Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan, demikian kata Donsu (2017), dapat


didefinisikan sebagai suatu hasil dari rasa keingintahuan
seseorang yang didapatkan melalui melalui proses sensoris
(inderawi) terhadap objek tertentu, utamanya melalui indera
mata dan telinga. Pengetahuan yang dimiliki seseorang inilah
yang dikatakan Donsu sebagai faktor paling berpengaruh
dalam membentuk prilaku terbuka (open behavior) dari
seseorang.

Pengetahuan yang didapatkan seseorang melalui proses


sensoris (inderawi) dipengaruhi seberapa besar atau
seberapa intens perhatian dan persepsi orang tersebut
terhadap objek tertentu. Semakin besar perhatian dan
persepsi seseorang terhadap objek tertentu, maka
pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin baik
(Notoatmodjo 2012).

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Budiman and Riyanto (2013) menyatakan bahwa ada


tujuh faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan
seseorang, antara lain:

1. Pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses


perubahan sikap dan perilaku yang dimiliki seseorang atau
kelompok dan merupakan suatu upaya atau usaha dalam
rangka mendewasakan manusia yang dilakukan melalui

9
pengajaran dan pelatihan. Semakin tinggi pendidikan
seseorang, maka ia akan semakin capat menerima dan
memahami suatu informasi

2. Informasi atau Media. Alaan informasi dapat dikatakan


mempengaruhi pengetahuan seseorang, karena jika
seseorang sering mendapatkan

informasi mengenai suatu pembelajaran, maka hal itu


akan menambah pengetahuan dan wawasannya. Demikian
juga sebaliknya.

3. Sosial, Budaya dan Ekonomi. Jika seseorang memiliki


lingkungan sosial budaya yang baik, maka
pengetahuannya akan baik. Demikian juga sebaliknya.
Demikian juga dengan status ekonomi. Status ekonomi
dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang,
karena kepemilikan atas status ekonomi yang berada di
bawah rata-rata, akan sulit untuk memenuhi fasilitas yang
diperlukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan-nya.

4. Lingkungan. Lingkungan dapat dikatakan mempengaruhi


pengetahuan seseorang, karena adanya interaksi timbal
balik atau tidak antara keduanya yang akan direspons
sebagai pengetahuan oleh individu. Baik tidaknya
lingkungan akan mempengaruhi baik tidaknya
pengetahuan seseorang.

5. Pengalaman. Pengalaman, baik yang dialami sendiri


ataupun orang lain, tentang suatu permasalahan misalnya,
akan menjadikan seseorang mengetahui bagaimana cara
menyelesaikan permasalahan berdasarkan pengalaman
sebelumnya, sehingga ia tidak terjerembab pada
persoalan yang sama.

6. Usia. Semakin bertambahnya usia maka akan semakin


berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya
sehingga pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin
membaik dan bertambah.

10
7. Pekerjaan. Pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman ataupun pengetahuan, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung.

2.1.3 Tingkat Pengetahuan

Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa pengetahuan


yang dimiliki seseorang pada akhirnya akan memiliki
tingkatan-tingkatan berdasarkan kualitas pengetahuan yang
didapatnya. Setidaknya ada 6 tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know). Tingkatan ini pada dasarnya merupakan rasa


mengerti seseorang ketika mengamati objek tertentu.

2. Memahami ( comprehension). Tingkatan ini pada dasarnya


merupakan kemampuan seseorang untuk menjelaskan
mengenai objek yang telah diketahuinya dan
diinterpretasikan secara benar sesuai fakta.

3. Aplikasi (aplication). Tahapan ini pada dasarnya


merupakan kemampuan seseorang untuk mempraktekkan
materi yang sudah dipelajari pada kondisi nyata.

4. Analisis (analysis). Tahapan ini pada dasarnya merupakan


kemampuan seseorang untuk menjabarkan objek atau
materi yang masih terkait dengan materi lainnya.

5. Sintesis (synthesis). Tahapan ini merupakan kemampuan


seseorang untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (evaluation). Tahapan ini pada dasarnya


merupakan pengetahuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek tertentu.

11
2.2 Konsep Sikap

2.2.1 Definisi Sikap

Notoatmodjo (2012) mendefinisikan sikap sebagai respon


tertutup yang dimiliki seseorang atas stimulus (objek)
tertentu di mana hal itu sudah melibatkan faktor pendapat
dan emosi-nya (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-
tidak baik, dan seterusnya). Berkowitz sebagaimana dikutip
Azwar (2013) juga mendefinisikan hal yang senada bahwa
yang dimaksud dengan sikap adalah perasaan seseorang
untuk mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak pada objek atau stimulus
tertentu.

2.2.2 Komponen Sikap

Azwar (2013) menyatakan bahwa struktur sikap yang


dimiliki seseorang terdiri dari 3 komponen, yaitu:

1. Kognitif, yaitu komponen yang mendeskripsikan apa yang


sedang dipercayai oleh seseorang pemilik sikap.

2. Afektif, yaitu komponen yang mendeskripsikan perasaan


seseorang di mana hal itu terkait dengan aspek emosional
seseorang atas suatu objek tertentu.

3. Konatif, komponen ini mendeskripsikan kecenderungan


seseorang dalam berperilaku yang terkait dengan objek
sikap yang dihadapinya melalui cara-cara tertentu.

12
2.2.3 Tahapan Sikap

Budiman and Riyanto (2013) mengungkapkan bahwa


seperti halnya pengetahuan, sikap juga memiliki beberapa
tahapan. Tahapan-tahapan sikap yang dimaksud, antara lain:

1. Menerima (receiving). Tahapan ini pada dasarnya


merupakan tahap di mana seseorang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespons (responding). Tahapan ini pada dasarnya


merupakan tahap di mana seseorang (subjek) memberikan
jawaban apabila ditanya. Misalnya mengerjakan atau
menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya.

3. Menghargai (valving). Tahapan ini pada dasarnya


merupakan tahap di mana sesaeorang (subjek) mengajak
orang lain untuk terlibat. Misalnya mendiskusikan suatu
masalah dengan orang lain.

4. Bertanggung jawab (responsible). Tahapan ini pada


dasarnya merupakan tahap di mana seseorang (subjek)
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko yang mungkin muncul.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Azwar sebagaimana dikutip Budiman and Riyanto (2013)


menyatakan ada enam faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan sikap pada seseorang, antara lain:

1. Pengalaman pribadi (segi psikologi). Ketika seseorang


telah atau sedang mengalami sesuatu, maka hal itu akan
ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatannya atas
stimulus sosial yang datang kepadanya. Tanggapan atas
stimulus itu, pada akhirnya akan menjadi salah satu dasar
terbentuknya sikap pada dirinya.

2. Kebudayaan. Apabila seseorang hidup dalam budaya yang


menganut pergaulan bebas heteroseksual misalnya, maka

13
sangat mungkin orang tersebut akan mempunyai sikap
yang mendukung pergaulan bebas (heteroseksual).

3. Orang lain yang dianggap penting. Beberapa pihak yang


bisa dianggap penting bagi hidup seseorang diantaranya
adalah orang orang tua, orang lain dengan status sosial
lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman
kerja, istri atau suami dan lain sebagainya. Mereka inilah
yang sangat mungkin mempengaruhi sikap seseorang.

4. Media massa. Berbagai bentuk media massa yang menjadi


media komunikasi memiliki pengaruh besar terhadap
pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Informasi
baru yang disampaikan media massa tentang suatu hal
dapat memberikan landasan kognitif baru bagi
terbentuknya sikap atas sesuatu yang diinformasikan.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama. Kedua lembaga


ini dianggap berpengaruh pada sikap seseorang, karena
keduanya memberikan dasar pengertian dan konsep moral
dalam diri seseoang.

6. Emosi dalam diri individu. Kadang-kadang, sikap


seseorang merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi
di mana fungsinya sebagai semacam penyaluran frustasi.

2.3 Konsep Perilaku

2.3.1 Definisi Perilaku

Budiharto (2013) mendefinisikan perilaku sebagai hasil


dari segala macam pengalaman dan interaksi manusia
dengan lingkungannya di mana wujud-nya bisa berupa
pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku manusia biasanya
hanya dilihat dari aspek biologi. Perilaku manusia dalam
konteks ini dapat diartikan sebagai aktivitas manusia yang
sangat bersifat kompleks, seperti halnya perilaku dalam
berbicara, berjalan, berpakaian, dan dan lain-lain.

14
Ada prilaku yang bersifat eksternal dan ada prilaku yang
bersifat internal. Adapun prilaku yang bersifat eksternal
umumnya dapat diamati oleh orang lain. Akan tetapi,
perilaku yang bersifat internal tidak dapat diamati oleh
orang lain, seperti halnya persepsi, pikiran, emosi, dan
motivasi (Herijulianti 2001).

2.3.2 Proses Perilaku Tahu

Rogers dalam Donsu (2017) menyatakan ada beberapa


proses sebelum seseorang melakukan (mengadopsi) perilaku
baru di dalam dirinya, antara lain:

1. Awareness (kesadaran). Tahap di mana seseorang sudah


menyadari adanya stimulus yang datang pada dirinya.

2. Interest (ketertertarikan). Tahap di mana seseroang mulai


tertarik pada stimulus tersebut.

3. Evaluation (menimbang-nimbang). Tahap di mana


seseorang akan mempertimbangkan baik-tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.

4. Trial (percobaan). Tahap di mana seseorang mulai


mencoba perilaku baru.

5. Adaption (pengadopsian). Tahap di mana seseorang telah


memiliki perilaku baru.

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku dalam


Bidang Kesehatan

Herijulianti (2001) menyatakan bahwa ada dua faktor


yang dapat mempengaruhi prilaku manusia, yaitu: keturunan
(biologis) dan lingkungan (sosiopsikologis).

1. Faktor biologis. Faktor ini menyatakan bahwa perilaku


manusia dipengaruhi oleh warisan biologis dari kedua
orang tua-nya.

15
2. Faktor sosiopsikologis. Faktor ini menyatakan bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh proses interaksi sosial
yang terjadi. Hal ini menjadi

logis karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak


bisa dilepaskan antara satu orang dan orang lainnya.

Budiharto (2013) menyatakan bahwa pada dasarnya


perubahan perilaku pada seseorang bisa terjadi karena ada
pengaruh dari orang lain. Artinya, penyebab terjadinya
perubahan perilaku seseorang karena ada penyesuaian
perilaku-nya dengan perilaku orang yang mempengaruhi-nya,
identifikasi dan internalisasi atau penerimaan sikap baru
yang selaras dan memiliki nilai-nilai yang sama dengan
perilaku dirinya sebelumnya.

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak

Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa ada sejumlah


faktor yang dapat mempengaruhi perilaku anak, antara lain:

1. Usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka daya


tangkap dan pola pikirnya akan semakin bertambah dan
berkembang. Pengetahuan yang diperolehnya pun akan
semakin membaik. Peningkatan pengetahuan yang didasari
usia itulah yang kelak mendasari perilaku seseorang.

2. Tingkat Pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan


yang dicapai seseorang, maka akan semakin mudah pula
orang itu dalam menerima informasi, sehingga
pengetahuan-nya pun akan semakin baik pula.
Pengetahuan yang kurang tentu saja akan menghambat
sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru
diperkenalkan kepadanya.

3. Lingkungan sosial budaya. Hal ini merupakan seluruh


kondisi sosial-budaya di sekitar seseorang. Baik tidaknya
lingkungan dapat mempengaruhi baik tidaknya
perkembangan serta perilaku seseorang.

16
2.4 Konsep Makanan Jajanan

2.4.1 Pengertian Makanan Jajanan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


942/Menkes/SK/VII/2003 mendefinisikan jajanan sebagai
makanan dan minuman yang diolah oleh pengerajin makanan
di tempat penjual dan atau disajikan sebagai makanan siap
santap untuk dijual bagi khalayak umum selain yang disajikan
jasa boga, rumah makan-restoran, dan hotel (Kemenkes
2003).

2.4.2 Jenis Makanan Jajanan

Hestiani (2014) menjelaskan bahwa jenis-jenis makanan


jajanan bisa dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:

1. Makanan utama;

2. Snack;

3. Minuman; dan

4. Buah-buahan segar.

Widia Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG)


sebagaimana dikutip Mariana (2006) mengelompokkan
makanan jajanan ke dalam golongan, yaitu:

1. Makanan jajanan yang berbentuk panganan, seperti kue


kecil-kecil, pisang goreng, dan sebagainya.

2. Makanan jajanan yang diporsikan atau (menu utama),


seperti pecel, mie bakso, nasi goring, dan sebagainya.

3. Makanan jajanan yang berbentuk minuman, seperti es


krim, es campur, jus buah, dan sebagainya.

17
2.4.3 Peranan Jajanan Bagi Anak Usia Sekolah

Alikomsan sebagaimana dikutip Hestiani (2014)


menyatakan bahwa makanan jajanan memiliki peranan bagi
anak sekolah. Peranan yang dimaksud, antara lain:

1. Memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas fisik anak;

2. Memberi pengenalan berbagai jenis makanan jajanan pada


anak bahwa makanan jajanan sangat beraneka ragam; dan

3. Meningkatkan perasaan gengsi anak pada teman-temanya


sebayanya. Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan
Masyarakat Departemen

Kesehatan Republik Indonesia sebagaimana dikutip Herliani


(2014) menyatakan bahwa ada aspek positif yang dihadirkan
oleh makanan jajajan, yaitu:
1. Makanan jajanan lebih murah daripada masak sendiri dan

2. Makanan jajanan bisa memenuhi kecukupan gizi, terutama


energi, baik bagi pekerja maupun anak sekolah.

2.4.4 Dampak Kandungan Jajanan

Kandungan kualitas makanan, termasuk makanan jajanan


sangat penting untuk diperhatikan, baik dari segi kandungan
zat gizinya, mikroorganisme, dan bahan-bahan kimia lainnya.
Hal ini penting dilakukan, karena mengkonsumsi makanan
jajanan yang tidak sehat, baik dari segi mutu maupun
keamanannya, dapat menimbulkan berbagai masalah
kesehatan antara lain, keracunan makanan, diare, dan
berbagai foodborne disease lainnya (Judarwanto 2011).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM 2017)


melaporkan bahwa sekitar 50% makanan jajanan yang dijual
di sekolah sama sekali tidak baik untuk kesehatan, karena
ditemukan adanya beberapa zat berbahaya: pewarna tekstil,

18
MSG, formalin, boraks, dan gula biang yang dapat merusak
sistem syaraf, hati, dan pernafasan. Rhodamin B misalnya,
merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai
pewarna tekstil. Rhodamin B yang dicampurkan ke dalam
makanan dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan,
iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran
pencernaan, keracunan, gangguan hati dan dapat
menyebabkan kanker (Judarwanto 2011).

Contoh lainnya adalah boraks. Makanan yang mengandung


boraks memang tidak memberikan dampak secara langsung
pada kesehatan. Akan tetapi, jika makanan mengandung
boraks dikonsumsi secara terus menerus, maka sedikit demi
sedikit akan menumpuk di dalam tubuh di mana konsumennya
beresiko mengalami gangguan pada susunan syaraf pusat,
ginjal dan hati (Santi 2017).

2.4.5 Dampak Negatif Makanan Jajanan

Irianto (2007) sebagaimana dikutip Suhartini (2016)


menjelaskan bahwa makanan jajanan yang terlalu sering
dikonsumsi dan menjadi kebiasaan, akan berakibat negatif,
antara lain:

1. Nafsu makan menurun;

2. Makanan yang tidak higienis akan menimbulkan berbagai


penyakit;

3. Salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak;

4. Kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan belum tentu


terjamin;

5. Pemborosan; dan

6. Berbaya bagi kesehatan, karena keamanan makanan jajanan


juga masih diragukan.

19
2.4 Konsep Anak Usia Sekolah

Yusuf (2017) mendefinisikan anak usia sekolah sebagai


golongan anak yang memiliki usia antara 6 sampai 12 tahun.
Djamarah (2014) menyatakan bahwa masa usia sekolah dasar
pada dasarnya masa kanak-kanak tahap akhir yang berlangsung
dari usia enam tahun hingga kira-kira sebelas atau dua belas
tahun.

Sederhananya, demikian kata Djamarah (2014), usia sekolah


dasar ditandai dengan seorang anak yang mulai masuk sekolah
dasar. Masa ini merupakan awal sejarah baru dalam kehidupan
seorang anak yang nantinya akan mengubah sikap-sikap dan
tingkah lakunya.

Usia sekolah yang disebut juga dengan usia kritis, demikian


kata Hariyanti (2008), merupakan usia penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan fisik anak. Alasannya, karena
pada masa ini, seorang anak akan mulai mengembangkan suatu
kebiasaan yang cenderung menetap sampai usia dewasa kelak.

2.5 Konsep Covid-19

2.5.1 Definisi Covid-19

Kata covid-19 secara etimologis merupakan gabungan


dari beberapa hal, yaitu: co (corona), vi‖ (virus), d (disease)
dan 19 (tahun 2019). WHO (2020) menyatakan bahwa virus
ini merupakan jenis virus Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Covid-19 merupakan
kelompok virus bisa menyebabkan infeksi infeksi pada
saluran pernafasan, baik pada manusia maupun pada hewan
dengan gejala-gelaja seperti pilek, batuk, sampai pada yang
paling krusial, seperti halnya Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) (WHO 2020).

Virus ini, demikian kata Kementerian Kesehatan


Indonesia (Kemenkes 2020), bekerja secara zoonosis

20
(ditularkan dari hewan ke manusia) berdasarkan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa SARS ditularkan dari
kucing luwak ke manusia dan MERS ditularkan dari unta ke
manusia.

Cascella et. al. (2021) dalam penelitian mereka berhasil


mengindentifikasi covid-19 sebagai virus yang mengandung
single-stranded RNA yang positif. Covid-19 ini secara
morfologis digambarkan memiliki proyeksi permukaan
glikoprotein seperti mahkota dengan ukuran
80-160 nM dengan polaritas positif 27-32 kb. Sementara
struktur protein utama-nya adalah protein nukleokapsid (N),
protein matriks (M), glikoprotein spike (S), protein envelope
(E) selubung, dan protein aksesoris lain.

2.5.2 Etiologi

Manusia yang menderita atau mengalami penyakit


covid-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2. Virus ini pada
dasarnya diam (dorman) dan berada di luar tubuh manusia.
Virus ini dikatakan diam karena tidak memiliki perangkat
yang bisa menduplikasi diri seperti halnya sel. Proses
duplikasi dirinya bisa terjadi, karena ada kesempatan.
Kesempatan yang dimaksud adalah ketika virus tersebut
sudah masuk ke dalam tubuh manusia. Proses masuknya
virus ini ke dalam tubuh manusia terjadi karena
ketidaksengajaan manusia memegang benda yang sudah
terkontaminasi dan selanjutnya memegang wajah-nya di
sekitar hidung. Virus ini bisa memperbanyak dirinya karena
ada mesin ribosom yang ada di dalam sel (Kemendagri dan
Satgas Covid 19 2020).

Rentang waktu dari awal seseorang terpapar virus


SARS-Cov2 sampai munculnya gejela-nya, yaitu 14 hari.
Dalam rentang waktu itulah, virus tersebut mengalami
intensifikasi (karena terjadinya perbanyakan). Virus tersebut
kemudian secara perlahan mengalami penurunan
intensitasnya saat imun tubuh seseorang sudah terbentuk
(Kemendagri dan Satgas Covid 19 2020). Reseptor atau
penerima yang cocok dengan molekul protein di

21
permukaan (protein spike) mutlak dibutuhkan virus SARS-
Cov2 agar bisa memutasi dirinya. Virus yang menyebabkan
penyakit covid-19 ini adalah SARS-Cov2 dengan genom RNA
yang beruntai tunggal yang dapat bermutasi. Proses
perbanyakan virus ini bisa terjadi karena adanya proses
duplikasi pada genom-nya dan akhirnya membentuk
pasangan. Mutasi bisa terjadi karena adanya kesalahan
dalam pasangan genom (Kemendagri dan Satgas Covid 19
2020).

2.5.3 Patofisiologi

Yan-Rong et. al. (2020) menjelaskan perjalanan penyakit


(patofisiologi) covid-19. Menurut mereka, penyakit ini bisa
dialami seseorang, karena pada awalnya ada interaksi antara
protein spike virus dengan sel di dalam tubuh. Ketika protein
tersebut masuk ke dalam tubuh, maka terjadilah encoding
genom yang memfasilitasi ekspresi gen dan membantu
adaptasi SARS-Cov2 pada inang. Terjadinya rekombinasi gen,
pertukaran gen, dan insersi gen, akan menyebkan terjadinya
perubahan pada genom. Akhirnya, terjadilah outbreak di
kemudian hari.

Yan-Rong et. al. (2020) lebih lanjut secara lebih


mendetail menjelaskan bahwa penelitian mereka berhasil
menemukan reseptor angiotensin converting enzyme-2
(ACE2) pada traktus respiratorius bawah manusia dan
enterosit usus kecil. Reseptor menjadi penerima SARS-Cov2,
sehingga bisa masuk ke dalam sel dalam tubuh seseorang.
Selanjutnya, protein spike menempel dan melekat pada
reseptor ACE2 yang ada pada permukaan sel seseorang.
Selanjutnya, fungsi pengatur receptor binding domain
terdapat pada subu-nit (S-1) dan fungsi fusi membran antara
sel virus dan sel inang terdapat pada sub-unit (S-2).

Selanjutnya, lanjut Yan-Rong et. al. (2020), RNA virus


akan dikeluarkan ke dalam sitoplasma sel inang. RNA virus
tersebut akan melakukan translasi poliprotein pp 1 a dan pp
1 ab dan membentuk kompleksitas replikasi dan transkripsi
(RCT) setelah terjadi fusi membran. RCT kemudian
membentuk replikasi dan sintesis sub-genomik RNA yang

22
membentuk kode pementukan protein tambahan dan
struktural.

Partikel virus terbentuk karena terjadinya


penggabungan retikulum endoplasma, genomik RNA, badan
golgi, glikoprotein envelope, dan protein nukleokapsid.
Selanjutnya virion berfusi ke dalam membran plasma dan
dikeluarkan melalui eksositosis sel-sel yang terinfeksi. Virus
yang dikeluarkan itulah yang nantinya akan menginfeksi sel
ginjal, hati, intestinal, dan limfosit T, dan traktus
respiratorius bawah. Proses-proses tersebut yang pada
akhirnya menimbulkan gejala-gejala covid-19 pada seseorang
(Yan-Rong et. al., 2020).

2.5.4 Manifestasi Klinis

Seseorang yang terinveksi SARS-Cov2 akan mengalami


gejala-gejala. Gejala-gejala yang dimaksud, sebagaimana
dikatakan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI 2020),
bisa ringan, sedang, bahkan berat. Gejala-gejala itu seperti
demam (suhu > 38º C), batuk, bahkan kesulitan bernapas.
Ada gejala pernafasan lain yang biasa disebut dengan gejala
penyerta, seperti sesak yang memberat, mialgia, fatigue,
gejala gastrointestinal, dan lainnya.

PDPI (2020) lebih lanjut menjelaskan bahwa ketika


seseorang terinfeksi covid-19 dengan kasus ringan,
terkadang tidak mengalami gejala sebagaimana disebutkan
di atas. Akan tetapi, pada kasus berat, biasa terjadi
progresifitas perburukan penyakit, seperti syok septik,
ARDS, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi, perdarahan
atau disfungsi sistem koagulasi dalam beberapa hari.

Selanjutnya, PDPI (2020) menjelaskan bahwa saat


seseorang terinfeksi SARS-Cov2, biasanya ada sindrom
klinis yang muncul, yaitu: tidak berkomplikasi, pneumonia
ringan, dan pneumonia berat.

1. Tidak berkomplikasi. Itulah kondisi ringan dengan gejala


yang tidak spesifik. Namuan, ada gejala umum yang biasa

23
muncul, yaitu: batuk, demam, kongesti hidung, sakit
kepala, malaise, dan nyeri otot.

2. Pneumonia ringan. Itulah kondisi sedang dengan sejumlah


gejala seperti batuk, demam, dan sesak.

3. Pneumonia berat. Itulah kondisi berat dengan gejala yang


biasa muncul seperti demam, infeksi saluran pernapasan,
frekuensi napas > 30x/menit, distress pernapasan berat,
dan saturasi oksigen pasien < 90%.

2.5.5 Cara Pencegahan


Ada beberapa cara yang bisa dilakukan sebagaimana dirangkum
Susilo, et. al. (2020) untuk mencegah terjadinya penularan SARS-
Cov2. Cara-cara yang dimaksud, antara lain:
1. Vaksin;

2. Deteksi dini dan isolasi;

3. Higiene, cuci tangan, dan disinfeksi;

4. Alat pelindung diri;

5. Penggunaan masker N-95; dan

6. Profilaksi pasca pajanan.

24

Anda mungkin juga menyukai