Anda di halaman 1dari 25

HIJRAH DAN LONGMARCH SILIWANGI

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah SPS
Dosen Pengampu :
Let. Kol. Purm. Drs. H. Asep Abdullah, M. Ag

Disusun Oleh :
Dadan Hermawan 021.041.0137
Nur Sri Mulyati 021.041.0069

PROGRAM STUDI PGMI NON REGULER


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SILIWANGI BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca membuka pikiran dan menerapkan nilai-nilai perjuangan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Cimahi, 01 April  2022

Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 Pembahasan 1
A. Pembentukan dan Perkembangan Awal Kodam III Divisi Siliwangi
1-5
B. Perjuangan Divisi Siliwangi sebelum Hijrah pada Perang Revolusi 5-7
C. Hijrah Divisi Siliwangi ke Wilayah RI 7-13
D. Divisi Siliwangi di Surakarta dan Awal Ketegangan dengan Divisi
Panembahan Senopati 13-16
Daftar Pustaka iii

ii
ii
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pembentukan dan Perkembangan Awal Kodam III Divisi Siliwangi.


Divisi adalah satuan tempur militer terbesar dengan kekuatan penuh secara
operasional memiliki kesatuan-kesatuan tempur, berikut unsur pendukungnya yaitu
bantuan tempur dan bantuan administrasi, yang berada dalam garis komando divisi
tersebut, sehingga tidak perlu mendatangkan dari komando lain di luar divisi.

Divisi Siliwangi adalah kesatuan tempur TNI yang membawahi wilayah KODAM
III Jawa Barat yang terdiri dari 5 Brigade dan masing masing Brigade memiliki satuan
Resimen, namun dalam perkembangannya menjadi Divisi Siliwangi kemudian
membawahi langsung Batalyon sebagai satuan tempurnya.

Masa awal terbentuknya, Divisi Siliwangi terdiri dari 5 Brigade yaitu :

a. Brigade I Titrayasa di bawah pimpinan Letnan Kolonel Brata Menggala dan Letnan
Kolonel Dr. Erie Sadewa sebagai kepala staf. Daerah tanggung jawabnya meliputi
seluruh Karesidenan Banten dan sebagian Jakarta Barat.

b. Brigade II Surya Kencana di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kawilarang yang


bergerilya di daerah Bogor sampai dengan Cianjur Selatan.

c. Brigade III Kiansantang dengan Komandan Letnan Kolonel Sidik Bratakusumah yang
bergerilya di daerah Jakarta Timur sampai dengan Bandung Utara.

d. Brigade IV Guntur adalah gabungan dari Guntur I dan Guntur II dengan komandan
Letnan Kolonel Daan Jahja. Daerah gerilyanya meliputi Bandung Selatan, Pringan
Timur, Bandung Utara sampai sebelah timur.

e. Brigade V Sunan Gunung Jati yang sebelumnya adalah organisasi Divisi Banyumas
dengan Komandan Letnan Kolonel Abimanyu. Daerah gerilyanya adalah Karesidenan
Cirebon.

Pembentukan Divisi Siliwangi berawal dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat


(BKR) yang diserukan oleh Presiden Soekarno pada masa awal kemerdekaan dalam
keputusan tanggal 30 Agustus 1945. Awal pembentukan BKR di Jawa Barat adalah pada

1
27 Agustus 1945 dari pertemuan antara Residen Priangan, R. Puradireja dengan R.
Sanusi Hardjadinata yang menghasilkan BKR Priangan di bawah pimpinan Arudji
Kartawinata dan Omon Abdurahman sebagai wakilnya.

Pertemuan selanjutnya dilaksanakan di Gedung Sirnagalih, Bandung yang dihadiri oleh


hampir seluruh mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) Priangan, Heiho, dan
Koninlijke Nedherland Indhisce Leger (KNIL) dengan hasil pembentukan BKR
Kabupaten Bandung dipimpin oleh R.Sukanda Bratamanggala, BKR Kota Bandung
dipimpin oleh Suhari dan BKR Cimahi dipimpin oleh Gandawidjaya.

Pembentukan BKR Jawa Barat kemudian berlanjut dibeberapa daerah antara lain :

1. BKR kota Jakarta dengan tokoh pendirinya adalah Latief Hendraningrat, Moeffreni


moe’min, Priatna, S.Kusno, Daan Jahja, Taswin, Daan mogot, Sujono
Yudadibrata, Kemal idris dan Sadikin.

2. BKR Karesidenan Jakarta dengan tokoh pendirinya adalah Sumarma, Arjana


Prawiraatmaja, Achjar Arif, Halim, Marwoto, dan Amir.

3. BKR Karesidenan Banten dengan tokoh pendirinya, K.H.Achmad Chotib, K.H


Sjam’un, E.Taryana, Djajarukmantara, K.H.Djunaedi dan H.Abdullah.

4. BKR Karesidenan Bogor dengan tokoh pendirinya, Gatot Mangkupraja, Eddy Sukardi,


Basuni, D. Kosasih, Husein Sastranegara, A.Kosasih, Dule Abdullah.

5. BKR Karesidenan Priangan dengan tokoh pendirinya, Arudji Kartawinata, Omon


Abdurachman, Sjamsu, Abdullah, Suriadarma, Sunkanda Bartamanggala, Hidajat, Supari,
Sumarsono, Abdurachman.

6. BKR Karesidenan Cirebon dengan tokoh pendirinya, Asikin, Sumarsono, Rukman,


Effendy dan Sjafei.

Di tengah proses pembentukan BKR Jawa Barat ini, muncul seorang mantan pimpinan
Seinendan daerah Cigereleng bersama 200 anggotanya yang kemudian menggabungkan
diri dengan BKR. Pimpinan Seinendan ini yang kemudian diangkat menjadi penasihat
BKR Priangan.

2
Perkembangan BKR sebagai Badan Keamanan Rakyat dan Badan Penolong Korban
Perang selanjutnya berdasarkan Maklumat Presiden Sukarno tanggal 5 Oktober 1945
diubah atau dibentuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)..

Pembentukan TKR di Jawa Barat dipelopori oleh Didi Kartasasmita, seorang mantan
Opsir KNIL yang pada September 1945 mendatangi Perdana Mentri Republik Indonesia
menawarkan diri membantu perjuangan RI. Sebagai seorang perwira lulusan Koninlijke
Military Academy (KMA) Breda berpangkat Letnan satu, Didi Kartasasmita disambut
baik oleh Amir Syarifudin karena dirasa akan sangat membantu dalam perjuangan
kemerdekaan.

Berdasarkan persetujuan Presiden, Didi Kartasasmita kemudian membuat maklumat yang


berisi pernyataan bagi para mantan opsir KNIL untuk berdiri di belakang RI yang berisi
antara lain kurang lebih tentang pembubaran tentara KNIL sejak 9 Maret 1942 oleh
Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda, Letnan Jendral Ter Poorten, dan dengan
pembubaran itu, maka secara otomatis terbebas dari sumpah setia prajurit.

Pertimbangan mengenai keamanan Republik yang tengah terancam dengan keberadaan


Nedherland Indhisce Civil Administration (NICA) dan kesadaran akan gerakan
kemerdekaan Indonesia, maka para mantan opsir KNIL ini menyatakan berdiri di
belakang Republik Indonesia dan siap menerima segala perintah untuk menegakkan dan
dan menjaga keamaan Republik Indonesia.

Maklumat ini kemudian diikuti dengan surat dukungan yang datang dari para opsir
junior, mantan taruna KMA Bandung dan bekas opsir cadangan kepada Didi
Kartasasmita pada 8 Oktober 1945.

Petikan surat yang intinya menyatakan dukungan dan bersedia bergabung dengan para
perwira opsir senior berisi sebagai berikut :

"Kami bekas Cadettan dan bekas Aspirant-Reserve Officieren Tentara Hindia Belanda
menerangkan, bahwa kami menyetujui pendirian para opsir kami sebagai tertua dari kami
dan berdiri sepenuhnya dibelakang mereka"

Bandung, 8 Oktober 1945

-A.H Nasution

3
-R.A.Badjoeri M.M.

-R. Kartakoesoema.

-R.S.Sasraprawira.

Dukungan itu dilanjutkan dengan langkah Didi Kartasasmita menghubungi sejumlah


mantan opsir KNIL dari KMA Bandung diantaranya A.H.Nasution, Rahmat
Kartakusuma, Daan Jahja, Singgih, Arudji Kartawinata, Asikin Judakusumah, KH
Sam’un, Husein Sastranegara dan Sastraprawira untuk berkumpul di Tasikmalaya pada
20 Oktober 1945 dalam usaha pembentukan TKR Jawa Barat.

Pertemuan di Tasikmalaya itu berjalan lancar menghasilkan TKR yang terbagi dalam
komandemen-komandemen yang membagi Jawa dalam 3 komandemen dan Jawa Barat
masuk dalam bagian komandemen I Jawa Barat dengan susunan :

1. Panglima Komandemen : Mayor Jendral Didi Kartasasmita

2. Kepala Staf : Kolonel A.H Nasution,

3. Staff Komandemen : Letnan Kolonel Kartakusumah, Mayor Akil, Mayor Kadir, Mayor
Suryo dan Kapten Satari

Satuan Tempur Komandemen 1 Jawa Barat adalah terdiri dari 3 (tiga) Divisi :

1. Divisi I TKR : Komandan Kol. KH Syam'un, meliputi wilayah Banten dan Bogor
2. Divisi 2 TKR : Komandan Kol. Asikin, meliputi wilayah Jakarta hingga
Linggarjati - Cirebon
3. Divisi 3 TKR : Komandan Aruji Kartawinata, daerah Priangan - Bandung hingga
Sukabumi

Sepuluh bulan kemudian baru pada tanggal 20 Mei 1946 bertepatan dengan hari
Kebangkitan Nasional formasi itu kemudian dilebur dalam satu divisi dengan nama
Divisi Siliwangi.

Tanggal 20 Mei ini kemudian diperingati sebagai hari jadi Divisi Siliwangi. Tiga hari
kemudian tanggal 23 Mei dalam rapat seluruh komandan Jawa dan Madura A.H.Nasution
terpilih sebagai Panglima Divisi Siliwangi dengan pangkat Jendral Mayor.

4
Formasi ini menjadi susunan awal terbentuknya Divisi Siliwangi seperti yang disebutkan
diawal dan pada perkembangannya formasi ini terjadi beberapa perubahan hingga
menjelang hijrahnya Siliwangi.

B. Perjuangan Divisi Siliwangi sebelum Hijrah pada Perang Revolusi

Masa Agresi Militer Belanda I dimulai pada 21 Juli 1947.14 Jawa Barat diserang dengan
Strategi Ujung (speerpunter strategie) oleh Divisi B pimpinan Mayjen S.De Waal dan
Divisi C pimpinan Mayjen H.J.J.W. Durt Britt, kedua divisi ini mengandalkan mobilitas
tinggi dengan dukungan pasukan artileri dan bantuan udara..

Pasukan Belanda berhasil menerobos pertahanan TNI di sektor Bandung Timur, setelah
dilakukan pergantian pertahanan oleh Divisi II/Sunan Gunung Jati dari Jawa Tengah.

Gempuran dalam empat hari pertama Belanda berhasil menduduki kota Cirebon. Akhir
Agustus 1947 diketahui hanya Brigade I Banten yang masih utuh, sementara Brigade II
Surya Kencana, Brigade III Kiansantang, Brigade IV Guntur dan Brigade V Sunan
Gunung Jati bergeser dan melakukan pertahanan di pegunungan-pegunungan.

Serangan Belanda yang mampu menerobos pertahanan TNI akhirnya memberikan


pelajaran baru, bahwa dengan strategi pertahanan linier dalam kondisi pasukan dan
persenjataan yang kurang memadai hanya akan membuang tenaga karena TNI saat itu
memang masih jauh secara kemampuan dan persenjataan bila dibandingkan dengan
Belanda yang militernya lebih maju.

Akhir Agustus 1947 pasukan Siliwangi mulai menyusun kembali kekuatan dan
kesatuannya dengan memanfaatkan kondisi alam atau medan pertempuran yang berupa
pegunungan-pegunungan di mana pasukan TNI lebih mengenal dan menguasai medan
dibanding pasukan Belanda. TNI menyusun kesatuannya dalam kantong-kantong
pertahanan gerilya dengan mengikutsertakan unsur-unsur Pemerintahan RI dan rakyat
yang dikenal dengan Perang Rakyat Semesta atau perang Gerilya TNI..

Serangan gerilya ditujukan pada sektor-sektor penting seperti jalan-jalan penghubung,


jalur logistik, pos Belanda. Jalur Tasikmalaya- Garut, Ciamis-Kuningan, Bogor-
Sukabumi oleh Belanda dinyatakan sebagai “Jalur Maut” karena serangan gerilya TNI.

5
Kesatuan Siliwangi yang sudah mulai terkondisikan berhasil mengadakan pertemuan
pada November 1947 di Taraju, Tasikmalaya Selatan yang dihadiri oleh Kolonel
A.H.Nasution, Kolonel Hidayat, Letkol Sutoko, Letkol H.Y Mokoginta, Mayor Rambe,
Kapten D.Suprayogi, Kapten Sakadipura, Kapten Kresno, Letkol Eddy Sukardi, Mayor
Sidik Brotosewoyo, Mayor Askari, Kapten Hadi, Kapten Saragin, Kapten Djerman
Prawirawinata, Kapten S.L.Tobing, Lettu Tatang Soemantri, Kapten Sugilar, Lettu Ace
Kapten Zen dan Lettu Abas Herwan.

Pertemuan tersebut guna menyampaikan instruksi kepada setiap kesatuan dari Divisi
Siliwangi yang berisi tentang pembentukan kantong- kantong pertahanan bagi kesatuan
TNI. Kantong pertahanan ini kemudian dinamakan Wehrkreise. yang merata dibentuk di
semua distrik. Untuk itu pasukan disebar dan dikembalikan ke daerah asalnya.
Membentuk organisasi wehrkreise, sub wehrkreise gerilya sebagai pemerintah militer
yang dinamakan Komando Distrik Militer (KDM) dan kader-kader desa. Tiap-tiap
wehrkreise harus menegakkan terus de facto RI secara gerilya.

Strategi perang gerilya ini dalam prakteknya mampu mengacaukan barisan pertahanan
Belanda, bahkan gerakan anti gerilya yang dilancarkan Belanda tak mampu membendung
serangan gerilya TNI.

Di Jawa Barat perang gerilya oleh pasukan Siliwangi mampu melumpuhkan usaha
perkebunan yang merupakan sektor ekonomi penting bagi Belanda hingga para
pengusaha partikelir menuntut jaminan keamanan dari pihak Belanda.

Kondisi ini kemudian membawa Indonesia dan Belanda dalam sebuah perundingan di
bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk oleh PBB pada 27
Agustus 1947. KTN ini terdiri dari negara Australia sebagai wakil pihak Indonesia,
Belgia sebagai wakil pihak Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah yang dipilih
oleh kedua negara. Diplomat KTN ini terdiri dari Dr. Frank P Graham, Presiden
Universitas North Carolina, Richard C Kirby dan Paul Van Zaeland..

Perundingan dilakukan di atas kapal perang Amerika U.s Renville yang kemudian


melahirkan Perjanjian Renville 17 januari 1947 dimana perjanjian itu membawa dampak
besar bagi pemerintahan RI yaitu jatuhnya kabinet Amir Syarifudin dan juga bagi TNI

6
yaitu dengan menarik pasukan ke dalam wilayah republik yang kemudian dikenal dengan
hijrahnya pasukan Siliwangi dari Jawa Barat.

Peristiwa hirjah ini kemudian menjadi babak baru perjuangan Siliwangi dalam perang
kemerdekaan bersama dinamika politik pemerintahan serta desakan Belanda secara
militer maupun secara politis.

C. Hijrah Divisi Siliwangi ke Wilayah RI

Perjanjian Renville dalam isinya menuntut kepada pihak Republik untuk menarik
pasukan TNI keluar dari garis Van mook atau garis status quo menyusul serangan gerilya
TNI yang merepotkan daerah-daerah pertahanan Belanda. Pasal-pasal perjanjian Renville
yang merugikan pihak Republik diantaranya :

a. Bahwa suatu perintah tinggal tetap (stand fast) dan dikeluarkan oleh kedua belah pihak
masing-masing serta serentak dengan segera sesudah ditandatangani persetujuan ini dan
akan berlaku sepenuhnya di dalam empat puluh delapan jam. Perintah itu berlaku untuk
pasukan-pasukan kedua belah pihak di sepanjang garis daerah-daerah seperti dimaksud
dalam Proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada 29 Agustus 1947, yang akan
dinamakan garis status quo, dan di daerah-daerah seperti yang dimaksud dalam ayat
tersebut.

b. Bahwa terlebih dahulu dan buat sementara waktu akan diadakan bentuk daerah-daerah
yang akan dikosongkan oleh tentara (militerized-zone), pada umumnya sesuai dengan
garis status quo, tersebut di atas. Daerah-daerah itu pada intinya mengenai daerah- daerah
diantara garis status quo, disatu pihak garis kedudukan Belanda dan dipihak lain pihak
garis kedudukan Republik itu lebarnya rata-rata sebanding.

Pasal yang menyebutkan mengenai pemindahan pasukan TNI keluar dari garis status quo
antara lain :

 Kesatuan dari pasukan-pasukan TNI yang masih berada di daerah yang dikuasai oleh
tentara Belanda akan dipindahkan ke daerah mereka sendiri dengan membawa
senjata, perlengkapan serta alat-alat perang.

7
 Pemindahan ini akan dilakukan dengan bantuan dan dibawah pengawasan pembantu-
pembantu milter Komisi Tiga Negara. Instruksi-instruksi selanjutnya akan
dikeluarkan

7
oleh Kepala Staf Umum masing-masing setelah bermusyawarah dengan pembantu-
pembantu tersebut dan dengan pembesar-pembesar pihak lain.

 Pemindahan-pemindahan akan dilaksanankan dan diselesaikan selekas mungkin,


selambat-lambatnya dalam 21 hari setelah penandatanganan dan perjanjian gencatan
senjata.. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tidak hanya Divisi Siliwangi yang harus
melakukan hijrah. Divisi Brawijaya dari Jawa Timur yang terdiri dari Brigade
Narotama, Suropati dan Ronggolawe pun juga harus meninggalkan markasnya.

Jawa Barat wilayah yang masih dimiliki Republik berdasarkan garis status qou yaitu
meliputi:

 Serang laut,
 Timur Djati,
 Putat,
 Timur Taru,
 Tjarewod,
 Bitung,
 Tjurug,
 Sumedang Wetan,
 Tjimantjeuri Timur,
 Parungpandjang,
 Dago hilir,
 Timur Sineh,
 Tengah Pahong Hilir,
 Padurungan,
 Tjicempuan,
 garis tengah Kalong durian,
 Gunung Kendang,
 Tjibareno,
 batas Karesidenan Bogor,

8
 Banten
 sebelah timur Bantar kelapa..

Pasukan Siliwangi di Jawa Barat mendapatkan perintah hijrah dari Jendral Sudirman
melalui ”Tim Perhubungan” yang dibentuk di Yogyakarta untuk menyampaikan perintah
hijrah secara langsung kepada panglima divisi dan komandan brigade Divisi Siliwangi.

Tim perhubungan ini dipilih dari perwira yang dianggap mengenal baik pribadi para
pimpinan Divisi Siliwangi. Tidak semua pasukan Siliwangi dihijrahkan karena sesuai
perintah Jendral Sudirman agar sebagian pasukan tetap melakukan aksi-aksi gerilya
terhadap Belanda untuk tetap menjaga de facto wilayah RI di Banten Jawa Barat.

Pemerintah membentuk panitia hijrah berdasarkan Penetapan Presiden No.4 tahun 1948
tanggal 2 Februari 1948 tentang pembentukan Panitia Hijrah. untuk memperlancar
pelaksanaan hijrah. Panitia ini bertugas menyiapkan kebutuhan logistik dan menyediakan
alat-alat trasnportasi bagi pasukan yang berhijrah.

Susunan panitia hijrah yang dibentuk adalah sebagai berikut :

Ketua : Arudji Kartawinata (Kementrian Pertahanan)

Wakil Ketua I : Jendral Mayor Ir. Sakirman (TNI bag. Mayarakat)

Wakil Ketua II : Moh.Siraj (Kementrian Dalam Negeri)

Ketua Sekertaris : Dr. Hutagalung (Kementrian Pertahanan)

Wakil Ketua Sekertaris : Mayor Haryono (Anggota Panitia Istimewa).

Panitia hijrah yang telah terbentuk kemudian mengadakan perundingan dengan Belanda
dibawah pengawasan KTN terkait tatacara pengangkutan prajurit TNI. Pasukan Siliwangi
muncul dari kantong-kantong gerilya nya seperti harimau keluar dari kandangnya untuk
melaksanakan perintah hijrah. Prajurit Siliwangi tampak tegap, bugar dengan membawa
senjata masing-masing membuat tentara Belanda segan dan menyadari bahwa selama ini
markas mereka berada sangat dekat dengan posisi para gerilyawan Siliwangi.

Pasukan Siliwangi berkumpul di stasiun-stasiun kereta api yang telah ditentukan oleh
panitia hijrah untuk kemudian diberangkatkan secara bersama- sama. Tempat
pengumpulan prajurit diantaranya di stasiun Sukabumi menjadi tempat berkumpulnya

9
Brigade II/Suryakencana pimpinan Letnan Kolonel A.E Kawilarang, stasiun Purwakarta
menjadi tempat berkumpulnya Brigade III/Kian Santang pimpinan Letnan Kolonel
Sadikin dan stasiun Padalarang menjadi tempat berkumpulnya Brigade V/Guntur II
pimpinan Letnan Kolonel Daan Yahya..

Pasukan ini kemudian berkumpul di Tasikmalaya untuk kemudian diberangkatkan ke


Yogyakarta. Melalui jalur darat proses hijrah ditempuh dengan tiga cara yaitu :

- Dengan kereta api, dengan truk dan dengan jalan kaki. Jalur kereta api dilakukan oleh
tiga Brigade yang sebelumnya telah dikumpulkan di Tasikmalaya kemudian melalui
stasiun Parujakan Cirebon, Gombong menuju Yogyakarta.

- Perjalanan dengan truk ditempuh pasukan Brigade IV/Guntur I dan Brigade VI/Sunan
Gunung Jati. Pemberangkatan dimulai dari lapangan terbang Cibeurem Tasikmalaya
mengangkut sekitar 2.000 prajurit yang sebelumnya telah ditanya tentang kesediaannya
untuk berhijrah dibawa menuju stasiun Kutoarjo kemudian melanjutkan perjalanan
dengan kereta api..

Sekitar 2.000 prajurit lainnya memutuskan untuk tetap melanjutkan aksi gerilya di bawah
pimpinan Mayor Sugiharto dari Batalyon 22 Cililin, Bandung.

- Brigade VI/Sunan Gunung Jati diangkut dari Kuningan menuju Gombong dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Karang Anyar dan ketika sampai di
Kebumen pasukan hijrah mendapatkan hiburan kethoprak yang diselenggarakan oleh
panitia hijrah dan mendapatkan uang saku sebesar Rp. 100,- setiap masing-masing
prajurit..

- Hijrah pasukan Siliwangi dari Jawa Barat dengan berjalan kaki juga ditempuh satuan
pengawal staf divisi tergabung dalam satuan Detasemen.di bawah pimpinan Kapten Leo
Loulisa, Kapten Suparyadi dan Kapten Suparman..

- Batalyon MBT (Markas Besar Tentara) pimpinan Mayor R.A.Nasuhi turut serta dalam
hijrah berjalan kaki melalui rute Kuningan-Ciamis- Gunung Slamet-Pegunungan Dieng-
Karangkobar-Banjarnegara-Wonosobo. Selama perjalanan hijrah senjata pasukan
Siliwangi dikumpulkan menjadi satu dalam satu gerbong dan diawasi secara ketat oleh

10
TNI sendiri dan dalam perjalanan hijrah juga dikawal oleh tentara Belanda bagi satuan
yang menggunakan kereta api dan truk.

- Jalur laut pasukan hijrah terlebih dahulu berkumpul di pelabuhan Cirebon untuk
kemudian diberangkatan dengan dengan kapal barang Plancius dan LST menuju
Rembang.. Di pelabuhan Rembang pasukan hijrah disambut oleh Bupati Rembang,
Sukardji dan Jendral Mayor Djatikusumo Panglima Divisi V/Ronggolawe kemudian
diberangkatkan ke Yogyakarta dengan Truk setelah sebelumnya mendapatkan jamuan di
pendopo kabupaten Rembang.

Pemberangkatan prajurit hijrah Siliwangi secara teknis militernya dilakukan dalam dua
eselon yaitu eselon I dibawah pimpinan A.E.Kawilarang dan didampingi Letnan Kolonel
Kusno Utomo sebagai Kepala Staf dengan membawa batalyon-batalyon yang dipimpin
Mayor Kemal Idris, Mayor A.Kosasih, Mayor Daeng dan Mayor Ahmad Wiranata
Kusumah yang menempatkan basis pasukannya di Yogyakarta.

Eselon II dibawah pimpinan Letnan Kolonel Abimanyu yang kemudian digantikan


Letnan Kolonel Sadikin dengan kepala staf Mayor Syamsu dengan membawa batalyon-
batalyon yang dipimpin Mayor Umar, Mayor Rukman, Mayor Sambas, dan Mayor Sentot
Iskandardinata yang menempatkan basis pasukannya di Surakarta.

Brigade cadangan Siliwangi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Eddy Sukardi


ditempatkan di Magelang.. Sesuai perintah awal dari Jendral Sudirman bahwa untuk tidak
menghijrahkan semua prajurit Siliwangi dan menyisakan sebagian kesatuan unuk tetap
melakukan gerilya di wilayah Republik Indonesia di Jawa Barat.

Pasukan yang masih bertahan adalah Brigade I/Tirtayasa yang menduduki wilayah
Banten di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala, yang kemudian
digantikan oleh Mayor dr. Eri Sudewa yang ditugaskan langsung oleh Muhammad Hatta
untuk menyiapkan pertahanan daerah Banten.

Dokter Eri Sudewa adalah seorang dokter berpangkat Mayor yang mulai 1 Maret 1949
berikrar akan membuat seluruh Banten menjadi neraka bagi Belanda. kemudian Batalyon
22 Mayor Sugiharto yang memutuskan untuk tidak ikut hijrah juga menggabungkan diri

11
dengan Brigade I/ Tirtayasa dibantu juga oleh pasukan dari laskar Hizbullah dan
Sabilillah..

11
Panglima Divisi Siliwangi juga turut bersama pasukan hijrah melalui jalur laut berangkat
dari Cirebon setelah menempuh rute Deudel-Tasikmalaya-Ciamis-Kuningan-Cirebon
kemudian menuju Rembang dan tiba di Yogyakarta pada 12 Februari 1948 setelah
sebelumnya rombongan pertama tiba di stasiun Tugu pada 11 Februari 1948.

A.H.Nasution bersama para komandan brigadenya kemudian melaporkan diri kepada


Panglima Besar Jendral Sudirman.

Laporan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Kepala Staf Umum Letnan Jendral Urip
Sumoharjo dengan memerintahkan Panglima menyusun rencana pertahanan berdasarkan
perang gerilyanya di Jawa Barat. Panglima Siliwangi yang kemudian diangkat menjadi
wakil Panglima Besar diminta menyusun konsep rekonstruksi teritorium yang menjadi
bagian dari rencana rasionalisasi untuk persiapan perang gerilya dan pertahanan dengan
mendayagunakan pengalaman Divisi Siliwangi.

Panglima Siliwangi mengajukan rancangan konsep tentang pertahanan dan gerilya yang
berisi antara lain : Penyerbuan Belanda tidak mungkin ditahan, paling banyak hanya
diperlambat dengan gangguan serta bumi hangus, untuk memperoleh waktu dan ruang
yang sebanyak mungkin untuk mengungsikan pasukan-pasukan,alat-alat,pegawai-
pegawai dan rakyat ke kantong pedalaman.

Pokok perlawanan adalah perang gerilya, yang disatu pihak agresif terhadap musuh dan
di lain pihak bersifat konstruktif dapat menegakkan de facto RI dalam arti militer dan
sipil di kantong kantong yang sebanyak mungkin.

Diperlukan dukungan dari setiap lapisan untuk membantu menentukan kemenangan TNI
yaitu dari lapisan terbawah di pemerintahan yaitu pimpinan yang totaliter dalam tangan
lurah, Komando Onderdistrik Militer (KODM), Komando Distrik Militer (KDM),
Gubernur Militer daerah dan Panglima pulau. Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dan
Dewan Pertahanan Daerah (DPD) harus ditiadakan, Politik nonkooperasi dan nonkontak
yang tegas.

Menempatkan pasukan dalam porsi ideal di wilayah- wilayah Republik dengan


perbandingan komposisi batalyon mobil, lebih kurang satu batalyon ditiap karesidenan,
untuk tugas-tugas menyerang (bersenjata 1:1), batalyon-batalyon teritorial lebih kurang

12
satu batalyon ditiap kabupaten untuk perlawanan statis (bersenjata 1:3-5), kader teritorial
untuk kader desa, KODM, KDM dan seterusnya ke atas. Meng-wingate-kan pasukan-
pasukan kita ke daerah federal di Jawa khususnya dan di seberang umumnya. Pasukan-
pasukan asal Jawa Barat, Besuki, Kalimantan dan sebagainya disusun untuk tugas-tugas
itu..

D. Divisi Siliwangi di Surakarta dan Awal Ketegangan dengan Divisi Panembahan


Senopati

Pasukan hijrah Siliwangi ditempatkan di daerah-daerah republik menurut garis demarkasi


Van Mook yang telah disepakati dalam perjanjian Linggarjati dan kemudian ditegaskan
lagi dalam perjanjian Renville 17 Januari 1947. Penempatan pasukan Siliwangi
dipusatkan di tiga titik utama wilayah Republik Indonesia untuk melindungi Ibu Kota
Yogyakarta, di antaranya di Yogyakarta sendiri yang pasukan Siliwangi di bawah
komando Letnan Kolonel A.E.Kawilarang tergabung dalam Brigade I Siliwangi, di
Surakarta di bawah komando Letnan Kolonel Sadikin yang tergabung dalam Brigade II
Siliwangi, dan Brigade cadangan di bawah komando Letnan Kolonel Eddy Sukardi yang
ditempatkan di Magelang sebagai garis depan pertahanan terhadap Belanda yang berpusat
di Semarang.

Sebagian pasukan dari Jawa Barat juga ditempatkan di Madiun, dan beberapa Detasemen
yang ditempatkan di Cepu, Pati dan Bojonegoro.. Panglima Divisi Siliwangi, segera
mengeluarkan Amanat Panglima Siliwangi setelah seluruh pasukan hijrah tiba dan
ditempatkan di wilayahnya masing- masing. Amanat itu tertuang dalam Perintah Harian
No.1/Dt/48 tanggal 17 Februari 1948 yang kemudian dijadikan pedoman bertindak bagi
pasukan Siliwangi selama berada di daerah hijrah. Perintah harian Panglima Siliwangi itu
kurang lebih berisi sebagai berikut :

"Divisi Siliwangi memindahkan kedudukan ke Jawa Tengah, atas dasar perintah petunjuk
pimpinan tentara sebagai pemenuhan persetujuan pemerintah Republik dengan pihak
Belanda.

Semua ini tidak berarti bahwa divisi ataupun satu-satu anggotanya terlepas dari
kewajiban dan keharusan sebagai satuan tentara dan sebagai warga negara. Konsekuensi

13
daripada poin dua ialah bahwa : Kesatuan divisi tetap, nama divisi tetap, karena itu
kehormatan

13
divisi tetap dipertahankan. Di mana kita berada dalam daerah tanggung jawab divisi lain,
yang menjadi teman kawan seperjuangan kita.

Dengan ini diperintahkan jangan mengorbankan nama baik Silwangi dengan tindakan-
tindakan yang tidak sesuai dengan kehormatan prajurit. Jangan mengecewakan kawan-
kawan kita di sini dengan tidak mengindahkan tanggung jawab mengenai ketentaraan,
keamanan, dan ketertiban daerah. Jangan memberatkan kewajiban pimpinan sendiri.
Perlihatkan bahwa tempat dalam hati rakyat untukmu tidak sia-sia diadakannya.

Amanat yang kami berikan padamu ialah melihat ke depan dengan hati yang teguh,
bahwa kita akan meneruskan tradisi perjuangan Siliwangi, tetap melindungi negara ke
luar dan ke dalam, dengan disiplin dengan tertib. Perjuangan masih akan tetap sulit, maka
itu teguhkan hatimu dan kuatkan tekadmu, aku akan berjuang dengan tidak kepalang.”

Surakarta menjadi salah satu tempat pemusatan prajurit Siliwangi di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Sadikin yang tergabung dalam Brigade II Siliwangi membawahi 4
Batalyon di antaranya batalyon I/Sunan Gunung Jati di bawah Mayor Rukman
berkedudukan di Tasikmadu, Batalyon II/Tarumanegara di bawah Mayor Sentot
Iskandardinata berkedudukan di Delanggu bersama satu kompi Cokrotulung,

Batalyon III/ Ciremai di bawah Mayor Umar berkedudukan di Colomadu, dan Batalyon
IV/Kian Santang di bawah Mayor Sambas Atmadinata berkedudukan di Ngawi yang
kemudian dipindahkan ke Sragen. Brigade ini dikawal oleh Kompi III dari Batalyon
Ciremai pimpinan Kapten Oking..

Jumlah ini bertambah dengan pindahnya SDS (Staf Divisi Siliwangi) dari Yogyakarta ke
Surakarta di bawah pimpinan Kepala Staf Letnan Kolonel Abimanyu pada Juli 1948
dengan susunan Staf Divisi sebagai berikut :

a. Opsir Security/Intellegence SDS (Asisten Intelejen) Mayor Kosasih

b. Opsir Operation (Asisten Operasi) Mayor Krisno Abdulkadir dan Kapten Sani Lupias
sebagai wakilnya.

c. Opsir Organisasi/ Personalia Mayor Pepep Cakradipura, kemudian digantikan Mayor


Saragih.

14
d. Opsir Suplai (Asisten Logistik) Mayor Taswin kemudian digantikan Mayor Suprayogi.

e. Komandan Regu Administrasi Letnan I Wachyu Hagono.

Pengawalan Staf Divisi ditugaskan kepada Kompi II Batalyon Tarumanegara di bawah


pimpinan Kapten Komir Kartaman yang kemudian dibentuk menjadi Kotreop
(Commando Troops) atau pasukan khusus pengawal Staf Divisi yang terdiri dari markas
batalyon dan 3 kompi di bawah pimpinan Mayor Umar Wirahadikusumah. Markas Divisi
bertempat di pabrik Blima, jalan Kleco, Solo dengan kondisi sederhana dan seadanya
sedangkan pengawal staf menggunakan ruangan yang digunakan untuk menyimpan
mesin-mesin pabrik.

Tidak jarang mereka juga harus berpindah-pindah menyesuaikan kondisi darurat yang
sedang dihadapi. Keberadaan pasukan Siliwangi di Surakarta awalnya disambut dengan
baik oleh masyarakat Jawa Tengah, namun ada beberapa masalah yang kemudian timbul
karena sebutan”tentara kantong” dan ejekan dari pejuang-pejuang di Surakarta yang telah
terpengaruh oleh isu-isu yang dilancarkan golongan PKI/FDR yang menyebut Siliwangi
sebagai “Gendarmeri”,”Stoot Leger Wilhelmina” atau tentara kolonial yang berkedok
Siliwangi.

Masalah yang dihadapi Siliwangi di Surakarta bertambah ketika pada tanggal 23 Januari
pemerintah mengumumkan pembubaran Kabinet Amir Syarifudin dan mengangkat
Muhammad Hatta untuk menyusun kabinet baru dengan program Rasionalisasinya yang
mengancam posisi golongan komunis dalam pemerintahan maupun dalam kemiliteran.

Kebijaksanaan politik pemerintah Muhammad Hatta ditentang oleh golongan oposisi,


PKI dan Partai Sosialis Amir Syarifudin dengan membentuk FDR yang berusaha
menggalang kekuatan sebanyak-banyaknya untuk menentang Rasionalisasi.

Pasukan Siliwangi dibujuk oleh FDR untuk memperkuat dukungan kekuatan FDR,
namun bujukan itu tidak berhasil dan hasilnya FDR memusuhi Siliwangi dengan
melancarkan fitnah-fitnah dengan menuduh bahwa Siliwangi adalah alat pemukul yang
dimiliki kabinet Muhammad Hatta sebagai pemimpin pemerintahan yang menerima
rencana Spoor berupa peleburan TNI dalam KNIL yang komando tertingginya dipegang
oleh Jendral Spoor.

15
Muhammad Hatta merencanakan program Rasionalisasi yang kemudian menjadi masalah
bagi pasukan Siliwangi, Divisi Siliwangi tahun 1946 sampai 1948, telah diadakan tiga
kali

15
Re-Ra. Peristiwa ini merupakan hal yang sulit dilupakan mengingat rakyat secara
sukarela berjuang dan masuk TNI demi membela bangsa dan tanah air. Namun demi
menyelaraskan jumlah personil yang cukup dalam kwantitas dan kwalitas dan jumlah
logistik yang mampu disediakan pemerintah, serta untuk mencapai efektivitas kerja.
Tidak sedikit anggota Siliwangi yang di PHK.

Posisinya yang sedang hijrah di wilayah pertahanan divisi lain, rencana Rasionalisasi ini
justru digunakan oleh FDR untuk menyebarkan fitnah bahwa rencana Rasionalisasi itu
adalah salah satu upaya peleburan TNI dengan KNIL. Hijrah memaksa Rasionalisasi dan
pengelompokan baru, serta mempelajari ide-ide baru tentang pola perang rakyat yang
dilancarkan pada agresi militer pertama Belanda di Jawa Barat. Siliwangi dipusatkan
sebagai kesatuan mobil dan selebihnya sebagai kesatuan kerangka persiapan kesatuan
teritorial.

Rapat rekonstruksi Siliwangi pertama diadakan oleh para perwira senior di rumah
Walikota Solo Syamsurizal pada pertengahan Maret 1948. Pertimbangan mengenai
pengalaman perang menghadapi serangan Belanda masa agresi pertama dengan
pertahanan linier konvensional yang tidak efektif karena mengacaukan barisan
pertahanan akhirnya menimbulkan konsep baru pertahanan wilayah dan taktik gerilya
dengan mengandalkan komando batalyon.

Rapat itu kemudian menghasilkan keputusan bagi Divisi Siliwangi bahwa mereka tidak
akan bertahan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur apabila Belanda melancarkan
agresinya. Pasukan Siliwangi akan kembali ke Jawa Barat dengan tiga Brigade yang telah
disiapkan dalam penempatannya selama hijrah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Yogyakarta.

Hasil rapat ini kemudian menjadi pedoman bagi rekonstruksi Divisi Siliwangi dengan
tidak memecah kesatuan-kesatuan Siliwangi guna membantu memperkuat garis
pertahanan di daerah-daerah. Divisi Siliwangi dikelompokkan dalam Kesatuan Reserve
Umum (KRU) dengan tiga puluh batalyon yang dikelompokkan dalam lima brigade
dalam susunan batalyon-batalyon mobil untuk melakukan infiltrasi ke Jawa Barat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Referensi :

1. Amar, D. (1963). Bandung Lautan Api. Bandung: Pusat Sedjarah Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat. 2. Crouch, H. (1999). Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. <ref>3. Disjardam VI Siliwangi. (1979). Siliwangi dari Masa ke
Masa. Bandung: Angkasa.<ref> <ref>4. Ekadjati, E. (1980). Sejarah Revolusi
Kemerdekaan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.<ref> <ref>5. Gootschalk, L.
(1986). Mengerti Sejarah. Jakarta:UI Press.<ref> <ref>6. Indonesian State Secretariat .
(1975). Thirty Years Of Indonesia Indepedence, 1945-1975. Jakarta: State
Secretariat.<ref> <ref>7. Taswin, Letn. Kol, (1950). “Surat Dari Basis Komandan
Djakarta Raya Kepada Sofjan Safei, Kapten Djauhari, Kmd.Bat.T. dan Kapten Sudjono
Judo” No.11/adj/BGO/50 (29 Januari 1950).<ref> <ref>8. Tim Kerja DHD’45 Jawa
Barat (2005). Rute Perjuangan Kemerdekaan dan Pelakunya di Jawa Barat. Bandung:
DHD’45.<ref> 9. Nasution, AH. (1955). Tjatatan-Tjatatan Sekitar Politik Militer
Indonesia. Jakarta: CV. Pembimbing. * (1973). Kekarjaan ABRI. Jakarta: Seruling
Bangsa. * (1968). Tentara Nasional Indonesia II. Jakarta: Seruling Bangsa. * (1983).
Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid.III. Jakarta: Gedung Sate. 10. Poesponegoro, M.D,
Notosusanto,N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 11. Pusat
Sejarah Militer Angkatan Darat. (1965). Peranan TNI Angkatan Darat Dalam Perang
Kemerdekaan, Revolusi Pisik 1945-1950. Bandung: Pusat Sejarah Angkatan Darat. 12.
Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat (1979). Sedjarah TNI-AD 1945-1973 bagian 2.
Bandung: Pusat Sejarah Angkatan Darat. 13. Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat.
(1979). Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-AD. Bandung: Dinas Sejarah Militer TNI AD
dan Fa. Majuma. 14. Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat.(2004). Sudirman &
Sudirman. Bandung: CV.Grayana. 15. Ricklefs, M.C. (1998). Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 16. Sedjarah Militer Kodam VI Siliwangi.
(1968). Siliwangi Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Fakta Mahjuma. 17. Taram, sastranegara,
Yahya, Aam, R. H., Iip D (2019). Letjen TNi (Purn.) Achmad Wiranatakusumah. Jakarta:
PT kompas media Nusantara. hlm. 163 s/d 172. ISBN 978-602-412-623-0. 

iii

Anda mungkin juga menyukai