Anda di halaman 1dari 38

2019

PENDIDIKAN
KEBENCANAAN

DISUSUN OLEH
DEWI LIESNOOR SETYOWATI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


2019
PENDIDIKAN KEBENCANAAN
Dewi Liesnoor Setyowati

A. Pendahuluan
Bencana merupakan anugerah dan berkah yang harus dihadapi oleh manusia terutama
yang hidup di bumi ini terutama pada daerah rawan bencana. Kedatangan bencana secara tiba-
tiba tidak dapat dihindari tetapi harus dihadapi. Manusia tidak perlu takut pada bencana, tetapi
manusia harus dapat menghadapi bencana. Indonesia merupakan Negara yang rawan bencana
bahkan dikenal sebagai Laboratorium Bencana Alam. Masyarakat yang tinggal di kawasan
rawan bencana akan berusaha untuk siap menghadapi bencana, mengantisipasi bencana, dan
beradaptasi dengan bencana, dikenal sebagai upaya mitigasi bencana. Mitigasi bencana dapat
meningkatkan kesadaran dan bimbingan kepada masyarakat terkait dengan penanggulangan
bencana sejak dini atau sedini mungkin.
Bencana merupakan hasil dari proses alam dan sosial. Kondisi alam suatu wilayah
memiliki potensi bahaya, dapat muncul sebagai bencana alam (geo-hazard). Berbeda dengan
dimensi sosial, risiko bencana disebabkan oleh tindakan manusia yang berinteraksi dengan
alam. Perilaku manusia merupakan faktor penting dalam peningkatan kerentanan, dan sebagai
pemicu terjadinya bencana. Terlalu banyak mengeksploitasi sumberdaya alam dapat merusak
lingkungan dan terjadi bencana. Upaya memperkecil risiko bencana dapat dilakukan dengan
merubah perilaku manusia, meningkatkan kesadaran dan kepedulian untuk melestarikan
lingkungan. Merubah perilaku manusia dapat dilakukan dengan merubah pola pikir dan
membiasakan diri sejak dini untuk selalu peduli pada lingkungan dan sadar bencana. Melalui
pendidikan kebencanaan diharapkan akan dapat meningkatkan pengetahuan kebencanaan,
merubah sikap dan perilaku untuk selalu sadar bencana.
Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia dengan berbasis pada budaya.
Pendidikan atau pengetahuan memainkan peranan penting dalam masyarakat. Kejadian
bencana hanya sesaat dan datang secara tiba-tiba, sehingga ingatan manusia terbatas dalam hal
menyampaikan pengetahuan dari satu generasi ke generasi. Perlu upaya untuk
mempromosikan dan mensosialisasikan budaya pencegahan dan sadar bencana.
Kesalahpahaman konsep tentang bencana itu sebagai suatu kutukan alam, atau suatu kekuatan
ilahi harus dihilangkan. Pola pikir seseorang harus dirubah untuk mewujudkan budaya
1
keselamatan, melalui kebiasaan, kesiapsiagaan, dan kearifan lokal pencegahan bencana.
Melalui reformasi pendidikan kebencanaan, akan dapat mengubah pola pikir manusia
Indonesia, untuk selalu sadar dan peduli bencana. Mendahulukan keselamatan dari bencana
dengan cara selalu sosialisasi kesiapsiagaan bencana, melakukan simulasi bencana, maupun
mempraktikan berbagai upaya pencegahan bencana.
“We must, above all, shift from a culture of reaction to a culture of prevention.
Prevention is not only more humane than cure; it is also much cheaper.... Above all, let
us not forget that disaster prevention is a moral imperative, no less than reducing the
risks of war.” (Kofi Annan, Geneva, July 9, 1999).

Makna dari pesan Kofi Annan, kita harus bergeser dari budaya reaksi (menunggu bencana
datang baru bertindak) ke budaya pencegahan (menjaga alam dari kerusakan lingkungan dan
selalu siapsiaga terhadap bencana). Pencegahan lebih manusiawi, dengan biaya lebih murah,
daripada melakukan penyembuhan. Pencegahan bencana merupakan kewajiban moral. Perlu
mengintegrasikan konsep keselamatan bencana dalam semua aspek kehidupan, untuk tujuan
pengurangan bencana. Kesadaran bencana merupakan warisan budaya, maka setiap individu
harus sadar bencana dan pengembangan sikap peduli bencana, yang ditanamkan sejak anak
usia dini.
Buku Pendidikan Kebencanaan ini disampaikan kepada mahasiswa UNNES, dengan
tujuan supaya mahasiswa UNNES mengetahui tentang bencana, menanamkan sikap sadar
bencana, tindakan dan perilaku peduli pada bencana. Materi Pendidikan Kebencanaan
merupakan bagian atau sub materi dari Mata Kuliah wajib Pendidikan Konservasi. Materi
Pendidikan Kebencanaan mengkaji tentang pengertian bencana, bencana di Indonesia,
manajemen bencana & mitigasi bencana, pengurangan risiko bencana, dan pendidikan
mitigasi bencana.

B. Pengertian Bencana

Bencana merupakan peristiwa yang sering terjadi di beberapa tahun terakhir dan
bencana bukan lagi menjadi kata yang asing bagi kita. Hampir setiap musim, bahkan setiap
bulan selalu saja terjadi bencana. Musim penghujan misalnya, bagi sebagian orang musim ini
merupakan musim yang membawa berkah, tetapi sebagian orang lagi musim ini akan
membawa musibah. Bagi petani, musim hujan merupakan awal tanam dimana air akan
mudah diperoleh dan tanaman dapat tumbuh. Hujan yang terhenti beberapa waktu lalu dan
dengan suhu yang cukup tinggi, membuat para petani dan pemerintah khawatir akan
2
kekurangan persediaan pangan. Kekhawatiran ini tidak bertahan lama, setelah beberapa
minggu hujan pun turun. Ketika hujan turun ternyata munculah berbagai bencana yang
banyak menelan korban. Bencana banjir dan tanah longsor merupakan sebagian bencana
yang datang pada musim hujan.
Definisi tentang bencana bermacam-macam, menurut Setyowati, dkk., (2016) bencana
sebagai sebuah dampak kegiatan atau resiko yang memberikan efek negatif terhadap
manusia. Gustavo (1995) menjelaskan secara umum bencana sebagai pengaruh yang diterima
manusia sehingga menjadikan manusia menjadi kehilangan dan menderita kerugian. Dengan
kata lain, dikatakan sebagai bencana apabila kejadian bencana membawa kerugian bagi
manusia. Manusia mempunyai kemampuan untuk meminimalkan resiko, kalau resiko dapat
diminimalkan bencana, maka bencana dikatakan dapat teratasi atau berkurang dampaknya.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, memberikan
batasan-batasan terkait dengan fenomena bencana alam sebagai berikut.
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau
faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
3. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.

3
7. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
8. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.
9. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk
bahaya tertentu.
10. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentanan pihak yang terancam bencana.
11. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan masyarakat.
12. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar pada saat keadaan darurat.
13. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk
menanggulangi bencana.

Terkait dengan upaya untuk melindungi warga negaranya terhadap bencana, Pemerintah
Indonesia telah memberlakukan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
UU tersebut secara jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan,
pelatihan, penyuluhan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana. Melalui
pendidikan diharapkan agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang
lebih luas dan dapat diperkenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik, dengan
mengintegrasikan pendidikan pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum sekolah
maupun ke dalam kegiatan ekstrakurikular.

4
Menurut WHO, bencana merupakan segala kejadian yang menyebabkan kerusakan
lingkungan, gangguan geologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat
kesehatan atau pelayanan kesehatan skala tertentu, yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah tertentu (Indiyanto, 2012). Bencana adalah suatu peristiwa alam
yang mengakibatkan dampak besar bagi populasi manusia. Beberapa pengertian mengenai
bencana yang telah disampaikan di atas, maka dapat disampaikan bahwa yang dimaksud
dengan bencana adalah suatu kerusakan ekologi, sosial, material serta yang lainnya, dan
terjadi oleh aktifitas abnormal alam maupun perilaku manusia dan menyebabkan kerugian
baik secara material fisik, ataupun korban jiwa.

B. Faktor Penyebab Bencana Di Indonesia


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, jumlah 17.504 pulau yang tersebar pada 33
propinsi (berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri yang dipublikasikan BPS 2017).
Jumlah pulau yang telah dilaporkan ke PBB dalam sidang ke XI The United Nation
Conference on Standardization of Geographical Names di New York tahun 2017 sebanyak
16.056 pulau. Potensi alam yang dimiliki Indonesia meliputi potensi laut, perikanan laut,
perairan darat, pegunungan, daratan, dan banyak lainnya. Selain kaya akan potensi alam,
Indonesia juga merupakan negara yang memiliki potensi bencana, bencana yang sering terjadi
di Indonesia adalah Tsunami, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Banjir, Angin Puting Beliung,
dan letusan/ erupsi Gunung berapi.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2017) menyatakan bahwa dalam 15
tahun terakhir (2002 - 2016), jumlah kejadian bencana di Indonesia meningkat hampir 20 kali
lipat. Lebih dari 90% kejadian bencana di Indonesia diakibatkan oleh banjir dan tanah
longsor, lebih dari 28 juta orang terkena dampak. Namun, berdasarkan jumlah korban jiwa,
bencana terkait geologi adalah jenis bencana yang paling mematikan, dimana lebih dari 90%
korban meninggal dunia dan hilang akibat bencana disebabkan oleh gempa bumi dan tsunami.
Berikut ini disajikan tren kejadian bencana selama tahun 2009 sampai 2018, berupa bencana
banjir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan, gempa dan tsunami
(Gambar 1). Trend kejadian bencana paling besar terjadi pada tahun 2017. Jenis bencana
paling sering terjadi berupa bencana banjir, putting beliung, dan tanah longsor. Bencana
Kejadian bencana tsunami paling besar terjadi pada tahun 2018, kejadian bencana tsunami

5
meningkat dari tahun 2012 sampai 2018. Wilayah dengan jumlah bencana paling banyak
terdapat di Propinsi Jawa Tengah (Gambar 2).

Gambar 1. Tren Kejadian Bencana Tahun 2009 sampai 2018 (BNPB, 2017)

Gambar 2 Jumlah kejadian bencana dan persebaran bencana Tahun 2018

Faktor penyebab bencana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hidrometeorologis (banjir,
tanah longsor, gelombang pasang, abrasi, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan angin
puting beliung) dan geologis (gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api). Bencana
merupakan fenomena yang dapat terjadi setiap saat, secara tiba-tiba atau melalui proses yang
berlangsung secara perlahan dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan
kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat.
Banyaknya daerah yang rawan terkena bencana di Indonesia tidak terlepas dari faktor
geologis Indonesia, dimana terdapat tiga pertemuan Lempeng besar yakni Lempeng Eurasia,
Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia. Indonesia terletak pada Lingkaran Api Pasifik
6
(Ring of Fire) yaitu kawasan yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi
yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Kawasan ini (Gambar 3) berbentuk seperti
tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km.
Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar
(Gambar 3) yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia.
Pertemuan tiga lempeng ini menghasilkan lempeng tektonik (garis merah) yang merupakan
gempa bumi dan deretan gunung api. Terdapat 129 gunung api aktif yang ada di Indonesia,
yang saat ini dimonitor oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (ESDM).
Untuk lempeng tektonik dimonitor oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) yang secepatnya akan memberikan informasi mengenai gempa bumi dan tsunami.
Kekayaan Indonesia dengan beragam gunung berapi sekaligus dapat menjadi ancaman
bencana gunung meletus. Posisi tersebut membuat Indonesia menjadi rentan terhadap
perubahan geologi, terutama menyebabkan bencana alam gempa bumi, tsunami, letusan
gunungapi, dan jenis-jenis bencana geologi yang lain. Wilayah yang rawan bencana gempa
bumi di Indonesia tersebar mulai dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Maluku Utara dan wilayah Papua
(Setyowati, 2017).

Gambar 3. Lokasi pertemuan tiga lempeng tektonik terbesar di Indonesia, dan kawasan Ring
of Fire (https://geoenviron.wordpress.com/2014/11/24/tektonik-pulau-jawa/).

Garis khatulistiwa melintas di wilayah Indonesia, sehingga wilayahnya beriklim tropis.


Akibat posisi geografis ini, Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan
musim kemarau. Iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh lokasi dan karakteristik geografis.
7
Membentang di 6.400 km antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, Indonesia memiliki 3
pola iklim dasar: monsunal, khatulistiwa dan sistem iklim local (BNPB, 2017). Hal ini telah
menyebabkan perbedaan dramatis dalam pola curah hujan di Indonesia. Kondisi iklim tropis
di Indonesia menyebabkan terjadinya bencana hidrometeorologi, yaitu bencana alam yang
dipicu oleh curah hujan lebat, deras dan basah sepanjang musim hujan. Jenis bencana
hidrometeorologi adalah banjir, longsor, kekeringan, dan angin puting beliung. Pola aliran
sungai di Indonesia membentuk 5.590 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terletak antara
Sabang dan Merauke, sebanyak 108 DAS dalam kondisi kritis sehingga berkontribusi pada
bencana banjir.
Berdasarkan kondisi geologis dan hidrometeorologis, berbagai kejadian bencana besar
telah terjadi di Indonesia, antara lain: bencana gempa dan tsunami Aceh (2004), gempa
tektonik Yogyakarta (2006), Tasikmalaya (2009), Sumatra Barat (2010), gempa dan tsunami
Mentawai (2010), tanah longsor Wassior di Papua Barat (2010) dan letusan Gunung Merapi
Yogyakarta (2010), gempa bumi di Lombok NTB (29 Juli 2018), gempa tsunami dan
likuifaksi di Palu dan Donggala Sulawesi Tengah (28 September 2018), tsunami di Selat
Sunda (22 Desember 2018). Kejadian bencana telah membawa korban ratusan jiwa dan
ratusan triliun rupiah dalam nilai ekonomi, bahkan beberapa desa tertelan bumi dan desa
hilang tersapu oleh bencana. Letusan Gunung Merapi yang tak kunjung reda, makin
mempertegas predikat NKRI sebagai negara sabuk api.

United Nation Internasional Strategy Of Disaster Reduction (UN-ISDR) membedakan


bencana menjadi lima kelompok yaitu:
1. Bahaya aspek Geologi, antara lain: Gempa Bumi, Tsunami, Gunung meletus, Landslide
(tanah longsor). Daerah rawan gempa bumi yang ada di Indonesia tersebar pada wilayah
dekat dengan zona penunjaman lempeng tektonik dan sesar aktif. Gempa yang
berpengaruh memicu terjadinya tsunami yakni gempa yang memiliki kekuatan skala di atas
6 SR, dan memiliki kedalaman kurang dari lima puluh kilometer.
2. Bahaya aspek Hidrometeorologi, diantaranya: banjir, kekeringan, angin puting beliung dan
gelombang pasang. Banjir umumnya terjadi ketika tingginya curah hujan di atas rata-rata
yang berakibat melebihi daya tampung sungai dan jaringgannya. Perilaku manusia
sepanjang dari hulu, sepanjang aliran sungai, hingga bagian bawah system sungai.

8
3. Bahaya aspek Lingkungan antara lain kebakaran hujan, kerusakan lingkungan, dan
pencemaran limbah.
4. Bahaya beraspek Biologi, antara lain wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman,
hewan/ternak. Beberapa indikasi awal terjadinya endemik misalnya, Avian Influenza/flu
burung, antraks, serta beberapa penyakit hewan lainnya yang mengakibatkan kerugian
bahkan kematian.
5. Bahaya beraspek teknologi antara lain kecelakaan transportasi, kecelakaan industri dan
kegagalan teknologi. Dari beberapa klasifikasi yang disampaikan oleh UN-ISDR, secara
keseluruhan, pernah terjadi dan dialami negara Indonesia, tentu kita masih ingat bencana
tsunami di Aceh tahun 2004, bencana banjir dan tanah longsor di Wasior, kebakaran hutan
yang terjadi belum lama ini, semburan lumpur panas dan lainnya. (Indiyanto, 2012).

Berdasarkan penyebab bencana diklasifikasikan menjadi tiga yaitu bencana alam (antara
lain: banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, kekeringan, puting beliung, erupsi gunung
api), bencana non alam (antara lain: wabah penyakit, gagal teknologi, gagal modernisasi), dan
bencana sosial (antara lain: konflik sosial, tawuran, perebutan sumberdaya, pencemaran).
Bencana yang dikategorikan bencana alam adalah seluruh bencana yang terjadi karena
fenomena alam yang menimbulkan kerugian baik lingkungan maupun material. Bencana yang
non alam adalah bencana yang disebabkan oleh bukan faktor alam atau faktor manusia,
sedangkan bencana sosial adalah jenis bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia yakni
segala aktifitas manusia baik yang menyangkut kegiatan ekonomi maupun yang lainnya dan
mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup.
Klasifikasi bencana alam berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Bencana alam Geologis, bencana alam ini disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari
dalam bumi (gaya endogen). Atau biasa disebut bencana alam yang terjadi akibat
bergeraknya lempeng bumi, yang termasuk dalam bencana alam geologis adalah gempa
bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. Bencana yang diakibatkan oleh faktor geologis
biasanya banyak menelan korban dan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian
baik secara material maupun kerugian non material. Bencana alam geologis merupakan
bencana alam yang paling banyak menelan korban jiwa di Indonesia.
2. Bencana alam Klimatologis, bencana alam klimatologis merupakan bencana alam yang
disebabkan oleh faktor cuaca dan iklim, Contoh bencana alam klimatologis adalah banjir,

9
badai, banjir bandang, angin puting beliung, kekeringan, dan kebakaran alami hutan (bukan
oleh manusia) kebakaran alami biasa terjadi ketika musim kemarau dan sangat kering.
Gerakan tanah (longsor) termasuk juga bencana alam, walaupun pemicu utamanya adalah
faktor klimatologis (hujan), tetapi gejala awalnya dimulai dari kondisi geologis (jenis dan
karakteristik tanah serta batuan dan sebagainya). Bencana alam klimatologis yang terjadi
belakangan ini diakibatkan oleh perubahan iklim global yang terjadi di seluruh dunia.
3. Bencana alam Ekstra-Terestrial, bencana alam Ekstra-Terestrial adalah bencana alam yang
terjadi di luar angkasa, contoh: hantaman/impact meteor. Bila hantaman benda-benda
langit mengenai permukaan bumi maka akan menimbulkan bencana alam yang dahsyat
bagi penduduk bumi. Gejala alam yang dapat menimbulkan bencana alam pada dasarnya
mempunyai karakteristik umum, yaitu gejala awal, gejala utama, dan gejala akhir. Dengan
demikian, jika kita dapat mengetahui secara akurat gejala awal suatu bencana alam,
kemungkinan besar kita dapat mengurangi akibat yang ditimbulkannya.

C. Pengelolaan Bencana
Secara teoritis terdapat lima model pengelolaan bencana (Maguire &Hagan, 2007;
Setyowati, 2017). Implementasi atau penerapan model pengelolaan bencana tergantung pada
kondisi dan kerentanan bencana suatu wilayah.
a. Disaster management continuum model, model pengelolaan bencana ini merupakan
model yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah
diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi
emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early
warning.
b. Pre-during-post disaster model, model pengelolaan bencana ini membagi tahap kegiatan
di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana,
selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan
disaster management continuum model.
c. Contract-expand model, model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada
pengelolaan bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation,
preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan
bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana

10
tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain
seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.
d. The crunch and release model, model pengelolaan bencana ini menekankan upaya
mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka
bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
e. Disaster risk reduction framework, merupakan model pengelolaan bencana yang
menekankan pada upaya pengelolaan bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam
bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko
bencana.

Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen


pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability), bekerja bersama secara
sistematis, sehingga dapat diperkirakan risiko (risk) yang akan dihadap komunitas. Bencana
terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding
dengan tingkat ancaman yang mungkin terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila
komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau
bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut. Tentu sebaiknya tidak dipisah-pisahkan
keberadaannya, sehingga bencana itu terjadi dan upaya-upaya peredaman risiko itu
dilakukan. Bencana terjadi apabila masyarakat dan sistem sosial yang lebih tinggi yang
bekerja padanya tidak mempunyai kapasitas untuk mengelola ancaman yang terjadi padanya.
Ancaman, pemicu dan kerentanan tidak hanya bersifat tunggal, tetapi dapat hadir secara
jamak, baik seri maupun paralel, sehingga disebut bencana kompleks (Paripurno, 2008).
Bencana dalam kenyataan keseharian menyebabkan: 1) berubahnya pola-pola kehidupan
dari kondisi normal, 2) merugikan harta benda dan jiwa manusia, 3) merusak struktur sosial
komunitas, serta 4) memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi atau komunitas. Oleh karena
itu bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan akan membuat komunitas
semakin rentan. Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi lingkungan fisik, sosial dan
ekonomi yang tidak aman yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh
tekanan dinamis internal maupun eksternal, misalnya di komunitas institusi lokal
berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki. Tekanan dinamis terjadi karena
terdapat akar permasalahan yang menyertainya. Akar permasalahan internal umumnya
karena komunitas tidak mempunyai akses sumberdaya, struktur dan kekuasaan, sedang

11
secara eksternal karena sistem politik dan ekonomi yang tidak tepat. Karenanya pengelolaan
bencana perlu dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas dan menangani
akar permasalahan untuk mereduksi risiko secara total.
Pengkajian risiko bencana (PRB) merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan
potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang ada. Potensi
bencana (Risk) merupakan fungsi dari bahaya (Hazard), kerentanan (Vulnerability), dan
kapasitas (Capacity) pada suatu kawasan. Pengkajian risiko dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus umum sebagai berikut.
R (Risk) = H (hazard) * [V(vulnerability)/ C(capacity)]
Bencana (disaster) adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa yang
membahayakan (hazard) pada komunitas yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat
(capacity) tidak dapat mengatasi berbagai implikasi dari kejadian luar biasa tersebut.
Pengelolaan bencana pada dasarnya berupaya untuk menghindarkan masyarakat dari bencana
baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya hazard, mengatasi kerentanan
(vulnerable), dan meningkatkan kemampuan (capacity) dalam menghadapi bencana.

Upaya pengelolaan bencana dari beberapa jenis bencana yang sering terjadi di Indonesia
diuraikan sebagai berikut.
1. Bencana Banjir
Banjir merupakan proses alam dan bencana yang sangat mengkhawatirkan bagi
penduduk yang tinggal di sekitar sungai-sungai besar. Jenis banjir meliputi: genangan,
banjir lokal, banjir kiriman, banjir pasang surut air laut (Rob), banjir bandang. Faktor-
faktor penyebab banjir disamping curah hujan sebagai sumber utama penyebab banjir,
kondisi biofisik wilayah juga ikut menentukan. Curah hujan yang sangat tinggi atau salju
yang meleleh secara cepat di daerah-daerah tangkapan air, membawa air lebih banyak lagi
ke dalam sistem hidrologi. Sedimentasi dasar-dasar sungai akibat kerusakan lahan pada
hulu DAS dapat memperburuk kejadian banjir. Air pasang tinggi bisa membanjiri kawasan
pantai, atau laut-laut terdorong masuk ke dalam daratan oleh badai angin.
Mekanisme kerusakan akibat banjir adalah genangan dan aliran air dengan tekanan
mekanis air mengalir secara cepat. Arus yang bergerak atau bergejolak dapat meruntuhkan
dan menghanyutkan orang-orang dan binatang di kedalaman air yang relatif dangkal saja.
Puing-puing yang terbawa oleh air juga merusak dan melukai. Bangunan-bangunan rusak

12
arena pondasi-pondasi yang tergerogoti oleh air dan tiang-tiang penyangga. Lumpur,
minyak dan polutan-polutan lain yang terbawa oleh air menjadi tertimbun dan merusak
tanaman pangan dan isi-isi bangunan. Banjir dapat merusak sistem-sistem pembuangan
kotoran, mengakibatkan polusi terhadap tempat-tempat persediaan air dan bisa
menyebarkan penyakit. Kejenuhan tanah bisa menyebabkan tanah longsor atau rusaknya
tanah (Coburn, et al. 1994)
Strategi-strategi mitigasi utama terhadap banjir adalah, mengatur tata guna tanah dan
perencanaan lokasi untuk menghindari dataran berpotensi banjir menjadi tempat dari
elemen-elemen yang rentan. Rekayasa bangunan di dataran banjir untuk menahan kekuatan
banjir dan rancangan lantai yang ditinggikan. Infrastruktur yang tahan rembesan.
Partisipasi masyarakat, dapat digiatkan dalam bentuk pembersihan sedimentasi, konstruksi
parit. Kesadaran akan adanya denah banjir. Rumah-rumah yang dibangun tahan terhadap
banjir (material tahan banjir, pondasi-pondasi yang kuat) Praktek-praktek pertanian yang
cocok dengan banjir. Kesadaran akan penebangan hutan. Praktek-praktek yang ada
merefleksikan kesadaran: daerah-daerah penyimpanan dan ruang tidur yang berada tinggi
dari permukaan tanah. Kesiapan evakuasi banjir, perahu-perahu dan peralatan
penyelamatan.

2. Bencana Longsor
Bencana longsor atau tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang
umumnya berskala kecil dan kejadiannya tidak sedramatis kejadian gempa bumi maupun
gunung meletus, sehingga perhatian pada masalah ini umumnya tidak besar, begitu juga
dengan bahayanya kurang diperhatikan dalam perencanaan pembangunan. Tanah longsor
dapat menghancurkan bangunan-bangunan, jalan-jalan, pipa-pipa dan kabel-kabel baik oleh
gerakan tanah yang berasal dari bawah atau dengan cara menguburnya. Longsornya lereng
yang terjadi secara tiba-tiba dapat menjebolkan tanah yang berada di bawah tempat-tempat
hunian dan menghempaskan bangunan-bangunan tersebut ke lereng bukit. Runtuhan batu
mengakibatkan kerusakan dari pecahan batu yang terbuka menghadap batu-batu besar yang
berguling dan menabrak tempat-tempat hunian dan bangunan-bangunan. Aliran puing-
puing di tanah yang lembek, bergerak mengisi lembah-lembah mengubur tempat-tempat
hunian, menutup sungai-sungai maupun jalan.

13
Penyebab kejadian tanah longsor berupa kekuatan-kekuatan gravitasi yang dipaksakan
pada tanah-tanah miring, melebihi kekuatan memecah ke samping yang mempertahankan
tanah-tanah tersebut pada posisinya. Kandungan air yang tinggi menjadikan tanah menjadi
lebih berat, sehingga meningkatkan beban, apalagi kalau terdapat rekahan-rekahan. Curah
hujan yang lebat akan menyebabkan air masuk ke tanah dan membawa partikel tanah
bergerak secara grafitasi sehingga terjadi tanah longsor.
Parameter untuk mengukur kedahsyatan bahaya longsor adalah volume material yang
dikeluarkan (meter3), daerah yang terkubur atau terlanda, kecepatan (cm/hari), ukuran
batu-batu besar. Kajian terhadap bahaya yang ditimbulkan dan pembuatan peta-peta,
dilakukan melalui identifikasi dari tanah longsor sebelumnya atau kegagalan-kegagalan
tanah lewat survey geoteknik. Pemetaan tipe-tipe tanah (geologi permukaan tanah) dan
sudut-sudut kemiringan (kontur topografi). Pemetaan senyawa-senyawa air, drainase dan
hidrologi. Identifikasi tempat pembuangan sampah buatan, gundukan-gundukan sampah
buatan manusia, lubang-lubang sampah, tumpukan-tumpukan sampah di pabrik.
Strategi-strategi mitigasi utama dilakukan melalui perencanaan lokasi untuk
menghindari daerah-daerah yang berbahaya, kawasan terjal dan berlereng. Terutama pada
tempat-tempat hunian atau lokasi bangunan penting. Rekayasa bangunan dapat dilakukan
untuk menahan atau mengakomodir potensi gerakan tanah berupa: pondasi tiang pancang
untuk perlindungan terhadap pencairan, sarana yang fleksibel tertanam di bawah tanah.
Pada wilayah tertentu dapat dilakukan relokasi tempat-tempat hunian dan infrastruktur
untuk melindungi masyarakat.
Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan mengenali potensi instabilitas tanah dan
mengidentifikasi tanah longsor yang aktif, menghindari pembangunan rumah di lokasi-
lokasi yang berbahaya, mengidentifikasi adanya rekahan kecil dan berupaya untuk segera
menutupnya. Rekayasa dapat dilakukan dengan membuat konstruksi bangunan dengan
pondasi yang kuat, melakukan pemadatan tanah, rekayasa stabilisasi lereng lewat terasering
dan reboisasi.

3. Kekeringan
Kekeringan berkaitan dengan ketersediaan air atau suplai air pada suatu wilayah,
ketersediaan air berkurang maka akan terjadi bencana kekeringan. Kekeringan merupakan
fenomena hidrologi yang paling kompleks, mewujudkan dan menambahkan isu-isu yang

14
berkaitan dengan iklim, tata guna lahan, norma pemakaian air serta manajemen seperti
persiapan, antisipasi dsb. Bencana kekeringan prosesnya berjalan lambat sehingga
dikatakan sebagai bencana merangkak.
Kekeringan terutama disebabkan oleh fluktuasi-fluktuasi berkala jangka pendek dalam
hal jumlah curah hujan, adanya perubahan iklim jangka panjang, desertifikasi yang
disebabkan oleh hilangnya vegetasi dan diikuti oleh erosi tanah, terlalu banyaknya lahan
penggembalaan dan manajemen tanah yang jelek.
Upaya untuk mengurangi bahaya kekeringan tidak bisa dikendalikan, desertifikasi bisa
dikurangi dengan praktek-praktek manajemen tanah yang diperbaiki, manajemen hutan,
bendungan-bendungan rembesan, irigasi dan manajemen padang rumput. Upaya
peringatan dini terhadap bencana sulit dilakukan karena sifat bencana berjalan lambat,
periodenya bertahun-tahun, banyak peringatan dari tingkat curah hujan, sungai, sumur dan
tingkat cadangan air, indikator kesehatan manusia dan binatang. Serangan kekeringan yang
hebat dapat menyebabkan kematian ternak, meningkatnya kematian bayi, dan migrasi.
Elemen yang paling beresiko terhadap tanaman pangan dan hutan, kesehatan manusia
dan hewan, semua aktivitas ekonomi tergantung pada suplai air yang terus-menerus;
keseluruhan tempat-tempat hunian manusia jika terjadi kekeringan berkepanjangan.
Strategi mitigasi bencana kekeringan meliputi pembagian air, pelindungan atau
penggantian tempat cadangan air yang rusak dengan manajemen dataran tinggi di mana
sungai mengalir, konstruksi bendungan, pipa-pipa atau terowongan air; perlindungan tanah
dan pengurangan tingkat erosi dengan menggunakan bendungan- bendungan pengontrol,
menyeragamkan penanaman, manajemen ternak; pengurangan penebangan kayu dengan
tungku-tungku bahan bakar yang diperbaiki, pengenalan pertanian dan pola-pola tanam
yang fleksibel; pengendalian penduduk; program-program pelatihan dan pendidikan.
Partisipasi masyarakat dalam mengurangi bencna kekeringan dengan melakukan
konstruksi bendungan pengontrol, meningkatkan cadangan air, sumur-sumur, tangki-tangki
air, penanaman dan penghutanan; perubahan pola-pola tanam; memperkenalkan kebijakan-
kebijakan konservasi air; mengubah praktek-praktek manajemen peternakan; pembangunan
alternatif industri-industri non-pertanian.

4. Gempa Bumi

15
Mekanisme kerusakan dari gempa bumi, energi getaran yang dikirimkan lewat
permukaan bumi berdasarkan kedalaman. Getaran menyebabkan kerusakan dan
menghancurkan bangunan-bangunan, yang pada gilirannya bisa membunuh dan melukai
orang-orang yang bertempat tinggal di situ. Getaran juga mengakibatkan tanah longsor,
pencairan, runtuhnya bebatuan dan kegagalan-kegagalan daratan yang lain, yang merusak
tempat-tempat hunian di dekatnya. Getaran juga memicu kebakaran berganda, kecelakaan
industri atau transportasi dapat memicu banjir melalui jebolnya bendungan dan tanggul
penahan banjir.
Penyebab gempa bumi adalah pelepasan energi oleh penyesuaian-penyesuaian geofisik
jauh di kedalaman bumi sepanjang daerah retakan yang terbentuk di dalam kerak bumi,
proses tektonis dari gerakan benua yang lamban di atas permukaan bumi, pergeseran
geomorfologi, adanya aktivitas vulkanis. Parameter kedahsyatan diukur dari skala ukuran
(Richter, Momen Seismik). Ukuran skala richter menunjukkan jumlah energi yang
dikeluarkan pada episenter - ukuran dari satu daerah yang terlanda gempa bumi secara
kasar terkait dengan jumlah energi yang dikeluarkan. Skala intensitas (Mercalli yang
dimodifikasi, MSK) menunjukkan kekuatan dari getaran bumi pada satu lokasi-kekuatan
getaran juga terkait dengan banyaknya energi yang dikeluarkan, jarak dari episenter gempa
bumi dan kondisi-kondisi tanah setempat.
Pengkajian bahaya dan teknik-teknik pemetaan dilakukan berdasarkan fenomena
kejadian gempa masa lampau, pencatatan yang akurat dari luas lahan dan pengaruhnya,
kecenderungan gempa bumi untuk muncul lagi di daerah-daerah yang sama setelah masa
seratus tahun, ataupun identifikasi dari sistem retakan gempa dan daerah sumber gempa.
Dalam kasus-kasus yang langka, sangat memungkinkan untuk mengidentifikasikan faktor
penyebab keretakan.
Gempa bumi terjadi secara tiba-tiba dan seketika, sehingga upaya peringatan dini sulit
dilakukan. Sampai sekarang tidak memungkinkan untuk meramalkan munculnya gempa
bumi dalam jangka pendek dengan tepat. Elemen-elemen yang paling beresiko terhadap
gempa bumi adalah kumpulan-kumpulan bangunan yang lemah dengan tingkat hunian
yang tinggi. Bangunan yang didirikan tanpa perhitungan teknik sipil akan menyebabkan
bangunan mudah runtuh. Kejadian gempa akan meruntuhkan bangunan dengan atap yang
berat, bangunan tua dengan kekuatan samping yang kecil, bangunan-bangunan yang
berkualitas rendah atau bangunan-bangunan dengan konstruksi-konstruksi yang cacat.

16
Strategi mitigasi utama dengan melakukan rekayasa bangunan-bangunan untuk
menahan kekuatan-kekuatan getaran; menegakkan undang-undang bangunan gempa;
kepatuhan terhadap persyaratan-persyaratan undang-undang bangunan dan dorongan akan
standar kualitas bangunan yang lebih tinggi; konstruksi dari bangunan-bangunan sektor
umum dibuat menurut standar tinggi dari rancangan teknik sipil; memperkuat
bangunan-bangunan yang sudah ada yang diketahui rentan.
Partisipasi masyarakat dalam digiatkan melalui kegiatan membuat konstruksi bangunan
tahan gempa dan keinginan untuk bertempat tinggal di dalam rumah-rumah yang aman
terlidung dari kekuatan-kekuatan gempa. Kesadaran akan resiko gempa bumi. Aktivitas
dan Pengaturan isi bangunan dilakukan dengan selalu mempertimbangkan adanya
kemungkinan getaran bumi. Sumber-sumber kebakaran yang terbuka, peralatan yang
berbahaya dan sebagainya dibuat stabil dan aman. Pengetahuan tentang apa yang harus
dilakukan pada saat terjadi suatu gempa bumi, partisipasi dalam latihan-latihan gempa
bumi, praktek-praktek, program-program kesadaran umum. Kelompok-kelompok aksi
masyarakat terhadap perlindungan: pelatihan pemadaman kebakaran dan bantuan pertama.
Persiapan memadamkan kebakaran, alat-alat penggalian dan peralatan perlindungan sipil
yang lain. Rencana-rencana perkiraan untuk pelatihan anggota-anggota keluarga pada
tingkat keluarga.

5. Letusan Gunung Berapi


Letusan eksplosif atau bertahap, yang mengeluarkan abu panas, aliran pyroklastik, gas
dan debu. Kekuatan-kekuatan letusan bisa menghancurkan bangunan-bangunan, hutan-
hutan dan infrastruktur yang dekat dengan gunung berapi dan gas-gas beracun bisa
mematikan. Abu panas jatuh sejauh berkilo-kilo meter di sekitar gunung, membakar dan
mengubur tempat-tempat hunian. Debu bisa terbawa angin dalam jarak yang jauh, dan
jatuh sebagai polutan di tempat-tempat hunian yang jauh sekali jaraknya. Lava cair yang
dilepas dari kawah vulkanis dan bisa mengalir berkilo-kilo meter jauhnya sebelum akhirnya
membeku. Panas lava akan membakar sebagian besar barang-barang yang berada pada
jalur aliran lava. Gunung-gunung berapi bersalju menderita karena cairnya es yang
menyebabkan aliran-aliran puing-puing dan tanah longsor yang bisa mengubur bangunan--
bangunan. Letusan gunung berapi bisa mengubah pola-pola cuaca setempat, dan

17
menghancurkan ekologi setempat. Gunung berapi juga menyebabkan gerakan kuat ke atas
dari daratan selama proses pembentukannya (Coburn, et al., 1994).
Penyebab letusan gunung api berasal dari keluarnya magma dari kedalaman bumi,
terkait dengan penutupan arus-arus konveksi. Parameter kedahsyatan diukur dari volume
materi yang dikeluarkan. Daya letusan dan lamanya letusan, radius jatuhnya, dan dalamnya
endapan debu. Penilaian bahaya dan teknik pemetaan, dilakukan melalui identifikasi dari
gunung berapi aktif. Gunung berapi secara cepat dapat diidentifikasi dengan karakteristik
geologi dan topografi. Aktivitas dari catatan-catatan historis dan analisa-analisa geologis.
Observasi seismik dapat menentukan apakah satu gunung berapi masih aktif atau tidak.
Upaya untuk mengurangi bencana ini dengan membuat aliran lava dan aliran puing-puing
yang bisa disalurkan, dibendung dan dibelokkan menjauh dari tempat-tempat hunian
sampai pada satu tingkat, dengan pekerjaan-pekerjaan teknik sipil.
Letusan gunung api mungkin terjadi bertahap atau eksplosif. Monitoring seismik dan
geokimia, alat pengukur kemiringan, dan detektor-detektor aliran lumpur mungkin bisa
mendeteksi penghimpunan tekanan dalam waktu beberapa jam dan beberapa hari sebelum
terjadi letusan. Deteksi aliran lumpur, monitor-monitor geoteknis dan alat pengukur
kemiringan adalah beberapa strategi-strategi monitoring yang ada. Evakuasi penduduk jauh
dari lingkungan-lingkungan gunung berapi sering memungkinkan.
Elemen-elemen yang paling beresiko berupa apapun yang berada dekat dengan
gunung berapi. Atap-atap rumah atau bangunanbangunan yang mudah terbakar. Persediaan
air yang rentan kejatuhan debu. Bangunan yang lemah bisa runtuh di bawah
tekanan-tekanan abu. Tanaman pangan dan ternak menjadi beresiko.
Strategi-strategi mitigasi utama melalui perencanaan lokasi untuk menghindari daerah-
daerah yang dekat dengan lereng-lereng gunung berapi yang digunakan untuk aktivitas--
aktivitas yang penting. Penghindaran terhadap kemungkinan kanal-kanal aliran lava.
Promosi akan bangunan-bangunan yang tahan api. Rekayasa bangunan untuk menahan
beban tambahan dari endapan abu. Partisipasi masyarakat dengan mengingatkan kesadaran
akan resiko gunung berapi. Identifikasi zona-zona bahaya. Kesiapan evakuasi.
Ketrampilan-ketrampilan pemadam kebakaran. Perlindungan bangunan-bangunan yang
kuat dan tahan api.

18
Pendekatan lain adalah lingkaran pengelolaan bencana (disaster management cycle) yang
terdiri dari dua kegiatan besar yaitu sebelum bencana dan setelah bencana (Gambar 4). Pertama
adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post
event). Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana berupa disaster preparedness
(kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi dampak bencana).
Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster response/emergency response (saat
terjadi bencana atau tanggap bencana) dan disaster recovery (kegiatan pemulihan atau
rehabilitasi). Pengurangan resiko bencana atau disaster reduction merupakan perpaduan dari
kegiatan mitigation dengan preparation/preparedness (Smit and Wandel, 2006; Hardoyo, 2011;
Nurjanah, dkk., 2011).

Gambar 4. Lingkaran Kegiatan Pengelolaan Bencana

Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka Undang-undang No. 24 tahun


2007 menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”. Rumusan penanggulangan bencana dari
Undang Undang tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu:
a. Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus.
b. Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang didasari risiko
bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

19
Pada serangkaian upaya pengelolaan bencana terdapat kegiatan Mitigasi Bencana.
Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari satu
bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari
aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali, dari yang fisik,
seperti membangun bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang prosedural, seperti
teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam suatu perencanaan
(Coburn, et al. 1994).
Mitigasi adalah sebuah upaya untuk melakukan perencanaan yang tepat untuk
meminimalkan dampak bencana. Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar
resiko-resiko yang ada dapat diminimalisir. Untuk itu diperlukan berbagai bentuk pendekatan
dalam menetapkan strategi mitigasi yang diperlukan. Upaya pencegahan (prevention) terhadap
munculnya dampak adalah perlakuan utama. Menurut Paripurno (2008), untuk mencegah banjir
maka perlu mendorong usaha masyarakat membuat sumur resapan, dan sebaliknya mencegah
penebangan hutan. Agar tidak terjadi kebocoran limbah, maka perlu disusun save procedure dan
kontrol terhadap kepatuhan perlakuan. Walaupun pencegahan sudah dilakukan, sementara
peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi (mitigation),
yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana
yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi
bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan untuk mengurangi resiko-resiko
dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan
tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Terdapat dua (2) bentuk mitigasi, yaitu
mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural dilakukan untuk memperkuat
bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan,
desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun
membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Mitigasi
non struktural berupa penyusunan peraturan, pengelolaan tata ruang, pelatihan perencanaan tata
ruang wilayah, serta upaya memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

D. Pendidikan Mitigasi Bencana


Membangun budaya pengurangan bencana secara permanen dan integrative dapat
dilakukan melalui Pendidikan. Tujuan dari upaya pendidikan adalah untuk mengubah perilaku

20
seseorang. Pendidikan bencana berupaya meningkatkan tindakan perlindungan, dengan
menyajikan informasi tentang bahaya dan risiko yang ditimbulkannya. Jika direncanakan dengan
efektif dan diterapkan dengan baik, pada akhirnya, orang akan terbiasa dengan praktik
keselamatan dalam segala bentuk tindakan terkait kebencanaan. Pendidikan Pencegahan dan
Pengurangan Risiko Bencana harus dirancang untuk membangun budaya aman dan komunitas
yang tangguh.
Pendidikan kebencanaan adalah salah satu solusi internal di masyarakat untuk
mengurangi dampak bencana, serta membiasakan masyarakat untuk tanggap dan sigap terhadap
bencana yang terjadi. Pendidikan kebencanaan bermacam-macam bentuknya dimulai dari
penangulangan bencana berbasis masyarakat, pendidikan kebencanaan untuk menuju masyarakat
sadar bencana, serta kearifan lokal masyarakat dalam menangani bencana (Preston, 2012;
Setyowati, 2007).
Pendidikan kebencanaan nasional merupakan gagasan besar yang banyak diinginkan oleh
banyak pihak tetapi sulit untuk dilembagakan. Para ahli pendidikan, pengelola, dan praktisi
pendidikan di lapangan semuanya menunggu. Walaupun demikian pendidikan kebencanaan
belum diterapkan di sekolah maupun masyarakat. Pendekatan yang dilakukan dengan
mekanisme mengajak seluruh lapisan masyarakat di lokasi bencana, baik keluarga, organisasi
sosial maupun masyarakat lokal. Metode ini dilakukan dengan pendampingan oleh universitas
atau perguruan tinggi yang berkompeten di bidang kebencanaan, program ini harus dilaksanakan
secara berkesinambungan antar waktu dan antar generasi.
Penanggulangan bencana berbasis masyarakat dalam hal ini dipahami sebagai upaya
meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat, agar mampu
menolong diri sendiri dan kelompoknya dalam menghadapi ancaman dan bahaya bencana.
Metode ini meliputi seluruh kegiatan tahapan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap
darurat, dan pemulihan. Penanggulangan bencana berbasis masyarakat intinya merupakan sebuah
cara penanggulangan yag berbasis masyarakat lokal. Cara ini mensyaratkan adanya sikap politik
yang memberikan keberpihakan kepada kepentingan komunitas lokal. pendekatan ini juga
menggunakan pendekatan lokal dan jenius lokal, di latar depan. Dalam praktiknya, pendekatan
ini mengakomodasi potensi dan modal sosial yang ada di masyarakat sebagai sumber daya dalam
melaksanakan program penanggulangan bencana. Sehingga diharapkan masyarakat akan tanggap
dan sadar bahwa mereka hidup di daerah rawan bencana (Retnowati, 2012; Nugroho, dkk.,
2012).

21
Pendidikan kebencanaan untuk menuju masyarakat sadar bencana adalah metode atau
pendekatan dengan pemahaman konsep-konsep yang berkaitan dengan kebencanaan, dalam
rangka mengembangkan pengertian dan kesadaran yang diperlukan untuk mengambil sikap
dalam melakukan adaptasi kehidupan di daerah rawan bencana. Arti dari pendidikan
kebencanaan yakni sebagai upaya sadar untuk menciptakan suatu masyarakat yang peduli,
memiliki pengetahuan, dan keterampilan dalam mengatasi permasalahan kebencanaan, serta
menghindari permasalahan kebencanaan yang mungkin akan muncul di saat mendatang.
Pemahaman masyarakat akan karakter bencana merupakan modal awal keselamatan
hidup di masa depan, mengingat pengalaman sejarah dan peristiwa bencana lebih banyak
menyisakan kepiluan dan penderitaan. Kejadian bencana yang terjadi di Indonesia merupakan
kejadian yang berulang hampir tiap tahunnya, akan tetapi masyarakat mudah untuk melupakan
kejadian yang terkadang menghancurkan dan mengakibatkan kerugian baik material, fisik,
maupun korban jiwa. Agaknya masyarakat Indonesia belum mampu menghadapi bencana
dengan sadar dan terkesan panik serta tidak pernah siap untuk menghadap bencana. Kesiapan
menghadapi bencana di Indonesia harus telah terpatri oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pentingnya pemahaman tentang bencana untuk masa sekarang hingga masa yang akan
datang secara eksplisit menunjukkan bahwa manusia untuk menyelamatkan diri dari ancaman
bencana harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan jaminan estafet antar generasi yang
dapat dipertanggungjwabkan. Dengan demikian fondasi awal kegiatan pendidikan kebencanaan
sejak dini menjadi bekal menuju masyarakat yang sadar akan bencana dari masa ke masa,
mengacu pendapat (Soetaryono, 1999) tentang pendidikan lingkungan, pendidikan kebencanaan
juga mampu disebut long life education.
Pendidikan kebencanaan merupakan aspek fundamental bangsa Indonesia untuk
membangun moral manusia Indonesia agar mampu menjunjung tinggi nilai etika lingkungan,
serta mau bertindak dan berpartisipasi dalam mencari jawab yang fundamental tentang
penanggulangan bencana. mengacu pada konsep pendidikan yang dikemukakan oleh The
Ministry of Education (2003) bahwa pendidikan kebencanaan tidak boleh terlepas dari empat
konsep kunci pendekatan, yaitu (1) Saling ketergantungan (Interdependency) (2) Keberlanjutan
(Sustainability) (3) Keanekaragaman (Diversity) (4) Tanggung jawab personal dan sosial aksi
(Personal And Sosial Responsibility For Action.
Keempat kunci tersebut menyatakan bahwa ketika membahas lingkungan kehidupan,
harus berpijak pada basis ekosentris, yang menjunjung tinggi nilai interdependensi, yaitu nilai

22
ekologis yang menyatakan bahawa mahluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait
satu sama lain. Menurut Keraf (2002), salah satu teori ekosentrisme yang populer disebut dengan
deep ecology tidak hanya memusatkan perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka
panjang. Inilah kunci keberlanjutan, pemahaman dari ketiga konsep tersebut. Secara bersama-
sama menjadi bekal manusia sebagai nilai etik dalam bertindak dan bertangung jawab dengan
antisipasi terhadap resiko terjadinya bencana.
Pendidikan kebencanaan pada hakikatnya merupakan salah satu aspek dari kehidupan
lingkungan. Konsepsi dari pendidikan kebencanaan merupakan proses pendidikan tentang
hubungan manusia dengan alam dan lingkungan binaan, termasuk tata hubungan manusia dengan
dinamika alam, pencemaran, alokasi pengurasan sumber daya alam, pelestarian alam,
transportasi, teknologi perencanaan kota dan pedesaan. Adapun sasaran pendidikan kebencanaan
sesuai dengan yang disampaikan Resolusi Belgrad International Conference On Environmental
Education (Soetaryono, 1999), diuraikan sebagai berikut.
1) Kesadaran, membantu individu ataupun kelompok untuk memiliki kesadaran dan kepekaan
terhadap lingkungan keseluruhan berikut permasalahan yang terkait.
2) Pengetahuan, membantu individu atau kelompok sosial memiliki pemahanam terhadap
lingkungan total, permasalahan yang terkait serta kehadiran, manusia yang menyandang peran
dan tanggung jawab penting di dalamnya.
3) Sikap, membantu individu atau kelompok sosial memiliki nilai-nilai sosial, rasa kepedulian,
yang kuat terhadap lingkungannya, serta motivasi untuk berperan aktif dalam upaya
perlindungan dan pengembangan lingkungan.
4) Ketrampilan, membantu individu atau kelompok sosial mengevaluasi persyaratan-persyaratan
lingkungan dengan program pendidikan dari segi ekologi, politik, ekonomi, sosial, estetika
dan pendidikan.
5) Peran serta, membantu individu atau kelompok sosial untuk dapat mengembangkan rasa
tanggng jawab, dan urgensi terhadapa suatu permasalahan lingkungan sehingga dapat
mengambil tindakan relevan untuk pemecahannya.
Bagi para pemerhati kebencanaan, pendidikan kebencanaan merupakan bagian dari
gerakan guna mengatasi efek bencana, di antaranya dengan cara mempersiapkan generasi yang
sadar dan arif melalui sebuah proses pendidikan yang memiliki muatan-muatan penyadaran
terhadap bencana. Sosialisasi sebagai media pendidikan kebencanaan bagi masyarakat. Salah
satu upaya yang dilakukan untuk menyampaikan informasi mengenai bencana dan pendidikan

23
kebencanaan adalah sosialisasi bencana. Kegiatan ini mempunyai kunci yakni dengan adanya
komunikasi massa, yang melibatkan interaksi antara komunikator dan media komunikan.
Menurut Sitepu, dkk., (2009) melalui komunikasi dapat ditampilkan gambaran
mengenani keadaan lingkungan lengkap dengan segala argumen ilmiah. Argumentasi legal dan
argumentasi moral. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi perubahan perilaku manusia yang
lebih baik. Bagaimanapun manusia dan masyarakat memiliki nilai-nilai dan akal sehat yang
mampu diajak bekerja sama memikirkan dan mempratekkan pola perilaku yang lebih kondusif di
dalam lingkungannya yang rawan akan bencana. hal-hal yang perlu diperhatikan agar sosialisasi
efektif adalah:
1) Kenali setiap sasaran dengan baik: hal ini dimaksudkan bahwa ketika kegiatan sosialisasi
akan dilakukan hendaknya kita mengenali subjek dan objek yang akan kita beri informasi, ini
penting karena semakin kita mengenalinya maka akan mempermudah dilakukan kegiatan
sosialisasi. Tentunya ini akan berbeda jika kita tidak mengenal objek dan subjek sasaran
sosialisasi.
2) Fokuskan pada upaya merubah perilaku: sosialisai yang baik adalah berusaha untuk merubah
perilaku dari yang sebelumnya kurang atau belum baik menuju ke perilaku yang lebih baik
dari senbelumnya, kaitannya dengan kebencanaan yakni perubahan perilaku ke arah sadar dan
tanggap terhadap bencana.
3) Kembangkan pesan-pesan yang mudah dimengerti, dalam sosialisasi hendaknya
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh semua kalangan, hal ini akan
mempermudah penyampaian pesan, karena dengan bahasa yang mudah dimengerti mereka
subjek sasaran sosialisasi juga akan semakin mudah faham dan akhirnya mampu menafsirkan
isi sosialisasi dan melaksanakan pesan tersebut.
4) Sampaikan pesan terus-menerus, penyampaian pesan dan informasi mengenani bencana dan
pendidikan bencana hendaknya dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan, hal ini
dimaksudkan agar sasaran sosialiasi tidak mudah lupa yang akan mengakibatkan pengulangan
sosialisasi.
5) Gunakan keanekaragaman media, keanekaragaman media dapat membantu terlaksananya
sosialisasi dengan lancar, karena dengan penggunaan media yang beragam maka sasaran
sosialiasi akan tidak mudah bosan.

24
Cakupan dimensi yang ada di pendidikan kebencanaan sangatlah luas dan merupakan
pendidikan seumur hidup, serta menyangkut kepentingan semua orang. Maka sebenarnya
sosialiasi bencana merupakan kegiatan membentuk peran serta atau partisipasi publik dalam
upaya penanggulangan bencana. hal penting selajutnya adalah upaya mencari cara-cara untuk
menciptakan serta memberi ruang publik sebagai wadah pemberdayaan penanggulangan bencana
yang berkelanjutan. Maka kegiatan sosialisasi ini diarahkan untuk memotivasi masyarakat agar
lahirnya ruang publik yang memunculkan suatu lembaga komunitas masyarakat tangguh
bencana.
Berangkat dari tingginya tingkat kerawanan bencana yang dihadapi oleh masyarakat,
menarik untuk dilakukan kajian bagaimana masyarakat mampu beradaptasi dengan alam dan
lingkungan sekitarnya. pada titik ini, kearifan lokal dijadikan objek kajian yang mempunyai
peran besar di masyarakat. Kearifan lokal masyarakat di dalam perancangan penanganan
bencana sangatlah penting, karena transfer pengetahuan mengenai kebencanaan akan sangat
mudah jika memanfaatkan kearifan lokal. Berbagai macam perubahan lingkungan sebagai akibat
dari bencana akan memberikan dampak terhadap keberlangsungan hidup mereka, baik positif
maupun negatif. Maka kearifan lokal muncul sebagai upaya mengelola perubahan yang mungkin
akan dihadapi, baik memperbesar peluang memperoleh keuntungan maupun memperkecil
dampak negatif yang diperoleh.
Kearifan lokal mempunyai tiga proses adaptasi yaitu; (1) mewariskan pengetahuan
mengenai bencana; (2) kontrol sosial masyarakat; (3) tindakan nyata. Ketiga proses tersebut
beriringan dan saling melengkapi, dan menjadi catatan yang menyertai kehidupan masyarakat.
(Marfai, 2012). Selain melalui transfer pengalaman, pengetahuan bencana dan fenomena alam
yang dimiliki oleh masyarakat seringkali dibingkai dalam sebuah konsensus atau kesepakatan.
Kesepakatan-kesepakatan tertentu disepakati bersama oleh komponen masyarakat, munculnya
kesepakatan secara tidak langsung memunculkan kontrol sosial di dalam masyarakat, baik norma
yang secara formal dilembagaan maupun sekedar nilai yang harus ditaati bersama. Berbagai
pihak dapat berperan dalam proses tersebut, bukan hanya wewenang tokoh tertentu yang
diberikan mandat, kontrol sosial juga seringkali dilakukan secara langsung antar anggota
masyarakat. Hal ini berdasarkan pada keyakinan bahwa mereka hidup di alam dan lingkungan
yang sama. Pelanggaran terhadap alam tidak hanya berdampak pada individu yang melanggar
akan tetapi juga dialami oleh masyarakat sekitar secara keseluruhan.

25
Urgensi kajian budaya dalam memahami bencana, seperti kearifan lokal, didasarkan pada
fakta bahwa bencana merupaka proses panjang, pengurangan risiko bencana tidak semata-mata
dimaknai sebagi upaya-upaya preventif atau tanggap darurat semata, namun juga sampai pada
tahap perencanaan dan rekonstruksi dan rehabilitasi fisik, ekonomi, lain-lain yang kesemuanya
mebutuhkan pertimbangan-pertimbangan sosial budaya (Winarna, 2012).
Bencana dalam hal ini dibagi kedalam 6 tahap yang berurutan dimana setiap tahapnya
terdapat pertanyaan-pertanyaan penting terkait keadaan sosial budaya masyarakat yang harus
dilihat (Marsella et all, 2008).
1) Tahap prabencana, dibutuhkan pengetahuan mengenai sejarah bencana disebuah daerah. Hal
tersebut tidak hanya berhenti pada catatan sejarah bencana yang pernah terjadi, namun
bagaimana bencana tersebut berpengaruh terhadap lingkungan, masyarakat, dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.
2) Tahap peringatan dan ancaman bencana, dalam kejadian bencana dibutuhkan pengetahuan
seberapa cepat bencana akan datang, dalam proses ini dibutuhkan analisis tentang peluang
mengoptimalkan segenap sumber daya yang ada. Selain itu, tahap ini dibutuhkan pula
pengetahuan mengenai sistem sosial yang dipercaya oleh masyarakat. Hal tersebut akan
berpengaruh terhadap sikap dan tanggapan masyarakat atas peringatan bencana yang akan
diberikan.
3) Kejadian bencana dan dampaknya, pengetahuan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah
kemampuan untuk mengidentifikasi jenis bencana yang dihadapi, bagaimana dampak yang
diperoleh, seberapa besar sumber daya manusia, sosial, teknis dan ekonomi yang dimiliki.
Serta pengetahuan masyarakat terhadap bencana dan dampaknya.
4) Tanggap darurat, perlu untuk melakukan analisis mengenai respons apa yang pertama kali
harus dilakukan, seberapa besar sumber daya masyarakat yang tersedia, apakah respons yang
diberikan oleh masyarakat cukup untuk menciptakan respons positif terhadap bencana,
ataukah mereka mebutuhkan bantuan pada pihak luar.
5) Tahap rekonstruksi, dalam proses ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah
bagaimana mengimplementasikan kebijakan rekonstruksi harus dijalankan. Seringkali
kegagalan dalam penanganan bencana akibat gagalnya rekonstruksi dan rehabilitasi.
6) Tahap pembelajaran bencana, Kejadian bencana akan memberikan pengalaman terhadap suatu
masyarakat di suatu wilayah. Dibutuhkan usaha untuk mengembangkan aktifitas mitigasi
bencana yang beroientasi pada masa depan, dengan melibatkan peran serta masyarakat.

26
Pemahaman bencana tidak hanya dimaknai sebatas bagaimana bencana itu terjadi, apa
dampaknya, dan bagaimana harus mengatasinya, namun perlu melihat juga faktor yang ada
dimasyarakat. Dalam konteks ini masyarakat tidak dapat terhenti dan harus menempatkan
mereka sebagai korban saja, melainkan mereka harus ikut diberdayakan untuk memegang
peranan penting dalam menangulangi bencana (Paton, 2003; Setyowati, 2017). oleh itu strategi
yang komprehensif yang mampu merangkul kearifan lokal dan pengetahuan pemerintah menjadi
penting untuk rumusan sebagai usaha pengurangan risiko bencana, maka sinergi antara
pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya akan mempunyai dampak signifikan dalam
penanggulangan bencana.
Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana atau lebih sering disebut
sebagai Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan sebuah kegiatan jangka
panjang dan merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan. Melalui pendidikan diharapkan
agar upaya pengurangan risiko bencana dapat mencapai sasaran yang lebih luas dan dapat
dikenalkan secara lebih dini kepada seluruh peserta didik, yang pada akhirnya dapat
berkontribusi terhadap kesiapsiagaan individu maupun masyarakat terhadap bencana.
PRB perlu dimasukkan ke dalam sektor pendidikan, di mana setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan penaggulangan
bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun situasi terdapat potensi bencana.
Melalui pendidikan dan pelatihan penanggulangan bencana baik secara formal dan non formal,
diharapkan budaya aman dan kesiapsiagaan menghadapi bencana dapat terus dikembangkan.
Dengan memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana diharapkan setiap orang mampu
untuk mengurangi ancaman dan kerentanan dalam menghadapi bencana melalui: a) pengenalan
dan pemantauan risiko bencana; b) partisipatisi dalam perencanaan penanggulangan bencana; c)
pengembangan budaya sadar bencana: d) peningkatan komitmen terhadap pelaku
penanggulangan bencana; dan e) penerapan upaya fisik, non-fisik, dan pengaturan
penanggulangan bencana.
Pendidikan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah diartikan sebagai pemikiran
dan upaya praktis untuk mengurangi atau menghilangkan segala bentuk risiko bencana dengan
mengedepankan dan/atau mengutamakan proses pembelajaran atau kegiatan edukatif lainnya
agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan budaya kesiapsiagaan dalam menghadapi
ancaman bahaya dari suatu bencana.

27
Pendidikan bencana untuk semua kalangan termasuk anak-anak adalah suatu keharusan,
karena anak-anak adalah kelompok yang paling rentan selama kejadian bencana, terutama yang
sedang bersekolah pada saat berlangsungnya kejadian. Pada saat bencana, gedung sekolah
hancur, mengurangi usia hidup murid sekolah dan guru yang sangat berharga dan terganggunya
hak memperoleh pendidikan sebagai dampak bencana.
Beberapa media yang dapat digunakan untuk melakukan pendidikan kebencanaan
meliputi: poster, brosur, buku panduan, komik, alat permainan (konvensional atau elektronik),
lembar balik, video, maupun berbagai alat peraga edukasi kebencanaan. Berikut ini disajikan
beberap gambar media edukasi kebencanaan yang dapat digunakan (Puspitawati, dkk., 2017).
1. Konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB)
Mekanisme penerapan SPAB di sekolah-sekolah rawan bencana dilakukan menggunakan
skema sebagai berikut.

2. Poster SPAB

Poster berisi gambar dan tulisan yang singkat, jelas, padat, dan langsung tepat sasaran serta
mudah dimengerti. Poster juga dirancang agar dapat dibaca orang yang sedang bergerak
(berkendara atau berjalan kaki) dan menarik perhatian. Ukuran konvensional dari poster
adalah kertas ukuran A3 sampai dengan A0. Di lingkungan sekolah, poster dapat digunakan
sebagai sarana agar peserta didik mengenali jenis-jenis bencana, tanda-tanda kejadian
bencana, bagaimana cara melakukan evakuasi, dll. Contoh poster sebagai berikut.

28
3. Komik Edukasi; merupakan salah satu jenis komik yang kini sedang berkembang di
masyarakat. Salah satu keunikan jenis komik ini adalah selain memiliki konten cerita dan
narasi komik pada umumnya, komik edukasi juga memiliki konten edukasi dan informasi
terkait subjek pelajaran yang disampaikannya, sehingga cocok digunakan untuk media
pembelajaran. Cerita bergambar merupakan media yang tepat untuk anak bermain sambil
belajar. Ketika anak melihat gambar, anak dilatih bermain motorik halusnya untuk
berimajinasi. Komik biasanya memiliki tokoh cerita yang menyampaikan pesan dan
informasi sesuai dengan alur cerita yang ada di dalam komik. Contoh komik kebencanaan
disajikan sebagai berikut.

29
4. Brosur, merupakan media komunikasi dalam ukuran kertas A4 atau A5 yang dapat dilipat
menjadi 3 atau 4 dan memiliki susunan headline, gambar dan informasi. Di dalamnya
berisi informasi tentang konsep sekolah aman. Contohnya adalah brosur Sekolah aman
yang komprehensif produk dari gabungan 12 lembaga di Indonesia. Media ini mudah
didistribusikan tapi jangkauannya terbatas dan ditujukan untuk khalayak umum.

5. Buku Panduan, dalam buku panduan berisi tentang cara mengembangkan SMAB di suatu
sekolah. Buku ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu manual dan penjelasannya. Dalam
manualnya berisi dua bagian modul dan yang kedua panduan untuk fasilitatornya. Judul 3
buku, yaitu : 1) Modul manual Ayo Siaga Bencana, 2) Panduan fasilitator Ayo Siaga
Bencana, 3) Pengurangan risiko berbasis remaja.

30
6. Lembar Balik, merupakan bahan pembelajaran yang dapat digunakan oleh tenaga
pendidik dalam sosialisasi dan implementasi kegiatan SPAB.

7. Video; Video adalah media yang mampu menampilkan gambar sekaligus suara dalam
waktu bersamaan. BNPB memiliki kanal Youtube yang berisikan video-video terkait
pendidikan kebencanaan. Video untuk KIE dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: video
dokumenter, video animasi atau kartun, film.

8. Alat Permainan; Untuk mempermudah belajar tentang kesiapsiagaan bencana, adaptasi


perubahan iklim dan materi terkait SPAB, dikembangkanlah sejumlah permainan, baik
permainan manual konvensional, maupun permainan elektronik. Alat bermain tersebut
diantaranya: Alat Permainan (Konvensional, Elektronik). Contohnya: Ular tangga Siaga
Bencana, Kartu Bergambar Sekolah/Madrasah Aman Bencana, Kartu Bergambar
Berukuran, Kuartet Sekolah/Madrasah Aman Bencana, Board Game/ Papan Permainan
PRB dan Api, Monopoli Sekolah/Madrasah Aman Bencana, Domino Sekolah/Madrasah

31
Aman Bencana dan PRB, Permainan kartu domino yang dimodifikasi muatan sekolah
aman bencana dan kesiapsiagaan bencana, dan Puzzle Sekolah/Madrasah Aman Bencana.

9. Alat Peraga; digunakan untuk membantu anak untuk belajar mengenai bencana. Alat
peraga yang ada saat ini adalah alat peraga gunung api. Terbuat dari tanah liat, dibuat
menyerupai gunung api berkawah, dengan kelengkapannya berupa soda kue dan air yang
diberikan pewarna merah. Contoh alat peraga sebagai berikut.

32
Untuk memulai pendidikan siaga bencana di sekolah, idealnya setiap sekolah melakukan
serangkaian proses kegiatan sebagai berikut:
1. Mengikuti pelatihan atau pembekalan tentang penanggulangan bencana dan pengurangan
risiko bencana,
2. Mengenali risiko bencana di sekitar lokasi sekola,
3. Merencanakan integrasi kurikulum ke dalam Rencana Belajar Tahunan, Bulanan,
Mingguan dan Harian dan pemantauan hasil belajar dengan cara: mengintegrasikan
materi PRB ke dalam bahan belajar; mengintegrasikan materi PRB ke dalam mata
pelajaran pokok dan muatan lokal; mengintegrasikan materi PRB ke dalam program
pengembangan diri,
4. Menyelenggarakan mata pelajaran Pendidikan PRB Memadukan pendidikan kesiagaan
bencana ke dalam kebijakan sekolah.

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi


risiko bencana yang dilakukan melalui penyadaran, peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana dan/ atau penerapan upaya fisik dan non fisik yang dilakukan oleh anggota
masyarakat secara aktif, partisipatif dan terorganisir. Secara umum, tujuan pelaksanaan kegiatan
PRB pada masyarakat/komunitas adalah:
1. Meningkatkan kesiapan masyarakat dalam PRB berbasis komunitas,
2. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pembangunan berbasis PRB,
3. Menyusun rencana pembangunan masyarakat berbasis PRB secara partisipatif,dan
4. Melaksanakan model pembangunan berbasis PRB.

33
Prinsip-prinsip dasar PRB berbasis masyarakat adalah sebagai berikut (Maguire & Hagan, 2007;
Izadkhah, 2005).
a. Cepat dan tepat, penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat
sesuai dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan akan berdampak
pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa;
b. Prioritas, apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia;
c. Koordinasi dan keterpaduan, penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang
baik dan saling mendukung. Prinsip keterpaduan adalah penanggulangan bencana
d. dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik
dan saling mendukung;
e. Berdaya guna, kegiatan penanggulangan bencana harus berdaya guna khususnya
mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga dan biaya yang
berlebihan;
f. Transparansi dan akuntabilitas, penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan;
g. Kemitraan, mengutamakan kerjasama antara individu, kelompok atau organisasi untuk
melaksanakan kegiatan dan mencapai tujuan bersama;
h. Partisipatif, masyarakat terlibat aktif pada setiap proses pengambilan keputusan
pembangunan dan secara gotong royong menjalankan pembangunan;
i. Non-diskriminatif, bahwa dalam penanggulangan bencana tidak memberi perlakukan
berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran kepercayaan.

Langkah-langkah pengintegrasian kesiapsiagaan menghadapi bencana ke dalam mata


pelajaran dapat dilakukan melalui identifikasi materi pembelajaran tentang bencana dan
kesiapsiagaan bencana (Setyowati, dkk., 2015). Materi pembelajaran (instructional materials)
adalah bahan yang diperlukan untuk pembentukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
harus dikuasai peserta didik dalam rangka memenuhi standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang ditetapkan. Materi pembelajaran terdiri dari:
1. Materi fakta, yaitu materi pembelajaran yang berupa kenyataan dan kebenaran, meliputi
nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau
komponen suatu benda, dan sebagainya;
2. Materi konsep, yaitu materi pembelajaran yang berupa pengertian-pengertian baru yang bisa
timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakekat, inti/ isi
dan sebagainya;
3. Materi prinsip, yaitu materi pembelajaran yang berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki
posisi terpenting, meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta
hubungan antar konsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat;

34
4. Materi prosedur, yaitu materi pembelajaran yang meliputi langkah-langkah sistematis atau
berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu sistem;
5. Materi sikap atau nilai, yaitu materi pembelajaran yang merupakan hasil belajar aspek
afektif, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat
belajar serta bekerja, dsb.

Pendidikan yang peduli dengan pengurangan risiko bencana dilakukan dengan


memberikan pendidikan didasarkan pada bukti bahwa pendidikan berkontribusi terhadap
pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk kesiapsiagaan bencana (Gambar 6).

Gambar 6. Bentuk Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Pembelajaran

DAFTAR PUSTAKA
BNPB. 2017. Buku Saku: Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana.
Building Research Institute (BRI). 2007. Disaster Education. Paris: UNESCO.
Coburn, A., Sspence, R.J.S., Antonios Pomonis. 1994. Vulnerability and Risk Assessment.
Edition: 2nd. Publisher: Cambridge Architectural Research Limited
Eka, Mariska. 2012. Menuju Perubahan Kesiapan Dalam Menghadapi Bencana Alam.
Jogjakarta: Mizan.
Gustavo. I.a 1995. Bencana dan Lingkungan. UNDP
Haque , C. Emdad. Risk assessment, emergency preparedness and response to hazards: the case
of the 1997 red river flood. Jurnal. Canada: Brandon University.

35
Hardoyo, S.R., Marfai, M.A., Ni’mah, N.M., Mukti, R.Y., Zahro, Q., Halim, A. 2011. Strategi
Adaptasi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut di Kota
Pekalongan. Yogyakarta: MPPDAS Universitas Gadjah Mada
Indiyanto, Agus. 2012. Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana. Yogyakarta: Mizan.
Izadkhah, Y. O., & Hosseini, M. (2005). Towards resilient communities in developing countries
through education of children for disaster preparedness. International journal of
emergency management, 2(3), 138-148.
Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit buku kompas, Jakarta
Maguire, B., & Hagan, P. (2007). Disasters and communities: understanding social
resilience. Australian Journal of Emergency Management, The, 22(2), 16.
Marfai dan Khasanah. 2012. Kerawanan dan Kemampuan Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap
Bahaya Banjir Genangan dan Tsunami. Bandung: Mizan Media Utama
Marfai, Aris. 2012. Kerawanan Dan Kemampuan Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap Bahaya
Banjir Dan Tsunami. Jogjakarta: Mizan.
Marfai, M.A., King, L., Sartohadi, J., Sudrajat, S., Budiani, S.R., and Yulianto, F. 2008. “The
Impact of Tidal Flooding on a Coastal Community in Semarang Indonesia”,
Environmentalist, 28: 237-248.
Marsella, A., Johnson, J., Watson, P., and Gryczynski, J., editors. 2008. Ethnocultural
Perspectives on Disaster and Trauma – Foundation, Issues, and Application. Springer
Scinece. Business Media. LLC, 2008.
Messner, F.& Meyer, V. 2005. “Flood Damage, Vulnerability, an RiskPerception: Challenge for
Flood Damage Research”, UFZ Discussion Paper, Leipzig-Halle
Nugroho Kharisma, Kristanto Endro, Andari Bekti Dwi, Kridanta Setyawan J. 2012. Modul
Peatihan Dasar Penanggulangan Bencana. Jakarta Pusat: PNPB.
Nurjanah, R. Sugiharto, Kuswanda Dede, Siswanto BP, Adikoesoemos. 2011. Manajemen
bencana. Jakarta: ALFABETA BANDUNG.
Paripurno, ET. 2008. Manajemen resiko bencana berbasis komunitas: Alternatif dari bawah.
Jurnal Dialog Kebijakan Publik.
Paton, D. (2003). Disaster preparedness: a social-cognitive perspective. Disaster Prevention and
Management: An International Journal, 12(3), 210-216.
Preston, J. (2012). What is disaster education?. In Disaster Education (pp. 1-10). Sense
Publishers, Rotterdam.
Puspitawati, PD., Pantjastuti, SR., Kurniawan, L, Praptono, Tebe Yusra. 2017. Pendidikan
tangguh Bencana (mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Indonesia). Jakarta:
Dirjendikdasmen, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Rachman, Maman. 2011. Model Pembelajaran Masyarakat Menuju Perilaku Tanggap Diri Di
Daerah Rawan Bencana Banjir. Semarang: UNNES PRESS.
Ramli, Koehatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana. Jakarta: Dian Rakyat.
Retnowati, Arry. 2012. Menuju Masyarakat Tangguh Bencana. Jogjakarta: Mizan.

36
Sastrodihardjo, S., 2012. Upaya Mengatasi Masalah Banjir Secara Menyeluru, PT. Mediatama
Saptakarya, Jakarta
Setyowati, Dewi Liesnoor. 2017. Pendidikan Kebencanaan (Bencana Banjir, Longsor, Gempa
dan Tsunami). Buku Referensi, Semarang: CV Sanggar Krida Aditama.
Setyowati, DL., Isti Hidayah, Juhadi, Tjaturahono BS., Ananto Aji, Aryono Adhi, Arif
Widiyatmoko, Satya Budi Nugraha. 2015. Panduan Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
Sekolah. Semarang: CV. Swadaya Manunggal.
Setyowati, DL., Mohamad Amin, Tri Marhaeni PA., Ishartiwi. 2017. Community Efforts For
Adaptation And Anticipate To Flood Tide (ROB) In Bedono Village, District Sayung
Demak, Central Java, Indonesia. Man In India: 97(5):241-252.
Setyowati, DL., Nana Karida Tri Martuti., Satya Budi Nugraha. 2016. Pendidikan Bencana
Banjir (Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi Banjir di Kali Beringin Indonesia dan
Sungai Uthapao Thailand). Semarang: CV Sanggar Krida Aditama.
Sitepu, Apallidya. Armansyah, Cut. Saary, Rina S. dan Rahayu, Rochani Nani. 2009.
Kesiapsiagaan dalam Mengantisipasi Bencana di Perpustakaan dan Pusat Arsip.
Jurnal.No. 1.Hal.2-3.
Smit, B. and Wandel, J. 2006.“Adaptation, Adaptive Capacity and Vulnerability”, Journal Global
Environmental Change, 16: 282–292.
Soetaryono. 1999. Aplikasi Pendidikan Lingkungan pada Jenjang Sekolah Menengah. Makalah
Lokakarya Penerapan Model Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah, Kerjasama
Fakultas Kehutanan IPB dengan badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Bogor.
Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Jakarta.
Walhi. 2007. Masyarakat Sipil Untuk Pengurangan Resiko Bencana Membangun Kekuatan
Kolektif Masyarakat Untuk Mereduksi Risiko Dan Dampak Bencana Ekologis. Jakarta
Winarna, Aris. 2012. Optimalisasi Potensi Kecerdasan Individu Dan Kolektif. Jogjakarta: Mizan.

37

Anda mungkin juga menyukai