matahari.
Tekan kulit pada dahi dengan jari sampai memucat, kemudian
angkat jari dan lihat perubahan warna apakah menjadi kuning. Jika
kuning, berarti bayi ikterus. Guna melihat tingkat keparahan,
ulangi proses tersebut pada telapak tangan dan kaki.
Jika ditemukan ikterus, tanyakan pada umur berapa mulai timbul
kuning?
Sangat penting untuk mengetahui kapan ikterus timbul,
kapan menghilang dan sampai bagian tubuh mana kuning terlihat.
Tanya dan lihat apakah warna tinja bayi pucat?
Tinja berwarna pucat seperti dempul menandakan adanya
sumbatan aliran bilirubin pada sistem empedu, baik didalam
maupun diluar hati dan bayi perlu dirujuk untuk pemeriksaan lebih
lanjut.
Tanya apakah ibu pernah tes HIV Jika ibu pernah tes HIV, apakah
hasilnya positif atau negatif. Jika positif apakah ibu sudah
meminum ARV atau belum. Jika sudah, apakah ARV sudah
diminum minimal 6 bulan?
Tanya apakah bayi saat berusia 6 minggu pernah di tes HIV? Jika
bayi pernah di tes HIV, apakah hasilnya positif atau negatif. Jika
positif apakah bayi sudah mendapatkan ARV atau belum. Apakah
bayi pernah mendapat atau masih menerima ASI?
Periksa jika status ibu dan bayi tidak diketahui atau belum di tes
HIV, anjurkan tes serologis HIV pada ibu.
A. SUBYEKTIF
1) Identitas Anak
Nama : By. Ny.S
Umur : 4 Hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak Ke- :2
BB/PB lahir : 2800 gram/50 cm
2) Identitas Orangtua
Ibu Ayah
Nama : Ny. S Nama : Tn. R
Umur : 27 tahun Umur : 30 tahun
Suku/Bangsa : Melayu/Indonesia Suku/Bangsa : Melayu /Indonesia
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Pasar Sungai Penuh Alamat : Pasar Sungai Penuh
C. ASSESMENT
Diagnosa : Bayi Ny. “S” usia 4 hari normal
Masalah : tidak ada
Kebutuhan : tidak ada
D. PELAKSANAAN
1) Memberi tahu ibu mengenai hasil pemeriksaan bahwa keadaan bayinya
sehat
2) Melakukan pengkajian dengan formulir MTBM
3) Menjelaskan pada ibu penyebab ASI-nya belum banyak keluar dapat
disebabkan karena prosedur operasi, tingkat stress ibu dan nyeri persalinan
dapat membuat ASI terhambat keluar
4) Mengajarkan ibu teknik menyusui yang benar, dengan cara :
a. Ibu mencucui tangan sebelum menyusui bayinya
b. Ibu duduk dengan santai dan nyaman, posisi punggung tegak sejajar
punggung kursi dan kaki diberi alas sehingga tidak menggantung
c. Mengeluarkan sedikit ASI dan mengoleskan pada puting susu dan
aerola sekitarnya
d. Bayi dipegang dengan satu lengan, kepala terletak pada lengkung
siku ibu dan bokong bayi terletak pada lengan
e. Ibu menempelkan perut bayi pada perut ibu dengan meletakkan satu
tangan bayi dibelakang ibu dan yang satu didepan, kepala bayi
menghadap ke payudara
f. Ibu memposisikan bayi dengan telinga dan lengan pada garis lurus
g. Ibu memegang payudara dengan ibu jari diatas dan jari yang lain
menopang dibawah serta tidak menekan puting susu atau areola
h. Ibu menyentuhkan putting susu pada bagian sudut mulut bayi
sebelum menyusui
i. Setelah bayi mulai menghisap, payudara tidak perlu dipegang atau
disangga lagi.
j. Ibu menatap bayi saat menyusui
k. Pasca Menyusui
Melepas isapan bayi dengan cara jari kelingking di masukkan
ke mulut bayi melalui sudut mulut bayi atau dagu bayi ditekan
ke bawah
Setelah bayi selesai menyusui, ASI dikeluarkan sedikit
kemudian dioleskan pada putting susu dan aerola, biarkan
kering dengan sendirinya
l. Menyendawakan bayi dengan :
Bayi digendong tegak dengan bersandar pada bahu ibu
kemudian punggung ditepuk perlahan-lahan atau
Bayi tidur tengkurap di pangkuan ibu, kemudian punggungnya
di tepuk perlahan-lahan.
m. Menganjurkan ibu agar menyusui bayinya setiap saat bayi
menginginkan (on demand)
E. EVALUASI
F. CATATAN PERKEMBANGAN
1) Pengkajian II
Hari/ tanggal : Jumat/ 11-11-2022
Jam : 10.00 WIB
S :
Ibu mengatakan bayinya sehat
O :
Keadaan umum : baik
Kesadaran : Composmentis
TTV :
HR: 111x/menit RR: 40x/menit S: 36,5˚C
2) Pengkajian III
Kasus By. Ny. S usia 4 hari normal dengan kebutuhan MTBM. Hasil
pemeriksaan fisik dalam batas normal. Keadaan umum bayi baik, berat badan
2800 gram dan panjang badan bayi 50 cm.
Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan pada By. Ny. S yaitu
mengidentifikasi identitas melalui anamnesa seperti riwayat kesehatan dan pola
kebiasaan sehari–hari sudah dilakukan pasien. Data objektif dapat diperoleh
melalui pemeriksaan fisik. Dari hasil pemeriksaan objektif pada Bayi Ny. S
didapatkan hasil bahwa keadaan umum baik, warna kulit kemerahan, tangisan
kuat, tonus otot baik, pernafasan normal. Tanda–tanda vital seperti laju jantung
110x/menit, laju nafas 40 x/menit, suhu 36,8°C dan hasil pemeriksaan fisik yang
dilakukan secara head to toe penulis tidak menemukan adanya masalah pada bayi.
Menurut Yulifah (2013) dalam jurnal (Zuraida, 2018) bahwa kunjungan neonatal
bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan kesehatan
dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/masalah kesehatan pada
neonates bila mengalami masalah. Kunjungan neonatus dapat membantu menekan
risiko kematian. Pelayanan kesehatan neonatal dasar harus dilakukan secara
komprehensif. Pelayanan ini dilakukan dengan menggunakan standar pemeriksaan
dan perawatan bayi baru lahir dengan pendekatan MTBM. Kunjungan neonatal
menggunakan algoritma manajemen terpadu bayi muda (MTBM) dinilai cost
effective untuk menurunkan angka kematian neonatus 30-60%.
Penurunan produksi ASI pada hari-hari pertama setelah melahirkan dapat
disebabkan oleh kurangnya rangsangan hormon oksitosin dan prolaktin yang
sangat berperan dalam kelancaran produksi ASI, sehingga menyebabkan ASI
tidak segera keluar setelah melahirkan, bayi kesulitan dalam menghisap, keadaan
puting susu ibu yang tidak menunjang. Faktor produksi dan pengeluaran ASI
dalam tubuh dipengaruhi oleh dua hormon, yaitu prolaktin dan oksitosin. Untuk
mengatasi masalah pengeluaran ASI yang disebabkan oleh menurunnya stimulasi
hormon oksitosin yaitu dengan menyusui dini dijamjam pertama karena semakin
puting sering dihisap oleh mulut bayi, hormon yang dihasilkan semakin banyak,
sehingga susu yang keluarpun banyak.
Ketidaklancaran pengeluaran ASI dapat disebabkan oleh beberapa faktor
baik faktor fisik maupun psikologis. Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh faktor
kejiwaan karena perasaan ibu dapat menghambat atau meningkatkan pengeluaran
oksitosin, bila ibu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri dan
berbagai bentuk ketegangan emosional dapat menurunkan produksi ASI
(Sulistyoningsih, 2011). Beberapa faktor yang mempengaruhi pengeluaran ASI di
antaranya perubahan sosial budaya, faktor psikologis, faktor fisik ibu,
meningkatnya promosi susu formula, factor petugas kesehatan, makanan ibu,
berat badan lahir bayi, penggunaan alat kontrasepsi. Perubahan sosial budaya
dimana ibu-ibu yang bekerja atau ibu-ibu yang mempunyai kesibukan lainnya,
meniru teman atau tetangga yang menggunakan susu botol, merasa ketinggalan
zaman jika menyusui. Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan
karena perasaan ibu dapat menghambat atau meningkatkan pengeluaran oksitosin,
bila ibu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri dan berbagai bentuk
ketegangan emosional dapat menurunkan produksi ASI.
Menurut Sarwono (2014) metode persalinan merupakan cara atau teknik
yang biasa dipilih oleh seorang ibu untuk melahirkan anaknya. Ada beberapa
metode persalinan diantaranya persalinan spontan, sectio caesaria, vacum dan
forcep. Tindakan vacum, forcep, sectio caesaria pada ibu hamil biasanya ibu
mengalami kelelahan, kecapekan, kesakitan dan mengalami kecemasan yang
membuat hormon kortisol naik dalam darah. Hormon kortisol yang tinggi akan
mempengaruhi laktasi, kortisol yang tinggi menyebabkan produksi hormon
oksitosin terhambat sehingga berpengaruh dengan tidak sempurnanya refleks
letdown untuk mengeluarkan produksi ASI.
Hasil artikel penelitian yang telah dituliskan oleh (Desmawati, 2013)
didapatkan bahwa waktu pengeluaran ASI pada pasien Sectio Caesarea lebih
lambat dibanding ibu yang melahirkan normal. Keterlambatan pemberian ASI
pada pasien Sectio Caesarea dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
posisi menyusui yang kurang tepat, nyeri pasca operasi, mobilisasi yang kurang
dan adanya rawat pisah ibu-anak.
Metode persalinan Sectio Caesarea merupakan persalinan dengan bantuan dari
luar (Indarti, 2015). Apabila ibu bersalin secara Sectio Caesarea, maka ada
beberapa hal ketidaknyamanan yang dapat dirasakan meski operasi dijalakan
sesuai standar operasionalnya. Beberapa hari pertama pasca persalinan, akan
timbul rasa nyeri hebat yang kadarnya dapat berbeda- bedapada setiap ibu.
Terutama jika ibu diberikan anastesi umum, ibu relative tidak sadar untuk dapat
mengurus bayinya dijam pertama setelah bayi lahir. Kondisi luka operasi
membuat proses menyusui sedikit terhambat. Sementara itu, bayi mungkin
mengantuk dan tidak responsive untuk menyusu, terutama jika ibu mendapatkan
obat-obatan penghilang sakit sebelum operasi (Indarti, 2015).
Pada bayi yang lahir dengan operasi Sectio Caesarea akan cenderung
malas untuk menyusu dan kurang merespon saat disusui, karena masih adanya
pengaruh obat bius yang di masukkan pada saat persalinan. Bayi yang dilahirkan
dengan operasi Caesar dapat mengakibatkan bayi ngantuk dan kurang responsive
selama beberapa hari, karena obat bius yang diberikan saat persalinan. Bayi akan
lambat untuk melakukan perlekatan pada puting susu dan menghisap.
Teknik menyusui yang benar adalah cara memberikan ASI kepada bayi
dengan perlekatan dan posisi ibu dan bayi dengan benar. Untuk mencapai
keberhasilan menyusui diperlukan pengetahuan mengenai teknik-teknik menyusui
yang benar. Indikator dalam proses menyusui yang efektif meliputi posisi ibu dan
bayi yang benar (body position), perlekatan bayi yang tepat (latch), keefektifan
hisapan bayi pada payudara (effective sucking).
Berdasarkan penelitian Dini Iflahah di RSUD Sidoarjo didapatkan sekitar
46,7% ibu menyusui dengan teknik menyusui yang benar dan 53,3% ibu
menyusui dengan teknik yang salah. Kesalahan dari teknik menyusui ini 53,3%
karena keefektifan menghisap bayi yang tidak tepat. Kesalahan lain juga bisa
disebabkan saat ibu menghentikan proses menyusui kurang hati-hati. Keadaan
tersebut menunjukkan masih banyak ibu menyusui belum dapat menggunakan
teknik yang benar.
Penelitian ini ingin mengetahui teknik menyusui yang dilakuan oleh ibu
yang memiliki bayi berusia 0-6 bulan karena salah satu keberhasilan memberikan
ASI eksklusif didukung dengan teknik menyusui yang tepat. Pengambilan data
dilakukan dengan cara observasi ibu saat menyusui bayinya. Salah satu hasil
penelitian ini menemukan adanya ibu yang tidak dapat melakukan teknik
menyusui dengan benar sebanyak 48,3%. Banyak hal yang ditemukan tidak tepat
saat ibu menyusui. (Reni, 2015).
penelitian Sulistiyowati (2011), Faktor yang memengaruhi teknik
menyusui tidak baik di antaranya: ibu kurang percaya diri bahwa ibu mampu
untuk menyusui bainya sehingga ibu dalam menyusui masih terlihat kaku dan
masih merasa takut atau ragu dalam menyusui bayinya. Faktor lain yang
memengaruhi ketrampilan teknik menyusui tidak baik yaitu faktor payudara,
beberapa ibu memiliki masalah pada payudara, misalnya puting susu datar yang
mengakibatkan bayi kesulitan dalam melakukan perlekatan dalam proses
menyusui. Faktor dorongan dan dukungan juga dapat memengaruhi pelaksanaan
teknik menyusui. Faktor-faktar di atas di antarnya ada beberapa faktor yang
peneliti jumpai di lapangan yaitu salah satu responden kurang memiliki dorongan
dan dukungan karena kelahiran anaknya tidak diinginkan sehingga ibu enggan
untuk terus memberikan ASI dan dalam kenyataanya teknik menyusuinya juga
tidak baik.
penelitian Sulistyowati bahwa hanya 23,3% ibu menyusui berusia 20-35
tahun yang memiliki kemampuan teknik menyusui dengan benar. Bahkan dalam
penelitian ini ditemukan juga data bahwa tidak ada seorang pun ibu berusia < 20
tahun yang dapat melakukan teknik menyusui dengan benar. Hal ini
memperlihatkan bahwa tingkat kematangan dan kedewasaan seorang ibu juga
memengaruhi proses pengasuhan kepada anak termasuk dalam pemberian ASI
eksklusif. Keadaan ini perlu mendapat perhatian lebih dari puskesmas dan
perangkat kelurahan karena peningkatan cakupan ASI eksklusif juga didukung
dari kemampuan ibu menyusui dengan teknik yang benar.
World Health Organization (WHO) Tahun 2018, merekomendasikan
untuk menyusui secara eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan bayi dan
melanjutkan untuk waktu 2 tahun atau lebih, karena Air Susu Ibu ASI sangat
seimbang dalam memenuhi kebutuhan nutrisi bayi yang baru lahir dan merupakan
satu-satunya makanan yang dibutuhkan sampai usia 6 bulan.
Menurut penelitian Dian Insana FitriTahun 2014 dengan judul ”Hubungan
Pemberian ASI Dengan Tumbuh Kembang Bayi Umur 6 bulan Di Puskesmas
Nanggalo”Pada penelitian ini dari 50 bayi didapatkan 15 orang
(30%).Berdasarkan hasil pemeriksaan perkembangan pada bayi umur 6 bulan
menggunakan Metode Denver II,diperoleh bayi yang diberikan ASI Eksklusif
sebanyak 13 orang (86,7%) dengan perkembangan sesuai umur, dan 2 orang
(13,3%) mengalami keterlambatan (abnormal). Sedangkan bayi yang diberikan
non eksklusif didapatkan 19 orang (54,3%) dengan hasil perkembangan normal,
dan 16 orang (45,7%) menggalami keterlambatan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Miftahul Munir di Puskesmas
Plumpang Kabupaten Tuban, diperoleh hasil bahwa pemberian ASI eksklusif
berpengaruh terhadap berat badan bayi, dimana bayi yang diberikan ASI eksklusif
100% memiliki berat badan normal, sedangkan bayi yang diberikan MP-ASI
mayoritas memiliki badan normal atau baik sebesar 69,09% dan 23,81%
mengalami kegemukan atau tidak baik.
Menurut asumsi penulis,menggunakan algoritma Manajemen Terpadu
Bayi Muda perlu dilakukan dalam setiap kunjungan rumah atau pelayanan pada
bayi muda. Sehingga dapat terdeteksi dan terpantau kondisi bayi. Apabila terdapat
masalah atau gangguan bayi muda yang berusia kurang dari 2 bulan dapat
dilakukan penanganan sesauai dengan aturan tidakan dan pengobatan dalam
MTBM.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1) Pada pengkajian didapatkan data subyektif By. Ny.S usia 4 hari normal.
Data objektif menunjukkan ibu dalam keadaan baik dengan tanda-tanda
vital dalam batas normal, pemeriksaan fisik yang tidak terdapat kelainan
pada bayi, dan pemeriksaan dalam batas normal sehingga sesuai dengan
teori.
2) Berdasarkan hasil pengkajian dari data subyektif dan data obyektif yang
sudah dilakukan, diagnosa yang dapat ditegakkan adalah By. Ny. S usia 4
hari normal.
B. SARAN
1) Institusi Pendidikan
Diharapkan institusi pendidikan mengembangkan materi yang telah
diberikan baik dalam perkuliahan maupun praktik lapangan dan juga
menambah referensi-referensi agar bisa dijadikan evaluasi dalam
memberikan asuhan kebidanan pada neonatus dengan MTBM sesuai
dengan standart pelayanan minimal.
2) Tempat Puskesmas
Tempat pelayanan disarankan untuk mempertahankan serta
meningkatkan mutu pelayanan asuhan kebidanan yang dilakukan pada
neonatus dengan MTBM sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal
Kebidanan.
3) Klien dan keluarga
Setelah mendapatkan pelayanan kebidanan pada neonatus dengan
MTBM keluarga serta klien diharapkan bertambah wawasannya sehingga
dapat mendeteksi dini jika ada penyulit dan dapat diminimalkan resiko-
resikonya.
Desmawati. (2013). “Penentu Kecepatan Pengeluaran Air Susu Ibu Setelah Sectio
Caesarea.“Artikel Penelitian Fakultas Ilmu Kesehatan UPN Veteran”. 2013:
h.360-363.
Dian Insana Fitri, Eva, Chundrayetti Rima Semiarty. Hubungan Pemberian ASI
Dengan Tumbuh Kembang Bayi Umur 6 Bulan Di Puskesmas Nanggalo.
2014
Gerensea, H., Kebede, A., Baraky, Z., Berihu, H., Birhane, E., Dawit, G., Hintsa,
S., Siyum, H., Kahsay, G., Gidey, G., Teklay, G and Mulatu, G. 2017.
“Consistency of Integrated Management of Newborn and Childhood Illness
(IMNCI) in Shire Governmental Health Institution in 2017” BMC Res Notes
(2018) 11:476
Haileamlak, A., Hailu, S., Nida, H., Desta, T., Tesema, T. 2010. “Evaluation of
Pre Service Training on Integrated Management of Neonatal and Childhood
Illness (IMNCI) in Ethiopia” Journal Ethiop Health Sci: 20(1).
Kiplagat, A., Musto, R., Damas, M., and Morona, D. 2014. “Factors Influencing
The Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI)
by Healthcare Workers at Public Health Centers & Dispensaries in Mwanza,
Tanzania” Journal of BMC Public Health 14:277
Lunze1, Ariel Higgins-Steele, Aline Simen-Kapeu, Linda Vese, Julia Kim and
Kim Dickson. “Innovative approaches for improving maternal and newborn
health - A landscape analysis”. Lunze et al. BMC Pregnancy and Childbirth
(2015) 15:337
Marmi & Raharjo, K. 2012.Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prinja, Pankaj Bahuguna, Pavitra Mohan, Sarmila Mazumder, Sunita Taneja, Nita
Bhandari, Henri van den Hombergh, Rajesh Kumar. “Cost Effectiveness of
Implementing Integrated Management of Neonatal and Childhood Illnesses
Program in District Faridabad, India”, 2016, journal.pone.0145043
Reni Merta Kusuma , Rifkynia Susanti. 2015. Pelaksanaan Teknik Menyusui Pada
Ibu Menyusui Bayi Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas Danurejan I Yogyakarta
Fakultas Kesehatan, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Sulistyowati, W. (2011) Teknik Menyusui yang Benar pada Ibu Primipara di Desa
Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto. Hospital Majapahit,
Vol 3. No 2, Nopember 2011
Taneja, Shikhar Bahl, Sarmila Mazumder, Jose Martines, Nita Bhandari, Maharaj
Kishan Bhan. “Impact on inequities in health indicators: Effect of
implementing the integrated management of neonatal and childhood illness
programme in Haryana, India”. Journal of health global, June 2015. Vol. 5
No. 1.010401
United Nations Children’s Fund. 2018. Levels & Trends in Child Mortality.
Nations Children Fund. New York. United States