Anda di halaman 1dari 18

USULAN PENELITIAN

KARAKTERISASI GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA ITIK


KERINCI MENGGUNAKAN METODE PCR-RFLP

OLEH
SALSABILA
E10018062

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman ternak unggas yang menjadi salah


satu sumber pangan hewani yang cukup potensial untuk dikembangkan. Salah
satu ternak unggas yang berperan dalam penyediaan pangan hewani adalah itik
lokal. Itik lokal merupakan itik yang berasal dari daerah tertentu yang biasanya
memiliki nama sesuai daerah serta morfologi yang bervariasi. Salah satu itik local
yang ada di Indonesia adalah Itik Kerinci yang ditemukan di Provinsi Jambi.
Itik Kerinci merupakan salah satu plasma nutfah yang sudah ditetapkan
oleh Menteri Pertanian sehingga perlu dilestarikan. Itik Kerinci mendapat
pengakuan dari pemerintah pusat melalui Menteri Pertanian pada tahun 2012 yang
dinyatakan sebagai itik unggulan. Beberapa ciri-ciri Itik Kerinci menurut
keputusan Menteri Pertanian Nomor 2834/Kpts/LB.430/8/2012 adalah pada itik
jantan mempunyai postur tubuh yang tegak dengan sudut 70-80º sedangkan pada
betina 40-45º. Warna bulu itik jantan dominan adalah putih bintik cokelat di
bagian leher, dada dan punggung, sementara ujung ekor berwarna campuran
cokelat dan biru kehitaman atau gelap. Sedangkan pada betina memiliki warna
putih dengan totol cokelat terang dari dada hingga ujung ekor dan sayap
gelap dengan kerabang telur berwarna putih.
Itik Kerinci memiliki tingkat keragaman genetik yang relatif tinggi.
Tingginya tingkat keragaman genetik itik Kerinci berpeluang untuk dilakukannya
seleksi. Seleksi adalah suatu kegiatan memilih ternak yang dianggap baik untuk
dijadikan tetua dan ternak yang kurang baik untuk tidak dikembangkan. Seleksi
dapat dilakukan berdasarkan performans itik Kerinci maupun secara genetik.
Seleksi berdasarkan performans itik Kerinci seperti bobot badan dan ukuran -
ukuran tubuh membutuhkan waktu yang lebih lama. Menurut Sarbaini dkk. (2018)
menyatakan bahwa seleksi secara konvensional sulit dilakukan karena ternak
belum memperlihatkan performans produksinya. Adanya kemajuan di bidang
molekuler, seleksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi keragaman genetik
pada itik kerinci melalui gen-gen yang bernilai ekonomis seperti pertumbuhan.
Salah satu gen yang mengatur pertumbuhan itik kerinci adalah gen Growth
Hormone (GH).
Gen Growth Hormone (GH) merupakan suatu gen yang mengendalikan
pertumbuhan dan berperan dalam metabolisme tubuh (Hartatik et.al, 2018). Gen
Growth Hormone (GH) juga salah satu faktor yang mempengaruhi adanya
perubahan dari presentase laju pertumbuhan (Puteri, dkk, 2019). Sifat peforma
produksi merupakan sifat yang dipengaruhi banyak faktor dan gen, salah satunya
adalah gen yang mempengaruhi pertumbuhan (Mazurowski et al. 2015). Upaya
untuk mengetahui keragaman gen growth hormone dapat dilakukan dengan
penciri molekul Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP).
Polymerase chain reaction (PCR) adalah teknik yang memungkinkan
untuk memperbanyak salinan DNA yang dihasilkan dari amplifikasi enzimatik
oleh rangkaian DNA target (Brown, 2016). Restriction Fragment Length
Polymorphism (RFLP) ialah salah satu metode yang banyak digunakan untuk
mendeteksi adanya variasi pada tingkat DNA. Deteksi RFLP dilakukan
berdasarkan adanya kemungkinan perbedaan panjang fragmen DNA sasaran yang
dihasilkan sesudah proses pemotongan dengan sesuatu enzim restriksi (Erni dan
Wathon, 2018).
Berdasarkan uraian diatas, serta kurangnya informasi berkaitan dengan gen
Growth Hormon (GH) pada itik Kerinci maka perlu dilakukan penelitian tentang
“Karakterisasi Gen Hormon Pertumbuhan pada Itik Kerinci Menggunakan PCR-
RFLP”.

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Itik Kerinci ialah salah satu rumpun itik lokal Indonesia yang memiliki
sebaran asli dari Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi serta sudah dibudidayakan
secara turun-temurun. Itik Kerinci sebagai sumber daya genetik perlu dilestarikan
guna mempertahankan keberadaan itik ini. Kemajuan teknologi molekuler dapat
dimanfaatkan dalam mengkarakterisasi keragaman genetik dengan waktu yang
cepat dan memiliki tingkat kecermatan yang tinggi. Karakterisasi keragaman
genetik pada sifat produksi yang bernilai ekonomis seperti pertumbuhan dapat
dilakukan analisis pada gen strukturalnya. Salah satu gen struktural yang
mempunyai hubungan mengontrol sifat pertumbuhan adalah gen growth hormone
(GH). Adanya karakterisasi gen hormon pertumbuhan menarik untuk dikaji dan
dihubungkan dengan pertumbuhan pada Itik Kerinci.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan yakni apakah
ada keragaman gen growth hormone (GH) pada Itik Kerinci?

1.3. Hipotesis

Ada keragaman gen growth hormone (GH) pada Itik Kerinci.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakterisasi gen menggunakan


metode PCR-RFLP pada Itik Kerinci.

1.5. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi


kepada peneliti, perguruan tinggi, peternak itik serta pemerintah tentang
karakterisasi gen hormone pertumbuhan dan hubungan antara gen hormone
pertumbuhan dengan pertumbuhan Itik Kerinci menggunakan metode PCR-RFLP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Itik Lokal

Indonesia memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan sumber


pangan hewani ternak itik sebagai penghasil daging dan telur selain ayam
(Negara, dkk., 2017). Ternak itik merupakan ternak unggas yang cukup potensial
untuk dikembangbiakan karena penghasil telur dan daging. Ternak itik merupakan
ternak lokal yang cukup digemari sehingga penyebarannya cukup merata, salah
satunya di Provinsi Jambi (Constantin, 2018). Ternak itik juga merupakan salah
satu komoditi unggas yang memiliki peran penting sebagai penghasil telur dan
daging agar mendukung penyediaan protein hewan (Anwar dkk., 2015).
Itik lokal ialah salah satu sumberdaya genetik ataupun plasma nutfah
ternak unggas di Indonesia yang memiliki keunggulan sebagai sumber protein
hewani yang penting yakni penghasil telur serta daging dan warna bulu yang
khusus (Purwantini D, et,. Al,. 2018). Populasi itik lokal memiliki produktivitas
yang lebih rendah, dan belum dikembangkan sebanyak itik komersial. Namun, itik
lokal lebih penting dalam hal keragaman genetik dan potensi ekonominya
berharga (Seo et al. 2016). Ternak itik di Indonesia bertujuan untuk menghasilkan
telur maupun daging untuk konsumsi manusia. Itik local yang ada di Indonesia
termasuk jenis Indian Runner yang menghasilkan telur, diantaranya itik Kerinci,
itik Tegal, itik Mojosari, itik Cihateup, itik Cirebon, itik Bali, itik Magelang, itik
Alabio, itik Turi, itik Damiaking, itik Pegagan, dan itik Sasak (Tamzil dan
Indarsih, 2017).
Itik Kerinci sebagai plasma nutfah ternak lokal perlu dipertahankan, dan
produksi utama dari itik ini adalah telur. Berkurangnya populasi itik galur murni
itik Kerinci disebabkan banyaknya peternak yang mendatangkan bibit dari luar
terutama dari pulau Jawa, untuk memenuhi permintaan daging dan telur yang
terus meningkat (Manin, dkk., 2014). Populasi itik di Provinsi Jambi tampak
menurun 11% dari tahun 2016, populasi sementara mencapai 1.162.799 ekor
pada tahun 2017 (Ditjenak, 2017). Salah satu faktor penyebab kurang optimalnya
produksi dan reproduksi itik lokal adalah kondisi fisiologisnya terutama daerah
tropis melebihi suhu yang nyaman bagi itik dan perubahan sistem pemeliharaan
dari kondisi tradisional menjadi intensif di bawah kurungan air yang minimal
menyebabkan itik mengalami kesulitan termoregulasi, sehingga itik mengalami
stress/tekanan panas. (Subekti et al, 2019).

2.2. Karakteristik Kuantitatif

Karakterisasi genetic dapat dinilai berdasarkan karakteristik secara


morfologi, profil protein dan sifat-sifat molekuler. Karakterisasi genetic
diperlukan untuk pengelolaan sumber daya genetic yang efisien (Susanti et al.
2017). Identifikasi dapat berfokus pada karakteristik fenotip baik kualitatif dengan
melihat warna, bulu, kulit, paruh dan selaput diantara jari kaki dan kuantitatif
dengan menghitung berat badan, produksi dan kualitas telur, sedangkan
identifikasi secara biomolekuler dapat dilakukan untuk mengetahui variasi genetik
dari itik (Febrianto et al., 2018).
Factor yang mempengaruhi berat itik yaitu genetic, asupan nutrisi serta
lingkungan seperti kepadatan kandang dan temperatur, sedangkan berat tetas
dipengaruhi oleh berat telur (Syaifudin et al., 2015). Adanya pengaruh hormonal
pada itik jantan yang akan dewasa mempengaruhi cepat laju pertumbuhan bobot
badan mingguan (Sihite et al., 2015). Menurut Sitanggang et al. (2016) yang
mempengaruhi ukuran-ukuran tubuh adalah panjang sayap, panjang femur,
panjang tibia, lingkar shank, panjang shank, panjang jari ketiga.

2.3. Gen Hormon Pertumbuhan

Growth hormone (GH) adalah hormon pleiotropik yang terlibat dalam


banyak proses yang beragam seperti pertumbuhan, adipositas, homeostasis
glukosa, reproduksi, dan umur panjang (Edward et.al, 2019). Gen Growth
Hormone (GH) merupakan sebuah gen yang mengontrol sintesis hormon
pertumbuhan dan berperan dalam metabolisme tubuh. Identifikasi polimorfisme
suatu gen penting dilakukan untuk memperoleh informasi awal dalam mengetahui
penanda genetik yang berhubungan dengan sifat-sifat ekonomis yang diinginkan
(Hartatik et.al, 2018). Keragaman gen ditunjukkan dengan adanya polimorfisme
pada situs spesifik yang mungkin terkait dengan ekspresi gen di perkawinan alam
(Yurnalis et al., 2019). Growth hormone (GH) dikenal sebagai salah satu hormon
pengontrol pertumbuhan makhluk hidup termasuk produksi telur, pertumbuhan
otot, dan pertumbuhan tulang (Krisdianto, 2016).
Sifat peforma produksi merupakan sifat yang dipengaruhi banyak faktor
dan gen, salah satunya adalah gen yang mempengaruhi pertumbuhan
(Mazurowski et al. 2015). Gen yang memiliki hubungan dengan pertumbuhan
postnatal adalah Growth Hormone (GH) yang berdampak pada pertumbuhan
tulang dan otot setelah lahir, anabolisme seperti pertumbuhan tulang dan sintesis
protein (Hidayati et.al, 2020). Hormon pertumbuhan (growth hormone, GH)
merupakan hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatrotop
di lobus anterior hipofisa. Hormon pertumbuhan berinteraksi dengan reseptor
spesifik pada permukaan sel target (Misrianti et al., 2011).

2.4. Analisa Molekuler

Polimerase Chain Reaction- Restriction Fragment Length Polymorphism


(PCR-RFLP). Metode ini merupakan salah satu metode penandaan DNA
didasarkan pada perbedaan situs pemotongan. Pemotongan dilakukan dengan
enzim restriksi endonuklease yang dapat mendigesti DNA dan memotong DNA
pada situs restriksi tertentu menjadi fragmen-fragmen (Hikmah, 2016). PCR
merupakan teknologi yang bisa melipat gandakan sepenggal fragmen DNA yang
terdapat dalam komplek makromolekul genom dari bermacam sumber (hewan,
tumbuhan, bakteri, dan virus) menjadi 2n kali lipatnya secara enzimatis (Budiarto,
2015).
Prinsip kerja amplifikasi DNA dengan mesin PCR adalah mensintesis
dalam tiga tahapan yaitu denaturasi, anneling dan ekstensi (Triwani dkk, 2015).
Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa pita DNA yang diperoleh dari isolasi
darah menghasilkan pita DNA yang jelas dan bersih hal ini menunjukan kualitas
DNA yang dihasilkan baik. Langkah awal yang sangat menentukan dalam
keberhasilan penelitian molekuler yang berbasis pada DNA adalah kualitas
DNA yang diperoleh dari tahapan isolasi (Nova et al., 2016). Hasil PCR yang
baik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kemurnian DNA hasil ekstraksi,
ketepatan pemilihan primer yang digunakan, serta ketepatan kondisi PCR.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kondisi reaksi PCR serta primer yang digunakan
melalui desain dengan program primer sudah cukup baik karena memberikan
produk PCR yang sangat spesifik sesuai yang diharapkan (Depison et.al, 2017).
Perbedaan teknik PCR-RFLP terdapat pada fragmen DNA antar individu
dalam satu populasi (Brown, 2016). Kelemahan dalam metode PCR-RFLP adalah
membutuhkan waktu yang panjang karena melalui dua tahap analisis penting yaitu
PCR itu sendiri dan pemotongan DNA hasil PCR dengan enzim restriksi
(Erwanto, dkk, 2012).
Identifikasi molekuler dapat berfungsi sebagai penanda genetik untuk
mengungkap perbedaan antarspesies, filogeografik dan hubungan genetik intra-
famili untuk studi polimorfisme. Identifikasi polimorfisme berdasarkan urutan
nukleotida dilakukan melalui Polimorfisme Nukleotida Tunggal (SNP)
menggunakan produk PCR (Ismoyowati et.al, 2017)
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di ……. Waktu penelitian dimulai dari


tanggal … sampai dengan …

3.2. Materi dan Peralatan

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah 50 sampel darah Itik
Kerinci. Peralatan yang digunakan adalah vaculab EDTA K3, tube holder,spuit
disposible ukuran 3 ml,cool box,alat tulis dan frezzer tempat penyimpanan darah,
pipet mikro 200 µl, 1000 µl , 20 µ gibson, rak microtube, blue tipe , yellow tipe,
white tipe microtube eppendorf ukuran 1,5 ml, microsentrifuge ukuran 2.0 ml,
sentrifuge, vortec, microtube PCR ukuran 200 µl, inkubator suhu 37oC (Hereues
Instruments-Germany), gelas ukur, magnetic strirrer, piranti Submarine
Electrophoresis (Hoeffer USA), power supply electrophoresis, alat foto Uvi
(gelombang 200-400 nm).
Bahan yang digunakan untuk dalam penelitian adalah, alkohol 70 %, sampel
darah, protocol Genomic DNA Purifikation Kit dari Promega, isopropanol, etanol
70%, primer forward dan reverse, Nuclease free water, Master Mix, hasil
amplifikasi PCR, agarose (no.cat. 50013R), loading dye, ladder 100 bp, TBE 1X
dan ethidium bromide, enzim retriksi Alu1.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Pengambilan Darah

Sampel darah Itik Kerinci diperoleh dengan mengambil darah


menggunakan spuit di vena axillaris bagian sayap. Darah diambil pada bagian
kulit yang dioles alkohol terlebih dahulu. Darah yang diambil sebanyak 1- 2 ml
kemudian dimasukkan ke dalam tabung 3 mL dan dicampur dengan serbuk
EDTA agar tidak menggumpal.Sampel darah disimpan dalam cool box untuk
sementara, setelah itu darah disimpan freezer sebelum diproses lebih lanjut.
3.3.2. Ekstraksi DNA Total

Ekstraksi DNA dari darah Itik dilakukan dengan menggunakan protokol


Genomic DNA Purification Kit dari Promega. Sebanyak 25 μl darah diambil
menggunakan mikropipet 200 μl kemudian ditambahkan 200 μl larutan Cell Lysis
menggunakan mikropipet 1000 μl ke dalam tabung eppendorf ukuran 2,0 ml.
Campurkan sampai rata larutan tadi dengan cara membolak balik tabung sebanyak 5-
6 kali, kemudian biarkan di suhu ruang selama 10 menit. Selanjutnya sentrifuge
dengan kecepatan 1300 rpm selama 20 detik, setelah itu supernatan pada tabung
eppendorf dibuang dan tambahkan Nuclei Lysis Solution sebanyak 300 μl kemudian
menggunakan micropipette 1000 μl dan melakukan up-down (tekan lepas mikrotipe)
sehingga endapan pada tube akan menyebar secara merata yang ditandai dengan
tidak adanya lagi cairan yang mengendap. Hal ini bertujuan untuk memecah inti sel.
Diamkan sampel di dalam kulkas selama semalaman hingga busa menghilang.
Pada hari kedua sampel ditambahkan Protein Precipitation Solution
sebanyak 200 μl menggunakan mikropipet 1000 μl lalu divortex selama 10 detik
sehingga larutan tercampur rata. Larutan kemudian di sentrifuge dengan kecepatan
1300 rpm selama 3 menit, pindahkan supernatan ke tube baru yang berukuran 1,5 ml
yang telah diisi Isopropanol sebanyak 700 μl sehingga terbentuknya benang-benang
DNA. Mengendapkan DNA yang telah didapatkan dengan cara disentrifuge kembali
pada kecepatan 1300 rpm selama 1 menit selanjutnya supernatan dibuang lalu dicuci
menggunakan ethanol 70% sebanyak 700 μl menggunakan micropipette 1000 μl.
Sentrifuge kembali dengan kecepatan 1300 rpm selama 1 menit. Ethanol dibuang
sampai habis dan dikeringkan pada suhu ruang selama 20 menit kemudian
tambahkan larutan DNA rehydration sebanyak 50-100 μl, tergantung ukuran DNA.
Selanjutnya dielektroforesis untuk melihat konsentrasi DNA yang diperoleh.
DNA yang diperoleh selanjutnya disimpan pada suhu -20oC, sampai siap
digunakan. Hasil ekstraksi DNA dilihat menggunakan gel elektroforesis 1,5% yang
diwarnai menggunakan Ethidium Bromide pada alat eletroforesis dengan tegangan
100 volt selama 60 menit. Hasil ekstraksi DNA akan divisualisai melalui sinar UV
menggunakan Gel Doc.
3.3.3. Amplifikasi Gen GH

DNA yang sudah diisolasi selanjutnya diampilfikasi dengan menggunakan satu


pasang primer dengan estimasi produk 847 bp yang diharapkan dapat
mengamplifikasi gen hormon pertumbuhan. Primer ini dirancang dengan
menggunakan program Primer berdasarkan gen Bank dengan no aksesi AB158760.2
lebih jelasnya primer yang digunakan serta sekuens gen GH Itik Kerinci yang
digunakan disajikan pada Tabel 1. dan Gambar 1 di bawah ini:
Tabel 1. Panjang dan lokasi gen GH dan Primer yang digunakan untuk analisis
PCR.
Panjang
Posisi segmen Nama Primer Sekuen (5’ 3’) Suhu annealing
(bp)
GHD01aL- Fwd. 5’-TGTGCCAGAGAGCAGAAGTT-3’ 590C
1797- 2634 847
GHD01aR-Rev. 5‘-AGAGAGCTGTGAGGAGGAGA-3’ 590C
1621 atgcccatat ccaagtccta caggctccag ggcattcttc cactgaaggg tgcttgtttg
1681 agattaactt tgtgtccatc tgtacttaca gagaccactt gtgtgagtta gatgctaggc
1741 gttaataacc tttagacttg tcagggatca ctggattcta caggtgtgtg ccagagagca GH
1801 gaagttctca gttacgacac aggtaatgca atcgcttttc accctagtga aggcagacag FWD
1861 acagtttcat gtcagcagca tgatgtaaaa caaggctaca gtgaactatt cccagtccct
1921 cccctggtac tcaccatccc gtccgctcat gcatcatact ccattcatga agacaagact
1981 gactgaaaaa catgagcgtg ttaaggaaca acacagggat gcactgcagt tttcatggag
2041 caacaatcat tcttaaggca gaaaagcatt gtttgtaaca ttgggagcag cacaagcctc
2101 gagggcacat ccagcaaaag gggatggggt gtcactggag ggctaagatc gtgcatgaac
2161 acaaacaaga cattctttag ggttagcaca ggcagaagag gccaggaagt aatatgcagg
2221 tgccaccctc actgaaggac agttaacacc actcctctcc actttgctgc agggtcgtgg
2281 ttttctcctc tcttcatcac tgtgatcacc ctgggattgc agtggccaca agaagctgcc ALU 1
2341 accttcccag ccatgcccct ttccaacctg tttgccaacg ctgtgctgag ggctcagcac
2401 ctccacctcc tggccgcaga gacgtacaaa gagttcgtaa gtgtacagcc tccgggcatc
2461 tcctcattaa cctgatgttt tcaggaccat atcacagctt cccacccagt ccagttttct
2521 agaaacagat gcatttcaac tactggtgtc tcctgtcaga tcctgaggag gaaaaaggag
GH
2581 tcttaatggg acagaaccgg cctctaccag cctgtctcct cctcacagct ctctgcctcc REV
2641 acccctgatc ctcctcaggg ccacagctgc ccacacccaa acccaccaca tacagccagc
2701 tgcctcaaag agaaacccag tcctgagagc tgtggggagc ggcaggcatt ttgcaacttt

Gambar 1.Sekuens gen GH pada ternak Itik yang diakses di GenBank No.
AB158760.2

Amplifikasi PCR menggunakan mesin PCR merek BIO-RAD.


Komposisinya sebagai berikut : 3 μl primer (forward dan reverse), sampel DNA
genom 2 μl, 10 μl nuclease free water, dan 15 μl gotaq green master mix (Taq
Polimerase) sehingga total campuran 30μl. Sampel di Spinner terlebih dahulu agar
selanjutnya dimasukkan kedalam tabung mesin PCR dengan suhu optimal. Hasil
amplifikasi dapat dilihat dengan melakukan elektroforesis menggunakan agrose
1,5%, yang diwarnai dengan Ethidium Bromide dengan tegangan 100 volt selama 60
menit. Selanjutnya pada gel akan terlihat pita-pita yang terbentuk pada setiap alur
sumur yang berisi sampel DNA produk PCR. Penentuan ukuran setiap fragmen
growth hormone yang terbentuk pada gel agrose dilakukan dengan membandingkan
posisi pita yang terbentuk dengan posisi pita DNA ladder. kemudian mesin
elektroforesis dijalankan dengan tegangan 200 volt salama 1 jam. Selanjutnya hasil
amplifikasi diamati menggunakan dengan bantuan sinar UV pada Gel
Documentation system (Biometra-German) yang selanjutnya didokomentasikan.

3.3.4. Gel Purifikasi

Proses pemotongan hasil amplifikasi dengan metode PCR-RFLP


menggunakan enzim retriksi Alu1. Masukan hasil amplifikasi PCR kedalam PCR
tube 200 μl sebanyak 10 μl dan enzim retriksi sebanyak 10 μl dan dilakukan inkubasi
dengan suhu 37oC selama 4 jam didalam water bath. Kemudian hasil sampel yang
telah retriksi di elektroforesisi menggunakan gel Agarose 2 % yang diwarnai dengan
Ethidium Bromida dengan menyertakan marker (DNA ladder) sebanyak 10 μl dan
produk hasil amplifikasi PCR yang tidak di lakukan retriksi menggunakan enzim
pemotong, selanjutnya jalankan mesin elektroforesis dengan ketegangan 100 volt
selama 2 jam. Hasil eketroforesis sampel retriksi selanjutnya di lihat menggunakan
dengan bantuan sinar UV pada Gel Documentation system (Biometra-German) yang
selanjutnya didokomentasikan. Hasil retriksi menggunakan enzim pemotong Alu1.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Frekuensi Genotipe dan Alel

Frekuensi genotip dihitung berdasarkan jumlah genotipe tertentu dibagi


dengan total populasi :
Σ Xi
F 1=
N
Keterangan :
xi = genotipe yang diamati
N = Total Populasi

Frekuensi alel gen hormon pertumbuhan (GH) yang dipeoleh dari analisis
penciri PCR-RFLP dianalisis menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) :

X i =¿ ¿

Keterangan :
xi = frekuensi alel ke-i,
nii = jumlah individu bergenotipe ii,
nij = jumlah individu bergenotipe ij,
N = jumlah total sampel.

3.4.2. Keseimbangan Hardy-Weinberg (H-W)

Keseimbangan Hardy-Weinberg (H-W) dengan uji chi-square (X2)


menurut (Hartl dan Clark 1997) sebagai berikut :

(obs−exp)²
X ²=
exp

Keterangan :
χ2 = uji Chi-square,
Obs = jumlah pengamatan genotipe ke-i
Exp = jumlah harapan genotipe ke-i

3.4.3. Heterozigositas

Keragaman genetik (genetic variability) dilakukan melalui estimasi


frekuansi heterozigositas pengamatan (Ho), heterozigositas harapan (He) dihitung
menggunakan rumus Nei (1987) :
2
ĥ=2 n(1−Σxi )/(2 n−1)

Keterangan :
xi = frekuensi alel lokus ke –i
n = jumlah sampel
ĥ = heterozigositas lokus

3.4.4. Polymorphic Information Content

Polymorphic Information Content (PIC) dihitung menggunakan rumus


Botstein et al., (1980).
n n−1 n
PIC=1−∑ p12−∑ ∑ 2 p2i p 2j
i=1 i=1 j=i +1

Keterangan :
PIC = Polymorphic Information Content ,
Pi = frekuensi alel ke-I,
N = jumlah alel

3.4.5. Uji T

Perbedaan rataan Bobot Badan Itik Kerinci terhadap Genotipe Fragmen


gen GH Alu1 dianalisis dengan menggunakan uji t (Mendenhall, 1987).

Keterangan :
t = nilai t hitung
X1 = rataan sampel pada kelompok pertama,
X2 = rataan sampel pada kelompok kedua,
XJ1 = nilai pengamatan ke-J pada kelompok pertama
XJ2 = nilai pengamatan ke-J pada kelompok kedua
n1 = Jumlah sampel pada kelompok pertama, dan
n2 = Jumlah sampel pada kelompok kedua.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, N., S.P. Utama, dan Reswita. 2015. Efisiensi usaha pembibitan itik
modern dan tradisional pada skala rumah tangga di Kabupaten Lebong.
Jurnal AGRISEP. 14(1): 26-38.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2017. Populasi unggas wilayah Provinsi
Jambi.
Botstein D., R. L. White, M. Skolnick, dan R. W. Davis. 1980. Construction of a
genetic linkage map in man using restriction fragment length
polymorphisms. Am. J. Hum. Genet. 32 (3) : 314–331.
Brown, T. A. 2016. Gene cloning and DNA analysis: an introduction. Hoboken:
John Wiley & Sons.
Budiarto, B. R. 2015. Polymerase chain reaction (pcr): perkembangan dan
perannya dalam diagnostik kesehatan. BioTrends. 6(2) : 29-38.
Constantin, Audia, 2018. Analisis komponen utama sifat morfometrik ternak itik
di kecamatan air hangat dan depati tujuh kabupaten kerinci provinsi
jambi. S1 thesis, Universitas Jambi.
Depison., A. Sarbani, Jamsari, Arnim, dan Yurnalis . 2017. Association of growth
hormone gene polymorphism with quantitative characteristic of thin-
tailed sheep using pcr-rflp in jambi province. African Journal of
Biotechnology.16(20): 1159-1167.
Edward, O., D. E. Berryman, E. A. Jensen, P. Kulkarni, S. McKenna, dan J. J.
Kopchick. 2019. New insights of growth hormone (GH) actions from
tissue-specific gh receptor knockouts in mice. Arch Endocrinol Metab.
63(6): 557-567.
Erni, E, dan S. Wathon. 2018. Pengembangan sistem deteksi hpv (Human
Papilloma Virus) berbasis marka molekuler pcr-rflp.Biotrends. 9(2): 48-
55.
Erwanto, Y., Sugiyono, S., Rohman, A., Abidin, M. Z., & Ariyani, D. 2012.
Identifikasi daging babi menggunakan metode pcr-rflp gen Cytochrome b
dan pcr primer spesifik gen amelogenin. Agritech, 32(4).
Ferbianto, F., Ismoyowati, M. Mufti, Prayitno, D. Purwantini, 2018.
Polymorphism gene GH and morphological characteristic of anas
plathyrhyncos and cairina moschata. Animal Production. 20(1):17-27.
Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Cetakan ketiga.
PT Tarsito : Bandung.
Hartatik, T., D. E. Putra, S. D. Volkandari, T. Kanazawa, dan Sumadi. 2018.
Genotype analysis of partial growth hormone gene (GH891|MspI) in
pesisir cattle and simmental-pesisir crossbred cattle. J. Indonesian Trop.
Anim. Agric. 43(l):l-8.
Hikmah, R., 2016. Keragaman durian berdasarkan fragmen internal transcribed
spacers (its) dna ribosomal melalui analisis pcr-rflp. Jurnal MIPA 39:11–
19.
Ismoyowati., E.Tugiyanti., M.Mufti., D.Purwantini. 2017. Sexual dimorphism and
identification of single nucleotide polymorphism of growth hormone
gene in muscovy duck. Journal of the Indonesian Tropical Animal
Agriculture. 42(3):167-174
Krisdianto, C., 2016. Identifikasi keragaman gen growth hormone (gh| ecor v)
pada ayam kampung di indonesia menggunakan metode pcr-rflp. Skripsi.
Manin, F., E. Hendalia, H. Lukman dan Farhan. 2014. Pelestarian dan budi daya
itik kerinci sebagai plasma nutfah provinsi jambi berbasis probio_fm di
kecamatan air hangat kabupaten kerinci provinsi jambi. Jurnal
Pengabdian pada Masyarakat. Volume 33, Nomor 1-4 Januari –Juni
2014.
Mazurowski, A., A. Frieske, D. Kokoszynski, S. Mroczkowski, Z. Bernacki, & A.
Wilkanowska. 2015. Examination of growth hormone (gh) gene
polymorphism and its association with body weight and selected body
dimension in ducks. Folia Biologica. 63(1).
Mendenhall, W. 1987. Inroduction to probability and statistics. Seventh Ed. PWS
Publishers. 20 Park Plaza. Boston, Massachusetts. USA.
Misrianti, R., C.A.Sumantri., A.Anggraeni., 2011. Keragaman gen hormon
pertumbuhan reseptor ( ghr ) pada sapi perah. Jurnal veteriner indonesia
16: 253–259.
Negara, P. M. S., I. P. Sampurna, T. S. Nindhia, 2017. Pola pertumbuhan bobot
badan itik bali betina. Indonesia Medicus Veterinus, 6(1), 30-39.
Nei, M, dan S. Kumar. 2000. Molecular evolution and phylogenetics. Oxford
University Press. New York.
Nei, M. 1987. Molecular evolutionary genetics. Columbia University Press. New
York.
Nova, T. D., Yurnalis, A. K. Sari., 2016. Keragaman genetik gen hormon
pertumbuhan ( GH | MBOII ) pada itik sikumbang janti menggunakan
penciri PCR-RFLP 18: 44–52.
Purwantini, D. 2018. Potensi genetik terkait dengan karakteristik produksi pada
itik. Prosiding seminar teknologi dan agribisnis peternakan vi:
pengembangan sumber daya genetik ternak lokal. Purwekerto: Fakultas
Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman.
Puteri, G. A., Utomo, B., & Darsono, R. 2019. Profil gen growth hormone (gh)
sapi hasil persilangan madura dan limousin dengan metode pcr-rflp.
Ovozoa Journal of Animal Reproduction, 8(1), 43-48.
Sarbaini, Yurnalis, Hendri, R. Dahnil, 2018. Analisis keragaman exon-1 gen
hormon pertumbuhan pada itik lokal (bayang) sumatera barat
menggunakan metoda PCR-RFLP. Jurnal Peternakan Indonesia. Vol. 20
(2): 124-129.
Seo, D., M. S. A. Bhuiyan, H. Sultana, J. M. Heo, J. H. Lee. 2016. Genetic
diversity analysis of South and East Asian duck populations using highly
polymorphic microsatellite markers. Asian-Australasian journal of
animal sciences, 29(4), 471.
Sihite, M., & Pakpahan, P. 2015. Pengaruh pemberian probiotik campuran
streptococcus thermophillus dan bacillus cereus dalam air minum
terhadap bobot badan dan pertambahan bobot badan mingguan itik
magelang jantan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 18(1), 8-13.
Sitanggang, E.N, Hasnudi, dan Hamdan. 2016. Keragaman sifat kualitatif dan
morfometrik antara ayam kampung, ayam bangkok, ayam katai, ayam
birma, ayam bagon dan magon di medan. Jurnal Peternakan Integratif.
Vol. 3 No. 2. Hal. 167–189.
Subekti, K., D. D. Solihin, R. Afnan, A. Gunawan, & C. Sumantri. 2019.
Polymorphism of duck HSP70 gene and mRNA express under heat stress
conditions. Int. J. Poult. Sci.18(12): 591-597.
Susanti R, F. Fibriana, A. Yuniastuti. 2017. PCR-RLFP analysis of D-loop
mtDNA in Indonesian domestic waterfowl. Biosaintifika: Journal of
Biology and Biology Education 9: 537-544.
Syaifudin., Rukmiasih dan R. Afnan. 2015. Performa itik alabio jantan dan
betina berdasarkan pengelompokan bobot tetas. J. Ilmu Produksi Dan
Teknologi Hasil Peternakan. Vol. 03. No. 2. Hal. 83-88.
Tamzil, M. H. dan B. Indarsih. 2017. Measurement of phenotype characteristics
of Sasak ducks: Indian Runner ducks of Lombok island Indonesia.
Animal Production. 19: 13-19.
Triwani, T., & Saleh, I. 2015. Single Nucleotide Polymorphism Promoter-765g/C
Gen Cox-2 Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Karsinoma Kolorektal.
Biomedical Journal of Indonesia, 1(1), 2-10.
Yurnalis, Arnim, D. E. Putra, Z. Kamsa, T. Afriani, 2019. Identification of gh
gene polymorphisms and their association with body weight in bayang
duck, local duck from west sumatra, indonesia. IOP Conf. Series: Earth
and Environmental Science 347.

Anda mungkin juga menyukai