Anda di halaman 1dari 2

Fatwa Juga Kata-Kata

Oleh: Wildan Amiruddin


Indonesia adalah Negara yang mempunyai penduduk dengan keyakinan atau agama yang
berbeda. Mayoritas pengikutnya adalah Islam. Setelah itu Kristen, Budha, Hindu dan
Konghuchu. Berbicara tentang mayoritas pengikut di Indonesia yaitu Islam, yang menyebut
pengikutnya sebagai muslim mempunyai tempat tersendiri dalam kancah nasional maupun
internasional. Para muslim di Indonesia sangat mengenal yang dinamakan Majelis Ulama’
Indonesia atau biasa disebut MUI. Lembaga yang mengurusi banyak hal dengan mengeluarkan
hukum yang dinamakan dengan fatwa. Fatwa MUI biasanya berisi hukum Islam yang sudah
disepakati dalam sebuah rapat dengan mengumpulkan para Kiai untuk mencari data yang
kemudian barulah dikeluarkan sebuah hukum yang bernama fatwa. Seperti halnya sertifikasi
halal bagi setiap makanan yang beredar di Indonesia.
Tetapi bagaimanapun yang dinamakan manusia tetaplah manusia. Tak selamanya
manusia itu benar. Bahkan Allah sendiri memberikan isyarat dalam al-Qur’an pada surat al-
Baqarah ayat 216 yang artinya:
“Bisa jadi apapun saja yang kamu kira buruk untukmu siapa tahu itu yang malah baik
untukmu. Dan apapun saja yang kamu kira baik untukmu siapa tahu itu yang malah buruk
untukmu.”
Sebuah isyarat dari Allah yang secara tidak langsung menampar kaum muslim bahwa
sesunguhnya kebenaran manusia itu belum tentu benar. Karena kebenaran kita hari ini tentang
sesuatu bisa berubah jika kita menemukan informasi baru pada esok hari. Sama halnya seperti
fatwa. Belum tentu fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti pasti jelas kebenarannya.
Al-‘Ulama’ Waratsatul Anbiya’
Bahkan fakta dilapangan mengatakan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI juga
sering dirasa kurang pas atau kurang cocok dengan hukum Islam yang ada yag bersumber dari
hadits ataupun al-Qur’an. Seperti pada saat MUI mengeluarkan fatwa tentang me-lahjahkan al-
Qur’an dengan langgam Jawa itu adalah konyol. Lalu MUI mengeluarkan sebuh hadits yang
berisi bahwa jika seseorang ingin me-lahjahkan al-Qur’an harus dengan lahjah Arab bukan
dengan langgam Jawa. Hal ini dibantah oleh seorang Kiai yang menjabat sebagai ketua Bahstul
Masail wilayah D.I. Yogyakarta yang bernama Kiai Muzammil pada saat simposium keilmuan
dalam forum Majelis Masyarakat Maiyah Padhang mBulan di Jombang. Beliau mengatakan
bahwa hadits yang dikeluarkan oleh MUI merupakan hadits yang dlo’if atau hadits yang lemah
sehingga tidak bisa digunakan sebagai sumber hukum.
Kesalahan yang selama ini sudah menjamur atau bahkan berakar dalam masyarakat
adalah apapun yang dikatakan oleh ulama’ atau lebih khususnya fatwa yang dikeluarkan oleh
MUI harus diturut dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terjadi karena ada sebuah
hadits yang menyatakan bahwa al-Ulama’ Waratsatul Anbiya’ yang artinya ulama’ merupakan
penerus para Nabi. Namun, kita tidak pernah meneliti hadits tersebut. Sebenarnya yang
dimaksud dengan al-Ulama’ Waratsatul Anbiya’ itu ulama’ yang seperti apa? Lalu mengapa
Rasulullah mengatakan hal ini? Dalam tulisan di NU Online, Habib Luthfi acara Maulid Akbar
di Pondok Pesantren al-Inshof Sulurejo Plesungan Karanganyar berpendapat bahwa kalimat al-
Ulama’ Waratsatul Anbiya’ merupakan sebuah wujud Nabi Muhammad SAW. Nguwongke
(menghargai) para ulama’. Tidak hanya ulama pada zamannya atau sesudahnya, akan tetapi juga
ulama pada zaman Nabi sebelumnya. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa dalam kitab at-
Thobaqotil Kubro terdapat penjelasan makna hadits tersebut. Pertama, al-Ulama sholihun.
Kedua, al-ulama shodiqun seperti Syekh Abdul Qadir alJailani dan lain sebagainya, mereka
memiliki thabaqoh-thabaqoh yang luar biasa untuk membantu awam. Ketika awam gundah,
mereka memiliki karomah untuk meyakinkan awam. Begitu tutur beliau. Dari sini kita bisa
menilai saat ini lebih banyak mana ulama’ yang bisa meyakinkan umat atau diragukan umat?
Terlepas dari karomah, jika seorang ulama’ bisa membuat awam lebih nyaman jika didekatnya.
Maka masyarakat akan merasa yakin kepada ulama’ tersebut.
Berkata Tidak Tahu itu Lebih Baik
Selain masalah di atas. MUI juga pernah membuat fatwa tentang pluralisme. Hal yang
harus digaris bawahi pada fatwa MUI ini adalah tentang pengertian pluralisme yang
dikemukakan MUI yaitu;
“Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak
boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga”.
Pluralisme sesunguhnya bukan paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah
sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Yang dimaksud pluralisme selalu
memiliki basic diskusi. Diskusi ini dimaksudkan untuk mengenal satu sama lain. Yang pada
akhirnya akan membuat orang yang berbeda keyakinan memiliki rasa toleransi yang sangat
tinggi. Sebagai contoh, jika menemukan seseorang jatuh di jalan. Haruskah kita betanya dahulu
agama yang dianutnya apa, aliran apa dan lain-lain. Hal itu tidak akan mungkin terjadi jika kita
kita mempunyai pemahaman tentang pluralisme. Pluralisme tidak pernah mengganggu
meninggalkan identitas kita. Tetapi, pluralisme adalah suatu hubungan untuk saling menghargai
satu sama lain.
Pelajaran yang jarang dipakai oleh seorang yang alim atau biasa disebut Kiai dalam Islam
adalah berkata tidak tahu jika memang belum tahu. Padahal jika kita lihat ke belakang dalam
sejarah Islam, bahwa banyak ulama’ muslim yang berkata tidak tahu jika memang belum
mengetahui suatu ilmu yang diketahuinya. Seperti halnya Ibnu Malik ketika ditanya sesorang
yang tidak diketahuinya. Maka tanpa malu kepada orang yang bertanya beliau berkata tidak tahu.
Beliau juga menambahkan bahwa ketika Ibnu Umar tidak tahu akan suatu hal yang ditanyakan.
Maka beliau akan bilang tidak tahu. Menurut Ibnu Umar sesungguhnya yang merusak manusia
adalah sikap ujub dan mencari popularitas, sedangkan sedikit sekali orang yang bersikap seperti
itu. Jika memang sebuah fatwa dikeluarkan hanya untuk mencari eksistensi di Indonesia yang
akhrnya berpusat pada popularitas, maka sebenarnya sebuah fatwa akan membuat kerusakan.
Akhirnya kita harus mengembalikan semua hukum pada firman Allah bukan pada kata-kata yang
disusun kemudian seakan-akan wajib ditaati oleh semua muslim. Cara kembali kepada firman
Allah dengan cara memilah dan memilih ulama’ yang berada pada status Waratsatul Anbiya’ di
atas.

Anda mungkin juga menyukai