Anda di halaman 1dari 5

3.

2 Pemeriksaan Antemortem dan Post Mortem

3.2.1 Pemeriksaan Antemortem

Pemeriksaan antemortem ialah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum


disembelih, yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Tempat
dilakukannya pemeriksaan antemortem ini adalah di kandang penampung dan dilakukan
sebelum hewan dipotong (24 jam).

Tujuan Pemeriksaan Ante-mortem :


1. Mencegah pemotongan hewan yang secara nyata menunjukkan gejala klinis penyakit
hewan menular dan zoonosis atau tanda-tanda yang menyimpang.
2. Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya untuk keperluan pemeriksaan
postmortem dan penelusuran penyakit didaerah asal ternak.
3. Mencegah kontaminasi dari hewan atau bagian dari hewan yang menderita penyakit
kepada petugas,peralatan RPH dan lingkungan.
4. Menentukan status hewan dapat  dipotong,ditunda atau tidak boleh dipotong.
5. Mencegah pemotongan hewan betina produktif.
Prosedur pemeriksaan :
1. Hewan harus diistirahatkan minimum 12 jam sebelum penyembelihan
2. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati gejala klinis dan patognomonis dengan
cara :
 Mengamati ( inspeksi ) dengan cermat dan seksama terhadap sikap dan
kondisi hewan potong pada saat berdiri dan bergerak yang dilihat dari segala
arah.
 Mengamati dengan cermat dan seksama lubang-lubang kumlah ( telinga,
hidung, mulut dan anus )
 Apabila dicurigai atau diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, hewan dipisahkan
dan/ atau diberi tanda.
3. Pemeriksaan tersebut diatas dikecualikan terhadap hewan/ ternak potong dengan
kondisi darurat dan/ atau sudah disembelih karena keadaan yang sangat darurat.

Menurut peraturan pemerintah no. 95 tahun 2012 tentang kesehatan masyarakat


veteriner dan kesejahteraan hewan (PP No. 95 Tahun 2012) hewan yang layak untuk di
potong harus memenuhi persyaratan diantaranya yaitu (1) tidak memperlihatkan gejala
penyakit hewan menular dan atau zoonosis, (2) bukan ruminansia besar betina anakan atau
dan betina produktif, (3) tidak dalam keadaan bunting, dan (4) bukan hewan yang dilindungi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 413/Kpts.TN.310/7/92, pemeriksaan antemortem meliputi pengamatan terhadap: 1)
pada saat berdiri, bergerak, maupun istirahat, 2) lubang kumlah, mata, selaput lendir mulut,
dan cermin hidung, 3) kulit serta Limfo glandula maxillaris, parotidea, prescapularis, dan
inguinalis, 4) ada atau tidaknya tanda-tanda hewan telah disuntik hormon, serta, 5) suhu
badan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan terhadap status gizi, sistem pencernaan dan
sistem pernafasan. Ciri-ciri hewan sehat adalah kepala tegak dan sigap, mata yang bening,
hidung yang basah, dan tidak hipersalivasi, feses berkonsistensi normal dan tidak berdarah,
warna urin berwarna kekuningan, tidak menampakkan masalah pada ekstremitas saat
bergerak, respirasi normal, gusi dan mukosa berwarna merah muda, tidak terdapat gejala
kejangkejang, tidak adanya tanda-tanda kesakitan, abses, luka, memar, patah, dan tidak
adanya tanda-tanda stres seperti panas atau dinginnya suhu. Pengukuran suhu tubuh
dilakukan menggunakan thermometer pada rektal. Pemeriksaan limfo glandula, apabila ada
peradangan kemudian membengkak tanpa dipalpasi akan terlihat jelas pembesaran di daerah
dimana kelenjar getah bening berada. Pemeriksaan antemortem merupakan pemeriksaan yang
dilakukan sebelum dilakukan pemotongan dengan keputusan:

1. Diijinkan disembelih tanpa syarat (sapi sehat).


2. Diijinkan disembelih dengan syarat. Ada bagian organ sapi yang harus dibuang,
misal: pembuangan saluran respirasi karena infeksi TBC.
3. Ditunda penyembelihannya. Hal ini dilakukan jika sapi dicurigai menderita penyakit
tertentu sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan.
4. Ditolak disembelih. Penolakan dilakukan jika terdapat ternak betina produktif
(Permentan Nomor: 35/permentan/OT.140/7/2011 dan UU RI Nomor 41 tahun 2014)
dan penyakit zoonosis, misal: anthrax, rabies, dll.
Pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan pemeriksaan jenis
kelamin sapi yang akan disembelih, hali ini bertujuan untuk menghindari pemotongan betina
produktif. Pemeriksaan antemortem yang dilakukan oleh dokter hewan apabila terdapat sapi
betina produktif yaitu dengan melakukan palpasi rektal untuk mengetahui keadaan dari organ
reproduksi betina terutama ovarium dari sapi betina. Palpasi rektal bertujuan untuk
mengetahui status kebuntingan, sapi betina bunting atau tidak. Banyak pertimbangan
melakukan pemotongan sapi betina produktif, yaitu:
1. Sulit mencari sapi kecil untuk dipotong
2. Di lokasi setempat semua sapi jantan sudah diantar pulaukan atau dibawa ke kota
besar
3. Harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan
4. Pengawasan dari petugas sangat lemah
5. Tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham bila hal
tersebut melanggar undang-undang
6. Peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila memerlukan uang
cash.
Pemeriksaan antemortem dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan terhadap usia,
status gizi, sikap jalan, pandangan mata, lubang tubuh, permukaan kulit, mukosa, frekuensi
nafas, dan suhu. Pemeriksaan secara inspeksi didapatkan satu ekor mengalami pembengkakan
seperti tumor pada daerah thoracic dexter di dekat scapularis pada beberapa ekor sapi
ditemukan status gizi yang buruk, hal ini dilihat dari kurusnya tubuh sapi sampai terlihat
menonjol pada tulang vertebrae, coccygea dan sternum tampak jelas. Pemeriksaan permukaan
kulit dilakukan bertujuan untuk memastikan tidak ada kelainan pada permukaan kulit seperti
adanya infeksi scabiosis yang berpotensi menular kepada manusia. Pada semua hewan yang
diperiksa tidak menunjukkan adanya infestasi parasit dan hewan memiliki turgor yang baik.

3.2.2 Pemeriksaan Postmortem

Pemeriksaan post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan daging setelah dipotong


terutama pada pemeriksaan karkas, kelenjar limfe, kepala pada bagian mulut, lidah, bibir, dan
otot masseter, pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa. Tujuan dilakukan
pemeriksaan post-mortem adalah untuk membuang dan mendeteksi bagian yang abnormal
serta pengawasan apabila ada pencemaran oleh kuman yang berbahaya, untuk memberikan
jaminan bahwa daging yang diedarkan masih layak untuk dikonsumsi. Pemeriksaan
postmortem tidak dilakukan oleh dokter hewan, namun dilakukan oleh keurmaster.
Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan limfoglandula, pemeriksaan kepala yaitu
dengan menyayat muskulus masseter untuk melihat adanya cystisercus, dan pemeriksaan
organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa untuk melihat adanya parasit
cacing dan bentukan abnormal.

Tujuan dari pemeriksaan postmortem adalah untuk menjamin daging aman dari
kontaminasi penyakit zoonosis dan layak dikonsumsi, bebas dari cemaran yang
membahayakan kesehatn konsumen. Dengan memperhatikan rekomendasi pemeriksaan
antemortem, maka pemeriksaan postmortem dilakukan segera tanpa ditunda. Pemeriksaan
dilakukan dengan melakukan pengirisan, palpasi kelenjar getah bening, organ atau jaringan
harus dilakukan dengan teliti dan bersih, dengan mencegah cemaran pada daging.
Pemeriksaan postmortem juga bertujuan untuk menentukkan kelayakan daging untuk
dikonsumsi berdasarkan pemeriksaan organ dan kelengkapan informasi secara evaluasi
ilmiah proses adanya perubahan patologi. Hasil temuan pemeriksaan post mortem :

Gambar . Organ hati normal (Kiri), Organ hati yang terinfeksi Fasciola sp (Kanan) (Ester,
2018).

A B
Gambar . Cacing Fasciola sp (A) Empedu normal (kiri) dan empedu yang terinfeksi Fasciola
sp.(kanan) (B) (Ester, 2018).

DAFTAR PUSTAKA

Ester Muki A., Ida Bagus Ngurah S., I Ketut S. 2018. Gambaran Fisik Pemeriksaan Post-
Mortem Organ Jantung, Paru-paru dan Hati Sapi Bali yang Berasal dari Rumah
Pemotongan Hewan Pesanggaran Kota Denpasar. Indonesia Medicus Veterinus
7(2): 106-114.

Anda mungkin juga menyukai