Anda di halaman 1dari 11

II. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA.

Peraturan-peraturan yang orientasinya menyangkut lingkungan, baik disadari atautidak sebenarnya


telah hadir di masa abad sebelum Masehi, misalnya di dalam Code of Hammurabi yang ada di dalamnya
terdapat salah satu klausul yang menyebutkan bahwa “sanksi pidana dikenakan kepada seseorang
apabila ia membangun rumah dengan gegabahnya sehingga runtuh dan menyebabkan lingkungan
sekitar terganggu”. Demikianpula di abad ke 1 pada masa kejayaan Romawi telah dikemukakan adanya
aturan tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti adanya ketentuan teknik sanitasi
danperlindungan terhadap lingkungan.Di Indonesia sendiri, organisasi yang berhubungan dengan
lingkungan hidup sudahdikenal lebih dari sepuluh abad yang lalu. Dari prasasti Juruna tahun 876 Masehi
diketahui ada jabatan ”Tuhalas” yakni pejabat yang mengawasi hutan atau alas, yang kira-kira identik
dengan jabatan petugas Perlindungan Hutan Pelestarian Alam (PHPA).

Kemudian prasasti Haliwangbang pada tahun 877 Masehi menyebutkan adanya jabatan ”Tuhaburu”
yakni pejabat yang mengawasi masalah perburuan hewan di hutan. Contoh lain adalahpengendalian
pencemaran yang ditimbulkan oleh pertukangan logam; kegiatan membuat logam, yang sudah tentu
menimbulkan pencemaran dikenai pajak oleh petugas yang disebut ”Tuhagusali”.

Pertumbuhan kesadaran hukum lingkungan klasik menghebat, bermula pada abad ke-18 di Inggris
dengan kemunculan kerajaan mesin, dimana pekerjaan tangan dicaplok olehmekanisasi yang ditandai
dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Dengan demikianterbukalah jaman tersebarnya
perusahaan-perusahaan besar dan meluapnya industrialisasi yang dinamakan ”revolusi industri”.
Dengan kepentingan untuk menopang laju pertumbuhan industri di negara-negara dunia pertama atau
negara-negara yang telah maju indstrinya, sementara persediaan sumber daya alam di negara-negara
dunia pertama semakin terbatas maka diadakanlah penaklukan danpengerukan sumberdaya alam di
negara-negara dunia ketiga (Asia-Afrika).Pada masa itu negara-negara yang telah mengalami proses
industrialisasi telah banyak diadakan peraturan yang ditujukan kepada antisipasi terhadap
dikeluarkannya asap yangberlebihan baik dalam perundang-undangan maupun berdasarkan keputusan-
keputusanhakim. Selain itu dengan adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang medis,
telahdikeluarkan pula peraturan-peraturan tentang bagaimana memperkuat pengawasan
terhadapepidemi untuk mencegah menjalarnya penyakit di kota-kota yang mulai berkembang
denganpesat. Namun demikian, sebagian besar dari hukum lingkungan klasik, baik
berdasarkanperundang-undangan maupun berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang
berkembangsebelum abad ke-20, tidaklah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup
secaramenyeluruh, akan tetapi hanyalah untuk berbagai aspek yang menjangkau ruang lingkup
yangsempit.

1. Zaman Hindia Belanda.


Dalam sejarah peraturan perundang-undangan lingkungan terdapat peraturan-peraturan sejak zaman
Hindia belanda, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH. ML. “Apabila
diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman Hindia Belanda sebagaimana
tercantum dalam Himpunan peraturan-Peraturan perundangan di Bidang Lingkungan Hidup yang
disusun oleh PanitiaPerumus dan rencana kerja bagi pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan
hidupditerbitkan pada tanggal 15 Juni 1978, maka dapatlah dikemukakan, bahwa pertama kalidiatur
adalah mengenai Perikanan, mutiara, dan perikanan bunga karang, yaituParelvisscherij, Sponserviss
cherijordonantie (Stb. 1916 No. 157) dikeluarkan di Bogoroleh Gubernur Jenderal Indenburg pada
tanggal 29 Januari 1916, dimana ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan
perikanan siput mutiara, kulitmutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari tiga mil-
laut Inggris daripantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia).Yang dimaksud dengan melakukan perikanan
terhadap hasil laut ialah tiap usahadengan alat apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut
tersebut. Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder-ordonnantie (Stbl.1926
No. 226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450), yaitu Ordonansi Gangguan. Dalam
hubungan dengan terjemahan Hinder Ordonantie menjadiundang-undang Gangguan yang sering
terdapat dalam berbagai dokumen dan peraturanperlu dikemukakan bahwa ordonantie tidak dapat
diterjemahkan menjadi Undang-undang, karena ordonantie merupakan produk perundang-undangan
zaman penjajahanHindia Belanda, sedangkan Undang-undang merupakan produk negara yang
merdeka.Meskipun sebuah ordonantie hanya dapat dicabut dengan sebuah undang-undang, initidaklah
berarti ordonantie dapat diterjemahkan dengan undang-undang. Istilah yang tepatadalah
mentransformasikan ordonantie ke dalam bahasa Indonesia menjadi ordonansi.Di dalam Pasal 1
Ordonansi Gangguan ditetapkan larangan mendirikan tanpa izintempat-tempat usaha yang perincian
jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut,meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini
ditetapkan pula berbagaipengecualian atas larangan ini. Di bidang perusahaan telah
dikeluarkanBedrijfsreglemenigsordonnantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86 jo. Stbl. 1948 No. 224).Ordonansi
yang penting di bidang perlindungan satwa adalahDierenbeschermingsordonnantie (Stbl. 1931 No. 134),
yang mulai berlaku pada tanggal 1Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda
(Indonesia).Berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaituJachtordonnantie
1931 (Stb1.1931 No.133) dan Jachtordonnantie Java en Madoera 1940(Stb1.1940 No.733) yang berlaku
untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940.Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah
Natuurhermings Ordonnantie 1941(Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang
mengatur cagar-cagar alamdan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en
reservatenordonnantie 1932(Stbl. 1932 No. 17) dan menggantikanya dengan
Natuurbeschermingsordonnantie 1941tersebut. Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi
kekayaan alam di HindiaBelanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku
terhadapsuaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan pembedaan atas suaka-suakamargasatwa
dan cagar-cagar alam. Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan

satwa tersebut di atas telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10Agustus 1990.Dalam hubungan
dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stads VormingsOrdonnantie (Stbl. 1948 No. 168), disingkat
SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23Juli 1948. Yang menarik di sini adalah bahwa Stadsvormings
Ordonnantie diterbitkanpada tahun 1948, padahal Republik Indonesia diproklamasikan
kemerdekaannya padatanggal 17 Agustus 1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan
diwilayah yang secara de facto diduduki Belanda.Berbagai ordonansi tersebut di atas telah dijabarkan
lebih lanjut dalamverordeningen, seperti misalnya: Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No.
266);berbagai Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi bidang-bidang tertentuseperti
pabrik sigaret, pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet,pengasapan karet, perusahaan
tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940No. 247 jo. Stbl. 1941 No. 51); dan
Stadsvormingsverordening, disingkat SW (Stbl. 1949No. 40). Begitu pula terdapat peraturan tentang air,
yaitu Algemeen Waterreglement(Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98).

2. Zaman Jepang.

Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6,yaitu mengenai larangan menebang
pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan.Peraturan perundang-undangan di waktu itu
terutama ditujukan untuk memperkuatkedudukan penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan
diadakan untuk menjagabahan pokok untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan pokok
kayuaghata, alba, balsem dimana dalam rangka menjaga logistik tentara, karena kayu pohontersebut
ringan, tetapi sangat kuat.

3. Periode Setelah Kemerdekaan

Pada periode ini secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain: a) UU No. 4 prp
Tahun 1960 tentang perairan Indonesia; b) UU No. 5 Tahun 1967tentang Kehutanan; c) UU No. 11 Tahun
1967 tentang Pokok Pertambangan. d) UU No. 1Tahun 1973 tentang landas Kontinen Indonesia; e) UU
No. 11 Tahun 1974 tentangpengairan; f) UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan

Lingkungan Hidup; g) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;h) UU No. 9 Tahun
1985 tentang Perikanan; i) UU No. 17 Tahun 1985 tentang IPengesahan Konvensi Hukum Laut 1982; j)
UU No. 5 Tahun 1990 tentang KonservasiSumber Daya Hayati dan Ekosistemnya; k) UU No. 24 Tahun
1992 tentang PenataanRuang; l) PP No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi
danEksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (LN No. 20 Tahun 1974 TLNNo. 3031); m) PP
No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati diZona Ekonomi Ekslusif Indonesia; n)
PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi InstansiVertikal di Daerah; o) Keputusn menteri pertanian No.
67 tahun 1976 tentang EmpatDaerah Operasi Bagi Kapal-kapal Perikanan; p) Keputusan presiden No. 32
Tahun 1990tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; setelah dilakukan penggantian terhadap UU No.4
Tahun 1982 dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup, juga
mulai memperhatikan bagaimana untuk menjaga agarlingkungan tidak tercemar, yaitu mengeluarkan
Undang-Undang yang menjaga agarbagaimana lingkungan secara dini akan terjaga dari pencemaran atas
adanya prosespembangunan yaitu AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan)
peraturanPemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis MengenaiDampak
Lingkungan dan Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang PengelolaanLimbah B3, Peraturan
Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Peraturan Perubahan AtasPeraturan Pemerintah. q) Keputusan
presiden No. 55 tahun 1993 tentang PengadaanTanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.Dalam rangka membentuk aparatur dalam bidang lingkungan hidup,
makaberdasarkan Keppres No 28 Tahun 1978 yang kemudian disempurnakan dengan KeppresNo 35
Tahun 1978, terbentuklah Kementrian Negara Pengawasan Pembangunan danLingkungan Hidup (PPLH)
dan sebagai Mentri Negara PPLH telah diangkat Emil Salim.Kemajuan lebih lanjut dari kinerja
Kementrian Negara PPLH ditandai denganditerbitkannya peraturan perundangan bidang lingkungan
hidup yang pertama diIndonesia, yaitu UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
PengelolaanLingkungan Hidup.Selanjutnya peraturan perundang-undangan No. 18 Tahun 1999
tentangPengelolaan Limbah B3, Peraturan pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang
PengendalianPencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999
tentangAnalisis Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Lingkungan HidupRepublik
Indonesia Nomor : Kep-13/MENLH/3/94 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi
amdal, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia Nomor : KEP 14/MENLH/3/1994
tanggal 19 Maret 1994 tentangpedoman umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan,
Keputusan kepalabadan pengendalian dampak lingkungan republik indonesia nomor : Kep-056 Tahun
1994tentang pedoman mengenai ukuran dampak penting, Keputusan menteri negaralingkungan hidup
republik indonesia nomor : KEP-15/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret1994 tentang pembentukan komisi
analisis mengenai dampak lingkungan terpadu,Keputusan presiden republik indonesia nomor : 77 tahun
1994 tentang badanpengendalian dampak lingkungan, Surat keputusan menteri perindustrian
nomor :250/M/SK/10/1994 tentang pedoman teknis penyusunan pengendalian dampak
terhadaplingkungan hidup pada sektor industri., Keputusan bersama menteri kesehatan republik
indonesia dan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup republik indonesia/kepala badan
pengendalian dampak lingkunga nomor :181/MENKES/SKB.II/1993, KEP.09/BAPEDAL/02/1993 Tanggal
26 Februari 1993tentang Pelaksanaan Pemantauan Dampak Lingkungan, Keputusan menteri dalam
negerinomor : 29 tahun 1992 tentang pedoman tata cara pelaksanaan analisis mengenai dampak
lingkungan bagi proyek-proyek PMA dan PMDN di Daerah., Keputusan MenteriPertambangan dan Energi
Nomor : 523 K/201/MPE/1992 tentang Pedoman TeknisPenyusunan Penyajian Informasi Lingkungan,
Rencana Pengelolaan Lingkungan, danRencana Pemantauan Lingkungan Untuk Usaha Pertambangan
Bahan Galian GolonganC, Keputusan Menteri Negara Lingkungan hidup republik indonesia nomor : Kep-
11/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang jenis usaha atau kegiatan yang wajibdilengkapi
dengan analisis mengenai dampak lingkungan, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor : 12
tahun 1995 tentang perubahan peraturan pemerintah nomor 19tahun 1994 tentang pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun, Peraturanpemerintah republik indonesia nomor 19 tahun 1994 tentang
pengelolaan limbah bahanberbahaya dan beracun, Undang-undang republik indonesia nomor 24 tahun
1992 tentangpenataan ruang, Keputusan presiden republik indonesia nomor 75 tahun 1993
tentangkoordinasi pengelolaan tata ruang nasional, Keputusan presiden republik indonesia nomor32
tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 35
tahun 1991 tentang sungai, Peraturan pemerintah republik indonesianomor 27 tahun 1991 tentang
rawa, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 18tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata
alam di zona pemanfaatan taman nasional,taman hutan raya dan taman wisata alam, Undang-undang
republik indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, Peraturan pemerintah No. 41
Tahun 1999Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan pemerintah No. 20 tahun
19990tentang Pengendalian Pencemaran Air, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentangKehutanan.
Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 10 tahun 1993 tanggal 19pebruari 1993 tentang
pelaksanaan undang-undang nomor 5 tahun 1992 tentang bendacagar budaya, Keputusan menteri
negara lingkungan hidup republik indonesia nomor:Kep-42/MENLH/11/1994 tentang pedoman umum
pelaksanaan audit lingkungan,Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor :
Kep-10/MENLH/3/1994 tentang pencabutan keputusan menteri negara kependudukan danlingkungan
hidup nomor : a. KEP-49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman penentuandampak penting dan
lampirannya; b. KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umumpenyusunan analisis mengenai
dampak lingkungan dan lampirannya; c. Kep-51/ MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan
studi evaluasi mengenai dampak lingkungan dan lampirannya; d. Kep-52/MENKLH/6/1987 tentang batas
waktupenyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkugnan; e. Kep-53/MENKLH/6/1987tentang
pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi.

4. Konferensi Internasional Berkaitan Dengan Hukum Lingkungan Hidup.

Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan seduniauntuk memberikan
perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup. Pada tahun 1962,terdapat peringatan yang
menggemparkan dunia yakni peringatan ”Rachel Carson” tentang bahaya penggunaan insektisida.
Peringatan inilah yang merupakan pemikiranpertama kali yang menyadarkan manusia mengenai
lingkungan. Seiring denganpembaharuan, perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari
gerakandunia international untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap lingkungan hidup.Hal ini
mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perluditanggulangi bersama
demi kelangsungan hidup di dunia. Gerakan sedunia ini dapatdisimpulkan sebagai suatu peristiwa yang
menimpa diri seorang sehingga menimbulkanresultante atau berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu
banyak pengaruh yangmendorong manusia kedalam suatu kondisi tertentu, sehingga adalah wajar jika
manusiatersebut kemudian juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya yang
mempengaruhidirinya dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut. Inilah
dinamakanekologi.

Di kalangan PBB perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini dimulai dikalangan Dewan Ekonomi
dan Sosial atau lebih dikenal dengan nama ECOSOC PBBpada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-
hasil gerakan dasawarsa pembangunadunia ke-1 tahun 1960-1970. pembicaraan tentang masalah
lingkungan hidup ini diajukandelegasi Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk dijajakinya
kemungkinanpenyelenggaraan suatu konferensi international. Kemudian pada garakan konferensi PBB
tentang ”Lingkungan Hidup Manusia” di Stockholm. Dalam rangka persiapan menghadapi Konferensi
Lingkungan Hidup PBBtersebut, Indonesia harus menyiapkan laporan nasional sebagai langkah awal.
Untuk itu diadakan seminar lingkungan pertama yang bertema ”Pengelolaan Lingkungan Hidup

Manusia dan Pembanguna Nasional” di Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam seminar tersebut
disampaikan makalah tentang ”Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan HidupManusia: Beberapa
Pikiran dan Saran” oleh Moctar Kusumaatmadja, makalah tersebut merupakan pengarahan pengarahan
pertama mengenai perkembangan hukum lingkungandi Indonesia. Mengutip pernyataan Moenadjat,
tidak berlebihan apabila mengatakanbahwa Moctar Kusumaatmadja sebagai peletak batu pertama
Hukum LingkunganIndonesia.Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia akhirnya diadakan
diStockholm tanggal 5-16 juni 1972 sebagai awal kebangkitan modern yang ditandaiperkembangan
berarti bersifat menyeluruh dan menjalar ke berbagai pelosok dunia dalambidang lingkungan hidup.
Konferensi itu dihadiri oleh 113 negara dan beberapa puluhpeninjau serta telah menghasilkan telah
menghasilkan Deklarasi Stockholm yang berisi24 prinsip lingkungan hidup dan 109 rekomendasi rencana
aksi lingkungan hidupmanusia hingga dalam suatu resolusi khusus, konferensi menetapkan tangga 5 juni
sebagai hari lingkungan hidup sedunia.

III. DASAR HUKUM HAK ASASI MANUSIA ATAS LINGKUNGAN HIDUP DIINDONESIA.

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah,dan seluruh pemangku kepentingan
berkewajiban untuk melakukan perlindungan danpengelolaan lingkungan hidup dalam melaksanakan
pembangunan berkelanjutan agarlingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan
penunjang bagi rakyat Indonesia serta makluk hidup lainnya. Dasar justifikasi argumen hak asasi
manusia ataslingkungan diantaranya tercantum dalam :

A. Hukum Internasional.

Hak atas lingkungan tidak diatur secara ekplisit dalam Deklarasi Universal Hak AsasiManusaia (DUHAM).
Namun, pasal 28 DUHAM dapat dijadikan dasar justifikasiargumen bahwa hak atas lingkungan adalah
hak asasi manusia, begitu juga dalamKovenan Hak Eksob, pasal 1 (2) dijadikan dasar justifikasi hak atas
lingkungan adalahhak asasi manusia. Hak atas lingkungan sebagai HAM baru mendapatkan
pengakuandalam bentuk kesimpulan oleh Sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001:

“bahwa setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahanberacun dan
degradasi lingkungan hidup”.

B. Hukum di Indonesia.

Secara konstitusional, hak atas lingkungan dalam hukum nasional Indonesia diantaranyatercantum
dalam :

1. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 :

“membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”, serta
dikaitkan dengan Hak Penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
untuk kemakmuran rakyat”.

2. Amandemen UUD 1945 Pasal 28H (1) menyebutkan:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh palayanan kesehatan”

3. Piagam HAM yang merupakan bagian tak terpisahkan dari TAP MPR No.XVII/MPR/1998 yang
ditetapkan oleh Sidang Istimewa MPR tahun 1998 diantaranyamenyatakan, bahwa manusia adalah
mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang berperansebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang
dan serasi dalam ketaatankepada-Nya. Manusia dianugerahi hak asasi dan memiliki tanggungjawab
sertakewajiban untuk menjamin keberadaan, harkat, dan martabat kemuliaan kemanusiaanserta
menjaga keharmonisan kehidupan.

4. UU No.23/1997 Pasal 5 (1) :

“Setiap orang mempunyai hak yang sama ataslingkungan hidup yang baik dan sehat” ; dan Pasal 8 (1) :
“Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah”

5. UU No.39/1999 tentang HAM Pasal 3, menyatakan :

“masyarakat berhak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat”

6. UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65(1)

“setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian

dari hak asasi manusia".

IV. DASAR HUKUM PERAN SERTA MASYARAKAT ATAS LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.
1. UUD 1945 Pasal 1(2), wujud kekuatan peran serta masyarakat berupa kedaulatan

rakyat diakui secara penuh dan dilaksanakan menurut UUD.

2. Konteks hukum lingkungan diantaranya dinyatakan pada :

a. UU No. 23/1997 Pasal 5(3) dan Pasal 34 PP No. 27/1999 tentang AMDAL.

b. UU No.5/1990 Pasal tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

c. UU No. 4/1992 Pasal 29 tentang Perumahan dan Pemukiman.

d. UU No.10/1992 Pasal 24 tentang Perkembangan Kependudukan dan PembangunanKeluarga


Sejahtera.

e. UU No. 12/1992 Pasal 52 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

f. UU No. 16/1992 Pasal 29 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.

g. UU No. 24/1992 Pasal . 5 tentang Penataan Ruang.

h. UU No. 41/1999 Pasal 70 tentang Kehutanan.

Peran serta masyarakat menjadi penting, karena peran serta masyarakat merupakanbagian dari prinsip
demokrasi, yang salah satu prasyarat utamanya adalah adanyaasas keterbukaan dan transparansi
dengan 5 unsur utama (agar asas tersebutterpenuhi), yakni: 1) Hak untuk mengetahui; 2) Hak untuk
memikirkan; 3) Hak untuk menyatakan pendapat; 4) Hak untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan;5) Hak untuk mengawasi pelaksanaan keputusan.

V. PENYELESAIAN MASALAH LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENGADILANDI INDONESIA.

A. Prosedur Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan.

Prosedur penyelesaian sengketa lingkungan yang dimungkinkan oleh perangkathukum, yaitu:

1. Preventif, yang dilakukan sebelum pencemaran terjadi (PP No. 27/1999 TentangAmdal).

2. Represif, yang baru dilakukan setelah pencemaran atau perusakan terjadi (Pasal30 (1) UU
No.23/1997). Penyelesaian sengketa lingkungan masih tunduk pada 2 jenis dasar hukum, yaitu
berperkara di pengadilan (Pasal 20(1), Pasal 34-39 UUNo. 23/1997 jo. Pasal 1365 BW) dan musyawarah
di luar pengadilan (Pasal 20(2),Pasal 31-33 UU No. 23/1997), yaitu penyelesaian sengketa lingkungan
alternatif.
B. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan.

Penyelesaian sengketa Lingkungan hidup melalui pengadilan adalah dimanasalah satu pihak yang sedang
bersengketa mengajukan gugatan melalui pengadilan,dan meminta hakim untuk memeriksa dan
memberi keputusan tentang siapa yangharus bertanggungjawab dalam sengketa tersebut. Proses ini
merupakan suatu prosespanjang, dan dalam sengketa lingkungan memerlukan cara pembuktian yang
sangatrumit.Kesulitan utama bagi korban pencemaran sebagai penggugat: Pertama,membuktikan
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsurkesalahan (schuld) dan unsur
hubungan kausal. Terlebih membuktikan pencemaranlingkungan secara ilmiah. Kedua, masalah beban
pembuktian yang menurut Pasal1865 BW/Pasal 163 HIR-Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban
penggugat,sedangkan korban pencemaran pada umumnya awam soal hukum dan berada padaposisi
ekonomi lemah.Kesulitan tersebut dijawab oleh pasal 35 UU No. 23/1997 melalui asastanggungjawab
mutlak (strict liability) sehingga unsur kesalahan tidak perludibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti kerugian.

Pasal ini menerapkan asas tanggung jawab mutlak terbatas pada sengketa lingkungan akibatkegiatan
usaha yang :

a. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;

b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B-3), dan/atau

c. Menghasilkan B-3.

C. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.

Sesuai pasal 30-33 UU PLH, penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat diluar pengadilan dengan
mediasi menggunakan jasa pihak ketiga, dan outputnya adalahganti rugi ataupun tindakan pemulihan
kerusakan lingkungan yang terjadi.Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap
tindak pidanalingkungan hidup. Apabila upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil, barudapat
melakukan gugatan melalui pengadilan.

D. Prosedural Gugatan Lingkungan Hidup (Legal standing, KelompokMasyarakat/Class Action, Citizen


Law Suit).

Gugatan legal standing merupakan gugatan dimana penggugat tidak tampil dipengadilan sebagai
penderita, tetapi sebagai organisasi mewakili kepentingan publik yaitu mengupayakan perlindungan
daya dukung ekosistem dan fungsi lingkunganhidup. Legal standing pertama kali diakui oleh pengadilan
Indonesia pada 1988 ketikaPN Jakarta Pusat menerima gugatan Yayasan WALHI terhadap 5 instansi
pemerintahdan PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU). Kriteria organisasi untuk mengajukangugatan Legal
Standing, yaitu: a) Berbentuk badan hukum atau yayasan; b) Dalamanggaran dasar organisasi disebutkan
dengan tegas tujuan didirikannya organisasitersebut adalah untuk kepentingan publik; c) Melaksanakan
kegiatan sesuai denganAnggaran Dasarnya.Gugatan class action yang dalam PERMA No. 1/2002 disebut
sebagai gugatanperwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satuorang
atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau dirimereka sendiri dan sekaligus
mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak,yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum
antara wakil kelompok dan anggotakelompok dimaksud. Jika dalam legal standing tuntutan ganti rugi
bukan merupakanlingkup penggugat, dalam Class Action hal itu adalah tuntutan dari penggugat.Citizen
Law Suit adalah akses orang perorangan warga negara untuk kepentingankeseluruhan warga negara
atau kepentingan publik termasuk kepentingan lingkunganmengajukan gugatan di pengadilan guna
menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk
memulihkan kerugianpublik yang terjadi.

BAB IIIKESIMPULAN

1. Hukum Lingkungan di Indonesia merupakan Hukum Lingkungan Modern yangmemiliki sifat utuh
menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalamdinamika dengan sifat dan wataknya yang
luwes, memperhatikan hak asasi manusiadan peran serta mayarakat termasuk lingkungan hidup itu
sendiri, yang seiring denganperkembangan hukum lingkungan hidup Internasional.

2. Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmuhukum yang paling
strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitusegi hukum administrasi, segi hukum
pidana, dan segi hukum perdata, yang sebagianbesar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuursrecht).

3. Hukum Lingkungan di Indonesia pada prakteknya belum dapat diterapkan secaraoptimal, hal ini
disebabkan Lingkungan Hidup di Indonesia sangat dipengaruhibanyak kepentingan, khususnya
kepentingan ekonomi (sektor: pertambangan,pertanian, perkebunan, industri dan permukiman) baik
berskala lokal, nasionalmaupun internasional
4. Dengan telah diberikan dasar hukum yang kuat atas peran serta masyarakat dan hak asasi manusia,
sebagai warga negara Indonesia diharapkan masyarakat mampumemanfaatkan secara maksimal
kekuatan tersebut, sehingga pengaruh yang menjadifaktor penyebab kurang optimal praktek penegakan
hukum lingkungan di Indonesiadapat diatasi, dan keberadaan lingkungan hidup bagi kesejahteraan dan
keamanankehidupan manusia dan pelestarian lingkungan itu sendiri dapat lebih terwujud.

Anda mungkin juga menyukai