Anda di halaman 1dari 15

Submarine Thread 2

1. Di akhir minggu yang baik ini, yuk kita lanjutkan pembahasan kita soal kapal selam
kemarin. Jika kita merujuk kembali ke pembahasan sebelumnya, untuk membangun
kekuatan deteren yang kredibel, ternyata Indonesia membutuhkan kapal selam yang
memiliki jarak jangkau yang luas, kapasitas senjata yang besar, dan transfer teknologi
yang lengkap

At the end of this good week, let’s continue our discussion on submarines. Referring to
the previous discussion, to build a credible deterrence, apparently Indonesia need
submarines which have high operational range, large weapon capacity, and most
importantly, complete and qualified transfer of technology.

2. Di antara spesifikasi teknis yang tadi disebutkan, jarak jangkau menjadi faktor yang
sangat penting. Secara umum, Indonesia memiliki 3 ALKI besar dan di dalamnya
terdapat setidaknya 4 choke point besar di utara dan 7 di selatan

Among all the aforementioned technical specifications, operational range became the
most important factor. In general, Indonesia has 3 major SLOCs and within those
SLOCs, there are at least 4 major choke points in the north and 7 in the south.

3. Dampak dari penguasaan chokepoint oleh musuh juga pernah dialami oleh Indonesia.
Terbukti pada masa perang kemerdekaan, Belanda berhasil melakukan blokade
terhadap jalur laut sehingga perdagangan terganggu dan Indonesia harus
mengandalkan para penyelundup agar dapat memperoleh komoditas vital untuk
membiayai kemerdekaan, seperti senjata dan amunisi dan komoditas dagang.
The Choke of the chokepoints has also been experienced by Indonesia.
During the war of independence, the Dutch sea blockade successfully halted Indonesia’s
trade to the world. We had to rely on blockade runners in order to obtain vital
commodities to finance independence, such as weapons and ammunition and trade
commodities.

4. Dalam konteks kapal selam, jarak jangkau yang jauh dibutuhkan agar masing-masing
kapal dapat saling bergantian dalam menjaga ke-9 choke point tersebut. Hal ini karena
di masing-masing choke point terdapat risiko kedatangan lawan atau infiltrasi dari lawan
yang harus diantisipasi

In submarine context, high operational range is necessary so that each ship can take
turns in securing those 9 choke points. This is due to the risk of enemy incursion or
infiltration that can happen at each choke point.

5. Untuk menjaga chokepoint tersebut, dalam rencana Minimum Essential Force,


Indonesia mengakuisisi 12 kapal selam 2010-2024, namun saat ini hanya ada 4 buah
saja. Angka ini tidak memadai untuk menghadapi ancaman yang berkembang. Kita
harus waspadai dampak sengketa Laut China Selatan, serta eksternalitas dari potensi
invasi China ke Taiwan.
In securing those, in the Minimum Essential Force plan, Indonesia acquired 12
submarines from 2010 to 2024, but currently we only have 4 submarines. Clearly
insufficient in securing our seas and facing the emerging threat. South China Sea
dispute and potential China-Taiwan war.

6. Perlu diingat, bahwa jumlah tersebut merupakan angka minimum. Eks KSAL
Laksamana Marsetio bahkan menyebutkan, idealnya kita punya 25 kapal selam untuk
menjaga seluruh chokepoint di NKRI
https://www.republika.co.id/berita/qd4do1484/eks-ksal-indonesia-butuh-diperkuat-25-
kapal-selam

It should be emphasized that the number is minimum required, Ex-KSAL Admiral


Marsetio even said, ideally we have 25 submarines to guard all chokepoints in the
Republic of Indonesia.

7. Untuk mengejar jumlah serta kebutuhan jarak jangkau tersebut, saat ini TNI AL
berencana mengakuisisi kapal selam diesel elektrik jenis baru. Ada tiga teknologi
propulsi kapal selam konvensional (diesel elektrik) yang tersedia saat ini: lead acid, AIP,
& li-ion battery.
To meet the number and need for this range, the Indonesian Navy is currently planning
to acquire a new type of diesel-electric submarine. There are three conventional
submarine propulsion technologies (diesel electric) currently available: lead acid, AIP, &
li-ion battery.
8. AIP atau Air-Independent Propulsion, merupakan sistem propulsi closed-cycle yang
tidak membutuhkan pasokan udara. Untuk melakukan pembakarannya, AIP biasanya
menggunakan fuel cell berbahan bakar hidrogen.

Kelebihan dari sistem AIP ini adalah kapal selam dapat menyelam lebih lama (14 hari)
dibandingkan kapal selam diesel-elektrik konvensional (7 hari). Namun demikian, durasi
selam yang lama ini diperoleh dengan mengorbankan kecepatan maksimum menjadi
sangat rendah (5-7 knot) serta jarak jangkau yang berkurang, akibat modul baterai yang
diisi oleh AIP.

AIP or Air-Independent Propulsion, is a closed-cycle propulsion system that requires no


air supply. To perform combustion, AIP usually uses hydrogen based fuel cells.

The advantage of using the AIP system is that submarines can submerge longer (14
days) when compared with conventional diesel-electric submarines (7 days). However,
this increase in submersible duration was achieved by critically sacrificing top speed
(tops at 5-7 knots) and reduction in operational range, due to replacement of battery
modules with AIP.

9. Kehadiran AIP sendiri bersifat komplementer, mengingat tenaga yang dihasilkan


propulsi AIP tidak sebesar propulsi diesel-elektrik standar. Selain itu, bahan bakar AIP
yang berupa hidrogen cair, bersifat sangat volatile dan mudah meledak. Oleh karena itu,
dibutuhkan mekanisme yang kompleks dan mahal untuk menyimpan dan
mengoperasikannya
The use of AIP itself is complementary by nature, given the fact that power generated
from AIP propulsion is not as much as that generated by standard diesel-electric
propulsion. Furthermore, AIP’s fuel in the form of liquid hydrogen, is extremely volatile
and easily combustible. Therefore, storing and operating this liquid hydrogen requires a
complex and expensive mechanism.

10. Selain itu, AIP dalam kapal selam membutuhkan suatu insert module khusus sebagai
rumah mesin. Ini akan “memakan” ruang di dalam kapal selam yang seharusnya dapat
digunakan untuk akomodasi kru, hingga baterai tambahan.

In addition, AIP in submarines requires an additional insert module as the engine


housing. This will occupy significant space inside the submarine that could otherwise be
used for crew accommodation, and additional batteries.

11. Penggunaan kapal selam AIP cocok untuk strategi bottoming/tebar jaring, yaitu berdiam
di dasar laut salah satu choke point yang krusial, lalu menunggu hadirnya musuh. Untuk
pengejaran, rasanya agak sulit untuk dilakukan mengingat kecepatan jelajah kapal
selam AIP relatif rendah (5-7 knot)

Submarines with AIP are suitable for bottoming strategy, where submarines are
submerged in the ocean floor of one crucial choke point, then wait for the enemies to
come. Pursuit maneuvers will be a little difficult given the relatively low cruising speed of
AIP-powered submarines (5-7 knots).
12. Kapal selam AIP digunakan oleh negara yang memiliki choke point yang sedikit, seperti
Jerman dan Swedia di Laut Baltik, Jepang, serta Korea

AIP-powered submarines are currently used by countries with few choke points such as
Germany and Sweden in the Baltic Sea, Japan, as well as Korea.

13. Opsi Selanjutnya yaitu mesin diesel elektrik yang dilengkapi baterai berkapasitas besar.
Sejauh ini, teknologi Lithium-Ion dipandang mampu meningkatkan kemampuan kapal
selam diesel elektrik secara signifikan. Proses charging bisa dilakukan lebih cepat (lebih
singkat waktu charge di permukaan) dan lebih efisien dalam penyimpanan energi.

Another option is an electric diesel engine equipped with a large capacity battery.
Lithium-Ion technology significantly improves the capabilities of diesel-electric
submarines. The charging process can be done faster (less time on submerged
charging) and more efficiently in energy storage.

14. Li-Ion mampu membuat kasel mengejar sasaran lebih jauh, melakukan rotasi posisi
untuk melindungi choke point krusial, serta mampu mempertahankan kecepatan tinggi
(18-21 knot) dalam waktu yang lebih lama

Li-Ion is able to make the submarine to pursue targets further, rotating deployment to
protect crucial choke points, and is able to maintain high speed (18-20 knots) for a
longer period of time.
15. Pendekatan yang kedua ini diadopsi oleh Australia dalam Attack class, sebelum mereka
memutuskan untuk membangun SSN. Dengan kebutuhan misi yang jauh hingga ke Laut
China Selatan, mereka memperbesar desain Attack class hingga 4000 ton, dan
sekiranya dibangun, akan menjadi kapal selam konvensional terbesar di dunia

This second approach was adopted by Australia in their Attack class, prior to their
decision to build SSNs. With high range mission requirements that go as far as South
China Sea, they enlarged the design of Attack class up to 4000 tonnes, and once built,
will become the largest conventional submarine in the world.

16. Selain jarak jangkau, kasel juga membutuhkan kapasitas senjata yang besar, serta
mampu untuk meluncurkan rudal anti kapal. Dengan adanya rudal antikapal, jangkauan
kapal selam untuk menghancurkan kapal musuh meningkat secara eksponensial

On top of operational range, submarines also require a large weapon capacity as well as
capability to launch Anti-ship Missiles. With anti-ship missiles, submarines’ combat
range to destroy enemy ships are exponentially increased.

(Lingkaran hijau: jangkauan torpedo Blackshark. Lingkaran merah: jangkauan Exocet


SM39)

(Green ring: Blackshark torpedoes operational range. Red ring: Exocet SM39
operational range)
17. Lalu, terkait dengan ToT, salah hal yang menjadi pertimbangan strategis adalah
kemampuan untuk mendapatkan teknologi proses produksi kasel serta perawatan &
MRO. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat menjadikan PT PAL sebagai
perusahaan pertama di Asia Tenggara yang mampu untuk membuat dan MRO kasel
secara domestik.

In regards to ToT, one of the considerations is to acquire whole submarine production


technology as well as maintenance & MRO (Maintenance Repair Overhaul). By
mastering this technology, PT PAL would be the first in Southeast Asia to be able to
manufacture and MRO submarines.

18. Menghadapi kebutuhan terhadap kapal selam tersebut, beberapa produsen global telah
menawarkan kerjasama produksi serta alih teknologi kepada Indonesia

In addressing all these submarine requirements, several global manufacturers have


offered production partnership as well as transfer of technology to Indonesia.

19. TKMS menawarkan U209/1400 dan/atau Type 214 beserta AIP module. Namun terkait
transfer teknologi, TKMS belum mengatakan apapun soal rencana produksi di
Indonesia.

https://www.janes.com/defence-news/news-detail/indonesia-tkms-discuss-hdw-class-
209-214-submarines-for-navys-requirements

TKMS also offered U209/1400 and/or Type 214 with AIP. However, related to
technology transfer, TKMS has not stated anything about their submarine production
plan in Indonesia

20. Sementara itu, kontrak yang telah ada antara DSME 209-1400 ton dengan PT PAL saat
ini masih dalam proses pertimbangan apakah akan dilanjutkan atau tidak
https://thediplomat.com/2020/04/indonesia-is-reconsidering-contract-with-south-korea-
for-3-diesel-electric-submarines/

Meanwhile, the existing contract between DSME 209-1400 tonnes with PT PAL is
currently being considered whether to be continued or not.
21. Terakhir, pabrikan yang telah menawarkan kapal selamnya adalah Naval Group Prancis
dengan Scorpene 2000 ton. Kapal ini serupa dengan Riachuelo class dari Brazil,
dengan penawaran untuk dua unit seluruhnya dibangun di Surabaya
https://www.janes.com/defence-news/news-detail/naval-group-offers-to-build-two-aip-
submarines-in-surabaya

The last one is France's Naval Group with its 2000-tonnes Scorpene. This ship is similar
to the Riachuelo class from Brazil, with an offer to build two units entirely in Surabaya.
22. Mengacu pada berita-berita yang ada, dari ketiga pabrikan tersebut, hanya Naval Group
Prancis dan DSME Korea yang telah berkomitmen membangun penuh seluruh kasel di
Indonesia dan bekerjasama dengan PT PAL untuk melakukan produksi dalam negeri.
https://www.janes.com/defence-news/news-detail/naval-group-offers-to-build-two-aip-
submarines-in-surabaya

In reference to the existing news, from those three manufacturers, only French’s Naval
Group and Korea’s DSME who have committed to build all submarines in Indonesia and
have partnered with PT PAL to produce the submarines locally. Meanwhile, TKMS has
not yet issued any statement regarding production plans in Indonesia.

23. Secara perencanaan produksi, DSME, yang sudah memiliki pengalaman dengan
Nagapasa Class, sebenarnya sudah memiliki roadmap yang sangat jelas untuk
pembangunan kapasitas dalam negeri.

Namun harus dipertimbangkan juga, bahwa secara hidrodinamika, desain Type 209
yang ditawarkan merupakan desain lama yang telah berusia 51 tahun.

In terms of production planning, DSME Korea, which has the experience with Nagapasa,
actually already has a clear roadmap for domestic capacity building.

However, it is worth considering that, in hydrodynamic terms, the Type 209 design that
was offered is an aging, 51-year old design.
24. Selain mempertimbangkan desain hidrodinamika, Type 209 juga sudah dipakai oleh
belasan negara lain di dunia.

Melihat hal tersebut, sangat bisa dipastikan bahwa acoustic signature dari Type 209 ini
sudah diketahui oleh banyak negara. Acoustic signature ini menjadi penting karena
akustik merupakan salah satu unsur stealth utama dari sebuah kapal selam.

On top of that, Type 209 has also been used by dozens of other countries in the world.

Considering that fact, it can be assured that Type 209’s acoustic signature has been well
known by many countries. Acoustic signature is important, since acoustic is one of the
main stealth elements of a submarine.

25. Tercatat, ada 16 negara yang bersama-sama mengoperasikan kapal selam Type 209,
mulai dari Indonesia hingga Venezuela.

Sebagai pembanding, baik Type 214 dan Scorpene, masing-masing hanya dioperasikan
oleh 4 negara saja.

Dari sini dapat dilihat, seberapa banyak negara yang memiliki acoustic signature (profil
kebisingan kasel) Type 209 dibandingkan dengan Type 214 dan Scorpene.

In record, there are 16 countries that together operate Type 209 submarines, from
Indonesia to Venezuela.

In comparison, both Type 214 and Scorpene, each is only operated by 4 nations alone.

This figure shows how many countries possess the acoustic signature (submarine noise
profile) of Type 209 compared with Type 214 and Scorpene.

26. Setelah melihat pertimbangan desain hidrodinamika dan acoustic signature, aspek yang
tidak kalah penting adalah persenjataan yang dibawa oleh ketiga kapal selam tersebut.

Dari ketiga kapal selam di atas, ketiganya sama-sama bisa dilengkapi dengan Anti-ship
Missiles (AShM). Namun, baik DSME-209 dan TKMS Type 214 semua menggunakan
Sub-Harpoon yang diproduksi oleh Amerika Serikat.

Berbeda dengan kedua kapal selam tersebut, Scorpene dilengkapi dengan misil Exocet
sebagai arsenal AShM-nya.

After considering hydrodynamic design and acoustic signatures, another aspect that is
similarly important is the armaments that those three submarines can carry.

From the aforementioned three ships, all of them can be equipped with anti-ship missiles
(AShM). However, both DSME Type 209 and TKMS 214, all use US-made Sub-
Harpoon.

In contrast to those ships, Scorpene is equipped with Exocet missiles as its AShM
arsenal.

27. Dari tweet sebelumnya dapat dilihat, bahwa untuk DSME-209 dan TKMS Type 214,
negara produsen kapal selam berbeda dengan negara produsen AShM. Sehingga, jika
kita mau melengkapi kapal selam kita dengan AShM, kita harus memperoleh ijin lebih
lanjut dari AS untuk dapat membeli dan melengkapi kasel kita dengan Sub-Harpoon.

It is visible from the previous tweet, that for DSME-209 and TKMS Type 214, the subs
manufacturing nation is different from AShM manufacturing nation. Therefore, if
Indonesia wants to equip its ships with AShM, Indonesia needs to obtain a further
license from the US to purchase and equip its submarines with Sub-Harpoon.

28. Kesulitan ini tidak akan terjadi jika Indonesia memutuskan untuk memilih Scorpene
untuk kapal selamnya. Baik Scorpene maupun Exocet, keduanya sama-sama diproduksi
oleh Perancis, sehingga Indonesia hanya membutuhkan satu kali izin ekspor untuk
dapat menggunakan sistem kapal selam tersebut dengan lengkap.

This challenge will not occur if Indonesia decided to purchase Scorpene for its
submarine fleet. Both Scorpene and Exocet are made in France, which means Indonesia
only requires one export license to use that submarine completely.

29. Selain itu, TNI AL sendiri telah memiliki banyak pengalaman dalam mengoperasikan
AShM Exocet. Tercatat, Indonesia telah menggunakan dan mengoperasikan Exocet
sejak tahun 1980an.

Pengalaman Indonesia mengoperasikan Exocet tentu akan mempermudah adopsi


Exocet di kalangan awak kapal selam TNI AL.

Furthermore, the Indonesian Navy has much experience in operating Exocet missiles. It
is widely known that Indonesia has used and operated Exocet since the 1980s.

The experience in operating Exocet will most definitely ease the adoption of Exocet
among the Indonesian Navy submarine crews.

30. Kesimpulannya, fitur geografis Indonesia yang luas membuat Indonesia memiliki
kebutuhan operasional Kasel yang unik, lebih mirip dengan negara pengguna kasel
nuklir. Jarak jangkau yang jauh, kapasitas amunisi yang besar, serta political will untuk
memesan dalam jumlah besar, menjadi penting bagi kita untuk membangun deteren
yang kuat serta industri pertahanan berteknologi tinggi.
In conclusion, Indonesia's vast geographical feature required a unique submarine
operational requirement that is most similar to users of nuclear submarines. High
operational range, large weapon capacity, and political will to purchase in large
quantities are all important for Indonesia to build a strong deterrent, high-technology
defense industry.

31. Dengan pilihan yang tersedia, kita bisa melihat proposal mana yang lebih menarik bagi
NKRI. Seperti biasa, silakan mention/QRT Tweetmiliter jika ada pertanyaan/tanggapan.

With all the available options, we can see which proposal is more attractive for
Indonesia. As usual, mention/QRT Tweetmiliter if there are any questions/comments.

Anda mungkin juga menyukai