Anda di halaman 1dari 2

SATU REFERENSI, SATU STANDAR, SATU GEODATABASE & SATU PORTAL

(KEBIJAKAN SATU PETA)

Perkembangan suatu daerah selalu diiringi dengan pembangunan maupun alih fungsi
lahan. Hal tersebut bukan satu-satu isu yang terjadi saat ini. Dimulai dengan isu alih fungsi
lahan termasuk status yang melekat pada lahan tersebut yang semakin masif dan terjadi dewasa
ini, sudah tentu menjadi notice bagi para pemangku kebijakan untuk sadar pentingnya data
yang akurat dan aktual. Disisi lain, dari tahun ke tahun sudah barang tentu dinamika suatu
daerah terhadap rencana jangka panjang maupun menengah selalu diiringi dengan
pembangunan-pembangunan yang membuat tutupan lahan dan tatat guna lahan suatu daerah
tersebut berubah. Dari dua contoh sederhana yang penulis sebutkan, hal yang perlu di garis
bawahi adalah penting adanya "satu data" yang bisa mengakomodasi dinamika yang terjadi,
sehingga tumpah tindih lahan dan kepentingan sectoral dapat dicegah dan teratasi.
Di Indonesia pada umumnya, kita dihadapkan dengan situasi dan kondisi dimana
kebutuhan akan informasi geospasial yang sangat kompleks. Sebagai contoh kasus misalnya
pada tahun 2010, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin mengetahui berapa luasan
hutan di Indonesia, saat itu data yang diberikan oleh Lembaga terkait, yaitu Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan (sebelum bergabung menjadi satu) belum
menunjukkan hasil luasan yang pasti. Selanjutnya hal yang sama terjadi, ketika data luasan
sawah yang dirilis oleh BPS berbeda dengan Lembaga terkait lainnya, baik Kementan maupun
Kementerian ATR/BPN. Walaupun pada dasarnya penentuan luas sawah ditentukan oleh BPS.
Hal ini tentunya semakin menunjukkan saling "overlap data" antar lembaga pemerintahan,
belum lagi ketika di bandingkan dengan data yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Oleh
sebab itu, hal tersebut yang mendorong penting dan urgensinya tentang "kebijakan satu peta"
yang dapat dijadikan rujukan oleh semua pihak. Sebagai tindak lanjut hal diatas, di era Presiden
Joko Widodo, Perpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta
(KSP) pada Tingkat Ketelitian 1:50.000 merupakan aksi nyata dari Pemerintah untuk
kepentingan pembangunan dan prioritas nasional. Kebijakan ini pada dasarnya menjadikan
guideline dalam penyusunan informasi geospasial termasuk penggunaan dan pemanfaatannya
harus memenuhi 4 hal, yaitu : satu referensi, satu standar, satu database, dan satu geoportal.
Sesuai dengan UU No. 4 tahun 2011, Lembaga Pemerintahan yang memiliki peran
penting untuk menyelenggarakan dan memastikan ketersediaan informasi geospasial adalah
Badan Informasi Geospasial. Dalam prakteknya, kegiatan penyelenggaraan harus memenuhi 4
hal diatas. Pertama "satu referensi", setiap kegiatan survei dan pemetaan di Indonesia harus
menggunakan satu referensi yang sama. Dalam hal ini kegiatan yang mencakup pengukuran
titik melalui peralatan GPS (global positioning system) dan levelling harus terikat dengan
jaring kontrol geodesi nasional. Teknologi CORS (Continuesly Operationg Reference Station)
wajib digunakan dalam setiap pengukuran guna menjamin hasil dan mutu yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kedua : "satu standar", penggunaan data dasar yang selanjutnya
disebut informasi geospasial dasar (IGD) merupakan rujukan dasar yang digunakan untuk
membangun informasi geospasial tematik (IGT) dan tema-tema lainnya yang terkait. Konsep
ini lebih lanjut menerangkan dalam hal keperluan pembuatan peta tematik (rencana tata ruang
wilayah, klasifikasi lahan, penentuan lokasi hutan lindung dan lain sebagainya) harus
menggunakan metode serta sumber data yang sesuai dengan standar yang ditentukan. Standar
ini secara rinci dijelaskan dalam dokumen Standar Nasional Indonesia (SNI), yang
penggunaannya disesuaikan dengan masing-masing tema yang akan dilakukan. Ketiga : "satu
geodatabase", seperti yang penulis sebutkan diatas dengan contoh sederhana yaitu overlap data
masing-masing lembaga, dibarengi juga dengan jenis, format dan atribut yang sudah jelas
berbeda. Untuk itu sebagai rujukan nasional, perlu disiapkan satu geodatabase yang disepakati
bersama. Katalog Unsur Geografis Indonesia (KUGI) adalah satu database yang
mengakomodasi hal tersebut. Sehingga informasi yang akan dibangun harus mengikuti
ketentuan geodatabase yang ada didalamnya. Keempat : "satu geoportal", setelah semua hal
diatas dilakukan, maka selanjutnya perlu pendistribusian data dan informasi geospasial yang
diakses lewat satu pintu. Inageoportal yang diakses melalui tanah.air.indonesia.go.id
merupakan satu portal yang mudah diakses oleh setiap orang termasuk dalam melakukan
pencarian dan analisis informasi geospasial yang ada didalamnya.
Meruntut dari hal-hal yang penulis sampaikan diatas, pada hakekatnya Kebijakan Satu
Peta (KSP) bertujuan untuk menyelenggarakan IG yang efisien dan efektif serta pemakai dalam
hal ini lembaga terkait dan masyarakat luas memperoleh informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sehingga penyelenggaraan IGT oleh instansi terkait lebih terarah dan
memiliki prioritas. Adapun hal yang berpotensi gesekan seperti : tumpang tindih lahan, ego
sektoral terkait perizinan dan penguasaan lahan diharapkan dapat dicegah dan teratasi sedini
mungkin dengan merujuk KSP tersebut.
“Dalam setiap pengukuran pasti terdapat kesalahan”, untuk itu penulis dengan segala
kerendahan hati mohon koreksi dan masukkan yang membangun untuk perbaikan tulisan-
tulisan selanjutnya. Terimakasih, danke, gracias, merci :))

Anda mungkin juga menyukai