OLEH:
1. JAMHARIRO (B1D020115)
2. JANNATUN NAIM (B1D020116)
3. HOLI HULAYFAH (B1D020097)
4. ILHAMSYAH (B1D020106)
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2022
1. Alasan kenapa ternak bakalan baik yang jantan dan betina perlu diseleksi
Kenapa ternak bakalan baik yang jantan dan betina perlu di seleksi dikarenakan
untuk mendapatkan hasil produksi yang sesuai dinginkan oleh peternak dengan biaya
yang tidak terlalu banyak tapi menghasilkan peoduk yaitu daging yang baik dan
berkualitas tinggi.
Kegiatan seleksi dilakukan dengan memperhatikan penampilan fenotipik ternak
dan mempertimbangkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi penampilan
fenotipiknya untuk mendapatkan ternak unggul. Menurut Bourdon (1997), apabila nilai
pemuliaan masing-masing ternak diketahui dengan pasti, maka penentuan peringkat
keunggulan ternak dalam populasi dapat diketahui dengan mudah. Nilai pemuliaan ternak
tetua sangat menentukan nilai pemuliaan dan performans anaknya; oleh karenanya nilai
pemuliaan dapat menjadi dasar dalam melakukan seleksi dengan memilih ternak yang
nilai pemuliaannya paling tinggi untuk dijadikan tetua.
Tindakan ini harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan sehingga
dihasilkan ternak unggul baik dari segi produksi maupun reproduksinya. Hal ini
seyogyanya dilakukan pada kedua jenis kelamin yaitu jantan dan betina, karena keduanya
memilik kontribusi yang sama terhadap penampilan ternak pada generasi selanjutnya.
Kegiatan seleksi dapat dilakukan dengan memperhatikan penampilan fenotipik ternak
dan mempertimbangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi penampilan fenotipiknya
untuk mendapatkan ternak unggul (Tribudi et al. 2021). Faktor-faktor yang menyebabkan
keragaman fenotipik adalah factor genetik, faktor lingkungan, dan interaksi keduanya
(Vierman et al. 2016).
Secara umum seleksi dapat dibagi atas dua macam, yaitu:
a. Seleksi alam
Seleksi alam (natural selection) dimana seleksi terjadi secara spontan akibat
pengaruh alam. Digambarkan pada kejadian yang dialami oleh ternak-ternak liar
yang mampu meneruskan hidupnya pada kondisi alam yang berubah-ubah. Seperti
adanya musim yang berbeda, bencana alam ( seperti gempa bumi, gunung
meletus, banjir, dsb.), musuh alam, keadaan pasture, temperature, penyakit dan
parasit. Dalam hal ini dikenal adanya istilah The survival of the fittest (yang
kuat/mampu mengatasi pengaruh alam yang berhasil hidup/berbiak). Seleksi alam
merupakan proses yang kompleks dan banyak faktor yang menentukan perbedaan
antara individu dalam populasi seperti : mortalitas, periode aktifitas seksual,
fertilitas, dsb. Dengan adanya ternak yang berhasil mengatasi pengaruh alam
tersebut, maka secara tidak langsung alam telah menyeleksi ternak-ternak dalam
populasi tertentu.
b. Selaksi buatan
Seleksi bertujuan untuk memilih ternak yang diduga bermutu genetik baik
sehingga berkembang biak lebih lanjut dan mengubah frekuensi gen pengatur sifat
sehingga proporsi gen yang diinginkan meningkat (Abrianto, Hakim, and
Nurgiartiningsih 2017). Pejantan telah diketahui keunggulannya, maka pejantan dapat
direkomendasikan sebagai bibit unggul untuk menghasilkan anakan yang berkualitas dan
memperbanyak jumlah populasi terak unggul. Populasi dan produktivitas ternak unggul
meningkat minsalnya sapi potong maka akan menurunkan tingkat pemotongan sapi
produktiv serta mengurangi impor sapi. Seleksi pejantan penting dilakukan untuk
memperoleh bibit yang mempunyai mutu genetik baik atau unggul. Bibit unggul yang
diperoleh dari seleksi dapat digunakan sebagai bakalan untuk mengawini betina atau
semennya ditampung untuk proses inseminasi buatan (IB). Inseminasi buatan
menggunakan semen pejantan unggul diharapkan dapat mewariskan setengah dari
sifatnya kepada keturunannya. Dalam memilih bibit atau calon penjantan berdasarkan
sifat kualitatif dan kuantitatif yang meliputi (1) pengukuran yaitu Panjang badan,tinggi
gumba, dan lingkar dada, (2) penimbangan yaitu berat badan, berat lahir, berat sapih (205
hari), berat setahun, dan berat 2 tahun, (3) pengamatan yaitu warna rambut, bentuk
rangka, bentuk kepala, bentuk kaki, bentuk kuku, bentuk skrotum, dan kelainan yang lain
seperti ekor panjut, cundang, dan injin (Patmawati et al. 2013).
Calon induk yang dipilih adalah sapi yang benar-benar sehat yang dapat dilihat
dari keadaan tubuh dan matanya. Umur juga menentukan produksi susu calon induk.
Peternak, sebelum memilih calon induk tentu akan mempertimbangkan kesehatan,
keadaan eksterior dan umurnya terlebih dahulu. Calon induk adalah sapi dara berumur
antara 6 – 18 bulan, baik dalam keadaanbunting maupun tidak bunting dan belum pernah
melahirkan (Lestari, Firmansyah, and Rahayu 2015). Kesehatan calon induk merupakan
hal yang dipertimbangkan responden, karenamenentukan kualitas dari calon induk
tersebut. Kesehatan dilihat oleh respondenberdasarkan keadaan tubuh dan mata calon
induk.
Calon induk yang sehat dapat dilihatdari keadaan bulunya yang lembut, tipis, dan
mengkilat, kulit bebas dari kutu dan penyakit kulit, tidak rontok, dan tidak ada parasit
menempel, dan ujung hidungnya basah. Mata calon induk yang sehat apabila pandangan
matanya terlihat normal, cerah,tajam dan tidak sayu.
Uji performans merupakan salah satu metode uji pada ternak untuk mengetahui sejauh
mana tingkat performans atau penampilan sapi untuk memperoleh penampilan terbaik yang
kemudian diturunkan pada anaknya saat uji lanjutan ( uji Progeny). Pada tahapan ini, sapi jantan
yang diuji berada pada kisaran umur 1 - 2 tahun sehingga baru memasuki tahap awal
pertumbuhan yang optimal sebelum mencapai dewasa kelamin. Dengan mengetahui
perkembangan dan pertumbuhan ternak pada saat uji maka akan diperoleh gambaran calon
pejantan yang memiliki produktivitas tinggi dan berkualitas.
Metode pengujian yang dilaksanakan adalah memilih ternak bibit berdasarkan sifat
kualitatif dan kuantitatif yang meliputi (1) pengukuran yaitu panjang badan,tinggi gumba, dan
lingkar dada, (2) penimbangan yaitu berat badan, berat lahir, berat sapih (205 hari), berat
setahun, dan berat 2 tahun, (3) pengamatan yaitu warna rambut, bentuk rangka, bentuk kepala,
bentuk kaki, bentuk kuku, bentuk skrotum, dan kelainan yang lain seperti ekor panjut, cundang,
dan injin. Ternak hasil uji performans direkomendasikan untuk mengikuti uji lebih lanjut dalam
uji keturunan (progeny test) (Anon, 2007).
Karakteristik yang harus dipenuhi dari sapi Bali murni adalah warna putih pada bagian
belakang paha, pinggiran bibir atas, dan pada kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas
pinggir atas kuku, rambut pada ujung ekor hitam, rambut pada bagian tengah telinga putih,
terdapat garis belut pada punggung, bentuk tanduk jantan silak congklok yaitu jalannya
pertumbuhan tanduk mula-mula keluar dari dasar sedikit lalu membengkok ke atas dan pada
ujung tanduk tersebut membengkok keluar, dan tanduk berwarna hitam (Hardjosubroto, 1994).
Melihat kenyataan tersebut, dalam upaya pengembangan ternak sapi Bali di suatu
wilayah tertentu perlu dilengkapi dengan rancangan peningkatan mutu genetik ternak (Winter,
2003). Uji Performan sangat diperlukan untuk mempersiapkan dan mengintroduksi ternak
unggul pada daerah-daerah potensial sumber bibit dengan menyiapkan pejantan unggul. (Sitorus
et al., 1995).
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, F. (2015). Perbandingan Nilai Mppa Produksi Susu antara Sapi Perah Friesian Holstein dan
Peranakan Friesian Holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan
Ternak Baturraden Purwokerto. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(1).
Ariyanto, Didik. 2015. “Seleksi Yang Tepat Memberikan Hasil Yang Hebat.” Media
Akuakultur 10(2):65–69. doi: 10.15578/ma.10.2.2015.65-70.
Herminus Winarto, Veronika Yuneriati Beyleto, and Agustinus Agung Dethan. 2015.
“Estimasi Nilai Ripitabilitas Dan MPPA (Most Probable Producing Ability) Produksi
Susu Sapi FH.” Journal of Animal Science 1(01):4–5. doi: 10.32938/ja.v1i01.30.
Kartasudjana, R. (2001). Modul Program Keahlian Budidaya Ternak, Mengawetkan Hijauan Pakan
Ternak. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Proyek Pengembangan Sistem dan
Standar Pengelolaan SMK Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Lestari, ADE, Cecep Firmansyah, and Sri Rahayu. 2015. “Analisis Faktor-Faktor Yang
Dipertimbangkan Peternak Dalam Memilih Calon Induk Sapi Perah.” Students
EJournal 4(3):1–9.
Patmawati¹, N. W., Trinayani, N. N., Siswanto, M., Wandia, I. N., & Puja, I. K. (2013). Seleksi Awal
Pejantan Sapi Bali Berbasis Uji Performans Eary Selection of Bali Cattle Stud Based on
Performance Test. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, 1(1), 29-33.
Prihandini, P. W., Hakim, L., & Nurgiartiningsih, V. A. (2011). Seleksi pejantan berdasarkan nilai
pemuliaan pada sapi Peranakan Ongole (PO) di Loka Penelitian Sapi Potong Grati–
Pasuruan. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production, 12(2), 99-109.
Patmawati, N. .., N. .. Trinayani, M. Siswanto, I. .. Wandia, and I. .. Puja. 2013. “Seleksi
Awal Pejantan Sapi Bali Berbasis Uji Performans.” Jurnal Ilmu Dan Kesehatan
Hewan 1(1):29–33.
Tribudi, Y. A., P. W. Prihandini, M. I. Rahaddiansyah, and S. Anitasari. 2021. “Seleksi Calon
Pejantan Dan Induk Sapi Madura Berdasarkan Nilai Pemuliaan Berat Lahir Dan
Sapih.” Jurnal Sain Peternakan Indonesia 16(1):1–7. doi: 10.31186/jspi.id.16.1.1-7.
Un,
Vierman, Marida S. Nababan, Armyn Hakim Daulay, and Hamdan. 2016. “Pendugaan
Parameter Genetik Dan Komponen Ragam Sifat Pertumbuhan Pada Bangsa Babi
Landrace.” Jurnal Peternakan Integratif 4(3):276–90. doi: 10.32734/jpi.v4i3.2804.
WARMA