Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH MENEJEMEN PERUBAHAN

“MODEL PERUBAHAN”

DOSEN PENGAMPUH : Prof. DR SUSI HENDRIANI, SE.,M.SI.

DISUSUN

KELOMPOK 2

DEVI ERLINA MARBUN (2002112113)

NUR RAHMI (2002112946)

WAHYUDI (2002110209)

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS RIAU

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita hantarkan kepada ALLAH SWT. Atas limpahan rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tentang “Model Perubahan”.
Sholawat dan salam kita curahkan kepada nabi Muhammad saw dengan mengucapkan
allah humma sholliala muhammmad waala ali Muhammad mudah-mudahan kita
mendapat syapatnya amin yarabbal alamin.

Kami sangat bersyukur dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata
kuliah Manajemen Perubahan yang diampuh oleh ibu prof. DR Susi Hendriani,
SE.,M.SI. dengan judul “Model Perubahan”. Disamping itu, kami juga menyadari
bahwa makalah ini belum sempurna, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan serta wawasan bagi pembaca.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua terutama pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun agar kedepannya kami dapat meperbaiki kesalahan dalam
penulisan makalah untuk kedepannya. Kami sadar, makalah ini belum sepenuhnya
sempurna dan terdapat masih banyak kekurangannya.

Pekanbaru, 05 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 1
1.3 Tujuan.................................................................................................................. 1

Bab 2 Pembahasan

2.1 Model Perubahan Lewin...................................................................................... 2


2.2 Proses Perubahan Pasmore................................................................................... 4
2.3 Sistem Perubahan Kreitner Dan Kinicki.............................................................. 8
2.4 Tahapan Perubahan Kotter................................................................................... 9
2.5 Model Perubahan Tyagi....................................................................................... 12
2.6 Model Perubahan Bridges Dan Mitchell.............................................................. 13
2.7 Model Perubahan Burnes Burnes......................................................................... 14
2.8 Struktur Perubahan Conner.................................................................................. 15

2.9 Model Perubahan Victor Tan............................................................................... 23

Bab 3

A. Kesimpulan.................................................................................................... 28
B. Saran............................................................................................................... 28

Daftar Pustaka............................................................................................................ 29

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Kurt Lewin mengembangkan tiga tahap model perubahan terencana yang
menjelaskan bagaimana mengambil inisiatif, mengelola dan menstabilisasi proses
perubahan. Ketiga tahap tersebut oleh Robbins (2001: 551) dinyatakan sebagai
unfreezing, movement, dan refreezing. Sementara itu, Kreitner dan Kinicki (2001:
664) Greenberg dan Baron (2003: 592) maupun Schein (1997:298) menggunakan
terminologi unfreezing, changing, dan refreezing namun makna ketiganya sama.
Robbins menggunakan terminologi movement, sedangkan Kreitner dan Kinicki
serta Greenberg dan Baron lebih menyukai menggunakan terminologi changing.
Sementara itu Schein menggunakan pengertian cognitive restructuring.
Dengan telah terbentuknya perilaku dan sikap baru, perlu diperhatikan apakah
masih sesuai dengan perkembangan lingkungan yang terus berlangsung. Apabila
ternyata diperlu- kan perubahan kembali, maka proses unfreezing akan dimulai
kembali.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1) Apa yang di maksud dengan model perubahan?
2) Apasaja jenis – jenis model perubahan?

1.3 TUJUAN
1) Untuk mengetahui model perubahan
2) Untuk mengetahui jenis-jenis perubahan

1
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Model Perubahan

Di antara para pakar mengungkapkan pengertian model dengan berbagai cara,


ada yang menyebut sebagai model, mengupas sebagai tahapan, dan terdapat pula yang
menyajikan sebagai suatu pproses

2.1 Model Perubahan Lewin

Penting artinya untuk menggarisbawahi asumsi pakai dalam model perubahan


Lewin ini.

a) Proses perubahan menyangkut mempelajari sesuatu yang baru, seperti


tidak melanjutkan sikap, perilaku, atau praktik organisasional yang masih
berlaku sekarang ini.
b) Perubahan tidak akan dapat terjadi sampai terdapat motivasi untuk
berubah. Hal ini merupakan bagian paling sulit dari proses perubahan.
c) Manusia merupakan pusat dari semua perubahan organisasional. Setiap
perubahan, baik dalam bentuk struktur proses kelompok, sistem
penghargaan, atau rancangan kerja, memerlukan individu untuk berubah.
d) Resistensi untuk berubah dapat ditemukan, bahkan meskipun tujuan
perubahan sangat diinginkan.
e) Perubahan yang efektif memerlukan penguatan perilaku baru, sikap, dan
praktik organisasional.

Kurt Lewin mengembangkan tiga tahap model perubahan terencana yang


menjelaskan bagaimana mengambil inisiatif, mengelola dan menstabilisasi proses
perubahan. Ketiga tahap tersebut oleh Robbins (2001: 551) dinyatakan sebagai
unfreezing, movement, dan refreezing. Sementara itu, Kreitner dan Kinicki (2001: 664)
maupun Greenberg dan Baron (2003: 592) menggunakan terminologi unfreezing,
changing, dan refreezing. Schein (1997: 298) menggunakan terminologi unfreezing,
cognitive restructuring, dan refreezing, namun makna ketiganya sama. Robbins
menggunakan terminologi movement, sedangkan Kreitner dan Kinicki serta Greenberg
dan Baron lebih menyukai menggunakan terminologi changing. Sementara itu Schein
menggunakan pengertian cognitive restructuring.

2
a. Unfreezing
Unfreezing atau pencairan merupakan tahapan yang memfokus
pada penciptaan motivasi untuk berubah. Individu didorong untuk
mengganti perilaku dan sikap lama dengan yang mempertahankan diri
dari status quo, dan bersedia membuka dimaksudkan agar seseorang
tidak terbelenggu oleh keinginan diperlukan adanya kesiapan atau
readiness individu. Pencairan ini status quo. Untuk dapat menerima
adanya suatu perubahan, Proses pencairan tersebut merupakan adu
kekuatan antara untuk mengatasi resistensi individual dan kesesuaian
kelompok. Faktor pendorong dan faktor penghalang bagi perubahan dari
diinginkan manajemen. Unfreezing merupakan usaha perubahan diri.
b. Changing atau Movement atau Cognitive Restructuring
Changing atau Movement merupakan tahap pembelajaran di
mana pekerja diberi informasi baru, model perilaku baru, arau cara baru
dalam melihat sesuatu. Maksudnya adalah membantu pekerja belajar
konsep atau titik pandang baru. Para pakar merekomendasikan bahwa
yang terbaik adalah untuk menyampaikan gagasan kepada para pekerja
bahwa perubahan adalah suatu proses pembelajaran berkelanjutan dan
bukannya kejadian sesaat. Dengan demikian, perlu dibangun kesadaran
bahwa pada dasarnya kehidupan adalah suatu proses perubahan terus-
menerus.
c. Refreezing
Refreezing atau pembekuan kembali merupakan tahapan di mana
perubahan yang terjadi distabilisasi dengan membantu pekerja
mengintegrasikan perilaku dan sikap yang telah ber- ubah ke dalam cara
yang normal untuk melakukan sesuatu. Hal ini dilakukan dengan
memberi pekerja kesempatan untuk menunjukkan perilaku dan sikap
baru. Sikap dan perilaku yang sudah mapan kembali tersebut perlu
dibekukan, sehingga menjadi norma-norma baru yang diakui
kebenarannya.

3
Dengan telah terbentuknya perilaku dan sikap baru, perlu diperhatikan apakah
masih sesuai dengan perkembangan lingkungan yang terus berlangsung. Apabila
ternyata diperlu- kan perubahan kembali, maka proses unfreezing akan dimulai kembali.

Sebagai ilustrasi Model Lewin dapat disajikan secara skematis pada gambar di
bawah ini.

2.2 Proses Perubahan Pasmore

Perubahan menurut Pasmore (1994: 245) berlangsung dalam delapan tahapan secara
berurutan, yaitu sebagai berikut.

a. Preparation (Persiapan)
Kegiatan persiapan ditujukan untuk memastikan mengapa usaha
perubahan diperlukan. Langkah pertama dalam memahami perlunya
perubahan merupakan studi benchmarking dengan mengumpulkan
sejumlah orang dan pengetahuan membuat pengukuran dimana
sebenarnya organisasi berdiri.
Persiapan juga berarti membantu orang agar siap berpartisipasi
dalam proses perubahan. Orang harus memahami mengapa mereka perlu

4
berubah, bagaimana melakukannya, dan apa yang dapat mereka peroleh
dengan mengikuti perubahan. Mempersiapkan orang dapat dilakukan
dalam berbagai bentuk. Akan tetapi, persiapan memerlukan lebih banyak
daripada sekadar kerja otak.
Persiapan juga berarti mempersiapkan stakeholders, seperti juga
halnya tingkat manajemen yang lebih tinggi, atau direksi, pelanggan, dan
rekanan. Persiapan memerlukan banyak waktu, kalau perlu lebih banyak
waktu disediakan untuk melakukan persiapan. Jangan lanjutkan tanpa
pengetahuan tentang mengapa harus berubah, kesiapan orang untuk
berubah, atau tersedianya dukungan yang diperlukan untuk menjalankan
usaha berkualitas.
b. Analyzing Strengths and Weaknesses (Analisis Kekuatan dan
Kelemahan)
Aktivitas yang dilakukan meliputi analisis eksternal, analisis
internal, menentukan tujuan untuk perbaikan, dan menentukan
pengukuran spesifik untuk menaksir perubahan.
Proses perubahan harus membandingkan organisasi dengan
beberapa standar eksternal sehingga diperoleh gambaran tentang
kekuatan dan kelemahan saat ini. Dari sini ditentukan agenda untuk
perbaikan. Analisis internal juga sangat membantu, terutama yang
memungkinkan input dari pekerja yang bersangkutan dengan sistem
teknis dan organisasional.
c. Designing New Organizational Sub-units (Mendesain Sub-Unit
Organisasional Baru)
Aktivitas pada tahap ini meliputi meningkatkan kapabilitas
individual, meningkatkan kapabilitas subunit, dan meningkatkan
integrasi secara sistemik. Gagasan proses perubahan di tingkat ini adalah
menciptakan unit organisasi yang dirancang untuk fleksibilitas dan dapat
memenuhi kepentingan pasar kompetitif atau harapan stakeholder
eksternal. Kemudian, unit yang diciptakan akan mengerjakan rincian
detail tentang bagaimana mereka akan berfungsi, berapa orang akan
diperlukan, dan seterusnya.
d. Designing Projects (Mendesain Proyek)

5
Sekali desain proyek secara menyeluruh dipakai, individu yang
terlibat dalam berbagai proyek dapat membawa bersama-sama sumber
daya yang mereka perlukan dari dalam dan luar organisasi untuk
merencanakan detail pekerjaan. Berpikir tentang proyek pada tahap ini
penting untuk menghindari kecenderungan pemimpin mencari keamanan
bagi dirinya dengan menggambar kotak-kotak dalam skema organisasi
dan kemudian mengunci diri di dalamnya.
Tugas mendesain proyek memerlukan partisipasi anggota tim
proyek, kelompok pendukungnya, pelanggan kunci, dan stakeholder
eksternal. Ukuran proyek dapat bervariasi. Ukuran proyek tidak
memengaruhi kebutuhan tim inti proyek mengambil fokus proyek.
e. Designing Work Systems (Mendesain Sistem Kerja)
Desain sistem kerja dimulai dengan menyempurnakan tugas atau
proses inti yang harus diwujudkan. Hal ini terdiri dari identifikasi
teknologi yang tepat untuk dimanfaatkan, kegiatan yang harus
diwujudkan untuk menjalankan teknologi, dan peranan yang akan
dijalankan orang dalam menyelesaikan aktivitas tersebut. Di luar
teknologi operasi, desain sistem kerja juga termasuk proses untuk
mengukur dan memonitor kinerja, memelihara umpan balik dari
pelanggan dan stakeholder lain, mengintegrasikan bagian lain dari sistem
kerja dan pembelajaran organisasional.
f. Designing Support Systems (Mendesain Sistem Pendukung)
Sekali sistem kerja inti dirancang dalam unit proyek, keputusan
dapat dibuat tentang pembentukan jasa pendukung yang tersentralisasi
yang menawarkan keuntungan skala ekonomi atau menyederhanakan
kontak antara organisasi dan kelompok eksternal penting bagi organisasi.
Tim integratif dapat terdiri dari anggota baik proyek maupun
fungsi staf sentral dapat membuat rencana, menetapkan tujuan, dan
mengusahakan bimbingan pada fungsi sentral. Jika sumber daya tersedia,
rotasi dari organisasi proyek melalui fungsi staf sentral, dan sebaliknya,
membantu mengusahakan pembelajaran penting bagi orang yang
bergerak dari kedua arah. Jika sumber daya tidak memungkinkan rotasi,
usaha harus dilakukan untuk menjaga hubungan antara organisasi sentral
dan proyek.

6
g. Designing Integrative Mechanisms (Mendesain Mekanisme Integratif)
Mendesain mekanisme integratif yang benar-benar
mengintegrasikan daripada sekadar mengontrol merupakan tantangan
terbesar dan perlu di dalam desain organisasional. Membantu orang
memahami apa yang terjadi dan bagaimana mereka menyesuaikan diri
adalah kepentingan tertinggi dalam memanfaatkan sumber daya secara
penuh dan efektif. Membuat mekanisme integrasi menjadi efektif
dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1) Perlunya dikumpulkan dan menyebarkan informasi. Mekanisme
integrasi tidak dapat berfungsi tanpa mengetahui apa yang perlu
diintegrasikan, dan mereka tidak berguna jika tidak
mengusahakan informasi yang membantu orang lain
mengarahkan kembali pemikiran dan aktivitasnya.
2) Mekanisme integratif harus mampu memengaruhi aktivitas di
dalam sistem; ia harus memiliki legitimasi di mata mereka yang
dipengaruhi oleh keputusan.
h. Implementing Change (Implementasi Perubahan)
Ketidakberhasilan usaha perubahan mayoritas dikarenakan gagal
dalam tahap implementasi. Kegagalan itu terjadi karena mengecilkan arti
dari tingkat kesulitan implementasi, resistensi terhadap perubahan di
saat-saat terakhir, perubahan dalam kepemimpinan, atau sekadar menjadi
dibanjiri tekanan agenda yang tidak jelas.
Perencanaan implementasi tidak mencegah kegagalan, tetapi
dapat mengurangi risiko kejadian. Jika lebih banyak energi ditempatkan
untuk perencanaan implementasi, orang seolah-olah mengenal lebih baik
apa yang perlu terjadi dan menjadi lebih memiliki komitmen untuk
melakukannya. Perencanaan implementasi mengklarifikasi siapa yang
diharapkan mengerjakan apa, kapan, dan membantu orang mengambil
langkah pertama terhadap fleksibilitas yang lebih besar.
Tahapan ini perlu diikuti sebagai proses untuk menjamin
keberhasilan perubahan. Banyak usaha perubahan menemui kegagalan

7
karena dilakukan dengan tergesa-gesa dan tidak dilakukan secara
bertahap.

2.3 Sistem Perubahan Kreitner dan Kinicki

Kreitner dan Kinicki (2001: 665) memperkenalkan pendekatan sistem yang


dapat memberikan gambaran menyeluruh atas perubahan organisasional. Pendekatan
sistem Kreitner dan Kinicki menawarkan kerangka kerja untuk memahami kompleksitas
perubahan organisasional, yang terdiri dari tiga komponen berikut.

a. Inputs

Inputs merupakan masukan dan sebagai pendorong bagi terjadinya


proses perubahan. Semua perubahan organisasional harus konsisten dengan
visi, misi, dan rencana strategis. Di dalamnya terkandung unsur internal dan
eksternal yang memiliki kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan.
Kondisi inputs ini akan sangat memengaruhi jalannya proses perubahan.

b. Target Element of Change

Targets element of change merupakan komponen organisasi yang


perlu diubah. Hal tersebut mencerminkan komponen organisasi yang harus
diubah. Perubahan diarahkan pada pengaturan organisasi, faktor sosial,
metode, desain kerja dan teknologi, penetapan tujuan, dan aspek manusia.

c. Outputs

Merupakan hasil akhir yang diinginkan dari suatu perubahan. Hasil


akhir ini harus konsisten dengan rencana strategis organisasi. Perubahan
harus diarahkan pada semua tingkatan tujuan, yaitu baik tingkat
organisasional, tingkat kelompok, maupun tingkat individual.

Model sistem dari Kreitner dan Kinicki yang mencerminkan keterkaitan antara
inputs, proses dan outputs tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini.

8
2.4 Tahapan Perubahan Kotter

Kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses perubahan antara lain karena:

(1) memberi kesempatan terlalu banyak terjadinya kepuasan dengan dirinya sendiri;

(2) kegagalan menciptakan koalisi pengarahan yang cukup kuat;

(3) merendahkan kekuatan visi;

(4) kurang mengomunikasikan visi;

(5) membolehkan hambatan menutup visi baru;

(6) gagal menciptakan kemenangan jangka pendek;

(7) menyatakan kemenangan terlalu cepat; dan

(8) lupa menanamkan perubahan secara tepat di dalam budaya organisasi.

9
Sebagai konsekuensinya, strategi baru tidak dilakukan dengan baik, akuisisi
tidak mencapai sinergi yang diharapkan, rekayasa ulang memakan waktu lama dan
biaya besar, downsizing tidak menyebabkan dapat mengontrol biaya dan program
kualitas mencapai hasil yang diharapkan (Kotter, 1996: 16).

Oleh karena itu, proses perubahan dianjurkan dilakukan melalui delapan


tahapan, yaitu sebagai berikut.

a. Establishing a Sense of Urgency (Menumbuhkan Rasa Urgensi)


Organisasi perlu dicairkan dengan menciptakan alasan mengapa
perubahan diperlukan. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi dan mempelajari
situasi internal maupun eksternal yang dihadapi serta mendiskusikan krisis atau
potensi krisis atau peluang besar sehingga memerlukan perubahan.
b. Creating the Guiding Coalision (Menciptakan Koalisi Pengarahan)

Membentuk kelompok kerja sebagai tim dengan kekuasaan cukup untuk


memimpin perubahan. Kelompok dapat bersifat lintas fungsi dan lintas
tingkatan. Kelompok kerja ini diharapkan dapat merumuskan kebijakan dan
hasilnya menjadi amk bagi jalannya proses perubahan.

c. Developing a Vision and Strategy (Membangun Visi dan Strategi)


Menciptakan visi untuk mengarahkan usaha perubahan dan
mengembangkan strategi untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Dengan visi
dan strategi yang jelas diharapkan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, visi dan strategi yang baru harus dipergunakan segenap pihak
yang terlibat dalam proses perubahan.
d. Communicating the Change Vision (Mengomunikasikan Visi yang telah
Berubah)
Agar dipahami dan mendapatkan dukungan, visi dan strategi baru
tersebut perlu dikomunikasikan terus-menerus setiap ada kesempatan.
Komunikasi diperlukan untuk memengaruhi sikap karyawan agar dapat
menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi.
e. Empowering Employees for Broad-based Action (Pemberdayaan Pekerja untuk
Aksi Secara Luas)
Rintangan terhadap usaha perubahan harus dapat dihilang-kan. Struktur,
sistem dan mekanisme perlu diubah, disesuaikan dengan visi yang sudah

10
berubah. Didorong keberanian pekerja untuk melakukan tindakan kreatif,
mengambil risiko dan melakukan tindakan nontradisional.
f. Generating Short-term Wins (Membangkitkan Kemenangan Jangka Pendek)
Untuk memberikan keyakinan akan kebenaran visi dan strategi yang
telah ditentukan, perlu segera diberikan bukti keberhasilan dan kemenangan
segera. Oleh karena itu, segera direncanakan perbaikan kinerja untuk
menciptakan kemenangan. Karyawan yang memungkinkan kemenangan perlu
dikenal dan dihargai.
g. Consolidating Gains and Producing more Change (Mengonsolidasikan
Keuntungan dan Menghasilkan Perubahan Lebih Lanjut)
Dengan menggunakan peningkatan kredibilitas mengubah semua sistem,
struktur dan kebijakan yang tidak sesuai dengan perubahan. Merekrut,
mempromosi, dan mengembangkan orang yang dinilai mampu melaksanakan
perubahan visi. Selalu menyegarkan kembali proses perubahan dengan proyek
baru, tema baru dan agen perubahan.
h. New Approach in the Culture (Menancapkan Pendekatan Baru ke dalam
Budaya)
Menciptakan kinerja lebih baik melalui pelayanan dan orientasi pada
pelanggan dan produktivitas, kepemimpinan yang lebih baik dan manajemen
yang lebih efektif. Memberikan makna hubungan yang lebih baik antara perilaku
baru dan keberhasilan organisasi. Pengembangan sarana untuk memastikan
pengembangan kepemimpinan dan suksesi.

Selanjutnya Kotter (2002: 10) mengajukan pola sederhana berkaitan dengan


keberhasilan perubahan, yaitu See-Feel- Change.

Pada tahap see untuk melihat dimaksudkan agar orang menemukan masalah pada
beberapa tingkatan proses perubahan. Banyak orang merasa puas, namun tidak ada yang
membangun yang membantu orang lain memvisualisasikan masalah arau pemecahan
masalah.

Pada tahap feel atau merasa, visualisasi membangunkan perasaan bahwa


fasilitas perubahan yang berguna sedang berja- lan. Urgensi, optimisme, atau
keyakinan meningkat. Kemarahan, rasa puas diri, sinisme, atau ketakutan
menurun.

11
Pada tahap change atau berubah, perasaan baru berubah atau
memperkuat perilaku baru, kadang-kadang perilaku yang sangat berbeda.
Mereka berusaha sangat kuat untuk mem- buat visi yang baik menjadi
kenyataan. Mereka tidak berhenti sebelum pekerjaan dilakukan, bahkan jika
jalannya kelihatan panjang.

2.5 Model Perubahan Tyagi

Tyagi (2000: 280) melihat bahwa model perubahan Lewin sangat sederhana
sehingga dipakai dasar oleh semua model. Lewin mengembangkan model tiga tahap
yang menjelaskan bagaimana memulai, mengelola dan menstabilisasi proses perubahan.
Tahap tersebut adalah unfreezing, changing, dan refreezing. Akan tetapi, menurut Tyagi
model tersebut belum cukup karena tidak menyangkut beberapa isu penting. Pendekatan
sistem dalam perubahan akan memberikan gambaran menyeluruh dalam perubahan
organisasi. Komponen dalam sistem tersebut adalah dimulai dengan:

(1) adanya kekuatan untuk perubahan;

(2) mengenal dan mendefinisikan masalah;

(3) proses penyelesaian masalah;

(4) mengimplementasikan perubahan; dan

(5) mengukur, mengevaluasi, dan mengontrol hasilnya.

Di dalam proses tersebut ditekankan peranan agen perubahan, dan pada tahap
implementasi dilakukan transition management. Maksud dari transition management
adalah suatu proses secara sistematis perencanaan, pengorganisasian, dan implementasi
perubahan, dari keadaan sekarang ke realisasi fungsional secara penuh keadaan yang
akan datang dalam organisasi.

Proses model Tyagi dapat digambarkan sebagai berikut.

12
2.6 Model Perubahan Bridges dan Mitchell

Bridges dan Mitchell (2002: 33-45) berpendapat bahwa perubahan memerlukan


tahapan transisi sebagai reorientasi psikologis. Perubahan berlangsung lebih lambat
melalui tiga proses, yaitu sebagai berikut.

a. Saying Goodbye
Saying goodbye, yaitu mengucapkan selamat tinggal pada cara lama
yang membuat orang sukses di masa yang lalu dan merupakan bagian
dari identitas mereka. Di atas kertas adalah logis bergeser ke arah self-
managed team, tetapi hal ini mengubah pada kebutuhan bahwa orang
tidak lagi percaya pada supervisor untuk membuat semua keputusan.
Atau kelihatan seperti usaha sederhana untuk menggabungkan dua
kelompok kerja, tetapi dalam praktik hal tersebut berarti bahwa orang
tidak lagi bekerja dengan teman.
b. Shifting Into Neutral

Bahkan setelah orang meninggalkan cara lama, mereka tidak


dapat memulai sesuatu yang baru. Mereka memasuki tahapan kedua yang

13
sulit dari transisi. Ini dinamakan neutral zone, dan berada di antara
tahapan penuh ketidakpastian dan kebingungan yang sekadar untuk
mengatasinya memerlukan sebagian besar energi orang.

Neutral zone terutama sulit selama merger dan akuisisi ketika


keputusan karier dan kebijakan dan aturan main ditinggalkan, sedangkan
dua kepemimpinan kelompok mengerjakan persoalan kekuasaan dan
pengambilan keputusan. Ketika neutral zone tidak enak, orang didorong
untuk keluar. Beberapa orang berusaha cepat menuju situasi baru,
sebagian lainnya ingin kembali ke masa lalu. Akan tetapi, transisi
memerlukan organisasi dan orangnya sementara berada di neutral zone.
Waktu berada di neutral zone tidak sia-sia karena kreativitas dan energi
transisi ditemukan dan transformasi yang sebenarnya terjadi.

c. Moving Forward

Moving forward bergeser ke depan dan berperilaku dengan cara baru.


Banyak orang gagal melalui transisi karena tidak membiarkan pergi cara
lama dan mengakhirinya. Lainnya gagal karena menjadi takut dan
bingung dengan neutral zone. Akan tetapi, beberapa dapat melewati dua
tahap pertama transisi, kemudian membeku ketika menghadapi fase
ketiga. Fase ketiga memerlukan orang memulai berperilaku baru, dan
meletakkan kompetensi dan nilai berisiko.

2.7 Model Perubahan Burnes


Burnes (2000: 253) mengemukakan adanya tiga macam model perubahan
organisasional, yang dikelompokkan berdasarkan frekuensi dan besaran perubahan,
yaitu sebagai berikut.
1. The Incremental Model of Change (Model Perubahan Inkremental)

Advokasi terhadap pandangan ini melihat perubahan sebagai


suatu proses di mana masing-masing bagian dalam organisasi
meningkatkan kesepakatan secara terpisah, untuk satu masalah dan satu
tujuan pada suatu waktu.

14
Pada saat manajer merespons dengan menekan lingkungan
internal dan eksternal dengan cara tersebut sepanjang waktu, maka
organisasi mereka menjadi berubah.

Respons yang timbul sebagai konsekuensi perubahan organisasi


mengakibatkan perlunya perubahan pada tahap berikutnya. Demikian
selanjutnya terjadi peningkatan proses perubahan secara bertahap.

2. Punctuated Equilibrium Model of Organizutional Transformation (Model


Transformasi Organisasional Keseimbangan Terpotong)

Organisasi relatif berkembang melalui masa stabilitas dalam


jangka panjang, dinamakan sebagai equilibrium period, sebagai pola
dasar aktivitasnya. Situasi tersebut kemudian disela oleh gocangan
perubahan fundamental relatif dalam jangka pendek, dinamakan sebagai
periode revolutioner. Periode revolusioner mengganggu secara substantif
dengan menciptakan pola aktivitas dan membangun dasar bagi periode
ekuilibrium baru.

3. The Continuous Transformation Model of Change (Model Perubahan


Transformasi Berkelanjutan)

Argumen yang dipergunakan model ini adalah, dengan maksud


agar organisasi tetap survive, organisasi harus mengembangkan
kemampuan untuk mengubah dirinya secara berkelanjutan dengan
kebiasaan fundamental.

Rasionalitas untuk continuous transformation model adalah


bahwa lingkungan di mana organisasi beroperasi adalah berubah, dan
akan terus berubah, cepat, radikal, dan tidak dapat diprediksi. Hanya
dengan transformasi secara berkelanjutan organisasi akan dapat menjaga
dirinya agar selalu sejalan dengan lingkungannya dan bertahan.

2.8 Struktur Perubahan Conner

Dinamika perubahan manusia mempunyai struktur tertentu, dengan resilience


sebagai pola sentral dan didukung oleh tujuh pola pendukung, yaitu the nature of change

15
(sifat perubahan), roles of change (peran perubahan), resisting change (menolak
perubahan), commiting to change (terikat pada perubahan), how culture influences
change (bagaimana budaya memengaruhi perubahan), dan pentingnya team work yang
sinergis (Conner, 1992: 66).

Struktur perubahan Conner digambarkan sebagai hubungan antara resilience


(daya tahan) sebagai pusat dengan pola pendukung yang berfungsi sebagai penguat pola
utama digambarkan sebagai berikut.

a. Resilience (Daya Tahan)

Dengan resilience atau daya tahan dan ketabahan sebagai titik referensi,
kita dapat memengaruhi situasi sekeliling kita, mempersiapkan diri dan orang
lain untuk dapat menerima gangguan dengan lebih baik dan dengan terampil
merencanakan dan mengimplementasikan masa depan yang diinginkan.

Orang yang bersifat ulet atau fleksibel dapat mengha. dapi tantangan
tidak kurang dari orang lain ketika berhadapan dengan krisis, tetapi mereka
mencapai keseimbangan lebih cepat, menjaga tingkat kualitas dan produktivitas
lebih tinggi dalam bekerja, memelihara kesehatan fisik dan emosional, dan
mencapai lebih banyak tujuan daripada orang yang mengalami goncangan masa
depan.

16
Orang dan organisasi tidak kurang rentan dari orang lain pada
ketegangan perubahan. Hal tersebut tidak karena mereka dapat mencegah
pengaruh gangguan terhadap perubahan, tetapi pengaruhnya lebih bernanfaat
dan kurang merusak. Mereka mempunyai kapasitas lebih besar untuk kuat
kembali segera setelah guncangan awal.

b. The Nature of Change (Sifat Perubahan)

Sifat perubahan adalah pola pendukung pertama. Kita menggunakan


sebagian besar hidup kita untuk menyesuaikan kapabilitas terhadap tantangan
yang dihadapi. Capability atau kapabilitas menunjukkan ability atau kemampuan
dan keinginan kita untuk mempergunakannya. Tantangan yang kita hadapi
dalam kehidupan terdiri dari bahaya yang kita lihat dan peluang yang kita akui.

Apabila tantangan yang kita hadapi sesuai dengan kapabilitas kita, kita
biasanya dapat memperkirakan hasil yang akan terjadi. Apabila tantangannya
lebih besar daripada kapabilitas kita, keseimbangan terganggu dan biasanya kita
tidak dapat secara akurat mengantisipasi apa yang akan terjadi.

Satu hal yang mungkin paling menarik tentang mengamati reaksi orang
terhadap perubahan adalah bahwa kejadian yang sama dapat dipersepsikan
sebagai perubahan negatif oleh satu orang dan sebagai perubahan positif oleh
lainnya. Pengamatan Conner menunjukkan bahwa persepsi terhadap perubahan
sebagai positif atau negatif tergantung tidak hanya oleh manfaat aktual
perubahan, tetapi juga tingkat pengaruh yang mereka percaya dan mereka
pergunakan dalam situasi tersebut.

c. The Process of Change (Proses Perubahan)

Proses perubahan menggambarkan mekanisme transisi manusia. Cara


kita menghubungkan perubahan dalam kehidupan berkaitan dengan kenyataan
bahwa sebagian dari kita sukses dan sebagian lain gagal melanjutkan perubahan.
Mereka yang melihat perubahan sebagai sesuatu yang terjadi atau tidak terjadi
terlihat terutama mudah terserang guncangan masa depan.

Sebaliknya, mereka yang mempunyai sedikit masalah selama perubahan


tampak dilindungi oleh kenyataan bahwa mereka mendekati sebagai proses yang
sedang berjalan. Conner mengutip pendapat Kurt Lewin yang mengklasifikasi

17
proses perubahan dalam tiga fase, yaitu the present state (keadaan sekarang), the
transition state (masa transisi), dan the desired state (keadaan yang diinginkan)
(Conner, 1992: 87). The Present state adalah kondisi status quo, yang menun-
jukkan suatu keseimbangan berkelanjutan yang telah ada dan tidak terbatas
sampai ada kekuatan yang mengganggu.

The transition state merupakan fase transisi di mana kita tidak terikat
pada status quo. Selama periode ini kita mengem- bangkan sikap atau perilaku
baru yang membawa pada desired state atau tahapan yang diinginkan. Untuk
mengusahakan apa yang diinginkan atau desired state, kita harus melepaskan
fase yang tidak pasti dan tidak nyaman dari transition state.

d. The Roles of Change (Peran Perubahan)

Sama halnya dengan Potts dan LaMarsh, Conner (1992: 106) juga
berpendapat bahwa terdapat empat peran dalam proses perubahan. Mereka
adalah sebagai berikut.

1)Sponsor, yaitu individu atau kelompok yang mempunyai kekuasaan


memberi persetujuan atau legitimasi perubahan.

2) Agent, yaitu individu atau kelompok yang mempunyai tanggung


jawab untuk benar-benar membuat perubahan.

3) Target, yaitu individu atau kelompok yang harus berubah.

4) Advocate, yaitu individu atau kelompok yang ingin mencapai


perubahan, tetapi kurang mempunyai kekuasaan untuk menyetujuinya.

18
Hubungan peran dalam organisasi dapat berbentuk sebagai berikut.

1) Hubungan linier menunjukkan rantai komando manajemen seperti biasanya. Target


melapor kepada agent, dan agent melapor kepada sponsor. Sponsor mendelegasikan
tanggung jawab kepada agent, yang pada gilirannya berhubungan langsung dengan
target untuk memastikan bahwa perubahan terjadi.

2) Hubungan segi tiga lebih kompleks dan dalam banyak situasi sangat tidak efektif.
Dalam konfigurasi segitiga, kedua agent dan target bekerja untuk sponsor, tetapi target
tidak melapor kepada agent. Biasanya sponsor adalah eksekutif senior, target adalah
manajer lini, dan agent bekerja dalam fungsi pendukung.

3) Dalam struktur hubungan segi empat, agent melapor kepada satu sponsor dan target
kepada sponsor lainnya (Conner, 1992: 111).

e. Resistance to Change (Resistensi terhadap Perubahan)

Resistensi terhadap perubahan merupakan reaksi alamiah terhadap


sesuatu yang menyebabkan gangguan dan hilangnya ekuilibrium.
Konsekuensinya, resistensi diikuti oleh perubahan, baik atas inisiatif sendiri atau
dilakukan orang lain, hal tersebut terjadi tanpa memandang bagaimana kejadian
tersebut dirasakan positif atau negatif.

Orang hanya akan berubah apabila mempunyai kapasitas untuk


melakukannya. Ability atau kemampuan berarti mempunyai keterampilan yang
diperlukan dan mengetahui bagaimana menggunakannya. Willingness atau
keinginan adalah motivasi untuk menerapkan keterampilan tersebut pada situasi
tertentu. Jika terdapat kekurangan dalam kemampuan atau keinginan, maka tidak
mungkin berhasil melakukan perubahan.

Conner (1992: 128) melihat bahwa resistensi dapat bersifat overt atau covert
(jelas atau tersembunyi). Resistensi bersifat jelas (overt) terhadap perubahan organisasi
dilakukan melalui memo, rapat, pertukaran satu per satu, dan sarana umum lainnya,
sedangkan resistensi bersifat tersembunyi (covert) dapat berjalan tanpa pemberitahuan
sampai merusak proyek perubahan. Respons orang terhadap perubahan dapat bersifat
negatif maupun positif (Conner, 1992: 131).

19
Respons negatif terhadap perubahan dilakukan melalui delapan fase, yaitu:

(1) stability (stabilitas);

(2) immobilization (tidak bergerak),

(3) denial (penolakan);

(4) anger (kemarahan);

(5) bargaining (perundingan);

(6) depression (tertekan),

(7) testing (pengujian); dan

(8) acceptance (penerimaan).

Sementara itu, respons positif terhadap perubahan berlangsung dalam lima fase,
yaitu diawali dengan hal-hal berikut.

1) Uninformed optimism, yaitu adanya suatu perasaan optimisme secara diam-diam.

2) Informed pessimism, yaitu timbulnya pernyataan pesimisme terhadap perubahan.

3) Helpful realism, yaitu tumbuhnya kesadaran bahwa perubahan merupakan realitas


yang harus dihadapi.

4) Informed optimism, yaitu keberanian untuk menyatakan optimisme terhadap


perubahan.

5) Completion, yaitu kesediaan turut serta dalam proses perubahan.

f. Commiting to Change (Komitmen terhadap Perubahan)

Keberhasilan suatu perubahan berakar pada komitmen. Conner


(1992: 149) mengemukakan bahwa proses komitmen diperoleh melalui
tiga fase, yaitu sebagai berikut.

1) Preparation (Persiapan)
Fase persiapan melakukan komitmen terdiri dari contact dan awareness.
Usaha melakukan kontak dalam bentuk rapat, pidato atau memo tidak
selalu menghasilkan awareness atau kepedulian, mungkin justru

20
merupakan unawareness atau ketidakpedulian. Unawareness akan
mengurangi kesempatan mendapatkan cukup persiapan komitmen.
Sebaliknya, awareness memajukan proses persiapan. Hasil yang
mungkin diperoleh dari awareness adalah confusion dan understanding.
Confusion atau kebingungan mengurangi kemungkinan persiapan yang
cukup, sedangkan understanding atau pemahaman memajukan proses
fase kedua, yaitu acceptance.

2) Acceptance (Penerimaan)
Fase penerimaan terdiri dari tahapan understanding dan perception. Hasil
yang mungkin diperoleh dari tahap understanding dapat berupa persepsi
negatif dan persepsi positif. Persepsi negatif menurunkan dukungan dan
mengusahakan lingkungan yang mungkin dapat memperkuat resistensi.
Sebaliknya, persepsi positif meningkatkan dukungan dan penerimaan
perubahan. Sementara itu, kemungkinan hasil dari persepsi positif adalah
keputusan tidak mendukung implementasi atau keputusan formal untuk
memulai perubahan.

3) Commitment (Janji)
Fase commitment atau janji terdiri dari installation, adoption,
institutionalization, dan internalization. Installation stage bukan hanya
merupakan periode percobaan di mana perubahan diuji untuk pertama
kali, tetapi merupakan kesempatan pertama di mana tindakan komitmen
timbul. Tindakan ini memerlukan konsistensi tujuan, investasi sumber
daya, dan subordinasi sasaran jangka pendek dengan tujuan jangka
panjang.

Ada dua kemungkinan hasil dari installation stage, yaitu


perubahan digugurkan setelah implementasi awal atau diadopsi untuk
pengujian jangka panjang. Installation stage merupakan preliminary test
dengan fokus pada masalah memulai. Maka, adoption menguji implikasi
lebih luas dari perubahan. Adoption memfokuskan pada kepentingan
dengan masalah mendalam dan jangka panjang.

21
Tingkat komitmen dipertimbangkan perlu bagi organisasi untuk
mencapai adoption stage. Akan tetapi, proyek perubahan pada tahap ini
tetap dievaluasi, dengan opsi pada penundaan. Ada dua kemungkinan
hasil untuk adoption stage. Perubahan dapat terminated atau dihentikan
setelah digunakan secara ekstensif, atau perubahan dapat institutionalized
atau melembaga sebagai prosedur standar operasi. Installation dan
adoption merupakan periode pengujian jangka pendek dan panjang.
Bergerak di luar titik pengujian berarti pertanyaan bukan pada apakah
perubahan akan dilakukan, tetapi tentang bagaimana. Sekali
diinstitusionalisasikan, pekerja tidak lagi melihat perubahan sebagai
tentatif.

Mereka mengharapkan menggunakan sebagai sesuatu yang


bersifat rutin, menjadi norma, dan tidak seperti masa lalu, suatu deviasi.
Internalization, sebagai bentuk tingkat komitmen tertinggi, terjadi ketika
pekerja sangat terikat pada perubahan karena mencerminkan kepentingan
pribadi, tujuan, atau nilai-nilai. Ini merupakan komitmen yang datang
dari dalam hati. Perubahan untuk mencapai dukungan maksimum,
pekerja harus didorong oleh motivasi internal yang mencerminkan keper-
cayaan dan keinginan sendiri maupun organisasi. Apabila perubahan
ditentukan sebagai target internalisasi, mereka merasa "memiliki"
perubahan tersebut. Biasanya target yang menginternalisasikan
perubahan menjadi sangat mengabdi pada proyek di mana mereka
mengikat orang lain dalam usahanya.

g. Culture and Change

Sifat budaya organisasi harus konsisten dengan apa yang perlu


untuk mendorong keputusan baru, apabila tidak sehingga keputusan
tersebut mungkin tidak berhasil diimplementasikan. Akan tetapi,
tumpang tindih antara keyakinan, perilaku dan asumsi yang ubahan agar
berhasil mungkin bervariasi sangat besar.

Apabila budaya organisasi sekarang dan perubahan yang ingin


dibuat pada organisasi mempunyai sedikit kesamaan, kesempatan untuk
berhasil mencapai perubahan adalah tipis.

22
Apabila terjadi perbedaan antara budaya sekarang dengan tujuan
perubahan, budaya selalu menang. Manajemen budaya korporasi yang
efektif merupakan kontributor penting bagi keberhasilan implementasi,
tidak dapat diserahkan pada perubahan. Karena tahan lama dan resisten
terhadap perubahan, budaya organisasi memerlukan investasi waktu dan
sumber daya yang sangat besar sebelum dapat dimodifikasi (Conner,
1992: 176).

2.9 Model Perubahan Victor Tan

Victor Tan (2002: 52) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan keberhasilan


dalam proses perubahan, pemimpin harus dapat memenangkan pikiran dan hati orang
dalam organisasi. Victor Tan mengintroduksi empat tahapan yang harus dilalui dalam
proses perubahan, yaitu sebagai berikut.

a. Opening Minds (Membuka Pikiran)

Sering kali, pemimpin berusaha mengubah pikiran orang lain


dengan cara memaksa. Mereka berusaha agar orang berubah dengan
memberi perintah dan bahkan dengan membentaknya. Fokusnya adalah
agar mereka nmau mendengarkan apa yang dikatakan. Tindakan
demikian tidak akan memberikan hasil yang diharapkan.

Akan tetapi, orang hanya dapat mendengarkan apa yang


dikatakan, tidak menyimak karena pikirannya tetap tertutup. Tugas
penting pemimpin pertama kali adalah membuka pikiran orang sebelum
menawarkan mereka berita perubahan. Untuk membuka pikiran orang,
pemimpin harus terlebih dahulu memecahkan tingkat perasaan puas
mereka dengan mengomunikasikan pesan tanpa memaksa untuk
perubahan.

Mereka dapat melakukan dengan benchmarking dan


membandingkan tingkat kinerja organisasi mereka dengan pesaingnya.
Pemimpin dapat menjelaskan kelemahan organisasi dan tantangan yang
dihadapi. Pemimpin dapat mengurangi tingkat kepuasan diri individu
dengan membawa mereka melihat ke luar daripada ke dalam.

23
b. Winning Hearts (Memenangkan Hati)

Apabila membuka pikiran adalah berkenaan dengan alasan, maka


memenangkan hati berkaitan dengan emosi. Kebutuhan bawahan untuk
dihargai merupakan motivasi yang kuat untuk perubahan.

Cara menghargai orang adalah dengan mengenal arti pentingnya


kepedulian mereka atas lingkungan sekitarnya.

Dengan mengomunikasikan lebih dini tentang alasan dan tujuan


perubahan kepada orang, akan lebih dapat memenangkan hati daripada
dikomunikasikan setelah dilaksanakan.

Suatu proses menciptakan kepedulian akan perubahan harus


dimulai dari menekankan pentingnya kedudukan orang untuk tahu dan
memahami mengapa perubahan dilakukan. Setelah melakukan itu,
pemimpin kemudian harus menjelas- kan manfaat perubahan kepada
orangnya. Menjual perubahan adalah tentang membuat orang tertarik
terhadap keinginan berubah. Orang yang tidak membeli perubahan
adalah mereka yang menolak atau resisten terhadap perubahan.

c. Enabling Actions (Memungkinkan Tindakan)

Ada empat alasan mengapa orang tidak mau berubah. Pertama,


karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kedua, mereka tidak
tahu bagaimana cara melakukannya. Ketiga, mereka tidak tahu mengapa
mereka harus melakukannya. Keempat, terdapat hambatan yang berada
di luar kontrol mereka.

Peran pemimpin adalah mengatasi sctiap alasan agar


memungkinkan orang membuat perubahan terjadi. Peran pemimpin
adalah memastikan bahwa komunikasi berjalan efektif sehingga bawahan
lebih memahami arti pentingnya perubahan bagi organisasi dan dirinya.

Untuk membantu staf yang tidak mengetahui apa yang harus


dilakukan, pemimpin perlu mengomunikasikan secara efektif apa yang
perlu diubah.

24
Demikian pula tentang rasionalitas, tujuan dan manfaat
perubahan harus dikomunikasikan secara jelas dan tegas.

d. Rewarding Achievement

Apabila orang tidak dikenal dan dihargai atas prestasinya oleh


organisasinya sendiri, mereka akan pergi dan bergabung dengan
organisasi lain yang mengenal kemampuan mereka dan menghargai
mereka. Menghargai orang dan mengenal kontribusinya akan memotivasi
keinginan orang untuk berubah. Mereka juga lebih ingin berusaha
mencapai sesuatu bagi dirinya maupun organisasi. Pemimpin yang
memerhatikan orang dan menunjukkan kepedulian atas orang akan
mendapatkan respek dan komitmen. Orang tidak peduli berapa besar
pemimpin tahu sampai mereka tahu seberapa besar pemimpin peduli.
Untuk memotivasi orang terhadap perubahan, penting sekali bahwa
pemimpin menghargai orang secara adil.

Victor Tan (2002: 52) memberikan ilustrasi model keberhasilan perubahan sebagai
berikut.

25
Meskipun rencana manajemen transisi sangat unik sesuai dengan masing-masing
situasi, namun ada beberapa langkah berikut yang dapat dianut.

1) Belajarlah mendeskripsikan perubahan dan mengapa harus terjadi.


Mengherankan bahwa banyak pemimpin tidak mampu melakukannya.
2) Pastikan bahwa rincian perubahan direncanakan dengan hati-hati dan bahwa
seseorang bertanggung jawab untuk setiap rincian, jadwal waktu untuk semua
perubahan sudah ditetapkan, dan bahwa rencana komunikasi yang menje- laskan
perubahan telah berlangsung-
3) Pahami siapa yang harus membiarkan dan apakah orang harus membiarkan
berhasil.
4) Pastikan bahwa langkah dilakukan untuk membantu orang menghargai
kepergian masa lalu.
5) Bantu orang melalui zona netral dengan komunikasi yang menunjukkan
koneksitas dengan dan peduli pada peng- ikut.
6) Ciptakan solusi sementara bagi persoalan sementara dan tingkat ketidakpastian
yang tinggi ditemukan di zona netral.
7) Bantu orang meluncurkan awal baru dengan membicara-kan sikap dan perilaku
baru yang diperlukan untuk membuat perubahan berjalan.

Dari pembahasan tentang tahapan, proses atau model perubahan di atas dapat
diperoleh kesimpulan bahwa model perubahan yang dapat dilakukan untuk menangani
perubahan individual adalah model perubahan Kurt Lewin yang kemudian diadopsi oleh
Robbins, Kreitner dan Kinicki, serta Greenberg dan Baron. Sementara itu, model
perubahan untuk menangani perubahan organisasional dapat menggunakan proses per-
ubahan Pasmore, atau tahapan perubahan Kocter, atau Bridges dan Mitchell, atau
Conner. Untuk pendekatan sistem, dapat digunakan sistem perubahan Kreitner dan
Kinicki, model per- ubahan Tyagi atau model Victor Tan.

Di dalam implementasinya, penanganan perubahan individual dan


organisasional harus dilakukan secara simultan. Perubahan organisasional harus dimulai
dengan mempersiapkan individu yang terlibat di dalamnya. Untuk dapat mengendalikan
perubahan secara menyeluruh sebaiknya dilakukan dengan pendekatan sistem. Dengan
pendekatan sistem dapat diperoleh gambaran tentang hubungan antara input, proses dan

26
output yang dapat diharapkan. Sementara itu, untuk implementasinya perlu
direncanakan tahapan yang harus dilakukan secara jelas. Meninggalkan salah satu
tahapan berarti membuka peluang untuk ketidakberhasilan upaya perubahan.

27
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Model perubahan terencana yang menjelaskan bagaimana mengambil
inisiatif, mengelola dan menstabilisasi proses perubahan. Ketiga tahap
tersebut. dinyatakan sebagai unfreezing, movement, dan refreezing.
Sementara itu, Kreitner dan Kinicki.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan.Tentunya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

28
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.j.Winardi,SE., manajemen perubahan

Prof.Dr. wibowo, S.E.,M.phil, manajemen perubahan edisi ketiga

29

Anda mungkin juga menyukai