Anda di halaman 1dari 25

8

II. KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pemahaman Mitigasi Bencana

a. Pemahaman

1) Pengertian Pemahaman

Istilah pemahaman pada dasarnya berasal dari kata paham. Menurut

Hudoyo dalam Susanto (2015: 27) pemahaman adalah bagian dari aktivitas

belajar, dimana siswa menerima stimulus kemudian informasi (stimulus)

disimpan dalam memori dan siswa harus memperhatikan bagian yang

berhubungan dengan tujuan belajarnya. Artinya, pemahaman berusaha

mengarahkan siswa untuk menghubungkan informasi-informasi yang telah

dipelajari guna mencapai tujuan pembelajarannya. Sejalan dengan hal tersebut,

Widiasworo (2017: 81) mendefinisikan pemahaman sebagai kemampuan

mengasosiasi informasi, yaitu kemampuan menghubungkan informasi-informasi

yang dipelajari guna membentuk gambaran utuh dalam otak sesuai dengan yang

pernah dipelajari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman

merupakan kemampuan untuk mengerti atau menangkap makna dari informasi

yang sudah diajarkan atau dipelajari sebelumnya berdasarkan pemikiran sendiri.

Pemahaman dapat mengarahkan siswa untuk menghubungkan apa yang ia

pelajari dengan apa yang mungkin terjadi di kemudian hari.


9

2) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemahaman

Pemahaman tidak tumbuh begitu saja melalui pembelajaran,

pemahaman dapat terbentuk karena adanya pengaruh dari faktor-faktor dalam

diri dan lingkungan. Menurut Susanto (2016: 12-14), hasil belajar yang berupa

kemampuan pemahaman ditentukan oleh faktor siswa itu sendiri (internal) dan

lingkungannya (eksternal). Secara rinci, faktor internal berkaitan dengan

kemampuan bawaan yang meliputi intelektual atau kecerdasan, minat, motivasi,

kesiapan belajar, serta kesehatan jasmani maupun rohani. Sementara faktor

ekternal berkaitan dengan sarana dan prasarana, kompetensi, kreativitas, sumber

dan metode penyajian informasi, dukungan keluarga, serta lingkungan.

Selanjutnya, Supatminingsih et al. (2020: 85-94) menjelaskan bahwa

keberhasilan siswa dalam mengikuti dan memaknai pembelajaran dipengaruhi

oleh faktor kesehatan, kecerdasan, minat, motivasi, serta cara belajar (faktor

internal). Adapun faktor lain (eksternal) yang turut mempengaruhi meliputi

keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar. Faktor keluarga meliputi dukungan,

perhatian, dan bimbingan dari anggota keluarga. Sedangkan faktor sekolah

meliputi fasilitas, kualitas guru, serta metode mengajarnya dan faktor lingkungan

meliputi suasana sekitar, kondisi lalu lintas, iklim, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terbentuknya

pemahaman dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal

sumbernya dalam diri siswa seperti kecerdasan, minat, motivasi, dan kesehatan.

Sementara faktor eksternal berasal dari lingkungan seperti dukungan keluarga,

kompetensi serta metode mengajar guru, dan suasana lingkungan belajar.


10

b. Mitigasi Bencana

1) Pengertian Mitigasi Bencana

Secara sederhana, mitigasi merupakan upaya persiapan yang dilakukan

untuk menghadapi bencana. Menurut Adiyoso (2018: 165), mitigasi diambil dari

bahasa latin yaitu mitigare yang terdiri atas kata mitis (lunak, lembut, atau jinak)

dan agare (melakukan, mengerjakan, membuat). Berdasarkan istilah tersebut,

mitigasi dapat diartikan sebagai penjinakan, yaitu upaya melemahkan sesuatu

yang berbahaya untuk mengurangi dampak yang diakibatkan.

Di lain sisi, bencana identik dengan sesuatu yang buruk dan merugikan.

Menurut Anies (2017: 31-32), bencana berakar dari kata “disastro”, yang

memiliki arti sesuatu yang tidak enak atau merugikan. Hal tersebut sebagaimana

tertuang dalam UU No. 24 tahun 2007, bencana diartikan sebagai kejadian yang

menganggu kehidupan dan penghidupan manusia karena dapat mengakibatkan

kerugian berupa hilangnya harta benda, nyawa manusia, dan kerusakan pada

aspek lingkungan, ekonomi, sosial maupun budaya. Bencana dapat terjadi

karena adanya pengaruh dari faktor alam dan nonalam. Adapun yang termasuk

kejadian bencana diantaranya gempa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus,

longsor, badai, dan masih banyak lagi.

Mitigasi jika dikaitkan dengan kata bencana, maka dalam hal ini

bencana (gempa bumi, tsunami, banjir, dan sebagainya) dianggap sebagai

sesuatu yang berbahaya dan dengan upaya mitigasi diharapkan dapat dikurangi

kerugiannya. Menurut Aminudin (2021: 31) mitigasi bencana merupakan upaya

pengurangan risiko sebelum terjadi bencana. Sedangkan menurut Wekke (2021:


11

13), mitigasi bencana berkaitan dengan usaha-usaha untuk mengurangi atau

meminimalkan kerugian akibat peristiwa bencana. Selain itu, dalam Undang-

Undang No. 24 Tahun 2007 juga dijelaskan bahwa mitigasi bencana dapat

dilakukan sebelum terjadi bencana, saat bencana, dan setelah terjadinya bencana.

Mitigasi bencana dapat membantu masyarakat untuk mengurangi risiko cidera

dan kematian akibat bencana dimasa mendatang. Mitigasi bencana pada

dasarnya dilakukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian yang harus

ditanggung masyarakat yang nantinya dapat berpengaruh pada kehidupan dan

kegiatan manusia.

Merujuk pada penjelasan di atas, maka mitigasi bencana dapat kita

maknai sebagai kegiatan yang direncanakan secara spesifik untuk

meminimalkan kerugian yang ditimbulkan bencana, terutama kerugian yang

dapat menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Mitigasi dirancang jauh-jauh

hari sebelum terjadi bencana untuk meningkatkan kemampuan dalam

menghadapi bencana supaya dapat meminimalkan kerugian bencana serta

meningkatkan angka keselamatan.

2) Pendidikan Mitigasi Bencana

Upaya mitigasi bencana melalui bidang pendidikan pada dasarnya

dilakukan untuk menyiapkan generasi yang sadar akan potensi dan kerentanan

lingkungan sekitar terhadap bencana. Terkait dengan hal tersebut, Adiyoso

(2018: 185) menjelaskan bahwa pengelolaan dan penyiapan generasi sadar

bencana dapat dilakukan dengan pemberian pengetahuan dan keterampilan


12

untuk mengurangi risiko bencana. Secara rinci, pengetahuan dan keterampilan

tersebut meliputi sebagai berikut.

1) Pengetahuan tentang bencana yang pernah terjadi di lingkungan sekitar.

2) Pengetahuan tentang jenis bencana, sumber atau penyebab bencana, dampak

bencana, dan ciri terjadinya bencana.

3) Pengetahuan tentang kapasitas dan kerentanan lingkungan sekitar.

4) Pengetahuan tentang cara memitigasi (mengurangi dampak) bencana.

5) Pembekalan melalui pelatihan, sosialisasi, atau pendidikan kebencanaan.

6) Pembekalan keterampilan dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

sederhana siswa perlu mengetahui dan memahami kondisi serta potensi bencana

di lingkungan sekitarnya. Sejak dini siswa harus paham bahwa selain

menimbulkan kerusakan dan kematian, bencana juga dapat memicu datangnya

bencana lain seperti tsunami, longsor, dan juga kebakaran. Oleh karena itu,

siswa harus memiliki pengetahuan dan keterampilan kebencanaan agar dapat

melakukan upaya pencegahan, pengurangan risiko, dan penyelamatan diri saat

terjadi bahaya bencana. Penyelenggaraan pendidikan mitigasi bencana harus

dirancang secara matang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Melalui

perencanaan yang matang, upaya mitigasi diharapkan dapat terlaksana

sebagaimana mestinya sehingga mampu meningkatkan pengetahuan dan

kapasitas siswa dalam menghadapi bencana. Dengan demikian, siswa dapat lebih

waspada dan mempersiapkan diri serta lingkungannya untuk mengurangi

kerugian yang mungkin ditimbulkan.


13

3) Tahap-Tahap Mitigasi Bencana

Setiap daerah memiliki potensi bencana yang berbeda-beda. Oleh

karena itu, upaya mitigasi harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan, jenis

dan faktor penyebab terjadinya bencana. Salah satu bencana yang sering dialami

masyarakat adalah gempa bumi. Gempa bumi merupakan guncangan yang

disebabkan oleh aktivitas lempeng dan magma gunung berapi dari dalam perut

bumi (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2017: 20). Gempa bumi dapat

merusak bangunan, sarana fisik, lingkungan alam, menyebabkan luka fisik, dan

bahkan hingga menewaskan banyak orang dalam beberapa detik. Banyaknya

korban gempa bumi biasanya karena tertimpa reruntuhan bangunan ketika

hendak menyelamatkan diri. Terkait hal tersebut, maka dibutuhkan suatu upaya

untuk meminimalkan korban gempa bumi.

Salah satu upaya mengurangi (memitigasi) korban bencana gempa bumi

adalah dengan mengajarkan bagaimana cara menyikapinya. Jika dicermati

bencana gempa bumi sebenarnya melalui tiga tahapan yaitu tahap sebelum, saat,

dan setelah terjadinya. Pada ketiga tahap tersebut kita dapat melakukan berbagai

usaha supaya dapat selamat. Menurut Aminudin (2021: 15-16), untuk

mengurangi kerugian bencana gempa bumi kita harus mengetahui tindakan yang

harus dilakukan pada tahap sebelum, saat, dan sesudah terjadinya.

a) Sebelum Terjadinya Bencana (Prabencana)

(1) Mengetahui tentang bencana gempa bumi dan bahayanya.

(2) Mengikuti sosialisasi dan upaya pelatihan, yang meliputi cara menghadapi

dan memberikan pertolongan saat bencana.


14

(3) Menetukan jalur evakuasi dan titik kumpul penyelamatan.

(4) Mempersiapkan lingkungan sekitar. Meliputi kegiatan memperbaiki

bangunan yang retak, mengatur perabot (lemari dan rak buKu) menempel

pada dinding, dan meletakkan barang mudah pecah di rak penyimpanan

bawah, menyiapkan tas siaga bencana, dan menyimpan nomor telepon

penting seperti petugas kesehatan.

(5) Mengenali lingkungan sekitar, termasuk mengenali letak pintu, tempat

berlindung yang aman, lapang terdekat, arah jalur evakuasi, dan tangga.

b) Saat Terjadinya Bencana

(1) Tindakan Ketika di dalam Rumah, Sekolah, dan Bangunan.

Gempa dapat diketahui apabila terasa guncangan atau gerakan pada

lampu, pintu, dan lukisan yang diikuti jatuhnya perabot rumah. Selama

jangka waktu itu, upayakan keselamatan diri bukan barang. Segera keluar

menuju area lapang dan terbuka. Jika tidak sempat, sembunyi di bawah meja

untuk melindungi kepala dan tubuh dari benda yang mungkin jatuh. Jika tidak

ada meja lindungi kepala dengan apapun yang sedang kita pegang dan

jauhilah lemari, lukisan, rak buku, dan kaca.

(2) Tindakan Ketika di Area Terbuka

Berada di area terbuka bukan berarti aman dari bahaya gempa. Jika

posisi sedang di luar, jauhilah pohon, bangunan, tiang listrik, atau apapun

yang dapat roboh menimpa kita. Jika sudah berada dilapangan, jongkok dan
15

tetap lindungi kepala dengan apa yang kita bawa. Perhatikan juga tempat

berdiri, karena gempa dapat menyebabkan retak atau terbelahnya tanah.

(3) Tindakan Ketika Sedang Berkendara

Jika sedang berkendara terjadi gempa, segeralah menepi. Berhenti di

tempat yang jauh dari persimpangan, jembatan, dan bangunan tinggi. Keluar

dan menjauhlah dari kendaraan menuju tempat yang lapang dan aman.

(4) Jika Berada di Daerah Pesisir Pantai

Jika posisi tempat tinggal di dekat pantai yang harus diwaspadai

adalah kemungkinan tsunami. Jika guncangan gempa terasa kuat dan terlihat

tanda-tanda tsunami, segera pergi ke daerah yang lebih tinggi dengan

mengikuti arah jalur evakuasi.

(5) Tindakan Ketika dalam Gedung Pusat Keramaian

Jika gempa terjadi saat kita berada dalam gedung pusat keramaian,

tetaplah tenang, dan segera cari perlindungan. Ikuti arahan petugas gedung

dan segera keluar secara tertib menuju tempat terbuka. Hindari penggunaan

lift, jika berada dalam lift tekan semua tombol yang ada dan segeralah dengan

mengikuti arahan petugas.

c) Setelah Terjadi Bencana (Pascabencana)


(1) Jika masih berada dalam ruangan, segera keluar dengan tetap waspada

dan melindungi kepala.

(2) Periksa keamanan, jauhi bangunan, papan iklan, tiang listrik, dan pohon.
16

(3) Pastikan diri aman, lalu bantulah orang lain untuk evakuasi (jika

memungkinkan beri pertolongan pertama pada yang terluka).

(4) Bersihkan dan singkirkan benda yang mungkin memberbahayakan diri.

(5) Lakukan kerja bakti untuk memperbaiki kerusakan (rumah, sarana, dan

prasarana umum).

(6) Terus ikuti arahan, petunjuk, dan informasi petugas berwenang.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mitigasi

bencana dapat dilakukan pada tahapan sebelum, saat, dan sesudah terjadinya

bencana. Tahapan mitigasi bencana yang akan digunakan dalam penelitian ini

meliputi tahap mitigasi sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana gempa

bumi. Pengetahuan tahapan-tahapan mitigasi dapat menjadi bekal bagi siswa

untuk menolong diri jika terjadi bencana. Dengan demikian, siswa dapat

memperoleh lebih cekatan dalam melindungi dan menyelamatkan diri sendiri

maupun orang lain jika sewaktu-waktu terjadi bencana gempa.

c. Pengertian Pemahaman Mitigasi Bencana

Proses terjadinya bencana yang tidak dapat diprediksi, tidak mengenal

waktu dan tempat membuat siswa memiliki sedikit kesempatan untuk

menyelamatkan diri. Dalam hal ini, siswa terkadang menganggap berlari sebagai

tindakan paling tepat untuk selamat dari bencana khususnya gempa. Padahal

sebenarnya, tindakan penyelamatan seperti berlari tanpa melakukan

perlindungan diri, memperhatikan situasi dan kerentanan lingkungan sekitar

justru dapat memperbesar risiko hilangnya nyawa saat bencana. Oleh karena itu,

pemahaman tentang cara mengurangi kerugian bencana (mitigasi bencana)


17

penting untuk diajarkan sejak dini agar siswa dapat melakukan tindakan

penyelamatan yang tepat jika terjadi bencana baik di sekolah atau di rumah.

Pemahaman menurut Susanto (2016: 208), merupakan kemampuan

mengerti dan memaknai sesuatu yang telah diajarkan. Artinya, paham bukan

hanya sekedar mampu mengingat suatu informasi, tapi juga harus mampu

memberi penjelasan dan gambaran secara lebih luas dan baru sesuai konsep

tertentu. Dalam hal ini kemampuan pemahaman dapat mengarahkan siswa untuk

dapat menggunakan informasi yang telah dipelajari untuk menghadapi suatu

kondisi atau menyelesaikan permasalahan yang ada pada saat ini maupun masa

mendatang dengan baik.

Di lain sisi, Wekke (2021: 13) mengatakan bahwa mitigasi bencana

berkaitan dengan usaha-usaha yang dilakukan untuk mengantisipasi dan

mengurangi kerugian bencana yang nantinya dapat berpengaruh pada kehidupan

dan kegiatan manusia. Kerugian bencana dapat berupa kerugian materi dan

nonmateri. Kerugian materi akibat bencana diantaranya seperti rusaknya harta

benda seperti pecahnya perabotan, retaknya dinding, robohnya rumah, tiang

listrik, papan iklan, dan kerusakan fasilitas umum seperti sekolah, tempat

ibadah, puskesmas, dan masih banyak lagi. Sedangkan kerusakan nonmateri

akibat bencana diantaranya seperti hilangnya nyawa, banyaknya korban luka-

luka, dan menyebabkan rasa trauma.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman

mitigasi bencana merupakan kemampuan untuk memaknai informasi tentang

cara-cara mengurangi kerugian akibat kejadian bencana. Pemahaman mitigasi


18

bencana penting dimiliki agar siswa dapat menangani atau melakukan tindakan

penyelamatan dengan tepat jika terjadi bencana sehingga sekurang-kurangnya

siswa dapat menyelamatkan dirinya sendiri dan mengurangi jumlah kerugian

nyawa yang ditimbulkan.

d. Indikator Pemahaman Mitigasi Bencana

Setiap siswa tidak memiliki kompetensi yang sama. Oleh karena itu,

hasil belajar yang dicapai siswa juga dapat berbeda jauh satu sama lain.

Umumnya hasil belajar yang dicapai siswa tergantung pada tingkat

pemahamannya terhadap materi yang diterima. Berkenaan dengan hal tersebut,

Anderson et al. dalam Kuswana (2012: 123) menjelaskan bahwa kemampuan

pemahaman siswa dapat dilihat melalui 7 kata kerja operasional atau indikator.

Secara rinci kata kerja tersebut dijelaskan di bawah ini.

1) Menafsirkan, dapat mengartikan tabel atau grafik berdasarkan konsep dan

pemikirannya sendiri.

2) Memberi contoh, dapat memberi contoh atau mengenali contoh secara lebih

luas sesuai kondisi atau keadaan tertentu.

3) Mengklasifikasikan, dapat mengelompokkan sesuatu sesuai kategori.

4) Menyimpulkan, dapat memberi pernyataan khusus tentang informasi.

5) Memperkirakan, dapat memprediksi akibat baik buruknya sesuatu

berdasarkan kondisi atau konsep tertentu.

6) Membandingkan, dapat memaknai persamaan atau perbedaan antara dua

objek atau lebih.


19

7) Menjelaskan, dapat menjelaskan atau memaknai sesuatu berdasarkan konsep

dan pemikiran sendiri bahkan hingga menghubungkan sebab akibatnya.

Merujuk pada teori tersebut, dalam penelitian ini peneliti mengambil 4

indikator pemahaman yang meliputi kemampuan menjelaskan, memberi contoh,

memperkirakan, dan mengklasifikasikan. Indikator tersebut cocok digunakan

pada penelitian ini karena menuntut siswa dapat untuk memaknai pengetahuan

yang telah diajarkan sebelumnya secara lebih luas dan mendalam. Sedangkan

indikator menafsirkan, menyimpulkan,dan membandingkan tidak digunakan

sebagai tolak ukur pada penelitian ini. Hal ini dikarenakan indikator tersebut

menuntut untuk dapat mengartikan tabel atau grafik, memberikan pernyataan

khusus, serta mencari persamaan dan perbedaan objek. Tuntutan kemampuan

tersebut dirasa kurang cocok dengan ruang lingkup penelitian ini, sehingga

dalam hal ini peneliti hanya mengambil 4 indikator pemahaman saja.

Pemahaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemahaman

mitigasi bencana gempa. Terkait hal tersebut, maka indikator pemahaman yang

dipilih dikembangkan oleh peneliti menjadi beberapa kemampuan berikut 1)

menjelaskan ciri-ciri bangunan yang aman terhadap guncangan gempa; 2)

memberi contoh bangunan yang aman terhadap guncangan gempa; 3)

memperkirakan dampak bencana gempa bagi kehidupan manusia; dan 4)

mengklasifikasikan tindakan untuk mengurangi dampak (memitigasi) bencana

gempa. Indikator tersebut akan dijadikan sebagai acuan untuk membuat soal tes

untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap bencana dan

bagaimana cara meminimalkan dampaknya.


20

2. Sikap Tanggap Bencana

a. Pengertian Sikap Tanggap Bencana

Sikap merupakan kecenderungan untuk merespon atau melakukan

sesuatu secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau

orang lain (Susanto, 2016: 220). Merujuk pada definisi tersebut, sikap dapat kita

maknai sebagai kecenderungan siswa untuk menerima atau menolak suatu

keadaan ataupun objek yang ada di sekitar. Sikap siswa bisa saja berbeda ketika

menghadapi situasi yang sama. Menurut Azwar (2016: 23) hal ini karena adanya

komponen kognitif, afektif, dan konatif dalam diri. Secara rinci, komponen

kognitif dalam diri mengacu pada apa yang diketahui, dipercayai, dan diyakini.

Sedangkan komponen afektif mengacu pada perasaan dan kondisi emosi dalam

diri. Sementara itu komponen konatif dalam diri, mengacu pada kecenderungan

untuk bertindak sesuai dengan keyakinan dan kondisi emosi yang ada dalam diri.

Di sisi lain, tanggap bencana merupakan respon tindakan yang

diberikan untuk melindungi dan menyelamatkan diri dari situasi bahaya secara

cepat dan tepat. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam UU No. 24 Tahun

2007, bahwa tanggap darurat bencana adalah tindakan yang dilakukan segera

saat terjadi bencana, termasuk diantaranya penyelamatan, evakuasi, dan

pemulihan fasilitas untuk mengatasi dampak yang diakibatkan oleh suatu

bencana. Sejalan dengan itu, Adiyoso (2018: 94) mengatakan bahwa tanggap

bencana merupakan respon yang segera diambil saat terjadi bencana yang

meliputi upaya perlindungan dan penyelamatan diri dan orang lain sesaat

sebelum bencana, ketika bencana, dan sesudah terjadinya bencana.


21

Berdasarkan teori yang telah diungkapkan di atas, maka sikap tanggap

bencana dapat kita maknai sebagai kecenderungan untuk menangani, merespon,

atau menanggapi situasi bencana melalui tindakan-tindakan yang didasarkan

pada keyakinan terhadap pengetahuan dan kondisi emosi dalam diri. Sikap

tanggap bencana menuntut untuk mengaplikasikan apa yang diketahui dan

dirasakan melalui respon tindakan yang diambil secara cepat dan tepat guna

terhindar dari risiko cidera, luka-luka, dan kehilangan nyawa saat bencana.

b. Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap Tanggap Bencana

Sikap dapat terbentuk dari rangsangan dan interaksi yang dialami oleh

siswa. Dalam interaksi, siswa bereaksi terhadap situasi dan kondisi yang

dihadapi untuk membentuk pola sikap tertentu diantaranya sikap tanggap.

Terkait hal tersebut, menurut Azwar (2016: 30-37) sikap dapat terbentuk karena

adanya faktor pengalaman, pendidikan, keadaan emosi, dan orang lain.

1) Pengalaman

Pengalaman erat kaitannya dengan apa yang telah dialami. Sesuatu

yang pernah kita alami atau yang sedang kita alami, dapat meninggalkan kesan

yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap termasuk diantaranya sikap

tanggap. Pengalaman yang berkesan dapat menjadi dasar pembentukan sikap

karena biasanya terjadi dengan melibatkan emosi. Emosi dapat mengarah pada

ingatan dan pemahaman yang lebih dalam dan lama terhadap suatu pengalaman.

Sehingga akan berpengaruh pada pola sikap yang akan dilakukan dimasa

mendatang.
22

2) Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting yang mempengaruhi

pembentukan sikap termasuk diantaranya sikap tanggap. Pendidikan adalah

dasar dari penempatan moral dan memungkinkan siswa untuk memahami apa

yang baik dan buruk, serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terutama

pada saat terjadi bencana. Hal tersebut tentu akan menentukan keyakinan

terhadap suatu informasi sehingga secara tidak langsung pendidikan juga

berperan dalam pembentukan sikap siswa terhadap keadaan.

3) Kondisi Emosi

Sikap dapat dipengaruhi oleh kondisi emosi. Emosi merupakan saluran

untuk menunjukkan suasana hati dan pikiran. Misalnya, saat bencana biasanya

siswa cemas, takut, serta panik sehingga bingung akan berbuat apa dan justru

melakukan tindakan yang membahayakan dirinya. Sikap akibat emosi yang tidak

stabil ini bisa bersifat sebentar, tetapi bisa juga menyebabkan trauma.

4) Orang Lain

Orang lain seperti guru, orang tua, dan teman dekat merupakan faktor

yang turut mempengaruhi sikap siswa, terutama saat menghadapi keadaan

bahaya. Saat panik, seringkali siswa mengikuti tindakan orang tua, guru, dan

orang lain di sekitarnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa orang lain

selalu dapat bertindak secara tepat dalam menghadapi segala situasi dan kondisi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa sikap dapat

terbentuk karena pengaruh pengetahuan, pengalaman, emosi, dan orang lain.

Sikap didasarkan pada apa yang diketahui, dirasakan, dan dialami di masa lalu.
23

Oleh karena itu, pengetahuan dan pengalaman penting dimiliki agar saat bencana

tidak mudah panik sehingga mampu memberi respon penyelamatan secara tepat.

c. Indikator Sikap Tanggap Bencana

Sikap tanggap bencana berkaitan dengan kemampuan menangani atau

merespon bencana. Menurut Supriyono (2014: 111), selain melindungi dan

menyelamatkan diri, tanggap bencana juga meliputi pemberian respon terhadap

sekitarnya. Artinya, sikap tanggap bencana juga mengarah pada kepekaan

terhadap kondisi lingkungan dan orang sekitar, seperti mau mempersiapkan diri

maupun lingkungan sekitar, membantu memberi pertolongan, dan melakukan

gotong-royong. Penelitian ini ingin mengukur sikap tanggap siswa terhadap

bencana. Sikap tanggap yang diukur meliputi tanggap sebelum, saat, dan

sesudah bencana. Mengingat materi kebencanaan diintegrasikan dengan

Kompetensi Dasar (KD) pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas V. Maka

sikap tanggap diukur melalui aspek sikap pelajaran IPS kelas V.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018, pada dasarnya

tujuan pembelajaran mencakup kompetensi sikap spiritual, sikap sosial,

pengetahuan, dan keterampilan. Lebih lanjut lagi, Permendikbud Nomor 37

Tahun 2018 juga menjelaskan bahwa kompetensi sikap spiritual meliputi

menerima, menghargai, dan menjalankan ajaran agama yang dianut. Sedangkan

kompetensi sikap sosial pelajaran IPS kelas V meliputi sikap jujur, disiplin,

tanggung jawab, santun, peduli, percaya diri, serta cinta tanah air.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka sikap tanggap bencana dalam

penelitian ini akan diukur dengan mengacu pada kompetensi sikap sosial
24

pelajaran IPS kelas V yang meliputi percaya diri, peduli, dan tanggung jawab.

Sikap tersebut digunakan karena sesuai dengan fokus penelitian dan tuntutan

indikator dari muatan KD pelajaran IPS yang terintegrasi mitigasi bencana.

Yaitu siswa dituntut untuk memiliki keyakinan, kepekaan, dan kesiapan dalam

menghadapi suatu keadaan termasuk diantaranya keadaan bahaya akibat

bencana. Sementara sikap jujur, santun, disiplin, dan cinta tanah air tidak

digunakan peneliti karena tidak sesuai dengan fokus penelitian serta tuntutan

indikator dari pelajaran IPS yang terintegrasi mitigasi bencana.

Penelitian ini ingin mengukur sikap tanggap siswa terhadap bencana

gempa bumi. Terkait hal tersebut, maka aspek sikap percaya diri, tanggung

jawab, dan peduli dikembangkan peneliti menjadi beberapa indikator berikut ini.

1) Percaya Diri

Secara umum aspek sikap percaya diri berkaitan dengan keyakinan

terhadap kemampuan diri dalam melakukan tindakan. Sikap percaya diri ketika

menangani bencana dalam penelitian ini diukur melalui indikator berikut.

a) Yakin terhadap kemampuan diri saat merespon bencana

b) Tenang dalam menghadapi situasi bahaya bencana.

2) Tanggung Jawab

Tanggung jawab erat kaitannya dengan kesadaran dan kesiapan dalam

menghadapi suatu keadaan. Aspek sikap tanggung jawab ketika menangani

bahaya bencana dalam penelitian ini diukur melalui indikator berikut ini.

a) Kesiapan menghadapi situasi bahaya bencana.

b) Mengutamakan keselamatan saat bencana.


25

3) Peduli

Peduli berkaitan dengan kepekaan terhadap kondisi disekitar. Aspek

sikap peduli ketika menangani bencana bisa dilihat dari indikator berikut.

a) Adanya kesadaran mempersiapkan lingkungan sebelum bencana.

b) Peka terhadap kesulitan yang dialami orang lain.

Sikap tanggap dalam penelitian ini akan diukur dengan mengacu pada

aspek sikap percaya diri, tanggung jawab dan peduli berdasarkan indikator yang

dikembangkan oleh peneliti. Indikator tersebut digunakan peneliti untuk

membuat angket sebagai tolak ukur mengetahui sikap tanggap siswa terhadap

bencana gempa bumi.

B. Penelitian Relevan

1. Utama et al. (2017) dengan judul Analisis Hubungan Pengetahuan Dan Sikap

Terhadap Rencana Tanggap Darurat Bencana Banjir Pada Ibu Rumah

Tangga Di Kelurahan Sragen Tengah Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen.

Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara

pengetahuan dan sikap dengan rencana tanggap darurat bencana, dimana

semakin siap pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga maka semakin siap

pula rencana tanggap daruratnya.

Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh

peneliti terletak pada teknik analisis datanya. Penelitian ini dengan

penelitian yang akan dilakukan sama-sama menggunakan analisis korelasi

Product Moment untuk mengetahui hubungan antar variabel yang

ditetapkan.
26

Adapun perbedaannya dapat dilihat dari segi variabel, sampel, dan

prosedur penelitiannya. Penelitian oleh Utama et al. menggunakan variabel

pengetahuan, sikap, dan rencana tanggap darurat bencana banjir, dengan

sampel ibu rumah tangga yang diambil menggunakan teknik random

sampling dan pengumpulan datanya menggunakan instrumen angket.

Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan, peneliti menggunakan

variabel pemahaman mitigasi bencana dan sikap tanggap bencana gempa

dengan sampel siswa Sekolah Dasar (SD), dimana pemahaman diukur

menggunakan instrumen tes dan angket setelah siswa mengikuti

pembelajaran IPS yang terintegrasi mitigasi bencana.

2. Citra et al. (2019) dengan judul Tingkat Pemahaman Peserta Didik Pada

Wilayah Rawan Bencana Gempa Bumi Zona Tinggi Di Kota Bengkulu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran geografi yang

terintegrasi mitigasi bencana berkontribusi sebesar 55,4 % terhadap

pemahaman mitigasi bencana siswa. Selain itu, hasil penelitian juga

menunjukkan dari 138 sampel yang ada, 58 siswa diantaranya masih

memiliki tingkat pemahaman mitigasi bencana yang rendah.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yakni

sama-sama mengintegrasikan materi mitigasi dalam pembelajaran di kelas.

Penelitian ini mengintegrasikan materi mitigasi dalam mata pelajaran

geografi di Sekolah Menegah Atas (SMA) dan penelitian yang akan

dilakukan, materi mitigasi diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS) di SD.


27

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan dapat

dilihat dari fokus dan sampel penelitiannya. Penelitian Citra et al, berusaha

mengetahui kontribusi pembelajaran geografi terintegrasi mitigasi bencana

terhadap pemahaman mitigasi bencana siswa SMA. Sedangkan pada

penelitian yang akan dilakukan, peneliti berusaha menganalisis seberapa

besar hubungan atau keterkaitan antara pemahaman mitigasi bencana

dengan sikap tanggap bencana siswa di SD.

3. Jahirin dan Sunsun (2021) dengan judul Hubungan Pengetahuan Mitigasi

Bencana Dengan Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana

Banjir. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara

pengetahuan mitigasi bencana dan kesiapsiagaan masyarakat dalam

menghadapi bencana banjir.

Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah sama-sama menggunakan metode korelasional. Adapun

perbedaannya terletak pada sampel dan teknik analisis datanya. Uji korelasi

antar variabel dalam penelitian Jahirin dan Sunsun dilakukan dengan

analisis Rank Spearman dengan sampel 30 masyarakat dengan berbagai

latar belakang usia maupun tingkat pendidikan, dan sampelnya diambil

dengan teknik random sampling. Sedangkan pada penelitian yang akan

dilakukan analisis datanya menggunakan analisis korelasi product moment

dengan sampel siswa kelas V SD yang berjumlah 70 siswa. Sampel yang

digunakan adalah sampel jenuh dimana keseluruhan populasi dijadikan

sampel penelitian.
28

C. Kerangka Berpikir

Bengkulu merupakan provinsi yang memiliki potensi gempa bumi

cukup tinggi. Hasil kegiatan observasi awal, menunjukkan bahwa SDN 52 Kota

Bengkulu termasuk dalam sekolah yang rentan terhadap dampak gempa bumi.

Hal ini dikarenakan sekolah tersebut memiliki jarak ± 3 km dari pantai dan

struktur bangunannya yang bertingkat, berhimpit, serta terbatasnya area lapang

sekolah untuk upaya penyelamatan jika terjadi gempa bumi. Terkait kondisi

tersebut, pembelajaran mitigasi bencana gempa bumi dirasa penting dilakukan

untuk menumbuhkan pengetahuan dan pemahaman siswa akan bahaya gempa

bumi. Pemahaman tentang mitigasi gempa bumi dapat diberikan melalui

pembelajaran dikelas, yakni melalui muatan pelajaran IPS.

Pemahaman memiliki beberapa indikator, diantaranya kemampuan

memberi contoh, menjelaskan memperkirakan, dan mengklasifikasikan.

Berdasarkan hal tersebut, maka indikator pemahaman pada penelitian ini

dikembangkan oleh peneliti menjadi kemampuan 1) menjelaskan ciri-ciri

bangunan yang aman terhadap guncangan gempa; 2) memberi contoh bangunan

yang aman terhadap guncangan gempa; 3) memperkirakan dampak bencana

gempa bagi kehidupan manusia; dan 4) mengklasifikasikan tindakan untuk

mengurangi dampak (memitigasi) bencana gempa.

Pemahaman bencana berperan penting dalam penumbuhan sikap

tanggap bencana. Pada penelitian ini, sikap tanggap bencana diukur melalui

aspek sikap sosial pelajaran IPS kelas V yang meliputi sikap percaya diri,

tanggung jawab, dan peduli. Secara rinci, aspek percaya diri saat merespon
29

bencana dilihat dari indikator yakin terhadap kemampuan diri saat merespon

bencana dan tenang dalam menghadapi situasi bahaya bencana. Sedangkan

aspek tanggung jawab dilihat dari kesiapan menghadapi situasi bahaya bencana

dan mengutamakan keselamatan saat bencana. Adapun sikap peduli ketika

merespon bencana dilihat dari adanya kesadaran mempersiapkan lingkungan

sebelum bencana dan kepekaan terhadap kesulitan yang dialami orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis hubungan

antara pemahaman mitigasi bencana dengan sikap tanggap bencana siswa kelas

V di SDN 52 Kota Bengkulu. Uraian di atas diperlihatkan melalui bagan berikut.


30

Kondisi Lingkungan SDN 52 Kota Bengkulu


1. Berjarak ± 3 km dari pantai dan struktur bangunannya bertingkat serta posisi kelas saling
berdekatan dengan jarak 1-3 meter.
2. Posisi gerbang langsung menghadap jalan raya dan posisi lapangan dengan sekolah dibatasi oleh
pagar tembok setinggi 1,5 meter.
3. Terbatasnya akses menuju lapangan terdekat terbatas.
4. Guru terkadang mengintegrasikan materi mitigasi bencana ke dalam pembelajaran.
5. Sebagian siswa belum tahu cara efektif melindungi diri dan mengurangi kerugian gempa.

Pembelajaran mitigasi bencana diintegrasikan dalam pembelajaran pelajaran IPS

Pemahaman Mitigasi Bencana Sikap Tanggap Bencana


1. Percaya diri
1. Menjelaskan ciri-ciri bangunan yang
a. Yakin terhadap kemampuan diri saat
aman terhadap guncangan gempa.
merespon bencana
2. Memberi contoh bangunan aman b. Tenang dalam menghadapi situasi
terhadap guncangan gempa. bahaya bencana.
2. Tanggung jawab
3. Memperkirakan dampak gempa bagi
a. Kesiapan menghadapi situasi bahaya
kehidupan manusia. bencana.
4. Mengklasifikasikan tindakan untuk b. Mengutamakan keselamatan saat
mengurangi dampak (mitigasi) bencana bencana.
3. Peduli
gempa.
a. Adanya kesadaran mempersiapkan
lingkungan sebelum bencana.
b. Peka terhadap kesulitan yang dialami
orang lain.

Hubungan Antara Pemahaman Mitigasi Bencana dengan Sikap Tanggap


Bencana Siswa

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir


35

D. Definisi Operasional

1. Pemahaman Mitigasi Bencana (Variabel X)

Pemahaman mitigasi bencana adalah kemampuan seseorang dalam

mengingat dan memaknai informasi mengenai cara mencegah dan mengurangi

kerugian bencana berdasarkan pandangan atau pemikirannya sendiri.

Pemahaman memiliki indikator diantaranya kemampuan memberi contoh,

menjelaskan, memperkirakan, dan mengklasifikasikan.

Pemahaman yang dimaksud penelitian ini adalah pemahaman mitigasi

bencana gempa bumi. Berdasarkan hal tersebut, maka pemahaman mitigasi

bencana pada penelitian ini akan diukur menggunakan indikator 1) menjelaskan

ciri-ciri bangunan yang aman terhadap guncangan gempa; 2) memberi contoh

bangunan yang aman terhadap guncangan gempa; 3) memperkirakan dampak

bencana gempa bagi kehidupan manusia; dan 4) mengklasifikasikan tindakan

untuk mengurangi dampak (mitigasi) bencana gempa.

2. Sikap Tanggap Bencana (Variabel Y)

Sikap tanggap bencana merupakan kecenderungan untuk merespon,

menangani, atau menanggapi bencana supaya dapat terhindar dan juga selamat

dari bahaya yang ditimbulkan bencana. Sikap tanggap menuntut siswa untuk

selalu waspada dan merespon bencana dengan cepat dan tepat agar terhindar

dari risiko cidera ataupun kehilangan nyawa. Sikap tanggap bencana meliputi

tanggap sebelum, saat dan sesudah terjadinya bencana.


32

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Menurut

Sugiyono (2019:16), penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang

berlandaskan filsafat positivisme yang analisis datanya bersifat statistik dengan

tujuan untuk menguji hipotesis. Senada dengan hal tersebut Suharsaputra (2014:

50), menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang identik

dengan data dalam bentuk angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik.

Merujuk pada definisi tersebut, maka penelitian kuantitatif dapat diartikan

sebagai penelitian yang menggunakan data dalam bentuk angka dan dianalisis

secara statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

korelasional. Menurut Sugiyono (2019: 57), metode korelasional dalam

penelitian kuantitatif berusaha melihat keterkaitan atau hubungan antara dua

variabel. Berkenaan dengan hal tersebut, maka penelitian ini berusaha untuk

menganalisis hubungan antara variabel pemahaman mitigasi bencana dengan

variabel sikap tanggap bencana.

Variabel penelitian ini diukur setelah siswa mengikuti pembelajaran

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) terintegrasi mitigasi bencana gempa. Proses

pembelajaran dilaksanakan oleh peneliti dengan bantuan guru kelas sebagai

pengamat. Selanjutnya, pengumpulan data penelitian dilakukan melalui

pemberian tes dan angket setelah siswa mengikuti proses pembelajaran IPS yang

terintegrasi materi mitigasi bencana menggunakan model discovery learning.

Anda mungkin juga menyukai