I. PENDAHULUAN.
Komando Daerah Militer IV/Diponegoro (sering disingkat Kodam IV, Kodam
Diponegoro, atau Kodam IV/Diponegoro) merupakan Komando Kewilayahan
Pertahanan yang meliputi provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Markas Komando berada di Jl. Perintis Kemerdekaan, Watugong, Banyumanik,
Semarang, Jawa Tengah. Pangdam IV/Diponegoro yang sekarang menjabat adalah
Mayjen Mochamad Effendi.
Sepanjang sejarahnya, Kodam IV/Diponegoro telah berhasil melaksanakan
tugas pokoknya dalam rangka mempertahankan dan menegakkan Negara Republik
Indonesia baik berupa operasi militer perang maupun operasi militer selain perang
diantaranya adalah :
a. Mengusir Penjajah Belanda yang melancarkan agresi Militer I dan II.
b. Menyelamatkan Pancasila dari tarikan ke kanan oleh pemberontakan
DI/TII dan separatis PRRI/Permesta.
c. Menyelamatkan Pancasila dari tarikan ke kiri oleh pemberontakan PKI
Madiun tahun 1948, G. 30 S/PKI pada tahun 1965.
d. Dalam era pembangunan untuk mengisi kemerdekaan, prajurit
Diponegoro melaksanakan Bhakti TNI Manunggal Sosial Sejahtera dan
melaksanakan program Manunggal TNI Masuk Desa (TMD) hingga TNI
Manunggal Masuk Desa (TMMD) Sengkuyung Tahap II ke 87 Tahun 2011.
e. Disamping itu Prajurit-Prajurit Kodam IV/Diponegoro ikut serta dalam
memelihara perdamaian dunia, tergabung dalam kontingen Garuda ke Kongo,
Mesir, Vietnam selatan dan Timur Tengah serta Kamboja.
f. Dibentuknya Satgas Tanggap Darurat terhadap bencana alam serta
kesiapsiagaan TNI dalam membantu Polri sewaktu-waktu dibutuhkan.
Pembinaan satuan terus dilakukan di Kodam IV/Diponegoro guna menjawab
tantangan tugas dan tuntunan pembentukan satuan tugas yang efektif, efisien dengan
hasil kerja yang optimal (Minimum esention force).
2
Pembinaan satuan baik yang berupa latihan anti teror untuk satuan termpur san
satbanpur, serta Latihan-latihan Teknis Kecabangan (Latniscab), UTP, UTJ senantiasa
digiatkan guna mencapai Prajurit yang potensial. Pembinaan satuan yang senantiasa
dilakukan secara berlanjut diantaranya adalah memberikan pemahaman dan
pembekalan tentang HAM dan Humaniter bagi seluruh Prajurit dan PNS serta
kesadaran Hukum dan Disiplin Lalu Lintas. Pembinaan satuan ini diharapkan mampu
menjawab tuntutan masa depan yang makin kompleks.
II. PEMBAHASAN.
1. Pembentukan Organisasi Tentara Keamanan Rakyat Jawa Tengah.
Kelahiran Kodam IV/Diponegoro tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan
semangat Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945, karena Proklamasi merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia
dalam rangkaian sejarah perjuangan nasional. Untuk mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang baru berdiri tersebut, maka dalam rapat
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 22 Agustus
1945, dibentuklah suatu badan yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR),
yang merupakan bagian dari badan lainnya yaitu Badan Penolong Keluarga
Korban Perang (BPKKP). Rakyat Indonesia menyambut dengan gembira
pembentukan BKR tersebut, termasuk pula rakyat Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta yang segera membentuk BKR.
Dalam perkembangannya pada tanggal 5 Oktober 1945 BKR ditingkatkan
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sejalan dengan itu di wilayah Jawa
Tengah dibentuk organisasi pejuang kemerdekaan bersenjata yang merupakan
embrio dari Kodam IV/Diponegoro dan terdiri dari empat Divisi, yaitu :
a. TKR Divisi IV
Di bawah pimpinan Kolonel GPH Djatikoesoemo, meliputi daerah
Karesidenan Pekalongan, Semarang dan Pati dengan Markas Divisi di
kota Salatiga.
3
b. TKR Divisi V
Di bawah pimpinan Kolonel Sudirman, meliputi daerah Karesidenan
Kedu dan Banyumas, Markas Divisi di Kota Purwokerto.
c. TKR Divisi IX
Di bawah pimpinan Kolonel Soedarsono meliputi daerah
Yogyakarta dengan Markas Divisi di kota Yogyakarta.
d. TKR Divisi X
Di bawah pimpinan Kolonel Soetarto meliputi daerah Surakarta
dengan Markas Divisi di kota Solo.
Sementara pembentukan Organisasi TKR Jawa Tengah sedang berjalan,
dibeberapa kota terjadi pertempuran untuk menegakkan kemerdekaan yaitu
merebut senjata dari pihak Jepang. Organisasi TKR mengalami perkembangan
menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), dengan penetapan Pemerintah
Nomor : 2 / S.D / 1946 tanggal 7 Januari 1946. Selanjutnya disempurnakan lagi
menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan maklumat pemerintah tanggal
25 Januari 1946 dan akhirnya pada tanggal 3 Juni 1947 TRI diubah menjadi
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dengan diresmikannya TNI, maka semua lascar perjuangan dilebur
menjadi satu dan masuk ke dalam TNI. Organisasi TNI Jawa Tengah dan
sekitarnya disusun sebagai berikut :
a. Divisi II/Sunan Gunung Jati, dipimpin oleh Mayor Jenderal Gatot
Subroto, meliputi daerahCirebon, Tegal/Brebes dan Banyumas.
b. Divisi III/Pangeran Diponegoro, dipimpin oleh Mayor Jenderal R.
Susalit, meliputi daerahPekalongan, Kedu, Yogyakarta, Pemalang dan
Kendal.
c. Divisi IV/Panembahan Senopati, dipimpin oleh Mayor Jenderal
Sutarto, meliputi daerah Semarang, Surakarta dan Pacitan.
d. Divisi V/Ronggolawe, dipimpin oleh Mayor Jenderal GPH Djati
Koesoemo meliputi daerah Pati, Bojonegoro dan Madiun.
Pada HUT I Angkatan Perang Republik Indonesia, tanggal 5 Oktober
1946 diadakan parade di alun-alun Yogyakarta. Dalam upacara tersebut
4
7) Kodim 0712/Tegal
8) Kodim 0713/Brebes
9) Kodim 0736/Batang
7) Kodim 0735/Surakarta
8) Yonif Raider Mekanis 408/Suhbrasta
e. Kodim 0733/Semarang (BS), sebuah Kodim yang berdiri sendiri di
Semarang
Komando Distrik Militer 0733/Semarang (atau Kodim 0733/BS)
adalah kodim yang berdiri sendiri langsung di bawah Komando Daerah
Militer IV/Diponegoro. Markas Kodim 0733/Semarang terletak di Jl.
Pemuda No. 153 Kota Semarang. Saat ini yang menjabat sebagai Dandim
0733/Semarang adalah Kolonel Inf Mochammad Taufiq Zega, S.IP
pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo
di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta tertarik berjuang bersama
Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan
kerajaan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama
besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan
Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan
dari Sultan Hamengkubuwana III.[2] Akan tetapi, Kyai Mojo yang aslinya
bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi
kemewahan gaya hidup keluarga istana. Jalinan persaudaraan
Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah Kyai Mojo menikah dengan
janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro.
Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman"
meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.[3]
Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh
Sunan Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati
Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo terhadap
perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut
dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama
penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin
yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi
Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh
sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari
tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kyai Mojo.[4] Menurut Peter
Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855
disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan
penghulu berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000
tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda
untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan.
Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
17
Beliau adalah putra dari Sulton Hamengku Buwono III yang dikenal
juga dengan nama Sulton Raja, jadi dengan demikian beliau adalah cucu
dari Sulton Sepuh Swargi alias Sulton Hamengku BuwonoI, Pendiri dan
pembangun kerajaan Yogyakarta.
Ibunya bernama R. A Mangkorowati yang berasal dari Pacitan. Beliau
Seorang Bupati dan menurut cerita orang beliau itu berdarah keturunan
madura.
Waktu kecil Diponegoro bernama Ontowiryo. Dan kecilya memang
sudah mendapat pendidikan agama. Beliau diasuh oleh neneknya
bernama Ratu Ageng yang bertempat tinggal di Tegalrejo Yogyakarta.
Sebagai seorang Pangeran Diponegoro sebetulnya dapat hidup mewah
serta bersenang-senang, akan tetapi beliau ternyata lebih senang hidup
sederhana ditengah- tengah rakyat yang menderita.
Perjuangan Pangeran Diponegoro Tahun 1825-1830. Pergantian
massa diabad XVIII ke abad XIX di Indonesia ditandai dengan berbagai
perubahan besar. Disatu pihak terlihat adanya gejala perluasan politik
yang dilakukan oleh Belanda. Sedangkan dipihak kita terutama kerajaan-
kerajaan Tradisional mengalami kemerosotan dan kekuasaan.
Diluar keraton, dipedesaan rakyat mengalami kemerosotan dibidang
ekonomi, moral, sebagai akibat dari meningkatnya perjudian, pemadatan,
pelacuran dll. Keadaan semacam itu telah memalsukan situasi untuk
memecahkan pergolakan. Pergolakan disulut dengan peristiwa antar
pengikut Pangeran Diponegoro dengan pasukan keraton pimpinan patih
Danurejo pertempuran yang meletus pertama-tama dari Tegalrejo dan
segera meluas secara cepat diberbagai wilayah Yogyakarta, Surakarta
serta beberapa daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Semangat tempur sejak awal telah disiapkan oleh Pangeran
Diponegoro ternyata mampu menggetarkan situasi. Dengan semangat
berkobar-kobar pasukan Diponegoro melawan Belanda.
Keistimewaan dari pada pasukan-pasukan Diponegoro ialah bila mereka
dalam keadaan mendesak dapat segera menghambur akan tetapi tiba-
22
pahlawan pendahulu kita maka kita berkewajiban menjaga NKRI ini agar
tetap utuh dan tidak mudah terhasut oleh gangguan yang datang dari
dalam maupun dari luar, untuk itu kita harus mempunyai mental yang
tangguh dengan :
1) Pantang menyerah dan rela berkorban
2) Keperwiraan ( teladan dan tanggung jawab)
3) Semangat juang/ etos kerja.
Dengan semangat pantang menyerah dan rela berkorban serta
dapat memberikan teladan yang positif terhadap lingkungan baik dinas
maupun masyarakat merupakan bekal untuk mewujudkan prajurit yang
berjiwa Saptamargais dan militan serta berwawasan Nasional, walaupun
dalam situasi globalisasi diseluruh dunia TNI tetap solid dan mudah
terpancing oleh iming-iming/kesenangan sesaat, dengan meneladani
perjuangan Pangeran Diponegoro sebagai penyemangat generasi muda
TNI tetap tidak berpolitik dalam arti bahwa TNI hanya mengikuti politik
negara dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak
asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum
internasional.
III. KESIMPULAN.
1. Kelahiran Kodam IV/Diponegoro tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan
semangat Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945, karena Proklamasi merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia
dalam rangkaian sejarah perjuangan nasional. Tanggal 5 Oktober 1950
diresmikan sebagai hari jadi Kodam IV/Diponegoro berdasarkan Keputusan
Panglima TT IV/Jawa Tengah Nomor : 34 / B-4 / D-III / 1950 tanggal 5 Oktober
1950 diresmikan pemakaian satu-satunya badge Divisi Diponegoro untuk seluruh
TNI di Jawa Tengah.
2. Dengan menyimak sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro tersebut
diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Pangeran Diponegoro memiliki
tanggung jawab sosial yang tinggi serta berjiwa besar dan memiliki daya motor
24
Penulis,
Nancy Mirawati
Letda Cpl (K) NRP 21010296720682