Anda di halaman 1dari 4

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI PENERAPAN SANKSI

ADMINISTATIF

Pada dasarnya terdapat 3 macam upaya penegakan hukum yang dapat dilakukan terhadap
pencemaran lingkungan yang terjadi di laut sekitar Teluk Jakarta. Yaitu penegakan secara hukum
administrasi, perdata, dan terakhir yaitu upaya pemidanaan terhadap pelaku. Namun apabila
berkaca pada kasus pencemaran laut di Teluk Jakarta yang disebabkan oleh konsentrasi
paracetamol yang terlalu tinggi ini, maka upaya pertama yang seharusnya dan sebaiknya
ditempuh adalah melalui penegakan hukum secara administrasi.

Penegakan hukum secara administrasi mempunyai fungsi sebagai instrumen


pengendalian, pencegahan, dan penanggulangan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan-
ketentuan lingkungan hidup. Melalui sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan
pelanggaran itu dihentikan, sehingga sanksi administrasi merupakan instrumen yuridis yang
bersifat preventif dan represif untuk mengakhiri atau menghentikan pelanggaran ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selain bersifat represif, sanksi administrasi juga mempunyai sifat reparatoir, artinya
memulihkan keadaan semula, oleh karena itu pendayagunaan sanksi administrasi dalam
penegakan hukum lingkungan penting bagi upaya pemulihan media lingkungan yang rusak atau
tercemar. Berbeda dengan sanksi perdata maupun sanksi pidana, penerapan sanksi administrasi
oleh pejabat administrasi dilakukan tanpa harus melalui proses pengadilan, sehingga penerapan
sanksi administrasi relatif lebih cepat dibandingkan dengan sanksi lainnya dalam upaya untuk
menegakkan hukum lingkungan.

Sanksi administratif diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang


Perlinduangan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam Pasal 76 ayat (1) dijelaskan
bahwa “Menteri, gubernur, bupati/walikota menerapkan sanksi administrative kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan”.

Ayat (2) Sanksi administratif terdiri atas:

a. Teguran tertulis
b. Paksaan pemerintah

c. Pembekuan izin lingkungan

d. Pencabutan izin lingkungan.

Selanjutnya, sanksi administrasi untuk sektor lingkungan hidup ini kemudian juga diubah
seiring dengan berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang
setidaknya menjadikan Denda Administratif sebagai salah satu instrument/jenis sanksi
administrative tambahan terhadap penegakan hukum di sektor lingkungan hidup. Pasal 82 C
Ayat (1) UU Cipta Kerja menjelaskan bahwa terdapat 5 jenis sanksi administrasi lingkungan
hidup, yaitu :

1. Teguran Tertulis;

2. Paksaan Pemerintah;

3. Denda Administratif;

4. Pembekuan perizinan berusaha;

5. Pencabutan perizinan berusaha.

Berdasarkan hal tersebut diatas, terhadap kasus pencemaran laut di Teluk Jakarta,
pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI
Jakarta telah menemukan salah satu pabrik farmasi berinisial MEF yang diduga menjadi dalang
tercemarnya laut di Teluk Jakarta oleh kandungan Paracetamol yang terlalu tinggi. Pabrik
farmasi tersebut berada tidak jauh dari lokasi pencemaran, yaitu juga berada di kawasan Teluk
Jakarta, Jakarta Utara.

Pabrik farmasi berinisial MEF ini diduga telah melakukan pembuangan limbah dengan
kandungan paracetamol di Teluk Jakarta dan hal tersebut terbukti kebenarannya. kemudian
bukan hanya membuang limbah secara sembarangan, instalasi pengolahan limbah yang
dilakukan oleh pabrik farmasi MEF juga tidak diperlakukan secara sewajarnya atau tidak di-
treatment dengan baik. Berdasarkan temuan tim DLH DKI Jakarta, mengindikasi pengelolaan
limbah yang tidak berfungsi dengan baik, dilihat dari temuan Chemical Oxygen Demand (COD)
dan Biological Oxygen Demand (BOD) pada air limbah.
DLH DKI Jakarta sudah memberikan sanksi administrasi terhadap kasus ini, yaitu berupa
teguran tertulis yang ditujukan kepada pabrik farmasi MEF. Selain itu, terkait instalasi
pengolahan air limbah (IPAL) yang tidak berfungsi dengan baik, DLH DKI Jakarta meminta
agar pihak pabrik memperbaiki IPAL tersebut. Jangka waktu perbaikan yang ditetapkan sekitar
tiga hingga empat bulan, dan tim dari DLH DKI Jakarta akan mencoba melihat apakah setelah
tiga-empat bulan pabrik farmasi tesebut melakukan perbaikan terhadap IPAL nya atau tidak.

Seiring berjalannya waktu, tampaknya teguran dan instruksi tertulis untuk memperbaiki
IPAL tersebut tidak dihiraukan dan dilaksanakan dengan baik oleh pabrik farmasi MEF.
Menanggapi hal tersebut, akhirnya DLH DKI Jakarta mengambil sikap tegas dengan melakukan
penyegelan terhadap saluran air limbah mereka, hal ini dilakukan karena dari hasil penyelidikan
dan investigasi sementara, Pabrik farmasi MEF telah melanggar banyak ketentuan, antara lain
memiliki dokumen lingkungan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, belum
memiliki izin pembuangan air limbah ke lingkungan, belum memeriksa air limbahnya secara
berkala paling kurang satu kali dalam sebulan ke laboratorium terakreditasi dan terintegrasi, air
limbah melebihi baku mutu yang ditetapkan dan tidak memiliki izin pembuangan limbah. Selain
itu belum memiliki personel yang kompeten sebagai Penanggung Jawab Pengendalian
Pencemaran Air (PPPA) dan Penanggung Jawab Operator Instalasi Pengolahan Air Limbah
(POPAL).

Atas dasar pelanggaran tersebut, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI memberlakukan
Sanksi Administratif berupa Paksaan Pemerintah Nomor 672 Tahun 2021 tanggal 29 Oktober
2021 kepada pabrik farmasi MEF. Ke depannya, perusahaan farmasi itu wajib melaporkan tindak
lanjut atau progres pemenuhan sanksi tersebut. Tim Penegakan Hukum Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi DKI Jakarta akan terus melakukan Pengawasan Penaatan Sanksi terhadap perbaikan dan
pemenuhan sanksi yang sedang dilaksanakan oleh pabrik farmasi MEF.

Kemudian selain pabrik farmasi MEF, tim dari DLH DKI juga menemukan pabrik
farmasi lain yang melakukan pelanggaran yang sama, yaitu pabrik farmasi yang berinisial B,
terhadap pabrik farmasi tersebut juga sudah dilakukan penegakan hukum yang sama dengan
penegakan hukum yang dilakukan kepada pabrik farmasi MEF, hal ini merupakan konsekuensi
karena pabrik farmasi B juga melakukan pelanggaran yang sama seperti yang dilakukan oleh
pabrik farmasi MEF.

Anda mungkin juga menyukai