Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

INSTRUMENT PENELITIAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian
Dosen Pembimbing : R. Siti Jundiah, S.Kp., M.Kep.

Disusun Oleh :
Widya Fauzira (191FK03081)
Riski Nurul Insani (191FK03082)
Deden Selamet Riyadi (191FK03083)
Dina Rosmawati (191FK03085)

Kelas: 3-F Keperawatan


Kelompok: 3

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
MARET, 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat,
hidayah dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah
Metodologi Penelitian yang berjudul “Instrument Penelitian” dalam bentuk
makalah.

Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar


kita, yaitu Nabi Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan
Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian yang berjudul “Instrument Penelitian”
ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah
Metodologi Penelitian serta bantuan teman-teman mahasiswa dalam pembuatan
makalah ini.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-


kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih


yang tak terhingga kepada rekan-rekan yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini. penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal
kepada mereka yang telah memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua
bantuan ini sebagai ibadah, Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Bandung, 4 April 2022

Penulis,

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penelitian adalah sebuah proses kegiatan mencari kebenaran terhadap suatu
fenomena ataupun fakta yang terjadi dengan cara yang terstruktur dan
sistematis.
Proses ini biasanya dilakukan oleh ilmuan atau pakar yang berhubungan
dengan hal yang akan dicari kebenarannya. Dalam upaya mengumpulkan
fakta tersebut maka metode alat ukur serta keabsahan alat ukur yang
digunakan haruslah benar, kesalahan salah satu dari aspek tersebut membuat
terjadinya kesalah dalam hasil penelitian.
Menyoal penelitian salah satu hal yang terpenting yaitu mengumpulkan data,
data merupakan suatu kumpulan yang terdiri dari fakta-fakta untuk
memberikan gambaran yang luas terkait dengan suatu keadaan. Seseorang
yang akan mengambil sebuah kebijakan atau keputusan umumnya akan
menggunakan data sebagai bahan pertimbangan. Melalui data seseorang
dapat menganalisis, menggambarkan, atau menjelaskan suatu keadaan.
Untuk mengungkapkan fakta yang dicari akan menunjukkan seberapa
pentingnya hal yang telah dijabarkan diawal tadi.
Terkai dengan metode pengumpulan data, instrumen serta validita dan
realibilitas dalam penelitian, tidak sedikit ditemukan beberapa kesalahan
persepsi yang umunya dilakukan oleh peneliti pemula dalam memahami
konsep tersebut sehingga hasil penelitian yang diperoleh dengan metode
yang tidak tepat akan membuat hasil penelitian menjadi tidak refresentatif
dan menghasilkan temuan dan kesimpulan yang keliru.
Mengingat pentingnya pengumpulan data dan instrumen pengumpulan data
dalam penelitian maka, Adapun judul dalam makalah ini yakni:
MetodePengumpulan Data dan Instrumen Penelitian.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa Definisi Instrumen Penelitian?
2. Apa Saja Jenis Instrumen Penelitian?

3
3. Bagaimana Mengembangkan Instrumen Penelitian?
4. Bagaimana Mengkaji dan Menilai Instrumen?
5. Bagaimana Memilih Alat Pengumpulan Data?
6. Bagaiamana Uji Validitas Instrumen?
7. Apa Theory Related Validity dan criterio Related Validity?
8. Bagaiamana Uji Reliabilitas Instrument?
9. Apa Homogenitas?
10. Bagaiamana Ekuivalensi dan Analisis Item?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui Definisi Instrumen Penelitian
2. Untuk Mengetahui Jenis Instrumen Penelitian
3. Untuk Mengetahui Mengembangkan Instrumen Penelitian
4. Untuk Mengetahui Mengkaji dan Menilai Instrumen
5. Untuk Mengetahui Memilih Alat Pengumpulan Data
6. Untuk Mengetahui Uji Validitas Instrumen
7. Untuk Mengetahui Theory Related Validity dan criterio Related Validity
8. Untuk Mengetahui Uji Reliabilitas Instrument
9. Untuk Mengetahui Homogenitas
10. Untuk Mengetahui Ekuivalensi dan Analisis Item

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dapat diartikan sebagai alat untuk


mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data-data secara

4
sistematis serta objektif dengan tujuan memecahkan suatu persoalan atau
menguji suatu hipotesis. Sebagai alat bantu dalam pengumpulan data
penelitian, mutu instrumen sangat menentukan mutu data yang
dikumpulkan. nstrumen adalah alat bantu yang digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan dan mengukur informasi kuantitatif tentang variabel
yang sedang diteliti. Sebagai alat bantu dalam pengumpulan data penelitian,
mutu instrumen sangat menentukan mutu data yang dikumpulkan (Nasution,
2016).

2.2. Jenis Instrumen Penelitian


Instrumen dalam sebuah penelitian dibedakan menjadi dua yaitu
bentuk tes dan non tes. Instrumen tes terdiri dari tes psikologis dan tes non-
psikologis, sedangkan instrumen non tes teridiri dari angket atau kuesioner,
interview atau wawancara, observasi atau pengamatan, skala bertingkat dan
dokumentasi. Penjelasan secara rinci akan dibahas sebagai berikut.
1. Instrumen Tes
Tes dalam lingkup dunia pendidikan merupakan istilah yang
sangat populer karena banyak digunakan untuk mengukur hasil belajar
peserta didik setelah mengalami proses belajar-mengajar. Dilihat dari
aspek yang diukur, tes dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tes non-
psikologis dan tes psikologis. Jenis tes psikologis dibedakan lagi
menjadi dua macam, yaitu tes psikologi yang digunakan untuk
mengukur aspek afektif dan tes psikologis yang digunakan untuk
mengukur kemampuan intelektual.
Tes psikologis yang dirancang untuk mengukur aspek afektif
atau aspek non- intelektual dari tingkahlaku umumnya dikenal dengan
nama tes kepribadian (personality tests). Dalam terminologi pengukuran
psikologis, tes kepribadian sering digunakan untuk mengukur karaterstik
seseorang seperti pernyataan emosional, hubungan interpersonal,
motivasi, minat, dan sikap.
Tes psikologis yang digunakan untuk mengukur aspek
kemampuan intelektual disebut dengan tes kemampuan (ability tests).

5
Tes kemampuan dikategorikan menjadi dua, tes bakat (aptitude tests)
dan tes kemahiran (proficiency tests).
Menyusun tes harus sesuai prosedur dan melalui proses yang
benar. Prosedur yang ditempuh dalam menyusun atau mengembangkan
tes kemampuan dalam rangka penelitian pada dasarnya adalah sebagai
berikut:
a) Penetapan Aspek yang Diukur
Menetapkan aspek yang hendak diukur merupakan langkah pertama
dalam upaya penyusunan atau pengembangan tes. Dalam
pengembangan tes hasil belajar, terdapat dua aspek yang mendapat
perhatian, yaitu (1) materi pelajaran, dan (2) aspek kepribadian/ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor yang akan dukur.
b) Pendeskripsian Aspek yang Diukur
Pendeskripsian aspek yang diukur merupakan penjabaran lebih lanjut
dari aspek- aspek yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam proses
menyusun tes, deskripsi variabel yang telah ditetapkan tersebut
dituangkan dalam bentuk tabel spesifikasi atau lebih dikenal dengan
kisi-kisi tes. Di dalam kisi-kisi tes termuat materi pelajaran dan
aspek kepribadian yang diukur, bentuk tes dan tipe soal yang
digunakan, serta jumlah soal.
c) Pemilihan Bentuk Tes
Bentuk tes merupakan tipe soal dilihat dari cara peserta tes dalam
memberikan jawaban soal dan cara peneliti memberikan skor. Jika
peserta tes memiliki kebebasan yang luas dalam menjawab soal-soal
tes, maka dikatakan bahwa tes itu adalah tes subjektif (free answer
tests). Jika peserta tes tidak memiliki kebebasan dalam menjawab
soal-soal tes, bahkan hanya tinggal memilih dari jawaban yang telah
disediakan oleh peneliti, maka tes itu disebut tes objektif (restricted
answer tests). Tes juga dapat dibedakan menjadi tes subjektif dan tes
objektif, dilihat dari cara peneliti dalam memberikan skor. Suatu tes
disebut tes subjektif berdasarkan cara peneliti memberikan skor
apabila skor yang diberikan peneliti dipertimbangkan terlebih dahulu

6
terhadap jawaban peserta tes, kemudian baru didapat perolehan skor
dari tes tersebut. Suatu tes disebut tes objektif berdasarkan cara
peneliti memberikan skor apabila peneliti memberikan skor secara
langsung tanpa harus mempertimbangkan jawaban yang diberikan
oleh peserta tes.
d) Penyusunan Butir Soal
Penyusunan butir soal ke dalam suatu tes didasarkan atas bentuk dan
tipe soal yang akan dibuat, bukan disusun menurut urutan materi.
Butir-butir soal tes objektif dikelompokkan tersendiri, begitu juga
dengan soal-soal tes subjektif. Jika dalam tes objektif digunakan
beberapa tipe soal (pilihan benar, pilihan kombinasi, dan/atau pilihan
kompleks), maka butir-butir soal tes objektif harus disusun
berdasarkan tipe soal tersebut.
e) Pelaksanaan Uji Coba
Pelaksanaan uji coba instruman yang berupa tes dilakukan untuk
mengetahui validitas butir soal, tingkat reliabilitas tes, ketepatan
petunjuk dan kejelasan bahasa yang digunakan, dan jumlah waktu
riil yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tes. Uji coba tes dilakukan
pada subjek yang memiliki karakteristik yang identik dengan subjek
penelitian yang sesungguhnya (relevan) agar hasil yang diperoleh
sesuai dengan yang diharapkan.
f) Analisis Hasil Uji Coba
Analisis terhadap hasil uji coba tes dilakukan untuk mengetahui
secara empirik validitas butir soal dan tingkat reliabilitas tes. Ukuran
yang digunakan untuk menilai validitas butir soal adalah indeks
kesukaran soal (P) dan indeks daya beda soal (D), sedangkan untuk
mengetahui tingkat reliabilitas tes adalah dengan menggunakan
koefisien reliabilitas yang biasanya dihitung menggunakan rumus
KR-20 atau KR-21 untuk tes objektif dan koefisien Alpha untuk tes
subjektif.
g) Seleksi, Penyempurnaan, dan Penataan Butir Soal

7
Hasil analisis terhadap kualitas butir soal dijadikan dasar peneliti
untuk memilih atau menyempurnakan butir soal yang akan
digunakan dalam tes. Seleksi atau penyempurnaan butir soal
diperlukan karena biasanya selalu ada soal yang tidak memenuhi
syarat dilihat dari kriteria tingkat kesukaran dan daya beda soal. Oleh
sebab itu, jumlah soal yang ditulis untuk keperluan uji coba selalu
harus lebih banyak dari jumlah yang diperlukan. Penataan soal
sebaiknya memperhatikan bentuk tes dan tipe soal, serta
mengindahkan tingkat kesukaran soal. Soal yang tergolong mudah
biasanya berada di bagian paling awal dari tes, sedangkan sebagian
lagi ditempatkan di bagian paling akhir dan soal-soal yang tergolong
sedan dan sukar ditempatkan di tengah-tengah. Penataan ini
didasarkan atas pertimbangan psikologis pengambil tes.
h) Pencetakan Tes
Pencetakan tes perlu memperhatikan format, jenis, dan model huruf
yang akan digunkanan. Format tes berkaitan dengan tata letak (lay
out) dan soal-soal di dalam tes, sedangkan jenis dan model huruf
memiliki hubungan yang erat dengan besar dan kejelasan huruf yang
digunakan. Pencetakan tes perlu diperhatikan agar penampilan tes
menjadi lebih rapi, indah, dan jelas sehingga menarik untuk
dikerjakan.
2. Instrumen Inventori
Inventori merupakan instrumen penelitian yang digunakan untuk
mengukur karakteristik psikologis tertentu dari individu. Inventori
berbeda dengan tes (kemampuan), jika dalam tes (kemampuan) pada
umumnya menuntut jawaban yang dilandasi oleh suatu kemampuan
tertentu yang harus dimiliki oleh peserta tes, maka dalam inventori,
jawaban yang diberikan merupakan suatu keadaan yang sewajarnyam
suasan keseharian yang dirasakan dan dialami, atau sesuatu yang
diharapkan, sehingga dalam menjawab pertanyaan/pernyataan di dalam
inventori, orang tidak perlu belajar terlebih dahulu. Prosedur dalam
menyusun inventori ada 8 tahapan, yaitu:

8
a) Penetapan Konstruk yang Diukur
Konstruk pada inventori menunjuk pada hal-hal yang pada dasarnya
tidak dapat diamati secara langsung, seperti persepsi, minat,
motivasi, sikap, dan sebagainya. Penetapan konstruk yang akan
diukur merupakan kegiatan mengidentifikasi variabel penelitian yang
datanya akan diambil dengen menggunakan inventori. Misal,
variabel yang akan diteliti adalah “sikap nasionalisme siswa di
SMA”. Dari variabel penelitian ini dapat diidentifikasi bahwa
konstruk yang akan diukur adalah sikap.
b) Perumusan Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat
yang didefinisikan sehingga dapat diamati. Ukuran dapat diamati
tersebut menjadi penting, karena hal yang dapat diamati itu
membuka kemungkinan bagi orang lain selain peneliti untuk
melakukan hal yang serupa, sehingga apa yang dilaksanakan oleh
peneliti terbuka untuk diuji kembali oleh orang lain (replikabilitas).
Perumusan definisi operasional variabel penelitian yang berupa
konstruk lebih bervariasi dan kompleks ketimbang pada proses
perumusan definisi operasional dalam menyusun tes, karena ada
banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyusunnya. Cara-cara
tersebut adalah: (1) yang menekankan pada kegiatan apa yang
dilakukan agar konstruk yang didefinisikan itu terjadi, (b) yang
memberi aksentuasi kepada bagaimana kegiatan itu dilakukan, dan
(c) yang menitik beratkan pada sifat-sifat stasis dari konstruk yang
didefinisikan.
c) Pendeskripsian Konstruk
Pendeskripsian konstruk bertujuan untuk menujukkan secara rinci
mengenai isi konstruk (variabel) yang hendak diukur. Untuk
mempermudah penyusunan pernyataan dalam inventori, umumnya
peneliti menuangkan deskripsi konstruk (variabel) tersebut ke dalam
bentuk matrik.
d) Penulisan Butir Pernyataan

9
Menyusun butir-butir pernyataan (items) dalam inventori langkah
kritis, karena dari pernyataan-pernyataan ini merupakan langkah
yang kritis, karena dari pernyataan- pernyataan inilah akan
dihasilkan data yang diperlukan oleh peneliti. Kualitas pernyataan
yang dihasilkan tidak hanya ditentukan oleh penguasaan
pengetahuan yang bersifat teoritis, tetapi harus didukung oleh latihan
yang terarah, pengalaman yang cukup, kreativitas dan kesungguhan,
disamping faktor kiat yang dimiliki oleh masing- masing peneliti.
e) Pelaksanaan Uji Coba
Kegiatan uji coba instrumen dalam proses penyusunan inventori
dimaksudkan untuk mengetahui validitas butir pernyataan, tingkat
reliabilitas inventori, ketepatan petunjuk dan kejelasan bahasa yang
digunakan, dan jumlah waktu riil yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pengerjaan inventori tersebut oleh responden. Teknik
yang digunakan untuk menguji validitas butir pernyataan dan
mengestimasi tingkat reliabilitas instrumen inventori berbeda dengan
tes, karena pemberian skor pada inventori bersifat bergradasi. Subjek
uji coba inventori haruslah memiliki karakteristik yang sama atau
identik dengan subjek penelitian. Mengenai jumlah subjek yang
diperlukan untuk keperluan uji coba tersebut berlaku rumus umum
yang menyatakan bahwa semakin banyak subjek maka akan semakin
baik dan seminimal-minimalnya adalah tidak kurang dari 30 subjek.
f) Analisis Hasil Uji Coba
Analisis hasil uji coba jawaban responden tidak dapat dinilai benar
atau salah, melainkan bergradasi, oleh sebab itu validitas butir
pernyataan hanya didasarkan atas indeks daya beda soal. Sedangkan
perhitungan indeks daya beda soal ini dapat menggunakan teknik
analisis korelasi atau uji beda nilai rata-rata. Selanjutnya, estimasi
tingkat reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan rumus
penghitungan koefisien Alpha dari Cronbach.
g) Seleksi, Penyempurnaan, dan Penataan Butir Soal

10
Butir pernyataan yang tidak valid perlu diganti, sedangkan yang
kurang valid masih dapat dipakai setelah disempurnakan, kemudian
barulah dilakukan penataan butir pernyataan. Hal penting yang perlu
ditambahkan dalam penyusunan inventori adalah kata pengantar.
Kata pengantar umumnya berisi penjelasan tentang maksud dan
tujuan dilaksanakannya penelitian. Hal ini penting untuk
menghilangkan ketidakpastian, kecurigaan, dan kekhawatiran dalam
diri responden, sehingga mereka akan bersediamemberikan jawaban
sebagaimana yang diharapkan.Rekomendasi dari instansi yang
berwenan juga dapat dicantumkan sebagai kelengkapan isi kata
pengantar. Selain itu, jaminan akan kerahasiaan pribadi dan
informasi yang diberikan responden penting juga untuk diutarakan
pada bagian pengantar. Bagian akhir biasanya berisi ucapan terima
kasih atas kesediaan responden untuk membantu menyukseskan
pelaksanaan penelitian.
h) Pencetakan Inventori
Pencetakan inventori sama seperti halnya pencetakan tes, perlu
memperhatikan format, jenis, dan model huruf yang akan
digunkanan. Format inventori berkaitan dengan tata letak (lay out)
dan soal-soal di dalam tes, sedangkan jenis dan model huruf
memiliki hubungan yang erat dengan besar dan kejelasan huruf yang
digunakan. Pencetakan inventori perlu diperhatikan agar penampilan
inventori menjadi lebih rapi, indah, dan jelas sehingga menarik untuk
dikerjakan oleh responden.
3. Angket atau Kuesioner
Angket aau kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang
digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti
laporan tentang pribadinya, atau hal- hal yang ia ketahui. Kuesioner
banyak digunakan dalam penelitian pendidikan dan penelitian sosial
yang menggunakan rancangan survei, karena ada beberapa keuntungan
yang diperoleh. Pertama, kuesioner dapat disusun secara teliti dalam
situasi yang tenang sehingga pertanyaaan-pertanyaan yang terdapat di

11
dalamnya dapat mengikuti sistematik dari masalah yang diteliti. Kedua,
penggunaan kuesioner memungkinkan peneliti menjaring data dari
banyak responden dalam periode waktu yang relatif singkat.
Penyusunan instrumen angket atau kuesioner hampir sama
dengan penyusunan inventori. Bedanya pada langkah kelima, yaitu
pelaksanaan uji coba dalam kuesioner bukanlah untuk menguji validitas
butir pertanyaan secara statistik, melainkan untuk mengetahui kejelasan
petunjuk pengerjaan, kekomunikatifan bahasa yang digunakan, dan
jumlah waktu riil yang dibutuhkan untuk menjawab semua pertanyaan
secara baik.
4. Interview atau Wawancara
Interview atau wawancara adalah percakapan orang-perorang
(the person–to-person) dan wawancara kelompok (group interviews).
Percakapan dilakukan dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu peneliti
sebagai pewawancara dan subjek penelitian sebagai informan (Ulfatin,
2014:189).
5. Observasi atau Pengamatan
Observasi adalah mengadakan pengamatan secara langsung,
observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, ragam gambar, dan
rekaman suara. Pedoman observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan
yang mungkin timbul dan akan diamati. Pedoman observasi atau
pengamatan diperlukan terutama jika peneliti menerapkan pengamatan
terfokus dalam proses pengumpulan data. Dalam pengamatan terfokus
peneliti memusatkan perhatiannya hanya pada beberapa aspek perilaku
atau fenomena yang menjadi objek sasarannya.
Penyusunan pedoman pengamatan yang perlu dilakukan
diantaranya : 1) menetapkan objek yang akan diamati; 2) merumuskan
definisi operasional mengenai objek yang akan diamati; 3) membuat
deskripsi tentang objek yang akan diamati; 4) membuat dan menyusun
butir-butir pertanyaan singkat tentang indikator dari objek yang diamati;
5) melakukan uji coba; dan 6) menyempurnakan dan menata butir-butir
pertanyaan ke dalam satu kesatuan yang utuh dan sistematis. Namun

12
untuk uji coba bukanlah untuk menguji kevalidan butir pertanyaan
dengan menggunakan teknik analisis statistik, melainkan untuk
mengetahui kejelasan rumusan masalah pertanyaan yang ditunjukkan
dengan adanya kesamaan penafsiran oleh pengamat terhadap objek yang
sama.
6. Skala Bertingkat
Rating atau skala bertingkat adalah suatu ukuran subyektif yang
dibuat berskala. Walaupun skala bertingkat ini menghasilkan data yang
kasar, tetapi cukup memberikan informasi tertentu tentang program atau
orang. Instrumen ini dapat dengan mudah memberikan gambaran
penampilan, terutama penampilan di dalam orang menjalankan tugas,
yang menunjukan frekuensi munculnya sifat-sifat. Di dalam menyusun
skala, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menentukan variabel
skala. Apa yang ditanyakan harus apa yang dapat diamati responden.
7. Dokumentasi dan Data Sekunder
Dokumentasi, dari asal kata dokumen, yang artinya barang-
barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, penelitian
menyelidiki hal-hal berupa transkip, catatan, buku, surat, prasasti,
notulen rapat, agenda, arsip, jurnal, video dan sagainya.

2.3. Mengembangkan Instrumen Penelitian

Untuk memahami konsep penyusunan dan pengembangan instrumen,


maka di bawah ini akan disajikan proses atau langkah-langkah yang
ditempuh dalam penyusunan instrumen dilengkapi dengan bagan proses
penyusunan item-item instrumen suatu penelitian. Secara garis besar
langkah-langkah penyusunan dan pengembangan instrumen adalah sebagai
berikut (Muljono, 2022):
1. Berdasarkan sintesis dari teori-teori yang dikaji tentang suatu konsep
dari variabel yang hendak diukur, kemudian dirumuskan konstruk dari
variabel tersebut. Konstruk pada dasarnya adalah bangun pengertian dari
suatu konsep yang dirumuskan oleh peneliti.

13
2. Berdasarkan konstruk tersebut dikembangkan dimensi dan indikator
variabel yang sesungguhnya telah tertuang secara eksplisit pada rumusan
konstruk variabel pada langkah 1.
3. Membuat kisi-kisi instrumen dalam bentuk tabel spesifikasi yang
memuat dimensi, indikator, nomor butir dan jumlah butir untuk setiap
dimensi dan indikator.
4. Menetapkan besaran atau parameter yang bergerak dalam suatu
rentangan kontinum dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan,
misalnya dari rendah ke tinggi, dari negatif ke positif, dari otoriter ke
demokratik, dari dependen ke independen, dan sebagainya.
5. Menulis butir-butir instrumen yang dapat berbentuk pernyataan atau
pertanyaan. Biasanya butir instrumen yang dibuat terdiri atas dua
kelompok yaitu kelompok butir positif dan kelompok butir negatif. Butir
positif adalah pernyataan mengenai ciri atau keadaan, sikap atau persepsi
yang positif atau mendekat ke kutub positif, sedang butir negatif adalah
pernyataan mengenai ciri atau keadaan, persepsi atau sikap negatif atau
mendekat ke kutub negatif.
6. Butir-butir yang telah ditulis merupakan konsep instrumen yang harus
melalui proses validasi, baik validasi teoretik maupun validasi empirik.
7. Tahap validasi pertama yang ditempuh adalah validasi teoretik, yaitu
melalui pemeriksaan pakar atau melalui panel yang pada dasarnya
menelaah seberapa jauh dimensi merupakan jabaran yang tepat dari
konstruk, seberapa jauh 3 indikator merupakan jabaran yang tepat dari
dimensi, dan seberapa jauh butir-butir instrumen yang dibuat secara
tepat dapat mengukur indikator.
8. Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar atau berdasarkan
hasil panel.
9. Setelah konsep instrumen dianggap valid secara teoretik atau secara
konseptual, dilakukanlah penggandaan instrumen secara terbatas untuk
keperluan ujicoba.
10. Uji coba instrumen di lapangan merupakan bagian dari proses validasi
empirik. Melalui ujicoba tersebut, instrumen diberikan kepada sejumlah

14
responden sebagai sampel uji-coba yang mempunyai karakteristik sama
atau ekivalen dengan karakteristik populasi penelitian. Jawaban atau
respon dari sampel ujicoba merupakan data empiris yang akan dianalisis
untuk menguji validitas empiris atau validitas kriteria dari instrumen
yang dikembangkan.
11. Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan kriteria baik kriteria
internal maupun kriteria eksternal. Kriteria internal, adalah instrumen itu
sendiri sebagai suatu kesatuan yang dijadikan kriteria sedangkan kriteria
eksternal, adalah instrumen atau hasil ukur tertentu di luar instrumen
yang dijadikan sebagai kriteria.
12. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh kesimpulan mengenai valid atau
tidaknya sebuah butir atau sebuah perangkat instrumen. Jika kita
menggunakan kriteria internal, yaitu skor total instrumen sebagai kriteria
maka keputusan pengujian adalah mengenai valid atau tidaknya butir
instrumen dan proses pengujiannya biasa disebut analisis butir. Dalam
kasus lainnya, yakni jika kita menggunakan kriteria eksternal, yaitu
instrumen atau ukuran lain di luar instrumen yang dibuat yang dijadikan
kriteria maka keputusan pengujiannya adalah mengenai valid atau
tidaknya perangkat instrumen sebagai suatu kesatuan.
13. Untuk kriteria internal atau validitas internal, berdasarkan hasil analisis
butir maka butir-butir yang tidak valid dikeluarkan atau diperbaiki untuk
diujicoba ulang, sedang butir-butir yang valid dirakit kembali menjadi
sebuah perangkat instrumen untuk melihat kembali validitas kontennya
berdasarkan kisi-kisi. Jika secara konten butir-butir yang valid tersebut
dianggap valid atau memenuhi syarat, maka perangkat instrumen yang
terakhir ini menjadi instrumen final yang akan digunakan untuk
mengukur variabel penelitian kita.
14. Selanjutnya dihitung koefisien reliabilitas. Koefisien reliabilitas dengan
rentangan nilai (0-1) adalah besaran yang menunjukkan kualitas atau
konsistensi hasil ukur instrumen.Makin tinggi koefisien reliabilitas
makin tinggi pula kualitas instrumen tersebut. Mengenai batas nilai
koefisien reliabilitas yang dianggap layak tergantung pada presisi yang

15
dikehendaki oleh suatu penelitian. Untuk itu kita dapat merujuk
pendapat-pendapat yang sudah ada, karena secara eksak tidak ada tabel
atau distribusi statistik mengenai angka reliabilitas yang dapat dijadikan
rujukan.
15. Perakitan butir-butir instrumen yang valid untuk dijadikan instrumen
final.
Alur tahapan penyusunan dan pengembangan instrumen dapat dilihat
pada Gambar 1 berikut.

Variabel Teori Konstruk

Definisi Operasional Definisi Konseptual

Penetapan jenis instrumen Penetapan jenis instrumen

Dari bagan tersebut terlihat bahwa untuk keperluan penyusunan dan


pengembangan instrumen pertama-tama adalah penetapan konstruk variabel
penelitian yang merupakan sintesis dari teori-teori yang telah dibahas dan
dianalisis yang penyajiannya diuraikan dalam pengkajian teoretik atau
tinjauan pustaka. Konstruk tersebut dijelaskan dalam definisi konseptual
variabel, yang di dalamnya tercakup dimensi dan indikator dari variabel
yang hendak diukur.
Berdasarkan konstruk tersebut ditetapkan indikator-indikator yang
akan diukur dari variabel tersebut. Selanjutnya item-item instrumen dibuat
untuk mengukur indikator-indikator yang telah ditetapkan dengan cara
seperti telah dikemukakan pada proses penyusunan dan pengembangan
instrumen point 4 dan 5. Karena bentuk item-item instrumen yang akan
dibuat harus sesuai dengan instrumen yang dipilih, maka sebelum menulis
item-item instrumen terlebih dahulu peneliti harus memilih jenis instrumen
apa yang sesuai untuk mengukur indikator dari variabel yang akan diteliti.

16
2.4. Mengkaji dan Menilai Instrumen

1. Memeriksa instrumen mulai dari konstruk sampai penyusunan butir

Dalam kaitan ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara


lain :
a. Apakah indikator yang dirumuskan sudah merupakan jabaran yang
tepat dari dimensi yang telah dirumuskan dan sesuai untuk
mengukur konstruk dari variabel yang hendak diukur ?
b. Apakah butir-butir instrumen yang dibuat telah sesuai untuk
mengukur indikator-indikator dari variabel yang hendak diukur ?
2. Menilai butir

Butir yang sudah dibuat diberikan kepada sekelompok panel


untuk dinilai dengan tetap mengacu pada tolok ukur di atas. Metode
penilaian butir dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan
Metode Thurstone dan Pair Comparison.
a. Teknik penilaian butir dengan Metode Thurstone
Langkah-langkah
1) Membuat sejumlah pernyataan (sekitar 40 –50 butir) yang
relevan untuk variabel yang hendak diukur.
2) Membentuk panel yang terdiri dari sejumlah ahli (20-40 orang)
untuk menilai relevansi pernyataan (item) yang telah dibuat.
Tentukan skala penilaian (1-11) atau (1-13). Jika dipakai
skala penilaian (1- 11), maka skala tersebut menunjukkan
bahwa :
Skala 1 : untuk pernyataan yang sangat tidak relevan
Skala 11 : untuk pernyataan yang sangat relevan
Misalnya :
Satu pernyataan dinilai oleh 20 orang ahli sebagai panel.

Skala 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
f 0 0 0 0 1 3 7 5 3 1 0
Penilai

17
Kemudian diubah menjadi frekuensi kumulatif (fk) sebagaimana
berikut ini :

Skala 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
fk 0 0 0 0 1 4 11 16 19 20 20

Selanjutnya dihitung Median (Md) dan Kuartil (Q) dari data


tersebut sehingga diperoleh :

Q1 = 6,2 Q2 = Md = 6,9 Q3 = 7,8

Dari hasil tersebut kemudian dapat diinter-pretasikan bahwa :


a) Semakin tinggi nilai Md, berarti pernyataan semakin baik
atau semakin relevan dengan konstruk variabel yang
hendak diukur.
b) Semakin kecil nilai Q – (Q3 – Q1), berarti semakin kuat
persetujuan Panel.
3) Menyusun atau menentukan jenjangitem atau
pernyataan dengan berdasarkan pada nilai Md hasil
panel.
4) Menentukan skor reponden dengan cara melakukan
pembobotan atas dasar nilai Md.
Misalnya :
Ada 5 item yang dipilih untuk mengukur sikap terhadap konsep
A. Jika skala item (1-11) dan hasil serta bobotnya (Md)
seperti tabel berikut, maka skor responden adalah :
No. Hasil Bobot Skor

1 8 9,0 72
2 5 8,5 42,5
3 9 8 72
4 10 7 70
5 5 6,5 32,5

18
Skor responden = 289
Skor netral= 234 Atau :
Skor responden = 7,4
Skor netral= 6,0
Contoh
Hasil panel terhadap 10 butir skala adalah sebagai berikut :
No. Butir Median Q3 – Q1

1 6,9 1,6
2 9,5 1,2
3 5,2 1,4
4 6,5 1,5
5 10,2 1,2
6 7,4 2,4
7 9,2 1,5
8 8,5 1,4
9 5,0 1,5
10 7,8 1,7

Data hasil penelitian :


Skor butir Bobot Skor

1 6,9 6,9
4 9,5 38,0
3 5,2 15,6
4 6,5 26,0
5 10,2 51,0
3 7,4 22,2
4 9,2 36,8
5 8,5 42,5
2 5,0 10,0
3 7,8 23,4

19
34 76,2 272,4

Dikoreksi :
Skor total = 272,4 Rata-rata = 3,575

Tidak dikoreksi :
Skor total = 259,08 Rata-rata = 3,4.

b. Teknik penilaian butir dengan Pair Comparison


Pair comparison (perbandingan berpasangan) merupakan
salah satu teknik penilaian butir yang bertujuan untuk mengukur
sikap kelompok terhadap beberapa butir yang kemungkinan
menjadi pilihan. Metode pair comparison dapat juga digunakan
untuk menentukan bobot relevansi berdasarkan pendapat
sekelompok orang. Caranya adalah semua butir dipasangkan dua-
dua, kemudian sekelompok orang diminta menentukan manakah
butir-butir yang lebih baik.
Jumlah pasangan yang dapat disusun bisa dirumuskan
sebagai berikut :
n (n – 1)
2
dimana : n = banyaknya butir (obyek /pilihan).
Langkah-langkah :
1) Membuat pertanyaan sebanyak pasangan butir yang
kemungkinan dapat disusun.Misalkan jika terdapat butir 1, 2, 3
dan 4; maka dapat disusun . pertanyaan sebanyak 6 buah,
yaitu :
a) Manakah yang lebih baik antara butir 1 dan butir 2 ?
b) Manakah yang lebih baik antara butir 1 dan butir 3 ?
c) Manakah yang lebih baik antara butir 1 dan butir 4 ?
d) Manakah yang lebih baik antara butir 2 dan butir 3 ?
e) Manakah yang lebih baik antara butir 2 dan butir 4 ?

20
f) Manakah yang lebih baik antara butir 3 dan butir 4 ?
2) Pertanyaan diberikan kepada responden (sekelompok orang)
untuk diisi (misalnya 120 orang)
3) Hasilnya dirangkum dalam matrik frekuensi, sebagai berikut :
Butir 1 2 3 4

1 - 72 78 96
2 48 - 54 84

3 42 66 - 66

4 24 36 54 -

4) Matriks frekuensi ditransformasi menjadi matriks proporsi


seperti berikut ini
Butir 1 2 3 4

1 0,50 0,60 0,65 0,80


2 0,40 0,50 0,45 0,70

3 0,35 0,55 0,50 0,55

4 0,20 0,30 0,45 0,50

5) Matriks proporsi ditransformasi menjadi matriks Z (lihat Tabel


Z)
Butir 1 2 3 4

1 0,000 0,253 0,385 0,842

2 -0,253 0,000 -0,126 0,524

3 -0,385 0,126 0,000 0,126

4 -0,842 -0,524 -0,126 0,000

6) Selanjutnya dari matriks Z dihitung jumlah menurut kolom, rata-rata,


dan bobotnya.

21
1 2 3 4
Jumlah -1,480 -0,145 0,13 1,492
3
Rata-rata -0,370 -0,036 0,03 0,373
3
Penyesuaian 0,000 0,334 0,40 0,743
3
Bobot 0 334 403 743

Jika akan ditentukan dua butir terbaik dari hasil perhitungan tersebut,
maka yang terpilih adalah butir 4 dan 3 karena masing-masing
memiliki bobot yang tertinggi yaitu 743 dan 403. (Muljono, 2022)

2.5. Memilih Alat Pengumpulan Data


Instrumen merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting
untuk membantu perolehan data dilapangan. Sebelum menyusun instrument
penelitian, penting untuk diketahui pula bentuk-bentuk instrumen yang
digunakan dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bentuk Instrumen Tes
Tes dapat berupa serentetan pertanyaan, lembar kerja, atau
sejenisnya yang dapat digunakanuntuk mengukur pengetahuan,
keterampilan, bakat, dan kemampuan dari subjek penelitian.Lembar
instrumen berupa tes ini berisi soal-soal ter terdiri atas butir-butir soal.
Setiap butir soalmewakili satu jenis variabel yang diukur. Berdasarkan
sasaran dan objek yang diteliti, terdapatt beberapa macam tes, yaitu:
a. Tes kepribadian atau personality test, digunakan untuk mengungkap
kepribadianseseoranng yang menyangkut konsep pribadi, kreativitas,
disiplin, kemampuan, bakatkhusus, dan sebagainya
b. Tes bakat atau aptitude test, tes ini digunkan untuk mengetahui bakat
seseorang.
c. Tes inteligensi atau intelligence test, dilakukan untuk
memperkirakan tingkat intelektual seseorang.
d. Tes sikap atau attitude test, digunakan untuk mengukur berbagai
sikap oranng dalammenghadapi suatu kondisi

22
e. Tes minat atau measures of interest, ditunjukan untuk menggali
minat seseorang terhadap sesuatu
f. Tes prestasi atau achievement test, digunakan untuk mengetahui
pencapaian sesorang setelah dia mempelajari sesuatu.
Bentuk instrumen ini dapat dipergunkan salah satunya dalam
mengevaluasi kemampuanhasil belajar siswa disekolah dasar, tentu
dengan memperhatikan aspek aspek mendasar seperti kemampuan dalam
pengetahuan, sikap serta keterampilan yang dimiliki baik setelah
mennyelesaikan salah satu materi tertentu atau seluruh materi yang telah
disampaikan.
2. Bentuk Instrument interview
Suatu bentuk dialaog yang dilakukan oleh peneliti untuk
memperoleh informasi dariresponden dinamakan interview.
Instrumennya dinamakan pedoman wawancara atau interview guide.
Dalam pelaksanaannya, interview dapat dilakukan secara terstruktur dan
tidak terstruktur (bebas). Secara bebas artinya pewawancara bebas
menanakan apa saja kepada terwawancaratanpa harus membawa lembar
pedomannya. Syarat interview seperti ini adalah pewawancaraharus tetap
mengingat data yang harus terkumpul. Lain halnya dengan interview
yang bersifatterpimpin, pewawancara berpedoman pada pertanyaan
lengkap dan terperinci, layaknya sebuahkuesioner. Selain itu ada juga
interview yang bebas terpimpin, dimana pewawancara bebasmelakuakan
interview dengan hanya menggunakan pedoman yang memuat garis
besarnya saja.Peneliti harus memutuskan besarnya strukrtur dalam
wawancara, struktur wawancara dapat berada pada rentang tidak
berstruktur sampai berstruktur. Penelitian kualitatif
umumnyamenggunakan wawancara tidak berstruktur atau semi
berstruktur.
a. Wawancara tidak berstruktur, tidak berstandard, informal, atau
berfokus dimulai dariertanyaan umum dalam area yang luas pada
penelitian. Wawancara ini biasanya diikutioleh suatu kata kunci,
agenda atau daftar topik yang akan mencakup dalam wawancara.

23
Namun tidak ada pertanyaan yang ditetapkan sebelumnya kecuali
dalam wawancara yangawal sekali.
b. Wawancara semi berstuktur, wawancara ini dimulai dari isu yang
mencakup dalam pedoman wawancara. Pedoman wawancara
bukanlah jadwal seperti dalam penelitiankuantitatif. Sekuensi
pertanyaan tidaklah sama ada tiap partisipan bergantung pada
proseswawancara dan jawaban tiap individu. Namun pedoman
wawancara menjamin penelitidapat mengumpulkan jenis data yang
sama dari partisipan
c. Wawancara berstruktur atau berstandard. Beberapa keterbatasan
pada wawancara jenisini membuat data yang diperoleh tidak kaya.
Jadwal wawancara berisi sejumlah pertanyaan yang telah
direncanakan sebelumnya. Tiap partisipan ditanyakan
pertanyaanyang sama dengan urutan yang sama pula. Jenis
wawancara ini menyerupai kuesioner survei tertulis.
d. Wawancara kelompok merupakan instrumen yang berharga untuk
peneliti yang berfokus pada normalitas kelompok atau dinamika
seputar isu yang ingin diteliti
e. Faktor prosedural/struktural, dimensi prosedural bersandar pada
wawancara yang bersifat natural antara peneliti dan partisipan atau
disebut juga wawancara tidak berstruktur
f. Faktor konstekstual. Dimensi konsektual mencakupi jumlah isyu.
Pertama, terminologiyang di dalam wawancara dianggap penting.
Kedua, konteks wawancara yang berdampak pada penilaian respon.
Instrumen wawancara digunakan dalam penelitian kualitatif
karena dapat mengungkapinformasi lintas waktu, yaitu berkaitan dengan
dengan masa lampau, masa sekarang, dan masayang akan datang. Dan
data yang dihasilkan dari wawancara bersifat terbuka, menyeluruh,
dantidak terbatas, sehingga mampu membentuk informasi yang utuh dan
menyuluruh dalam mengungkap penelian kualitatif.
a) Wawancara Mendalam (in-depth interview)

24
Selain itu, dalam penelitian kualitatif juga memperoleh data
dengan metode wawancaramendalam. Wawancara mendalam (in-
depth interview) adalah proses memperoleh keteranganuntuk tujuan
penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antar
pewanwancaradengan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara,
dimana pewawancara terlibat dalam kehidupan sosial informan
(Rahmat,2009). Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi
kualitas wawancara mendalam yang perludikontrol oleh peneliti
yaitu:
1) Jenis kelamin pewawancara. Perbedaan jenis kelamin
pewawancara dengan orang yangdiwawancarai dapat
memengaruhi kualitas data. Pewawancara perempuan
mungkinmendapatkan informasi yang berbeda dari
pewawancara laki-laki dari seorang informan, bukan Karena
kualitas pertanyaannya atau karena cara mereka bertanya, tetapi
lebihkarena jenis kelaminnya.
2) Perilaku pewawancara. Perilaku pewawancara ketika proses
wawancara mendalam dapat pula memengaruhi kualitas
informasi yang diperoleh dari para informan. Pewawancara
perlu sensitif terhadap perbuatannya yang dapat menyinggung
informannya.
3) Situasi wawancara. Situasi wawancara seperti apakah
wawancara dilakukan secara santaiatau tegang, apakah para
informan dalam situasi yang terburu-terburu karena ada
pekerjaan yang ahrus diselesaikan segera, apakah wawancara
dilakukan dikantor ataudirumah dan sebagainya juga dapat
memengaruhi kualitas wawancara.
b) FGD (Focus Group Discussion)
FGD adalah sebuah teknik pengumpulan data dalam
penelitian kualitatif. Karena FGDadalah sebuah teknik pengumpulan
data, maka FGD dilakukan untuk mengumpulkan datatertentu bukan

25
untuk disiminasi informasi dan bukan pula untuk membuat
keputusan.Sehubungan dengan itu, ketika akan memilih untuk
menggunakannya setiap penyelenggaraFGD harus merumuskan atau
menetapkan data yang akan dikumpulkan dengan melakukan
GGD.Pada dasarnya, FGD adalah suatu wawancara mendalam yang
dilakukan oleh peneliti dengansekelompok orang dalam waktu.
Sekelompok orang tersebut tidak diwawancarai terpisah,melainkan
bersamaan dalam suatu pertemuan (Afrizal, 2014).Menurut
Kriyantono dalam (Ardianto, 2010), terdapat beberapa hal yang perlu
diketahui oleh peneliti dalam melaksanakan FGD, yaitu:
1) Tidak ada jawaban benar atau salah dari responden. Setipa orang
(peserta FGD) harusmerasa bebas dalam menjawab, berkomentar
atau berpendapat (positif atau negatif) asalsesuai dengan
permasalahan diskusi.
2) Selain interaksi dan perbincangan harus terekam dengan baik.
3) Diskusi harus berjalan dalam suasana informal, tidak ada peserta
yang menolak menjawab. Meskipun tidak ditanya, peserta dapat
memberikan komentar sehingga terjaditukar pendapat secarat
erus-menerus.
4) Moderator harus mampu membangkitkan suasana diskusi agar
tidak ada yangmendominasi pembicaraan dan tidak ada yang
jarang berkomentar (diam saja)
3. Bentuk Instrumen Observasi
Observasi dalam sebuah penelitian diartikan sebagi pemusatan
perhatian terhadap suatuobjek dengan melibatkan seluruh indera untuk
mendapatkan data. Observasi merupakan pengamatan langsunng dengan
menggunakan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan,atau
kalau perlu dengan pengecapan. Instrumen yang digunakan dalam
observasi dapat berupa pedoman pengamatan, tes, kuesioner, rekaman
gambar, dan rekaman suara.Instrumen observasi digunakan dalam
penelitian kualitatif sebagai pelengkap dari teknik wawancara yang telah
dilakukan. Observasi dalam penelitian kualitatis digunakan untuk

26
melihatdan mengamati secara langsung objek penelitian, sehingga
peneliti mampu mencatat danmenghimpun data yang diperlukan untuk
mengungkap penelitian yang dilakukan. Observasidalam penelitian
kualitatif peneliti harus memahami terlebih dahulu variasi pengamatan
dan peran-peran yang dilakukan peneliti. Menurut Bungin yang dikutip
oleh Rahrdjo mengemukakan beberapa bentuk observasi, yaitu:
1) Observasi partisipasi
Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode
pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti
terlibat dalam keseharian informan.
2) Observasi tidak terstruktur
Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa
menggunakan pedoman observasi, sehingga penelitimengembangkan
pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan.
3) Observasi kelompok.
Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh
sekelompok tim peneliti terhadapsebuah isu yang diangkat menjadi
objek penelitian. Menurut peranan observer, dibagi menjadi
observasi partisipan dan non partisipan. Pada beberapa pengamatan
juga dikenalkan kombinasi dari peran observer, yaitu pengamat
sebagai partisipan (observer as participant), partisipan sebagai
pengamat (participant as observation) Observasi menurut situasinya
dibagi menjadi free situation yaitu observasi yang dilakukan
dalamsituasi bebas, observasi dilakukan tanpa adanya hal-hal atau
faktor yang membatasi; manipulatedsituation yaitu observasi yang
dilakukan pada situasi yang dimanipulasi sedemikian rupa. Observer
dapat mengendalikan dan mengontrol situasi; partially controlled
situation yaituobservasi yang dilakukan pada dua situasi atau
keadaan free situation dan situasi manipulatif.Menurut sifat
observasi, terdiri dari observasi stematis yaitu observasi yang
dilakukan menurutstruktur yang berisikan faktor-faktor yang telah

27
diatur berdasarkan kategori, masalah yanghendak diobservasi; dan
observasi non sistematis yaitu observasi yang dilakukan tanpa
struktur atau rencana terlebih dahulu, dengan demikian observer
dapat menangkap apa saja yang dapat ditangkap.
4. Bentuk Instrumen Dokumentasi
Bentuk instrumen dokumentasi terdiri atas dua macam yaitu
pedoman dokumentasi yangmemuat garis-garis besar atau kategori yang
akan dicari datanya, dan check-list yang memuatdaftar variabel yang
akan dikumpulkan datanya. Perbedaan anatar kedua bentuk instrumen
initerletak pada intensitas gejala yang diteliti. Pada pedoman
dokumentasi, peneliti cukupmenuliskan tanda centang dalam kolom
gejala, sedangkan check-list, peneliti memberikan tally pada setiap
pemunculan gejala. Instrumen dokumentasi dikembangkan untuk
penelitian dengan menggunakan pendekatananalisis. Selain itu
digunakan juga dalam penelitian untuk mencari bukti-bukti sejarah,
landasanhukum, dan peraturan-peraturan yang pernah berlaku. Subjek
penelitiannya dapat berupa buku- buku, majalah, dokumen, peraturan-
peraturan, notulen rapat, catatan harian, bahkan bena-benda bersejarah
seperti prasasti dan artefak. Dokumen dalam penelitian kualitatif
digunakan sebagai penyempurna dari data wawancaradan observasi
yang telah dilakukan. Dokumen dalam penelitian kualitatif dapat berupa
tulisan,gambar, atau karya monumental dari obyek yang diteliti.

2.6. Uji Validitas Instrumen


Ada tiga jenis pengujian validitas instrumen menurut (Sugiyono: 2010),
yaitu:
1) Pengujian Validitas konstruk
Instrumen yang mempunyai validitas konstruk jika instrumen
tersebut dapat digunakan untuk mengukur gejala sesuai dengan dengan
yang didefinisikan. Misalnya akan mengukur efektivitas kerja, maka
perlu didefinisikan terlebih dahulu apa itu efektivitas kerja. Setelah itu
disiapkan instrumen yang digunakan untuk mengukur efektivitas kerja

28
sesuai dengan definisi. Untuk menguji validitas konstruk, maka dapat
digunakan pendapat ahli. Setelah instrumen dikonstruksikan tentang
aspek-aspek yang akan diukur, dengan berlandaskan teori tertentu, maka
selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli. Para ahli diminta pendapatnya
tentang instrumen yang telah disusun itu. Jumlah tenaga ahli yang
digunakan minimal tiga orang, dan umumnya mereka telah bergelar
doktor sesuai dengan lingkup yang diteliti. Setelah pengujian konstruk
dengan ahli, maka diteruskan dengan uji coba instrumen. Setelah data
ditabulasi, maka pengujian validitas konstruk dilakukan dengan analisis
faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen.
2) Pengujian Validitas Isi
Instrumen yang harus memiliki validitas isi adalah instrumen
yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar dan mengukur
efektivitas pelaksanaan program dan tujuan. Untuk menyusun instrumen
prestasi belajar yang mempunyai validitas isi, maka instrumen harus
disusun berdasarkan materi pelajaran yang telah diajarkan. Sedangkan
instrumen yang digunakan untuk mengetahui pelaksanaan program,
maka instrumen disusun berdasarkan program yang telah direncanakan.
Untuk instrumen yang berbentuk tes, maka pengujian validitas isi dapat
dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi
pelajaran yang telah diajarkan. Jika dosen memberikan ujian di luar
pelajaran yang telah ditetapkan, berarti instrumen ujian tersebut tidak
mempunyai validitas isi. Secara teknis, pengujian validitas konstruksi
dan validitas isi dapat dibantu dengan menggunakan kisi-kisi instrumen.
Dalam kisi-kisi itu terdapat variabel yang diteliti, indikator sebagai tolok
ukur, dan nomor butir (item) pertanyaan atau pernyataan yang telah
dijabarkan dari indikator. Dengan kisi-kisi instrumen itu, maka
pengujian validitas dapat dilakukan dengan mudah dan sistematis.
3) Pengujian Validitas Eksternal
Validitas eksternal instrumen diuji dengan cara membandingkan
(untuk mencari kesamaan) antara kriteria yang ada pada instrumen
dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di lapangan. Misalnya instrumen

29
untuk mengukur kinerja sekelompok pegawai. Maka kriteria kinerja
pada instrumen tersebut dibandingkan dengan catatan-catatan di
lapangan (empiris) tentang kinerja yang baik. Bila telah terdapat
kesamaan antara kriteria dalam instrumen dengan fakta di lapangan,
maka dapat dinyatakan instrumen tersebut mempunyai Validitas
eksternal yang tinggi.

2.7. Theory Related Validity dan criterio Related Validity

A. Teori validitas

Validitas adalah konsep teoretis yang telah berkembang pesat dari waktu ke
waktu (misalnya, American Psychological Association 1954, 1966;
American Psychological Association, American Educational Research
Association dan National Council on Measure-ment in Education 1974,
1985, 1999). Beberapa dekade yang lalu, definisi validitas yang khas dapat
berupa bahwa tes valid 'untuk apa pun yang berkorelasi' (misalnya, Guilford
1946, 429) atau 'jika tes itu mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur'
(lihat, misalnya, Shepard 1993). , 410). Jenis definisi ini dianggap sederhana
dan tidak bermasalah. Validitas juga dianggap sebagai properti tetap dari
sebuah tes. Korelasi yang memadai antara nilai tes dan beberapa kriteria
eksternal dianggap sebagai bukti validitas tes.
Definisi validitas yang sangat sederhana ini kemudian berkembang dan
menjadi lebih kompleks, awalnya dengan juga memasukkan berbagai jenis
validitas. Jenis yang berbeda ini harus dikaitkan dengan tujuan tes. Validitas
isi digunakan untuk tes yang menggambarkan kinerja individu pada subjek
yang ditentukan. Validitas terkait kriteria digunakan untuk tes yang
memprediksi kinerja masa depan. Validitas konstruk digunakan untuk
membuat kesimpulan tentang ciri-ciri psikologis seperti kecerdasan atau
kepribadian. Validitas konstruk diperkenalkan oleh Cronbach dan Meehl
(1955) sebagai metode validasi tidak langsung yang digunakan ketika tidak

30
ada variabel kriteria atau domain konten yang dapat menunjukkan sejauh
mana suatu tes mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur.
Perubahan signifikan dalam teori validitas adalah pernyataan Cronbach
(1971) bahwa: 'seseorang tidak memvalidasi tes, tetapi nterpretasi data yang
muncul dari prosedur tertentu' (447). Ini berarti bahwa penekanan
penyelidikan validitas bergeser dari instrumen khusus ke interpretasi hasil
pengukuran. Pandangan ini tetap ada, dan sebagian besar peneliti setuju
bahwa bukan tes itu sendiri tetapi bagaimana hasilnya ditafsirkan dan
digunakan yang harus menjadi fokus dalam proses validasi.
Selama bertahun-tahun, berbagai jenis validitas yang dijelaskan di atas
masih berguna, tetapi bukan perbedaan yang jelas di antara mereka. Dalam
teori validitas modern, mereka sering disebut sebagai kerangka validitas
kesatuan. Dalam kerangka ini, validitas konstruk memiliki posisi sentral dan
menyeluruh dengan merangkul hampir semua bentuk bukti validitas. Konsep
kesatuan validitas secara bertahap dikembangkan, dan akhirnya dijelaskan
oleh Messick (1989), yang menetapkan konsensus bahwa validitas konstruk
adalah konsep pemersatu validitas. Messick (1989, 13) juga menjelaskan
validitas sebagai, 'penilaian evaluatif terintegrasi sejauh mana bukti empiris
dan alasan teoritis mendukung kecukupan dan kesesuaian kesimpulan dan
tindakan berdasarkan nilai tes'. Elemen penting dalam konsep kesatuan teori
validitas adalah pengenalan konsekuensi sosial dari hasil pengukuran.
Dalam model terkenal Messick (lihat Gambar 1 di bawah) ia
mengidentifikasi sejumlah aspek validitas, dan mereduksinya menjadi
sebuah sistem. Model mengambil tujuan dari nilai tes, nilai, atau bentuk lain
dari hasil penilaian menjadi pertimbangan. Ini menghargai bagaimana hasil
ditafsirkan dan digunakan, dan jenis bukti dan konsekuensi apa yang akan
dihasilkan, baik dalam hal implikasi nilai dan jenis konsekuensi lain bagi
pemangku kepentingan atau masyarakat yang berbeda pada umumnya.
Meskipun Messick membuat perbedaan yang jelas antara aspek-aspek
model, dia menekankan bahwa mereka saling terkait dan betapa pentingnya
untuk mempertimbangkan semua aspek ini ketika memvalidasi instrumen.
Dalam model ini, konsekuensi sosial karena varians konstruk yang tidak

31
relevan dan representasi konstruk yang kurang diperkenalkan sebagai aspek
penting dari konsep kesatuan. Konsekuensi sosial sebelumnya dianggap
penting, tetapi belum tentu masalah validitas. Ini menghargai bagaimana
hasil ditafsirkan dan digunakan, dan jenis bukti dan konsekuensi apa yang
akan dihasilkan, baik dalam hal implikasi nilai dan jenis konsekuensi lain
bagi pemangku kepentingan atau masyarakat yang berbeda pada umumnya.
Meskipun Messick membuat perbedaan yang jelas antara aspek-aspek
model, dia menekankan bahwa mereka saling terkait dan betapa pentingnya
untuk mempertimbangkan semua aspek ini ketika memvalidasi instrumen.
Dalam model ini, konsekuensi sosial karena varians konstruk yang tidak
relevan dan representasi konstruk yang kurang diperkenalkan sebagai aspek
penting dari konsep kesatuan. Konsekuensi sosial sebelumnya dianggap
penting, tetapi belum tentu masalah validitas. Ini menghargai bagaimana
hasil ditafsirkan dan digunakan, dan jenis bukti dan konsekuensi apa yang
akan dihasilkan, baik dalam hal implikasi nilai dan jenis konsekuensi lain
bagi pemangku kepentingan atau masyarakat yang berbeda pada umumnya.
Meskipun Messick membuat perbedaan yang jelas antara aspek-aspek
model, dia menekankan bahwa mereka saling terkait dan betapa pentingnya
untuk mempertimbangkan semua aspek ini ketika memvalidasi instrumen.
Dalam model ini, konsekuensi sosial karena varians konstruk yang tidak
relevan dan representasi konstruk yang kurang diperkenalkan sebagai aspek
penting dari konsep kesatuan. Konsekuensi sosial sebelumnya dianggap
penting, tetapi belum tentu masalah validitas. baik dari segi implikasi nilai
maupun jenis konsekuensi lainnya bagi pemangku kepentingan yang
berbeda atau masyarakat pada umumnya. Meskipun Messick membuat
perbedaan yang jelas antara aspek-aspek model, dia menekankan bahwa
mereka saling terkait dan betapa pentingnya untuk mempertimbangkan
semua aspek ini ketika memvalidasi instrumen. Dalam model ini,
konsekuensi sosial karena varians konstruk yang tidak relevan dan
representasi konstruk yang kurang diperkenalkan sebagai aspek penting dari
konsep kesatuan. Konsekuensi sosial sebelumnya dianggap penting, tetapi
belum tentu masalah validitas. baik dari segi implikasi nilai maupun jenis

32
konsekuensi lainnya bagi pemangku kepentingan yang berbeda atau
masyarakat pada umumnya. Meskipun Messick membuat perbedaan yang
jelas antara aspek-aspek model, dia menekankan bahwa mereka saling
terkait dan betapa pentingnya untuk mempertimbangkan semua aspek ini
ketika memvalidasi instrumen. Dalam model ini, konsekuensi sosial karena
varians konstruk yang tidak relevan dan representasi konstruk yang kurang
diperkenalkan sebagai aspek penting dari konsep kesatuan. Konsekuensi
sosial sebelumnya dianggap penting, tetapi belum tentu masalah validitas.
dia menekankan bahwa mereka saling terkait dan betapa pentingnya untuk
mempertimbangkan semua aspek ini ketika memvalidasi instrumen. Dalam
model ini, konsekuensi sosial karena varians konstruk yang tidak relevan
dan representasi konstruk yang kurang diperkenalkan sebagai aspek penting
dari konsep kesatuan. Konsekuensi sosial sebelumnya dianggap penting,
tetapi belum tentu masalah validitas. dia menekankan bahwa mereka saling
terkait dan betapa pentingnya untuk mempertimbangkan semua aspek ini
ketika memvalidasi instrumen. Dalam model ini, konsekuensi sosial karena
varians konstruk yang tidak relevan dan representasi konstruk yang kurang
diperkenalkan sebagai aspek penting dari konsep kesatuan. Konsekuensi
sosial sebelumnya dianggap penting, tetapi belum tentu masalah validitas.

Messick bukan satu-satunya yang menyajikan kerangka kerja yang lebih


luas (lihat, misalnya, Cronbach 1988; Crooks, Kane, dan Cohen 1996; Kane
1992), tetapi model validitasnya menjadi yang paling mapan dan terkenal di
antara mereka yang menganjurkan pendekatan yang luas. perspektif
validitas, dan konsep kesatuan validitas kemudian dimasukkan dalam bab
validitas dalam Standar untuk Pendidikan dan Pengujian Psikologis (AERA,
APA, dan NCME 1999), menunjukkan penerimaan umum pandangan
Messick.

Pengenalan konsep validitas yang diperluas, di mana konsekuensi


disertakan, mengangkat beberapa masalah bermasalah bagi praktisi. Ada
perdebatan yang kuat tentang kelayakan pendekatan semacam itu tetapi juga

33
tentang apakah konsekuensi sosial harus menjadi bagian dari kerangka
validitas sama sekali. Pendukung konsekuensi sebagai bagian dari kerangka
validitas (misalnya, Messick 1989; Shepard 1997; Stobart

Gambar 1.Validitas menurut Messick (1989, 20).


2001 dan Moss 1998) berpendapat bahwa menyelidiki konsekuensi sosial
dari pengukuran adalah logis dan perlu karena konsekuensi secara langsung
berkaitan dengan tujuan prosedur pengukuran.

Di sisi lain, Popham (1997), misalnya, berpendapat bahwa memasukkan


konsekuensi sosial akan mengacaukan konsep validitas dan karenanya
menyebabkan kebingungan, bukan kejelasan. Mehrens (1997) menyatakan
pendapat yang sama dan menyarankan bahwa komunitas psiko-metrik harus
mempersempit penggunaan istilah validitas daripada memperluasnya.
Mereka mengklaim bahwa niat mereka bukan untuk mengabaikan
pentingnya konsekuensi yang terkait dengan pengukuran, melainkan untuk
memisahkan dua hal penting, tetapi, menurut pendapat mereka, masalah
yang tidak terkait. Pandangan ini juga didukung dalam artikel terbaru.
Borsboom, Mellen-berg, dan van Herden (2004, 1061) menyimpulkan
bahwa validitas telah menjadi begitu kompleks sehingga orientasi teoretis
cenderung tersesat dalam, 'seluk-beluk rumit teori validitas, sedangkan yang
berorientasi praktis tidak mungkin memperoleh skema konseptual yang bisa
diterapkan dengan implikasi praktis darinya'. Namun demikian, konsep
validitas yang diperluas (serta pengenalan konsekuensi sosial) juga telah
dipuji karena meningkatkan kualitas investigasi validitas. Model Messick
telah dikatakan berguna untuk mengatur dan menurunkan pertanyaan yang
berkaitan dengan validitas (misalnya, Gersten dan Baker 2002; Törnkvist

34
dan Henriksson 2006; Wikström 2006; Wolming 1998, 1999). Törnkvist dan
Henriksson 2006; Wikström 2006; Wolming 1998, 1999). Törnkvist dan
Henriksson 2006; Wikström 2006; Wolming 1998, 1999).

Pada tahun 2006, edisi keempat Educational Measurement diterbitkan, yang


juga berarti babak baru tentang validitas, kali ini ditulis oleh Michael Kane.
Ini tidak bertentangan dengan bab Messick, tetapi menekankan kelayakan
praktis melalui 'pendekatan argumentatif' untuk validitas. Dalam pendekatan
ini, dua jenis argumen menjadi fokus, argumen interpretatif dan argumen
validitas. Argumen interpretatif harus merupakan spesifikasi dari interpretasi
yang diusulkan dan penggunaan hasil tes, dari asumsi hingga kesimpulan
dan keputusan. Kane menekankan bahwa derajat validitas instrumen
berkaitan dengan kejelasan argumen interpretatif dari proses pengukuran dan
apakah argumen validasi, yang merupakan evaluasi argumen interpretatif
ini, bersaksi bahwa argumen interpretatif itu koheren dan masuk akal dan
bahwa asumsinya masuk akal. Pendekatan argumentatif koheren dengan
pandangan modern tentang validitas dan menekankan bahwa validitas
berkaitan dengan bagaimana tes digunakan (dan interpretasi yang dibuat),
meskipun disajikan dari perspektif yang agak berbeda. Perbedaan utama
dalam hal konten adalah bahwa ia memberikan bobot yang jauh lebih sedikit
pada konsekuensi dan terutama konsekuensi sosial dibandingkan dengan
definisi validitas Messick. Menurut Kane (2006), keuntungan utama dari
pendekatan argumentatif adalah memberikan panduan praktis tentang
bagaimana mengalokasikan upaya penelitian dan dalam proses pengukuran
dalam upaya validasi. Namun, sejalan dengan 'penilaian evaluatif terpadu'
Messick,

Terlepas dari sudut pandang seseorang dalam perdebatan yang diringkas di


atas, orang harus menerima bahwa komunitas pengukuran telah secara
formal menerima pandangan teoretis modern tentang validitas, terutama
karena dinyatakan dalam beberapa publikasi panduan (Messick 1989; Kane
2006; AERA, APA, dan NCME 1985, 1999). Namun, pertanyaan yang

35
relevan adalah, jika praktik telah mengikuti teori, atau jika teori validitas
modern sebagian besar merupakan konstruksi teoretis, seperti yang
dikatakan banyak orang, apakah ada kesenjangan antara teori dan praktik?

B. Validitas Berdasarkan Kriteria ( criterion-related validity)


Validitas berdasar kan kriteria atau criterion-related validity merupakan
sebuah ukuran validitas yang ditentukan dengan cara membandingkan skor -
skor tes dengan kinerja tertentu pada sebuah ukuran luar . Ukuran luar ini
seharusnya memiliki hubungan teoritis dengan variabel yang di ukur oleh tes
itu. Misalnya, tes intelijensi mungkin ber korelasi dengan rata-rata nilai
akademis,
Validitas criteria (criterion-related validitiy) terpenuhi jika pengukuran
membedakan individu menurut suatu criteria yang dharapkan dipr ediksi.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan menghasilkan validitas konkur en
(concurrent validity) atau validitas predictive (predictive validity). Validitas
konkuren dihasilkan jika skala membedakan individu yang diketahui ber
beda, yaitu mereka harus menghasilkan skor yang ber beda pada instrument,
sedangkan validitas predictive menunjukkan kemampuan instrument
pengukuran untuk membedakan or ang dengan referensi pada suatu criteria
masa depan (Sekaran, 2006). Dengan demikian, per bedaan antar a
concurrent validity dengan predictive validity adalah waktu pengujian,
dimana concurr ent validity diambil dalam waktu yang sama (atau kurang
lebih sama), sedangkan predictive validity dilakukan beber apa saat (dalam
periode waktu ter tentu) setelah terlebih dahulu dahulu skor hasil tes
diperoleh.
2.8. Uji Reliabilitas Instrument

Uji reliabilitas digunakan untuk menguji data yang kita peroleh ataupun dari
kuesioner yang dibagikan. Jawaban dari kuesioner dikatakan reliabilitas atau
handal jika jawaban responden tersebut konsisten dari waktu ke waktu.
Teknik yang digunakan pada pengukuran reliabilitas ini adalah
menggunakan teknik Cronbach Alpha yaitu uji koefisien terhadap skor
jawaban responden yang dihasilkan dari penggunaan instrumen penelitian.

36
Jika varian dan kovarian dari komponen-komponen tidak sama maka tidak
dapat menghilangkan satu dengan yang lainnya (Pujihastuti, 2010)
(Yogiyanto, 2005: 136). Pada penelitian uji reliabilitas yang digunakan yaitu
menggunakan alat ukur dengan teknik Alpha Cronbach.
Rumus :

Keterangan :
r11 = Koefisien reliabilitas
n = Banyaknya soal
si2 = Variasi skor soal ke i
st2 = Variasi skor total
Penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach untuk menguji
setiap butiran pertanyaan agar apat dipercaya dan digunakan dalam angket.
Suatu variabel dikatakan reliabel, apabila hasil a = >0,60 = reliabel dan
hasil a < 0,60 = tidak reliabel (Yusup, 2018). Adapun taraf signifikannya
adalah 95% maka butiran pertanyaan dinyatakan reliabel, maksudnya yaitu
untuk mencari data yang benar, maka penulis menggunakan taraf kesalahan
sebesar 5% dengan bantuan program SPSS 21 for Windows.

2.9. Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah beberapa
varian populasi adalah sama atau tidak. Uji ini dilakukan sebagai prasyarat
dalam analisis independent sample t test dan Anova. Asumsi yang mendasari
dalam analisis varian (Anova) adalah bahwa varian dari populasi adalah
sama. Uji kesamaan dua varians digunakan untuk menguji apakah sebaran
data tersebut homogen atau tidak, yaitu dengan membandingkan kedua
variansnya. Jika dua kelompok data atau lebih mempunyai varians yang

37
sama besarnya, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan lagi karena
datanya sudah dianggap homogen. Uji homogenitas dapat dilakukan apabila
kelompok data tersebut dalam distribusi normal. Uji homogenitas dilakukan
untuk menunjukkan bahwa perbedaan yang terjadi pada uji statistik
parametrik (misalnya uji t, Anava, Anacova ) benar-benar terjadi akibat
adanya perbedaan antar kelompok, bukan sebagai akibat perbedaan dalam
kelompok.
Uji homogenitas variansi sangat diperlukan sebelum
membandingkan dua kelompok atau lebih, agar perbedaan yang ada bukan
disebabkan oleh adanya perbedaan data dasar (ketidakhomogenan kelompok
yang dibandingkan). Ada beberapa rumus yang bisa digunakan untuk uji
homogenistas variansi di antaranya: uji Harley, uji Cohran, Uji Levene, dan
uji Bartlett.

2.10. Ekuivalensi dan Analisis Item

a. Ekuivalensi
Catford (1965:27) mengemukakan konsep ekuivalensi yang lebih umum
dan lebih abstrak dibanding yang dikemukakan oleh Jacobson dengan
“textual equivalence” yang didefinisikannya dengan segala target teks atau
bagian teks yang diteliti dengan metode pencapaian ekuivalensi
berdasarkan otoritas dari narasumber atau penerjemah bilingual yang
berkompetensi, untuk mendapatkan ekuivalensi dari teks sumber yang
diberikan atau bagian dari teks. Sedemikian besar perhatian dan
pentingnya konsep ekuivalensi dalam terjemahan ini bagi para ahli
penerjemah, tersirat dalam kutipan yang ditegaskan Snell-Hornby (1988:
15) “What all linguistically oriented schools of translation theory have in
common however, is the central concept of translation equivalence …”.
Yang dapat diartikan dengan ‘namun demikian, yang secara umum diakui
sekolah-sekolah yang berorientasi pada linguistik mengenai teori
terjemahan adalah konsep utama tentang ekuivalensi terjemahan’. Berikut
adalah ekuivalensi yang dikemukakan oleh beberapa ahli (Wikipedia,
diakses Febuari 2010) diantaranya:

38
a. Eugene Nida mengemukakan dua jenis ekuivalensi yakni:
(1) Formal equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa
sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada
pesan yang sedekat mungkin dengan bahasa Universitas
Sumatera Utara sumbernya. Terjemahan ini
memperhatikan bentuk gramatikal dan fungsi/pesan yang
disampaikan teks sumber.
(2) Dynamic equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa
sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada
kesamaan pesan yang disampaikan teks sumber dengan
pesan yang diterima dari teks target. Terjemahan ini lebih
mengutamakan keluwesan bahasa dan fungsi/pesan dari
pada bentuk gramatika teks.
b. Koller yang dikutip dari Munday (2001: 47) mengemukakan lima jenis
ekuivalensi yakni: 1) Denotative equivalence yaitu menerjemahan dari
bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan pada extralinguistic
content atau ada yang menyebutnya dengan ‘content invariance’ dari suatu
teks.
2) Connotative equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke
bahasa target dengan memfokuskan pada pilihan-pilihan leksikal yang
berdekatan sinonimnya atau ada yang menyebutnya dengan ‘stylistic
equivalence’.
3) Text-normative equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke
bahasa target dengan memfokuskan pada tipe teks yang memilki penyajian
yang berbeda.
4) Pragmatic equivalence / communicative equivalence yaitu
menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan memfokuskan
pada penerima dari teks atau penerima pesan. Istilah ini dikenal dengan
dynamic equivalen-nya Nida.
5) Formal equivalence yaitu menerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa
target dengan memfokuskan pada bentuk dan estetika teks, termasuk

39
permainan kata dan Universitas Sumatera Utara ciri stilistik individu dari
teks sumber. Ada yang menyebutnya dengan “expressive equivalence”.
c. Venuti (Wikipedia, diakses Febuari 2010)mengemukakan dua jenis
ekuivalensi yakni:
1) Ekuivalen yang memihak pada bahasa sumber, foreignizing yaitu
menerjemahan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dengan lebih
memperhatikan/ mempertahankan keaslian dari gramatika dan pesan teks
sumber daripada teks target. Terjemahan ini lebih mengutamakan style
bahasa sumbernya.
2) Ekuivalen yang memihak pada bahasa target, domesticating yaitu
menerjemahan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dengan lebih
memperhatikan gramatika, style dan penyampaian pada teks targetnya
daripada teks sumbernya. Terjemahan ini lebih mengutamakan
keterbacaan dari pembaca teks target. D. Mona Baker (1992)
mengemukakan jenis ekuivalensi berdasarkan tingkatantingkatannya
yakni:
1) Equivalence in word level yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk
mendapatkan ekuivalensi kata melalui kajian makna dari kata-kata dalam
teks.
2) Equivalence above word level yaitu suatu pendekatan yang berusaha
untuk mendapatkan ekuivalensi melalui kajian kombinasi kata-kata dan
frasa-frasa.
3) Grammatical equivalence yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk
mendapatkan ekuivalensi melalui kajian kategori-kategori gramatikal.
Universitas Sumatera Utara
4) Textual equivalence yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk
mendapatkan ekuivalensi tekstual melalui kajian dari peran susunan kata
dalam menyampaikan pesan–pesan di tingkat teks.
5) Pragmatic equivalence yaitu suatu pendekatan yang berusaha untuk
mendapatkan ekuivalensi melalui kajian yang memperhatikan bagaimana
teksteks itu digunakan dalam situasi komunikasi yang melibatkan penulis,
pembaca, dan konteks budaya. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan

40
bahwa adanya keseragaman dalam pengunaan istilah ekuivalensi dalam
terjemahan tetapi criteria ekuivalensi itu sangat tergantung kepada fokus
dari kajian yang ditargetkan.
Bell (1991: 6) mengatakan bahwa untuk mendapatkan ekuivalensi ideal
yang murni itu merupakan impian belaka. Terdapat perbedaan antar
bahasa dalam bentuk kode-kode unit, bentuk aturan dalam menyusun
struktur gramatika ungkapan-ungkapan bahasa dan bentuk-bentuk ini
memiliki arti yang berbeda.
b. Analisis system
Analisis sistem (systems analysis) dapat didefinisikan sebagai berikut :
Penguraian dari suatu sistem informasi yang utuh ke dalam bagian-bagian
komponennya dengan maksud untuk mengidentifikasikan dan
mengevaluasi permasalahan-permasalahan, kesempatan-kesempatan,
hambatan-hambatan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan yang
diharapkan sehingga dapat diusulkan perbaikan-perbaikannya Atau secara
lebih mudahnya, analisis sistem adalah penelitian atas sistem yang telah
ada dengan tujuan untuk merancang sistem yang baru atau diperbarui.
Tahap analisis sistem ini merupakan tahap yang sangat kritis dan sangat
penting, karena kesalahan di dalam tahap ini akan menyebabkan juga
kesalahan di tahap selanjutnya. Tugas utama analis sistem dalam tahap ini
adalah menemukan kelemahan-kelemahan dari sistem yang berjalan
sehingga dapat diusulkan perbaikannya.
Langkah-langkah Analisis Sistem Di dalam tahap analisis sistem terdapat
langkah-langkah dasar yang harus dilakukan oleh analis sistem :
1. Identify, yaitu mengidentifikasi masalah
2. Understand, yaitu memahami kerja dari sistem yang ada
3. Analyze, yaitu menganalisis sistem
4. Report, yaitu membuat laporan hasil analisis.
. 1. Mengidentifikasi Masalah
Mengidentifikasi (mengenal) masalah merupakan langkah pertama yang
dilakukan dalam tahap analisis sistem. Masalah (problem) dapat
didefinisikan sebagai suatu pertanyaan yang diinginkan untuk dipecahkan.

41
Masalah inilah yang menyebabkan sasaran dari sistem tidak dapat dicapai.
Oleh karena itulah pada tahap analisis sistem, langkah pertama yang harus
dilakukan oleh analis sistem adalah mengidentifikasi terlebih dahulu
masalah-masalah yang terjadi. Tugas-tugas yuang harus dilakukannya
adalah sebagai berikut ini :
a. mengidentifikasi penyebab masalah
b. mengidentifikasi titik keputusan
c. mengidentifikasi personil-personil kunci
a. Mengidentifikasi penyebab masalah Seringkali organisasi
menyadari masalah yang tejadi setelah sesuatu berjalan dengan
tidak benar. Permasalahan tidak akan muncul dengan sendirinya
dan mestinya ada sesuatu penyebab yang menimbulkannya.
Sebagai ilustrasi, kita mempunyai sebuah mobil yang jalannya
tersendat-sendat. Keadaan ini merupakan suatu masalah. Untuk
mengatasi masalah ini, maka perlu diidentifikasi terlebih dahulu
apa penyebab yang mengakibatkan mobil tersebut jalannya
tersendat-sendat. Kalau analis sistem tidak dapat mengidentifikasi
penyebab terjadinya masalah, maka proses analisis sistem tidak
akan berjalan dengan semestinya, yaitu tidak akan efisien dan
efektif. Kalau kita akan berusaha memperbaiki kerusakan mobil
tersebut, tetapi tidak dapat mengidentifikasi terlebih dahulu
penyebab masalahnya, maka proses perbaikan mobil tersebut tidak
akan berjalan dengan efisien dan efektif. Apakah kita akan
membongkar mobil tersebut dengan melepas semua komponennya
untuk menemukan mengapa mobil tersebut jalannya tersendat-
sendat ? tentunya ini merupakan pekerjaan analisis yang tidak
benar. Untuk kasus mobil ini, dapat diidentifikasikan bahwa
penyebab masalahnya 3 Analisis Sistem adalah karena proses
pembakaran yang tidak sempurna, sehingga mengakibatkan
jalannya mobil tersendat-sendat. Dengan dapat mengidentifikasi
penyebab masalah ini, maka kita dapat mulai menganalisis dari
tempat dilakukannya proses pembakaran ini, tanpa harus

42
membongkar semua komponen mobil yang tidak menyebabkan
terjadinya masalah. Tugas mengidentifikasi penyebab masalah
dapat dimulai dengan mengkaji ulang terlebih dahulu subyek-
subyek permasalahan yang telah diutarakan oleh manajemen atas
yang telah ditemukan oleh analis sistem di tahap perencanaan
sistem. Sebagai misalnya, masalah yang terjadi adalah “biaya
persediaan meningkat dari tahun ke tahun”. Mengapa biaya
persediaan meningkat ? mengapa jalannya mobil tersendatsendat ?
jawabannya adalah disebabkan oleh pembakaran yang tidak
sempurna. Demikian juga harus dicari jawaban mengapa biaya
persediaan meningkat. Dari subyek masalah ini, maka dapat
diidentifikasi penyebab terjadinya masalah biaya persediaan yang
meningkat ini adalah karena :
 persediaan di gudang telalu banyak (over stock) dan
 pembelian barang tidak ekonomis.
2. Mengidentifikasi titik keputusan
Setelah penyebab terjadinya masalah dapat diidentifikasi,
selanjutnya juga harus diidentifikasi titik keputusan penyebab
masalah tersebut. Pada kasus mobil yang mempunyai masalah
jalannya tersendat-sendat dan telah dapat diidentifikasi penyebab
terjadinya masalah ini adalah pembakaran yang kurang sempurna,
maka selanjutnya perlu diidentifikasi lebih lanjut titik keputusan
yang menyebabkan pembakaran menjadi tidak sempurna. Titik
keputusan menunjukkan suatu kondisi yang menyebabkan sesuatu
terjadi. Ahli mesin mobil yang berpengalaman dapat
mengidentifikasikan titik keputusan dari pembakaran yang kurang
sempurna adalah terletak di proses pengapian busi, kerja dari
platina dan atau injeksi bensin di karburator. Dengan demikian ahli
mesin mobil yang berpengalaman tidak akan membongkar semua
komponen dari mesin mobil itu, tetapi cukup memeriksa pada titik-
titik keputusan saja. Dengan demikian juga dengan analis sistem
bila telah dapat mengidentifikasi terlebih dahulu titik-titik

43
keputusan penyebab masalah , maka dapat memulai penelitiannya
di titik-titik keputusan tersebut. Sebagai dasar identifikasi titik-titik
keputusan ini, dapat digunakan dokumen sistem bagan alir formulir
(paperwork flowchart atau form flowchart) bila dokumentasi ini
dimiliki oleh perusahaan. Secara analogi, ahli mesin mobil dapat
menggunakan buku manual pedoman mesin mobil bersangkutan
untuk mengidentifikasi titik-titik keputusan penyebab masalah
pembakaran yang kurang sempurna. Contoh bagan alir formulir
untuk prosedur penjualan adalah sebagai berikut : Penjelasan dari
titik-titik keputusan adalah antara lain sebagai berikut :
1. Penyebab masalah adalah pelayanan yang kurang baik
kepada langganan. Titik keputusan yang mengakibatkan
terjadinya sebab masalah ini adalah :
a. “Penanganan order langganan” di bagian order penjualan. Titik
keputusan ini dapat mengakibatkan pelayanan kepada langganan
kurang baik bila waktu penanganan order penjualan lama.
Penanganan order penjualan merupakan proses pertama kali
menerima order dari langganan.
b. “Proses pembuatan order penjualan” di bagian order penjualan.
Titik keputusan ini dapat mengakibatkan pelayanan kepada
langganan kurang baik bila proses pembuatan order penjualan juga
lama. Proses pembuatan order penjualan adalah proses membuat
dokumen tertulis dari order langganan yang telah diterima dengan
tembusan-tembusannya berupa : - tembusan untuk membuat faktur
- tembusan untuk catatan akuntasi (journal/register copy) -
tembusan untuk meminta barang dari gudang (stock request copy) -
tembusan untuk membuat slip pengepakan (packing slip) dan
laporan pengiriman (shipping notice) - tembusan otorisasi kredit
(credit copy) - tembusan pemberitahuan kepada langganan bahwa
order telah diterima (acknowledgement copy atau advice copy)

44
c. “Proses evaluasi kredit” di bagian kredit. Titik keputusan ini
dapat mengakibatkan pelayanan kepada langganan kurang baik bila
proses evaluasi kredit lama dan berbelit-belit.
d. “Proses pengambilan barang” di bagian gudang. Titik keputusan
ini dapat mengakibatkan pelayanan kepada langganan kurang baik
bila proses pengambilan barang lama.
e. “Proses pembuatan dokumen pengiriman” (packing slip) dan
laporan pengiriman (shipping notice) di bagian pengiriman. Titik
keputusan ini dapat mengakibatkan pelayanan kepada langganan
kurang baik bila proses pembuatan dokumen dan laporan
pengiriman lama. Proses pengirimannya sendiri juga harus cepat
sampai barang diterima oleh langganan, tetapi proses ini tidak
termasuk dalam ruang-lingkup sistem pengendalian penjualan dan
pemasaran (masuk dalam sistem distribusi).
f. “Proses membuat faktur” di bagian billing. Titik keputusan ini
dapat mengakibatkan pelayanan kepada langganan kurang baik bila
proses membuat faktur lama.
2. Penyebab masalah adalah barang yang dikirim sering tidak
sesuai. Titik keputusan yang mengakibatkan terjadinya sebab
masalah ini adalah :
a. “Kebenaran data di faktur” di bagian billing. Titik keputusan ini
dapat mengakibatkan barang yang dikirim tidak sesuai dengan
yang tercantum di faktur bila faktur salah. 6 Analisis Sistem
b. “Kelengkapan faktur yang didukung dengan laporan
pengiriman” di bagian billing. Titik keputusan ini dapat
mengakibatkan barang yang dikirim tidak sesuai dengan yang
dikirim bila bagian billing tidak menerima laporan pengiriman.
3. Penyebab masalah adalah otorisasi pemberian kredit yang
kurang benar. Titik keputusan yang mengakibatkan terjadinya
sebab masalah ini adalah “dukungan informasi untuk pemberian
kredit” di bagian kredit.

45
4. Penyebab masalah adalah kurang tersedianya laporan yang
berkualitas. Titik keputusan yang mengakibatkan terjadinya sebab
masalah ini adalah “proses pembuatan laporan” di bagian
akuntansi. Titik keputusan ini dapat mengakibatkan laporan tidak
tepat waktunya bila proses pembuatan laporan lama, laporan tidak
tepat nilainya bila pengendalian output tidak ada atau lemah.
Mengidentifikasi personil-personil kunci Setelah titik-titik
keputusan penyebab masalah dapat diidentifikasi beserta lokasi
terjadinya, maka selanjutnya yang perlu diidentifikasi adalah
personil-personil kunci baik yang langsung maupun yang tidak
langsung dapat menyebabkan terjadinya masalah tersebut.
Identifikasi personil-personil kunci ini dapat dilakukan dengan
mengacu pada bagan alir dokumen yang ada di perusahaan serta
dokumen deskripsi jabatan (job description)
2. Memahami Kerja Sistem Langkah
Kedua dari tahap analisis sistem adalah memahami kerja dari
sistem yang ada. Langkah ini dapat dilakukan dengan mempelajari
secara terinci bagaimana sistem yang ada beroperasi. Untuk
mempelajari operasi dari sistem ini diperlukan data yang dapat
diperoleh dengan cara melakukan penelitian. Bila di tahap
perencanaan sistem juga pernah dilakukan penelitian untuk
memperoleh data, penelitian ini sifatnya adalah penelitian
pendahuluan (preliminary survey). Sedang pada tahap analisis
sistem, penelitian yang dilakukan adalah penelitian terinci (detailed
survey). Analis sistem perlu mempelajari apa dan bagaimana
operasi dari sistem yang ada sebelum mencoba untuk menganalisis
permasalahan-permasalahan, kelemahankelemahan dan kebutuhan-
kebutuhan pemakai sistem untuk dapat memberikan rekomendasi
pemecahannya. Sejumlah data perlu dikumpulkan menggunakan
teknik pengumpulan data yang ada, yaitu wawancara, observasi,
daftar pertanyaan dan pengambilan sampel. Langkah kedua dari

46
tahap analisis sistem dapat terdiri dari beberapa tugas yang perlu
dilakukan, yaitu sebagai berikut ini :
 Menentukan jenis penelitian
 Merencanakan jadwal penelitian - Mengatur jadwal
wawancara - Mengatur jadwal observasi - Mengatur jadwal
pengambilan sampel
 Membuat penugasan penelitian
 Membuat agenda wawancara
 Mengumpulkan hasil penelitian
Menentukan jenis penelitian Sebelum penelitian dilakukan,
sebaiknya ditentukan terlebih dahulu jenis dari penelitian untuk
masing-masing titik keputusan yang akan diteliti. Jenis penelitian
(wawancara, observasi, daftar pertanyaan, pengambilan sampel)
tergantung dari jenis data yang ingin diperoleh. Jenis data yang
ingin diperoleh dapat berupa data tentang operasi sistem, data
tentang perlengkapan sistem, pengendalian sistem, atau input dan
output yang digunakan oleh sistem. Penelitian yang menggunakan
teknik wawancara dan observasi tepat digunakan untuk lokasi data
yang menyebar dan mahal bila harus dikunjungi satu persatu.
Penelitian yang menggunakan teknik pengambilan sampel lebih
tepat digunakan untuk mengumpulkan input atau output sistem
yang mempunyai jumlah banyak.
Merencanakan jadwal penelitian Penelitian akan dilakukan di tiap-
tiap lokasi titik keputusan yang akan diteliti. Penelitian juga
biasanya akan dilakukan oleh beberapa peneliti dan memakan
waktu yang cukup lama (harian, mingguan bahkan bulanan) supaya
penelitian dapat dilakukan secara efisien dan efektif, maka jadwal
dari penelitian harus direncanakan terlebih dahulu yang meliputi : -
dimana penelitian akan dilakukan; - apa dan siapa yang akan
diteliti; - siapa yang akan meneliti; - kapan penelitian dilakukan.
Dari jadwal penelitian yang telah dibuat, berikutnya dapat
dikelompokkan ke dalam jenis penelitiannya masing-masing.

47
Untuk wawancara, selanjutnya jadwal wawancara dapat diatur
yang terdiri dari :
 tanggal wawancara akan dilakukan;
 jam wawancara untuk tiap-tiap harinya;
 yang melakukan wawancara;
 yang diwawancarai;
 lokasi letak wawancara akan dilakukan
 topik dari wawancara yang akan dilakukan.
Sama halnya dengan wawancara yang telah diatur jadwalnya
tersendiri, observasi yang akan dilakukan juga sebaiknya dibuatkan
jadwal tersendiri. Demikian juga dengan jadwal pengambilan
sampel sebaiknya juga diatur tersendiri. Membuat penugasan
penelitian Setelah rencana jadwal penelitian selesai dibuat, maka
tugas dari tiap-tiap anggota tim analis sistem untuk melakukan
penelitian telah dapat ditentukan. Koordinator analis sistem dapat
membuat surat penugasan kepada masing-masing anggota tim
analis sistem ini dengan menyertakan lampiran kegiatan penelitaian
yang harus dilakukan. Formulir ini biasanya tidak dilampirkan di
laporan hasil analisis, karena kurang bermanfaat bagi user atau
manajemen. Formulir ini akan diberikan kepada tiap-tiap peneliti
yang bersangkutan.
Membuat agenda wawancara
Sebelum suatu wawancara dilaksanakan, akan lebih bijaksana bila
waktu dan materi wawancara ini direncanakan terlebih dahulu.
Rencana ini dapat ditulis di agenda wawancara dan dibawa selama
wawancara berlangsung. Pewawancara dapat melakukan
wawancara dengan dasar agenda wawancara ini. Tujuan utama
pembuatan agenda wawancara yang akan digunakan dalam
wawancara ini adalah suapaya wawancara dapat diselesaikan tepat
pada waktunya dan tidak ada materi yang terlewatkan.
Mengumpulkan hasil penelitian

48
Fakta atau data yang diperoleh dari hasil penelitian harus
dikumpulkan sebagai suatu dokumentasi sistem lama.
Dokumentasi dari hasil penelitian ini diperlukan untuk beberapa
hal, yaitu sebagai berikut ini :
a. Membantu kelengkapan (aid to completeness) Dengan
digunakannya formulir-formulir standar untuk mencatat fakta,
maka data yang belum terkumpul akan terlihat. 9 Analisis Sistem
b. Membantu analisis (aid to analysis) Data yang dicatat dalam
bentuk tabel atau bagan memungkinkan sistem akan lebih mudah
dipahami dan dianalisis
c. Membantu komunikasi (aid to communication) Formulir-
formulir standar akan membantu anggota-anggota tim analis untuk
berkomunikasai dengan efektif satu dengan yang lainnya. Selain
itu juga dapat membantu komunikasi antara analis, pemrogram
komputer, operator dan pemakai sistem
d. Membantu pelatihan (aid to training) Pelatihan akan lebih efektif
bila dilampiri dengan bahan-bahan yang diperlukan secara tertulis.
e. Membantu keamanan (aid to security) Dokumentasi yang berisi
dengan fakta terkumpul dapat diibaratkan sebagai bestek rancangan
gedung yang telah digambar oleh arsitek dan telah dihitung oleh
insinyur teknik sipil. Bila gedung yang akan dibangun tidak sesuai
dengan keinginan pemakai, atau ada perubahan-perubahan yang
perlu dilakukan atau misalnya gedung sudah dibuat mengalami
kerusakan-kerusakan, maka dengan adanya dokumentasi,
perbaikan-perbaikan atau modifikasi-modifikasi akan lebih mudah
dilakukan. Fakta-fakta yang perlu didokumentasikan dari hasil
penelitian sistem lama adalah sebagai berikut ini :
1. Waktu untuk melakukan suatu kegiatan Data ini dapat diperoleh
dari hasil observasi yang dilakukan pada suatu kegiatan.
2. Kesalahan-kesalahan melakukan kegiatan di sistem lama
3. Pengambilan sampel

49
4. Formulir-formulir dan laporan-laporan yang dihasilkan oleh
sistem lama.
5. Elemen-elemen data
6. Teknologi yang digunakan di sistem lama
7. Kebutuhan-kebutuhan informasi pemakai sistem/manajemen
3. Analisis Sistem
Langkah ini dilakukan berdasarkan data yang telah diperoleh dari
hasil penelitian yang telah dilakukan. Menganalisis hasil penelitian
sering sulit dilakukan oleh analis sistem yang masih baru.
Pengalaman menunjukkkan bahwa banyak analis sistem yang
masih baru mencoba untuk memecahkan masalah tanpa
menganalisisnya.
MENGANALISIS KELEMAHAN SISTEM
Analis sistem perlu menganalisis masalah yang terjadi untuk dapat
menemukan jawaban apa penyebab sebenarnya dari masalah yang
timbul tersebut. Penelitian dilakukan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan semacam :
 Apa yang dikerjakan ?
 Bagaimana mengerjakannya ?
 Siapa yang mengerjakannya ?
 Dimana dikerjakannya ?
Menganalisis kelemahan sistem sebaiknya dilakukan untuk
menjawab pertanyaan :
 Mengapa dikerjakan ?
 Perlukah dikerjakan ?
 Apakah telah dikerjakan dengan baik ?
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dalam
langkah menganalisis hasil penelitian ini lebih terinci lagi
dibandingkan dengan yang didaftar di atas. Sebagai tambahan dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut, suatu kriteria yang tepat masih
diperlukan untuk menilai sistem yang lama. Kriteria yang tepat ini
dapat diperoleh dari sasaran yang diinginkan oleh sistem yang baru

50
supaya efisien dan efektif. Wilkinson memberikan sasaran yang
harus dicapai untuk menentukan kriteria penilaian sebagai berikut :
 Relevance (sesuai kebutuhan)
 Capacity (kapasitas dari sistem)
 Efficiency (efisiensi dari sistem)
 Timeliness (ketepatan waktu menghasilkan informasi)
 Accessibility (kemudahan akses)
 Flexibility (keluwesan sistem)
 Accuracy (ketepatan nilai dari informasi)
 Reliability (keandalan sistem)
 Security (keamanan dari sistem)
 Economy (nilai ekonomis dari sistem)
 Simplicity (kemudahan sistem digunakan)
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dan kriteria-kriteria ini,
selanjutnya analis sistem akan dapat melakukan analisis dari hasil
penelitian dengan baik untuk menemukan kelemahan-kelemahan
dan permasalahan-permasalahan dari sistem yang ada.
Menganalisis Distribusi Pekerjaan
Distribusi dari pekerjaan menunjukkan beban dari masing-masing
personil atau unit organisasi dalam menangani kegiatan yang sama.
Untuk keperluan menganalisis distribusi dari pekerjaan dapat
digunakan pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
 apakah tugas dan tanggungjawab telah didefinisikan dan
diterapkan dengan jelas ?
 apakah tugas dan tanggungjhwab telah didistribusikan
dengan efektif untuk masing-masing personil dan unit-unit
organisasi ?
dengan mengetahui beban dari masing-masing personil, maka
dapat ditentukan personil mana yang masih dapat diberi tambahan
beban dan personil mana yang harus dikurangi bebannya untuk
dialihkan ke personil lain yang masih kurang bebannya.

51
Menganalisis Pengukuran Pekerjaan
Untuk menganalisis pengukuran pekerjaan ini dapat dilakukan
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
 apakah kebijaksanaan dan prosedur telah dipahami dan
diikuti ?
 apakah produktifitas karyawan memuaskan ?
 apakah unit-unit organisasi telah bekerja sama dan
terkoordinasi dengan baik menjaga arus data dengan
lancar ?
 apakah masing-masing kegiatan telah mencapai
sasarannya ?
 apakah terjadi operasi-operasi yang tumpang tindih ?
 seberapa perlu hasil dari tiap-tiap operasi ?
 apakah tedapat operasi yang menghambat arus data ?
 apakah volume puncak dari data dapat ditangani dengan
baik ?
 apakah terdapat standar kinerja yang baik dan selalu
dimutakhirkan ?
Menganalisis Keandalan

Keandalan menunjukkan banyaknya kesalahan-kesalahan yang


dilakukan dalam suatu kegiatan. Semakin andal berarti semakin
sedikit kesalahan yang dilakukan. Untuk menganalisis
keandalan ini dapat dilakukan dengan menjawab
pertanyaanpertanyaan berikut :

 Apakah jumlah kesalahan yang terjadi di masing-


masing operasi diminimumkan ?
 Apakah operasi-operasi telah direncanakan dengan baik
dan terkendali ?
Analisis Sistem Menganalisis Dokumen

52
Untuk menganalisis dokumen yang digunakan di sistem
lama dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut :

 seberapa perlu dokumen-dokumen yang ada ?


 apakah masing-masing dokumen telah dirancang
untuk penggunaan yang efektif ?
 apakah tembusan-tembusan dari dokumen perlu ?
Menganalisis Laporan

Untuk menganalisis laporan yang sudah dihasilkan oleh


sistem lama dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut :

 dapatkah laporan-laporan dipersiapkan dengan


mudah dari file dan dokumendokumen yang ada ?
 apakah terdapat duplikasi di file, catatan-catatan dan
laporan-laporan ?
Menganalisis Teknologi

Untuk menganalisis teknologi yang sudah digunakan di


sistem lama dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut :

 apakah fasilitas dari sistem informasi (dalam bentu personil,


peralatan dan fasilitas lainnya) cukup untuk menangani volume
rata-rata data tanpa terjadi penundaan yang berarti ?
MENGANALISIS KEBUTUHAN INFORMASI
PEMAKAI/MANAJEMEN

Walaupun menganalisis kelemahan-kelemahan dan


permasalahan-permasalahan yang terjadi merupakan tugas
yang perlu, tetapi tugas ini saja belumlah cukup. Tugas lain
dari analis sistem yang masih diperlukan sehubungan
dengan sasaran utama sistem informasi, yaitu menyediakan

53
informasi yang dibutuhkan bagi para pemakainya perlu
dianalisis.

1. Membuat Laporan Hasil Analisis Sistem


Setelah proses analisis sistem ini selesai dilakukan, tugas berikutnya dari
analis sistem dan timnya adalah membuat laporan hasil analisis. Laporan
ini diserahkan kepada steering committe (komite/panitia pengarah
pengembangan sistem) yang nantinya akan diteruskan ke manajemen.
Pihak manajemen bersama-sama dengan panitia pengarah dan pemakai
sistem akan mempelajari temuan-temuan dan analisis yang telah dilakukan
oleh analis sistem yang disajikan dalam laporan ini. Tujuan utama dari
penyerahan laporan ini kepada manajemen adalah :
 pelaporan bahwa analisis telah selesai dilakukan
 meluruskan kesalah-pengertian mengenai apa yang telah
ditemukan dan dianalisis oleh analis sistem tetapi tidak sesuai
menurut manajemen
 meminta pendapat-pendapat dan saran-saran dari pihak manajemen
 meminta persetujuan kepada pihak manajemen untuk melakukan
tindakan selanjutnya (dapat berupa meneruskan ke tahap desain
sistem atau menghentikan proyek bila dipandang tidak layak lagi)

BAB III

PENUTUP

1.
2.
3.
3.1. Kesimpulan
Instrumen penelitian dapat diartikan sebagai alat untuk mengumpulkan,
mengolah, menganalisa dan menyajikan data-data secara sistematis serta
objektif dengan tujuan memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu

54
hipotesis. Sebagai alat bantu dalam pengumpulan data penelitian, mutu
instrumen sangat menentukan mutu data yang dikumpulkan. nstrumen
adalah alat bantu yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan dan
mengukur informasi kuantitatif tentang variabel yang sedang diteliti.
Sebagai alat bantu dalam pengumpulan data penelitian, mutu instrumen
sangat menentukan mutu data yang dikumpulkan.
3.2. Saran

Dengan dibuatnya makalah Terapi modalitas dalam keperawatan jiwa diharapkan


nantinya akan memberikan manfaat bagi para pembaca. Tak lupa kritik dan saran
dari pembaca sangat kami harapkan guna untuk penyempurnaan makalah ini,
karena mungkin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Amin.l., Aswin.A., Fajar.l., Isnaeni, Iwan.S., Pudjarahaju.A., Sunindya.R.,


Statistika untuk Praktisi Kesehatan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009)

Afianty, Y (2008). Validitas dan Reliabilitas Dalam Penelitian Kuantitatif. Jurnal


Keperawatan Indonesia, 12(2), 137-141.

Afrizal. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers.

Mustari, Muhamad. & Rahman, M. Taufiq. (2012). Pengantar Metode Peneliatian.


Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Usmadi, U. (2020). Pengujian Persyaratan Analisis (Uji Homogenitas Dan Uji


Normalitas). Inovasi Pendidikan, 7(1), 50–62.

Teni, & Agus Yudiyanto. (2021). Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Hasil
Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Kedokan Bunder Kabupaten
Indramayu. Jurnal Pendidikan Indonesia, 2(1), 105–117.

Hendryadi, H. (2017). Validitas isi: tahap awal pengembangan kuesioner. Jurnal


Riset Manajemen dan Bisnis, 2(2), 259334.

Sireci, SG (2007). Pada validitas teori dan uji validasi. Peneliti Pendidikan , 36
(8), 477-481.

55
56

Anda mungkin juga menyukai