Analisis Kolapsnya Sony Elektronics Indonesia
Analisis Kolapsnya Sony Elektronics Indonesia
LATAR BELAKANG
Ledakan Penanaman Modal Asing di Indonesia dimulai pada tahun 1985. Indonesia
adalah salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat saat itu, dan diklasifikasikan
menjadi keajaiban Asia oleh Bank Dunia. Pemerintah mengalihkan proses industrialisasi dari
kebijakan substitusi impor ke promosi ekspor. Oleh karena itu, Indonesia menjadi tujuan
investasi.
PEMBAHASAN
Langkah Sony untuk melakukan penyesuaian operasi didukung oleh hasil kuartal
kedua tahun 2000 yang lemah. Produk elektronik adalah sumber utama pemasukan Sony
yang menyumbang sekitar 80% dari penjualan Sony. Sementara itu, penjualan di area lain
seperti game (PlayStation) dan foto (film) masing-masing naik 10,3% dan 3,4%. Sayangnya,
volume ini tidak memberikan kontribusi besar dan hanya berdampak kecil pada pendapatan
secara keseluruhan.
Sony Indonesia menutup studio audio PT Sony Electronics Indonesia (SEI) pada
Maret 2003 kemudian memindahkannya ke Malaysia, Tiongkok, dan Thailand. Penutupan PT
SEI bersifat global, karena perusahaannya di Jepang telah diuntungkan dari meningkatnya
persaingan di industri elektronik global dan masuknya barang dari Tiongkok setelah
bergabung dengan WTO. Ini merupakan sebuah tren di pasar elektronik Asia. Upaya ini
dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dengan menutup pabrik di seluruh dunia. Sony yang
awalnya memiliki 70 cabang, dikurangi menjadi 55 cabang. PT SEI adalah salah satunya.
Tercatat pada April tahun 2000, lebih dari 60% pekerja Sony Electronics Indonesia
ambil bagian dalam aksi mogok yang berlangsung dalam kurun waktu satu bulan.
Pemogokan dipicu ketika sistem operasi pabrik beralih ke sistem standing work lean
manufacturing. Sistem ini harus disesuaikan untuk membuat produk yang dapat memenuhi
kebutuhan pengguna. Bagi karyawan, sistem ini terasa sulit dan membutuhkan kompensasi
yang lebih.
Upaya pemerintah untuk mendorong Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) pada
saat itu juga mempersulit perusahaan elektronik di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada
persaingan industri dalam negeri yang semakin menurun, di samping maraknya impor media
elektronik di pasar gelap.
Unsur budaya juga turut mempengaruhi penyesuaian yang dilakukan PT SEI. Schein
(1984) mengklaim bahwa budaya memiliki dampak nyata pada organisasi, dampak ini akan
bervariasi tergantung pada usia dan pengalaman organisasi tersebut. Dengan adanya
persaingan dagang di pasar internasional, serta perbedaan kebudayaan yang terdapat di
cabang Sony di luar Jepang termasuk Indonesia, memaksa Sony berbenturan dengan
karyawan yang bekerja dalam tubuhnya sendiri.
KESIMPULAN
REFERENSI