Anda di halaman 1dari 11

Panca yadnya AGAMA HINDU: PANCA YADNYA (bhentetcool.blogspot.

com)

Parisada Hindu Dharma Indonesia (phdi.or.id)

Sila dan etika agma hindu Memahami dan Menerapkan Konsep Sila dan Etika Hindu | INSTITUT HINDU
DHARMA NEGERI DENPASAR (wordpress.com)

Etika dalam agama hindu

1. Tri kaya parisudha


2. Panca yama bratha
3. Dasa yama bratha
4. Panca niyama bratha
5. Dasa niyama bratha
6. Dasa dharma
7. Catur paramitha
8. Tri hita karana

Pengertian yadya dalam kitab bhagawadgita Agama Hindu: Yadnya Dalam Bhagawadgita (e-
hindu.blogspot.com)

Penjelasan Tentang Yadnya (4gama-hindu.blogspot.com)

Hubungan catur purusa artha dengan catur asrama

Bagaimana hubungan catur asrama dengan catur purusa artha? Catur purusa artha merupakan landasan
moral bagaimana umat untuk mewujudkan ajaran catur asrama. Dalam satu fase kehidupan, umat
Hindu memiliki kewajiban moral untuk mewujudkan tujuan beragama dan bernegara.

Pada fase brahmacari, umat hendaknya lebih mengutamakan untuk melaksanakan dharma dari pada
mendapatkan kekayaan "artha". Artha juga penting untuk menunjang memperoleh ilmu mengisi segala
keinginan nafsu "kama" dalam mencapai kebahagiaan "moksa" sebagai tujuan hidup.

Dharma, artha, kama dan moksa merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai unsur-unsur catur purusa
artha. Semua unsur-unsur tersebut hendaknya dimanfaatkan secara menyatu dengan tetap memberikan
skala dominasi sesuai jenjang yang dilakoni dalam kehidupan ini "brahmacari, grehastha, wanaprastha,
dan bhiksuka" oleh umat sedharma.

Demikian pada masa grehastha, umat hendaknya lebih mengusahakan dan mengutamakan artha dan
kama, berlandaskan dharma untuk mewujudkan rumah tangganya yang harmonis. Tatkala berada pada
masa wanaprastha, pelaksanaan Dharma dengan melepaskan kehidupan duniawi kemudian
memperdalam ilmu agama/ kerohanian untuk dijadikan bekal dalam mengabdikan sisa hidup pada umat
manusia dan mahkluk hidup. Hal ini sangat penting dalam rangka mencapai moksa. Dengan demikian
kebahagiaan hidup yang abadi "moksa" yang dicita-citakan pada masa "bhiksukha" dengan mudah dapat
diwujudkan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk dapat mewujudkan tujuan agama dan tujuan hidup umat
manusia, dapat dicermati dari terjalinnya hubungan antara catur asrama dengan catur purusa artha.
Catur purusa artha adalah merupakan landasan moral umat melaksanakan catur asrama. Tanpa
landasan catur purusa artha nampaknya sulit konsep ajaran catur asrama dapat diwujudkan dalam
hidup dan kehidupan ini. Catur purusa artha tersebut hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan yang
tak terpisahkan antara unsur yang satu dengan yang lainnya.

Sebagai dampak positif dari penerapan catur purusa artha secara konsisten adalah dengan mudah dapat
terwujudnya tujuan agama dan tujuan hidup umat manusia. Sebaliknya bila hal itu tidak ditepati, maka
kehancuran tentu akan terjadi pada setiap umat yang melanggarnya. Demikianlah hubungan catur
asrama dengan catur purusa artha sebagai ajaran agama Hindu.

Catur purusa artha memiliki hubungan yang sinergis dengan catur asrama. Bila umat tidak dengan
sungguh-sungguh memedomani diri dengan ajaran catur purusa artha dalam melaksanakan catur
asrama, maka sikap dan tindakannya yang sedemikian itu adalah sangat sia-sia. Karena sudah barang
tentu tidak akan dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan hidupnya dan juga tujuannya beragama.

Dampak yang akan ditimbulkan apabila umat Hindu tidak konsisten memahami dan mengamalkan
ajaran catur purusa artha dengan ajaran catur asrama sudah barang tentu adalah kehancuran dalam
hidupnya, baik yang bersifat rohani maupun jasmani. Hal yang seperti itu patut dihindari oleh semua
umat yang ada di muka perthiwi ini.

Hubungan Catur Asrama dengan Catur Purusa Artha adalah sebagai berikut :

1. Pada masa Brahmacari tujuan utamanya adalah belajar untuk menuntut ilmu baik itu disekolah
maupun lingkungan masyarakat, fase ini berjalan dari umur 5 (lima) tahun dan selambat-lambatnya
umur 8 (delapan) tahun karena pada saat itu kemampuan otak seseorang sedang tajam-tajamnya
sedangkan ahir dari fase ini adalah 20 (dua puluh) tahun dan dilanjutkan pada tahap kehidupan yang
berikutnya. Tujuan yang ingin dicapai pada masa brahmacari adalah tercapainya Dharma dan Artha.
Karena seseorang belajar menuntut ilmu adalah untuk memahami dharma dan dapat mencari nafkah di
masa depan. Dharma merupakan dasar dan bekal mengarungi kehidupan berikutnya.

2. Pada masa Grhastha, tujuan hidup / utama manusia adalah mendapatkan Artha dan kama yang
dilandasi oleh dharma. Mencari harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidup (kama) yang
berdasarkan kebenaran (Dharma). Jikamemperoleh artha dengan cara mencuri, menipu, merampok,
korupsi, dll. Arta yang diperoleh dengan cara ini (adharma) tidak akan kekal dan akan menyengsarakan
hidup dikemudian hari. Kesengsaraan itu bermacam-macam berbentuk "skala" dan "niskala" Yang
berbentuk skala misalnya seorang perampok yang tertangkap akhirnya masuk penjara. Kesengsaraan
niskala, misalnya seorang koruptor karena kepandaiannya berkomplot dan berkuasa, mungkin saja ia
terhindar dari hukuman duniawi, tetapi kelak roh-nya akan mengalami penderitaan karena menerima
hukuman Tuhan (Hyang Widhi), atau paling tidak bathinnya tidak tenang, karena merasa
berdosa. Seorang Grhastha memiliki kewajiban-kewajiban : bekerja mencari harta berdasarkan dharma,
menjadi pemimpin rumah tangga, menjadi anggota masyarakat yang baik dan melaksanakan yadnya,
yang semuanya itu memerlukan biaya.

3. Pada masa Wanaprastha orang akan mulai sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan
keduniawian (Artha dan Kama hendaknya mulai dikurangi), berkonsentrasi dalam bidang spiritual,
mencari ketenangan batin dan lebih mendekatkan diri kepada tuhan untuk mencapai Moksa. Tujuan
hidup pada masa ini adalah persiapan mental dan fisik untuk dapat menyatu dengan Tuhan (Sang Hyang
Widhi). Pada masa ini tujuan hidup yang diprioritaskan adalah Kama dan Moksa.

4. Pada masa Bhiksuka/sanyasin, manusia adalah pada situasi dimana benar-benar mampu
melepaskan diri dari ikatan duniawi dan kehidupannya sepenuhnya diabdikan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dengan jalan menyebarkan ajaran agama. Pada masa ini orang tidak merasa memiliki apa-
apa dan tidak terikat sama sekali oleh materi dan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada
masa ini, yang menjadi tujuan utama adalah Moksa.

Ajaran nitisastra Niti Sastra | Nitisastra (kepemimpinan) (wordpress.com)

Nyoman Alit: NITISASTRA (nyomanalit99.blogspot.com)

Implementasi tri hita karana Implementasi Tri Hita Karana - cakepane.com

Kitab bhagawadgita bab 4 BAB 4 | Dharmasastra3's Blog (wordpress.com)

Bhagavad Gita Bab 4 || Petunjuk Kehidupan – Namahatta Bumi Gaura (wordpress.com)

Ajaran astika dan nastika


Āstika (Dewanagari: आस्तिक; IAST: āstika) berasal dari kata Sanskerta asti, "terdapat, ada", dan
artinya "orang yang meyakini suatu keberadaan (dari sebuah jiwa yang terpisah dari dunia
material, Brahman, dll)" dan nāstika artinya "orang tak percaya". Konsep tersebut dipakai untuk
mengklasifikasikan filsafat-filsafat India oleh para cendekiawan modern, dan beberapa
teks Hindu, Buddha dan Jaina.[1][2][4]
Secara garis besar, Āstika mengandung salah satu atau ketiga ciri-ciri berikut ini:[5][6]

1. mengakui otoritas kitab-kitab Weda;


2. meyakini adanya jiwa atau atman;
3. meyakini keberadaan Tuhan atau Iswara.
Enam aliran filsafat Hindu digolongkan ke dalam Āstika,
yaitu: Nyaya, Waisesika, Samkya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta.
Sedangkan Nāstika adalah kebalikannya, yakni menolak ciri-ciri āstika;[5] mereka juga tidak meyakini
keberadaan jiwa atau diri yang sejati.[7] Agama dari India yang tergolong nāstika yaitu: Buddha-
dharma, Jaina-dharma, Carwaka, Ājīvika, dan Ajña Āstika (Dewanagari:
आस्तिक; IAST: āstika) berasal dari kata Sanskerta asti, "terdapat, ada", dan artinya "orang yang
meyakini suatu keberadaan (dari sebuah jiwa yang terpisah dari dunia material, Brahman, dll)"
dan nāstika artinya "orang tak percaya". Konsep tersebut dipakai untuk mengklasifikasikan filsafat-
filsafat India oleh para cendekiawan modern, dan beberapa teks Hindu, Buddha dan Jaina.[1][2][4]
Secara garis besar, Āstika mengandung salah satu atau ketiga ciri-ciri berikut ini:[5][6]

1. mengakui otoritas kitab-kitab Weda;


2. meyakini adanya jiwa atau atman;
3. meyakini keberadaan Tuhan atau Iswara.
Enam aliran filsafat Hindu digolongkan ke dalam Āstika,
yaitu: Nyaya, Waisesika, Samkya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta.
Sedangkan Nāstika adalah kebalikannya, yakni menolak ciri-ciri āstika;[5] mereka juga tidak meyakini
keberadaan jiwa atau diri yang sejati.[7] Agama dari India yang tergolong nāstika yaitu: Buddha-
dharma, Jaina-dharma, Carwaka, Ājīvika, dan Ajñana.
na
catur asrama
Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan atas dasar keharmonisan hidup dalam ajaran
Hindu. Setiap tingkatan kehidupan manusia di bedakan berdasarkan atas tugas dan kewajiban
manusia dalam menjalani kehidupannya, namun terikat dalam satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Sebagai contohnya, perbedaan kewajiban antara orang tua dan anak.

Pembagian catur asrama

Brahmacari Asrama
Adalah tingkat masa menuntut ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan
diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana (Ijazah).

Grhasta Asrama
Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan
kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara
yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama
dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan
kehidupan sosial lainnya).

Wanaprastha Asrama
Merupakan tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu
keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa
ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup
yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam kehidupan
sehari- hari.

Bhiksuka Asrama (Sanyasin)


Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas.
Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada
tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana
seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa.

Pengertian otonan dan bayuh oton

Otonan ini merupakan hari kelahiran bagi umat hindu yang dilaksanakna setiap 210 hari atau 6
bulan sekali, Jatuhnya otonan bertepatan dengan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku yang sama.
Pelaksanaan Upacara Otonan di laksanakan dengan menggunakan banten otonan yang dalam
agama hindu terdapat beberapa tingkatan dalam melaksanakan upacara yaitu Uttama, Madya, dan
Nista, namun aspek kespiritualan dalam pelaksanaannya dilihat dari niat suci dan kepercayaan
dalam melaksanakan upacara otonan tersebut.

upacara otonan pada hakikatnya adalah upacara manusa yadnya yang bertujuan untuk
menyucikan kelahiran manusia saat berumur enam bulan (210 hari), peleburan dosa dan
pembayaran hutang terhadap leluhur dengan sarana upacara tertentu. beragam bentuk sarana
upacaranya, seperti: banten byakala atau byakala, banten peras,banten pengambeyan,banten
ajuman atau sodan,banten sayut lara mararadan, dan banten dapetan. Fungsi dan makna upacara
otonan terdiri atas: dasar dalam mencapai kelepasan (moksa), pembayaran hutang dan peleburan
dosa, penyucian diri, upacara persembahan (korban suci) ke hadapan roh suci leluhur.
Bayuh oton adalah upacara menurut kelahiran untuk menetralisir pengaruh-pengaruh yang tidak baik
yang ada pada diri manusia.

Bayuh adalah kata yang sejenis dengan kata dayuh. Ayuh dalam bahasa bali artinya sejuk. Bayuh
dimaksudkan menyejukkan diri manusia dari hal-hal yang bersifat keras atau panas kelahirannya.
Menyejukkan juga berarti menetralisir. Sedangkan kata Ruwatan berasal dari kata ruwat yang berarti
menyucikan, namun kemudian berarti menetralisir pengaruh-pengaruh jahat misalnya ruwat sudhamala.
Sahadewa meruwat betari Durga dengan cara membunuhnya lalu betari Durga “Somya” kembali menjadi
Uma dan dalam hal ini ruwat lebih mengacu pada peleburan. Baik ruwatan atau bayuh selalu
mempergunakan jenis upakara yang di Bali disebut bebanten sedangkan di Jawa disebut sesajen.
Bebanten atau sesaji disamping berfungsi sebagai hidangan kehadapan Bhatara Kala juga mempunyai
arti yang sangat dalam bernilai magis. Dalam upacara bayuh atau Ruwatan selalu dilengkapi dengan
“Penglukatan” yang berfungsi pembersihan secara spiritual. Dengan demikian bayuh atau ruwatan lebih
mengarah pada arti penyucian atau pembersihan.

Tri rna
Bagian-Bagian Tri Rna :

1. Dewa Rna

Dewa Rna adalah hutang yang di miliki oleh manusia kepada sang pencipta (ida sang hyang widhi
wasa) karena beliau telah memberikan percikan kecil dari bagiannya yaitu atman . Bukannya hanya
itu saja tetapi beliau juga telah menciptakan alam semesta beserta isinya untuk kita para manusia
bisa bertahan hidup di dunia ini .

2. Pitra Rna

Pitra Rna adalah hutang yang dimiliki oleh manusia kepada leluhur . Kata Pitra berasal dari bahasa
sansekerta “Pitr” yang berarti ayah atau bapak , bentu jamaknya adalah “Pitara” yang berarti nenek
moyang atau leluhur . Sehingga hutang yang dimaksud disini adalah hutang yang di mulai dari
kandungan ibu dimana kita telah di rawat di dalam kandungan ibu dan tumbuh besar menjadi anak
yang suputra sampai tingkat di atasnya atau nenek moyang .

3. Rsi Rna

Rsi Rna adalah hutang yang dimiliki oleh manusia kepada seseorang yang telah mengajari kita
tentang ilmu pengetahuan seperti rsi , guru , dan pendeta . Pada jaman dahulu dikenal dengan
sebutan “Wipra” . Wipra adalah orang bijaksana yang menerima wahyu langsung dari Tuhan atau
Ida Sang Hyang Widhi Wasa seperti mantra-mantra suci dalam kitab suci weda dan diberi gelar
Maharesi (Resi yang Besar) . Seseorang yang bertugas sebagai pendeta , pandita bhagawan dan
lain-lainnya yang bukan menirma anugrah wahyu pertama dari tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi
Wasa disebut Rsi .

sloka yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia kedunia ini melalui yajna

Sloka Bhagawad gita tentang Yadnya - Pasraman Ganesha Brahmachari Ashram


D. PANCA DASA PARAMITENG PRABHU
Ajaran ini bersumber dari ajaran kepemimpinan Maha Wira Gajah Mada
yakni ketika kerajaan Majapahit mencapai kejayaannya. Ajaran
kepemimpinan Gajah Mada ini terdiri dari lima belas ajaran yang disebut
dibawah.

1. Widnya
Widnya adalah ajaran yang mengajarkan bahwa seorang pemimpin baik
pemimpin negara
maupun pemimpin agama atau pun pemimpin dibidang lainnya agar
senantiasa bersikap tenang dan bijaksana dalam menghadapi suatu
permasalahan atau dalam melaksanakan tugas kewajibannya. Pemimpin
harus bertindak benar, sebab kebenaran dapat memberikan kekuatan
penerangan dan semangat hidup. Pemimpin yang arif bijaksana adalah
pemimpin yang dapat melihat semua bawahannya sama sebagai insan
ciptaan Tuhan. Dalam hal ini seorang pemimpin harus mempraktekkan
ajaran tat twam asi. Mereka yang tidak memiliki kepercayaan pada ilmu pengetahuan
dan budi pekerti ini tidak mencapai aku. Wahai parantapa, kembali kejalan duni
a inkarnasi.(Bg. Gita, IX.3).
2. Mantriwira
Mantriwira merupakan ajaran untuk memupuk jiwa yang teguh untuk
berani membela kebenaran dalam keadaan bagaimanapun juga. Karena
kebenaran adalah sumber dari
kekuatan dan cahaya terang dalam hidup. Ketahuilah bahwa semua
dosa dan
kejahatan adalah bersumber dari, kelemahan oleh karenanya jangan
biarkan kelemahan itu menjangkiti tubuh maka segala tugas dan
kewajiban akan mencapai kebahagiaan.
Sri Kresna berkata kepada Arjuna: “Tugas dan kewajiban akan menc
apai tujuan kebahagiaan jangan biarkan kelemahan itu oh partha sebab
itu tidak sesuai bagimu, enyahkanlah rasa lemah dan kecut itu.
bangkitlah oh pahlawan Jaya”

3. Wicaksanen naya
Berlaku bijaksana didalam segala tindakkan. Kebijaksanaan inilah ya
ng menempatkan Patih Gajah Mada selalu tepat dalam pergaulan baik
dalam
kalangan pejabat maupun di tengah rakyat. Dengan kebijaksanaan in
i pula, Patih Gajah Mada menempatkan Majapahit bukan sebagai
penakluk, tetapi sebagai pengayom negara-negara lain dikawasan
Nusantara.
4. Natangwan
Dapat dipercaya. Pribadi patih Gajah Mada yang patut dijadikan tela
dan adalah
karena ia tidak pernah mengabaikan kepercayaan rakyat yang telah
dilimpahkan kepadanya. Karena rasa tanggung jawabnya yang besar dan
kepercayaan itu tak pernah tergoyahkan.
5. Satya Bhakti Aprabu
Sifat setia dengan hati yang tulus dan iklhlas kepada negara dan
pemerintahan. Lebih
kurang setengah abad lamanya (1319- 1364) patih Gajah Mada selal
u penuh pengabdian dan kesetiaan.
6. Wagmi Wak Fash
Mengutarakan pendapat, khususnya dalam mempertahankan argument
asi berdasarkan kebenaran yang ada dan keahlian.

7. Sajarwopasana
Tingkah laku yang memperlihatkan kerendahan hati, berwajah cerah,
tulus ikhlas, jujur dan sabar. Sifat ini memang hams dimiliki bila
seseorang menjadi politikus yang berderajat tinggi. Seorang diplomat
sejati melatih diri agar menguasai dan menghayati sifat-sifat tersebut.
8. Dirotsaha
Selalu bekerja rajin dan tekun dilandasi keteguhan hati. Didalam hati
yang teguh kelihatan pula keberanian dan kesetiaan.
9. Tan lalana
Berketepatan hati, tahan uji dan tak mudah terombang ambing oleh
keadaan sekitar.
Dengan ketabahan dan ketawakalan ini menyebabkan patih Gajah M
ada dikenal sebagai tokoh negarawan yang ulet dan berhati baja.
10. Diviyacita
Selalu berhati terbuka dalam hubungan dengan orang lain, selalu siap
mendengarkan pendapat dan pikiran orang lain meskipun terhadap p
endapat yang bertentangan dengan pendapat pribadinya.
11. Tan Satrsna
Tidak menonjolkan ambisi. Dengan sifat ini, Patih Gajah Mada tidak ingin
di Dewa-
dewakan. apabila menikmati kesenangan duniawi secara berlebih-
lebihan tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku.
12. Asihi Samastabhuwana
Mencintai dunia dengan seluruh isinya. Sifat ini berpangkal tolak dari
keyakinan filsafat bahwa segala yang ada didunia ini hanyalah bersifat
fana dan sementara, PatihGajah Mada mencintai dunia karena menyadari
keterbatasan, disamping meyakini bahwa dengan mencintai dunia dan
isinya berarti pula mencintai Maha Pencipta yangmenjadikan dunia
beserta segenap isinya.
13. Gineng Pratidina
Selalu mendahulukan yang baik dan menyingkirkan yang buruk, sifat ini
nampaknya timbul dari keyakinan Karmaphala yang mengajarkan bahwa
siapapun yang menanam kebaikan ia akan memetik buah yang baik pula,
dan sebaliknya siapa yang bersalah.kelak akan menerima balasan sesuai
dengan perbuatannya.
14. Sumantri
Sifat untuk menjadi petugas Negara yang sempurna didasari itikad yang
baik. Tanpa memperhitungkan posisinya. Gajah Mada selalu berbuat yang
terbaik. Hal ini yang
mengakibatkan keberhasilannya sejak ia menjadi magang. melalui m
ekal hingga menjabat patih.
15. Hanayaken Musuh
Selalu bertindak tegas menghadapi lawan. Bila perlu lawan yang
membahayakan harus dimusnahkan. Sebaiknya untuk mereka yang
menunjukkan kesetiaan kapada negara. Patih Gajah Mada selalu
memberikan penghargaan dan bimbingan. Demikian uraian tentang
Panca Dasa Paramitheng Prabhu dari kepemimpinan Maha Patih Gajah
Mada pada masa jaman keemasan kerajaan Majapahit

Filosofi hari siwaratri

Banyak yang beranggapan bahwa Siwaratri adalah malam peleburan


dosa. Anggapan ini muncul mungkin karena pemahaman yang kurang
tepat tentang cerita sang lubdaka yang katanya adalah pembunuh namun
terbebas dari dosa karena bergadang saat malam Siwaratri. Dalam
ajaran Hindu tidak ada peleburan dosa, dosa adalah hasil perbuatan
(karma) yang harus tetap ditebus oleh akibat (phala) berpijak pada
keyakinan dasar Hindu, yaitu hukum Karma. Kesalahan yang dilakukan
oleh perbuatan nyata harus ditebus dengan perbuatan nyata. Penebusan
’dosa’ dengan tindakan ritual, seperti begadang semalam suntuk, puasa
untuk waktu tertentu atau mengucapkan kalimat-kalimat pengakuan
tertentu, dipandang dari substansi hukum karma, hanya berfungsi
sebagai catharsis (bahasa yunani = penyucian atau pembebasan emosi
melalui seni, terutama yang bersifat tragedi). Ritual seperti ini bilamana
diartikan secara harfiah bisa menjadi obat penenang yang sangat
berbahaya : orang boleh melakukan apa saja demi kepentingan pribadi
(misalnya menyalah gunakan kekuasaan), karena dengan melakukan
ritual dengan saleh dan taat, pada waktu-waktu tertentu, dosa atau
kesalahan itu sudah hapus. Keyakinan semacam ini sama sekali tidak
menguntungkan bagi usaha pembentukan ethos kerja, karena membuat
manusia meremehkan tanggung jawab. Ritual-ritual seperti itu pada
dasarnya hanyalah satu sarana-sarana yang penting untuk pembentukan
pribadi melalui olah rohani. Dan ia akan bermanfaat bilamana ini
kemudian terefleksi dalam perbuatan nyata.

Kalau kita memperlakukan Siwaratri semacam biografi atau otobiografi


dari Lubdaka, artinya sebagai apa yang terbaca seperti terkesan selama
ini (hanya dengan begadang maka dosa – dosa akan hilang), orang tidak
akan memperoleh menfaat apapun dari karya agung yang dikemas
beragam simbolisme nan bermakna tinggi ini.

Makna penggunaan senteng dan pakaian adat

Senteng (slempot ataupun selendang) adalah secarik kain yang mengikat


dan menutupi pungsed atau pinggang sebagai kelengkapan busana adat
bali pada saat melakukan sembahyang, memasuki tempat suci dan
upacara yadnya lainnya disebutkan asal usul lahirnya budaya ini berasal
dari para leluhur yang merupakan asal muasal kita sebagai manusia yang
semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, manusia sudah terhubung
dengan-Nya (ibu) yaitu melalui tali pusar (ari-ari). Tali pusar,
penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang
ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari ‘mungkin’ ari-ari (tali pusar)
ini disimbolkan menjadi selempot (senteng), karena selalu melekat
menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya.
Sentang disimbolkan sebagai pengikat panca budhi indria dan panca
karmen indria serta. Ada juga yang mengatakan bahwa Senteng sebagai
pembatas antara bagian manusia yang suci (kepala keatas) dan yang
tidak (pinggul kebawah) agar pada saat sembayang tidak memikirkan hal-
hal negatif. Selain sebagai pengikat panca budhi indria dan panca karmen
indria, simbol mengekang sepuluh lobang yang ada dalam tubuh pada
saat seseorang berkehendak melakukan puja dan puji terhadap Tuhan.

Mengapa mesti menggunakan kain/kamben, ternyata hal ini bersumberkan pada ajaran agama (kitab
bhagavata purana), bahwa pakaian yang baik untuk digunakan sebagai persembahyangan adalah
pakaian yang jaritannya sedikit, kain lembaran yang tidak dijarit, sehingga pakaian seperti celana jean
dan yang sejenisnya yang banyak jaritan tidak baik digunakan sebagai pakaian persembahyangan. hal ini
karena berkaitan dengan himsa karma.

Busana adat ke Pura untuk putra


Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan
kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan
pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra
sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap
melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan)
dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya
yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan
symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan
kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita
tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi
saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan
juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah
jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil
(umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh
manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal
diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi
dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada
saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat
terus berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus
menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri.
Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan
dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran
(udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan
(dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan,
disela-sela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang
pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada
Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih
tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma.
Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul
hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut
tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada
udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti
symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.
Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan
simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

Busana adat ke Pura untuk putri

Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan
kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai
sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen
putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi
putri melangkah lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang
yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan
selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan
mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap
membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma. Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama
seperti baju pada putra. Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut. Pada putri rambut
dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk
putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas
memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat
sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan
sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung tagel adalah
untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala/pusung kekupu.
Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih,
cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.

Anda mungkin juga menyukai