Anda di halaman 1dari 21

II.

KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori

1. Pemahaman

a. Definisi Pemahaman

Menurut A. Susanto (2016: 208), istilah pemahaman diartikan sebagai

kemampuan siswa untuk mengerti apa yang diajarkan oleh guru dalam

pembelajaran, pemahaman akan mengarahkan siswa untuk dapat

menghubungkan kondisi yang ada saat ini dengan yang akan datang. Dengan

kata lain, pemahaman adalah hasil dari proses belajar atau transformasi ilmu

pengetahuan. Sejalan dengan hal itu, Hudoyo dalam Susanto (2015: 27)

menjelaskan bahwa pemahaman merupakan bagian dari aktivitas belajar, dimana

siswa menerima stimulus melalui pembelajaran kemudian informasi (stimulus)

disimpan dalam memori dan siswa harus memperhatikan bagian dari setiap

rangsangan yang berhubungan dengan tujuan pembelajarannya.

Berkaitan dengan itu, Susanto (2015: 29) mengemukakan bahwa

pemahaman adalah bagian dari aspek kognitif. Definisi pemahaman menurut

Susanto adalah kemampuan untuk menjelaskan atau menerjemahkan informasi

yang telah diketahui sebelumnya dengan kata-katanya sendiri untuk nantinya

dikaitkan dengan kondisi sekitar atau diwujudkan dalam tindakan.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman

merupakan kemampuan untuk mengingat, menerangkan kembali, dan memaknai

informasi yang sudah dipelajari untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi

sekitar guna mencapai tujuan atau memecahkan permasalahan yang akan datang.

Jadi, yang dimaksud paham bukan hanya sekedar mengetahui atau mengingat

apa yang telah pelajari. Seseorang yang paham harus mampu memberikan
penjelasan dan gambaran yang lebih kreatif, luas, dan baru sesuai situasi yang

ada. Dengan demikian, diharapkan siswa mampu merespon suatu kondisi atau

permasalahan baik yang ada saat ini maupun dimasa mendatang dengan baik

sehingga dapat meminimalisir dampak yang mungkin ditimbulkan.

b. Faktor yang Mempengaruhi Pemahaman

Kemampuan pemahaman seorang siswa terhadap materi pembelajaran tidak

serta merta tumbuh dan berkembang begitu saja melalui jalannya proses

pembelajaran. Pemahaman siswa terhadap materi belajar umumnya dipengaruhi

oleh dua faktor yaitu faktor siswa itu sendiri dan faktor lingkungannya. Hal ini

sejalan dengan pendapat A. Susanto (2016: 34), bahwa hasil belajar merupakan

hasil dari suatu proses yang didalamnya melibatkan faktor internal dan ekternal

yang saling mempengaruhi. Adapun secara rinci, faktor internal merupakan

faktor yang bersumber dari dalam diri siswa yang meliputi kecerdasan, minat

dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, kondisi fisik

serta kesehatan. Sementara faktor ekternal merupakan faktor yang bersumber

dari luar diri siswa meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Berkaitan dengan itu, Supatminingsih et al., (2020: 85-94) menjelaskan

bahwa keberhasilan siswa dalam mengikuti atau memahami materi pembelajaran

dipengaruhi oleh faktor kesehatan, intelegensi atau kecerdasan, minat, bakat,

motivasi, cara belajar, serta kemampuan kognitif (faktor internal). Lebih lanjut

Supatminingsih et al., (2020: 95-96) menjelaskan bahwa faktor lain yang turut

mempengaruhi keberhasilan pencapaian belajar siswa meliputi lingkungan

sekolah, keluarga, dan lingkungan sekitar (faktor eksternal). Adapun yang

termasuk dalam lingkungan sekolah meliputi kondisi ruang, kemampuan guru,


materi, serta strategi guru dalam mengajar. Lingkungan keluarga meliputi faktor

dukungan dan perhatian orang tua, dan faktor lingkungan sekitar meliputi

suasana sekitar, kondisi iklim, kondisi lalulintas, dan sebagainya.

Dilain sisi, Suryabrata (2015: 233) menjelaskan bahwa faktor pencapaian

belajar baik itu dari dalam maupun luar diri siswa masing-masing dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor

sosial dan nonsosial. Faktor fisiologis merupakan faktor dari dalam diri yang

berhubungan dengan tonus jasmani (nutrisi dan kondisi kesehatan tubuh) dan

keberfungsian indera, sementara faktor psikologis berkaitan erat dengan rasa

ingin tahu, kreativitas, perhatian, ingatan, kemampuan berpikir, dan perasaan

(Suryabrata, 2015: 235-237). Berkenaan dengan itu, yang dimaksud faktor sosial

adalah faktor gangguan dari manusia (sesama manusia) baik manusia itu hadir

secara langsung atau tidak, sedangkan faktor nonsosial berasal dari kondisi

lingkungan sekitar seperti cuaca, suhu, waktu belajar, ruang belajar, dan alat-alat

pendukung pembelajaran seperti buku, alat tulis, alat peraga, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, faktor yang

mempengaruhi pencapaian siswa dalam memahami pembelajaran terdiri atas

faktor internal yaitu faktor yang berasal siswa itu sendiri dan faktor ekternal

yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor internal berkaitan dengan

kemampuan siswa yang dimiliki sejak lahir meliputi kecerdasan, minat, bakat,

motivasi, dan kesehatan. Sementara faktor ekternal meliputi kondisi lingkungan

yaitu kondisi kelas, kompetensi guru, materi pelajaran, media, alat pendukung

pembelajaran, suasana sekitar, dukungan orang tua dan lain-lain.

c. Indikator Pemahaman
Umumnya hasil belajar yang dicapai siswa berbeda-beda sesuai dengan

tingkat pemahamannya terhadap informasi atau materi yang diajarkan. Adapun

menurut Kuswana (2012: 123), siswa dianggap paham terhadap materi pelajaran

jika telah mampu memenuhi indikator berikut

1) Menafsirkan, siswa mampu untuk memaknai sesuatu berdasarkan pemikiran

dan kata-katanya sendiri.

2) Mencontohkan, siswa mampu untuk memberi gambaran atau contoh secara

lebih luas dan sesuai kondisi yang ada.

3) Mengklasifikasikan, siswa mampu menggolongkan sesuatu sesuai konsep

tertentu.

4) Menyimpulkan, siswa mampu memberi pernyataan tentang suatu kondisi atau

informasi sifatnya umum.

5) Menduga, siswa mampu memperkirakan akibat baik buruknya sesuatu

berdasarkan kondisi atau konsep tertentu.

6) Membandingkan, siswa mampu memaknai persamaan atau perbedaan antara

dua atau lebih objek.

7) Menjelaskan, siswa telah mampu menjelaskan dengan menghubungkan sebab

akibat suatu sistem,kondisi, atau kejadian berdasarkan kategori atau konsep

tertentu.

2. Mitigasi Bencana

a. Definisi Mitigasi Bencana


Secara sederhana, mitigasi merupakan tindakan untuk mengurangi dampak

bencana. Mitigasi berasal dari kata mitigation yang diambil dari bahasa latin

yaitu mitigare. Mitigare terdiri atas dua kata yaitu mitis (lunak, lembut, atau

jinak) dan agare (melakukan, mengerjakan, membuat). Berdasarkan istilah

tersebut, mitigasi dapat diartikan sebagai penjinakan, yaitu upaya mengubah

sesuatu yang liar menjadi lebih mudah dikendalikan atau lunak (Adiyoso, 2018:

165). Menurut Aminudin (2021: 31) mitigasi meliputi seluruh tindakan yang

dilakukan sebelum terjadinya bencana (prabencana), yang mencakup kesiapan

dan tindakan pengurangan risiko. Berkaitan dengan itu, Undang–Undang Nomor

24 Tahun 2007 pasal 47 menyebutkan bahwa kegiatan mitigasi dilakukan untuk

mengurangi risiko kerugian bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan

bencana.

Dilain sisi, bencana merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan

ancaman dan kerugian. Kata bencana diambil dari bahasa inggris yaitu

“disaster” dan berakar dari kata “disastro”, kata dis memiliki arti sesuatu yang

tidak enak sedangkan kata astro berarti bintang (Anies, 2017: 31 - 32).

Berdasarkan asal kata tersebut, kemungkinan peristiwa jatuhnya bintang ke bumi

dipercaya sebagai pertanda malapetaka bagi kehidupan masyarakat dulu.

Bencana selalu identik dengan sesuatu yang buruk dan kemalangan.

Berdasarkan UU No. 24 tahun 2007 bencana diartikan sebagai peristiwa yang

dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, harta benda, hingga korban jiwa

manusia. Terkait hal itu, Adiyoso (2018: 21) menjelaskan bahwa bencana dapat

terjadi karena adanya faktor alam maupun nonalam serta dapat mengakibatkan

kehilangan nyawa manusia, kerugian, dan kerusakan pada aspek ekonomi, sosial,

lingkungan, maupun budaya.


Bencana jika dikaitkan dengan kata Mitigasi, maka dalam hal ini bencana

(gempa, tsunami, banjir, dan sebagainya) dianggap sebagai sesuatu yang liar dan

dengan upaya mitigasi diharapkan dapat dilemahkan atau dijinakkan sehingga

mengurangi kerugiannya (Sunarto dalam Adiyoso, 2018: 165). Hal ini

sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2007 dan Peraturan

Pemerintah No. 21 Tahun 2008, bahwa mitigasi bencana merupakan upaya untuk

mengurangi risiko bencana melalui pembangunan fisik, penyadaran, dan

peningkatan kemampuan individu dalam menghadapi bencana. Terkait hal

tersebut, Supriyono (2014: 102) menyatakan bahwa mitigasi bencana merupakan

tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari bencana sebelum

bencana itu terjadi. Artinya mitigasi dilakukan sebelum terjadinya bencana untuk

mengurangi risiko bahaya dan kerugian yang mungkin ditimbulkan.

Berdasarkan uraian diatas, mitigasi bencana dapat kita maknai sebagai

kegiatan yang direncanakan secara spesifik untuk meminimalisir dampak

bencana yang harus ditanggung masyarakat, seperti jatuhnya korban jiwa,

rusaknya bangunan, dan kerugian harta benda. Mitigasi bencana dilakukan

sebelum terjadinya bencana dan dirancang untuk meningkatkan angka

keselamatan serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi situasi bencana.

b. Tujuan Perencanaan Mitigasi Bencana

Rencana mitigasi bencana dapat membantu masyarakat untuk mengurangi

risiko bahaya. Dengan mengenali kerentanan lingkungan sekitar, masyarakat

akan dapat mempersiapkan strategi untuk mengurangi atau menghindari dampak

dari bencana. Tujuan mitigasi bencana pada dasarnya adalah untuk mengurangi

risiko kematian, dan cedera akibat bencana dimasa mendatang. Adapun tujuan
dari perencanaan mitigasi bencana menurut Adiyoso (2018: 184) sebagai

berikut:

1) Mengurangi risiko bencana terhadap kehidupan dan harta benda.

2) Mengurangi kerugian nyawa dan kerusakan.

3) Meningkatkan kesadaran dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap

situasi bencana yang sifatnya mendadak.

4) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siaga bencana.

5) Meningkatkan kemampuan tanggap bencana.

6) Meningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kerentanan

lingkungan sekitar terhadap bencana.

c. Pendidikan Dasar Mitigasi Bencana

Penyelenggaraan mitigasi bencana khususnya dalam bidang pendidikan

dapat bermitra dengan pihak terkait seperti Palang Merah Indonesia (PMI). Hal

ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dari pendidikan

mitigasi yakni menyiapkan generasi tangguh, cerdas, serta sadar akan

bencana.Terkait hal itu, muatan materi mitigasi juga dapat diadaptasikan dengan

kurikulum sekolah dan karakteristik lingkungan sekitar. Adapun menurut

Adiyoso (2018: 185), materi dasar mitigasi bencana dalam rangka

penyelenggaraan pengelolaan bencana diantaranya sebagai berikut.

1) Pengetahuan tentang potensi bencana sekitar (definisi, jenis, sebab, dan ciri
terjadinya bencana).
2) Pengetahuan tentang sejarah bencana yang pernah terjadi di lingkungan
sekitar.

3) Pengetahuan tentang kerentanan fisik lingkungan sekitar terhadap bencana.

4) Pengetahuan tentang kerentanan tindakan saat terjadinya bencana.

5) Pengetahuan tentang upaya meminimalkan dampak bencana terutama


korban jiwa (memitigasi bencana).

6) Pembekalan keterampilan melalui kegiatan pelatihan atau simulasi.

3. Gempa dan Cara Mitigasinya

Secara geografis, provinsi Bengkulu termasuk dalam wilayah di pulau

Sumatera yang rentan terhadap kejadian bencana alam. Adapun berdasarkan data

Indeks Resiko Bencana (IRB), salah satu bencana yang sangat potensial terjadi di

provinsi Bengkulu meliputi bencana gempa bumi (BNPB, 2021: 78) .

a. Bencana Gempa Bumi

1) Definisi Gempa Bumi

Gempa merupakan salah satu bencana alam yang paling sering dialami

oleh masyarakat Bengkulu. Sejalan dengan itu, Adiyoso (2018: 33)

mengemukakan bahwa gempa bumi merupakan salah satu ancaman bencana

alam yang dapat terjadi secara tiba-tiba, dimana saja, dan kapan saja.

Sedangkan menurut (Supriyono, 2014: 3) gempa bumi adalah peristiwa di

mana bumi bergetar karena pelepasan energi secara tiba-tiba di dalam bumi

yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kulit bumi. Berkenaan

dengan itu, gempa bumi pada dasarnya merupakan fenomena bumi bergetar

yang disebabkan oleh tumbukan lempeng tektonik, aktivitas sesar (patahan),

aktivitas gunung berapi, dan runtuhan (Badan Nasional Penanggulangan

Bencana, 2017: 20)


Berdasarkan uraian diatas, maka bencana gempa bumi dapat kita artikan

sebagai kejadian dimana bumi bergetar atau berguncang secara tiba-tiba

sebagai akibat dari adanya aktivitas lempeng, gunung api, dan runtuhan

batuan. Bencana gempa bumi harus selalu kita waspadai, sebab dalam sekejap

dapat meluluhlantakkan lingkungan serta menimbulkan kerugian harta benda

dan hilangnya nyawa manusia.

2) Gempa Bumi Berdasarkan Sebab Terjadinya

Ada beberapa jenis gempa bumi yang lazim terjadi. Menurut Adiyoso

(2018: 34), berdasarkan penyebab terjadinya gempa bumi terbagi menjadi 3

yaitu gempa tektonik, gempa vulkanik, dan gempa runtuhan. Pada dasarnya,

gempa tektonik merupakan efek dari pergerakan lempeng tektonik

(pergeseran, patahan, dan gesekan). Pergerakan lempeng tektonik yang terjadi

terus-menerus, baik itu saling menjauh, mendekat, atau bergeser lama-

kelamaan akan menyebabkan penumpukan energi dan sewaktu-waktu dapat

terlepas ke pemukaan bumi. Pelepasan energi secara tiba-tiba inilah yang

dikenal sebagai gempa bumi tektonik.

Sedangkan jenis gempa bumi vulkanik kekuatannya tidaklah sebesar

gempa bumi tektonik, gempa vulkanik terjadi karena aktivitas gunung berapi

sebagai akibat dari pergerakan magma dalam perut bumi. Gempa ini relatif

lebih jarang bahkan hampir tidak pernah terjadi di Bengkulu. Berbeda dengan

jenis gempa bumi tektonik dan vulkanik, gempa runtuhan tidak disebabkan

oleh aktivitas dari perut bumi melainkan karena adanya runtuhan, longsoran

tanah atau batuan. Umumnya gempa ini terjadi di daerah kapur dan daerah

pertambangan. Gempa ini sangat jarang terjadi dan hanya bersifat lokal.

3) Akibat Terjadinya Gempa Bumi


Dari semua jenis bencana alam, gempa bumi termasuk bencana yang

paling berbahaya. Gempa dapat terjadi kapan saja baik itu pagi, siang, sore,

malam, ataupun sepanjang tahun. Menurut Supriyono (2014: 28), gempa

umumnya terjadi tanpa gejala dan dapat menghancurkan bangunan, sarana

fisik, lingkungan alam, melukai, bahkan menewaskan banyak orang hanya

dalam waktu beberapa detik. Dampak korban jiwa dan luka-luka biasanya

diakibatkan tertimpa reruntuhan bangunan ketika hendak menyelamatkan diri

dari bahaya gempa.

Selain itu gempa bumi dengan skala yang besar juga dapat memicu

bencana lain seperti tsunami, tanah longsor, dan kebakaran. Kondisi ini akan

semakin memperparah dampak kerusakan bangunan, lingkungan alam, dan

memperbanyak timbulnya korban jiwa.

4) Cara Mengurangi/ Memitigasi Dampak Gempa Bumi

Salah satu upaya mitigasi bencana adalah dengan mengajarkan kepada

siswa bagaimana menyikapi bencana alam. Berkaitan dengan itu apabila

dicermati, sebenarnya gempa bumi melalui tiga tahapan yaitu tahap sebelum

terjadi gempa, saat terjadi gempa, dan tahap setelah terjadinya gempa. Pada

ketiga tahap tersebut kita dapat melakukan berbagai usaha untuk mengurangi

dampak dari gempa bumi. Menurut (Aminudin, 2021: 47) berikut beberapa

hal yang harus diketahui dan dilakukan untuk mengurangi dampak gempa

bumi.

a) Sebelum Terjadinya Gempa

(1) Mengetahui tentang bahaya gempa bumi (penyebab, akibat, dan

kerentanan bangunan atau lingkungan sekitar).


(2) Mengenali tempat berlindung yang paling aman di lingkungan sekitar,

termasuk diantaranya mengenali letak pintu, lift, atau tangga darurat.

(3) Mengikuti sosialisasi dan upaya-upaya pelatihan bencana, yang meliputi

cara menghadapi dan memberikan pertolongan saat bencana.

(4) Membuat rencana siaga bencana, yang meliputi penentuan jalur

penyelamatan diri atau jalur evakuasi dan menentukan titik kumpul.

(5) Mempersiapkan rumah atau lingkungan sekitar agar aman dari gempa.

Meliputi kegiatan memperbaiki bangunan yang retak, mengatur perabot

(lemari dan rak buku) menempel pada dinding agar tidak mudah roboh

saat gempa, meletakkan barang yang mudah pecah di rak penyimpanan

paling bawah,menyiapkan tas siaga bencana (berisi obat-obatan, kotak

P3K, senter, dan lain-lain) serta mencatat nomor telepon penting seperti

pemadam kebakaran.

b) Saat Terjadi Gempa

(1) Tindakan ketika di dalam bangunan (rumah, sekolah,bangunan).

Tanda-tanda gempa saat kita berada di dalam rumah dapat

diketahui apabila lampu, pintu, atau perabot rumah bergerak. Selama

jangka waktu itu, upayakan keselamatan diri dan keluarga bukan

keselamatan barang. Jika memungkinkan, segera keluar dari rumah dan

menuju area lapang dan terbuka. Namun jika tidak sempat, segera

berlindung di bawah meja atau tempat tidur untuk melindungi kepala

dan tubuh dari benda-benda yang mungkin jatuh. Jika tidak ada meja

lindungi kepala dengan bantal, tas atau apapun yang bisa mencegah
runtuhan di kepala. Jauhi benda yang mudah jatuh seperti lemari, rak

buku, jendela, dan barang yang terbuat dari kaca. Bila sudah terasa

aman, segera lari keluar rumah dengan tetap lindungi kepala dan segera

menuju ke lapangan terbuka.

(2) Tindakan ketika berada di area terbuka

Berada di area terbuka belum berarti kita aman dari bahaya gempa.

Jika posisi sedang berada di luar bangunan, jauhilah pohon tinggi,

bangunan tinggi, tiang listrik, antena, atau apapun yang dapat roboh

menimpa kita. Perhatikan tempat berdiri, karena gempa bumi dengan

skala besar dapat menyebabkan retak atau terbelahnya tanah. Jika sudah

berada dilapangan terbuka, jongkok dan lindungi kepala dengan tangan,

tas, buku atau apapun yang sedang kita bawa.

Jika sedang berkendara, segera pinggirkan mobil ke kiri jalan dan

berhentilah di tempat yang jauh dari persimpangan, jembatan, dan

bangunan tinggi. Keluar dan menjauhlah dari kendaraan menuju tempat

yang lapang dan aman. Jika berada di daerah pesisir pantai, yang harus

diwaspadai adalah kemungkinan terjadinya tsunami. Jika guncangan

gempa terasa cukup kuat dan terlihat tanda-tanda tsunami, segera

menuju daerah yang lebih tinggi dengan mengikuti arah jalur evakuasi.

(3) Tindakan Ketika Berada Di Dalam Gedung atau Pusat Keramaian

Jika berada dalam gedung atau pusat keramaian, tetaplah tenang

dan cari perlindungan. Ikuti arahan petugas dan segeralah keluar gedung

secara tertib menuju tempat terbuka. Hindari penggunaan lift atau


tangga berjalan karena kemungkinan lift dapat mengalami kerusakan.

Jika berada dalam lift tekan semua tombol yang ada dan berusaha

hubungi manajer gedung.

c) Setelah Terjadi Gempa

(1) Jika masih berada dalam rumah atau gedung, segera keluar dengan tetap

waspada (lindungi kepala dengan tas,buku atau bahan yang kuat) dan

hindari penggunaan tangga berjalan atau lift.

(2) Pastikan diri dari adanya luka, setelah memastikan diri aman barulah

menolong orang yang terluka atau terjebak. Hubungi petugas, dan

berikan pertolongan pertama jika memungkinkan.

(3) Periksa keamanan, jauhi bangunan rusak dan pohon yang miring.

(4) Waspadai kemungkinan gempa susulan dan jangan buru-buru masuk

rumah.

(5) Bersihkan dan singkirkan barang-barang yang mungkin berbahaya

termasuk diantaranya obat-obatan yang tumpah.

(6) Ikuti arahan, petunjuk, dan informasi dari petugas yang berwenang.

4. Sikap Tanggap Bencana

1. Definisi Sikap Tanggap Bencana

Sikap merupakan kecenderungan sesorang untuk melakukan perbuatan,

perilaku, atau tindakan terhadap dunia atau kondisi sekitarnya A. Susanto (2016:

11). Sikap individu dapat berbeda satu sama lain ketika menghadapi situasi yang

sama. Sejalan dengan itu Azwar dalam A. Susanto (2016: 10) menjelaskan

bahwa sikap memiliki tiga komponen pokok yaitu komponen kognitif, afektif,
dan konatif yang saling menunjang satu sama lain. Adapun komponen kognitif

merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh individu, komponen

afektif berkaitan dengan perasaan yang menyangkut emosional individu, dan

komponen konatif berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan

perilaku sesuai dengan apa yang dipercayai dan kondisi emosionalnya.

Dilain sisi Adiyoso (2018: 94) mengemukakan bahwa, tanggap bencana

sebagai tindakan atau respon yang segera diambil dengan segera oleh individu

saat dan sesudah terjadinya bencana yang meliputi kegiatan perlindungan diri

dari bahaya gempa dan penyelamatan setelah gempa berhenti. Jika dikaitkan

dengan definisis sikap, maka sikap tanggap bencana dapat diartikan sebagai

respon yang ditujukan individu saat menghadapi dan mengatasi situasi bencana

(Ksanti et al., 2015: 6). Terkait hal itu, menurut (Fajriyah et al., 2019) sikap

tanggap bencana terdiri atas tindakan perlindungan diri dan orang sekitar,

penyelamatan diri dan orang sekitar, evakuasi, dan penyelamatan harta benda.

Sikap tanggap bencana meliputi tindakan segera saat terjadi bencana alam,

dimana masyarakat berusaha untuk selamat, saling membantu menyelamatkan

diri, dan saling mencari bantuan untuk menuju tempat pengungsian yang aman.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sikap tanggap

bencana merupakan kemampuan seseorang dalam merespon situasi bencana agar

dapat terhindar dan selamat dari bahaya. Artinya, pada situasi ini individu

dituntut untuk mengaplikasikan pemahamannya mengenai bahaya dan

kerentanan bencana melalui respon atau tindakan yang diambil secara cepat dan

tepat guna terhindar dari risiko cidera ataupun kehilangan nyawa.

2. Indikator Sikap Tanggap Bencana


Sikap tanggap bencana berkaitan erat dengan respon terhadap situasi dan

kondisi lingkungan sekitar ketika terjadi bencana. Selain melindungi dan

menyelamatkan diri dari bahaya bencana, sikap tanggap bencana juga meliputi

pemberian respon terhadap keadaan sekitar kita sesaat setelah terjadinya

bencana. Menurut Supriyono (2014: 111), pada saat terjadi bencana individu

juga dituntut untuk tanggap memberi pertolongan pertama pada orang yang

terluka, membantu evakuasi keluarga dan orang sekitar, dan melakukan gotong

royong atau kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekitar dari barang-

barang dan cairan yang dapat membahayakan seperti pecahan kaca, minyak, dan

lain-lain. Artinya selain menyelamatkan diri dari ancaman bahaya, ketika

bencana sesorang juga dituntut untuk saling peduli, dan peka terhadap kondisi

lingkungan sekitar. Berkaitan dengan hal tersebut, Ksanti et al., (2015: 6)

menyatakan bahwa sikap tanggap bencana dapat dinilai menggunakan indikator

sikap kesadaran akan bahaya, ketenangan dalam menghadapi kesulitan, tolong

menolong, gotong royong, dan solidaritas.

Pada penelitian ini sikap yang ingin diukur adalah sikap tanggap siswa pada

saat situasi bencana gempa bumi. Terkait hal tersebut, di lingkungan sekolah

khususnya di SDN 52 Kota Bengkulu materi mengenai bencana gempa telah

disisipkan melalui pembelajaran pada tema organ gerak hewan dan manusia

subtema manusia dan lingkungan, tepatnya pada konten pelajaran Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS). Adapun berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa,

indikator sikap pada mata pelajaran IPS terdiri atas tiga aspek yang meliputi

sikap percaya diri, peduli, dan tanggung jawab.

Dari uraian diatas, terlihat ada beberapa kemiripan makna antara aspek sikap

yang diungkapkan oleh Ksanti et al., (2015: 6) dengan aspek sikap pada mata
pelajaran IPS. Aspek sikap “peduli dengan tolong menolong serta aspek gotong

royong dengan solidaritas” pada dasarnya berada pada satu kesatuan

ruanglingkup yang sama. Oleh itu, maka sikap tanggap bencana dalam penelitian

ini akan diukur dengan menggunakan indikator atau aspek sikap sadar akan

bahaya, ketenangan menghadapi kesulitan, percaya diri, dan peduli.

B. Penelitan Relevan

1. “Analisis Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Rencana Tanggap Darurat

Bencana Banjir Pada Ibu Rumah Tangga Di Kelurahan Sragen Tengah Kecamatan

Sragen Kabupaten Sragen” Oleh Utama et.al., (2017). Penelitian ini

menggunakan metode survei, dengan jumlah sampel 117 yang diambil dengan

menggunakan teknik random sampling. Analisis data penelitian menggunakan

korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang

signifikansi antara pengetahuan dan sikap dengan rencana tanggap darurat

bencana, semakin siap pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga maka semakin

siap pula rencana tanggap darurat.

2. “Hubungan Pengetahuan Siaga Gempa Bumi dan Sikap Siswa terhadap

Kesiapsiagaan di SD Negeri 2 Cepokosawit” oleh Rinta Tyas Puji Lestari, Tri

Susilowati, dan Hermawati (2020). Penelitian menggunakan analitik dengan

pendekatan Cross Sectional, dengan jumlah sampel 43 siswa yang mempunyai

kriteria inklusi yaitu siswa yang bersedia menjadi responden. Analisa data

penelitian menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas

pengetahuan dan sikap siswa tentang siaga gempa bumi dalam kategori cukup,

sebagian besar kesiapsiagaan siswa berada di kategori hampir siap, terdapat

hubungan antara pengetahuan siaga gempa terhadap kesiapsiagaan siswa dan ada

hubungan antara sikap siswa terhadap kesiapsiagaan di SD N 2 Cepokosawit.


3. “Hubungan Pengetahuan Mitigasi Bencana Dengan Kesiapsiagaan Masyarakat

Dalam Menghadapi Bencana Banjir” oleh Jahirin dan Sunsun (2021). Penelitian

ini menggunakan desain operasional silang (cross sectional), dengan sampel

penelitian 30 orang. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

random sampling. Jenis instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan uji

korelasi antar variabel menggunakan uji analisis Rank Spearman. Hasil Penelitian

ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara

pengetahuan mitigasi risiko bencana dan kesiapsiagaan masyarakat dalam

menghadapi banjir.

C. Kerangka Berpikir

Budaya sadar bencana dapat ditumbuhkan melalui program pendidikan mitigasi

bencana. Program pendidikan mitigasi bencana dapat dilakukan dengan cara

menyisipkan materi pengurangan resiko bencana ke dalam mata pelajaran dan sebagai

kegiatan pengembangan diri seperti ekstrakurikuler. Guru dapat mengintegrasikan

materi mitigasi bencana dengan muatan Kompetensi Dasar mata pelajaran yang ada,

salah satunya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Berdasarkan pada kegiatan pra penelitian yang telah dilakukan, siswa pada

dasarnya sudah mengetahui cara menyelamatkan diri dari bencana gempa. Siswa

mengatakan bahwa ibu guru sangat sering memberikan materi tentang bencana

terutama bencana gempa saat pembelajaran apalagi pada semester satu. Siswa juga

menyatakan bahwa, “gempa itu adalah guncangan yang terjadi secara tiba-tiba dan

gempa terdiri atas gempa tektonik, vulkanik, dan runtuhan”. Lebih lanjut lagi siswa

mengatakan bahwa, ketika gempa akan segera lari ke lapangan, menjauhi bangunan

sekolah, menunduk, melindungi kepala, jangan bergerak, dan tetap tenang.


Pernyataan tersebut secara tidak langsung turut memberikan gambaran mengenai

pemahaman siswa tentang gempa dan cara menyelamatkan diri dari bahaya gempa.

Terkait hal itu, seseorang dapat dikatakan paham jika mampu menafsirkan, memberi

gambaran (contoh), menggolongkan, menyimpulkan, menduga, membandingkan

(membedakan), dan menjelaskan dengan menghubungkan sebab akibat kondisi atau

kejadian sesuai konsep tertentu.

Pada penelitian ini pemahaman yang ingin diukur adalah pemahaman tentang

mitigasi bencana khususnya bencana gempa. Mitigasi bencana membahas tentang

potensi bencana sekitar, kerentanan lingkungan fisik sekitar, kerentanan perilaku,

potensi resiko/kerugian akibat bencana, dan cara memitigasi atau mengurangi dampak

bencana. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, maka indikator pemahaman siswa tentang

mitigasi bencana pada peneliatian ini meliputi (1) pemahaman tentang potensi bencana

disekitar; (2) pemahaman tentang kerentanan perilaku saat bencana, (3) pemahaman

tentang kerentanan lingkungan fisik sekitar terhadap bencana; (4) pemahaman tentang

potensi resiko/kerugian lingkungan sekitar akibat bencana; dan (5) pemahaman tentang

cara memitigasi bencana. Kelima aspek tersebut akan digunakan sebagai indikator

untuk mengukur pemahaman siswa tentang mitigasi bencana (X).

Pemahaman siswa tentang potensi bencana disekitar meliputi kemampuan siswa

dalam menafsirkan atau memaknai definisi, penyebab, dan tanda terjadinya gempa.

Pemahaman kerentanan perilaku meliputi kemampuan siswa dalam memaknai dan

menggolongkan contoh tindakan yang dapat membahayakan nyawa saat terjadinya

bencana. Pemahaman kerentanan lingkungan fisik meliputi bagaimana siswa menilai

atau menyimpulkan keamanan, ketahanan, dan kelayakan kondisi bangunan

disekitarnya terhadap kejadian bencana. Pemahaman potensi risiko/kerugian meliputi

kemampuan siswa dalam memperkirakan kerusakan yang mungkin timbul jika


sewaktu-waktu terjadi bencana. Dan pemahaman cara memitigasi bencana meliputi

kemampuan siswa dalam membedakan tindakan-tindakan yang harus dilakukan

sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Sementara variabel sikap tanggap

bencana (Y) akan diukur melalui aspek sikap yang telah disesuaikan dengan indikator

pada mata pelajaran IPS. Adapun indikator untuk mengukur sikap tanggap bencana

yaitu: (1) kesadaran akan bahaya; (2) ketenangan menghadapi kesulitan; (3) percaya

diri; dan (4) peduli lingkungan.

Berdasarkan pada uraian diaatas, maka peneliti bermaksud untuk mengidentifikasi

hubungan antara tingkat pemahaman siswa tentang mitigasi bencana dengan sikap

tanggap bencana siswa di SDN 52 Kota Bengkulu. Adapun uraian di atas akan

diperlihatkan pada bagan dibawah ini.


Kondisi Lingkungan Sekolah SDN 52 Kota Bengkulu

1. Struktur bangunan kurang memenuhi standar keamanan gempa (gedung


bertingkat dan saling berhimpit).
2. Luas lingkungan sekolah sangat terbatas (tidak tersedia area bermain atau
halaman yang lapang untuk upaya penyelamatan).
3. Materi mitigasi bencana dikolaborasikan dengan pembelajaran di kelas.
4. Sebagian siswa belum paham cara mengurangi kerugian bencana gempa.

Pemahaman siswa tentang mitigasi bencana Sikap tanggap bencana


(variabel X) (variabel Y)
1. Paham tentang potensi bencana sekitar
1. Kesadaran akan
(definisi, jenis, dan ciri terjadinya
bahaya
bencana gempa).
2. Ketenangan
2. Paham tentang kerentanan fisik
menghadapi
lingkungan sekitar.
kesulitan
3. Paham tentang kerentanan tindakan saat
3. Percaya diri
terjadinya bencana.
4. Peduli
4. Paham tentang potensi risiko/kerugian
akibat bencana.

5. Paham tentang cara memitigasi bencana.

Hubungan Antara Tingkat Pemahaman Siswa Tentang Mitigasi

Bencana dengan Sikap Tanggap Bencana Gempa Bumi Siswa

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir


D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian yang

telah ditetapkan (Sugiyono, 2019: 99). Berdasarkan kerangka pikir yang telah dibuat,

maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Ha = Terdapat hubungan yang

signifikan antara tingkat pemahaman siswa tentang mitigasi bencana dengan sikap

tanggap bencana siswa di SDN 52 Kota Bengkulu.

Anda mungkin juga menyukai