2. Gṛhaṣtha
Gṛhaṣtha ialah tingkat kehidupan pada
waktu membina rumah tangga yaitu
sejak kawin. Kata Grha berarti rumah
atau rumah tangga. “Stha (stand) artinya
berdiri atau membina.
Tingkat hidup Gṛhaṣtha yaitu menjadi
pimpinan rumah tangga yang
bertanggung jawab penuh baik sebagai
anggota keluarga maupun sebagai
anggota masyarakat serta sekaligus
sebagai warga negara jenjang kehidupan
Grhastha dapat dilaksanakan apabila
keadaan fisik maupun psikis dipandang sudah dewasa dan bekal pengetahuan sudah
cukup memadai, (Sudirga dan Yoga Segara, 2014:164).
Setelah memasuki tingkat hidup Grhastha, bukan berarti masa belajar atau
menuntut ilmu itu berakhir sampai disitu saja. Belajar tidak mengenal batas usia.
Belajar berlangsung selama hayat dikandung badan. Maka orang mengatakan masa
muda adalah masa belajar. Hal ini mengandung arti bahwa tidak ada istilah tua dalam
hal belajar. Karena ilmu pengetahuan itu sifatnya berkembang terus. Ilmu yang
didapatkan dalam jenjang Brahmacari itu lebih diperdalam serta ditingkatkan lagi
setelah menginjak hidup berumah tangga (Gṛhaṣtha).
Dalam hidup berumah tangga ini ada beberapa kewajiban yang perlu
dilaksanakan yaitu:
a. Melanjutkan keturunan
b. Membina rumah tangga
c. Bermasyarakat
d. Melaksanakan Pañca Yajña
Untuk itu maka dalam jenjang kehidupan ini masalah artha dan kama
menduduki tujuan utama, dengan berlandaskan darma (kebenaran).
3. Wanaprastha
Jenjang kehidupan yang ketiga
dari Catur Asrama ialah wanaprastha.
Wanaprastha terdiri dari dua
rangkaian kata Sansekerta yaitu wana
artinya pohon kayu, hutan semak
belukar dan prastha artinya
berjalan/berdoa paling depan dengan
baik.
Pengertian Wanaprastha
dimaksudkan berada dalam hutan,
mengasingkan diri dalam arti
menjauhi dunia ramai secara perlahan-
lahan untuk melepaskan diri dan
keterikatan duniawi. Dalam upaya
melepaskan diri yang dimaksud adalah berusaha membatasi dan mengendalikan diri
dari unsur Triguna yaitu sifat Rajas dan Tamas, agar dalam Satwam kerohaniannya
lebih mantap dan diberkahi oleh Hyang Widhi sebagai tujuannya menjadi lebih dekat.
Tingkatan hidup Wanaprastha merupakan persiapan diri mengurangi keterikatan
dan keterlibatan dengan kehidupan duniawi. Dalam kehidupan sehari-hari tingkatan
hidup Wanaprastha ini dapat dilaksanakan setelah anak kita dewasa semua bebas dari
tanggungan.
Wanaprastha adalah jenjang kehidupan untuk mencari ketenangan batin dan
mulai melepaskan diri dari keterikatan terhadap kemewahan duniawi. Pada masa
kehidupan Wanaprastha ini, tanggung jawab rumah tangga dan kewajiban-kewajiban
selaku anggota masyarakat, diambil alih oleh anak dan cucu.
Kenikmatan dan kepuasan yang bersifat lahiriah sedikit demi sedikit mulai
dikurangi. Pusat perhatian pada jenjang ini adalah mengarah pada kenikmatan rohani
yang bersifat abadi yaitu moksa. Dia tidak terikat lagi dengan Artha dan Kama.
Kalau kita memperhatikan istilah Wanaprastha berarti hidup mengasingkan diri
ke hutan, tetapi zaman sekarang, menjalani masa hidup Wanaprastha itu tidak usah
pergi ke hutan. Lebih baik ketenangan itu kita cari pada diri masing-masing. Berbuat
baik untuk kepentingan masyarakat, nusa dan bangsa, dengan menegakkan ajaran
Ahimsa (tanpa kekerasan) ajaran agama lainnya. Adapun manfaat menjalankan hidup
Wanaprastha adalah:
a. Untuk mencapai ketenangan rohani.
b. Memanfaatkan sisa-sisa kehidupan di dunia ini untuk mengabdi dan berbuat
amal kebajikan kepada masyarakat umum.
c. Melepaskan segala keterikatan terhadap duniawi.
4. Bhiksuka/Sanyasin
Bhiksuka juga sering disebut Sanyasin. Kata
Bhiksuka berasal dari kata Bhiksu, sebutan untuk
pendeta Buddha. Bhiksu artinya meminta-minta.
Bhiksuka ialah tingkat kehidupan yang lepas dari
ikatan keduniawian dan hanya mengabdikan diri
kepada Hyang Widhi dengan jalan menyebarkan
ajaran-ajaran kesusilaan.
Dalam pengertian sebagai peminta-minta
dimaksudkan ia tidak boleh mempunyai apa-apa
dalam pengabdiannya pada Hyang Widhi dan untuk makannya pun ditanggung oleh
murid-murid pengikutnya ataupun umatnya sendiri. Dalam pengertian sebagai
Sanyasin dimaksudkan meninggalkan keduniawiaan dan hanya mengabdi kepada
Hyang Widhi dengan memperluas ajaran-ajaran kesucian.
Bagi orang yang telah menjalankan hidup Bhiksuka, akan mencerminkan suatu
sifat dan tingkah laku yang baik serta bijaksana. Seorang Bhiksuka akan selalu
memancarkan sifat-sifat yang menyebabkan orang lain menjadi bahagia, (Sudirga dan
Yoga Segara, 2014:168).