Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH SGD

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK


“Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Sistem Neurologi”

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh Kelompok 3

Nama Anggota :

Anindya Grefionika D Ananda Qotijah Niken P 132011133089


132011133078
Devi Enjelika Mudumi 132011133
Aliffia Syabira Murti A
132011133079 Vina Shefiana 132011133187

Salsabila Mayra W 132011133 Elsa Widia Anggraini 132011133

Farica Hada Ramada 132011133 Anandaryan Alifianing S 132011133

Galuh Indriani Sulaiman P 132011133

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem saraf merupakan sistem koordinasi (pengaturan tubuh) berupa penghantaran impul
saraf ke susunan saraf pusat, pemrosesan impul saraf dan perintah untuk memberi tanggapan
rangsangan pada manusia. Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan
membutuhkan sistem saraf untuk mengatur dan mengendalikan anggota tubuh dalam beraktivitas
sehari-hari, namun pada kenyataannya juga tidak lepas dari ancaman gangguan sistem saraf.
Gangguan neurologis merupakan kelainan fungsional area tubuh karena penurunan fungsi
otak, medulla spinalis, saraf perifer dan otot. Tanda–tanda defisit neurologis merupakan proses
terjadinya suatu penyakit seperti tumor otak, infark, meningitis maupun ensefalitis. Gangguan
neurologi ini dapat terjadi pada orang dewasa hingga anak-anak. Beberapa gangguan yang sering
terjadi pada anak antara lain meningitis, ensefalitis, dan kejang demam.
Meningitis adalah peradangan pada selaput otak (araknodia dan piameter) dikarenakan
virus, jamur, atau bakteri. Meningitis pada anak sangat berbahaya karena cenderung akan meluas
sampai ke rongga subdural atau bahkan bisa sampai ke dalam otak (meningoensafalitis). Di
Indonesia, angka kejadian meningitis pada anak tergolong masih tinggi, menempati urutan ke-9
dari sepuluh penyakit tersering berdasarkan data delapan rumah sakit pendidikan di Indonesia.
Kasus suspek meningitis bakterial pada anak di Indonesia lebih tinggi dibandingkan di negara
maju, yakni 158 dari 100.000 anak per tahun. World Health Organization (WHO) telah
melaporkan 26.029 kasus meningitis di daratan Afrika pada tahun 2016 dengan 2.080 kematian
(rasio fatalitas kasus keseluruhan sebesar 8%).
Ensefalitis adalah inflamasi pada parenkim otak. Ensefalitis merupakan salah satu infeksi
sistem saraf pusat yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur atau protozoa. Ensefalitis
pada anak umumnya disebabkan oleh virus dan penyebab penting morbiditas (gejala sisa) dan
mortalitas pada anak. Pada tahun 2006, jumlah kesakitan Encepalitis di Indonesia berjumlah 570
orang dan jumlah kematian sejumlah 230 orang (Dinkesjateng).
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rectal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Hasan &
Alatas, dkk, 2002). Kejang demam merupakan kelainan neurologist yang paling sering dijumpai
pada anak, terutama pada anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang
berumur dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam (Ngastiyah, 1997). Kejadian kejang
demam diperkirakan 2- 4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia
dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam yang kompleks. Melihat
banyaknya kasus pada gangguan naurologi mulai dari meningitis, ensefalitis, dan kejang demam,
maka penting bagi perawat untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit
tersebut.

1.2 Tujuan Umum


Mahasiswa mampu memahami, menyusun, dan melaksanakan asuhan keperawatan pada anak
dengan gangguan sistem neurologi meningitis, ensefalitis, dan kejang demam.

1.3 Tujuan Khusus


1. Menjelaskan konsep mengenai meningitis, ensefalitis, dan kejang demam pada anak
2.Menjelaskan patofisiologi terkait meningitis, ensefalitis, dan kejang demam pada anak
3.Menjelaskan dan menganalisis asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan sistem
neurologi meningitis, ensefalitis, dan kejang demam.

1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa dalam ilmu keperawatan anak khususnya
mengenai asuhan keperawatan anak dengan gangguan sistem neurologi meningitis, ensefalitis, dan
kejang demam dan juga sebagai tambahan literatur mahasiswa dalam proses pembelajaran
keperawatan anak
2. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan bagi masyarakat khususnya orang tua dan keluarga pasien tentang
asuhan keperawatan anak dengan gangguan sistem neurologi meningitis, ensefalitis, dan kejang
demam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningitis
Meningitis Merupakan peradangan yang terjadi pada selaput pembungkus otak yaitu
arakhnoid, piamater dan sumsum Tulang belakang disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur.
Gejala utama yang menunjukkan meningitis yaitu trias klasik demam, nyeri kepala dan kaku
kuduk. Apabila yang terkena adalah parenkim otak terjadi penurunan kesadaran, defisit
neurologis fokal,kejang, dan tekanan intrakranial meningkat (Kurniawati, 2013).

2.2 Ensefalitis

Ensefalitis merupakan proses inflamasi atau peradangan yang terjadi pada parenkim otak
dengan angka kejadian 32–75% dan angka kematian di seluruh dunia sekitar 8–18,45%.
Karakteristik klinis ensefalitis dapat berupa demam, nyeri kepala dan penurunan kesadaran,
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu virus (69%), bakteri, parasit, dan
komplikasi penyakit infeksi lain. Sejak tahun 2007 diketahui bahwa ensefalitis dapat disebabkan
oleh proses non infeksi yaitu autoimun (Tunkel dkk, 2008).

2.3 Kejang Demam

Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam
merupakan kejang yang paling sering terjadi pada anak. Sebanyak 2% sampai 5% anak yang
berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami kejang disertai demam dan kejadian terbanyak
adalah pada usia 17-23 bulan. (MV J. Seizures, 2007)
BAB III
WOC

3.1 Meningitis

3.1.1 Konsep Meningitis

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen (selaput yang mengelilingi otak),
cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat
(Suriadi & Yuliani, 2010). Meningitis diakibatkan oleh komplikasi penyakit lain atau kuman
secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit faringotonsilitis, pneumonia,
bronkopneumonia, endokarditis dan dapat pula sebagai perluasan dari peradangan organ/jaringan
di dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus kavernosus
dan lain-lain (Ngastiyah, 2012). Menurut Muttaqin (2008), meningitis di klasifikasikan sesuai
dengan faktor penyebabnya antara lain:

a) Asepsis

Meningitis asepsis merupakan salah satu meningitis virus. Meningitis ini biasanya di
sebabkan oleh berbagai jenis penyakit virus seperti gondongan, herpes simpleks dan herpes
zooster. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus
dan tidak di temukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh korteks
serebri dan lapisan otak.

b) Sepsis/ Meningitis Purulenta

Meningitis sepsis merupakan meningitis yang di sebabkan oleh bakteri. Penyebab


meningitis bakteri akut adalah Neisseria meningitidis (meningitis meningokokus), streptococus
pneumoniae (pada dewasa), dan haemophilus influenzae (pada anak-anak dan dewasa muda).

c) Tuberkulosa
Meningitis tuberculosa di sebabkan oleh basilus tuberkel. Menurut Rich & McCoredck,
Meningitis tuberkulosa terjadi akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya dari
paru. Meningitis terjadi bukan karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran
hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang
atau vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arachnoid. Kadang dapat juga terjadi
perkontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis. Pada pemeriksaan histologis, meningitis
tuberkulosa ternyata merupakan meningoensefalitis. (Ngastiyah, 2012).

3.1.2 Patofisiologi Meningitis

Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat
menyebabkan obstruksi, selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan tekanan intra kranial.
Efek patologi dari peradangan tersebut adalah hiperemi pada meningen, edema dan eksudasi
yang menyebabkan peningkatan intrakranial. Organisme masuk melalui sel darah merah pada
blood brain barrier. Masuknya organisme dapat melalui trauma, penetrasi prosedur pembedahan,
pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf pusat. Otorrhea atau rhinorhea akibat fraktur
dasar tengkorak dapat menimbulkan meningitis, dimana terjadi hubungan antara Cerebral spinal
fluid (CSF) dan dunia luar. Masuknya mikroorganisme kesusunan saraf pusat melalui ruang sub
arachnoid dan menimbulkan respon peradangan pada via, arachnoid, CSF dan ventrikel, dari
reaksi radang muncul eksudat dan perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan skar jaringan
sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan menimbulkan Hidrosefalus.

Meningitis bakteri; netrofil,monosit, limfosit dan yang lainnya merupakan sel respon
radang. Eksudet terdiri dari bakteri fibrin dan leukosit yang di bentuk di ruang sub arachnoid.
Penumpukan pada CSF akan bertambah dan mengganggu aliran CSF di sekitar otak dan medula
spinalis. Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan ruptur atau
trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak yang berakibat menjadi infarctCSF (Suriadi
& Yuliani, 2010).
3.1.3 WOC Meningitis
3.2 Ensefalitis
3.2.1 Konsep Ensefalitis
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur,
dan protozoa. Menurut Soedarmo dkk, Encephalitis adalah suatu penyakit yang menyerang
susunan syaraf pusat di medula spinalis dan meningen yang disebabkan oleh Japanese
Ensefalitis virus yang ditularkan oleh nyamuk. Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa Ensefalitis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dan menularkan penyakit
tersebut melalui vektor nyamuk, sehingga akan terjadi gangguan di susunan syaraf pusat.
Ensefalitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, fungus, dan riketsia. Penyebab
yang tersering adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau
reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terlebih dahulu. Berbagai jenis virus
dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama. Menurut Soedarmo dkk, virus
ensefalitis berkembang biak dari sel hidup, yaitu di dalam nukleus dan sitoplasma, seperti babi,
kuda, gigitan nyamuk, dan lain- lain.
Encephalitis dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu:
1. Ensefalutus Supurativa.
Secara umum gejala berupa trias Ensefalitis : demam, kejang dan penurunan kesadaran.
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-
tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,
muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan mungkin
terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas
abses. Bakteri penyebabnya adalah: Staphylococcus aureus, Streptococcus, E. Coli dan
M. Tuberculosa.
2. Ensefalitis Sifilis
Gejalanya terdiri dari dua bagian:
1) Gejala-gejala neurologis, kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan,
afasia, apraksia, hemianopsia, penurunan kesadaran, sering dijumpai pupil Agryll-
Robertson, nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul
gangguan motorik yang progresif.
2) Gejala-gejala mental, timbulnya proses dimensia yang progresif, intelgensia yang
mundur perlahan-lahan yang mula-mula tampak pada kurang efektifnya kerja,
daya konsentrasi mundur, daya ingat berkurang, daya pengkajian terganggu.
3. Encephalitis virus
a. Virus RNA
1) Paramikso virus : virus yang menyebabkan parotitis, morbili
2) Rabdovirus : virus rabies
3) Tugavirus : virus rubella flavivirus (virus Ensefalitis Jepang B,virus dengue)
4) Picornavirus : enterovirus (virus polio, cockscakie A dan B, echovirus)
5) Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoriab.
b. Virus DNA
1) Herpes virus : herpes zoster - varisella, herpes simpleks, sitomegali virus, virus
Epstein - barr
2) Poxvirus : variola, vaksinia
3) Retrovirus : AIDS
c. Parasit
1) Malaria Serebral
Penyebabnya adalah Plasmodium falsifarum. Gejalagejala yang timbul : demam
tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada
lokasi kerusakan-kerusakan.
2) Toxoplasmosis
Didalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di
otot dan jaringan otak.
3) Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang di
air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan MeningoEnsefalitis akut. Gejala-
gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan
kesadaran menurun.
4) Sistiserkosis
Gejala-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.

4. Fungus (jamur)
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans, Cryptococcus
neoformans, Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang
ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah Meningo-ensefalitis purulenta. Faktor
yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun
5. Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan
Ensefalitis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian
kesadaran menurun. Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar.

3.2.2 Patofisiologi Ensefalitis


Setelah mikroorganisme masuk ke tubuh manusia yang rentan, melalui kulit, saluran
pernapasan dan saluran cerna. Virus menuju sistem getah bening dan berkembangbiak. Virus
akan menyebar melalui aliran darah dan menimbulkan viremia pertama. Melalui aliran darah
virus akan menyebar ke sistem saraf pusat dan organ eksterneural. Kemudian virus dilepaskan
dan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia ke dua yang bersamaan dengan
penyebaran infeksi penyakit sistemik.
Setelah terjadinya viremia, vius menembus dan berkembangbiak pada endotel vaskular
dengan cara endositosis. Sehingga, dapat menembus sawan otak. Setelah mencapai susunan saraf
pusat virus bekembangbiak dalam sel dengan cepat pada retikulum endoplasma serta badan golgi
yang menghancurkan mereka. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel neuron,
ganglia dan endotel meningkat. Sehingga cairan di luar sel masuk ke dalam dan timbullah edema
sistoksik. Adanya edema dan kerusakan pada susunan saraf pusat ini memberikan manifestasi
berupa Ensefalitis. Dengan masa prodmoral berlangsung 1-4 hari. Area otak yang terkena dapat
pada thalamus, ganglia basal, batang otak, hipotalamus dan korteks serebra.
Virus-virus yang menyebabkan parotitis, morbili, varisela masuk ke dalam tubuh melalui
saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, VHS melalui mulut atau mukosa
kelamin, virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau
nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubella atau CMV.
Virus memperbanyak diri secara lokal, terjadi viremia yang menyerang SSP melalui kapilaris di
pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer (gerakan sentripetal) misalnya VSH,
rabies dan herpes zoster.

3.2.3 WOC Ensefalitis


3.3 Kejang Demam
3.3.1 Konsep Kejang Demam
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai dengan 5
tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya kelainan lain yang jelas di
intrakranial. Kejang demam yang sering disebut step, merupakan kejang yang terjadi pada saat
seorang bayi ataupun anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat yang dapat timbul
bila seorang anak mengalami demam tinggi (Sudarmoko, 2013).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38℃) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium
terutama pada anak umur 3 bulan- 5 tahun.

No Klinis KD Sederhana KD Kompleks

1. Durasi <15 menit umum >15 menit


umum/fokal

2. Tipe kejang 1 kali >1 kali

3. Berulang dalam satu episode - +

4. Defisit neurologis + +

5. Riwayat keluarga kejang demam + +

6. Riwayat keluarga kejang tanpa + +


demam

7. Abnormalitas neurologis + +
sebelumnya

3.3.2 Patofisiologis Kejang Demam


Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1℃ akan menyebabkan kenaikan
kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat sebanyak 20%. Pada
seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dari membran sel neuron.
Dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, akibatnya terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat
meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada
tinggi atau rendahnya ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu tubuhnya.
Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut mempunyai ambang kejang yang
rendah, sedangkan pada suhu 40º C atau lebih anak tersebut mempunyai ambang kejang yang
tinggi. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah (Ngastiyah, 2007).

3.3.3 WOC Kejang Demam


BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Meningitis
4.1.1 Teori Kasus Meningitis
4.1.1.1 Konsep
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita Yuliani 2006).
Pengertian lain juga menyebutkan bahwa meningitis adalah inflamasi arakhnoid dan pia mater
yang mengenai CSS (Cairan Serebro Spinal). Infeksi menyebar ke subarachnoid dari otak dan
medula spinalis biasanya dari ventrikel (Batticaca, Fransisca, 2008).
Dapat disimpulkan bahwa meningitis adalah suatu reaksi yang terjadi dari peradangan
yang terjadi akibat infeksi karena bakteri, virus, maupun jamur pada selaput otak (araknoidea
dan piamater) yang ditandai dengan adanya sel darah putih dalam cairan serebrospinal dan
menyebabkan perubahan pada struktur otak.
4.1.1.2 Etiologi
Terdapat beberapa penyebab yang terjadi pada masalah meningitis yaitu bakteri, faktor
predisposisi, faktor maternal, dan faktor imunologi. Menurut (Suriadi & Rita Yuliani 2006)
penyebab meningitis antara lain.
a. Bakteri : Haemophilus influenza (tipe B), streptococcus pneumonia, Neisseria meningitis,
hemolytic streptococcus, staphylococcus aureu, e. coli
b. Faktor predisposisi : jenis kelamin laki-laki lebih sering dibandingkan dengan wanita
c. Faktor maternal : ruptur membrane fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
d. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi immunoglobulin, anak yang
mendapat obat obat imunosupresif
e. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan
sistem persarafan
4.1.1.3 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul pada meningitis bacterial berupa sakit kepala, lemah,
menggigil, demam, mual, muntah, nyeri punggung, kaku kuduk, kejang, peka pada awal
serangan, dan kesadaran menurun menjadi koma. Gejala meningitis akut berupa bingung, stupor,
semi koma, peningkatan suhu tubuh sedang, frekuensi nadi dan pernapasan meningkat, tekanan
darah biasanya normal, klien biasanya menunjukkan gejala iritasi meningeal seperti kaku pada
leher, tanda Brudzinksi (Brudzinki’s sign) positif, dan tanda kernig (Kernig’s sign) positif
(Batticaca, 2008).
4.1.1.4 Patofisiologi
Meningitis terjadi akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain.
Virus atau bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya penyakit
Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, dan Bronchopneumonia.
Penyebaran bakteri atau virus tersebut dapat juga terjadi secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media,
mastoiditis, thrombosis sinus kavernosus dan sinusitis. Penyebaran kuman bisa terjadi akibat dari
trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak (Lewis, 2008). Invasi kuman-
kuman ke dalam ruang sub arakhnoid yang menyebabkan reaksi radang pada pia dan arakhnoid,
CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mikroorganisme masuk ke susunan saraf pusat melalui ruang pada subarachnoid
sehingga menimbulkan respon peradangan seperti pada via, arachnoid, CSF, dan ventrikel. Efek
peradangan yang disebabkan oleh mikroorganisme meningitis yang mensekresi toksik dan
terjadilah toksekmia, sehingga terjadi peningkatan suhu oleh hipotalamus yang menyebabkan
suhu tubuh meningkat atau terjadinya hipertermi (Suriadi & Rita Yuliani 2001)
4.1.1.5 Penatalaksanaan
Menurut (Riyadi & Sukarmin, 2009) penatalaksanaan medis yang secara umum yang
dilakukan di rumah sakit antara lain :
a. Pemberian cairan intravena. Pilihan awal yang bersifat isotonik seperti asering atau ringer
laktat dengan dosis yang dipertimbangkan melalui penurunan berat badan anak atau tingkat
dehidrasi yang diberikan karena pada anak yang menderita meningitis sering datang dengan
penurunan kesadaran karena kekurangan cairan akibat muntah, pengeluaran cairan melalui
proses evaporasi akibat hipertermia dan intake cairan yang kurang akibat kesadaran yang
menurun.
b. Pemberian diazepam apabila anak mengalami kejang. Dosis awal diberikan diazepam 0,5
mg/Kg BB/kali pemberian melalui intravena. Setelah kejang dapat diatasi maka diberikan
fenobarbital dengan dosis awal pada neonatus 30m, anak kurang dari 1 tahun 50 mg
sedangkan anak yang lebih dari 1 tahun 75 mg. Untuk rumatannya diberikan fenobarbital 8-
10 mg/Kg BB/ dibagi dalam dua kali pemberian diberikan selama dua hari. Sedangkan
pemberian fenobarbital dua hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 4-5 mg/Kg BB/ dibagi
dua kali pemberian. Pemberian diazepam selain untuk menurunkan kejang juga diharapkan
dapat menurunkan suhu tubuh karena selain hasil toksik kuman peningkatan suhu tubuh
berasal dari kontraksi otot akibat kejang.
c. Pemberian antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab. Antibiotik yang sering
dipakai adalah ampisilin dengan dosis 300-400 mg/KgBB dibagi dalam enam dosis
pemberian secara intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 50 mg/KgBB dibagi
dalam empat dosis pemberian. Pemberian antibiotik ini yang paling rasional melalui kultur
dari pengambilan cairan serebrospinal melalui pungsi lumbal.
d. Penempatan pada ruang yang minim rangsangan seperti rangsangan suara, cahaya dan
rangsangan polusi. Rangsangan yang berlebihan dapat membangkitkan kejang pada anak
karena peningkatan rangsang depolarisasi neuron yang dapat berlangsung cepat.
e. Pembebasan jalan nafas dengan menghisap lendir melalui suction dan memposisikan anak
pada posisi kepala miring hiperekstensi. Tindakan pembebasan jalan napas dipadu dengan
pemberian oksigen untuk mendukung kebutuhan metabolisme yang meningkat selain itu
mungkin juga terjadi depresi pusat pernapasan karena peningkatan tekanan intrakranial
sehingga peril diberikan oksigen bertekanan lebih tinggi yang lebih mudah masuk ke saluran
pernapasan. Pemberian oksigen pada anak meningitis dianjurkan konsentrasi yang masuk
bisa tinggi melalui masker oksigen.
4.1.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang (Hudak dan Gallo, 2012)
1. Fungsi lumbal dan kultur CSS: jumlah leukosit (CBC) meningkat, kadar glukosa darah
menurun, protein meningkat, glukosa serum meningkat
2. Kultur darah, untuk menetapkan organisme penyebab
3. Kultur urim, untuk menetapkan organisme penyebab
4. Elektrolit serum, meningkat jika anak dehidrasi: Na+ naik dan K + turun 5. MRI, CT-scan/
angiorafi
4.1.1.7 Komplikasi
Menurut (Riyadi, dkk, 2009) komplikasi yang dapat muncul pada anak dengan meningitis
antara lain, yaitu :
a. Munculnya cairan pada lapisan subdural (efusi subdural). Cairan ini muncul karena adanya
desakan pada intrakranial yang meningkat sehingga memungkinkan lolosnya cairan dari
lapisan otak ke daerah subdural.
b. Peradangan pada daerah ventrikuler otak (ventrikulitis). Abses pada meningen dapat sampai
ke jaringan kranial lain baik melalui perembetan langsung maupun hematogen termasuk ke
ventrikuler.
c. Hidrosefalus. Peradangan pada meningen dapat merangsang kenaikan produksi Liquor
Cerebro Spinal (LCS). Cairan LCS pada meningitis lebih kental sehingga memungkinkan
terjadinya sumbatan pada saluran LCS yang menuju medulla spinalis. Cairan tersebut
akhirnya banyak tertahan di intracranial.
d. Abses otak. Abses otak terjadi apabila infeksi sudah menyebar ke otak karena meningitis
tidak mendapat pengobatan dan penatalaksanaan yang tepat.
e. Epilepsi.
f. Retardasi mental. Retardasi mental kemungkinan terjadi karena meningitis yang sudah
menyebar ke serebrum sehingga mengganggu gyrus otak anak sebagai tempat menyimpan
memori.
g. Serangan meningitis berulang. Kondisi ini terjadi karena pengobatan yang tidak tuntas atau
mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antibiotik yang digunakan untuk pengobatan.
4.1.2 Asuhan Keperawatan Kasus Meningitis
4.1.2.1 Deskripsi Kasus
Pada tanggal 9 Juli 2018 di ruang Akut IRNA Kebidanan dan anak. Seorang anak
berjenis kelamin perempuan, An.Z berusia 7 tahun melalui IGD rujukan dari RSI Yarsi Bukit
Tinggi. Pasien datang dengan keluhan demam selama 2 minggu, kejang seluruh tubuh sejak 6
jam sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 1 kali, lamanya 10 menit dan mengalami penurunan
kesadaran setelah kejang. An.Z di rawat dengan diagnosa medis Meningitis TB.Berdasarkan
keterangan orang tua anak demam, batuk berdahak, refleks batuk lemah, batuk berdahak tidak
mampu bicara dan hanya mengerang,refleks batuk lemah dan tampak sesak. anak demam dan
badannya panas. Berdasarkan hasil pemeriksaan didapat T 37,8oC, TD 110/70 mmHg, HR 87x/i,
P 30x/i, Hb 10,7 gr/dl.

4.1.2.2 Pengkajian Keperawatan


An.Z perempuan berusia 7 tahun melalui IGD rujukan dari RSI Yarsi Bukit Tinggi.
Pasien datang dengan keluhan demam selama 2 minggu, kejang seluruh tubuh sejak 6 jam
sebelum masuk, frekuensi 1 kali, lamanya 10 menit dan mengalami penurunan kesadaran setelah
kejang. An.Z di rawat di ruang Akut IRNA Kebidanan dan anak dengan diagnosa medis
Meningitis TB.
Data subjektif: ayah mengatakan anak demam, batuk berdahak, refleks batuk lemah,
batuk berdahak tidak mampu bicara dan hanya mengerang, , refleks batuk lemah dan tampak
sesak. anak demam dan badannya panas.
Data objektif: GCS 9 (E4V2M3), badan teraba panas T 37,8oC, TD 110/70 mmHg, HR
87x/i, P 30x/i, Hb 10,7 gr/dl, ada tarikan dinding dada, auskultasi terdengar bronkial dan ronkhi,
TD 110/70 mmHg, P 30 x/i, T 37,80C, HR 87x/i. kulit pasien teraba panas, TD 110/70 mmHg, P
30 x/i, T 37,80C, HR 87.
4.1.2.3 Diagnosis Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian, maka selanjutnya peneliti melakukan analisa data dan
dapat dirumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
a) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses
inflamasi di selaput otak, dengan data subjektif: ayah mengatakan anak demam, batuk
berdahak, refleks batuk lemah, tidak mampu bicara dan hanya mengerang. Data objektif:
GCS 9 (E4V2M3), ekstremitas bawah kaku, rangsangan meningeal negatif, badan teraba
panas T 37,8oC, TD 110/70 mmHg, HR 87x/i, P 30x/i, Hb 10,7 gr/dl, dan hasil pemeriksaan
LP volume ± 2 CC, kekeruhan negatif, warna bening, jumlah sel 8/mm3 dan glukosa 44
mg/dl.
b) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret di
jalan nafas dengan data subjektif: ayah mengatakan anak batuk berdahak, refleks batuk
lemah dan tampak sesak. Data objektif: terdapat tarikan dinding dada, saat auskultasi
terdengar bronkial dan ronki, TD 110/70 mmHg, P 30 x/i, T 37,80C, HR 87x/i.
c) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme, dengan data subjektif:
ayah mengatakan anak demam dan badannya panas. Data objektif: kulit pasien teraba panas,
TD 110/70 mmHg, P 30 x/i, T 37,80C, HR 87x/i.

4.1.2.4 Intervensi Keperawatan


Tujuan untuk masalah Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, setelah 5 x 24
jam masalah berkurang atau teratasi dengan kriteria hasil:penurunan TIK dan menghentikan
terjadinya kejang. Intervensi nya adalah:
1) Terapi oksigen dengan aktivitas; Periksa mulut, hidung, dan sekret trakea, pertahankan jalan
nafas yang paten, berikan oksigen sesuai kebutuhan, monitor aliran oksigen.
2) Manajemen edema serebral, dengan kegiatan; monitor tanda-tanda vital, monitor status
pernapasan, Monitor karakteristik cairan serebrospinal (warna, kejernihan, konsistensi),
Berikan anti kejang sesuai kebutuhan dorong keluarga/orang yang penting untuk bicara pada
pasien dan posisikan tinggi kepala 30o atau lebih.
3) Monitoring peningkatan intrakranial, dengan kegiatan; Monitor jumlah, nilai dan
karakteristik pengeluaran cairan serebrospinal (CSF), monitor intake dan output, monitor
suhu dan jumlah leukosit dan berikan antibiotik.
Tujuan untuk masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas, setelah 5 x 24 jam masalah
berkurang atau teratasi dengan kriteria: Frekuensi pernapasan normal , irama pernapasan reguler,
adanya kemampuan untuk mengeluarkan sekret dan tidak ada penggunaan otot bantu
pernapasan.Rencana keperawatannya adalah
1) Kepatenan jalan nafas dengan kegiatan; Pastikan kebutuhan oral suctioning, Monitor status
oksigen pasien, Berikan oksigen dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction.
2) Manajemen jalan nafas, dengan kegiatan; Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi,
Auskultasi suara nafas dan catat adanya suara tambahan, perhatikan gerakan dada saat
inspirasi ekspirasi, monitor respirasi dan status O2.
Tujuan untuk masalah hipertermi, setelah 5 x 24 jam masalah berkurang atau teratasi dengan
kriteria: Suhu tubuh normal, tidak terjadi perubahan warna kulit, mencegah terjadinya kejang dan
sakit kepala. Intervensi nya adalah;
1) Perawatan demam, dengan aktivitas; Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainya, monitor warna
kulit dan suhu, beri obat atau cairan IV, berikan oksigen yang sesuai dan turunkan suhu
tubuh dengan kompres air hangat
2) Pengaturan suhu dengan aktivitas, monitor suhu setiap 3 jam sesuai kebutuhan, monitor dan
laporkan adanya tanda gejala hipotermia dan hipertermia, tingkatkan intake cairan dan nutrisi
adekuat dan berikan pengobatan antipiretik sesuai kebutuhan.
4.1.2.5 Implementasi Keperawatan
Tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang telah disusun untuk
masing-masing masalah keperawatan.
4.1.2.6 Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5 hari didapatkan tiga masalah
keperawatan yang muncul belum sepenuhnya teratasi, maka semua intervensi tetap dilanjutkan.

4.2 Ensefalitis
4.2.1 Teori Kasus Ensefalitis
4.2.1.1 Konsep
Ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus. Terkadang
ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi dari
penyakit lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh
bakteri) .Penyakit parasit dan protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic
meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan
tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak terdorong terhadap tengkorak dan
menyebabkan kematian.Virus yang tersering menyebabkan ensefalitis adalah herpes simplex dan
arbovirus. Ensefalitis ditandai oleh suhu yang mendadak naik, kesadaran yang menurun, dan
kejang-kejang.
Ensefalitis diawali dengan masuknya virus ke dalam tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan
saluran cerna, setelah masuk ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh.
4.2.1.2 Etiologi
Penyebab Ensefalitis terbanyak adalah karena virus. Virus yang tersering menyebabkan
ensefalitis adalah herpes simplex dan arbo virus. Virus yang jarang adalah mumps dan adeno
virus ( pada entero virus ) serta measles, influenza, varisella ( saat post infeksi) dan juga pertusis
( saat post vaksinasi). Ensefalitis supra akut, bakteri penyebabnya adalah staphylococcus aureus,
streptokok, E.Coli, Myobacterium dan T.Pallidium. Penyebab lain adalah keracunan arsenik dan
reaksi toksin dari thypoid fever, campak dan chicken pox/cacar air. Penyebab encephalitis yang
terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak,
atau reaksi radang akut infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.

4.2.1.3 Manifestasi Klinis


Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis Ensefalitis lebih kurang sama dan
khas, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Secara umum, gejala berupa Trias
Ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun. (Mansjoer, 2000). Adapun
tanda dan gejala Ensefalitis sebagai berikut :
1. Suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia
2. Kesadaran dengan cepat menurun
3. Muntah
4. Kejang-kejang, yang dapat bersifat umum, fokal atau twitching saja (kejang-kejang di muka)
5. Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misal
paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya (Hassan, 1997)
Inti dari sindrom Ensefalitis adalah adanya demam akut, dengan kombinasi tanda dan gejala :
kejang, delirium, bingung, stupor atau koma, aphasia, hemiparesis dengan asimetri refleks
tendon dan tanda Babinski, gerakan involunter, ataxia, nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.
4.2.1.4 Patofisiologi
Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk ke
dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:
1. Setempat : virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke organ
dan berkembang biak di organ tersebut.
3. Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di permukaan selaput lendir dan
menyebar melalui sistem saraf.
4.2.1.5 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Rawat di Rumah Sakit.
b. Penatalaksanaan secara umum tidak spesifik,tujuannya adalah mempertahankan
fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka,pemberian makanan
enteral dan parenteral,menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit,koreksi gangguan
asam basa darah.
c. Atasi kejang.
d. Bila tanda peningkatan tekanan intrakranial dapat diberikan manitol 0,5-29/kg BB IV
dalam periode 8-12 jam.
e. Pada pasien dengan gangguan menelan,akumulasi leher pada tenggorok paralisis pita
suara dan otot nafas dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik.
f. Pada ensefalitis herpes dapat diberikan acyclovir 10 kg/kg BB/hari IV setiap 8 jam
selama 10-14 jam (Riyadi,2010).
4.2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Biakan:
● Dari darah viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar untuk
mendapatkan hasil yang positif.
● Dari likuor serebrospinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi), akan didapat gambaran
jenis kuman dan sensitivitas terhadap antibiotika.
● Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif.
● Dari swap hidung dan tenggorokan, didapat hasil kultur positif.
2. Pemeriksaan Serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan uji netralisasi.
Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi antibodi tubuh. IgM dapat dijumpai pada
awal gejala penyakit timbul.
3. Pemeriksaan Darah : terjadi peningkatan angka leukosit.
4. Pungsi Lumbal Likuor serebrospinalis sering dalam batas normal, kadang kadang ditemukan
sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.
5. EEG/ Electroencephalography
EEG sering menunjukkan aktivitas listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang
menurun. Adanya kejang, koma, tumor, infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses, jaringan
parut otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan
kecepatan.(Smeltzer, 2002).
6. CT Scan
7. Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal, tetapi bisa pula didapat hasil
edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti Ensefalitis herpes simplex, ada kerusakan
selektif pada lobus inferomedial temporal dan lobus frontal.(Victor, 2001)

4.2.1.7 Komplikasi
Angka kematian untuk ensefalitis ini masih tinggi berkisar antara 35 – 50% dari penderita
yang hidup 20 – 40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa berupa paresis / paralisis
pergerakan koreo atatoid, gangguan penglihatan atau gejala neurologis lain. Penderita yang
sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih mungkin
menderita retordasi mental masalah tingkah laku dan epilepsy. Komplikasi jangka panjang dari
ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen
penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan selama perawatan. Perawatan jangka
panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial
untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini. Walaupun sebagian besar penderita mengalami
perubahan serius pada susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi.
Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis,
hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar,
hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral.
4.2.2 Asuhan Keperawatan Kasus Ensefalitis
4.2.2.1 Deskripsi Kasus
Peradangan jaringan otak yang disebabkan berbagai mikroorganisme (Ginsberg, 2008)
Proses Inflamasi SSP yang mengakibatkan perubahan fungsi berbagai bagian otak dan medula
spinalis (Wong, 2009).
4.2.2.2 Pengkajian Keperawatan
a. Biodata
Merupakan identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,
alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa
medis. Identitas ini digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis
kelamin, umur dan alamat dan kotor dapat mempercepat atau memperberat keadaan
penyakit infeksi.
b. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. keluhan utama
pada penderita encephalitis yaitu sakit kepala, kaku kuduk, gangguan kesadaran,
demam dan kejang.
c. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan,
mulai timbul atau kekambuhan dari penyakit yang pernah dialami sebelumnya.
Biasanya pada masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai dengan demam,s
akit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstrimitas dan pucat.
Kemudian diikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari distribusi dan
luas lesi pada neuron. Gejala terebut berupa gelisah, irritable, screaning attack,
perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan kejang kadang-kadang disertai tanda
neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia dan paralisi saraf
otak.
d. Riwayat kehamilan dan kelahiran. Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat
prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa
saja yang pernah diderita oleh ibu terutama penyakit infeksi. Riwayat natal perlu
diketahui apakah bayi lahi rdalam usia kehamilan aterm atau tidak karena
mempengaruhi system kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan
juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak.
Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah lahir. Contoh :
BBLR, apgar score, yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya.
e. Riwayat penyakit yang lalu. Kontak atau hubungan dengan kasus-kasus meningitis
akan meningkatkan kemungkinan terjdinya peradangan atau infeksi pada jaringan
otak (J.G. Chusid, 1993). Imunisasi perlu dikaji untuk mengetahui bagaimana
kekebalan tubuh anak. Alergi pada anak perlu diketahui untuk dihindarkan karena
dapat memperburuk keadaan.
f. Riwayat kesehatan keluarga. Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada
kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan
keluarga perlu diketahui, apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit
menular yang ada hubungannya dengan penyakit yang dialami oleh klien (Soemarno
marram, 1983).
g. Riwayat social. Lingkungan dan keluarga anak sangat mendukung terhdap
pertumbuhan dan perkembangan anak. Perjalanan klinik dari penyakit sehingga
mengganggu status mental, perilaku dan kepribadian. Perawat dituntut mengkaji
status klien ataukeluarga agar dapat memprioritaskan maslaah keperawatnnya.
(Ignatavicius dan Bayne, 1991).
h. Kebutuhan dasar (aktfitas sehari-hari). Pada penderita ensepalitis sering terjadi
gangguan pada kebiasaan sehari-hari antara lain : gangguan pemenuahan kebutuhan
nutrisi karena mual muntah, hipermetabolik akibat proses infeksi dan peningkatan
tekanan intrakranial. Pola istirahat pada penderita sering kejang, hal ini sangat
mempengaruhi penderita. Pola kebersihan diri harus dilakukan di atas tempat tidur
karena penderita lemah atau tidak sadar dan cenderung tergantung pada orang lain
perilaku bermain perlu diketahui jika ada perubahan untuk mengetahui akibat
hospitalisasi pada anak.
i. Pemeriksaan fisik. Pada klien ensephalistis pemeriksaan fisik lebih difokuskan pad
apemeriksaan neurologis. Ruang lingkup pengkajian fisik keperawatan secara umum
meliputi:
a) Keadaan umum. Penderita biasanya keadaan umumnya lemah karena mengalami
perubahan atau penurunan tingkat kesadaran. Gangguan tingkat kesadaran dapat
disebabkan oleh gangguan metabolisme dan difusi serebral yang berkaitan dengan
kegagalan neural akibat prosses peradangan otak.
b) Gangguan system pernafasan. Perubahan-perubahan akibat peningkatan tekanan
intra cranial menyebabakan kompresi pada batang otak yang menyebabkan
pernafasan tidak teratur. Apabila tekanan intrakranial sampai pada batas fatal
akan terjadi paralisa otot pernafasan (F. Sri Susilaningsih, 1994).
c) Gangguan system kardiovaskuler. Adanya kompresi pada pusat vasomotor
menyebabkan terjadi iskemik pada daerah tersebut, hal ini akan merangsaang
vasokonstriktor dan menyebabkan tekanan darah meningkat. Tekanan pada pusat
vasomotor menyebabkan meningkatnya transmitter rangsang parasimpatis ke
jantung.
d) Gangguan system gastrointestinal. Penderita akan merasa mual dan muntah
karena peningkatan tekanan intrakranial yang menstimulasi hipotalamus anterior
dan nervus vagus sehingga meningkatkan sekresi asam lambung. Dapat pula terjd
diare akibat terjadi peradangan sehingga terjadi hipermetabolisme (F. Sri
Susilanigsih, 1994).
j. Pertumbuhan dan perkembangan. Pada setiap anak yang mengalami penyakit yang
sifatnya kronuis atau mengalami hospitalisasi yang lama, kemungkinan terjadinya
gangguan pertumbuhan dan perkembangan sangat besar. Hal ini disebabkan pada
keadaan sakit fungsi tubuh menurun termasuk fungsi social anak. Tahun-tahun
pertama pada anak merupakan “tahun emas” untuk kehidupannya. Gangguan atau
keterlambatan yang terjadi saat ini harus diatasi untuk mencapai tugas-tugas
pertumbuhan selanjutnya. Pengkajian pertumbuhna dan perkembangan anak ini
menjadi penting sebagai langkah awal penanganan dan antisipasi. Pengkajian dapat
dilakukan dengan menggunakan format DDST.

4.2.2.3 Diagnosis Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada masalah ensefalitis adalah :
a) Hipertemi b/d reaksi inflamasi.
b) Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan
susunan saraf pusat.
c) Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.

4.2.2.4 Intervensi Keperawatan


Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994).
Intervensi keperawatan pasien dengan masalah ensefalitis adalah :
a. Hipertermi b/d reaksi inflamasi
Tujuan : Suhu tubuh normal.
Kriteria hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan
Intervensi :
 Mandiri : Pantau suhu pasien, perhatikan menggigil/diaphoresis
 Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
 Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alcohol
 Kolaborasi : berikan antipiretik sesuai indikasi
b. Gangguan sensorik motoric (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan
susunan saraf pusat
Tujuan : Memulai/mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual.
Kriteria hasil : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan
residual.Mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap hasil.
Intervensi :
 Mandiri : Lihat kembali proses patologi kondisi individual
 Evaluasi adanya gangguan penglihatan
 Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabot yang membahayakan
c. Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang
Tujuan : Tidak terjadi kontraktur.
Kriteria hasil : Tidak terjadi kekakuan sendi, Dapat menggerakkan anggota tubuh.
Intervensi :
 Mandiri : berikan penjelasan pada keluarga klien tentang penyebab terjadinya
spastik dan terjadi kekacauan sendi
 Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas jari secara bertahap
 Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam
 Kolaborasi untuk pemberian pengobatan spastik dilatin/valium sesuai indikasi
d. Gangguan rasa nyeri b/d sakit kepala mual
Tujuan : Nyeri teratasi
Kriteria hasil : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, menunjukkan postur rileks dan
mampu tidur/istirahat dengan tepat
Intervensi :
 Mandiri : berikan tindakan nyaman
 Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai indikasi
 Kaji intensitas nyeri
 Tingkatkan tirah baring, bantu kebutuhan perawatan diri pasien
 Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah
leher/bahu
 Kolaborasi : berikan algesik sesuai indikasi

4.2.2.5 Implementasi Keperawatan


Tindakan keperawatan ( implementasi ) adalah katagori dari prilaku keperawatan di mana
yang di perlukan untukmencapai tujuan dan hasil yang di perkirakan dari asuhan keperawatn
yang di lakukan dan di selesaikan. implementasi mencakup melakukan, membantu, mengarahkan
kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberkan asuhan keperawtan untuk tujuan yang
berpusat kepada klien (Darto suharso 2013).

4.2.2.6 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah respon pasien terhadap tindakan dan kemajuan mengarahkan pencapaian
hasil yang di harapkan. Aktivitas ini berfungsi sebagai umpan balik dan bagian control proses
keperawatan, melalui status pernyataan diagnostic pasien secara individual di nilai untuk
diselesaikan, di lanjutkan, atau memerlukan perbaikan (Darto suharso 2013)

4.3 Kejang Demam


4.3.1 Teori Kejang Demam
4.3.1.1 Konsep
Kejang demam adalah serangan kejang yangterjadi karena kenaikan suhu tubuh suhu
rektal di atas 38 °C (Riyadi dan Sujono,2009). Berdasarkan penelitian Aryanti (2015)
menunjukkan bahwa rerata suhu tubuh sebelum dilakukan kompres hangat (mean) suhu tubuh
sebelum diberi tindakan kompres hangat adalah 38,5°C dengan standar deviasi 0,6638 dan nilai
minimum serta maksimumnya adalah 37,7°C dan 39,5°C. Serangan kejang demam pada anak
yang satu dengan yang lain tidaklah sama, tergantung nilai ambang kejang masing- masing. Oleh
karena itu, setiap serangan kejang harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat, apalagi
kejang yang berlangsung lama dan berulang.Sebab, keterlambatan dan kesalahan prosedur bisa
mengakibatkan gejala sisa pada anak, bahkan bisa menyebabkan kematian (Fida & Maya, 2012).

4.3.1.2 Etiologi
a) Demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul pada
suhu yang tinggi.
b) Efek produk toksik daripada mikroorganisme.
c) Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
d) Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
e) Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak diketahui atau
enselofati toksik sepintas.(Mansjoer, Dkk,2000:434)

4.3.1.3 Manifestasi Klinis

Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral, serangan berupa klonik atau
tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan syaraf. Kejang demam dapat berlangsung lama dan atau parsial.
Pada kejang yang unilateral kadang-kadang diikuti oleh hemiplegi sementara (Todd’s
hemiplegia) yang berlansung beberapa jam atau beberapa hari. Kejang unilateral yang lama
dapat diikuti oleh hemiplegi yang menetap. Kejang demam terkait dengan kenaikan suhu tubuh
yang tinggi dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 390 C atau lebih ditandai
dengan adanya kejang khas menyeluruh tionik kloni lama beberapa detik sampai 10 menit.
Kejang demam yang menetap ≥ 15 menit menunjukkan penyebab organic seperti proses infeksi
atau toksik, selain itu juga dapat terjadi mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan dan
kelemahan serta gerakan sentakan berulang. (Behman, 2000: 843)

a. Kejang Demam Sederhana


a) Berlangsung singkat,< 15 menit
b) Kejang umum, tonik dan atau klonik
c) Tanpa gerakan fokal/ berulang selama 24 jam

b. Kejang Demam Komplikata


a) Kejang lama>15 menit
b) Kejang fokal/parsial satu sisi/kejang umum didahului kejang parsial
c) Berulang/ lebih dari 1x/24jam

4.3.1.4 Patofisiologi

a) Demam dapat menurunkan ambang kejang pada sel-sel yang belum matur
b) Timbul dehidrasi sehingga menyebabkan gangguan elektrolit yang mnyebabkan
peningkatan permeabilitas membran sel
c) Metabolisme basal meningkat sehingga terjadi timbunan asam laktat yg menyebabkan
CO2 akan merusak neuron
d) Demam meningkatkan cerebral blood flow, sehingga menigkatkan kebutuhan oksigen
dan glukosa, shg menyebabkan gangguan ion2 keluar masuk

4.3.1.5 Penatalaksanaan

a) Penatalaksanaan Keperawatan:
 Baringkan pasien ditempat yang rata dan pasang gudel.
 Singkirkan benda-benda yang ada didekat pasien, lepaskan pakaian pasien yang
mengganggu pernafasan.
 Hisap lendir sampai bersih dan beri O2.
 Bila suhu tinggi berikan kompres hangat.
 Setelah pasien bangun dan sadar, berikan minum air hangat kuku.
 Jika dengan tindakan ini tidak berhenti, hubungi dokter
b) Penatalaksaan Medis:
 Segera diberikan diazepam intravena dosis rata-rata 0,3 mg/kg.
 Diazepam rektal dosis ≤ 10 kg = 5 mg/kg.
 Parasetamol 10mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3
mg/kgBB.
 Memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama ( 10 menit )
dengan IV: D5 ¼, D5, RL.

4.3.1.6 Pemeriksaan Penunjang

a) Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus


dari kejang.
b) Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c) Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang tidak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
d) Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak.
e) Uji laboratorium
f) Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler.
g) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit.
h) Panel elektrolit
i) Skrining toksik dari serum dan urin.
j) GDA

4.3.1.7 Komplikasi

a) Kerusakan Otak
Terjadi melalui mekanisme eksitoksik neuron saraf yang aktif sewaktu kejang
melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA (M Metyl D Asparate) yang
mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak sel neuron secara
irrevesible.
b) Retardasi Mental
Dapat terjadi karena deficit neurologis pada demam neonatus.
(Mansjoer,2000).

4.3.2 Asuhan Keperawatan Kasus Kejang Demam


4.3.2.1 Deskripsi Kasus
Merupakan bankitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas
38℃) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

4.3.2.2 Pengkajian
Proses pengkajian pertama dilakukan adalah pengumpulan data :
Identitas pasien
a) Biasanya berisikan tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat, diagnose medis dan
tanggal masuk serta tanggal pengakajian dan identitas penanggung jawab
b) Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Demam, suhu > 38oC, muntah, kaku , kejang-kejang, sesak nafas, kesadaran
menurun, ubun-ubun cekung, bibir kering, bak lidah ada, BAB mencret.
 Riwayat kesehatan dahulu
Umumnya penyakit ini terjadi sebagai akibat komplikasi perluasan penyakit lain.
Yang sering ditemukan adalah ISPA, ionsililis, olilis nedia, gastroeniecilis,
meningitis.
 Riwayat kesehatan keluarga
Kemungkinan ada anggota keluarga yang mengalami penyakit infeksi seperti
ISPA dan meningitis.serta memiliki riwayat kejang yang sama dengan pasien
c) Data tumbuh kembang
Data tumbuh kembang dapat diperoleh dari hasil pengkajian dengan mengumpulkan data
lumbang dan dibandindingkan dengan ketentua-ketentuan perkembangan
normal.Perkembangan motorik, perkembangan bahasa, perkembangan kognitif,
perkembangan emosional, perkembangan kepribadian dan perkembangan sosial.
d) Data fisik
Pada penyakit demam kejang sederhana didapatkan data fisik :
 Suhu meningkat
 Frekuensi nafas naik
 Kesadaran menurun
 Nadi naik
 Kejang bersifat umum dan berlangsung sebentar
 Lemah, letih, lesu dan gelisah.
 Susah tidur.
e) Pemeriksaan fisik persistem
 System pernafasan
Karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih 15 menit biasanya
disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi meningkat untuk
kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya
asidosis. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam adalah
gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol.Lidah dapat seketika tergigit, dan atau
berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
 Sistem sirkulasi
Karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan
kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis
setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang
dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang
demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak
hingga terjadi epilepsi.
 Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak/ gigi.
 Sistem perkemihan
Kontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter
 Sistem persyarafan
Aktivitas kejang berulang, riwayat truma kepala dan infeksi serebra
f) Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot.
Gerakan involunter.
g) Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau
penanganan, peka rangsangan.
h) Riwayat jatuh / trauma
i) Data laboratorium
 Leukosit meningkat
 Pada pemeriksaan tumbal punksi ditemukan cairan jernih glukosa normal dan
protein normal.
j) Data psikososial
Hubungan ibu dan anak sangat dekat sehingga perpisahan dengan ibu menimbulkan rasa
kehilangan orang yang terdekat bagi anak- anak lingkungan tidak dikenal akan
menimbulkan perasaan tidak aman, berduka cita dan cemas. Akibat sakit yang dirawat
bagi anak menimbulkan perasaan kehilangan kebebasan, pergerakan terbatas
menyebabkan anak merasa frustasi sehingga akan mengekspresikan reaksi kecemasan
secara bertahap yaitu proses, putus asa dan menolak.
k) Data sosial ekonomi
Demam kejang dapat mengenal semua tingkat ekonomi dan sosial.Penyakit ini
disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang buruk dan disebabkan oleh kurangnya
perhatian orang tua

4.3.2.3 Diagnosis Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul (Roger M.D.M.P.H diagnosis pedriatri):
a) Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
 Berikan pengaman pada sisi tempat tidur dan pengguna tempat tidur
yang rendah
 Tinggallah bersama klien selama fase kejang
 Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah
 Letakkan klin ditempat yang lembut
b) Gangguan rasa nyaman b.d peningkatan suhu tubuh.
 Kaji faktor terjadinya hipertermi
 Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
 Pertahanan suhu tubuh normal
 Ajarkan pada keluarga memberikan kompres pada kepala dan ketiak
 Anjurkan klien untuk menggunakan baju tipis yang terbuat dari katun
c) Resiko kejang berulang b.d peningkatan suhu.
 Longgarkan pakaian, berikan pakaian yang tipis yang mudah menyerap keringat.
 Berikan kompres panas.
 Berikan ekstra cairan sesuai indikasi.
 Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam.
 Batasi aktivitas selama anak panas.
 Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis
d) Kurangnya oengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi
 Kaji tingkat pengetahuan keluarga.
 Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat demam kejang.
 Jelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan.
 Berikan health education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah
kejang demam.
 Berikan health education agar selalu sedia obat penurun panas di rumah.
 Jaga anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang atau teman
yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetus kenaikan suhu.
e) Resiko kekurangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan output berlebihan
 Anjurkan klien memakan makanan yang tidak mengandung serat.
 Berikan makanan yang lunak.
 Berikan cairan melalui infus.
 Anjurkan klien banyak minum.
 Anjurkan klien makan sedikit tapi sering

4.3.2.4 Intervensi Keperawatan

a. Resiko terjadinya trauma fisik b.d kurangnya koordinasi otot


b. Gangguan rasa nyaman b.d hipertermi
c. Resiko terjadinya kejang berulang berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan keterbatasan informasi
e. Resiko kekurangan cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan output yang berlebihan

4.3.2.5 Implementasi

Tindakan keperawatan ( implementasi ) adalah katagori dari prilaku keperawatan di mana


yang di perlukan untukmencapai tujuan dan hasil yang di perkirakan dari asuhan keperawatn
yang di lakukan dan di selesaikan. implementasi mencakup melakukan, membantu, mengarahkan
kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberkan asuhan keperawtan untuk tujuan yang
berpusat kepada klien (Darto suharso 2013).
4.3.2.6 Evaluasi
Evaluasi adalah respon pasien terhadap tindakan dan kemajuan mengarahkan pencapaian
hasil yang di harapkan. Aktivitas ini berfungsi sebagai umpan balik dan bagian control proses
keperawatan, melalui status pernyataan diagnostic pasien secara individual di nilai untuk
diselesaikan, di lanjutkan, atau memerlukan perbaikan (Darto suharso 2013)

Case Study
Seorang anak berinisial Z datang bersama ayahnya ke RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada
tanggal 27 April 2017 pukul 24.56 WIB. Ayah pasien mengatakan anaknya kejang seluruh tubuh
dan anak mengalami penurunan kesadaran setelah kejang selama 6 jam sebelum masuk RS.
kejang berhenti setelah di berikan diazepam secara injeksi. An.Z di rawat di ruang Akut IRNA
Kebidanan dan anak dengan diagnosa medis Meningitis Tb. Saat dilakukan pengkajian pada
tanggal 24 Mei 2017 pukul 14.30 WIB pada An.Z dengan hari rawatan ke-28, Ayah pasien
mengatakan anaknya masih mengalami penurunan kesadaran, demam, kejang (-), anak batuk
berdahak, refleks batuk lemah, tampak sesak, tidak bisa bicara dan hanya mengerang. Ayah
pasien mengatakan anaknya sering mengeluh sakit kepala yang hilang timbul, kemudian
dibelikan obat di warung namun sakit kepala tidak hilang. pasien juga mengalami demam selama
2 minggu. Badan sudah tampak kurus 3 bulan sebelum masuk RS dan tidak ditimbang. Anak
memiliki riwayat kontak dengan penderita Tb (saudara laki-laki ayah), menderita Tb selama 2,5
tahun dan sudah mendapat obat OAT. Riwayat trauma kepala pada anak (-), riwayat keluar
cairan dari telinga (-) dan anak tidak mengalami batuk pilek. Anak tidak memiliki riwayat kejang
dengan atau tanpa demam.

Anda mungkin juga menyukai