MODUL 3 BLOK 17
PERAWATAN MALOKLUSI
Tutor:
drg. Hidayati, M.K.M.
-Insisivus 4-
Ketua : Hashfi Khallis Abdullah (1911412027)
Sekretaris papan : Hanafitri Hanifah (1911411004)
Sekretaris meja : Hafiza Salsabila S (1911411019)
Anggota : Puti Aquira Saida (1911411012)
Farras Putri Friandeka (1911412003)
Bobby (1911412005)
Fitty Novrida Akmal (1911412008)
Rifdol Oversi Putra (1911412021)
Razanah Mudia (1911413018)
Skenario 3:
“Parahnya gigi anakku”
Seorang ibu membawa anaknya Raffi usia 10 tahun ke dokter gigi spesialis untuk
konsultasi keadaan gigi anaknya yang tidak normal. Ibunya menjelaskan sering melihat
mulut anaknya terbuka.
Pemeriksaan intra oral menunjukkan gigi anterior maksila protrusive, jarak gigit 8,5
mm, tumpang gigit 4 mm, gingivitis marginalis anterior, crossbite gigi posterior.
Relasi molar menunjukkan tonjol mesio bukal molar satu atas terletak antara mesio
bukal molar satu bawah dan tepi distal tonjol bukal premolar dua bawah. Dari hasil analisa
sefalometri didapatkan hubungan skeletal kelas II.
Dokter gigi spesialis ortodonti menganjurkan perawatan interseptif modifikasi
pertumbuhan dengan peranti myofungsional aktivator.
Bagaimana saudara menjelaskan kasus Raffi diatas?
Pemeriksaan
Distal shoe.
2) Untuk kehilangan banyak gigi: lingual arch space maintainer, Nance space
maintainer, transpalatal space maintainer, partial denture space maintainer
Lingual arch.
B. Ortodonti Interseptif
Ortodonti interseptif adalah suatu tindakan (cara) menghambat anomali yang sedang
berkembang dan menuntunnya kembali ke arah yang normal.
Space regaining, contohnya dengan sekrup / distalisasi.
Membuang jaringan lunak dan tulang yang menghalangi erupsi gigi.
Penanganan cross bite anterior.
Dalam Kamus Dorland, kebiasaan didefinisikan sebagai sesuatu bersifat permanen dan
konstan yang menunjukkan aktivitas berulang secara otomatis disebabkan oleh proses
alami yang kompleks dimana melibatkan kontraksi otot yang dapat berefek pada fungsi
mastikasi, respirasi, fonetik, dan estetik.
Oral habit sering kali ditemukan pada anak-anak sejak berusia satu bulan. Hal ini tidak
akan menyebabkan masalah yang berarti dalam rongga mulut saat itu, karena pada
dasarnya tubuh dapat memberikan respon terhadap rangsangan dari luar sejak masih
dalam kandungan. Respon tersebut merupakan pertanda bahwa perkembangan
psikologis anak sudah dimulai, terlihat dari tingkah laku spontan atau reaksi berulang.
Permasalahan akan muncul ketika kebiasaan tersebut terus berlanjut hingga anak mulai
memasuki usia sekolah dimana kebiasaan ini terus dilakukan karena orang tua kurang
memperhatikan anaknya. Jika kebiasaan tersebut dihentikan sebelum masa erupsi gigi
permanen, hal tersebut tidak akan memberikan efek jangka panjang. Namun jika
kebiasaan tersebut berkelanjutan maka dapat terjadi keadaan openbite anterior, posterior
crossbites, dan maloklusi lainnya.
A. Menjulurkan Lidah (Tongue Thrusting)
Gambaran Umum Tongue Thrusting
Sejak tahun 1958, istilah tongue thrust atau menyodorkan lidah telah dijelaskan
dan dibahas dalam pembicaraan dan diskusi dalam bidang kedokteran gigi serta
dipublikasikan oleh banyak penulis. Telah dicatat bahwa sejumlah besar anak-
anak pada usia sekolah memiliki kebiasaan menyodorkan lidah. Menurut literatur
baru-baru ini, sebanyak 67-95% dari anak-anak yang berusia 5-8 tahun
melakukan kebiasaan tongue thrust dalam jangka waktu yang lama akan
berhubungan dengan masalah orthodonti atau gangguan pengucapan. Pada satu
negara, kira-kira 20-80% pasien ortodontik memiliki beberapa bentuk kasus
tongue thrust. Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan
kebiasaan tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya
karena mengisap jari. Kebiasaan menjulurkan lidah biasanya dilakukan pada saat
menelan. Pola menelan yang normal adalah gigi pada posisi oklusi, bibir tertutup,
dan lidah berkontak dengan palatum.
Ada 2 bentuk penelanan dengan menjulurkan lidah, yaitu:
a. Penelanan dengan menjulurkan lidah sederhana, biasanya berhubungan dengan
kebiasaan mengisap jari.
b. Menjulurkan lidah kompleks, berhubungan dengan gangguan pernafasan
kronis, bernafas melalui mulut, tonsillitis atau faringitis. Dari teori
keseimbangan, tekanan lidah yang ringan tetapi berlangsung lama pada gigi
dapat menyebabkan adanya perubahan letak gigi dan menghasilkan efek yang
nyata. Dorongan lidah yang hanya sebentar tidak akan menghasilkan
perubahan pada letak gigi.
Tekanan lidah pada penelanan yang tidak benar hanya berlangsung kira-kira 1
detik. Penelanan secara ini hanya terjadi kurang lebih 800 kali pada saat
seseorang terjaga dan hanya sedikit pada waktu tidur sehingga sehari hanya
kurang dari 1000 kali. Tekanan selama seribu detik (kurang lebih 17 menit) tidak
cukup untuk mempengaruhi keseimbangan. Sebaliknya, pasien yang meletakkan
lidahnya ke depan sehingga memberikan tekanan yang terus-menerus pada gigi,
meskipun tekanan yang terjadi kecil tetapi berlangsung lama, dapat menyebabkan
perubahan letak gigi baik jurusan vertikal maupun horizontal. Pada pasien yang
posisi lidahnya normal pada saat menelan tidak banyak pengaruhnya terhadap
letak gigi. Kebiasaan tongue thrusting, yaitu suatu kebiasaan menjulurkan lidah
ke depan dan menekan gigi-gigi seri pada waktu istirahat, selama berbicara atau
menelan. Adanya kebiasaan menjulurkan lidah ke depan ini memungkinkan
terjadinya ketidakseimbangan otot-otot di sekitar lengkung gigi dan otot-otot
mulut, sehingga dapat mempengaruhi posisi gigi. Gigi depan atas akan mrongos
ke depan dan terjadi gigitan terbuka. Dan apabila menekan lidah ke pipi sambil
menggigitnya maka dapat menyebabkan gigi belakang menjadi miring ke arah
dalam. Terjadi penyimpangan pola menelan dan berbicara yang tidak normal.
Pada umumnya penderita tongue thrust menampilkan ciri tertentu pada ekspresi
wajah pada saat menelan, yaitu bibir menutup dan otot-otot sekeliling mulut
tegang pada posisi istirahat kedua bibir dan lidah menutupi permukaan gigi-gigi
bawah atau lidah menjulur ke depan, bernapas melalui mulut, dan mengisap ibu
jari. Kebiasaan menjulurkan lidah ini biasanya timbul karena adanya pembesaran
amandel atau tonsil, lengkung gigi atas yang menyempit, lidah yang besar, atau
karena aspek psikologis. Menjulurkan lidah merupakan kebiasaan menempatkan
lidah dalam posisi yang salah pada saat menelan, terlalu jauh ke depan atau ke
samping. Diperkirakan bahwa setiap 24 jam menelan 1.200 hingga 2.000 kali,
dengan tekanan sekitar 4 pon tiap kali menelan. Tekanan ini konstan sehingga
lidah akan memaksa gigi keluar dari kesejajaran lengkung gigi. Selain tekanan
yang diberikan saat menelan, mengganggu saraf dan juga mendorong lidah
terhadap gigi ketika sedang beristirahat. Ini merupakan kebiasaan, spontan dari
alam bawah sadar yang sulit untuk diperbaiki.
Etiologi Tongue Thrusting
Sebenarnya tidak ada penyebab spesifik dari masalah tongue thrust ini. Namun
diduga hal-hal yang dapat menyebabkan tongue thrust tersebut antara lain yaitu:
a. Jenis puting susu buatan yang diberikan pada bayi.
b. Kebiasaan menghisap ibu jari. Walaupun mengisap jari tidak dilakukan lagi,
akan tetapi telah terbentuk openbite maka lidah sering terjulur ke depan untuk
mempertahankan penutupan bagian depan selama proses penelanan.
c. Alergi, hidung tersumbat, atau obstruksi pernapasan sehingga bernafas melalui
mulut yang menyebabkan posisi lidah turun di dasar mulut.
d. Tonsil yang besar, adenoid, atau infeksi tenggorokan yang menyebabkan
kesulitan pada saat menelan. Pangkal lidah membesar ketika tonsil mengalami
inflamasi, sehingga untuk mengatasinya mandibula secara refleks turun ke
bawah, memisahkan gigi, dan menyediakan ruangan yang lebih untuk lidah
dapat terjulur ke depan selama menelan, agar didapat posisi yang lebih
nyaman.
e. Ukuran lidah yang abnormal atau macroglossia, dapat mengubah
keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivus bergerak
ke labial.
f. Faktor keturunan, misalnya sudut garis rahang.
g. Kelainan neurologis dan muskular serta kelainan fisiologis lainnya.
h. Frenulum lingual yang pendek (tongue tied).
Akibat Tongue Thrusting
Kebiasaan menjulurkan lidah ke depan, memungkinkan terjadinya
ketidakseimbangan otot-otot di sekitar lengkung gigi dan otot-otot mulut,
sehingga dapat mempengaruhi posisi gigi. Gerakan menelan dengan posisi lidah
menjulur akan menimbulkan maloklusi pada gigi anak seperti gigi-gigi seri atas
dan bawah terdorong ke arah bibir (protrusi) dan terjadi gigitan terbuka (open
bite). Jika pasien biasa menjulurkan lidah, bibir akan menjadi sedemikian
kencang, tetapi tidak dapat melakukan prosedur penelanan mekanis sampai bibir-
bibir membuka rongga mulut. Dalam mekanisme penelanan yang normal, lidah
berada di atap mulut dan ketika pasien menelan, maka lidah akan melebar dan
ikut memberi gaya ekspansi transversal pada segmen-segmen bukal. Tetapi, pada
kasus pasien dengan kebiasaan menjulurkan lidah, lidahnya tidak menggeser
secara vertikal ke arah palatum. Lidah malah bergerak melewati gigi-gigi anterior
dan menyebabkan gigi memencar. Tongue thrust merupakan akibat lanjut dari
anak yang mempunyai kebiasaan mengisap ibu jari, meski tidak semua anak yang
mengisap ibu jari melakukan tongue thrust. Diagnosa tongue thrust dapat
diketahui oleh dokter gigi dengan alat khusus untuk memeriksa tongue thrust,
yaitu dengan alat Linguometer yang dimasukkan ke dalam mulut pasien.
Beberapa masalah yang ditimbulkan akibat tongue thrust, antara lain:
a. Anterior openbite merupakan kasus yang paling umum terjadi akibat tongue
thrust. Dalam kasus ini, bibir depan tidak menutup dan anak sering
membiarkan mulutnya terbuka dengan posisi lidah lebih maju daripada bibir.
Secara umum, lidah yang berukuran besar biasanya disertai menjulurkan lidah.
Openbite anterior pada umumnya mengakibatkan gangguan estetik,
pengunyahan maupun gangguan dalam pengucapan kata-kata yang
mengandung huruf “s”, “z”, dan “sh”.
b. Anterior thrust. Gigi insisivus atas sangat menonjol dan gigi insisivus bawah
tertarik ke dalam oleh bibir bawah. Jenis ini paling sering terjadi disertai
dengan dorongan M.mentalis yang kuat.
c. Unilateral thrust. Secara karakteristik, ada gigitan terbuka pada satu sisi.
d. Bilateral thrust. Gigitan anterior tertutup namun gigi posterior dari premolar
pertama ke molar dapat terbuka pada kedua sisinya. Kasus seperti ini pada
umumnya sangat sulit untuk dikoreksi.
e. Bilateral anterior openbite, dimana hanya gigi molar yang berkontak. Pada
kasus ini ukuran lidah yang besar juga mempengaruhi.
f. Closed bite thrust menunjukkan protrusi ganda yang berarti gigi-gigi rahang
atas maupun rahang bawah mengalami gigitan yang terbuka lebar. Posisi lidah
yang tidak normal dan penyimpangan yang dinamakan gerakan lidah yang
normal saat menelan telah lama terkait dengan openbite anterior dan protrusi
insisivus rahang atas. Prevalensi posisi lidah secara anterior relatif tinggi pada
anak-anak, Proffit menyatakan bahwa kondisi ini sering disebut tongue thrust,
deviate swallow, visceral swallow, atau infantile swallow. Dia juga percaya
bahwa dua alasan utamanya berhubungan dengan psikologi (maturasi) dan
anatomi (pertumbuhan) anak itu sendiri. Bayi normal memposisikan lidahnya
secara anterior di dalam mulut saat posisi istirahat dan menelan.
D. Bruxism
Bruksisme atau yang paling sering dikenal dengan istilah tooth grinding adalah
mengatupkan rahang atas dan rahang bawah yang disertai dengan grinding
(mengunyahkan) gigi-gigi atas dengan gigi-gigi bawah. Bruksisme adalah kebiasaan
bawah sadar (sering tidak disadari) walaupun ada juga yang melakukannya ketika
tidak tidur. Berdasarkan tipe gerakannya, ada bruxism yang memperlihatkan gerakan
grinding dan ada juga yang memperlihatkan gerakan static clenching, lebih banyak
pada perempuan daripada laki-laki yang meng-grinding giginya, tetapi laki-laki dan
perempuan yang melakukan clenching jumlahnya sama. Clark menegaskan bahwa
bruxism tipe clenching yang berhubungan dengan kontraksi muskulus yang kuat dan
berkelanjutan adalah lebih berbahaya. Bruxism lebih sering dimiliki oleh kaum
wanita dibandingkan pria.
Etiologi
Pada beberapa individu kebiasaan bruksisme bersifat herediter. Anak-anak yang
memiliki orangtua dengan kebiasaan bruksisme lebih cenderung melakukan kerot
daripada anak-anak yang orang tuanya tidak mengerot.
Hubungan antara kondisi emosional dan tegangan otot sepertinya lebih mudah
untuk dipahami. Peningkatan tegangan otot masseter berhubungan langsung
dengan kondisi stres harian. Ada satu penelitian yang membuktikan bahwa
meningkatnya stres (yang ditunjukkan dengan kandungan epinefrin di urin)
berkorelasi dengan meningkatnya aktivitas otot masseter pada malam hari.
Penelitian-penelitian tersebut secara konsisten menunjukkan kuatnya hubungan
antara aktivitas otot masseter yang nonfungsional (dikunyahkan tapi tidak untuk
mengunyah makanan) dengan stres. Pada penelitian lain, ada yang
menghubungkan antara faktor predisposisi dalam rongga mulut, yang berupa
hubungan oklusal yang malrelasi atau adanya sangkutan oklusal atau interferens,
yang dapat memicu terjadinya bruksisme jika dikombinasikan dengan stres atau
kondisi cemas.
a. Faktor Psikologis
Etiologi dari bruxism termasuk kebiasaan, stress emosional (misalnya respon
terhadap kecemasan, ketegangan, kemarahan, atau rasa sakit), parasomnia
(gangguan tidur yang muncul pada ambang batas antara saat terjaga dan tidur,
misalnya gangguan mimpi buruk dan gangguan berjalan sambil tidur).
Menurut beberapa penelitian yang dianggap berkaitan dengan manifestasi dari
bruxism, antara lain gangguan kepribadian, meningkatnya stress, adanya
depresi, dan kepekaaan terhadap stress.
Anak-anak yang memiliki kebiasaan bruxism ternyata memiliki tingkat
kecemasan yang lebih daripada anak-anak yang tidak memiliki kebiasaan
bruxism. Tanda-tanda bruxism seperti tingkat kecemasan yang tinggi,
temporomandibular disorders, dan kerusakan gigi sebaiknya dirawat pada
masa kanak-kanak sebelum menjadi masalah ketika anak telah tumbuh dewasa.
b. Faktor Morfologi
Oklusi gigi geligi dan anatomi skeletal orofasial dianggap terkait dalam
penyebab dari bruxism. Perbedaan oklusal, gangguan oklusal yang bentuknya
dapat berupa trauma oklusal ataupun tonjol yang tajam, gigi yang maloklusi
secara historis dianggap sebagai penyebab paling umum dari bruxism.
Disharmoni lokal antara bagian-bagian sistem alat kunyah yang berdampak
pada peningkatan tonus otot di region tersebut juga dipandang sebagai salah
satu etiologi yang hingga saat ini masih dapat diterima banyak kalangan.
c. Faktor Patofisiologis
Bruxism kemungkinan terjadi akibat kelainan neurologis yaitu
ketidakmatangan sistem neuromuskular mastikasi, perubahan kimia otak,
alkohol, trauma, penyakit, dan obat-obatan. Hal ini berpotensi sistemik
menyebabkan aktivitas parafunctional melalui alergi makanan, kekurangan
gizi, dan disfungsi endokrin. Penyelidikan efek gangguan gizi dan endokrin
bersama dengan parasit pencernaan pada fungsi otot mastikasi, serat kepekaan
terhadap trigeminal sampai potensi alergi kemungkinan berguna untuk
penelitian di masa depan baik temporomandibular disorders dan hiperaktivitas
otot mastikasi.
Faktor neurokimia tertentu, yaitu obat-obatan. Efek samping dari obat yang
akan menimbulkan bruxism adalah Amfetamin yang digunakan dalam
mengatasi gangguan attention-deficit/hyperactivity (ADHD) seperti
methylphenidate dan pemakaian jangka panjang Serotonin. Selain itu, bruxism
ditemukan lebih sering pada pecandu narkoba berat serta perokok.
d. Temporomandibular Disorders (TMD)
Penderita TMD cenderung memiliki insiden bruxism yang lebih tinggi dari
gangguan psikologis seperti stress, kecemasan, dan depresi. Faktor-faktor ini
dapat menyebabkan kebiasaan parafunctional. Gabungan dari dua atau lebih
faktor etiologi yang diperlukan untuk menyebabkan terjadinya bruxism, tetapi
besarnya faktor-faktor tidak penting dalam kaitannya dengan besarnya
bruxism.
Pasien dengan kebiasaan bruksisme sering mengalami peningkatan tonus otot
pengunyahan yang mengakibatkan hipertrofi otot pengunyahan, dapat unilateral
atau bilateral, terutama otot maseter. Untuk mengetahui adanya hipertrofi atau
pembesaran otot pengunyahan dapat dilakukan palpasi pada otot maseter dan
melihat keasimetrisan wajah pasien.
Beberapa tanda dan gejala klinis yang dapat membantu dalam menentukan
diagnosis bruksisme yaitu adanya atrisi yang hebat pada permukaan oklusal dan
insisal gigi yang menyebabkan terjadinya penipisan email sehingga gigi menjadi
sensitif terhadap rasa panas dan dingin, adanya fraktur gigi yang disebabkan
karena gigi tidak mampu menahan daya tekan yang besar dan berlangsung terus-
menerus yang diberikan oleh gigi antagonisnya serta terjadinya kegoyangan gigi
yang diakibatkan karena adanya daya oklusal besar yang abnormal yang
menyebabkan terjadinyapelebaran ruang periodontal gigi.
Gejala lain sering timbul yaitu nyeri pada sendi temporomandibula. Hal ini
disebabkan adanya tekanan pada sendi karena hiperaktivitas otot pengunyahan
yang terus menerus menyebabkan penipisan diskus artikularis bagian posterior,
diskus akan bergerak lebih ke antero-medial sehingga kondilus berada pada
bagian posterior diskus yang berisi saraf dan pembuluh darah sehingga penderita
merasakan sakit pada sendinya, adanya hipertrofi otot-otot pengunyahan karena
terjadi peningkatan tonus otot, adanya eksostosis dan torus pada tulang rahang
yang terlihat pada gambaran radiografi, serta timbulnya sakit kepala.
Keluhan utama yang paling sering dirasakan oleh pasien adalah rasa nyeri dan
pegal pada otot pengunyahan serta rasa nyeri pada sendi temporomandibula
ketika bangun tidur pagi hari dikombinasi dengan nyeri kepala, diikuti suara
kliking dan krepitus sendi temporomandibula. Penderita bahkan dapat mengalami
terkuncinya rahang dan kesulitan membuka mulut, sehingga harus dilakukan
pemijatan otot maseter dan otot temporalis.
Perawatan
Tujuan dari perawatan gangguan otot yang disebabkan oleh aktivitas
parafungsional bruksisme adalah mengembalikan fungsi normal gigi,
periodontium, serta jaringan lain yang berhubungan dengan sistem pengunyahan.
Perawatan terbaik untuk suatu kelainan yaitu dengan mengenali faktor etiologi
terlebih dahulu, selanjutnya berusaha untuk menghilangkannya. Tidak ada
perawatan yang secara permanen dapat menghilangkan kelainan bruksisme, tetapi
ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menolong pasien mengurangi atau
menghilangkan akibat yang ditimbulkan dari kelainan ini. Tindakan yang perlu
dilakukan pertama kali adalah mencegah rusaknya gigi dan struktur
pendukungnya akibat bruksisme. Penyesuaian oklusal (occlusal adjusment) dapat
dilakukan sebagai suatu cara untuk mencegah terjadinya bruksisme yang
disebabkan adanya sangkutan oklusal, yaitu dengan menghilangkan sangkutan
oklusal tersebut, hal ini dapat dilakukan hanya pada bruksisme tahap awal.
Perawatan orthodonti untuk rehabilitasi gangguan oklusal.
Selanjutnya dapat dibuatkan splint oklusal yang biasa disebut splint stabilisasi.
Splint stabilisasi sering disebut alat relaksasi otot karena alat ini sering dipakai
untuk mengurangi keluhan-keluhan pada otot sendi temporomandibula. Splint
stabilisasi biasanya dibuat dari akrilik transparan yang diletakkan pada permukaan
oklusal dan insisal gigi pada salah satu lengkung rahang, yang dapat
menghasilkan kontak oklusal yang tepat dengan gigi pada lengkung gigi
lawannya, dapat membantu mengurangi kekuatan yang dapat merusak jaringan
serta mengobati hiperaktivitas otot.
Splint stabilisasi juga bertujuan untuk menstabilkan posisi kondilus terhadap fosa
glenoidalis dan melindungi hubungan antara maksila dengan mandibula yang
dibutuhkan pada langkah-langkah terapi fungsional, serta untuk mendapatkan
relasi sentrik sebelum restorasi definitif dipersiapkan. Pasien diinstruksikan untuk
menggunakan splint saat tidur malam hari atau pada siang hari ketika aktivitas
bruksisme mulai muncul dan harus digunakan selama 6 sampai 8 bulan.
Perawatan yang dapat dilakukan selanjutnya adalah terapi pulpa dan pembuatan
mahkota penuh logam pada gigi-gigi yang mengalami atrisi maupun abrasi yang
sangat parah dimana terjadi penetrasi ke tanduk pulpa. Berdasarkan ketentuan
American Academy of Medical Acupuncture (AAMA) dan WHO, akupuntur
dapat diindikasikan untuk perawatan bruksisme, spasme otot, kelainan sendi
temporomandibula dan ansietas. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang
menunjukkan bahwa akupuntur merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi
gangguan sendi temporomandibula. Perawatan dengan obat obatan yang
bermaksud untuk relaksasi otot, diantaranya: buspiron, bromocriptin, propanolol,
clonazepam dan clonidin.
Perawatan penunjang terhadap bruksisme yang dapat dilakukan, diantaranya yaitu
perawatan psikologis, teknik relaksasi otot, dan teknik biofeedback. Perawatan
psikologis memerlukan kerjasama antara dokter gigi dengan psikolog atau
psikiater. Pada beberapa orang, hanya dengan beristirahat dan memodifikasi
kebiasaan-kebiasaan pada siang hari dapat mengurangi bruksisme pada malam
hari. Dengan meminimalisasi tingkat stres dapat mengurangi resiko timbulnya
bruksisme.
Teknik relaksasi merupakan metode yang paling umum digunakan di kedokteran
gigi. Meditasi dan yoga dapat memberikan relaksasi dan mengurangi tingkat stres
dan gejala-gejala yang berkaitan dengan hiperaktivitas otot. Latihan relaksasi
secara alami, yaitu melakukan latihan lokal terhadap otot-otot mastikasi, dapat
mengurangi ketegangan otot dan bruksisme. Latihan ini hanya bersifat sementara
dan efektifitasnya belum benar-benar terlihat.
Pendekatan psikologik untuk mengurangi etiologi stres dari kelainan bruksisme
dapat dilakukan dengan teknik biofeedback. Teknik ini merupakan konsep
perawatan bruksisme dengan menggunakan electromyograph atau EMG yang
akan memberikan gambaran hiperaktivitas otot sebagai umpan balik bagi
penderita untuk mengubah perilaku. Setiap kali otot pengunyahan tegang akan
terdengar bunyi (suara alarm aktif EMG) sebagai suatu tanda yang
mengindikasikan adanya clenching atau bruksisme sehingga aktivitas ini harus
dihentikan segera dan pasien harus merelaksasi otot-ototnya, yaitu dengan
menurunkan tegangan ototnya di bawah ambang toleransi. Pada malam hari
volume dari suara akan meningkat, sampai membangunkan pasien ketika
kebiasaan abnormal ini muncul. Sekali lagi pasien diinstruksikan bahwa jika ia
terbangun oleh suara, artinya aktivitas bruksisme muncul dan harus segera
dihentikan.
B. Alat Lepasan, yaitu alat ortodontik ini dapat dipasang dan dilepas oleh pasien
sendiri. Contoh:
Plat dengan pir-pir pembantu.
Plat dengan peninggi gigitan.
Plat ekspansi.
Aktivator / monoblock.
Komponen alat lepasan terdiri dari:
Pelat dasar / baseplate.
Komponen retentif:
a. Klamer / clasp.
b. Kait / hook.
c. Busur labial / labial arch / labial bow (dalam keadaan pasif).
Komponen aktif:
a. Pir-pir pembantu / auxilliary springs.
b. Busur labial / labial arch / labial bow.
c. Skrup ekspansi / expansion screw.
d. Karet elastik / elastic rubber.
Komponen pasif: busur lingual / lingual arch / mainwire.
Komponen penjangkar:
a. Verkeilung.
b. Busur labial dalam keadaan tidak aktif.
c. Klamer-klamer dan modifikasinya.
Sekrup Ekspansi
Kata ekspansi merujuk pada pelebaran daerah lateral pada lengkung gigi oleh tekanan
ortodonti. Salah satu tujuan utama perawatan ortodonti adalah mengoreksi
ketidaksesuaian skeletal / dental dalam arah transversal. Tekanan pada alat ini bertindak
sebagai kekuatan ortopedik yang membuka sutura midpalatal. Alat ini menekan
ligamen periodontal, menekuk prosessus alveolar, memiringkan / membalikkan
penjangkaran gigi dan berangsur-angsur membuka sutura midpalatal.
A. Indikasi dan Kontraindikasi Ekspansi
Indikasi ekspansi:
Kekurangan pertumbuhan maksila.
Penyempitan bilateral maksila.
Palatum yang tinggi dan sempit.
Kelainan bentuk dari septum.
Maksila yang kolaps (cleft palatal).
Retrusi maksila.
Kontraindikasi ekspansi:
Crossbite unilateral.
Orang yang mengalami kelainan patologis jaringan lunak.
Jika maksilanya sempit dan panjang serta berhubungan dengan retrognati
mandibular.
B. Tipe Ekspansi
Ekspansi melewati sutura melalui dua cara:
Rapid expansion.
Slow expansion.
Objek dari ekspansi maksila adalah untuk melebarkan maksila, tidak hanya
meluaskan lengkung gigi dengan menggerakkan gigi-gigi relatif ke tulang.
Tipe Slow Tipe Rapid
1. Bekerja secara lambat 1. Bekerja dalam waktu yang singkat
dalam beberapa minggu. (sekitar 21 hari).
2. Perputaran sekrup dilakukan pada pagi
2. Perputaran sekrup ¼
hari, dan dilakukan lagi pada malam
putaran dapat menghasilkan
hari pada hari pertama dandilakukan
pergeseran 0,25 mm.
aktivasi tiap hari.
3. Ekspansi sebesar 1 mm per
3. Ekspansi 7-11 mm dalam 21 hari.
bulan.
4. Tidak ada rasa sakit. 4. Disertai rasa sakit.
5. Orthodontic force. 5. Orthopedic force.
Tipe Fisher.
Tipe Glenross.
Tipe Wipla.
Susiana, 2009. Perawatan Maloklusi Kelas III Skeletal dengan Penggunaan Chin Cap pada
Pasien Usia Pertumbuhan. Bandung: Jurnal Kedokteran Maranatha. 9(1): 59-60.
Rachmadani, Anatasya dan Jeffrey. 2020. Perawatan Space Regainer pada Premature Loss
Gigi Molar Sulung Rahang Atas dan Bawah – Laporan Kasus. Cimahi: Oceana
Biomedicina Journal. 3(2): 28-29.
Herman, Wachijati. 1990. Masalah dan Akibat dari Bruxism serta Cara Perawatannya.
Bandung: Jurnal PDGI. 39(1): 35-42.