Anda di halaman 1dari 73

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Umum Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara

1. Pengertian Hukum Pertambangan

Hukum Pertambangan merupakan salah satu bidang kajian hukum yang

mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dibuktikan dengan

ditetapkannya berbagai peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang

pertambangan. Pada dekade tahun 1960-an, undang- undang yang mengatur tentang

pertambangan, yaitu Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pertambangan, sementara pada dekade tahun 2000 atau khususnya

pada tahun 2009, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR RI telah menetapkan

Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.1

Ada dua hal yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu bahan tambang mineral dan batubara.

Apabila dikaji ketentuan atau pasal dalam undang- undang ini, tidak ditemukan

pengertian hukum pertambangan mineral dan batubara. Namun, untuk memahami

1
Salim HS., “Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara”, Cetakan ke- 2, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 11, 2014.

22
pengertian hukum pertambangan, khususnya hukum pertambangan mineral dan

batubara, maka perlu dikemukakan pengertian hukum pertambangan pada umumnya. 2

Istilah hukum pertambangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu

mining law, bahasa Belanda disebut dengan mijnrecht, sedangkan dalam bahasa

Jerman disebut dengan bergrecht. Joan Kuyek mengemukakan pengertian hukum

pertambangan. Mining law is: “have been set up to protect the interests of the mining

industry and to minimize the conflicts between mining companies by giving clarity to

who owns what rights to mine. They were never intended to control mining or its

impact on land or people. We have to look to other laws to protect these interests”. 3

Artinya: Hukum pertambangan merupakan seperangkat aturan yang bertujuan

untuk melindungi kepentingan yang berkaitan dengan industri pertambangan dan

untuk meminimalkan konflik antara perusahaan tambang dan memberikan penjelasan

yang bersifat umum kepada siapa saja yang mempunyai hak- hak untuk melakukan

kegiatan pertambangan. Mereka tidak pernah bermaksud untuk mengendalikan

kegiatan pertambangan atau dampaknya terhadap tanah atau orang. Kita harus

melihat hukum untuk melindungi kepentingan- kepentingan yang berkaitan dengan

pertambangan.4

2
Ibid, hlm 12.
3
Joan Kuyek, 2005. “Canadian Mining Law and the Impacts on Indigenous Peoples lands and
Resources”. Backgrounder for a presentation to the North American Indigenous Mining Summit, July
28, 2005, hlm. 1.
4
Salim HS. Op., Cit, 2014, hlm 12.

23
Definisi ini menganalisis tujuan hukum pertambangan. Tujuan hukum

pertambangan, yaitu:5

1) Melindungi kepentingan yang berkaitan dengan industri pertambangan.

2) Mencegah atau meminimalkan konflik antara perusahaan tambang dengan

masyarakat yang berada di wilayah pertambangan.

Joseph F. Castrilli mengemukakan pengertian hukum tambang. Hukum

pertambangan adalah: “Also may provide a basis for implementing some

environmentally protective measures in relation to mining operations at the

exploration, development, reclamation, and rehabilitation stages.”6

Artinya hukum pertambangan sebagai dasar dalam pelaksanaan perlindungan

lingkungan dalam kaitannya dengan kegiatan pertambangan, yang meliputi kegiatan

eksplorasi, konstruksi, reklamasi dan rehabilitasi.7 Hannah Owusu- koranteng At

mengemukakan pengertian hukum pertambangan. Mining Law adalah:

Surface mining is one of the most polluting investment and mining


laws that regulate the activities of mining companies should have
the objective of providing adequate protection for the rights of
mining communities, the environment as well as ensure equal
benefits to the host countries and the investor. An important
characteristic of the mining and mineral law in Ghana is the clear
protection of the interests of multinational mining companies whilst
the protection of community rights and the environment is fluid.8

5
Ibid, hlm 13.
6
Joseph F. Castrilli, “Environmental Regulation Of The Mining Industry In Canada: An Update of
Legal And Regulatory Requirements,” 1999, hlm 45.
7
Salim HS. Op., Cit, 2014, hlm 13.
8
Hannah Owusu- Koranteng At, “Presentation on the Social Impact of Gold Mining in Ghana-
Unequal Distribution Of Burdens And Benefits and Its Implications On Human Rights,” By The 11th

24
Dalam definisi ini, hukum pertambangan merupakan kaidah hukum yang

mengatur tentang kegiatan pertambangan. Tujuannya, yaitu:9

1. Melindungi kepentingan masyarakat lokal

2. Perlindungan lingkungan hidup

3. Menjamin keuntungan yang sama besar antara negara tuan rumah dengan

investor; dan menjamin pelaksanaan kegiatan pertambangan oleh

perusahaan multinasional.

Definisi lain tentang hukum pertambangan disajikan oleh Salim HS. Ia

mengemukakan bahwa hukum pertambangan adalah: “Keseluruhan kaidah-

kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan

galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang

dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian

(tambang).”10

Keempat definisi di atas, difokuskan pada pengertian hukum pertambangan

pada umumnya. Objek kajiannya pada bahan tambang pada umumnya. Sedangkan

bahan tambang itu sendiri, tidak hanya mineral dan batu bara, tetapi juga pans bumi,

minyak dan gas bumi serta air tanah. Menurut Salim,hukum pertambangan dibagi

menjadi dua macam, yaitu:11

Eadi General Conference Organised By German Development Institude In Bonn From 22nd- 24th
September 2005.
9
Salim HS. Op., Cit, 2014, hlm. 14.
10
Salim HS., Hukum Pertambangan di Indonesia. (Jakarta: RajaGrafindo, 2010), hlm. 8
11
Ibid, hlm 14

25
1. Hukum pertambangan umum

2. Hukum pertambangan khusus

Hukum pertambangan umum disebut juga dengan general mining law (Inggris),

algemene mijnrecht (Belanda), den den allgemeinen Bergrecht (Jerman). Hukum

pertambangan umum mengkaji tentang panas bumi, minyak dan gas bumi, mineral

radioaktif, mineral dan batubara, serta air tanah.12

Istilah hukum pertambangan khusus berasal dari terjemahan bahasa Inggris,

yaitu special mining laws, dalam bahasa Belanda disebut dengan speciale mijnrecht,

sedangkan dalam bahasa Jerman disebut dengan besondere gesetze bergbau. Yang

dimaksud dengan hukum pertambangan khusus, yaitu hanya mengatur tentang

pertambangan mineral dan batubara.13

Istilah hukum pertambangan mineral dan batubara berasal dari terjemahan

bahasa Inggris, yaitu mineral and coal mining law.Bahasa Belanda disebut dengan

mineraal- en kolenmijnen recht atau bahasa Jerman disebut dengan istilah mineral

und kohlebergbau gesetz. Ada empat unsur yang terkandung dalam Hukum

Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu:14

1. Hukum

2. Pertambangan

3. Mineral

12
Ibid.
13
Ibid, hlm 14- 15.
14
Ibid, hlm 15.

26
4. Batubara

` Hukum diartikan sebagai aturan yang mengatur hubungan antara negara dengan

rakyat, antara manusia dengan manusia dan hubungan antara manusia dengan

lingkungannya. Pertambangan adalah:15 “Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan

dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang

meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan

pascatambang.”

Dalam definisi ini, pertambangan dikonstruksikan sebagai suatu kegiatan.

Kegiatan itu, meliputi (1) penelitian, (2) pengelolaan, dan (3) pengusahaan. Mineral

merupakan senyawa anorganik, yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan

kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk

batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.” 16 Batubara adalah endapan senyawa

organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan.

Dari unsur- unsur di atas, dapat dirumuskan definisi hukum pertambangan

mineral dan batubara. Hukum pertambangan mineral dan batubara merupakan:17

“Kaidah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan mineral dan batubara

dan mengatur hubungan antara negara dengan subjek hukum, baik bersifat

perorangan maupun badan hukum dalam rangka pengusahaan mineral dan batubara.”

15
Ibid
16
Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
17
Salim HS., Op., Cit, 2014, hlm. 16.

27
Ada dua macam hubungan yang diatur dalam hukum pertambangan mineral

dan batubara, yaitu:18

1. Mengatur hubungan antara negara dengan mineral dan batubara

2. Mengatur hubungan antara negara dengan subjek hukum.

Hubungan antara negara dengan bahan mineral dan batubara adalah negara

mempunyai kewenangan untuk mengatur pengelolaan mineral dan batubara. Wujud

pengaturannya, yaitu negara membuat dan menetapkan berbagai pengaturan

perundang- undangan yang berkaitan dengan mineral dan batubara. Salah satu

undang- undang yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR, yaitu

Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Landasan filosofis atau pertimbangan hukum

ditetapkan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara, yaitu bahwa:19

Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum


pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak
terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak. Karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara
untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadila”.

18
Ibid.
19
Ibid.

28
Ada tiga unsur esensial yang tercantum dalam landasan filosofis atau

pertimbangan hukum Undang- Undang Nomor 4 tahun 2009, yaitu:20

1. Eksistensi sumber daya mineral dan batubara

2. Penguasaan negara

3. Tujuan penguasaan negara.

Di negara Republik Indonesia, negara diberi kewenangan untuk menguasai

sumber daya mineral dan batubara. Makna penguasaan negara ialah: “Negara

mempunyai kebebasan atau kewenangan penuh (volldiegebevoegdheid) untuk

menentukan kebijaksanaan yang diperlukan dalam bentuk mengatur (regelen),

mengurus (besturen) dan mengawasi (toezichthouden) penggunaan dan pemanfaatan

sumber daya alam nasional”. 21

Rumusan penguasaan negara juga ditemukan dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, yang berbunyi:

Pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup


makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber
dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas
segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber- sumber
kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh
UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar- besarnya
kemakmuran rakyat.22

20
Ibid.
21
Abrar Saleng, “Hukum Pertambangan”, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 219.
22
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 002/ PUU-1/2003,hlm. 208- 209.

29
Kewenangan negara dalam putusan ini, meliputi:23

1. Membuat kebijakan (beleid) dan pengurusan (bestuursdaad)

2. Pengaturan (regelendaad)

3. Pengelolaan (beheersdaad)

4. Pengawasan (toezichthoudensdaad)

Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah

dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan

(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh

negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama

Pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad)

dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share- holding) dan/ atau melalui

keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan

Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c. q.

pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber- sumber kekayaan itu

untuk digunakan bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi

pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara, c. q.

pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan

penguasaan oleh negara atas sumber- sumber kekayaan dimaksud benar- benar

dilakukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran seluruh rakyat.24

23
Salim HS., Op., Cit, hlm. 18
24
Ibid, hlm 18- 19.

30
Pada hakekatnya, tujuan penguasaan negara atas sumber daya alam adalah

memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha

mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Sementara itu,

yang menjadi tujuan pengelolaan mineral dan batubara itu adalah:

1. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha

pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing.

2. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan hidup

3. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/ atau

sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri

4. Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih

mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional.

5. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta

menciptakan lapangan kerja untuk sebesar- besarnya kesejahteraan rakyat

6. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha

pertambangan mineral dan batubara.25

Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah

dan/ atau pemerintah daerah. Penguasaan oleh negara ini adalah memberi nilai

tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran

dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.26

25
Pasal 3 Undang- Undang Nomor 4, op, cit.
26
Salim HS. op. cit, 2014, hlm. 19

31
2. Karakteristik Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara

Hukum pertambangan mineral dan batubara merupakan kaidah hukum yang

bersifat khusus. Dikatakan khusus, oleh karena:

1. Objeknya khusus

2. Sifat hubungan para pihak bersifat administratif

Yang menjadi objek kajian hukum pertambangan mineral dan batubara hanya

berkaitan dengan pertambangan mineral dan batubara. Pertambangan mineral adalah

pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan. Bijih adalah:

“sekumpulan mineral yang daripadanya dapat dihasilkan satu atau lebih logam secara

ekonomis sesuai dengan keadaan teknologi dan lingkungan pada saat itu.” 27

Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di

dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

Hukum pertambangan mineral dan batubara bersifat administratif, karena

pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

dalam proses pemberian izin kepada pemegang IPR, IUP atau IUPK. Pemerintah

dalam pemberian izin tersebut adalah didasarkan kepada syarat- syarat yang telah

ditentukan dalam peraturan perundang- undangan. Apabila syarat- syarat itu dipenuhi

oleh calon pemegang izin, maka pemerintah dapat menetapkan izin secara sepihak

kepada pemegang IPR, IUP maupun IUPK. Namun, apabila syarat- syarat itu tidak

dipenuhi, maka pemerintah dapat menolak izin yang diajukan oleh calon pemegang

27
Irwandi Arif, “Undang- Undang Pertambangan Minerba dan Otonomi Daerah.” Disajikan pada
Seminar Pertambangan Nasional Menyongsong Undang- Undang Pertambangan Minerba 23 Februari
2009, hlm. 10.

32
izin. Di samping itu, pemerintah juga dapat membatalkan segala bentuk izin, baik

berupa IPR, IUP, maupun IUPK secara sepihak, apabila pemegang IPR, IUP, maupun

IUPK tidak mematuhi dan menaati segala ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam

substansi izin dan ketentuan perundang- undangan28

3. Sumber – Sumber Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara

Kajian terhadap sumber hukum pertambangn mineral dan batubara dapat

dipilah menjadi dua macam, yaitu:29

1. Sumber hukum pertambangan mineral dan batubara yang bersumber dari hukum

yang berlaku di Indonesia

2. Sumber hukum pertambangan mineral dan batubara yang bersumber dari hukum

yang berlaku di negara lain.

Sumber hukum pertambangan mineral dan batubara yang utama yang berlaku

di Indonesia, yaitu Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara. UU tersebut merupakan ketentuan atau UU yang

menggantikan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan zaman.30

28
Salim HS., Op., Cit, 2014, hlm. 21-22.
29
Ibid, hlm.25
30
Ibid.

33
Landasan filosofis ditetapkan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu:31

1. Bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum

pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai

karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam

memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai

oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian

nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara

berkeadilan.

2. Bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan

kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air

tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata

kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara

berkelanjutan dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan

ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.

3. Bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun

internasional

4. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok

Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan

perundang- undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat

mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri,

31
Ibid.

34
andal, transpasan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna

menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.

4. Kajian Yuridis Tentang Mineral Dan Batubara

Istilah mineral berasal dari bahasa Inggris, yaitu “mineral”, bahasa Belanda

disebut dengan istilah “mineraal”, sedangkan dalam bahasa Jerman disebut dengan

istilah “mineral.” Yang menjadi pertanyaan kini, apa yang disebut mineral? Untuk

mengkaji dan memahami pengertian mineral, maka kita harus mengkaji dari

pengertian yang tercantum dalam undang- undang maupun yang disajikan oleh para

ahli. Dalam Undeveloped Mineral Areas Act 2006 Kanada telah dirumuskan

pengertian mineral. Mineral: “Includes a naturally occuring inorganic substance both

metallic and non- metallic, and includes quarry materials and salt, and also includes

coal, oil and natural gas.” 32

Pengertian mineral dalam definisi ini, sangat luas, karena tidak hanya mineral

sebagai bahan organik, tetapi juga mencakup:

1. Metalik dan non metalik

2. Batubara

3. Minyak dan gas bumi

Seksi 3 huruf a the Philippine Mining Act of 1995 telah dijelaskan pengertian

mineral. Minerals refers to all: “Naturally occuring inorganic substance in solid, gas,

32
Section 2 huruf c Undeveloped Mineral Areas Act 2006 Kanada.

35
liquid, or any intermediate state excluding energy minerals such as coal, petrolenum,

natural gas, radioactive materials, and geothermal energy.”

Dalam definisi ini, tidak hanya didefinisikan tentang pengertian mineral

semata- mata, tetapi juga penggolongan mineral. Mineral dikonstruksikan sebagai

bahan anorganik yang terjadi secara alamiah. Mineral digolongkan menjadi delapan

macam, yaitu:

1. Solid (benda padat)

2. Gas

3. Liquid (cairan)

4. Batubara

5. Minyak bumi

6. Gas alam cair

7. Radioaktif

8. Energi geothermal

Berikut ini, disajikan pengertian batubara. Istilah batubara berasal dari

terjemahan bahasa Inggris, yaitu coal, bahasa Belanda, yaitu kolen, sedangkan dalam

bahasa Jerman disebut kohle. Pengertian batubara dapat disajikan berdasarkan

rumusan yang tercantum dalam undang- undang dan pendapat ahli. Dalam Pasal 1

angka 3 Undang- Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara telah dirumuskan pengertian batubara. Batubara adalah: 33 “Endapan

33
Salim HS., Op., Cit, 2014, hlm 40

36
senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-

tumbuhan.”

Batubara dikonstruksikan sebagai endapan senyawa organik. Endapan senyawa

organik merupakan campuran yang sudah bersatu padu pada alam. Pengertian

batubara atau coal juga ditentukan dalam Business Dictionary. Coal is:

Formed from plants that have been fossilized through oxidation.The


end result is a black hard substance that gives off carbon dioxide
when burned. Coal is currently the most widely used substance to
generate electricity and heat. Due to the harmful gases that it
releases into the environment, the use of coal is constantly being
reduced as people search out alternative fuels.34
Konstruksi batubara dalam definisi ini dilihat dari proses terbentuk atau

terjadinya batubara. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah membatu melalui

oksidasi (penggabungan). Hasil akhirnya adalah zat keras hitam yang mengeluarkan

karbon dioksida ketika dibakar. Batubara saat ini adalah zat yang paling banyak

digunakan untuk menghasilkan listrik dan panas.35

5. Landasan Filosofis, Yuridis Dan Sosiologis Pertambangan Mineral Dan

Batubara

Setiap penyusunan peraturan perundang- undangan harus didasarkan pada

landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Landasan filosofis dimaknakan sebagai

pandangan atau sikap batin dari masyarakat terhadap pelaksanaan kegiatan

pertambangan mineral dan batubara. Sikap batin atau pandangan bangsa Indonesia

34
Business Dictionary. Com, http//www.businessdictionary.com/definition/coal.html, Akses, 5 Juni
2011.
35
Salim HS., Op., Cit, 2014, hlm 40.

37
terhadap pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara, ditegaskan dalam

Pembukaan UUD 1945, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan Undang- Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 36

Dalam Pembukaan UUD 1945 telah ditegaskan tujuan Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

2. Memajukan kesejahteraan umum

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Salah satu tujuan utama dari keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia

adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, maka segala sumber daya yang ada di Indonesia harus diupayakan dan

dimanfaatkan secara optimal. Sementara itu, dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

ditegaskan bahwa:“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.”

P.L. Coutrier memberikan pengertian tentang arti penting Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945. Ada dua bagian penting yang menarik dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,

yaitu:

1. Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan di dalam air dikuasai oleh

negara dan dengan demikian mengandung arti bahwa kepemilikan sumber kekayan

36
Ibid, hlm 41

38
alam (SKA) tersebut bukan milik pribadi dan juga bukan hanya milik daerah di

mana SKA itu ditemukan tetapi juga “milik rakyat negara Indonesia lainnya.”

Secara implisit ini juga mengandung arti diatur pemanfaatannya oleh negara.

Karena itu ada peraturan perundang- undangan yang mengaturnya.

2. Dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat mengandung pengertian

mendorong SKA tersebut perlu diproduksi agar pendapatan dapat dipergunakan

untuk kemakmuran rakyat. Pelaksanaan ini tentu di dalam batas rambu- rambu yang

ada. Umpama optimalisasi nilai tambah dan pembagian/ pemerataan seadil

mungkin.37

Landasan filosofis penguasaan negara atas pertambangan mineral dan batubara

tertuang dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan batubara, yang berbunyi:

Bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah


hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak
terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara
untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan.
Sumber daya alam yang berupa mineral dan batubara di atas, merupakan

karunia Tuhan Yang Maha Esa. Ini mengandung makna bahwa keberadaan sumber

daya alam mineral dan batubara itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Negara

berkewajiban untuk mengelolanya agar dapat memberikan manfaat bagi

37
P.L. Coutrier, “Hak Penguasaan Negara Atas Bahan Galian Pertambangan dalam Perspektif
Otonomi Daerah,” (Makasar, 2001), hlm. 1.

39
kesejahteraan masyarakat banyak. Kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa

Indonesia baru mempunyai makna apabila dikelola dan diusahakan secara optimal.

Dalam pengelolaan itu, diberikan ruang kepada badan usaha domestik dan

penanaman modal asing.38

Landasan yuridis dimaknakan sebagai dasar hukum dari pelaksanaan kegiatan

pertambangan mineral dan batubara. Landasan hukum ini tercantum dalam berbagai

perundang- undangan. Peraturan perundang- undangan mengatur tentang mineral dan

batubara, tidak hanya diatur di dalam undang- undang yang berlaku di Indonesia,

tetapi juga peraturan perundang- undangan yang ada di negara lain. Peraturan

perundang- undangan yang mengatur tentang mineral dan batubara di negara lain,

meliputi: Mineral Resources Law of The People’s Republic of China, Japanese

Mining law No. 289, 20 December, 1950 Latest Amandment in 1962, Philippine

Mining Act of 1995, dan lain- lain.39

Peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang mineral dan batubara di

Indonesia, yaitu Undang- Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara. Undang- Undang ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintah. peraturan pemerintah itu, meliputi:40

1. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara.

38
Salim HS., Op., Cit,2014, hlm 43
39
Ibid, hlm. 46
40
Ibid.

40
3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan

Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan

Pascatambang

Keempat peraturan pemerintah itu mengatur tentang mineral dan batubara.

Landasan sosiologis dari pembentukan peraturan perundang- undangan di

bidang pertambangan mineral dan batubara adalah karena adanya kebutuhan

masyarakat akan perlindungan hak- hak mereka di dalam pengelolaan mineral dan

batubara. Karena dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009, masyarakat,

terutama penduduk setempat diberi ruang yang cukup untuk mengelola pertambangan

mineral dan batubara. Masyarakat diberi hak untuk mengajukan IPR dan IUP.

Dengan adanya izin tersebut, mereka dapat melakukan kegiatan pertambangan

dengan baik. Dengan adanya kegiatan itu, maka masyarakat tersebut menjadi

sejahtera, lahir dan batin.41

Sebelum membahas lebih jauh tentang pengertian perizinan, Izin Usaha

Pertambangan, serta kewenangan negara dalam pengelolaan pertambangan minerba ,

penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai hukum kontrak, karakteristik

kontrak pemerintah, dan juga tinjauan umum tentang Kontrak Karya, agar dapat

memahami karakteristik, konsep dan juga hukum yang mengatur era KK.

41
Ibid.

41
B. Hukum Kontrak

1. Pengertian Kontrak.

Perkataan kontrak merupakan pengambilalihan dari perkataan latin contractus,

yang berarti perjanjian. Istilah kontrak semula hanya merupakan padanan kata dari

perjanjian.42 Perikatan yang bersumber pada perjanjian kontrak, hal tersebut diatur

dalam Buku III Bab II Bagian I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang

mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian atau

persetujuan. Akan tetapi perikatan juga dapat terjadi karena adanya ketentuan-

ketentuan Undang-undang.

Perikatan yang bersumber pada perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan bahwa perjanjian adalah:

“perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang

atau lebih.”

Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu

ikatan yang berupa hak dan prestasi. Sementara menurut M. Yahya Harahap,43 suatu

kontrak adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang

memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.

42
P.J. Supratignyo, S.H. Not., Panduan Singkat Metode dan Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Penerbit
Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, 1997, hal. 1.
43
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan, PT. Alumni, Bandung, 1982, hal. 3.

42
Menurut dokrin ( teori lama ) yang disebut perjanjian adalah: 44 “perbuatan

hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

Sehingga unsur-unsur dalam perjanjian berdasarkan teori lama adalah sebagai

berikut:

a. Adanya perbuatan hukum.

b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang.

c. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan.

d. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih.

e. Pernyataan kehendak yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain.

f. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.

g. Akibat hukum itu untuk menimbulkan kepentingan yang satu atas beban yang

lain atau timbal balik.

h. Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang- undangan.

Sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne dalam buku

Salim HS, H. Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, yang berjudul Perancangan Kontrak,

yang diartikan dengan kontrak, adalah:45 “suatu hubungan hukum antara dua pihak

atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

44
Salim. HS, Hukum Kontrak ( teori dan teknik penyusunan kontrak ),Penerbit Sinar Grafika, cetakan
ke 3, Jakarta, 2006, hal. 25
45
Ibid.

43
Sehingga oleh teori baru, bahwa kontrak ada 3 (tiga) tahap, yaitu sebagai

berikut :

a. Tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan.

b. Tahap contractual, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

c. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala

besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya sangat penting

dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji- janji para pihak

dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran maka terdapat

kompensasi yang harus dibayar. Kontrak dengan demikian merupakan sarana untuk

memastikan bahwa apa yang hendak dicapai oleh para pihak dapat diwujudkan.

Atiyah mengatakan bahwa isi kontrak pada umumnya berkaitan dengan pertukaran

ekonomi (economic exchange).4665 Hukum kontrak dengan demikian merupakan

instrumen hukum yang mengatur terjadinya pertukaran itu dan sekaligus memberikan

bentuk perlindungan bagi pihak yang dirugikan. 47

Menurut Beatson terdapat dua fungsi penting dari kontrak, yaitu: pertama,

untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah dipertukarkan, dan kedua,

mempunyai fungsi konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang direncanakan dan

memberikan aturan bagi kelanjutannya ke depan. 48 Semakin kompleks suatu transaksi

46
P.S. Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, Oxford University Press, New York, 1996, p. 3.
(P.S. Atiyah II)
47
Simamora Sogar, op, cit. p. 25- 26. 2017.
48
J. Beatson, Anson’s Law of Contract, Oxford University Press, Oxford, 2002, p.3.

44
akan semakin tinggi kebutuhan mengenai perencanaan dan semakin rinci pula

ketentuan- ketentuan (dalam kontrak) yang dibuat. Dalam kaitan dengan fungsi

kontrak bagi perencanaan transaksi, Beatson memberikan perhatian pada empat hal,

yaitu:

a. Kontrak pada umumnya menetapkan nilai pertukaran (the value of exchange)

b. Dalam kontrak terdapat kewajiban timbal balik dan standar pelaksanaan

kewajiban.

c. Kontrak membutuhkan alokasi pengaturan tentang risiko ekonomi (economic

risks) bagi para pihak; dan,

d. Kontrak dapat mengatur kemungkinan kegagalan dan konsekuensi hukumnya.49

Dalam dunia bisnis, waktu dan kepastian merupakan faktor penting. Hukum

kontrak dalam hal ini memberikan sarana yang memungkinkan para pihak

mengakomodasi seluruh kepentingannya. Kontrak merupakan janji yang mengikat

dan janji tersebut menimbulkan harapan- harapan yang layak. Hukum kontrak dalam

hal ini merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan

janji dan harapan itu. Secara fundamental terdapat 3 tujuan hukum sebagaimana

diutarakan oleh P.S. Atiyah, berikut ini:

First, it is inspired bu the desire to enforce promises and to protect


the reasonable expectation which are generated both by promises
and by other forms of conduct. Secondly, contract law is strongly
influenced by the underlying institutions of property law, so that,
while it recognizes and forces transactions for the transfer of
property and money which one person has obtained without any
exchange; transfer without exchange are widely thought to involve
49
Ibid.

45
an unjust enrichment of one party at the expense of the other.
Thirdly, Contract law is also designed to prevent certain binds of
harm, particulary harm of an economic nature, at least to
compensate those who suffer such harm. 50

2. Objek Kontrak.

Objek dalam suatu kontrak harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu

objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan, diperbolehkan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan tidak bertentangan dengan undang-undang

dan tata susila. Sementara itu, prestasinya harus benar-benar riil agar benar-benar

dapat dilaksanakan.

3. Subjek Kontrak.

Pada praktek sehari-hari, dalam kontrak yang menjadi subjek adalah bukan

hanya orang perorangan yang membuat kontrak, termasuk juga badan hukum yang

merupakan subjek hukum. Hal ini ditegaskan oleh Salim HS, yang mendefinisikan

kontrak adalah :51 “Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek

hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu

berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk

melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”

Dalam mengadakan suatu kontrak, setiap subjek hukum harus memenuhi suatu

kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Jika subjek

50
P.S. Atiyah II, op. cit, p. 35.
51
Salim. HS, op. cit, hal. 27

46
hukumnya adalah “orang”, maka orang tersebut harus sudah dewasa, namun jika

subjeknya “badan hukum” harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum.

Sehingga kedua jenis subjek hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama

dalam melakukan kontrak.

4. Prinsip Dan Klausula Dalam Kontrak.

Menyusun suatu kontrak, baik kontrak itu bersifat bilateral maupun multilareal

maupun perjanjian dalam lingkup nasional, regional, dan internasional harus didasari

oleh pada prinsip hukum atau klausula tertentu. 52 Prinsip hukum dan klausula tertentu

ini dimaksudkan untuk mencegah para pihak pembuat suatu kontrak terhindar dari

unsur-unsur yang dapat merugikan mereka sendiri. Prinsip dan klausula dalam

kontrak dimaksud adalah berbentuk asas-asas hukum sebagai berikut :

a. Asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak adalah, bahwa setiap orang bebas mengadakan

suatu kontrak apa saja, baik yang sudah diatur dalam undang- undang maupun yang

belum diatur dalam undang-undang. Asas kebebasan berkontrak di sini tidak berarti

bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan kebebasan seseorang dalam

membuat kontrak tersebut hanya sejauh kontrak yang dibuatnya itu tidak

bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang sebagaimana

di sebut dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas kebebasan

52
Joni Emirzon, Dasar-Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Inderalaya, Universitas Sriwijaya,
1998, hal. 19

47
berkontrak ini di atur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang dirumuskan sebagai

berikut :

1. Semua persetujuan yang di buat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi

mereka yang membuatnya.

2. Persetujuan itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat kedua belah

pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu.

3. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Asas ini merupakan topik dalam setiap kajian hukum yang berkaitan dengan

kontrak. Ini mungkin menjadi domain terpenting dalam kontrak tetapi dalam

perkembangannya mengalami pasang surut. Tidak seperti asas itikad baik yang

menunjukkan fungsi yang lebih menguat, kebebasan berkontrak justru mengalami

penurunan secara fungsional karena kuatnya intervensi negara dalam membatasi

individu dalam menciptakan dan mengatur hubungan kontraktual. 53

Campur tangan pemerintah terhadap kebebasan berkontrak menjadi semakin

besar seiring dengan menguatnya kritik terhadap faham individualism dan liberalism,

dan pada saat yang hampir bersamaan menguatnya konsep negara kesejahteraan

(welfare state). Bertolak belakang dengan faham individualism dan liberalism,

welfare state justru menghendaki negara secara aktif ikut campur tangan dalam

kehidupan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Instrumen yang

lazim dipergunakan oleh negara untuk mengintervensi kehidupan masyarakat adalah


53
Simamora Sogar, op. cit, p. 30.

48
peraturan perundang- undangan. Dengan instrumen ini, negara membatasi kebebasan

individu baik secara terbuka maupun secara memaksa. 54

Semakin besarnya pembatasan terhadap kebebasan berkontrak, terutama yang

dilakukan oleh pemerintah, melahirkan suatu keadaan yang oleh Hugh Collins

disebut regulating contract.55 Suatu istilah yang sejatinya merupakan ironi kalau

dilihat dari perspektif kebebasan berkontrak, karena banyaknya rambu- rambu yang

harus dipatuhi oleh para pihak yang akan membuat kontrak. Sindiran ini sebenarnya

merupakan tengara matinya kebebasan berkontrak sebagaimana telah diungkapkan

oleh Grant Gilmore dalam bukunya The Death of Contract.56

Sedangkan pembatasan terhadap kebebasan berkontrak oleh kelompok

masyarakat tertentu pada umumnya dituangkan dalam bentuk perjanjian baku, di

mana suatu fihak telah menyusun isi perjanjian, dan fihak lain yang akan masuk

dalam perjanjian tinggal memiliki dua pilihan, yaitu menyetujui (take it) atau tidak

menyetujui dan kemudian meninggalkannya (leave it). Pada tataran praksis,

perjanjian baku dipersiapkan oleh mereka yang secara ekonomi memiliki posisi

dominan.57

b. Asas kekuatan mengikat (Pacta Sunt Servanda).

Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUHPerdata, pada dasarnya setiap

kontrak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,


54
Marzuki Mahmud P., dkk., “Dinamika Hukum Kontrak,” Universitas Kristen Satya Wacana, Cet.
Pertama, Maret 2013. Hlm. 34.
55
Simamora Sogar, op. cit.
56
Marzuki Mahmud P., dkk. Op., Cit.
57
Ibid.

49
tidak boleh di ubah dengan jalan dan cara apapun, kecuali atas persetujuan kedua

belah pihak. Kekuatan mengikat kontrak ini dimulai sejak saat dipenuhinya syarat

sahnya kontrak berarti sejak saat itu pihak-pihak harus memenuhi apa yang

diperjanjikan.58

Mengikat sebagai undang-undang berarti pelanggaran terhadap kontrak tersebut

berakibat hukum sama dengan melanggar undang-undang.59 Demi kepastian hukum,

Pacta Sunt Servanda tidak dapat berubah kecuali kalau ada resiko perdagangan yang

merupakan “act of God” (keadaan memaksa) atau kalau di tanggung oleh salah satu

pihak.

c. Asas itikad baik.

Setiap orang yang membuat suatu kontrak harus dilaksanakan dengan itikad

baik. Itikad baik dapat dibedakan antara itikad baik subjektif dengan itikad baik yang

objektif.60 Itikad baik subjektif adalah kejujuran seseorang yang terletak pada sikap

batin pada waktu mengadakan perbuatan hukum. sedangkan itikad baik objektif

adalah terletak pada norma atau kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dan patut

dalam masyarakat.

Pelaksanaan kontrak merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak

sesuai dengan klausula yang telah disepakati dalam kontrak. Fungsi itikad baik dalam

tahap ini terutama menyangkut fungsi membatasi dan meniadakan kewajiban

58
Juaji Sumardi, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1995, hal. 42
59
Ibid, hal 42
60
Ibid, hal 19

50
kontraktual. Fungsi ini tidak boleh dijalankan begitu saja, melainkan hanya apabila

terdapat alasan yang amat penting. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan apabila

suatu klausula tidak dapat diterima karena tidak adil.61 Para pihak memang bebas

dalam menentukan hak dan kewajiban kontraktual tetapi otonomi mereka dibatasi.62

Itikad baik bahkan juga mempunyai fungsi menambah kewajiban kontraktual.

Dengan demikian terdapat tiga fungsi itikad baik dalam hubungan kontraktual. Tiga

fungsi ini berikut ketentuan tentang kewajiban untuk menafsir isi kontrak berdasar

itikad baik telah diatur dalam NBW sebagaimana dikemukakan oleh Hartkamp:

The principle of bonafides or good faith has three functions. First


all contracts must be interpreted according to good faith. Second,
good faith has a “supplementing function”: supplementary rights
and duties, not expressly provided for in the agreement or in statue
law, may arise between the parties. Third, it has a “derogating”or
“restrictive” function, expressed in article 6: 248 paragraph 2,
stating that a rule binding upon the parties does not apply to the
extend that, in the given circumstances, this would be unacceptable
according to criteria of reasonableness and equity. 63

d. Asas konsensualitas (kesepakatan).

Suatu kontrak timbul apabila telah ada consensus atau persesuaian kehendak

antara para pihak64, maksud dari asas ini adalah bahwa suatu kontrak hanya cukup

ada satu kata sepakat dari mereka yang membuat kontrak itu tanpa diikuti dengan

perbuatan hukum lain kecuali kontrak yang bersifat formil.

61
P.L. Wery, Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Netherland, Percetakan Negara RI.
Jakarta, 1990, h. 15.
62
Daniel Friedman, “Good Faith and Remedies for Breach of Contract”, dalam Good Faith and Fault
in Contract Law, Jack Beatson and Daniel Friedman (ed.), Clarendon Press. Oxford, 1995, p. 401- 402
63
Arthur S. Hartkamp, “Judicial Discretion Under the New Civil Code of the Netherlands”, the
American Journal of Comparative Law, vol. 40, Summer 1992, p. 569-570. (Arthur S. Hartkamp II)
64
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 5.

51
5. Fungsi Kontrak.

Mark Zimmerman, mengemukakan bahwa fungsi kontrak, kontrak adalah

dokumen hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban


dari para pihak yang membuatnya. Apabila terjadi perselisihan
mengenai pelaksanaan perjanjian di antara para pihak, dokumen
itu akan dirujuk untuk penyelesaian itu. Apabila perselisihan tidak
dapat diselesaikan dengan mudah melalui perundingan di antara
para pihak sendiri, mereka akan menyelesaikan melalui proses
litigasi. Isi kontrak itu yang akan dijadikan dasar bagi hakim untuk
menyelesaikan pertikaian itu.65
Fungsi kontrak terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu sebagai berikut :

a. Fungsi yuridis kontrak adalah dapat memberikan kepastian hukum bagi para

pihak.

b. Fungsi ekonomi kontrak adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai

penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.66

C. Karakteristik Kontrak Pemerintah

Dalam berbagai kepustakaan, government contract pada umumnya dipahami

sebagai kontrak yang di dalamnya pemerintah terlibat sebagai pihak dan objeknya

adalah pengadaan barang dan jasa. Government contract demikian diberi makna sama

dengan procurement contract.67 Ke dalam bahasa Indonesia, government contract ada

yang menterjemahkan menjadi “perjanjian dengan pemerintah”, 68 “perjanjian dengan

65
Salim HS, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak ( Memorandum of
Understanding ), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal 23- 24.
66
Ibid, hal 23.
67
Colin Turpin, Government Contracts, Penguin Books, harmonds, 1972, p. 468.
68
Mariam Darus Badrulzaman, “Perjanjian Dengan Pemerintah (Government Contract)”, dalam
Hukum Kontrak Di Indonesia, Proyek Elips, Jakarta, 1998, h. 159.

52
penguasa”69 atau “kontrak yang diadakan oleh pemerintah.” 70 Istilah government

contract menurut Sogar Simamora,71 menjadi tepat bila diterjemahkan menjadi

“kontrak pemerintah” tanpa kata “dengan” atau “oleh”. Kata “dengan/ oleh”

dimaksudkan sebagai penekanan terhadap kedudukan pemerintah sebagai subjek

dalam kontrak (kontraktan), tetapi ini berlebihan. Secara universal dipahami bahwa

dalam “government contract” memang pemerintah dilihat sebagai subjek dan untuk

itu tidak lazim istilah “contract by government”. Oleh sebab itu lebih tepat kalau

“government contract” cukup diterjemahkan menjadi kontrak pemerintah. 72

Dalam konteks kontrak yang dibuat oleh pemerintah, termasuk di dalamnya

kontrak pengadaan, prinsip ini mempunyai fungsi yang sangat penting.

Kontraktualisasi merupakan fenomena atas tindakan pemerintah dengan sektor

privat.73 namun demikian hubungan hukum yang dibentuk melalui sarana kontrak itu

sering menimbulkan bias karena tindakan administrasi dalam banyak hal bertumpu

pada hukum publik.74

Sebagai konsekuensi pemanfaatan instrumen hukum perdata oleh pemerintah,

khususnya Hukum Kontrak, dalam pengelolaan urusan pemerintahan yang lazim

disebut sebagai kontraktualisasi, terjadi percampuran antara elemen privat dan publik

69
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Perutangan Bagian B), Seleksi hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1980, h. 9.
70
Soebagijo Soemodihardjo, Kontrak- Kontrak yang Diadakan Oleh Pemerintah (Government
Contract), Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta, 1994, h. 39.
71
Simamora Sogar, op. cit, h. 42.
72
Hugh Collins, Regulating Contracts, Oxford University Press, London, 1999, p. 3.
73
Camille Jauffret- Spinosi, “The Domain of Contract (French Report)”, dalam Harris, Donald and
Tallon, Denis (ed.), Contract Law Today (Anglo- French Comparison), Clarendon Press, Oxford,
1989, p. 149- 150
74
Simamora Sogar, Op., Cit, p. 32

53
dalam hubungan kontraktual yang terbentuk.75 Kontrak yang dibuat oleh pemerintah

karenanya mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kontrak privat pada

umumnya. Implikasi adanya percampuran elemen privat dan publik itu tidak saja

mengenai keabsahan dalam pembentukkan kontrak, tetapi juga pada aspek

pelaksanaan serta penegakan hukumnya (enforcement of the contract). Adanya unsur

hukum publik inilah yang menyebabkan aturan dan prinsip hukum dalam kontrak

privat tidak sepenuhnya berlaku bagi kontrak yang dibuat oleh pemerintah. 76

D.Tinjauan Umum Tentang Kontrak Karya

1.Pengertian Kontrak Karya

Istilah Kontrak Karya merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang

pertambangan di luar minyak dan gas bumi, seperti kontrak karya dalam

penambangan batu bara dan pertambangan umum. Istilah kontrak karya merupakan

terjemahan dari kata bahasa Inggris work of contract. Kontrak Karya dalam beberapa

literatur dapat diartikan sebagai kontrak kerja sama modal asing dalam bentuk

kontrak karya, hal tersebut dapat terjadi apabila terjadi penanaman modal asing yang

telah membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan

kerja sama dengan satu badan hukum yang mempergunakan modal nasional.77

Kontrak Karya menurut Adrian Sutedi adalah suatu perjanjian pengusahaan

pertambangan antara pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing

75
Camille Jauffret- Spinosi. Op., Cit.
76
Simamora Sogar, op., cit, Hal. 41. 2017.
77
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hlm. 63

54
dengan Indonesia dan perusahaan swasta nasional untuk melaksanakan usaha

pertambangan diluar minyak dan gas bumi.78 Sedangkan Sri Woelan Aziz

mengartikan kontrak karya adalah merupakan bentuk kerja sama antara pihak asing

dengan badan hukum Indonesia dan badan hukum Indonesia ini bekerja sama dengan

badan hukum Indonesia yang menggunakan modal asing. 79

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa badan hukum asing

yang akan bergerak dalam bidang kontrak karya harus melakukan kerja sama dengan

badan hukum nasional. Namun dalam peraturan perundang- undangan tidak

mewajibkan adanya kerja sama dengan badan hukum Indonesia. Sehingga masih

terdapat beberapa pemahaman yang simpang siur terkait dengan pengertian kontrak

karya.80

Kontrak atau perjanjian dalam konteks KK secara prinsip memberikan sebuah

posisi dominan kepada negara untuk merumuskan berbagai kaidah penuntun untuk

menjadi kontrak-kontrak yang berciri publik, disamping kaidah yang terdapat dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Dilihat dari sudut pandang

pengaturan hukum terhadap monopoli, Pasal 33 UUD 1945 memberikan ruang yang

cukup luas terhadap pengembangan hukum kontrak di satu sisi dan intervensi

pemerintah (negara) di sisi lain. Intervensi pemerintah itu bersumber dari konsep hak

Penguasaan Negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

menguasai hajat hidup orang banyak serta kekayaan sumberdaya alam. Bentuk

78
Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
79
Ibid.
80
Fitria Nur Ngaini., Loc., Cit, hal 62.

55
intervensi melalui peraturan perundang-undangan, peraturan kebijaksanaan termasuk

perumusan peraturan standar mengenai kontrak dan kodifikasi asas-asas hukum

kontrak.81

Kontrak Karya merupakan jalan masuk bagi penanam modal asing ingin

berinvestasi dan melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Dimana pada

saat Kontrak Karya I tahun 1967 dan Kontrak Karya II Tahun 1991 berpedoman pada

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 sehingga setiap Kontrak Kerjasama di bidang

Pertambangan Mineral dan Batubara diwujudkan dalam bentuk Kontrak Karya yang

berdasarkan pada Pasal 10 Ayat (1) Undang- undang Nomor 11 Tahun 1967.17

Kemudian bentuk Perjanjian Kerja Pengusahaan Pertambangan (PKP2B) diatur

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996. Kontrak yang dianut dalam

Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 disini, bukanlah kontrak keperdataan pada

umumnya namun merupakan “Kontrak Publik”. Menurut pendapat Prayudi

Atmosudirjo, bahwa kontrak publik ini merupakan perbuatan hukum publik

(bestuurdad) yang bersegi dua, di mana Pemerintah sebagai pejabat publik

melakukan perjanjian dengan pihak swasta untuk melakukan kegiatan tertentu,

dengan tetap tunduk pada aturan- aturan dalam bidang publik yang juga dibuat oleh

Pemerintah sebagai Pejabat Publik. Hal ini tentunya sangat terkait dengan amanat

Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan konsep penguasaan oleh negara terhadap

sumber daya alam di Indonesia. Tidak mungkin dapat dihilangkan konsep negara

81
Abrar Saleng, Op., Cit.

56
sebagai pemegang hak penguasaan atas sumber daya alam, di dalam pembuatan

kontrak tersebut.82

Perbedaan kontrak karya sebagai kontrak publik dengan kontrak perdata pada

umumnya, terlihat bahwa awal setelah adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk

melakukan kontrak karya, belum dapat langsung membuat kontrak sebelum terlebih

dahulu mendapatkan izin publik yaitu izin menteri. Menteri yang menunjuk

kontraktor untuk dapat melakukan suatu pekerjaan pertambangan sebagaimana

diamanatkan Pasal 10 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967. Sedangkan dalam

kontrak perdata, bila kedua belah pihak sudah sepakat melakukan perjanjian, maka

dapat langsung dibuat perjanjian tanpa menunggu persetujuan. Persetujuan Menteri

adalah sebagai perwujudan dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam, yang

dimandatkan kepada Pemerintah, dalam hal ini kepada Menteri ESDM.83

Selanjutnya dalam mengadakan perjanjian antara Pemerintah dan kontraktor,

juga harus tunduk pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang

diberikan oleh Menteri yang bertindak selaku pejabat publik yang mewakili

Pemerintah. Berarti penuangan isi dari perjanjian pun harus tunduk dengan kebijakan-

kebijakan yang dibuat menteri selaku pejabat publik. Setelah perjanjian disepakati

bersama dan telah ditandatangani, masih ada satu tahap lagi yaitu adanya pengesahan

dari Pemerintah setelah berkonsultasi terlebih dahulu kepada Dewan Perwakilan

82
Arman Nefi dan Irawan Malebra dan Dyah Puspitasari, “Implikasi Keberlakuan Kontrak Karya PT.
Freeport Indonesia Pasca Undang- Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara”, Jurnal Hukum dan Pembangunan 48 No. 1 (2018): 137- 163, Universitas Indonesia. Hlm
143.
83
Ibid, hlm. 145

57
Rakyat. Pengesahan dan konsultasi kepada DPR adalah juga sebagai wujud

implementasi Pasal 33 UUD NRI 1945, di mana rakyatlah sebagai pemilik dari bahan

galian yang ada di wilayah pertambangan Indonesia, maka untuk itu harus juga

mendapatkan rekomendasi dari rakyat.84

Dengan demikian terlihat bahwa, kontrak di bidang pertambangan bukanlah

kontrak perdata pada umumnya sebagaimana disebutkan pada Pasal 1320 KUH

Perdata yang memiliki ciri sebagai berikut:85

1) merupakan kesepakatan kedua belah pihak

2) kedudukan pemerintah dan pengusaha seimbang

3) adanya kebebasan berkontrak

Dengan demikian terdapat perbedaan antara perjanjian yang dituangkan dalam

bentuk Kontrak Karya dengan perjanjian perdata pada umumnya. Posisi Pemerintah

sebagai pemegang hak penguasaan diberi authority untuk mengatur dan mengurus

pengelolaan pertambangan yang pada dasarnya obyek yang diperjanjikan adalah

milik rakyat (Public ownership) bukan obyek perdata pada umum (private goods).86

2. Bentuk Dan Subtansi Kontrak Karya

Bentuk kontrak karya yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan

perusahaan asing atau perusahaan yang akan menjalin kerja sama dengan Pemerintah

Indonesia untuk melakukan kerja sama dalam melakukan kegiatan pertambangan di

84
Ibid.
85
Ibid, hlm 146.
86
Ibid.

58
luar minyak dan gas bumi. Hal yang telah tertuang dalam bentuk tertulis suatu

kontrak karya. Adapun subtansi dari kontrak karya tersebut telah disiapkan oleh

Pemerintah Indonesia yang secara khusus melalui oleh departemen Pertambangan

dengan calon penanam modal tersebut.87

Subtansi kontrak karya menurut Adrian Sutedi terdiri atas:88

1) Tanggal persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya.

2) Subyek Hukum yaitu antara Pemerintah Indonesia dan Penanam Modal.

3) Definisi yaitu yang mencakup tentang berbagai definisi dan pengertian,

seperti pengertian perusahaan affiliasi, perusahaan, subsidair, pengusahaan,

individu asing, mata uang asing, mineral-mineral, penyelidikan umum,

eksplorasi, wilayah pertambangan, pemerintah, menteri, rupiah, mineral

ikutan, penambangan, pemanfaatan lingkungan hidup, pencemaran, kotoran,

clan wilayah proyek. Penggambaran definisi ini dimaksudkan untuk

mempermudah para pihak dalam melakukan penafsiran substansi kontrak clan

mempermudah penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. 89

4) Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan.

5) Modus operandi yaitu memuat tentang kedudukan perusahaan , yurisdiksi

pengadilan, kewajiban perusahaan dalam menyusun program, Kontrak dengan

Perusahaan jasa-jasa teknis, manajemen, serta administrasi.9088

87
Fitria Nur Ngaini., Op., Cit, hal 62
88
Adrian Sutedi, Op., Cit, hal 224
89
Subtansi disesuaikan dengan contoh Kontrak Karya Pertambangan antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (NTT)
90
Ibid.

59
6) Wilayah kontrak karya.

7) Periode penyelidikan umum.

8) Periode eksplorasi.

9) Laporan dan deposito jaminan (security deposit).

10) Periode studi kelayakan (feasibility studies period).

11) Periode konstruksi.

12) Periode operasi.

13) Pemasaran.

14) Fasilitas umum dan re-ekspor.

15) Pajak-pajak dan lain-lain kewajiban keuangan perusahaan.

16) Pelaporan, inspeksi, dan rencana kerja.

17) Hak-hak khusus Pemerintah.

18) Ketentuan-ketentuan kemudahan.

19) Keadaan memaksa (force majeure).

20) Kelalaian (default).

21) Penyelesaian sengketa.

22) Pengakhiran kontrak.

23) Kerja sama para pihak.

24) Promosi kepentingan nasional.

25) Kerja sama daerah dalam pengadaan prasarana tambahan.

26) Pengelolaan dan perlindungan lingkungan.

27) Pengembangan kegiatan usaha setempat.

28) Ketentuan lain-lain.

60
29) Pengalihan hak.

30) Pembiayaan.

31) Jangka waktu (Kontrak Karya).

32) Pilihan hukum.

Secara keseluruhan subtansi dari Kontrak Karya ditentukan oleh kedua belah

pihak. Sedangkan pemerintah daerah tidak turut serta dalam perumusan subtansi

tersebut. Hal ini terjadi karena sistem pemerintah bersifat sentralistik. Di mana segala

sesuatunya ditentukan oleh pemerintah pusat. Sehingga pada waktu itu segala

ketentuan subtansi terkait dengan kontrak karya dikuasai oleh pemerintah Indonesia

(Pemerintah Pusat). Walaupun secara lokasi wilayah pertambangan dikuasai oleh

daerah akan tetapi peraturan dan segala sesuatunya dikuasai oleh pemerintah pusat. 91

3. Subyek Dan Obyek Kontrak Karya

Unsur yang tidak boleh tertinggal dalam kontrak karya adalah adanya subyek

dan obyek yang jelas. Subyek hukum merupakan para pihak yang terlibat langsung

dalam kontrak karya. Khusus subyek kontrak karya terkait dengan Pemerintah

Indonesia di wakili oleh Menteri Pertambangan dan Energi yang telah bekerja sama

dengan pihak asing atau gabungan antara pihak asing dan domestik. Sedangkan

Obyek dalam kontrak karya adalah perjanjian-perjanjian dibidang pertambangan

diluar minyak dan gas bumi.92

4. Kelemahan Kontrak Karya

91
Fitria Nur Ngaini., Op., Cit, hal 64
92
Salim H.S, op. cit, 2006, hlm. 81

61
Salah satu kelemahan dalam pengelolaan pertambangan dengan model Kontrak

Karya (contract of work) adalah munculnya pandangan bahwa antara negara dengan

perusahaan atau badan usaha yang merupakan pihak dalam membuat perjanjian,

berposisi sejajar. Kesetaraan itu karena hubungan hukum tersebut semata-mata dilihat

dari perspektif hukum kontrak, yang berjalan pada pijakan bahwa masing-masing

pihak dalam membentuk kesepakatan tidak ada yang lebih rendah atau yang lebih

tinggi. Dengan posisi yang sejajar itu, pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk

mengontrol produksi dan setiap perselisihan yang terjadi, umumnya korporasi asing

memilih diselesaikan melalui badan arbitrase internasional.93

Namun, banyak yang berpendapat juga bahwa kedudukan para pihak di dalam

Kontrak Karya tidak seimbang, dengan posisi Pemerintah Indonesia yang lebih lemah

dalam merundingkan kerangka investasi asing di industri pertambangan.94

Dalam pelaksanaannya, pengusahaan pertambangan mineral dengan

menggunakan pola Kontrak Karya banyak menuai kritik karena dianggap sangat

merugikan Indonesia. Disamping banyaknya ketentuan yang seharusnya menjadi

tanggung jawab perusahaan pertambangan tidak dicantumkan dalam Kontrak Karya,

juga terdapat beberapa kewajiban yang tidak diatur secara jelas dan rinci. Pemerintah

juga dianggap memberikan kewajiban yang terlalu ringan dan cenderung lebih

menggantungkan pihak kontraktor.95

93
Imron Ali. ‘’Jurnal Cakrawala Hukum, Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.’’ Vol.18,
No.2 Desember 2013, hlm. 105
94
Trihastuti, Nanik, op, cit. hlm. 5, 2013
95
Ibid, hlm 103.

62
Kontrak Karya yang dilakukan PT Freeport Indonesia dilandasi dengan klausul

yang disebut stabilization clauses, menyebabkan posisi pemerintah Indonesia

tersudutkan dan sama sekali tidak menguntungkan pihak Indonesia, dalam kasus

Freeport tersebut tampak jelas bahwa era kontrak karya tidaklah sesuai kepentingan

rakyat banyak. Hal tersebut tentu bertentangan dengan norma dasar yang tercantum

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sekaligus tidak sesuai dengan keinginan

masyarakat. Kontrak Karya dalam kondisi saat ini tentu tidak sesuai lagi dengan

kebutuhan masyarakat, oleh karenanya dalam aturan yang terdapat dalam UU

Minerba tahun 2009 harusnya mempertegas tidak diberlakukanya sistem kontrak

karya.96

E. Kewenangan Negara Dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral

Dan Batubara

Kewenangan negara dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara

merupakan hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk melakukan penataan,

pemanfaatan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian terhadap kegiatan

pertambangan mineral dan batubara. Yang diberikan kewenangan untuk mengelola

pertambangan mineral dan batubara adalah pemerintah, pemerintah provinsi, dan

pemerintah kabupaten/ kota.97

96
Arifin Ma’ruf, “Problematika Stabilization Clauses dalam Kontrak Karya PT Freeport Indonesia
Dan Kewajiban Membangun Smelter Pasca Putusan MK No 10/PUU-XII/2014”, Supremasi Hukum,
Vol 5, No 1, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Juni 2016.
97
Salim HS. op. cit, 2014, hlm 62

63
Dalam Pasal 6 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara telah ditentukan dua puluh satu kewenangan dari pemerintah

dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Keduapuluh satu

kewenangan itu, meliputi:98

1. Penetapan kebijakan nasional;

2. Pembuatan peraturan perundang- undangan;

3. Penetapan standar nasional, pedoman,dan kriteria;

4. Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;

5. Penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah

daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat republik

Indonesia;

6. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/ atau wilayah

laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

7. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada

lintas wilayah provinsi dan/ atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil

dari garis pantai;

8. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak

98
Ibid.

64
lingkungan langsung lintas provinsi dan/ atau dalam wilayah laut lebih dari 12

(dua belas) mil dari garis pantai;

9. Pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;

10. Pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah

daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak

menerapkan kaidah pertambangan yang baik;

11. Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;

12. Penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;

13. Perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha

pertambangan mineral dan batubara;

14. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan

minerba yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;

15. Pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang

pertambangan;

16. Penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam

rangka memperoleh data dan informasi minerba sebagai bahan penyusunan

WUP dan WPN;

17. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumberdaya minerba, serta

informasi pertambangan pada tingkat nasional;

18. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang;

19. Penyusunan neraca sumber daya minerba tingkat nasional;

20. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan;

dan

65
21. Peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah, pemerintah provinsi, dan

pemerintah kabupaten/ kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha

pertambangan.

F. Imunitas Negara

Berdasarkan doktrin imunitas negara restriktif (the Doctrine of restrictive state

immunity), pada dasarnya negara memiliki kekebalan dari jurisdiksi pengadilan hanya

untuk kasus atau sengketa tertentu saja. Dalam hal ini, tindakan negara dapat

digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu Pertama “jure imperii”, yaitu tindakan-

tindakan negara berkaitan dengan kedaulatan negara semata- mata (Government acts)

dan, Kedua, “jure gestiones”, yaitu tindakan- tindakan negara di bidang komersial

(Commercial acts)99

Dalam hukum internasional, terdapat sedikitnya 4 kriteria untuk menentukan

apakah suatu tindakan atau perbuatan negara adalah “jure imperii” atau “jure

gestiones”, yaitu:100

1) Maksud dari suatu tindakan (purpose of the act), dimana untuk

mengklasifikasikan tindakan suatu negara cukup melihat maksud dari tindakan

tersebut.

99
Huala Adolf, “Aspek- Aspek Negara Dalam Hukum Internasional”, Edisi Revisi, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 197- 198.
100
Ibid. hlm. 199- 202.

66
2) Sifat dari suatu tindakan (nature of the act), dimana untuk menentukan apakah

suatu tindakan negara tersebut adalah komersial atau bukan cukup melihat sifat

tindakan.

3) Pokok persoalan (subject matter of the act), yaitu dengan cara menentukan

tindakan suatu negara adalah dengan melihat berbagai bentuk atau tipe dari

tindakan negara.

4) Pengujian dua tahap, yaitu dengan menggunakan pendekatan kontekstual (the

two- stage test: a contextual approach)

Di Indonesia tidak ada ketentuan khusus yang mengatur immunitas bagi negara

lain. Hanya “imunitas” internal yang dikenal yaitu imunitas bagi negara sendiri

seperti yang secara implisit dapat ditarik dari ketentuan dalam Pasal 65 dan 66 ICW

yang kemudian diperbarui dengan Pasal 50 UU No. 1/ 2004.101

Beberapa hal yang perlu dipahami lebih dahulu dalam konstruksi hukum

kontrak ini adalah: Pertama, pihak Kontraktor (PTFI) dan Pemerintah dalam Kontrak

Karya ini statusnya adalah seimbang sederajat dalam pemenuhan hak-hak dan

kewajiban para pihak, sesuai dengan yang telah disepakati. Kedudukan Pemerintah

dalam hal ini adalah bertindak sebagai pihak biasa yang melaksanakan aktivitas

komersial (jure gestiones). Termasuk di dalam hal ini adalah apabila ada sengketa

baik karena penafsiran Kontrak, atau satu pihak merasa pihak lainnya wan prestasi

atau tidak memenuhi kewajiban kontrak, maka mereka tunduk kepada forum dan

mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati. Dalam kontrak Freeport,

101
Simamora Sogar, Op., Cit. p. 79.

67
mekanisme penyelesaian sengketa adalah secara arbitrase, dengan forum

penyelesaian sengketa di UNCITRAL Arbitration Rules.102

Kedua, Kedudukan Pemerintah sebagai Pemerintah Negara Berdaulat dalam

hukum Internasional dikenal dengan jure imperii. Pemerintah adalah subjek hukum

yang sempurna, karena itu dalam melaksanakan kedaulatan (sovereignty) nya tidak

terikat dan dibatasi oleh hukum kontrak.103

Implementasi kedua hal di atas adalah bahwa hubungan antara Pemerintah

dengan PTFI tidak mengakibatkan hilangnya kedaulatan Pemerintah Indonesia dalam

menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Pemerintah untuk kepentingan umum.

Pada salah satu pasal Kontrak Karya, disebut bahwa PTFI berhak untuk mengajukan

perpanjangan berturut- turut dua kali 10 tahun, tergantung kepada (subject to)

persetujuan Pemerintah. Persetujuan Pemerintah tidak boleh ditahan (ditunda) tanpa

alasan (shall not unreasonably with hold). Permohonan Perusahaan (PTFI) dapat

dilakukan sewaktu-waktu, termasuk ketika Kontrak belum berakhir.104

Klausula tentang pelepasan hak atas kekebalan negara pada intinya

merumuskan bahwa para pihak setuju bahwa perjanjian yang dibuat merupakan

tindakan perdata dan komersial, bukan merupakan tindakan pemerintah. Disetujui

pula bahwa dalam hal ada proses hukum yang diajukan terhadap masing- masing

pihak atau aset- asetnya yang berhubungan dengan perjanjian, tidak akan ada

102
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/freeport-dimensi-kontraktual-versus-kebijakan-
publik, diakses pada tanggal 24 April 2020.
103
Ibid.
104
Ibid.

68
kekebalan.105 Dalam perspektif hukum Indonesia klausula semacam ini batal demi

hukum (nietig van rechswege) sebab bertentangan dengan Pasal 1337 BW. Kontrak

yang memuat klausula pelepasan hak atas kekebalan negara dari tuntutan, termasuk

penyitaan atas aset negara, bertentangan dengan aturan memaksa (mandatory rules)

yang terdapat dalam undang- undang, dalam hal ini Pasal 50 UU No. 1/ 2004.

Dengan demikian sekalipun di dalam kontrak diatur klausula pelepasan hak atas

kekebalan negara, klausula ini tidak ada kekuatan hukumnya sepanjang kontrak

ditundukkan pada sistem hukum Indonesia. 106

Dari uraian tersebut di atas nampak bahwa implikasi larangan sita atas aset

negara dalam kaitan dengan kontrak pemerintah yang dibuat dan tunduk pada hukum

Indonesia maka secara substansial pemerintah kebal atas tuntutan di muka hakim.

Konsekuensi ini berlaku pula sekalipun terdapat klausula pelepasan hak atas

kekebalan negara. Tetapi apabila dalam kontrak yang dimaksud terdapat klausula

governing law yang menunjuk sistem hukum negara lain, aturan bahwa pemerintah

sebagai kontraktan kebal dari tuntutan dapat disampingi dengan mengatur klausula

pengesampingan (waiver) yang menghapuskan hak bagi negara untuk menyatakan

dirinya kebal.107

105
Klausula “Melepaskan Hak Kekebalan” dalam Pasal 15.8 Perjanjian Jual Beli Enerji antara PT.
PLN (Persero) dan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara dan Karaha Bodas
Company, L.L.C.
106
Simamora Sogar, Op., Cit. p. 80.
107
Ibid.

69
Menurut Ivar Alvik di dalam bukunya yang berjudul Contracting with

Sovereignty: State Contracts and International Arbitration, kedaulatan sebuah negara

memiliki ciri- ciri sebagai berikut:

Sovereignty denotes the central characteristic of the international


legal order, namely the independence of states from central
authority, and the consequent repository of legal authority in
individual states.108 Sovereignty signifies several functions, it being
the denominator of respectively the ability of a state to commit itself
to international obligations and create international law, the
characteristic of the state as a subject of international law, and its
function of constituting a government and the authority over a
distinct territory and people.109
Sebenarnya, tanpa dipertegas dengan adanya perubahan kontrak menjadi izin,

pemerintah memiliki posisi tawar lebih tinggi terhadap kontraktor karena pemerintah

adalah penguasa. Hal ini berkaitan erat dengan adanya kedaulatan suatu bangsa, yang

merupakan karakteristik utama dari sistem hukum internasional. Kedaulatan

mempunyai beberapa fungsi, yaitu: Pertama, sebagai penunjuk kemampuan sebuah

negara untuk menjalankan kewajiban internasional dan menciptakan hukum

internasionalnya sendiri. Kedua, karakteristik negara sebagai subyek hukum

internasional. Ketiga, memberi kuasa kepada pemerintah serta wewenang atas

wilayah dan masyarakat di tempat khusus.110

Prinsip hukum yang patut diperhatikan dalam kontrak komersial oleh

pemerintah adalah: pertama, sekalipun kontrak pemerintah merupakan kontrak privat,

kedudukan pemerintah sebagai kotraktan membawa implikasi adanya larangan sita.

108
Brownlie, Principles of International Law (Oxford University Press, Oxford, 2003) p. 287.
109
Alvik Ivar, op, cit.
110
Ibid.

70
Dengan demikian sekalipun pemerintah tidak kebal dari gugatan tetapi pemerintah

sebagai tergugat mempunyai kedudukan istimewa karena kepadanya tidak dapat

dilakukan eksekusi riil pada fase pelaksanaan putusan.111

G. Tinjauan Umum Tentang Perizinan

1. Sistem Perizinan

Perizinan diistilahkan dengan licence, permit (Inggris); vergunning (Belanda).

Izin hanya merupakan otoritas dan monopoli pemerintah. Tidak ada lembaga lain di

luar pemerintah yang bisa memberikan izin pengelolaan pertambangan, dan ini

berkaitan dengan prinsip kekuasaan Negara atas semua sumber daya alam demi

kepentingan hajat hidup orang banyak.112

Izin merupakan salah satu alat yang digunakan pemerintah untuk mencapai

kemakmuran sebagai tujuan dari negara kesejahteraan pada umumnya.113 Lemaire

dalam bukunya Het Recht in Indonesia, menyatakan bahwa negara

menyelenggarakan bestuurszorg, yakni penyelenggaraan kesejahteraan umum yang

dilakukan oleh pemerintah. Bestuurszorg merupakan salah satu tugas dari pemerintah

yakni welfare state yaitu negara hukum modern yang memperhatikan kepentingan

seluruh rakyat melalui pengendalian langsung.

111
Simamora Sogar, Op., Cit. p. 82.
112
Helmi, “ Hukum Perizinan Lingkungan Hidup”, Sinar Grafika, cet. 1, Jakarta, 2012. Hlm. 26.
113
E. Utrecht, pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung : FH Universitas
Padjajaran, 1960), hlm. 23.

71
Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis prefentif, dan digunakan

sebagai instrumen administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Oleh

karena itu, sifat suatu izin adalah preventif, karena dalam instrumen izin, tidak bisa

dilepaskan dengan perintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemegang izin.114

Selain itu, fungsi izin adalah represif. Izin dapat berfungsi sebagai instrumen untuk

menanggulangi masalah yang mungkin dapat terjadi, yang disebabkan oleh aktivitas

manusia yang melekat dengan dasar perizinan. Artinya, suatu perusahaan yang

memperoleh izin untuk melakukan aktivitas pertambangan, dibebani kewajiban untuk

melakukan kegiatan pertambangan sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh

Undang- Undang, yaitu untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia serta

tidak merugikan kekayaan bumi pertiwi.

Sebagai bagian dari keputusan pemerintah, maka perizinan adalah tindakan

hukum pemerintah berdasarkan kewenangan publik yang membolehkan atau

memperkenankan menurut hukum bagi seseorang atau badan hukum untuk

melakukan sesuatu kegiatan.115 Instrumen perizinan diperlukan pemerintah untuk

mengkonkretkan wewenang pemerintah. Tindakan ini dilakukan melalui penerbitan

keputusan tata usaha negara.116

Izin dapat dikatakan sebagai landasan hukum. Dapat dipahami, kegiatan

tertentu memang tidak dapat dilakukan oleh warga masyarakat tanpa izin dari organ

pemerintah yang berwenang. Kenyataan tersebut dapat dimengerti karena berbagai

114
N. H. T Siahaan, “Hukum Lingkungan”, Pancuran Alam. Jakarta, 2009, hlm. 44.
115
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, “Tata Perizinan Pada Era Otonomi Daerah”,
Makalah, Surabaya, November 2001, hlm.1.
116
Helmi. Op., Cit, hlm. 28- 29.

72
hal sering kali terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemohon izin. Izin

menjadi alas hukum bagi pelaku kegiatan dapat memulai kegiatan tersebut. Hak dan

kewajiban pemohon izin berkaitan dengan kegiatan setelah ada izin. Tanpa izin, suatu

pihak tidak dapat melakukan usaha atau kegiatan. Kalau tetap saja dilakukan, dapat

dikatakan bahwa kegiatan itu melanggar hukum.117

Mengacu kepada pendapat Van der Pot sebagaimana dikutip oleh Hagenaars

Dankers menjelaskan bahwa bentuk izin (vergunning) adalah keputusan (beschikking)

yang diberikan pada suatu kegiatan (aktivitas) berdasarkan peraturan perundang-

undangan (algemene verbindende voorschrifen) yang mengharuskan prosedur tertentu

guna pelaksanaan aktivitas dimaksud.118 Pada umumnya aktivitas dimaksud tidak

dilarang namun secara prosedural mengharuskan prosedur administratif, tanpa izin

aktivitas dari padanya dilarang.119

Izin merupakan suatu bentuk penetapan (beschikking), di mana menurut

Prayudi Atmosudirdjo diartikan bahwa: “Ketetapan adalah suatu perbuatan hukum

sepihak yang bersifat administrasi negara, yang dilakukan oleh suatu instansi atau

badan pemerintah (penguasa) yang berwenang dan berwajib khusus untuk itu.” 120

117
Helmi. Op., Cit, hlm. 86.
118
E. Utrecht, Op., Cit.
119
Alfiandri Reza M., “Tinjauan Yuridis Pengalihan Izin Usaha Pertambangan Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral Dan Batubara,” FH Universitas Indonesia, Depok,
Januari 2012.
120
Prayudi Atmosudirdjo, “Hukum Administrasi Negara,” cetakan 10 (Jakarta: Ghalian Indonesia,
1995), hlm. 50.

73
Adapun izin yang termasuk dalam bentuk ketetapan mempunyai empat unsur di

dalamnya:121

a. Adanya perbuatan hukum: sebagai perbuatan hukum, maka ketetapan melahirkan

hak dan kewajiban bagi pihak tertentu

b. Bersifat sebelah pihak: ketetapan merupakan perbuatan sebelah pihak yang

berdasarkan hukum publik (Publiekrechtelijk), jadi tetap mengikat masyarakat.

Berarti perbuatannya mencerminkan kehendak satu pihak saja, yaitu pihak

pemerintah yang mempunyai wewenang, sehingga walaupun bersifat sebelah

pihak tetapi tetap mengikat umum.

c. Dalam lapangan pemerintahan: yang membuat ketetapan dan yang melaksanakan

peraturan adalah fungsi dari pemerintah yang dilakukan oleh badan pemerintah

(eksekutif), bukan oleh peradilan (yudikatif) atau bukan juga oleh pembuat

peraturan perundang- undangan (legislatif). Dengan perkataan lain, ketetapan

adalah perbuatan pemerintah (overhied) yang khusus berada dalam lapangan

pemerintahan yang dilakukan oleh organ- organ atau badan- badan pemerintah

(bestuur).

d. Berdasarkan kekuasaan khusus: kekuasaan khusus adalah kekuasaan yang

diperoleh dari undang- undang yang diberikan khusus kepada pemerintah saja dan

tidak diberikan kepada badan- badan lainnya (legislatif dan yudikatif).

121
Safri Nugraha, dkk. Hukum Administrasi Negara. (Depok: Penerbit fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2009)

74
Izin sebagai keputusan yang merupakan instrumen perlindungan kepentingan,

baik itu kepentingan pemohon, kepentingan pemerintah, maupun kepentingan lain. 122

Dapat dimengerti, izin digunakan untuk melindungi kepentingan pemegang izin

karena untuk diizinkan melakukan kegiatan tertentu sering kali tidak lepas dari

kewajiban pemenuhan persyaratan yang di dalamnya termasuk serangkaian

pengujian. Apabila pemohon diberikan izin maka kegiatan itu telah teruji sehingga

dapat dilaksanakan dengan baik. Izin juga dapat dikatakan melindungi kepentingan

pemerintah karena dalam izin seringkali ada beberapa klausul yang memungkinkan

pemerintah mengambil tindakan apabila izin dilanggar. 123

Selain pengertian izin yang diberikan oleh beberapa sarjana di atas, ada

pengertian izin yang dimuat dalam peraturan yang berlaku, misalnya dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata

Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Izin sebagai dokumen yang

dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau

diperbolehkan seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu.124

122
Ten Berge, Y. Sri Pudyatmoko, dalam Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Grasindo,
Jakarta, 2009, hlm. 11.
123
Helmi. Op., Cit.
124
Nugroho Agus, “Perizinan Dalam Kerangka Negara Hukum Demokratis,” Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, Jurnal Hukum.

75
H. Tinjauan Umum Tentang Izin Usaha Pertambangan

1. Pengertian Izin Usaha Pertambangan

Pada dasarnya, kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh orang atau

masyarakat atau badan hukum atau badan usaha, dapat diklasifikasi menjadi dua

macam, yaitu:

1. Illegal mining

2. Legal mining

Illegal mining merupakan kegiatan yang dilakukan oleh orang atau masyarakat

tanpa adanya izin dari pejabat yang berwenang. Legal mining merupakan kegiatan

pertambangan yang dilakukan oleh badan usaha atau badan hukum didasarkan pada

izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Salah satu bentuk izin itu, yaitu

izin usaha pertambangan (IUP).125 Istilah izin usaha pertambangan berasal dari

terjemahan bahasa Inggris, yaitu mining permit. Izin usaha pertambangan (IUP)

merupakan: “Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.” 126

Apabila definisi ini dianalisis, maka ada 2 unsur yang paling penting pada IUP,

yaitu:

1. Adanya izin

2. Usaha pertambangan

125
Salim HS., 2010, op, cit, hlm 108.
126
Pasal 1 angka 7 Undang- Undang Nomor 4, op, cit.

76
Izin adalah suatu pernyataan atau persetujuan yang membolehkan pemegangnya

untuk melakukan usaha pertambangan. Usaha pertambangan atau mining business

merupakan: “Kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral dan batubara yang

meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan (feasibility

study), konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan

penjualan, serta kegiatan pasca tambang.” 127

Ada delapan tahap kegiatan perusahaan mineral dan batubara. Kedelapan

tahapan itu, meliputi:

1. Penyelidikan umum

2. Eksplorasi

3. Studi Kelayakan (feasibility study)

4. Konstruksi

5. Penambangan

6. Pengolahan dan pemurnian

7. Pengangkutan dan penjualan

8. Kegiatan pasca tambang

127
Pasal 1 angka 6 Undang- Undang nomor 4, op, cit.

77
2. Dasar Hukum Izin Usaha Pertambangan

Izin Usaha Pertambangan (IUP) diatur dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun

2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang- undang ini dijabarkan

lebih lanjut dalam:128

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang

Wilayah Pertambangan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan

Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan

Batubara.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2010 tentang Reklamasi dan

Pascatambang.

Isi dari ketiga ketentuan itu didominasi oleh ketentuan- ketentuan yang

berkaitan dengan IUP.

I. Pengertian Izin Usaha Pertambangan Khusus

Sistem pengelolaan mineral dan batubara di Indonesia saat ini bersifat

pluralistik karena berlakunya beraneka ragam kontrak atau izin pertambangan, baik

yang berlaku sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 maupun

sesudah ditetapkan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009. Sistem pengelolaan

128
Salim HS. Op. Cit, 2014, hlm 159.

78
mineral dan batubara yang berlaku saat ini, meliputi: kontrak karya, perjanjian karya

pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), izin pertambangan rakyat, kuasa

pertambangan (KP), IUP dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Istilah izin

usaha pertambangan khusus (IUPK) berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu

special mining permit atau special mining license, sedangkan dalam bahasa Belanda

disebut dengan istilah speciale mijnbouwlicentie atau speciale mijnbouwlicentie.

Dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah besondere bergbau. Izin Usaha

Pertambangan Khusus (IUPK) merupakan:129 “Izin untuk melaksanakan usaha

pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.”

Definisi IUPK di atas, tidak jelas karena tidak nampak subjek dan ciri khusus

dari IUPK itu sendiri. Subjek hukum yang dimaksud di sini, yaitu pejabat yang

menerbitkan IUPK dan pemegang IUPK. Dalam definisi ini juga tidak nampak apa

yang dimaksud dengan izin khusus tersebut. Sehingga definisi di atas perlu

disempurnakan dan dilengkapi. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

merupakan:130 “izin yang diberikan oleh penerbit izin kepada pemegang IUPK untuk

melakukan usaha pertambangan di wilayah IUPK sesuai dengan jangka waktu yang

telah ditentukan dalam undang- undang.”

Dalam definisi ini telah nampak subjek, objeknya, dan jangka waktu

berlakunya IUPK. Subjek IUPK, yaitu penerbit izin dan pemegang izin. Yang

129
Salim HS., Op., Cit, 2014, hlm 156
130
Ibid, hlm 157.

79
berwenang menerbitkan IUPK hanya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,

sedangkan yang dapat mengajukan permohonan IUPK, yaitu:

1. Badan usaha milik Negara (BUMN)

2. Badan usaha milik daerah (BUMD)

3. Badan usaha swasta (BUS)

Secara umum, Undang-undang Minerba yang baru memuat pokok- pokok

sebagai berikut:131

1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh

negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh

Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.

2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang

berbadan hukum Indonesia khususnya pengusaha lokal, koperasi, perseorangan,

BUMN, BUMD, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan

mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah,

diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya masing-masing.

3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan

pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan

pemerintah daerah.

131
Silalahi Daud Dan Kristianto P.H., “Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia Pasca
Undang- Undang Minerba No. 40 Tahun 2009”, Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011, FH
UPAD, Bandung; FH Unika Atma Jaya, Jakarta, 2011.

80
4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-

besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan

mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta

mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha

pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip pelestarian

lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Legalitas perusahaan bahan galian menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2009,

secara substansi hanya dalam satu bentuk, yaitu izin usaha, berbeda dengan legalitas

pengusahaan pada saat berlakunya UU No. 11 Tahun 1967, terdiri dari berbagai

macam bentuk, yaitu KP, Kontrak Karya, PKP2B, dan Izin Pertambangan Rakyat

untuk tambang rakyat. Beragam legalitas saat berlakunya UU No. 11 Tahun 1967,

menyebabkan koordinasi, pengawasan, dan pengendalian kurang maksimal karena

setiap legalitas yang dikeluarkan untuk sebuah kegiatan usaha pertambangan

dilaksanakan tidak dalam koordinasi yang baik. Sehingga, seringkali kalau ada

permasalahan di lapangan dari kegiatan usaha pertambangan yang legalitasnya

dikeluarkan pemerintah, Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD atau Dinas Daerah

tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. 132

132
Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, Pustaka Yustisia,Yogyakarta, 2013,
hlm. 85

81
Kelemahan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian pada masa lalu, maka

Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang

berlaku saat ini, memberikan panduan bahwa pengelolaan dan pengusahaan bahan

galian dilakukan secara sistematis sejak dari tata ruang nasional. Proses pelaksanaan

penetapan wilayah pertambangan, wilayah usaha pertambangan atau wilayah usaha

khusus pertambangan dan wilayah pertambangan rakyat, dilakukan dengan

mekanisme yang transparan, akuntabel dengan melibatkan seluruh elemen yaitu

pemerintah pusat/pemerintah daerah, DPR/DPRD, dan masyarakat. 133

Jiwa Undang- Undang No 4 tahun 2009 hendak mengembalikan

kewenangan penguasaan pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara kepada

domain Negara.134 Oleh sebab itu salah satu pokok pikiran yang sangat fundamental,

bahwa siapapun yang melakukan pengusahaan tambang mineral dan batubara adalah

berdasarkan izin.135

J. Tinjauan Umum Tentang Hak Menguasai Negara

1. Pengertian Hak Menguasai Negara

Hak menguasai negara merupakan nama lain dari teori negara kesejahteraan,

teori yang digunakan penulis sebagai alat alanisis dari temuan penelitian terkait

rumusan masalah pada Bab I. Teori ini berhubungan erat dengan rumusan masalah

pada Bab I tentang apakah IUPK lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan

133
Ibid.
134
Imron Ali., Op., Cit., hlm. 105–115
135
Ibid. hlm. 111

82
bagi kedua belah pihak (pemerintah dan kontraktor pertambangan), dibandingkan

dengan KK? Tujuan penguasaan oleh negara (pemerintah) adalah agar kekayaan

nasional dimanfaatkan sebesar- besarnua untuk kemakmuran dan kesejahteraan

seluruh rakyat Indonesia.

Konsep dasar hak menguasai negara terdapat di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD

1945, yang mengatakan bahwa: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar- besar kemakmuran

rakyat”.

Untuk memahami pengertian hak menguasai negara, maka perlu dilakukan

penafsiran secara etimologis terlebih dahulu. Dikuasai oleh negara merupakan

padanan arti negara menguasai atau dikuasai oleh negara. 136

Sebelum amandemen UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) tersebut dijelaskan dalam

penjelasan Pasal 33 alenia 4 bahwa: “bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok bagi kemakmuran rakyat. Sebab itu

harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”.

Kemudian hal tersebut dijelaskan di dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960

tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dalam lembaran negara 1960- 104

atau disebut dengan UUPA).137 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut

136
Abrar Saleng, op, cit, hlm. 21.
137
Muhammad Yamin, Abdul Rahim Lubis, “Hukum Pendaftaran Tanah”, Mandar Maju, Bandung,
2008, hlm. 19.

83
mengisyaratkan bahwa pada hakekatnya negara yang menguasai tanah secara

keseluruhan. Termasuk tambang-tambang yang penting dikuasai oleh negara.138

Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang

dimaksud Pasal 1, “bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Hak menguasai negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberikan

wewenang untuk:139

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Pengertian menguasai ialah berkuasa atas sesuatu, memegang kekuasaan atas

sesuatu, sedangkan pengertian penguasaan adalah proses, cara, perbuatan menguasai

atau mengusahakan. Dengan demikian pengertian kata penguasaan lebih luas dari

kata menguasai.140

138
Muhammad Bakhri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi
Agraria)”, Citra Medika, Yogyakarta, Cetakan I, 2007, hlm. 35
139
Ibid.
140
Kamus Besar Bahasa Indonesia, departemen pendidikan dan kebudayaan & Balai Pustaka, Jakarta,
1995, hlm. 533.

84
Hak menguasai negara atas pertambangan dapat diartikan sebagai negara

memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya

bahan galian yang terdapat dalam wilayah pertambangan yang terdapat di Indonesia.

Hal tersebut sesuai yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. 141

Pengertian hak menurut Apeldoorn, yaitu kekuasaan yang teratur oleh hukum

yang berdasarkan kesusilaan. Akan tetapi pada dasarnya kekuasaan bukan hanya hak,

melainkan hak yang dibenarkan oleh hukum saja yang kemudian dijadikan dasar bagi

adanya hak untuk mengatur oleh negara.142 Pengertian penguasaan dikaitkan dengan

pengertian hak, maka hak penguasaan tertuju kepada negara sebagai subjek hukum.

Dari hubungan yang demikian, hak penguasaan negara dapat dipahamii bahwa di

dalamnya terdapat sejumlah kewajiban dan tanggungjawab yang bersfat publik. 143

Pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar konstitusional hak penguasaan negara

atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya berdasarkan kostitusi

tersebut dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kedua,

merupakan satu kesatuan sistematik. Hak penguasaan negara merupakan instrumental

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.144

Sebesar-besarmya kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari setiap

pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam nasional. Tujuan ini dipandang

sebagai kepentingan yang tidak dapat diabaikan, sebab selain dipandang sebagai

141
Fitria Nur Ngaini., Op., Cit, hal 85.
142
Van Apeldoorn (diterjemahkan oleh Oetarid Sadino), Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1980, hlm. 22
143
Fitria Nur Ngaini., Op., Cit.
144
Van Apeldoorn, Op., Cit.

85
amanat konstitusi maka dipandang sebagai tanggungjawab negara. Hal tersebut

sebagai salah satu konsekuensi dari adanya hak penguasaan negara. 145

Menurut Maria Rita Ruwiastuti, sejak awal UUPA telah mengemukakan bahwa

negara diberikan kewenangan yang seluas- luasnya untuk menguasai sumber daya

alam yang terkandung di dalam tanah. Kewenangan tersebut kemudian disebut

dengan hak menguasai negara. Hak tersebut sama sekali tidak dapat disamakan

dengan hak keperdataan pada umumnya. Karena hak ini memiliki cakupan yang luas

dan memiliki sifat publik. Dan hal tersebut hanya dipegang oleh badan kenegaraan. 146

Sehingga hak menguasai negara dengan hak-hak penduduk negeri ini sudah ada

turun- temurun bahkan mendahului lahirnya negara. Seperti telah dijelaskan dalam

UUPA: “adapun kekuasaan yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air, dan

ruang angkasa baik yang telah dimiliki oleh seseorang maupun yang tidak.”

Kekuasan negara mengenai tanah sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak

yang dibatasi oleh isi dari hak tersebut. Artinya sampai seberapa besar negara

memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya,

sampai disinilah batas kekuasaan suatu negara. 147

Sehubungan dengan hak menguasai negara atas tanah, adapun penjelasannya

sebagai berikut:148 132

145
Fitria Nur Ngaini., Op., Cit. hlm. 86.
146
Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agrari, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm.
113
147
Fitria Nur Ngaini., Op., Cit. hlm. 87.
148
Supriadi, Hak Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 59

86
a. Sebutan isinya

Hak menguasai negara atas tanah adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA

kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret atara negara dan tanah

Indonesia. Sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang tertinggi, maka yang

terlibat bukan saja penguasa legislatif dan eksekutif tetapi juga penguasa

yudikatif.

b. Kekuasaan legislatif

Kekuasaan legislatif di dalamnya tercakup pengertian mengatur dan

menentukan. Kekuasaan mengatur dan menentukan tersebut dilaksanakan oleh

badan-badan legislatif pusat.

c. Kekuasaan eksekutif

Kekuasaan eksekutif yang tercakup dlam pengertian penyelenggara dan

menetukan. Dimana dilakukan oleh presiden dibantu menteri atau pejabat tinggi

lain yang bertugas dibidang pertanahan.

d. Kekuasaan yudikatif

Kekuasaan yudikatif bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa tanah baik di

antara rakyat sendiri amaupun di antara rakyat dan pemerintah melalui badan

peradilan umum.

87
e. Pemegang haknya

Subyek dari hak menguasai negara atas tanah adalah negara Republik

Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.

f. Terciptanya hak menguasai dari negara

Hak menguasai negara merupakan tugas kewenangan bangsa Indonesia, yang

dilakukan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam menyusun UUD 1945.

g. Pembebanan hak menguasai negara

Hak menguasai negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain. Akan tetapi

tanah negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain.

h. Hak menguasai negara dari negara tidak dapat dihapus.

Hak menguasai negara sebagai pelimpahan hak bangsa, tidak akan dihapus

selama negara Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Hak menguasai negara atas tanah merupakan salah satu hak yang diberikan

bangsa Indonesia kepada negara untuk mengatur segala macam permaslahan dalam

pertanahan. Dalam hal ini negara sebagai otoritas tertinggi memiliki hak atas tanah

yang dikuasainya kepada orang-perorangan, bersama-sama, atau badan hukum yang

berhak untuk mendapatkannya.149

149
Fitria Nur Ngaini., Op., Cit. hlm. 94

88
Negara sebagai salah satu subyek hak atas tanah memiliki kewenangan

khususnya yang diberikan oleh negara untuk mengatur dan mengelola tanah yang

terdapat di Indonesia. Hak menguasai dari negara tersebut umunya tidak terbatas dan

tidak dapat dihapuskan selama eksistensi keberadaan negara Indonesia masih ada.150

2. Maksud Dan Tujuan Dari Kehadiran UU No. 4 Tahun 2009 Sebagai

Perpanjangan Tangan Dari Pasal 33 UUD 1945

Selanjutnya, peneliti akan menguraikan maksud dan tujuan dari kehadiran UU

No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba sebagi perpanjangan tangan dari

pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut:151

a. Mewujudkan amanat konstitusi yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945. Bahwa

sebagai wujud pendayagunaan, pengelola sumber daya mineral sebagai sumber

kekayaan yang dikuasai oleh negara di wilayah pertambangan. Pendayagunaan,

pengelolaan dilakukan melalui pengawasan, pembinaan pengelolaan sumberdaya

mineral yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas nama

dan untuk kemamuran rakyat.

b. Menciptakan iklim yang kondusif, yaitu dengan menghilangkan perlakuan yang

diskriminatif baik antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha

Milik Daerah (BUMD) dan Swasta, antara asing dan nasional serta untuk skala

besar dan kecil. Keseluruhan harus berprinsip menguntungkan bagi negara dan

berkeadilan dalam berusaha bagi pelaku ekonomi dan masyarakat luas.

150
Ibid.
151
DPR RI, Risalah Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Mineral dan Batubara,
Raker, 4 Juli 2005, hlm. 235.

89
c. Perlakuan yang sama terhadap calon investor di bidang pertambangan mineral

dan batubara untuk memperoleh wilayah usaha pertambangan melalui lelang

wilayah pertambangan untuk wilayah yang memiliki cadangan mineral dan

batubara.

d. Menciptakan dan menjamin antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

untuk hasil produksi yang dimaksudkan agar penerimaan tersebut dapat secara

langsung dinikmati oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Untuk maksud wajib

menyerahkan pungutan negara berupa iuran tetap dan iuran produksi, pajak-

pajak,pajak daerah dan retribusi daerah yang berlaku. Pungutan negara lebih

lanjut diperuntukan sebagai penerimaan pusat dan penerimaan daerah.

e. Menumbuhkembangkan perusahaan nasional dibidang pertambangan mineral

dan batubara baik skala besar, menengah dan kecil/tambang rakyat serta

mendorong kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan, disamping

memberikan apresiasi yang lebih besar, pemanfaatan barang, jasa, dan

kemampuan rekayasa dalam negeri.

f. Memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai jaminan kelangsungan atas

penyediaan dan pelayanan kebutuhan bahan sumber daya mineral baik bagi

kepentingan industri dalam negeri serta jaminan hukum atas wilayah kegiatan

pertambangan mineral dan batubara sekaligus pengaturan yang berkaitan dengan

mekanisme pertambangan dengan penerapan etika kaidah pertambangan yang

baik, berwawasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

g. Menjamin penyediaan data yang cukup melalui kegiatan inventarisasai dan

konservasi pengembangan serta menggiatkan investasi melalui penciptaan iklim

90
investasi yang kondusif dengan pengaturan fiskal serta kewajiban keuangan lain

bagi pelaku ekonomi bidang pertambangan mineral dan batubara yang saling

menguntungkan.

h. Terwujudnya pencegahan dan penanggulangaan meningkatnya tindak pidana

kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara baik secara kualitas maupun

kwantitas melalui pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil.

i. Izin diberikan oleh Menteri atau Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya sedangkan BUMN sebagai pemegang IUP yang ditunjuk oleh

pemerintah diwilayah pencadangan negara dan dapat bekerjasama dengan pihak

lain.

j. Adanya jaminan kepastian hukum yang mantap (pengaturan yang sederhana,

tegas dan konsisten) serta menghilangkan hambatan birokrasi termasuk

menghapus segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan serta adanya

tumpang tindih kewenangan, sehingga iklim usaha dapat lebih kompetitif.

K. Kewajiban Divestasi Saham Kontraktor

Dengan diberlakukannya otonomi daerah, penanganan untuk kontrak yang telah

terlanjur diterbitkan, dilakukan oleh pemerintah pusat dengan mendekonsentrasikan

tugas ini kepada Gubernur, terutama fungsi pengawasan yang selama ini menjadi titik

lemah dalam rangka menjaga kekayaan negara.152

152
Trihastuti, Nanik, Op., Cit, hlm. 259.

91
Dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat

yang berasal dari kegiatan pertambangan terutama bagi masyarakat sekitar lokasi

tambang, beberapa pemerintah daerah telah ikut serta membeli saham- saham dari

perusahaan pertambangan asing yang dialihkan dalam rangka memenuhi kewajiban

divestasi saham.153

Adanya kewajiban Divestasi saham ini telah diatur secara tegas di dalam pasal

112 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang

menyatakan bahwa:154

(1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang

sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah,

pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau

badan usaha swasta nasional,

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Kewajiban divestasi saham ini selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 24 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraruran Pemerintah Nomor 23

Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan

Batubara, yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada

tanggal 21 Februari 2012. PP ini memberikan kewajiban kepada perusahaan asing

tersebut untuk mendivestasikan sahamnya secara bertahap, paling sedikit 51% pada

153
Ibid.
154
UU Nomor 4 Tahun 2009., Op., Cit, Pasal 112.

92
tahun kesepuluh, yang harus dilaksanakan setelah lima hingga sepuluh tahun sejak

perusahaan berproduksi kepada mitra di Indonesia. Adapun mitra yang dimaksud

adalah pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/ kota,

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha Milik Daerah (BUMD), atau

perusahaan swasta nasional. Apabila proses divestasi saham tidak tercapai, maka

penawaran saham dilakukan pada tahun berikutnya.155

Jumlah saham yang harus didivestasi mengalami perubahan yang paling

dominan sejak perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 hingga

Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014. Pasal 97 ayat (1) dan ayat (1a) Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara mengharuskan divestasi paling sedikit pada

tahun kesepuluh adalah 51% dengan rincian tahapan pada tahun keenam sebesar

20%, tahun ketujuh 30%, tahun kedelapan 37%, tahun kesembilan 44%, dan tahun

kesepuluh 51% dari seluruh jumlah saham. Ketentuan dari peraturan pemerintah ini

mengeneral kepada semua pihak asing pemegang IUP dan IUPK. Namun,

keberlakuan kepada semuanya tersebut berubah ketika terbit peraturan pemerintah

yang baru khususnya pasal 97 ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c) dan ayat (1d). 156

Rincian dan bentuk perubahan setelah adanya pasal 97 ayat (1a), ayat (1b), dan

ayat (1d) Peraturan Pemerintah Nomor && Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga

155
Trihastuti, Nanik, Op., Cit, hlm. 259- 260.
156
Rudi Hartono, “Divestasi Saham Bidang Pertambangan Pada Kepemilikan Saham PT. Freeport
Indonesia”, Skripsi, Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015, hlm. 69.

93
atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan

Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai berikut:157

a. Ayat (1a) mewajibkan divestasi saham bagi pemegang IUP dan IUPK yang tidak

melakukan sendiri kegiatan pengolahan dan/ atau pemurnian, setelah akhir tahun

kelima sejak berproduksi paling sedikit pada tahun keenam 20%, tahun ketujuh

30%, tahun kedelapan 37%, tahun kesembilan 44%, dan tahun kesepuluh 51%

dari jumlah seluruh saham.

b. Ayat (1b) mewajibkan divestasi saham bagi pemegang IUP dan IUPK yang

melakukan sendiri kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian, setelah akhir tahun

kelima sejak berproduksi paling sedikit pada tahun keenam 20%, tahun

kesepuluh 30%, tahun kelimabelas 40% dari jumlah seluruh saham.

c. Ayat (1c) mewajibkan divestasi saham bagi pemegang IUP dan IUPK yang

melakukan kegiatan penambangan dengan menggunakan metode penambangan

bawah tanah, setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit pada

tahun keenam 20%, tahun kesepuluh 25%, dan tahun kelimabelas 30% dari

jumlah seluruh saham.

d. Ayat (1d) mewajibkan divestasi saham bagi pemegang IUP dan IUPK yang

melakukan kegiatan penambangan dengan menggunakan metode penambangan

bawah tanah dan penambangan terbuka, setelah akhir tahun kelima sejak

berproduksi paling sedikit pada tahun keenam 20%, tahun kedelapan 25%, dan

tahun kesepuluh 30% dari jumlah seluruh saham.

157
Ibid.

94

Anda mungkin juga menyukai