Anda di halaman 1dari 45

TUGAS HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN KEBUMIAN

PERKEMBANGAN HUKUM TENTANG MINERAL

Disusun Oleh

Faza Bilal Ghassan 12020002

Herold Riwaldo S 12020003

Puput Mutmainnah 12020006

Miftahul Jannah Nurul Azizah 12020007

Wildhon Surya Putra 12020011

Yaumun Nurul Chotimah 12020032

Olyvia Krisna Octaviani 12020036

Yusuf Arrazaq M 12020040

MOHD. Furqan Supit 12020042

Laksmita Citrayuna S 12020054

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2021/2022
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN

Peraturan perundang-undangan terkait pertambangan khususnya mineral terus mengalami


perkembangan dari waktu ke waktu. Setiap hukum yang ada pasti terdapat kekurangan dan
kelebihannya masing-masing. Oleh karena itu, regulasi pertambangan di Indonesia terus
diperbaharui untuk memperbaiki kekurangan dari regulasi di era sebelumnya. Sejarah
regulasi pertambangan di Indonesia dimulai dari era kolonial dan terus berkembang hingga
saat ini. Secara singkat perkembangan sejarah dan regulasi pertambangan di Indonesia dapat
dilihat dalam gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan sejarah dan regulasi pertambangan di Indonesia


PEMBAHASAN

A. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan Minerba

Era Kolonial

Peraturan mengenai pertambangan pertama yang dibentuk ialah Mijn Reglement


1850. Regulasi ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah Hindia Belanda untuk
memberikan konsesi kepada swasta dalam mengusahakan pertambangan di Hindia
Belanda. Ia juga menjadi dasar hukum dalam penguasaan seluruh sumber daya alam
pertambangan yang ada di Hindia Belanda, termasuk dalam pengambilan alih
penambangan yang telah ada sebelum pemerintah Hindia Belanda berdiri. Mijn
Reglement 1850 ini dalam praktiknya sangat efektif di luar Pulau Jawa, namun di
Pulau Jawa sendiri tidak karena potensi konflik pertanahan yang saat itu sedang
diterapkan sistem cultuur stelsel dalam pertanian dan perkebunan (Ahmad dkk, 2021).

Pada perkembangan kemudian berlaku pula di Hindia Belanda adalah Indische


Mijnwet Staatsblad Tahun 1899 Nomor 214. Cikal bakal regulasi ini adalah
Undang-undang Pertambangan Tahun 1810 yang menggantikan Undang-undang
Pertambangan 1791 di Kota Limburg. Indische Mijnwet 1899 mengatur
penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan dengan sistem
pengusahaan konsesi. Setelah Indische Mijnwet, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan beberapa peraturan lainnya terkait pertambangan, yaitu
Mijnordonnantie 1907 yang mengatur mengenai pengawasan keselamatan kerja, dan
Mijnordonnantie 1930 yang mencabut Mijnordonnantie 1907. Dalam
Mijnordonnantie 1930, pengaturan mengenai pengawasan kerja dihapus. Indische
Mijnwet memungkinkan pemerintah kolonial untuk memberikan hak konsesi kepada
sektor swasta untuk jangka waktu hingga 75 tahun. Pemegang hak pengusahaan
diharuskan membayar sewa tanah kepada pemerintah kolonial, sementara mineral,
minyak dan/atau gas yang dihasilkan dari areal konsesi menjadi milik pemegang
konsesi. Pada perubahannya di 1904, Indische Mijnwet menetapkan hanya warga
negara Belanda, penduduk Hindia Belanda, atau perusahaan yang didirikan
berdasarkan hukum Belanda atau Hindia Belanda yang berhak diberikan konsesi.
Pada perubahan di 1918, Indische Mijnwet memungkinkan kepentingan asing
non-Belanda untuk mendapatkan hak konsesi, tetapi hanya untuk jangka waktu
hingga 40 tahun.
Undang-Undang Tambang pada zaman penjajahan Belanda menentukan siapa berhak
menambang, bagaimana cara memperoleh hak penambangan, dan kewajiban
pemegang hak. Untuk itu, dapat dikatakan peranan pemerintah dalam pengaturan
penguasaan sumber daya mineral sangat kuat (Ahmad dkk, 2021).

Selama penerapan Indische Mijnwet, pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan


471 konsesi dan izin. 268 diantaranya merupakan konsesi pertambangan untuk
mineral/bahan galian yang tercantum dalam Indische Mijnwet, tiga perusahaan
pertambangan milik pemerintah Hindia Belanda, dua usaha pertambangan patungan
antara pemerintah dan swasta, dua usaha pertambangan oleh swasta untuk pemerintah
dengan perjanjian khusus, 14 kontrak eksplorasi dan 34 kontrak eksploitasi, serta 142
izin pertambangan mineral/bahan galian yang tidak tercantum dalam Indische
Mijnwet.

Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan Indische Mijnwet 1899 dinilai menghambat


kegiatan swasta. Untuk menghilangkan hambatan tersebut, Indische Mijnwet
diamandemen pada 1910 dan 1918. Amandemen tersebut berakibat pada
perkembangan kegiatan pertambangan sebelum terjadinya perang Dunia I (Ahmad
dkk, 2021).

Setelah berakhirnya pendudukan Belanda dan beralih pada pendudukan Jepang,


pengaturan kegiatan pertambangan tidak menjadi perhatian khusus oleh penguasa
kolonial yang baru. Selama tiga tahun masa penjajahan Jepang di Nusantara, tidak ada
peraturan baru mengenai pertambangan. Peraturan yang telah ada yang dibuat oleh
Pemerintah Hindia Belanda, juga tidak mengalami pengkajian ulang, bahkan tetap
dilaksanakan. Dokumen Dienst van den Mijnbouw hanya diganti namanya menjadi
Chisitsu Chosasho. Bahkan, karena Jepang memberlakukan politik “bumi hangus”
pada daerah-daerah industri Belanda, sehingga pertambangan Belanda pada
masa-masa itu tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk digunakan oleh penjajah
Jepang (Ahmad dkk, 2021).

Segala hukum dan kebijakan pertambangan pada masa kolonial ini telah
meninggalkan beratus-ratus konsesi, izin dan kontrak pertambangan. Disini telah
diperlihatkan bahwasanya instrumen utama dalam pengusahaan pertambangan
mineral pada saat itu terdiri dari konsesi, izin dan kontrak.
Era Orde Lama

Undang-Undang Indische Mijnwet yang dibentuk oleh Belanda tentang pertambangan


ini masih dipakai oleh Pemerintah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada
tahun 1945 dengan mengalami beberapa perubahan dan penambahan pasal-pasal
dalam aturan hukum tersebut. Pada tanggal 2 Agustus 1951 telah diterima oleh
Parlemen mosi yang menghendaki agar dibentuk sebuah Panitia Negara untuk Urusan
Pertambangan, yaitu untuk merencanakan suatu UU tentang Pertambangan sebagai
pengganti Indonesische Mijnwet. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
(DPRS), Teuku Mr. Moh. Hassan dan kawan-kawan menyusun mosi mendesak
pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah membenahi pengaturan dan
pengawasan usaha pertambangan di Indonesia (Aprae Vico Ranan, 2010). Mosi itu
memuat beberapa hal, misalnya: perlunya menyelidiki masalah pengolahan tambang
minyak, timah, batubara, tambang emas/perak, dan bahan mineral lainnya. Selain itu,
dalam mosi juga menuntut agar mempersiapkan rencana undang-undang
pertambangan Indonesia dan meminta penundaan segala pemberian izin, konsesi,
eksplorasi, maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama
menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan (Pushep, 2020).

Kemudian, pada tanggal 14 Oktober 1960 Indonesische Mijnwet telah dicabut dan
diganti dengan Undang-undang Pertambangan baru yang lahir dari mosi tersebut. Ada
beberapa undang-undang yang lahir pada masa itu, yakni Undang-Undang No.78
Tahun 1958 tentang Penanaman modal Asing (UU PMA), Undang-Undang No.10
Tahun 1959 tentang pembatalan Hak-Hak Pertambangan serta Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 37 Prp.
Tahun 1960 tentang Pertambangan, yang lebih dikenal dengan Undang-Undang
Pertambangan 1960 adalah beberapa produk hukum yang tercipta saat itu.

Untuk menyempurnakan UU Indonesische Mijnwet besutan Kolonial Belanda,


Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 78 tahun 1958. Di dalam
UU tersebut diatur mekanisme Penanaman Modal Asing, hanya saja untuk sektor
pertambangan bahan vital masih tertutup bagi pemodal asing. Di sisi lain, dasar
hukum dari Undang-undang No.10 Tahun 1959 tentang pembatalan Hak-Hak
Pertambangan karena adanya kaum partikelir yang telah tersebar di hampir seluruh
Indonesia dan partikelir ini diberikan kewenangan pertambangan oleh Indische
Mijnwet. Oleh karena itu, agar tidak menghambat masyarakat lain untuk memperoleh
hak-hak pertambangan dan meningkatkan peran pemerintah dalam mengelola sumber
kekayaan alam berupa tambang tersebut, dan untuk meningkatkan pembangunan
nasional maka undang-undang ini diberlakukan. Selain itu, diberlakukannya
Undang-Undang No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan juga memiliki dasar
hukum tersendiri, yaitu agar bahan galian di seluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat baik secara gotong royong maupun
perorangan (Martha).

UU Pertambangan yang baru tersebut pada waktu itu sekedarnya sudah dapat
memenuhi tuntutan dan kepentingan Nasional di bidang Pertambangan. Akan tetapi,
dalam perkembangan selanjutnya dirasakan bahwa pencabutan hak penambangan
melalui UU No.10 tahun 1959 memiliki pengecualian bagi pertambangan minyak
bumi. Untuk itu, sepanjang program Nasionalisasi hingga tahun 1960 masih tersisa 3
perusahaan minyak milik Swasta, yaitu Stanvac, Caltex dan Shell. Tidak hanya itu,
UU No. 37 Prp Tahun 1960 juga kemudian tidak lagi dapat memenuhi tuntutan
masyarakat yang ingin berusaha dalam bidang pertambangan. Masyarakat
menghendaki agar kepada pihak swasta lebih diberikan kesempatan melakukan
penambangan. Di samping itu, UU 37 Prp Tahun 1960 juga menunjukkan semangat
Nasionalisme dan anti barat. Hal ini turut didukung dengan prioritas eksplorasi
tambang diberikan kepada badan usaha koperasi. Sedangkan, tugas Pemerintah
ditekankan kepada usaha pengaturan, bimbingan dan pengawasan pertambangan. Hal
itu ditambah lagi dengan perkembangan politik dan pembaharuan kebijaksanaan
landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan antara lain sebagaimana ditetapkan
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XXIII/MPRS/1966. Maka dipandang perlu untuk lebih dipercepat penggantian
Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru (Moh. Mahfud, 1998).

Era Orde Baru

Di masa Kepemimpinan Orde Baru, kebijakan di bidang pertambangan telah berubah


yakni lebih dominan ditujukan untuk menarik investor asing. Hal ini terlihat dari
disahkan Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaharuan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan. Pada Ketetapan
MPRS ini memberitahukan bahwa potensi modal, teknologi, dan keahlian luar negeri
dapat membantu dalam mengelola kekayaan alam demi pembangunan Indonesia.
(Salim, Hs. 2014)

Dengan adanya perubahan yang melibatkan pihak asing, maka dikeluarkannya juga
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA),
hingga akhirnya pada tanggal 5 April 1967 dilakukan penandatanganan kontrak karya
(KK) penanaman Modal Asing yang pertama kali yakni Freeport Sulphur Company
(FCS/PT. Freeport Indonesia. Inc), milik Amerika dengan Pemerintah Indonesia.
Setelah itu, pada tanggal 2 Desember 1967 ditetapkan Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Undang-undang ini
terdiri atas 12 bab dan 37 pasal. Ada dua pertimbangan ditetapkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967, yaitu:

1. Guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional menuju


masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spiritual berdasarkan
Pancasila, maka perlu dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan
membina segenap pertambangan menjadi kekuatan ekonomi.

2. Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, dengan tetap berpegang pada


Undang-Undang Dasar 1945, dipandang perlu untuk mencabut Peraturan
pengganti Undang-undang (perpu) No 37 Tahun 1960 tentang pertambangan
(Lembaran Negara Tahun 1960 No. 199), serta menggantinya dengan
undang-undang pokok pertambangan yang baru yang lebih sesuai dengan
kenyataan yang ada, dalam memperkembangkan usaha-usaha pertambangan
Indonesia di masa sekarang dan kemudian hari. (Salim, 2005)

Sebagaimana dijelaskan pada poin 2, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 muncul


akibat kegagalan mengundang investor asing di bidang pertambangan. Dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 kuasa pertambangan didominasi oleh
perusahaan asing dalam bentuk Kontrak Kerja (KK) dimana kontrak kerja 35 tahun
dapat diperpanjang menjadi 60 tahun. (Martha)

Sistem Kontrak Kerja banyak digugat masyarakat karena dianggap merugikan negara,
daerah, dan masyarakat. Sebaliknya terlalu menguntungkan di pihak pelaku usaha.
KK pertambangan ini dianggap tidak lebih dari pengerukan kekayaan alam yang
dilegalkan. Selain itu, masuknya investor asing yang menguasai sektor industri
pertambangan menjadi cikal bakal awal kerusakan lingkungan di Indonesia, seperti
yang terjadi di bumi Papua. Pembukaan tambang yang dilakukan oleh Freeport
menyebabkan kerusakan lingkungan yang berskala sangat besar.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 dianggap terlalu sentralistik sehingga


menyebabkan ketimpangan sebagai akibat dari diberlakukannya KK pertambangan.
Selain itu, UU ini dianggap tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengatur pemberian perizinan dan pembayaran keuntungan. (Martha)

Era Reformasi

Dengan adanya perubahan sistem otonomi sentralistik ke otonomi daerah yang semula
dikuasai pemerintah (sentralistik) menjadi dikuasai daerah (desentralisasi), UU No.11
Tahun 1967 dianggap sudah tidak sesuai dengan politik ekonomi yang ingin
dijalankan oleh pemerintah (Walhi, 2021). Oleh karena itu, pada tanggal 12 Januari
2009 ditetapkanlah undang-undang baru sebagai pengganti UU No.11 Tahun 1967,
yaitu Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Berisikan 26 bab dan 173 pasal, UU ini menandai era baru di bidang
pertambangan dalam menghadapi tantangan lingkungan strategis dan pengaruh
globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia,
lingkungan hidup, perkembangan teknologi informasi, hak atas kekayaan intelektual
serta tuntutan peran swasta dan masyarakat. (Ahmad Redi, 2020)

Kehadiran UU No. 4 Tahun 2009 ini dirasa menguntungkan pemerintah, rakyat, dan
negara sebab bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk atau komoditi hasil
tambang di Indonesia. Dengan demikian, nilai ekonomi dan daya gunanya akan
meningkat sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian dan
sosial baik bagi daerah operasional, pusat, maupun daerah non operasional. Dengan
ditetapkannya undang-undang tersebut, pola kerja sama dilakukan dalam bentuk izin
dimana pemerintah memiliki kedudukan yang terlihat lebih tinggi dibanding dengan
investor. (Supancana, 2006)

Di sisi lain, banyak pengusaha mineral tambang yang protes, mereka menilai pintu
ekspor mineral tambang dipersempit dengan melakukan pengolahan mineral mentah
terlebih dahulu sebelum diekspor. Selain itu, mereka juga harus melunasi kewajiban
pembayaran keuangan (royalty) kepada negara serta menyampaikan dokumen kerja
sama pembangunan smelter yang tentunya memerlukan modal cukup besar. Bukan
hanya itu, UU Minerba juga belum mampu menjawab perkembangan, permasalahan,
dan kebutuhan hukum di dalam penyelenggaraan pertambangan minerba. Khususnya
terkait dengan isu-isu perizinan, pengolahan, pemurnian (smelter), data dan informasi
pertambangan, pengawasan, perlindungan terhadap masyarakat terdampak, dan sanksi
apabila ada pelanggaran. (Rizal Akbar, 2021)

Jika ditilik lebih jauh, sebenarnya UU Minerba telah memberikan perhatian pada
aspek lingkungan hidup, namun sayangnya belum banyak mengadopsi prinsip-prinsip
yang terdapat dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Walhi, 2021). Seharusnya, Komisi VII DPR saat itu bisa
melakukan sinkronisasi dan memasukkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan
hidup yang lebih kuat di dalam materi rancangan UU Minerba.

Omnibus Law

Omnibus Law merupakan sebuah konsep hukum yang dapat mencakup semua undang
undang yang mengatur banyak hal. Konsep ini menjadi metode pembuatan regulasi
yang menggabungkan beberapa aturan yang berbeda menjadi satu peraturan dalam
satu payung hukum. Penetapan undang-undang ini dimaksudkan untuk merampingkan
regulasi yang banyak tumpang tindih dan terlalu banyak. Pada bulan Januari 2020
terdapat dua Omnibus Law yang diajukan pemerintah yaitu UU Cipta Kerja dan UU
Perpajakan. Lalu pada tanggal 10 Juni 2020, ditetapkanlah UU No 3 Tahun 2020
sebagai bentuk revisi dari UU No 4 tahun 2009 sebagai undang-undang yang
mengatur pertambangan mineral dan batubara.

Perubahan undang-undang ini dilakukan sebagai penyempurnaan undang undang


sebelumnya dan diperbaiki agar masyarakat terutama pelaku usaha mendapat
kemudahan dalam melakukan perizinan berusaha dari sektor Energi dan Sumber Daya
Mineral sebagaimana tertera dalam UU Cipta Kerja Pasal 38. Menurut Jogloabang
(2020), beberapa muatan baru yang ditambahkan dalam UU No 3 Tahun 2020 ini
adalah :
1. Pengaturan terkait konsep Wilayah Hukum Pertambangan

2. Kewenangan pengelolaan Mineral dan Batubara

3. Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara

4. Penugasan lembaga riset negara, BUMN, badan usaha milik daerah, atau
Badan Usaha untuk melakukan penyelidikan dan penelitian dalam rangka menyiapkan
WIUP

5. Penguatan peran BUMN

6. Penguatan kembali perizinan dalam pengusahaan batuan untuk jenis tertentu


atau keperluan tertentu, serta perizinan untuk pertambangan rakyat

7. Penguatan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup pada kegiatan


usaha Pertambangan termasuk pelaksanaan reklamasi dan pascatambang.

Terdapat dua perspektif masyarakat dalam menyikapi pengesahan UU Nomor 3 Tahun


2020 ini. Di satu sisi banyak orang menyambut positif disahkannya undang-undang
ini karena memberikan kepastian hukum dan kepastian investasi baik bagi pemegang
IUP, IUPK, KK, dan PKP2B. Kemudahan regulasi yang ditawarkan undang-undang
ini memberikan harapan pengembangan industri pertambangan mineral dan batubara
di Indonesia pada masa pandemi. Dalam undang-undang ini pemerintah pusat
memegang kewenangan pengelolaan mineral dan batubara. Sedangkan daerah akan
diatur kewenangannya dalam peraturan pemerintah yang segera disusun. Selain itu,
pemerintah provinsi akan memegang kewenangan baru berupa Surat Izin
Pertambangan Batuan atau SIPB.

Di lain pihak ada pendapat lain yang mengatakan bahwa UU Mineral dan Batubara
yang baru ini sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah dan DPR terhadap
lingkungan dan rakyat (Rizal Akbar, 2021). Bentuk keberpihakan revisi UU Minerba
ini ditandai oleh perubahan UU Minerba Pasal 4 ayat (2) yang secara jelas mencabut
kewenangan pemerintah daerah dalam perizinan dan pengawasan tambang. Tujuan
yang semula ditujukan untuk mempermudah regulasi malah jadi bertentangan dengan
prinsip otonomi daerah. Selain itu masyarakat menilai kewenangan pemerintah pusat
akan kental dengan konflik kepentingan. pengelolaan pertambangan secara terpusat
dinilai dapat mengurangi perhatian terhadap dampak tambang pada masyarakat
sekitar.

Revisi UU Minerba menitik beratkan kemudahan izin pertambangan, sehingga


perusakan lingkungan diperkirakan dapat lebih banyak terjadi. Masalah lingkungan
yang belum terselesaikan dengan baik oleh undang-undang yang lama malah diganti
dan ditambah dengan undang-undang yang mendorong lebih banyak kerusakan
lingkungan. Undang-undang baru ini perlu dipertanyakan karena tidak menjawab
masalah lingkungan sama sekali. Selain dianggap dapat meningkatkan kerusakan
lingkungan undang-undang baru ini juga dianggap dapat menghambat pengembangan
sumber daya terbarukan (Hariandja, 2020). Banyak ahli menyatakan bahwa mineral
dan batubara merupakan sumber daya kotor sehingga sebaiknya segala usaha
dimaksudkan untuk mengembangkan energi terbarukan yang lebih bersih dan
berkelanjutan.
B. Standar Pertambangan Mineral dan Batubara

Standar dalam Pertambangan Mineral dan Batubara


Standar diperlukan untuk memudahkan masyarakat dalam kehidupannya, termasuk
dalam menggunakan suatu produk maupun sistem. Begitu juga dalam kegiatan usaha
pertambangan, aspek standar turut berperan dalam terlaksananya kegiatan usaha
pertambangan yang baik dan benar. Dalam rangka menunjang kegiatan usaha
pertambangan, telah ada Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mencakup aspek
teknis, keamanan dan keselamatan, perlindungan lingkungan, dan konservasi
pertambangan mineral dan batubara.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang


Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, telah didefinisikan bahwa:
● Standardisasi sebagai proses merencanakan, merumuskan, menetapkan,
menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi Standar yang
dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua Pemangku Kepentingan.
[Pasal 1 ayat (1)]
● Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata
cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua
pihak/Pemerintah/keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa
depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. [Pasal 1 ayat (3)]
● Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah Standar
yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. [Pasal 1 ayat (7)]

SNI yang telah diterbitkan, pada hakikatnya berlaku sukarela. Pemberlakuan SNI
secara sukarela diartikan bahwa SNI tersebut boleh digunakan atau boleh tidak
digunakan, yang pada akhirnya terdapat kecenderungan masyarakat yang “sukarela”
untuk tidak menggunakannya. Menurut Sunarya (2012), sukarela lebih cocok bila
diartikan suka dan rela. Suka dengan isi standar tersebut dan ditindaklanjuti dengan
rela menerapkan, menerima dan melakukan segala konsekuensinya. Dengan
penerapan standar secara sukarela, juga memberikan keuntungan bagi regulator
(pemerintah) untuk tidak dengan susah payah membuat regulasi baik dalam rangka
penerapan maupun pengawasannya. Selain itu penerapan standar secara sukarela
sebenarnya dapat mencerminkan tingkat kemajuan dalam suatu masyarakat/bangsa.

Namun demikian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal


berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan, atau pelestarian
fungsi lingkungan hidup, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
berwenang menetapkan pemberlakukan SNI secara wajib dengan Peraturan Menteri
atau Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian. (Muhamad Ansari, ST,
M.Si, 2018)
Perumusan SNI
Perumusan SNI dilaksanakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), yang dalam
pelaksanaannya BSN membentuk Komite Teknis. Komite Teknis sebagaimana
dimaksud terdiri atas unsur:
● Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah;
● Pelaku Usaha dan/atau asosiasi terkait;
● konsumen dan/atau asosiasi terkait; dan
● pakar dan/atau akademisi

Saat ini dalam pengembangan SNI Pertambangan Mineral dan Batubara, terdapat lima
Komite Teknis (KT) yang terdiri atas:
● KT 13-06 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Mineral dan
Batubara;
● KT 13-05 Perlindungan Lingkungan Pertambangan Mineral dan Batubara;
● KT 73-01 Komoditas Pertambangan Mineral dan Batubara;
● KT 73-02 Teknik Pertambangan Mineral dan Batubara; dan
● KT 07-02 Potensi Pertambangan Mineral dan Batubara,
yang para anggotanya merupakan perwakilan dari unsur para pemangku kepentingan
sebagaimana tersebut di atas. Pembentukan Komisi Teknis tersebut ditetapkan melalui
Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional, dan sekretariatnya berada di
Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara. Sebagai informasi,
pengelolaan Komite Teknis 07-02 Potensi pertambangan mineral dan batubara sedang
dalam proses penyerahan ke Badan Geologi.

Dengan demikian, apabila para pemangku kepentingan ingin berpartisipasi dalam


pengembangan SNI Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat berkoordinasi dengan
Komite Teknis tersebut di atas melalui Sekretariat Komite Teknis. Dalam proses
perumusan SNI, prinsip dasar yang harus diterapkan adalah transparansi dan
keterbukaan, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan dimensi
pengembangan. Salah satu ketentuan yang harus diperhatikan dalam perumusan SNI
yaitu tidak dimaksudkan atau berpotensi menimbulkan hambatan perdagangan yang
berlebihan atau yang tidak diperlukan. Secara praktis, proses perumusan SNI seperti
terlihat pada gambar diagram alir di bawah ini. (Muhamad Ansari, ST, M.Si, 2018)

SNI Pertambangan Mineral dan Batubara


Dalam rangka pengembangan SNI, Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan
Batubara telah melakukan perumusan dan kaji ulang SNI Pertambangan Mineral dan
Batubara. Berdasarkan data terakhir, hingga akhir 2014 jumlah SNI yang dikelola
berjumlah 174 SNI. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa
sekurang-kurangnya satu kali dalam 5 (lima) tahun setelah ditetapkan, SNI yang
bersangkutan harus dikaji ulang. Tujuan dari pelaksanaan kaji ulang untuk:
● menjaga kesesuaian SNI terhadap kepentingan nasional dan kebutuhan pasar;
● mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, inovasi, dan teknologi;
● menilai kelayakan dan kekiniannya; dan
● menjamin ketersediaan SNI.
Untuk itu dapat diinformasikan bahwa telah dilakukan kaji ulang terhadap 85 SNI
Pertambangan Mineral dan Batubara, yang hasilnya sebagaimana tercantum dalam
Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Kaji Ulang SNI Pertambangan Mineral dan Batubara

Berdasarkan persetujuan BSN terhadap usulan Program Nasional Perumusan Standar


(PNPS) Tahun 2014, SNI revisi hasil kaji ulang yang telah dibahas sampai dengan
tahapan konsensus terdiri atas 5 SNI dan saat ini proses tersebut sedang dalam tahap
jajak pendapat di BSN. Mengingat waktu dan sumber daya yang tersedianya, telah
disepakati prioritas tindak lanjut hasil kaji ulang yang akan dilaksanakan secara
bertahap. Akhir kata, tentunya rencana tersebut membutuhkan dan tidak lepas dari
peran serta aktif para pemangku kepentingan. (Muhamad Ansari, ST, M.Si, 2018)

Berikut adalah SNI yang telah direvisi terkait dengan pertambangan mineral.
● Standar Nasional Indonesia (SNI) 6672:2016, Buku tambang merupakan revisi
dari SNI 13-6672-2002, Buku tambang. Revisi tersebut meliputi perubahan
substansi untuk memperjelas maksud dan tujuan dari penggunaan buku tambang.
Perubahan substansi dari standar tersebut dengan standar edisi sebelumnya
terdapat pada ruang lingkup, istilah dan definisi, spesifikasi buku tambang,
format halaman buku tambang, dan tata cara pengisian.
● SNI 7571:2010 Baku tingkat getaran peledakan pada kegiatan tambang terbuka
terhadap bangunan.
● SNI 6350:2016 (Demarkasi di area pertambangan), merupakan revisi dari SNI
sebelumnya dengan nomor SNI 13-6350-2000 (Demarkasi di lorong, jalan pintas,
daerah bebas rintangan dan tempat penyimpanan barang). Perubahan SNI terbaru
dilakukan pada judul, lingkup, istilah, definisi dan standard demarkasi.
● SNI 6351:2016 (Rambu-rambu jalan pertambangan), merupakan revisi dari SNI
sebelumnya dengan nomor SNI 13-6351-2000 (Rambu-rambu jalan
pertambangan di area pertambangan). Perubahan substansi pada SNI baru ini
terdapat pada ruang lingkup, istilah dan definisi, spesifikasi, pemasangan dan
perawatan rambu.
● SNI 7081:2016 (Penyelidikan kecelakaan tambang dan kejadian berbahaya di
pertambangan), merupakan revisi dari SNI sebelumnya dengan nomor SNI
13-7081-2005 (Investigasi kecelakaan tambang). Perubahan pada SNI terbaru
meliputi perubahan judul dan substansi untuk melakukan penyelidikan terhadap
kejadian hampir celaka, kecelakaan tambang, atau kejadian berbahaya di wilayah
tambang.
● SNI 7167:2016 (Pengaman jalan pertambangan), merupakan revisi dari SNI
sebelumnya dengan nomor SNI 19-7167-2006 (Delineator di jalan wilayah
pertambangan). Perubahan pada SNI terbaru termasuk pada judul dan substansi
untuk menyeragamkan dalam pengamanan jalan pertambangan. Perubahan pada
SNI terbaru meliputi ruang lingkup, istilah dan definisi, serta pengamanan jalan
pertambangan.
● SNI 4726:2019 Tentang pedoman pelaporan hasil eksplorasi, sumber daya, dan
cadangan mineral yang merupakan revisi dari SNI 4726: 2011 tentang Pedoman
Pelaporan, Sumber Daya, dan Cadangan Mineral.

Gambar 1. Flow chart proses estimasi cadangan sampai dengan pelaporan


C. Pengelolaan Mineral

Sejarah Pertambangan di Indonesia

Sebelum kegiatan pertambangan dikelola dalam suatu kelembagaan, penambangan bahan


galian dilakukan oleh penduduk setempat secara tradisional atas izin dari penguasa setempat
seperti raja ataupun sultan. Pada tahun 1799 Pemerintah Belanda membubarkan VOC dan
mengambil alih segala urusan wilayah nusantara termasuk urusan pertambangan.
Penyelidikan geologi dan pencarian bahan galian tambang dilakukan lebih tearah setelah
Pemerintah Hindia Belanda membentuk kantor Minjnwezen yang kemudian diperluas
menjadi Dienst van het Mijnwezen pada tahun 1850. Di bawah lembaga tersebut,
penyelidikan geologi dan bahan galian tambang semakin meluas di berbagai pelosok
nusantara. Pada tahun 1867, insyinyur tambang Belanda bernama R. D. M. Verbeek mulai
melakukan penyelidikan di berbagai daerah di seluruh wilayah nusantara. Pada tahun 1922,
Mijnwezen berganti nama menjadi Mijnbouw dengan pembagian tugas sebagai berikut.

● Opsporingsdienst bertugas di bidang eksplorasi bahan galian tambang, pemetaan


geologi teknik, gunung api, kimia mineral dan metalurgi, dan penyebaran hasil
penyelidikan dan pemetaan. Untuk meningkatkan pencarian bahan galian tambang di
luar Jawa, dibentuklah Mijnbouwkunding-Geologische Onderoekingen.
● Grondpeilwezen bertugas di bidang pencarian air bersih, pemboran air, dan
pengawasan pemboran air tanah.
● Dienst der Mijnverorderingen bertugas peraturan dan perundangan di bidang
pertambangan
● Mijnbouw bertugas pengawas dan pengorganisasian kegiatan pertambangan

Pada tahun 1928 Gedung Geologisch Laboratorium mulai dibangunoleh Pemerintah Hindia
Belanda untuk kantor Mijnbouw. Pada masa penjajahan Jepang, Mijbouw dengan segala
sarana dan dokumennya diambil alih oleh Jepang dan namanya diganti menjadi Chishitsu
Chosasho. Setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 28 September 1945, lembaga
tersebut diambil alih oleh pejuang Republik Indonesia dan namanya diganti menjadi Poesat
Djawatan Tambang dan Geologi (PDTG). PDTG kemudian berubah menjadi Djawatan
Pertambangan Republik Indonesia dan menjadi cikal bakal departemen yang membawahi
bidang geologi, pertambangan, perminyakan, dan energi.

Usaha Pertambangan Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Pada akhir penjajahan Belanda dan Jepang, terdapat setidaknya 437 hak konsesi dan izin
penambangan berbagai macam mataniaga tambang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Perizinan pertambangan selama penjajahan Jepang belum ditemukan dokumennya.
Pada masa-masa selanjutnya, kegiatan pertambangan di Indonesia mengalami pasang surut.

Pada kurun waktu 1945-1949 kegiatan pertambangan terhambat karena kehancuran sarana
pertambangan akibat perang Pasifik dan sebagian besar pertambangan dikuasai kembali oleh
Belanda. Selama kurun 1950-1966 setelah penyerahan kedaulatan, keadaan usaha
pertambangan masih tidak menggembirakan karena terbatasnya modal dalam negeri dan
belum masukya penanaman modal asing. Setelah diberlakukannya kembali UUD 1945 pada
tahun 1959, pemerintah mengambil kebijakan pembangunan dan ekonomi berlandaskan
prinsip berdikari. Kebijakan ini menyebabkan tertutupnya pintu masuk modal asing untuk
penguasahaan bahan galian vital. Untuk mengimpor barang, para importir harus mengajukan
permohonan devisa kepada Bank Indonesia. Perusahaan tambang pun tidak terkecualikan,
yang kemudian memaksa meraa dalam ketiadaan suku cadang, melakukan “kanibalisme”
mesin dengan mengambil suku cadang yang diperlukan dari mesin yang masih ada. Hal
tersebut menyebabkan produksi bahan tambang menurun.

Dalam rangka membangun kemandirian, pemerintah mencanangkan Rencana Pembangunan


Nasional Semesta Berencana (PNSB). Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan
ditunjuk untuk melakukan berbagai proyek dengan bantuan teknik dan pinjaman lunak dari
blok timur untuk membangun industri dasat seperti pabrik besi dan baja, pabrik superfosat,
dan pabrik soda-abu. Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan menugasi
Direktorat Geologi sebagai pelaksana lapangan untuk mencari bahan yang diperlukan. Pada
waktu itu, negara-negara maju mencari bahan tambang untuk membangun kembali negara
mereka yang mengalami kerusakan akibat perang. Sebaliknya, Indonesia masih belum
bergerak membangun apalagi mengembangkan mataniaga pertambangan yang sudah
ditunggu di pasar dunia.

Sementara Pemerintah melaksanakan rencana PNSB dalam rangka membangun


perekonomian dan pasar internasional yang tebuka akan hasil tambang, pada waktu
bersamaan semua produksi hasil tambang Indonesia sangat merosot. Kendala yang dihdapi
adalah keterbatasan sarana produksi, keterbatasan tenaga ahli, dan ketinggalan dalam bidang
teknologi. Penurunan juga terjadi sebagai akibat terbitnya UU No. 10 Tahun 1959 tentang
Pembatalan Hak-Hak Pertambangan yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda.

Timah

Usaha pertambangan timah pada masa penjajahan dilakukan oleh NV Biliton Maatcschappij
untuk konsesi timah di Pulau Bangka dan Belitung serta NV Singkep Maatcschappij, anak
perusahaan NV Biliton Maatcschappij, untuk konsesi di Pulau Singkep. Sejak tahun 1923
kedua perusahaan bergabung dengan perusahaan Pemerintah Hindia Belanda dengan nama
NV Gemeenschappelijke MijnBourmaatschappij Biliton. Pada bulan Maret 1953, konsesi
tambang di Pulau Bangka milik NV Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Biliton
diserahkan kembali kepada Pemerintah Indonesa karena kehabisan konsesi di Pulau Bangka.
Sehubungan dengan adanya kebijakan nasionalisasi perusahaan swasta milik Belanda, pada
tahun 1958 seluruh perusahaan timah diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan dikelola
oleh BUPTAN. Mulai tahun 1968, usaha pertambangan timah di Pulau Bangka dan Belitung
dilakukan oleh PN Tambang Timah yagn sebelumnya berbentuk BPU Perusahaan Tambang
Negara.

Pengalihan pengelolaan usaha pertambangan timah memberikan pengaruh pada


perkembangan produksi. Sebelum terjadi pengalihan pengelolaan dalam kurun 1945-1958
perkembangan produksi timah dalam bentuk konsentrat memperlihatkan kecenderungan
meningkat. Akan tetapi, setelah adanya pengalihan pengelolaan, perkembangan terus
menurun dan mencapai jumlah terendah pada tahun 1966.

Nikel

Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 menyebabkan berhentinya kegiatan


penambangan bijih nikel di daerah Sulawesi. Hal tersebut menyisakan puing-puing pabrik
nikel kasar yang sedang di bangun di Pomalaa dan timbunan persediaan bijih nikel baik di
Pomalaa maupun Soroako. Selama kurun waktu 1947-1950 ada dua perusahaan internasional
yang berminat mengembangkan pertambangan nikel di daerah Pomalaa-Tanjung Pakar, tetapi
gagal karena masalah keamanan. Perusahaan tersebut adalah Freeport Sulphur Company
(FSC) dari Amerika Selatan dan OBM yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. ada
tahun 1956, pertambangan bijih nikel di daerah Pomalaa kembali dibuka oleh perusahaan
nasional NV Pertambangan Toraja. Pada mulanya yagn diusahakan adalah mengekspor
“timbunan persediaan” bijih nikel hasil penambangan pda akhir penjajahan Belanda dan
Jepang dan diikuti dengan penambangan di Pulau Maniang selama tahun 1959-1960. NV
Pertambangan Toraja diambil alih oleh Pemerintah pada akhir tahun 196- dan dibentuk PN
Pertambangan Nikel Indonesia. Penagambil alihan tersebut didasarkan pada UU No. 37 Prp
Tahun 1960 tentang Pertambangan dan PP No. 39 Tahun 1960 yang menyatakan bahan galian
nikel termasuk golongan mineral strategis yang hanya dapat diusahakan oleh negara.

Produksi bijih nikel pada tahun 1959 sebesar 7,9 ribu ton. Sampai tahun 1962 jumlah
produksi bijih nikel meningkat menjadi sekitar 10,78 ribu ton. Pada akhir tahun 1962
dilakukan penandatanganan kerjasama pertambangan nikel Indonesia antara pihak Indonesia
dan pihak Jepang untuk meningkatkan produksi dan pemasarannya. Pihak Indonesia diwakili
oleh BPU Perusahaan Tambang Umum Negara (Pertambun) dan PN Pertambangan Nikel
Indonesia, dan pihak Jepang diwakili oleh Sulawesi Nockel Development Corp Ltd.
Kerjasama ini dimaksudkan untuk melakukan pengembangan usaha pertambangan bijih nikel
di daerah Pomalaa dan Kolaka. Sejalan dengan perkembangan ini, memasuki tahun 1963
terjadi kenaikan produksi yang cukup tinggi, yaitu menjadi sekitar 45,53 ribu ton dan terus
meningkat. Pada Tahun 1966 tercatat sebesar 117,4 ribu ton. Sementara itu ekspor bijih
nikel baru dilakukan pada tahun 1966 sebesar 133,65 ribu ton.

Emas dan Perak

Pada tahun 1950-1956 iklim investasi emas dan perak kurang menarik bagi pihak swasta. Hal
tersebut dikarenakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, khususnya
yang menyangkut emas dan harga emas yang rendah. Hanya NV PPP, anak perusahaan Bank
Industri Negara yang kemudian bergabung dengan PN-Antam yang melakukan penambangan
emas di Cikotok, Banten Selatan dan Logas, Riau. Beberapa tambang emas di Bengkulu,
Kalimantan, Sulawesi Utara, dan daerah lain kebanyakan hanya dilakukan oleh rakyat
setempat secara kecil-kecilan.

Tembaga
Sampai tahun 1945, usaha pertambangan tembaga merupakan usaha pertambangan skala
kecil dan produksinya merupakan produk sampingan. Tambang yang menghasilkan
konsentrat tembaga kebanyakan bercadangan kecil. Memasuki masa revolusi yaitu selama
lima tahun pertama, 1945-1949 tidak ada kegiatan usaha pertambangan tembaga. Pemerintah
RI telah berusaha keras untuk membuat kebijakan untuk mengundang para penanam modal
asing yaitu dengan diundangkannya UU No. 78 tahun 1958 yang mengatur tentang
penanaman modal asing. Akan tetapi, karena situasi politik yang bersifat tertutup, masuknya
modal asing masih cukup terhambat. Bahkan sampai tahun 1959 masih tidak ada kegiatan
pertambangan tembaga di Indonesia.

Bauksit

Pada tahun 1945, usaha pertambangan bauksit di Pulau Bintan dilakukan oleh NIBEM, tetapi
kemudian berhenti. Situasi pada waktu itu masih belum memungkinkan akibat perang
mempertahankan kemerdekaan. Setelah kedaulatan pada tahun 1949, NV NIBEM kembali
melakukan penambangan. Oleh karena masa konsesi telah berakhir, pada tahun 1959
tambang bauksit di Pulau Bintan diambil alih oleh PT Pertambangan Bauksit Indonesia dan
pada tahun 1969 diserahkan pemerintah kepada PN Antam dan menjadi Unit Pertambangan
Bauksit.

Strategi Pengelolaan Tambang Mineral dan Batu Bara Indonesia

Perkembangan Penerimaan Negara Bidang Pertambangan

Penerimaan negara di bidang pertambangan mineral dan batubara berasal dari pajak yang
terdiri dari empat komponen yaitu pajak penghasilan badan, pajak pertambahan nilai, pajak
bumi dan bangunan, dan pajak daerah. Penerimaan negara bukan pajak terdiri dari
penerimaan penjualan hasil tambang, iuran tetap, dan iuran eksploitasi/royalti. Penerimaan
negara dari bidang pertambangan dalam kurun waktu 1988-1997 menunjukkan
kecenderungan yang meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhannya sekitar 44,97% setiap
tahunnya. Pada tahun 1988, penerimaan tercatat berjumlah Rp154 miliar dan pada tahun 1997
meningkat menjadi Rp1499 milliar. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari
penerimaan pajak yaitu rata-rata sekitar 69,31% setiap tahunnya. Pada masa reformasi,
perkembangan penerimaan negara menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat
dengan rata-rata laju pertumbuhannya sekitar 35,18% setiap tahunnya. Peningkatan tersebut
disebabkan oleh peningkatan produksi usaha pertambangan mineral dan batubara, kenaikan
harga mataniada bahan tambang di pasar internasional, menguatnya nilai dolar Amerika
terhadap rupiah, dan kebijakan Pemerintah dalam perpajakan. (DESDM Banten, 2013)
Produksi Barang Tambang Mineral (sumber : Publikasi statistik pertambangan non minyak
dan gas bumi)

Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan

Kegiatan pertambangan diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Kemudian dibentuklah PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pemberian izin usaha pertambangan batuan

Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan berdasarkan PP No 23 Tahun 2010 dilakukan
dengan cara permohonan wilayah. Permohonan wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha,
koperasi atau perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada
Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.(ESDM, 2011)

Pembagian kewenangan Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota adalah:

● Menteri ESDM, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah provinsi atau wilayah
laut lebih dari 12 mil dari garis pantai
● Gubernur, untuk permohonan wilayah yang berada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1
provinsi atau wilayah laut 4 sampai dengan 12 mil
● Bupati/Walikota, untuk permohonan wilayah yang berada di dalam 1 wilayah kabupaten/kota
atau wilayah laut sampai dengan 4 mil

IUP mineral batuan diberikan oleh Menteri ESDM (selanjutnya disebut Menteri), Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: badan
usaha, koperasi, dan perseorangan. IUP diberikan melalui 2 tahapan, yaitu: Pemberian Wilayah Izin
Usaha Pertambangan (WIUP) dan Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP). (ESDM, 2011)

I. Pemberian WIUP Batuan


1. Badan usaha, koperasi atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah untuk
mendapatkan WIUP batuan kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya
2. Sebelum memberikan WIUP, Menteri harus mendapat rekomendasi dari Gubernur
atau Bupati/Walikota dan oleh Gubernur harus mendapat rekomendasi dari
Bupati/Walikota
3. Permohonan WIUP yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat
geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang
berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan
peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP
4. Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota dalam paling lama 10 hari kerja setelah
diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas
permohonan WIUP
5. Keputusan menerima disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan
penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. Keputusan menolak harus
disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan.
II. Pemberian IUP Batuan
1. IUP terdiri atas: IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
2. Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan:
administratif, teknis, lingkungan dan finansial

II. a. Pemberian IUP Eksplorasi Batuan

1. IUP Eksplorasi diberikan oleh: a. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas
wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai b. Gubernur,
untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah
laut 4-12 mil dari garis pantai c. Bupati/Walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1
wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai
2. IUP Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan
perseorangan yang telah mendapatkan WIUP dan memenuhi persyaratan
3. Menteri atau Guberrnur menyampaikan penerbitan peta WIUP batuan yang diajukan
oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota
untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi. Gubernur
atau Bupati/Walikota memberikan rekomendasi paling lama 5 hari kerja sejak
diterimanya tanda bukti penyampaian peta WIUP mineral batuan
4. Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta
batas dan koordinat dalam waktu paling lambat 5 hari kerja setelah penerbitan peta
WIUP mineral batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada
Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota dan wajib memenuhi persyaratan
5. Bila badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam waktu 5 hari kerja tidak
menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan
wilayah menjadi milik Pemerintah atau pemerintah daerah dan WIUP menjadi
wilayah terbuka
II. B. Pemberian IUP Operasi Produksi Batuan

1. IUP Operasi Produksi diberikan oleh: a. Bupati/Walikota, apabila lokasi


penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1
wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai b.
Gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta
pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda dalam 1 provinsi
atau wilayah laut sampai dengan 12 mil dari garis pantai setelah mendapat
rekomendasi dari Bupati/Walikota c. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi
pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang
berbeda atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai setelah mendapat
rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota setempat
2. IUP Operasi Produksi diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan
sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi yang memenuhi persyaratan dimana
pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai
peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan
operasi produksi
3. Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar
WIUP kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk menunjang usaha
pertambangannya
4. Dalam jangka waktu 6 bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang
IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah pada WIUP
5. Bila pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan asosiasi
mineral yang diberikan dalam IUP, pemegang IUP Operasi Produksi memperoleh
keutamaan mengusahakannya dengan membentuk badan usaha baru
6. Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Menteri, Gubernur,
atau Bupati/Walikota paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum
berakhirnya IUP
7. Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan 2 kali dan harus
mengembalikan WIUP Operasi Produksi dan menyampaikan keberadaan potensi dan
cadangan mineral batuan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota
8. Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota dapat menolak permohonan perpanjangan
IUP Operasi Produksi apabila pemegang IUP Operasi Produksi berdasarkan hasil
evaluasi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik

Ketentuan pidana pelanggaran ketentuan dalam UU No 4 Tahun 2009:

● Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
● Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan
batubara yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
● Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari
pemegang IUP yang telah memenuhi syarat-syarat dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
● Setiap orang yang rnengeluarkan IUP yang bertentangan dengan Undang-Undang ini
dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun
penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan
sanksi administratif kepada pemegang IUP atas pelanggaran ketentuan dalam
undang-undang ini berupa: peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, atau pencabutan IUP. (ESDM,
2011)

Penetapan WUP
Selanjutnya dalam Pasal 16 UU Minerba diatur bahwa satu WUP terdiri dari 1 atau beberapa
Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau
kabupaten/kota.

Terdapat beberapa kriteria untuk menetapkan satu atau beberapa WIUP, yakni:

1. Letak geografis;
2. Kaidah konservasi;
3. Daya dukung lindungan lingkungan;
4. Optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
5. Tingkat kepadatan penduduk.

Tata Cara Perolehan WIUP Mineral Logam dan Batubara

Dalam Pasal 8 (3) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”), WIUP mineral logam dan batubara diperoleh
dengan cara lelang. Setiap pemohon, mencakup badan usaha, koperasi dan perseorangan; hanya akan
diberikan satu WIUP. Namun jika pemohon merupakan badan usaha yang telah go public, maka badan
usaha tersebut dapat diberikan lebih dari satu WIUP. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota akan
mengumumkan pelelangan secara terbuka dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sebelum
pelelangan.

Pasal 13 PP 23/2010 mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh peserta lelang untuk mengikuti
lelang. Peserta lelang harus memenuhi persyaratan administratif, teknis dan finansial. Persyaratan
administratif mencakup antara lain:

1. pengisian formulir yang sudah disiapkan panitia lelang;


2. pencantuman profil badan usaha beserta akta pendirian masing-masing; dan
3. nomor pokok wajib pajak.

Persyaratan teknis meliputi:


1. pengalaman badan usaha, koperasi, atau perseorangan di bidang pertambangan mineral atau

batubara paling sedikit 3 tahun, atau bagi perusahaan baru harus mendapat dukungan dari

perusahaan induk, mitra kerja, atau afiliasinya yang bergerak di bidang pertambangan;

2. dimilikinya paling sedikit 1 orang tenaga ahli dalam bidang pertambangan dan/atau geologi

yang berpengalaman paling sedikit 3 tahun; dan

3. rencana kerja dan anggaran biaya untuk kegiatan 4 tahun eksplorasi.

Persyaratan finansial meliputi:

1. laporan keuangan tahun terakhir yang sudah diaudit akuntan publik;

2. penempatan jaminan kesungguhan lelang dalam bentuk uang tunai di bank pemerintah

sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai kompensasi data informasi atau dari total pengganti

investasi untuk lelang WIUP yang telah berakhir; dan

3. pernyataan bersedia membayar nilai lelang WIUP dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima)

hari kerja, setelah pengumuman pemenang lelang.

A. Penipuan-penipuan yang terjadi dalam kasus pertambangan mineral dan


batubara

Terdapat suatu kasus penipuan yang mana kasus ini berawal dari terdakwa yang menawarkan
pengerjaan tambang nikel di Mrowali, Sulawesi Tengah pada 2019, tetapi terdakwa terlalu
tergiur hingga melakukan suatu janji yang tidak sesuai harapan. terdakwa menjanjikan
kepada Dirut PT CIM bahwasanya dia mampu menghasilkan 100.000 matrik, dengan catatan
harus dibangun infrastruktur dengan anggaran Rp 20,5 miliar. Namun infrastruktur yang
dijanjikan ini tidak kunjung selesai padahal biaya sudah digunakan dan terdakwa tidak bisa
menghasilkan 100 ribu matrik melainkan hanya 17 ribu matrik. dalam kasus penipuan ini
terdakwa melanggar pasal 378 KUHP yang berbunyi Barang siapa dengan maksud hendak
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai
nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan
perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat
utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan dengan hukuman penjara
selama-lamanya 4 (empat) tahun.

B. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Kolonial Orde Lama Orde Baru Reformasi Omnibus Law

Keuntungan Orang Meningkatnya Masuknya Nilai ekonomi Memberikan


Indonesia dapat pembangunan modal asing ke dan daya kepastian hukum
memiliki hak nasional (Adhy, Indonesia gunanya akan dan investasi bagi
konsesi 2015) (Salim, Hs. meningkat pelaku usaha
(Ahmad dkk, 2014) (Supancana, (Jogloabang,
2021) Kekayaan 2006) 2020)
tambang yang Industri
ada digunakan pertambangan Sudah
untuk berkembang memperhatikan
kedaulatan pesat (Adhy, aspek
rakyat (Adhy, 2015) lingkungan
2015) hidup (Walhi,
2021)

Kerugian Hanya Pihak swasta Merugikan Belum banyak Lebih banyak


perusahaan kurang negara, daerah, mengadopsi perusakan
yang memiliki dan prinsip-prinsip lingkungan
berlandaskan kesempatan masyarakat. yang terdapat karena kurangnya
hukum Hindia untuk Sebaliknya dalam UU perlindungan
Belanda yang melakukan terlalu No.32 Tahun hukum (Rizal
dapat memiliki penambangan menguntungkan 2009 tentang Akbar, 2021)
konsesi (Adhy, 2015) pihak pelaku PPLH (Walhi,
(Ahmad dkk, usaha (Adhy, 2021) Merugikan
2021) Tidak dapat 2015) masyarakat
mendorong Belum sekitar (Rizal
Perlu berkembangnya Posisi menjawab Akbar, 2021)
membayar industri pemerintah perkembangan,
sewa tanah pertambangan Indonesia di permasalahan, Menghambat
kepada di Indonesia industri dan kebutuhan pengembangan
pemerintah yang terus pertambangan hukum di sumber daya
kolonial turun sejak lebih lemah dalam terbarukan
(Ahmad dkk, Perang Dunia dibandingkan penyelenggaraa (Hariandja, 2020)
2021) ke-II kontraktor n pertambangan
dalam minerba.
merundingkan (Walhi, 2021)
kerangka
investasi asing Pintu ekspor
(Adhy, 2015) mineral
tambang
Tidak dipersempit
memberikan dengan
kewenangan melakukan
kepada daerah pengolahan
untuk mengatur mineral mentah
pemberian dulu
perizinan dan
pembayaran Dominasi pihak
keuntungan. asing semakin
(Salim, Hs. kokoh
2014)

Menimbulkan
kerusakan
lingkungan
(Salim, Hs.
2014)

SUMBER REFERENSI
Ahmad, R., & Marfungah, L. (2021). Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan
Mineral Dan Batubara Di Indonesia. Undang: Jurnal Hukum, 4(2), 473–506.
https://doi.org/10.22437/ujh.4.2.473-506

Erika, E. (2018). PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL


DAN BATUBARA DAN IMPLIKASINYA BAGI MASYARAKAT HUKUM ADAT.
Jurnal Yuridis, 5(1), 114. https://doi.org/10.35586/.v5i1.323
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI. (2020). LAPORAN
AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT PENGELOLAAN
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN.
Jakarta: Percetakan Pohon Cahaya. diakses pada
https://bphn.go.id/data/documents/4._buku_pokja_pertambangan.pdf

Jogloabang. (2020). UU 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Minerba. diakses pada
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-3-2020-perubahan-uu-4-2009-pertambangan-
minerba

Akbar, Rizal. dkk. 2021. UNDANG-UNDANG MINERBA UNTUK KEPENTINGAN


RAKYAT ATAU PEMERINTAH. 15(2), 253-263.

Redi, Ahmad. 2020. Indonesia The Mining Law. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Hariandja, R., & Arumingtyas, L. (2020). UU Minerba dan Omnibus Law, Ada Buat Siapa?.
Mongabay, Situs Berita Lingkungan. diakses pada 3 Januari 2022.
https://www.mongabay.co.id/2020/07/28/uu-minerba-dan-omnibus-law-ada-buat-siap
a/
Pigome, Martha. Politik Hukum Pertambangan Indonesia dan Pengaruhnya pada
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah.

Sudut Energi. (2019). Sejarah Hukum Pertambangan Di Indonesia.


https://sudutenergi.com/sejarah-hukum-pertambangan-di-indonesia/

A. (2011, June 20). Wilayah Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Hukum
Pertambangan. Retrieved February 17, 2022, from
https://hukumpertambangan.com/wilayah-usaha/wilayah-usaha-pertambangan-minera
l-dan-batubara/
Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Banten. (2013). Sejarah Pertambangan.
https://desdm.bantenprov.go.id/read/sejarah/19/Sejarah-Pertambangan.html

Dinas ESDM. (2011). Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan.
https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/tata-cara-pemberian-izin-usaha-pertamb
angan-batuan

Badan Pusat Statistik. (2020). Produksi Barang Tambang Mineral 2018-2022.


https://www.bps.go.id/indicator/10/508/1/produksi-barang-tambang-mineral.html
Ansari, Muhamad. 2018. Pengembangan Standar Nasional Indonesia Pertambangan Mineral
dan Batubara. https://www.minerba.esdm.go.id
Pushep. 2020. Jangka Waktu Kegiatan Usaha Pertambangan di Indonesia. Diakses dari
https://pushep.or.id/jangka-waktu-kegiatan-usaha-pertambangan-di-indonesia/

Ranan, Aprae Vico. 2010. Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia.
Universitas Indonesia. Diakses dari
https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/129249-T%2026736-Upaya%20pemerintah-Literatur.pdf
tugas pertama (1), kelompokGL 2202, semester 2 th 2021/2022

Berikan deskripsi perkembangan aturan hukum terkait dengan undang-undang bidang


kelompok anda. Deskripsi tersebut adalah sejak undang-undangnya mulai ada hingga
perkembangan terakhir ini. Hal utama yang mesti dilihat adalah bagaimana keterkaitan
undang-undang bidang anda tersebut dengan hubungan hukum yang umum dalam bidang
anda (kontrak/perjanjian pengusahaan bidang anda). Apa keuntungan dan kerugian dari
tiap-tiap perubahan undang-undang. Kaitkan juga dengan akhirnya kemungkinan
pengaruh dari UU Cipta Kerja (Omnibus Law) terhadap UU bidang anda tersebut.

Sumber-sumber acuan harus diberikan dan disitasi dengan layak (misalnya kata yang dicopas
harus jelas dari acuan yang mana, dan acuannya ada di daftar pustaka).

Makalah diberikan dalam bentuk pdf, seringkas dan sepadat mungkin dengan point utama
yang jelas (tidak bertele-tele).
Sejarah Hukum Pertambangan – ERA Kolonial
Peraturan mengenai pertambangan pertama yang dibentuk ialah Mijn Reglement
1850. Regulasi ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan
konsesi kepada swasta dalam mengusahakan pertambangan di Hindia Belanda. Ia juga
menjadi dasar hukum dalam penguasaan seluruh sumber daya alam pertambangan yang ada
di Hindia Belanda, termasuk dalam pengambilan alih penambangan yang telah ada sebelum
pemerintah Hindia Belanda berdiri. Mijn Reglement 1850 ini dalam praktiknya sangat efektif
di luar Pulau Jawa, namun di Pulau Jawa sendiri tidak karena potensi konflik pertanahan
yang saat itu sedang diterapkan sistem cultuur stelsel dalam pertanian dan perkebunan.

Pada perkembangan kemudian berlaku pula di Hindia Belanda adalah Indische


Mijnwet Staatsblad Tahun 1899 Nomor 214. Cikal bakal regulasi ini adalah Undang-undang
Pertambangan Tahun 1810 yang menggantikan Undang-undang Pertambangan 1791 di Kota
Limburg. Indische Mijnwet 1899 mengatur penggolongan bahan galian dan pengusahaan
pertambangan dengan sistem pengusahaan konsesi. Setelah Indische Mijnwet, pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan beberapa peraturan lainnya terkait pertambangan, yaitu
Mijnordonnantie 1907 yang mengatur mengenai pengawasan keselamatan kerja, dan
Mijnordonnantie 1930 yang mencabut Mijnordonnantie 1907. Dalam Mijnordonnantie 1930,
pengaturan mengenai pengawasan kerja dihapus. Indische Mijnwet memungkinkan
pemerintah kolonial untuk memberikan hak konsesi kepada sektor swasta untuk jangka waktu
hingga 75 tahun. Pemegang hak pengusahaan diharuskan membayar sewa tanah kepada
pemerintah kolonial, sementara mineral, minyak dan/atau gas yang dihasilkan dari areal
konsesi menjadi milik pemegang konsesi. Pada perubahannya di 1904, Indische Mijnwet
menetapkan hanya warga negara Belanda, penduduk Hindia Belanda, atau perusahaan yang
didirikan berdasarkan hukum Belanda atau Hindia Belanda yang berhak diberikan konsesi.
Pada perubahan di 1918, Indische Mijnwet memungkinkan kepentingan asing non-Belanda
untuk mendapatkan hak konsesi, tetapi hanya untuk jangka waktu hingga 40 tahun.

Selama penerapan Indische Mijnwet, pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan


471 konsesi dan izin. 268 diantaranya merupakan konsesi pertambangan untuk mineral/bahan
galian yang tercantum dalam Indische Mijnwet, tiga perusahaan pertambangan milik
pemerintah Hindia Belanda, dua usaha pertambangan patungan antara pemerintah dan swasta,
dua usaha pertambangan oleh swasta untuk pemerintah dengan perjanjian khusus, 14 kontrak
eksplorasi dan 34 kontrak eksploitasi, serta 142 izin pertambangan mineral/bahan galian yang
tidak tercantum dalam Indische Mijnwet.

Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan Indische Mijnwet 1899 dinilai menghambat


kegiatan swasta. Untuk menghilangkan hambatan tersebut, Indische Mijnwet diamandemen
pada 1910 dan 1918. Amandemen tersebut berakibat pada perkembangan kegiatan
pertambangan sebelum terjadinya perang Dunia I.

Setelah berakhirnya pendudukan Belanda dan beralih pada pendudukan Jepang,


pengaturan kegiatan pertambangan tidak menjadi perhatian khusus oleh penguasa kolonial
yang baru. Selama tiga tahun masa penjajahan Jepang di Nusantara, tidak ada peraturan baru
mengenai pertambangan. Peraturan yang telah ada yang dibuat oleh Pemerintah Hindia
Belanda, juga tidak mengalami pengkajian ulang, bahkan tetap dilaksanakan. Dokumen
Dienst van den Mijnbouw hanya diganti namanya menjadi Chisitsu Chosasho. Bahkan,
karena Jepang memberlakukan politik “bumi hangus” pada daerah-daerah industri Belanda,
sehingga pertambangan Belanda pada masa-masa itu tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk
digunakan oleh penjajah Jepang.

Sejarah Hukum Pertambangan – ERA ORDE LAMA


Di bidang pertambangan, Pemerintah Orde lama masih memberlakukan Indische
Mijnwet sebagai hukum pertambangan dengan mengalami beberapa perubahan dan
penambahan pasal-pasal dalam aturan hukum tersebut. Barulah pada tahun 1959, pemerintah
mulai melakukan perubahan Indische Mijnwet khususnya pasal-pasal yang mengatur tentang
hak-hak pertambangan.
Selanjutnya diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang
Pembatalan Hak-Hak Pertambangan. Dasar hukum undang-undang ini bahwa dengan adanya
kaum partikelir yang telah tersebar di hampir seluruh Indonesia dimana partikelir ini lah oleh
Indische Mijnwet diberikan kewenangan pertambangan. Agar tidak menghambat orang lain
untuk memperoleh hak-hak pertambangan dan Pemerintah maupun Daerah dapat mengelola
sumber kekayaan alam berupa tambang itu dan dalam rangka peningkatan pembangunan
nasional maka diberlakukanlah undang-undang ini.

Dalam rangka mempersiapkan undang-undang pertambangan yang baru maka pada


tahun 1960 diberlakukanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Nomor 37 tahun 1960 tentang Pertambangan. Dasar hukum dari Peraturan Pemerintah
Pengganti undang-Undang ini bahwa bahan galian di seluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat baik secara gotong royong maupun
secara perorangan. Disamping itu, bahan-bahan galian mempunyai arti penting sebagai unsur
guna pembangunan berbagai bidang cabang industri dan sebagai bahan-bahan yang
diperlukan.

Perpu

PERPU ini dibentuk untuk mengganti Indische Mijnwet karena sudah tidak dapat
dijadikan dasar untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia dan perkembangan kepentingan
nasional yang secara mendalam ditinjau dari sudut politis, ekonomi sosial dan strategis.
Secara garis besar pokok-pokok pikiran dalam PERPU ini adalah:

● Penguasaan bahan-bahan galian yang berada dibawah dan diatas wilayah


Indonesia atau bahan-bahan galian dikuasai oleh negara untuk kepentingan negara
dan kemakmuran dan merupakan kekayaan nasional;

● Pembagian bahan-bahan galian dalam beberapa golongan yang di dasarkan pada


pentingnya bahan galian itu yakni golongan strategis dan golongan vital dan
golongan yang tidak termasuk keduanya;

● Sifat dari perusahaan pertambangan yang pada dasarnya harus dilakukan oleh
Negara;

● Pengertian konsesi (izin untuk membuka pertambangan) ditiadakan sedangkan


wewenang kuasa untuk melakukan usaha pertambangan diberikan berdasarkan
kuasa pertambangan;

● Adanya peraturan peralihan dalam menghadapi PERPU ini. Peraturan Pemerintah


pengganti UU tetap berlaku hingga era pemerintahan orde baru.
Sejarah Hukum Pertambangan – ORDE BARU
Hukum pertambangan yang berlaku pada pemerintahan era orde baru adalah
Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi nasional dalam mewujudkan masyarakat
adil dan makmur baik berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 maka
pertambangan dikelola sedemikian rupa agar menjadi kekuasaan ekonomi riil untuk masa
kini dan akan datang. Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
harus selaras dengan cita-cita bangsa dan kepentingan nasional yang ditinjau dari sudut
politik dan ekonomi, sosial dan strategis.

Dalam UU ini kuasa pertambangan yang pada waktu itu didominasi oleh perusahaan
asing memberikan dalam bentuk kontrak kerja (KK) yang mana masa kontraknya 35 tahun
dan dapat diperpanjang 25 tahun sehingga bila ditotalkan jangka waktu untuk satu kontrak
kerja adalah 60 tahun. Bila dikaji secara mendalam materi muatan UU ini adalah bersifat
sentralistik sehingga tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengaturnya
terutama dalam hal pemberian izin.

Sejarah Hukum Pertambangan – REFORMASI


Dengan adanya tuntutan reformasi dalam segala bidang termasuk bidang
pertambangan yang salah satunya adalah perubahan paradigma sentralistik ke otonomi daerah
yang seluas-luasnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Tepatnya tanggal 12 januari 2009 diberlakukanlah Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang Undang ini hadir
dalam menghadapi tantangan lingkungan strategis dan pengaruh globalisasi yang mendorong
demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan
teknologi informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peran swasta dan
masyarakat.

(sumber:https://sudutenergi.com/sejarah-hukum-pertambangan-di-indonesia/ )

Berdasarkan data Price Waterhouse Cooper, industri pertambangan di Indonesia telah


menyumbang sekitar 4% – 5% dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Industri pertambangan juga berperan penting bagi beberapa provinsi yang kaya sumber daya
mineral dan batubara, antara lain Papua, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan
Kalimantan Timur. Walaupun sejak 2009 terjadi fluktuasi hasil produksi, yang cenderung
mengalami penurunan, bagi komoditas tembaga, emas, dan nikel, tetapi penurunan tersebut
lebih disebabkan faktor harga pasar atau aspek operasional. Artinya, sektor pertambangan
masih merupakan potensi besar bagi Indonesia dalam mensejahterakan rakyat. Oleh karena
itu dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator dalam mengatur eksploitasi di bidang
pertambangan. Peran pemerintah sangat penting karena sektor pertambangan merupakan
sektor yang diminati oleh investor asing. Sedangkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dengan tegas menyatakan bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Rumusan konstitusi tersebut
menunjukkan bahwa negara memiliki kedaulatan atas sumber daya alamnya, termasuk
kekayaan mineral dan batubara, oleh karena itu investasi asing yang memiliki maksud untuk
mengelola kekayaan alam tersebut harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh regulator. Dalam rangka mengatur sektor pertambangan tersebut, pada tahun
1967 pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967). UU No.11 Tahun 1967
sekaligus menandai politik pintu terbuka di bidang pertambangan setelah sebelumnya
sebelumnya diawali dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (UU No.1 Tahun 1967). Seiring dengan dinamika pemikiran pasca
reformasi, UU No.11 Tahun 1967 dianggap sudah tidak sesuai dengan politik ekonomi yang
ingin dijalankan oleh pemerintah, khususnya di bidang pertambangan. Oleh karena itu
ditetapkanlah Undang-Undang baru sebagai pengganti UU No.11 Tahun 1967, yaitu Undang
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.4 Tahun
2009). UU No.4 Tahun 2009 menandai era baru di bidang pertambangan dimana terdapat
ketentuan-ketentuan baru yang menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam
pengelolaan sumber daya mineral dan batubara. Pergeseran paradigma tersebut terkait
hubungan antara negara dan pemodal, khususnya kepada investasi asing. Tulisan ini akan
membedah pergeseran paradigma tersebut untuk menunjukkan apakah UU No.4 Tahun 2009
telah menempatkan negara Indonesia sebagai pihak yang berdaulat atas sumber daya alamnya
atau justru sebaliknya. Agar tulisan ini lebih tajam maka pergeseran paradigma tersebut akan
dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang peralihan model kontrak karya
menuju Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kedua, sudut pandang divestasi saham investasi
asing sebagai instrumen menegakkan kedaulatan ekonomi.

Sumber: Nalle, Victor Imanuel Williamson. 2012. Hak Menguasai Negara Atas Mineral dan
Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba. Jurnal Konstitusi. Vol 9 (3). Diakses
pada tanggal 1 Februari 2022 dari
https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/download/140/139

UU 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan


Minerba kembali terkait kebijakan peningkatan nilai tambah Mineral dan Batubara, divestasi
saham, pembinaan dan pengawasan, penggunaan lahan, data dan informasi, Pemberdayaan
Masyarakat, dan kelanjutan operasi bagi pemegang KK atau PKP2B. UU ini melakukan
penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, materi muatan baru yang ditambahkan yaitu:

1. pengaturan terkait konsep Wilayah Hukum Pertambangan;

2. kewenangan pengelolaan Mineral dan Batubara;

3. rencana pengelolaan Mineral dan Batubara;

4. penugasan kepada lembaga riset negara, BUMN, badan usaha milik daerah, atau
Badan Usaha untuk melakukan Penyelidikan dan Penelitian dalam rangka penyiapan
WIUP.

5. penguatan peran BUMN;

6. pengaturan kembali perizinan dalam pengusahaan Mineral dan Batubara termasuk di


dalamnya, konsep perizinan baru terkait pengusahaan batuan untuk jenis tertentu atau
untuk keperluan tertentu, serta perizinan untuk pertambangan rakyat; dan

7. penguatan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup pada kegiatan usaha


Pertambangan, termasuk pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-3-2020-perubahan-uu-4-2009-pertambangan-minerb
a

OMNIBUS LAW DALAM PERSPEKTIF PERTAMBANGAN

Ketentuan Luasan Wilayah Tambang

● Pasal 83 c : menyebabkan tidak akan ada batas luasan yang dapat diberikan kepada
usaha pertambangan, luasannya hanya mendasarkan hasil evaluasi pemerintah

● Ketentuan ini menjadi ancaman bagi masyarakat di wilayah tambang karena ruang
hidup masyarakat akan semakin terancam dengan ketentuan ini.

RUU Cipta Kerja

● Menutup Mata terhadap maslah dan Fakta yang sedang dihadapi masyarakat di
wilayah tambang

● Di Indonesia sekitar 8000 izin pertambangan


● Kalimantan 3000-an izin

● Kalimantan Timur 1.404 izin pertambangan, setelah dilakukan audit melalui


mekanisme CnC ini menyusut hingga 1.100 izin, namun luasan tambangnya tidak
berkurang yakni 5,2 juta hektar setara hampir 40% wilayah Kalimantan Timur
diperuntukkan tambang

● Bahkan samarinda ibukota kaltim 71% wilayahnya diperuntukkan tambang, sehingga


dampak buruk yang terjadi, banjir, longsor, kualitas air bersih memburuk, serta
kerusakan lingkungan yang lain dan saat ini 34 nyawa tenggelam di lubang tambang

Bertentangan dengan tujuan menciptakan lapangan kerja

● RUU Omnibus law cipta kerja dicanangkan untuk mempermudah izin dan regulasi
demi meningkatkan peluang investasi dan lapangan kerja, namun tujuan ini justru
kontradiktif

● Tambang tidak akan dapat menyerap banyak tenaga kerja, karena tambang itu padat
modal bukan padat karya, sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga kerja

● Di Kalimantan Timur yang bekerja disektor pertambangan hanya 6,7%, perempuan


1,2%.

Pasal 102 : Hilirisasi Daerah Dapat Apa

● Saat ini dengan ketentuan yang ada Pertambangan batubara kewajiban perusahaan
menyetor hasil kepada pemerintah sangat kecil PKP2B hanya 13,5% (dari 13,5% itu
3,5% menjadi bagian daerah); bahkan untuk IUP hanya 3-7% saja. Bagian negara
sangat sedikit.

● Kebijakan Hilirisasi, dengan memberikan banyak kemudahan potongan pajak,


pembebasan DMO, pembebasan royalty.

● Daerah, masyarakat dapat apa, sedangkan dengan ketentuan yang sebelumnya saja,
masyarakatlah yang harus menanggung resiko lingkungan.

Ketentuan Hilirisasi = kemudahan usaha mengancam pencadangan SDA

● Memungkinkan kegiatan usaha tiap 10 tahun hingga seumur tambang, ini mengancam
Pencadangan SDA
● Tambang SDA yang tidak akan dapat dipulihkan Kaltim punya cerita buruk tentang
PT KEM Perusahaan tambang emas yang tutup tahun 2004, apa yang didapat daerah ?
Sementara bagian daerah dari eksploitasi tambang adalah 0%?

● Proyek mendorong eksploitasi tambang dan menghabiskan cadangan tambang sudah


seharusnya ditolak, karena tidak ada jaminan ekonomi paska tambang bagi wilayah
eksploitasi tambang

Mengebiri Otonomi Daerah

● Penghapusan Pasal terkait kewenangan daerah ini mengebiri otonomi daerah, kita
kembali ke era sentralistik sementara resiko lingkungan tetap ditinggal di daerah.

● Izin pertambangan ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang bisa jadi akan
terjadi perbedaan kepentingan pusat dan daerah

omnibuslaw

● Menutup mata dan mengingkari fakta persoalan yang telah terjadi

● Hasil Audit BPK Pertambangan menyebabkan kerugian dari aspek Lingkungan

● Menggusur ruang hidup rakyat, masyarakat adat

● Meminggirkan perempuan

● Mengancam keselamatan warga

● Mengancam kelestarian hutan

(sumber :
https://www.bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2020/04/Omnibus-Law-Dalam-Perspek
tif-Pertambangan_Dr.-Haris-Retno.pdf)

Kebijakan Hilirisasi Mineral

I. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya sumber daya mineral seperti nikel, emas,
perak, bauksit, tembaga, dan timah, namun belum dapat dikelola secara optimal dalam
meningkatkan penerimaan negara dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Diduga, penyebab
utamanya adalah sebagian besar perusahaan tambang beroperasi di hulu (upstream), yaitu
mengekspor bijih (mineral mentah) yang bernilai tambah rendah dan sangat sedikit
perusahaan tambang yang beroperasi di hilir (downstream), yaitu mengekspor mineral yang
minimal telah mengalami proses smelting.

Diagram proses upstream (hulu) dan downstream (hilir), Sumber : Victor Rudenno (2004)

Sebagai negara yang kaya akan sumber daya mineral, seperti pada sektor pertambangan
umum, khususnya mineral, harusnya memberi kontribusi besar terhadap penerimaan negara
dan menjadi pilar ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia. Akan tetapi,
faktanya kontribusi tersebut masih sangat kecil. Indonesian Mining Association (IMA) telah
mengkonfirmasi dalam 10 tahun terakhir (2005-2012), rata-rata penerimaan negara dari
sektor pertambangan umum (pajak dan royalti) sangat kecil dan hanya mencapai sekitar Rp.
60,42 triliun atau 6.16% dari total penerimaan negara (Asosiasi Pertambangan Indonesia,
2013).

Maka dari itu, pada masa pemerintahan Presiden SBY tahun 2009, terbitlah sebuah UU baru
untuk mereformasi kebijakan pengelolaan mineral di Indonesia melalui UU Nomor 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batubara (minerba). Salah satu misi undang-undang ini adalah
mendorong terjadinya peralihan (shifting) pengelolaan mineral, yaitu dari hulu ke hilir. Untuk
mendorong terjadinya shifting, UU ini mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan
(IUP) mendirikan smelter di dalam negeri. Pemerintah juga melarang perusahaan tambang
melakukan ekspor mineral mentah. Larangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.
23 Tahun 2010, dan diberlakukan sejak 12 Januari 2014 atau lima tahun sejak UU No.4/2009
diundangkan.

Dalam pengimplementasian UU Minerba selama 7 tahun, berbagai kendala muncul sehingga


membuat kebijakan hilirisasi tidak berjalan mulus. Media massa juga mengkonfirmasi bahwa
implementasi kebijakan hilirisasi mineral terkendala oleh kesulitan yang dialami perusahaan
tambang dalam mengintegrasikan operasi dan prosedur penambangan di hulu dan operasi
pengolahan mineral di hilir baik secara teknis maupun finansial. Kendala selanjutnya yaitu
resistensi dari perusahaan tambang milik asing (pemegang KK) karena mengalami kesulitan
cash flow. Adanya aturan pelarangan ekspor mineral mentah menyebabkan banyak
perusahaan tambang tidak mempunyai kemampuan finansial dalam membangun smelter.
Akibatnya pendapatannya merosot dan oleh karenanya seperti PTFI telah merumahkan
sebagian karyawan. Dari sini telah ditunjukkan bahwa UU No.4/2009 memiliki beberapa
kelemahan.

Untuk mengatasi kelemahan regulasi ini, pemerintah lalu melakukan langkah dengan
menerbitkan PP No.1/2017, dimana pada intinya memberikan relaksasi izin ekspor mineral
mentah untuk semua jenis mineral. Kemudian, pemegang KK dapat diperbolehkan
mengekspor konsentrat dengan syarat mampu dan bersedia merubah status KK menjadi Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Penerbitan PP ini disambut positif oleh perusahaan
tambang domestik, namun PTFI memberikan respon sebaliknya. Perusahaan tambang asal
AS ini keberatan dengan kewajiban aturan divestasi sebesar 51 persen serta aturan merubah
status KK menjadi IUPK dianggap akan mengurangi kontrol Freeport McMoran Ltd. di PTFI
terhadap PTFI.

Kebijakan hilirisasi mineral menjadi salah satu alat fiskal dalam menciptakan nilai tambah
mineral, meningkatkan penerimaan negara, mendorong kemajuan pertumbuhan ekonomi,
serta mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil dan merata. Oleh karena itu, berbagai
kendala yang menghambat implementasi UU No. 4/2009 harus secepatnya dicarikan solusi
terbaik.

II. Dasar Hukum Hilirisasi

Adapun dasar hukum hilirisasi atau peningkatan nilai tambah (PNT) mineral, menurut Ismet
Djafar, selaku Ketua Bidang Energi dan Pertambangan Majelis Nasional KAHMI, dan
Tenaga Ahli Komisi Energi DPR RI 2017-2019, sebagai berikut:

1. UU No.4 Tahun 2009 Pasal 103 dan 170


2. PP No.23/2010 Pasal 93, 95, 112
3. PP No.1/2014
4. Permen ESDM No.1/2014
5. PP No.1/2017
6. Kepmen ESDM No.1826 K/2018
7. Permen ESDM No. 25/2018

III. Urgensi Kebijakan Hilirisasi Mineral

Melalui analisis terhadap latar belakang penerbitan UU No.4 Tahun 2009 dan pernyataan
pemerintah, diwakilkan oleh Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, dan Dirjen Minerba,
adapun urgensi dari kebijakan hilirisasi mineral adalah sebagai berikut:

1. Mendorong pendirian Smelter di dalam Negeri

Berdasarkan teori, economic viability dari suatu industri pertambanngan mineral


setidaknya bergantung pada 3P (Sembiring, 2009). “P” pertama adalah proximity and
access to raw material. Seberapa dekat kemampuan perusahaan tambang dalam
mengakses kebutuhan bahan mentah. Indonesia memenuhi persyaratan ini karena
mempunyai cadangan mineral yang cukup besar. Oleh karena kekayaan sumber daya
alam itulah, banyak perusahaan asing datang ke Indonesia berinvestasi, baik di hulu
maupun di hilir. Keberanian perusahaan tambang asing masuk ke hulu karena adanya
jaminan ketersediaan bijih atau mineral mentah. Misalnya, PTSG berani membangun
smelter tembaga di Gresik untuk pengolahan konsentrat tembaga menjadi cooper
cathode karena PTSG mendapat suntikan pasokan konsentrat tembaga dari dua
perusahaan tembaga domestik, yaitu PTFI dan PT Amman (sebelumnya bernama PT
Newmont Nusa Tenggara/NNT).

“P” kedua adalah product marketability, apakah suatu produk yang dihasilkan smelter
memiliki permintaan yang tinggi, baik dalam maupun global. Lewat perkembangan
globalisasi seiring dengan tumbuhnya kekuatan-kekuatan industri baru seperti China,
India, Rusia, dan Korea Selatan akan menambah permintaan atas produk-produk
bahan tambang yang sudah diolah seperti ferronickel, alumina, cooper cathode, dan
sebagainya.

“P” ketiga adalah power needed to operate, berapa besar pasokan energi yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan smelter dan industri. Terbatasnya kapasitas pembangkit
listrik di daerah-daerah potensi mineral dapat membuat investor menjadi kurang
berminat membangun smelter di Indonesia. Halmahera sebagai salah satu contoh,
dimana daerah yang kaya akan mineral nikel, namun hingga saat ini belum dibangun
smelter karena kesulitan tenaga listrik. Oleh karenanya, smelter dipusatkan di Kolaka,
Sulawesi Tenggara. Memperhatikan upaya pemerintah yang serius dalam
infrastruktur, termasuk proyek pembangkit listrik 35 ribu MW, diharapkan tidak ada
lagi kendala terkait tenaga listrik kedepannya.

2. Mengintegrasikan Operasi Hulu-Hilir-Industri.

Integrasi hulu-hilir-industri adalah kegiatan menyatukan operasional hulu


(penambangan barang mentah) ke hilir (smelter) bahkan hingga langsung ke industri
yang membutuhkan barang tersebut di dalam negeri, sehingga kegiatan penambangan
berkesinambungan dan meningkatkan nilai jual mineral.

Dalam mengintegrasikan kegiatan di hulu dan kegiatan di hilir bahkan kegiatan di


level industri, faktor risiko mesti dijadikan salah satu pertimbangan. Burmeister
(1988), Harquail (1991), dan McCarthy and Ward (1999) mengkonfirmasi risiko di
hilir lebih tinggi dibandingkan dengan risiko di hulu , sehingga bisa jadi kebijakan
untuk shifting dari hulu ke hilir kurang menguntungkan. Hal ini diindikasi dengan
turunnya kinerja keuangan Antam dalam beberapa tahun terakhir. BUMN ini
memaketkan atau mensinergikan usaha pertambangan di hulu (bijih nikel) dan hilir
(ferronickel), sehingga bila terjadi resiko turunnya harga ores di pasar global, maka
dua sumber pendapatan Antam sama-sama tergerus, yaitu pendapatan dari penjualan
bijih nikel dan pendapatan dari penjualan ferronickel. Hingga saat ini, Antam belum
mencoba mengintegrasikan usaha di hilir dan industri, misalnya stainless steel dan
aluminium. Antam baru mulai mencoba proyek kecil stainless steel dan smelter grade
alumina untuk memasok alumina ke PT Inalum. Perlu waktu untuk mengintegrasikan
dua kegiatan ini. Integrasi hilir-industri ini dinilai memiliki risiko lebih rendah
dibandingkan dengan integrasi hulu-hilir karena risiko usaha di hilir tidak
berhubungan langsung dengan risiko usaha di Industri manufaktur. Bila pabrik
stainless steel tidak mendapat pasokan ferronickel dari suatu smelter, pabrik ini bisa
membeli dari smelter yang lain, bahkan bisa mendatangkan dari luar negeri
sepanjang harganya terjangkau.

Di Indonesia, salah satu operasi hilir industri yang telah berjalan adalah operasi PT
Smelting Gresik (PTSG). PTSG memiliki smelter untuk mengolah konsentrat
tembaga menjadi copper cathode. PTSG tidak beroperasi di hulu tembaga, tetapi
menerima pasokan tembaga dari PT Freeport Indonesia dan PT Amman. Kemudian
menjual cooper cathode ke industri kabel dalam negeri.

3. Meningkatkan Nilai Tambah Mineral

Sumber daya mineral logam tidak dapat diperbaharui (non-renewable), terutama yang
berbasis besi/baja, alumunium, tembaga dan timah perlu diolah di dalam negeri
untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi, sehingga pada gilirannya
dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.

Studi yang dilakukan Thomas Michel Power, sebagaimana dikutip Simon Sembiring
(2009) mengkonfirmasi bahwa daerah-daerah penghasil tambang yang berhasil
melakukan diversifikasi ekonomi dari setiap rantai nilai, lebih sukses dibandingkan
dengan daerah yang terus menerus bergantung pada tambang tanpa melakukan
diversifikasi ekonomi. Menurut Power, daerah yang bergantung operasi penambangan
hulu, cenderung mengalami depresi dan penurunan ekonomi, terlebih setelah tambang
tersebut telah habis dieksploitasi atau memasuki fase pasca tambang. Begitu juga
studi yang dilakukan Stijns (2001) mengkonfirmasi bahwa negara-negara yang
memilih mengekspor sumber daya alamnya dibandingkan memanfaatkannya buat
keperluan domestik serta industri manufakturnya, memberikan dampak negatif yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam bisnis aluminium, seperti cadangan yang cukup besar di Indonesia belum
bisa dioptimalkan untuk mengembangkan industri domestik, misalnya industri
aluminium yang dilakukan oleh PT Inalum. Negara-negara yang memiliki
sumber daya mineral bauksit yang melimpah telah melakukan integrasi antara
smelter yang menghasilkan alumina dengan pabrik aluminium bahkan dengan
industri pengguna akhir seperti onderdil otomotif, perkapalan, dan dinding
pesawat terbang. Australia adalah salah satu negara yang sukses memaksimalkan
cadangan bauksitnya. Meskipun begitu, beberapa perusahaan asing juga telah
melakukan proses peningkatan nilai tambah pengelolaan mineral, salah satunya PTFI.
Walaupun smelter masih belum dibangun di Papua, namun proses pengolahan
tembaga dengan teknik concentrate mampu meningkatkan kadar tembaga dalam bijih
tembaga sekitar 30-40 persen,

4. Mendorong Peningkatan Penerimaan Negara

Urgensi lain dari kebijakan hilirisasi mineral yaitu meningkatkan kontribusi sektor
mineral terhadap penerimaan negara, baik pajak maupun bukan pajak (PNBP).
Potensi penerimaan negara cukup besar hanya dapat terwujud apabila pemerintah
mampu me-reform kebijakan pengelolaan mineral.

Ketergantungan terhadap usaha penambangan di hulu dengan ekspor bijih mineral


telah mengakibatkan rendahnya pendapatan yang didapat perusahaan dan tentunya
kontribusi pajak dan bukan pajak kepada negara juga rendah. Maka dari itu,
pemerintah mewajibkan perusahaan tambang dalam membangun smelter dan
melakukan pelarangan ekspor mineral mentah sesuai yang tertera dalam UU No. 4
Tahun 2009.

IV. Implementasi Pelaksanaan Hilirisasi Mineral di Indonesia

Sampai dengan tahun 2021, sedikit sekali smelter yang berhasil dibangun. Kementerian
ESDM mengkonfirmasi bahwa dari 132 proyek smelter yang teridentifikasi pada tahun 2014,
Dari jumlah tersebut, baru ada 15 perusahaan yang menyatakan siap membangun fasilitas
pengolahan dan pemurnian mineral. Hingga 2021, sudah ada 21 smelter di Indonesia, dengan
rincian 15 smelter nikel, 2 smelter bauksit, 1 smelter besi, 2 smelter tembaga, dan 1 smelter
mangan.

V. Rekomendasi dalam Memuluskan Program Hilirisasi

Menurut Dirut Pusat Investasi Pemerintah Kemenkeu Ir. Syahrir Ika, MM., dalam jurnalnya
Downstreaming Mineral Policy: Policy Reform to Increase State Revenue , adapun langkah
terbaik kedepannya yang bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala terkait kebijakan
hilirisasi mineral sebagai berikut:

1. Pemerintah perlu merevisi UU No.4/2009 tentang Minerba UU Minerba. Ada tiga isu
substantif yang perlu direvisi, yaitu larangan ekspor mineral mentah, kewajiban
membangun smelter, dan pajak ekspor.
A. Terkait larangan ekspor mineral mentah, sebaiknya pemerintah tidak terus
menerus memberikan relaksasi izin ekspor dengan menerbitkan PP. Revisi PP
yang berulang untuk urusan yang sama mengindikasikan kebijakan hilirisasi
mineral tidak dirancang dengan baik. Undang-undang Minerba harus
memberikan batasan mengenai kriteria perusahaan tambang mana yang boleh
atau tidak boleh melakukan ekspor mineral mentah.

B. Terkait kewajiban membangun smelter, undang-undang perlu mengatur


perusahaan mana yang wajib dan tidak wajib membangun smelter. Pemerintah
sebaiknya tidak (dengan undang-undang) menerapkan persyaratan yang sama
bagi perusahaan tambang skala kecil dan menengah untuk membangun
smelter, karena kewajiban itu tidak mungkin dapat dijalankan. Bila kebijakan
ini dipaksakan, maka akan mematikan perusahaan tambang tersebut. Karena
itu, pemerintah bisa menetapkan kriteria perusahaan yang wajib membangun
smelter, yaitu PMA dan BUMN, dengan pertimbangan kemampuan finansial
yang kuat dan pengalaman operasi di hilir yang dimiliki.

C. Terkait dengan pajak ekspor atau bea keluar sebagai fungsi pengendali ekspor
mineral mentah, sebaiknya hanya berlaku bagi perusahaan tambang skala
besar seperti Antam dan PTFI. Dengan aturan ini, pemerintah bisa mendorong
perusahaan tambang skala besar untuk lebih fokus melakukan operasi di hilir.
Pajak ekspor yang tinggi juga perlu dikenakan kepada perusahaan tambang
skala kecil dan menengah yang melakukan ekspor bijih atau mineral mentah
tanpa memenuhi kewajiban DMO. Selama proses pembangunan smelter, tarif
bea keluar ditetapkan berdasarkan kemajuan pembangunan smelter. Semakin
tinggi progress pembangunan smelter, semakin rendah tarif bea keluar.

2. Mengenai integrasi “hulu-hilir industri”, fungsi smelter (hilir) akan menjadi lebih
optimal dan berkesinambungan jika diintegrasikan dengan industri manufaktur.
Konsep dan strategi ini ditujukan untuk mendorong sisi permintaan (industri
manufaktur yang akan menggunakan produk hasil pengolahan menjadi sumber
inputnya) dan memastikan kesinambungan sisi penawaran (smelter).
3. BUMN tambang berskala besar, seperti Antam, dapat diarahkan menjadi pioneer
dalam bidang hilirisasi mineral di Indonesia karena selain memiliki kapasitas teknis
dan finansial yang lebih baik, juga berpengalaman dalam hilirisasi mineral nikel,
emas, dan bauksit.
4. Tentang divestasi saham PTFI, pemerintah perlu mempersiapkan langkah-langkah
yang konkrit dan perlu berhati-hati karena jangan sampai semua energi holding
dipakai hanya untuk mengambil alih saham PTFI, oleh karena langkah itu dapat
mematikan strategi bisnis jangka panjang masing-masing BUMN tersebut.

Sumber : Ika, Syahrir. (2017) Kebijakan Hilirisasi Mineral: Reformasi Kebijakan untuk
Meningkatkan Penerimaan Negara. Kajian Ekonomi Keuangan Vol. 1 No. 1.
http://fiskal.kemenkeu.go.id/ejournal

Anda mungkin juga menyukai