Anda di halaman 1dari 44

TUGAS FISIKA DASAR II

“PERCOBAAN GELOMBNAG MEKANIK,


FOTOMETER, JEMBATAN WHEATSTONE DAN
PROYEKTIL“

OLEH :
BOBY FIRDAUS (2110003423041)
NAMA DOSEN : Eliyarti M.Si
MATA KULIAH : FISIKA DASAR II

JURUSAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS EKASAKTI
TAHUN AJARAN 2021/2022
GELOMBANG MEKANIK

A. DASAR TEORI
1. Pengertian Gelombang Mekanik
Gelombang adalah getaran yang merambat. Gejala gelombang pada slinky maupun
tali merupakan gejala gelombang mekanik. Gelombang mekanik adalah gelombang
yang memerlukan media untuk merambat. Berdasarkan arah rambat dan arah getarnya, gelombang
dibedakan atas gelombang transversal dan gelombang longitudinal. Gelombang
transversal adalah gelombang yang arah rambatnya tegak lurus dengan arah getarnya. Contoh gelom-
bang jenis ini adalah gelombang pada tali. Sedangkan gelombang longitudinal adalah gelombang
yang memiliki arah rambat sejajar dengan arah getarnya. Contoh gelombang longitudinal adalah
gelombang pada slinky.
2. Jenis Gelombang
a. Jenis gelombang berdasarkan arah rambat dan arah getar
1. Gelombang transversal
Gelombang transversal merupakan gelombang yang arah rambatnya tegak lurus arah getarnya.
misalkan gelombang pada tali, gelombang pada air. Perhatikan gambar berikut :

 Pada gelombang transversal panjang satu gelombang adalah satu bukit dan satu lembah.
 abc, efg adalah bukit gelombang
 cde, ghi adalah lembah gelombang
 titik b, f adalah puncak gelombang titik
 d, h adalah dasar gelombang
 abcde, bcdef, cdefg, dan seterusnya adalah satu gelombang.
 Panjang a–e, b–f, c–g, d–h, dan seterusnya adalah panjang satu gelombang
atau sering disebut panjang gelombang ( λ = dibaca lamda).
 Amplitudo adalah jarak terjauh titik getar dari posisi kesetimbangannya.

2. Gelombang Longitudinal
Gelombang longitudinal adalah gelombang yang arah getarnya searah dengan arah rambatnya. Misalnya
Gelombang bunyi dan gelombang pada slingky. Perhatikan gambar berikut :

Pada gambar di atas maka λ = “. Untuk gelombang longitudinal panjang satu gelombang adalah panjang
satu rapatan dan satu regangan atau jarak antar dua rapatan yang berurutan atau
jarak antara dua regangan yang berurutan.

3. Panjang Gelombang

1. Periode gelombang (T), yaitu waktu yang diperlukan untuk menempuh satu gelombang.
2. Frekuensi gelombang (f), yaitu jumlah gelombang tiap sekon.
3. Cepat rambat gelombang (v), yaitu jarak yang ditempuh gelombang tiap sekon.
Secara matematis, cepat rambat gelombang dirumuskan:

Jika s = O maka persamaan :

Keterangan:
s : jarak yang ditempuh dalam t sekon
t : periode (t = T)

4. Persamaan Gelombang Berjalan

Perhatikan gambar di bawah ini! Gambar tersebut menunjukkan gelombang transversal pada seutas tali ab
yang cukup panjang. Pada ujung a kita getarkan sehingga terjadi rambatan gelombang. Titik p adalah suatu
titik yang berjarak x dari a :
Misalnya a digetarkan dengan arah getaran pertama kali ke atas, maka persamaan gelombangnya adalah:

Getaran ini akan merambat ke kanan dengan kecepatan v, sehingga getaran akan sampai di p setelah selang
waktu x / v . Berdasarkan asumsi bahwa getaran berlangsung konstan, persamaan gelombang di titik p
adalah:

Selang waktu perjalanan gelombang dari a ke p adalah x / v . Oleh karena itu, persamaannya dapat
dituliskan sebagai berikut :

Dengan ω = 2 π f dan k = 2 π / λ serta v = f . λ , persamaan nya dapat kita jabarkan menjadi :

Jika gelombang merambat ke kiri maka titik p telah mendahului a dan persamaan gelombangnya adalah:

Jika titik a digetarkan dengan arah getaran pertama kali ke bawah, maka amplitudo (A) negatif.
Dengan demikian, persamaan gelombang berjalan dapat dituliskan sebagai berikut.

Keterangan :

yp : simpangan (m)

A : amplitudo (m)

k : bilangan gelombang = 2 π / λ

v : cepat rambat gelombang (m/s)

λ : panjang gelombang (m)

t : waktu (s)

x : jarak (m)

ω : kecepatan sudut (rad/s)

f : frekuensi (Hz)
T : periode (1/s)

5. Cepat Rambat Gelombang Transversal

Gelombang pada senar yang di petik tersebut merambat dengan kecepatan v. Berikut ini kita akan
membahas cara menentukan besarnya v tersebut :

Berdasarkan percepatan sentripetal as = v2 / R dan sudut pusat θ = as / R . Komponen F pada arah mendatar
saling meniadakan resultan komponen F pada arah vertikal:

Jika P adalah massa persatuan panjang senar maka untuk segmen senar berlaku:

Jika resultan komponen F pada arah vertikal: (FR) = gaya radial maka:

Keterangan:
v : laju gelombang (m/s)
F : tegangan tali (N)
P : massa persatuan panjang tali (kg/m)

6. Gelombang Stasioner

Jika gelombang telah mengalami pemantulan, sementara sumber gelombang masih terus memberikan pulsa
terus-menerus maka akan terjadi pertemuan antara gelombang datang
dan gelombang pantul. Pertemuan ini akan menghasilkan pola gelombang yang disebut gelombang
stasioner.

Gelombang stasioner terjadi jika dua buah gelombang yang koheren dengan arah rambat yang saling
berlawanan bertemu pada suatu titik, sehingga mengakibatkan terjadinya interferensi antara kedua
gelombang tersebut. Gambar di bawah menunjukkan gejala terbentuknya gelombang stasioner.
Misalnya dua buah gelombang berjalan yang bergerak berlawanan arah akibat pantulan, masing-masing
gelombang memiliki persamaan:

Gelombang tersebut akan bertemu pada suatu titik dan menimbulkan gejala interferensi gelombang dan
menghasilkan gelombang stasioner. Jika kedua persamaan ini kita jumlahkan, untuk gelombang stasioner
yang terjadi memiliki persamaan:

Keterangan:
x : jarak titik dari ujung pantulan

ys : simpangan gelombang stasioner

Persamaan di atas adalah persamaan gelombang stasioner pada ujung bebas. Dari persamaan tersebut dapat
kita lihat bahwa gelombang stasioner ini memiliki amplitudo sebesar:

Keterangan:

As : ampiltudo gelombang stasioner (m)

A : amplitudo gelombang berjalan (m)

k : bilangan gelombang = 2 π / λ

x : jarak suatu titik ke titik pantul (m)

Pola gelombang stasionernya dapat kita lihat pada gambar berikut.


Letak perut gelombang dari dinding pemantul adalah:

Keterangan:
n : 1, 2, 3, . . . atau perut ke 1, 2, 3, . . .

Letak simpul gelombang dari dinding pemantul adalah:

Keterangan:
n : 1, 2, 3, . . . atau simpul ke 1, 2, 3, . .

Untuk gelombang stasioner yang terjadi pada tali dengan ujung tetap maka gelombang pantul akan
mengalami pembalikan fase gelombang sebesar 1 / 2 periode gelombang atau sebesar p. Dengan
demikian, persamaannya akan menjadi:

Sedangkan amplitudo gelombang stasionernya adalah:

Letak perut gelombang dari dinding pemantul dapat ditentukan:

Sedangkan letak simpul gelombang dari dinding pemantul dapat ditentukan:


B. PERCOBAAN

1. Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah:

1. Wadah akuarium
2. Sumber gelombang (berupa titik dan batang)
3. Air
4. Kamera
5. Penghalang (Sterofoam)

Susunan peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah dengan cara wadah akuarium diisi
air, kemudian sumber gelombang dihidupkan dengan dimulai dari tegangan terkecil (7,5 volt) ,
kemudian, tunggulah beberapa saat, lalu akan timbul hasil gelombang seperti pada skema Gambar
1.

Gambar 1. Skema Percobaan

2. Langkah Percobaan

1) Alat dan bahan disiapkan.


2) Wadah akuarium diisi dengan air secukupnya.
3) Peralatan disusun sesuai dengan skema percobaan,
4) Diberikan variasi kecepatan titik sumber gelombang dan penghalang agar terlihat pola- pola
gelombang yang berbeda (kecepatan 12 volt, 9 volt, dan 7,5 volt dengan penghalang tanpa
celah, 1 celah, serta 2 buah celah).
5) Fenomena gelombang yang terbentuk diamati melalui rekaman kamera.
6) Data dianalisa dan dibahas dari hasil gambar yang diperoleh.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Telah dilakukan praktikum pada tanggal 9 Mei 2016 di Lab 118 Sekolah Vokasi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta mengenai pengukuran penjalaran pada gelombang mekanik. Praktikum
kali ini dilakukan sebanyak 3 kali percobaan. Pertama, praktikan diminta untuk menganalisa
fenomena gelombang yang terbentuk saat diberikan tegangan sebesar 7,5 volt. Kemudian,
menganalisa kembali saat diberikan tegangan sebesar 9 volt dan 12 volt. Setelah itu, praktikan
diminta kembali untuk memberikan penghalang (sterofoam) 1 celah dan 2 celah disetiap tegangan
pada wadah akuarium agar tampak gejala difraksi dan interferensi. Dan hasil yang diperoleh oleh
praktikan terlihat seperti pada gambar 4.1 sampai dengan 4.3

(a) (b) (c)

Gambar 4.1 : Gambar Gelombang saat diberikan tegangan 7 volt

a) saat tidak diberikan penghalang


b) saat diberikan penghalang 1 celah
c) saat diberikan penghalang 2 celah

Dari gambar diatas, dapat diartikan, bahwa pada gambar 4.1.a, itu yang dinamakan
gelombang mekanik. Sedangkan pada gambar 4.1.b, itu merupakan peristiwa difraksi karena terjadi
penyebaran pada gelombang tersebut setelah diberikan celah. Dan gambar 4.1.c adalah peristiwa
interferensi, karena, terdapat perpaduan gelombang yang dimana terdapat gelombang dengan
frekuensi dan beda fase yang saling bertemu.
(a) (b) (c)

Gambar 4.2 : Gambar Gelombang saat diberikan tegangan 9 volt

a) saat tidak diberikan penghalang


b) saat diberikan penghalang 1 celah
c) saat diberikan penghalang 2 celah

Dari gambar diatas, dapat diartikan, bahwa pada gambar 4.2.a, itu yang dinamakan
gelombang mekanik. Sedangkan pada gambar 4.2.b, itu merupakan peristiwa difraksi karena
terjadi penyebaran pada gelombang tersebut setelah diberikan celah. Dan gambar 4.2.c adalah
peristiwa interferensi, karena, terdapat perpaduan gelombang yang dimana terdapat gelombang
dengan frekuensi dan beda fase yang saling bertemu

(a) (b) (c)

Gambar 4.3 : Gambar Gelombang saat diberikan tegangan 12 volt

a) saat tidak diberikan penghalang


b) saat diberikan penghalang 1 celah
c) saat diberikan penghalang 2 celah

Dari gambar diatas, dapat diartikan, bahwa pada gambar 4.3.a, itu yang dinamakan
gelombang mekanik. Sedangkan pada gambar 4.3.b, itu merupakan peristiwa difraksi karena
terjadi penyebaran pada gelombang tersebut setelah diberikan celah. Dan gambar 4.3.c adalah
peristiwa interferensi, karena, terdapat perpaduan gelombang yang dimana terdapat gelombang
dengan frekuensi dan beda fase yang saling bertemu

Terdapat beberapa kendala yang diperoleh oleh praktikan dalam hal melakukan percobaan
ini. Pertama, pada saat memberikan penghalang 2 celah praktikum bingung menentukan jenis
celah yang akan digunakan apakah kayu ataukah sterofoam saja. Kemudian, pada saat
pengambilan gambar hasil gelombang, sempat tidak terlihat jelas saat diberikan tegangan 7 volt.

Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala diatas, hal yang dilakukan praktikan adalah
mencoba menggunakan penghalang kayu pada awal praktikum. Namun, hasil yang diperoleh tidak
baik. Akhirnya, praktikan menggantinya dengan menggunakan sterofoam saja. Dan terlihat jelas
gelombang yang terbentuk didalam wadah akuarium. Untuk pengambilan gambar, praktikan
membagi dua sisi. Satu sisi yang berdekatan dengan sumber gelombang, sementara sisi lainnya
yaitu diambil dari sisi atas wadah akuarium.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Semakin sempit celah maka panjang gelombang semakin pendek sedangkan semakin lebar celah

maka panjang gelombang semakan panjang


2. Semakin cepat kecepatan sumber gelombang maka panjang gelombang semakin pendek
sedangkan semakin lambat sumber gelombang maka panjang gelombang semakan panjang
FOTOMETER

A. DASAR TEORI

Fotometer adalah ilmu yang mempelajari tentang pengukuran-pengukuran kuantitas


cahaya. Ada beberapa kuantitas dari besaran-besaran cahaya, yaitu kuat cahaya (I), fluks cahaya
(F), kuat penerangan (E) dan terang cahaya (e).
Kuat cahaya (intensitas cahaya) I merupakan ukuran energi cahaya yang dipancarkan
sumber cahaya tiap satuan waktu besaran sudut (w). Satuan kuat cahaya adalah candela (cd).
Fluks cahaya (F) adalah jumlah tenaga yang dipancarkan besaran sudut (w).
-secara matematis ditulis
I atau F = I.W, = candela (cd).

Kuat penerangan (E) merupakan ukuran energi cahaya yang diterima benda tiap satuan
waktu pada setiap satuan luas bidang yang tegak lururs terhadap arah sinar datang. Kuat
penerangan juga menyebabkan rangsangan pengelihatan pada mata sehingga benda tampak
terang atau redup.
Kuat penerangan suatu permukaan benda adalah fluks cahaya atau aliran cahaya persatuan
luas dalam meter persegi dapat ditulis :
E=
Dimana: E = kuat peneranganF = fluks cahaya

A = luas permukaan
Kuat penerangan pada suatu titik yang mempunyai jarak R dari sumber cahaya dapat
dianggap sama dengan kuat penerangan titik pada bidang selimut bola yang berjari-jari R
dengan pusatnyasebagai tempat sumber cahaya.
Maka: E= atau I = E . R2

Hubungan antara kuat cahaya (I) dan kuatpenerangan(E).


a. untuk sumbar cahaya yang sama(tetap). Maka I tetap.

• = = = =

• E1 = dan E2 =
• = =

b. untuk dua sumber cahaya yang berbeda

• = dan =

maka =

atau =

Jika sumber cahaya tidak terletak pada normal bidang yang di terangi maka menurut lambert :

E=

Dimana θ adalah sudut antara normal dengan sinar dating membandingkan kuat cahaya (I) dari
dua sumber cahaya dengan photometer lumer brodhun.

B. METODE EKSPERIMEN

1. Alat-alat dan bahan


Alat dan bahan yang dibutuhkandalam percobaan ini sebagai berikut:

Photometer leunumer brodhun denganbangku optik


 Soket lampu 2 buah
 Statif lampu 2 buah
 Bola lampu yang berbeda 2 buah
 Lilin 1 buah kabel
 2 step down transformer (adaptor)
1. Rancangan Percobaan

Percobaan 1
Lampu (B1) – Lampu (B2)

Lampu (B1) – Lilin (L1)

Percobaan 2
Lampu (B2) – Lampu (B1)

Lampu (B2) – Lilin (L1)


2. Langkah – langkah Percobaan
Pertama peralatan yang kami perlukandalam percobaan. Setelah itu kami merangkai alat
seperti pada gambar yaitu meletakan lampu B1 pada jarak tertentu dikiri P dan meletakkan lilin
di kanan P sehingga kuat penerangan oleh B1 dan L1 terhadap permukaan sama. Dalam
keadaan ini pada eyepiece tampak samaterang antara lampu B dengan lilin. Selanjutnya kami
menggantikan lilin (L1) dengan lampu (B2) dengan jarak B1 dengan P tetap kemudian jarak B2
denganP di atur sedemikian sehingga lampuB1 dengan B2 memberikan kuat penerangan
yang sama pada photometer P. kemudian kami mengulangi langkah-langkah diatas untuk
sampai 20 kali dengan jarakB1 dengan P berbeda. Denganmenggunakan langkah yang
sama kami mengganti lampu B1 menjadi B2 atau lampu B2 menjadi B1 dengan 20 kali
pengulangan dengan jarak B2 dengan P berbeda. Jadi kami memperoleh data sebanyak 20 untuk
percobaan 1 dan 20 untuk percobaan 2.
Variabel-variabel yang digunakan adalah:
Percobaan I
a. Variabel Manipulasi : jarak B1 (X).

b. Variabel Respon : jarak L1 dan B2 (d1 dand2).


c. Variabel Kontrol :jenis lampu
B1 ,B2 ,lilin, pengamat, jarak
anatara pengamat dengan
fotometri.

Percobaan II

a. Variabel Manipulasi : jarak B2 (X).

b. Variabel Respon : jarak L1 dan B1 (d1 dand2).


c. Variabel Kontrol : jenis lampu B1 ,B2 ,lilin, pengamat, jarak anatara pengamat
dengan fotometri.

C. DATA DAN ANALISIS

1. DATA

Percobaan I
(X±0,1)c (d1±0,1)c (d2±0,1)c
No m m m
1 70 7 55.3

2 68 6.9 54.4
3 66 6.8 46.0
4 64 6.8 43.8
5 62 6.8 43.4
6 60 6.4 43.4
7 58 6.3 39.8
8 56 6.3 37.5
9 54 6.3 34.8
10 52 6.2 34.0
11 50 5.9 33.5
12 48 5.9 31.4
13 46 4.5 29.9
14 44 4.5 28.8
15 42 4.4 28.2
16 40 3.5 26.8
17 38 3.2 25.5
18 36 3.2 23.7
19 34 3.1 23.6
20 32 3 21.0
Ket : B1 : 60watt/220voltB2 : 40watt/220voltN : 220volt

Percobaan 2
no. (x±0,1)c (d1±0,1)c d2(±0,1)c
m m m
1 70.0 7.2 85.1
2 68.0 7.2 81.0
3 66.0 6.9 77.4
4 64.0 6.9 76.7
5 62.0 6.3 72.7
6 60.0 6.2 69.0
7 58.0 6.1 68.3
8 56.0 5.8 64.8
9 54.0 5.5 64.0
10 52.0 5.2 62.5
11 50.0 5.1 58.1
12 48.0 5.0 55.8
13 46.0 5.0 52.0
14 44.0 4.8 48.5
15 42.0 4.8 45.0
16 40.0 4.7 42.5
17 38.0 4.5 39.0
18 36.0 4.4 37.8
19 34.0 4.2 34.8
20 32.0 4.0 32.5

Ket : B1 :40watt/220volt B2 : 60watt/220voltN : 220volt


2. ANALISIS
Dari data yang kami peroleh diatas dengan menggunakan persamaan IL1 = d12/d22 . IB2,dimana
IB2 = F/W diperoleh besarnya intensitas lilin
ANALISIS 1
No X IL
1 70 31.68899
2 68 31.81728
3 66 43.21801
4 64 47.66858
5 62 48.55131
6 60 43.00739
7 58 49.55387
8 56 55.81889
9 54 64.81645
10 52 65.76399
11 50 61.3447
12 48 69.82442
13 46 44.79662
14 44 48.28394
15 42 48.14706
16 40 33.73099
17 38 31.14456
18 36 36.05503
19 34 34.12416
20 32 40.36143
46.48588
Analisis 2
no. x IL
1 70.0 21.23534
2 68.0 23.43949
3 66.0 23.57597
4 64.0 24.00826
5 62.0 22.27745
6 60.0 23.95182
7 58.0 23.66309
8 56.0 23.76617
9 54.0 21.90881
10 52.0 20.53525
11 50.0 22.85817
12 48.0 23.81908
13 46.0 27.42752
14 44.0 29.0571
15 42.0 33.75287
16 40.0 36.28032
17 38.0 39.49563
18 36.0 40.19528
19 34.0 43.21091
20 32.0 44.93726
28.46979

Nilai intensitas lilin yang diperoleh pada percobaan pertama sebesar IL1= (46,49 ± 2,68 )
lumen/steradian, dengantaraf ketelitian sebesar 94,23%, danketidakpastian 5,77%,sedangkan
percobaan kedua diperoleh sebesar IL1(28,47 ± 1,79 )lumen/steradian dengan taraf ketelitian
sebesar 93,71% dan ketidakpastian 6,29%.
Analisis Dalam Bentuk GrafikPada Percobaan 1

Merupakan grafik antara x2terhadap d12


Dari grafik tersebut diperoleh persamaan y=0.011x-1.051 dengan y=d12,x=x2 m=IL/IB1
Maka:
0.011= IL/3263.54
IL=0.011x3263.54= 35.89 lumen/steradian Maka dapat disimpulkan ketelitian dari
percobaan kuat cahaya lilin dengan metodegrafik adalah
Ketelitian=91.3%
Ketidakpastian =ΔI/Irata-ratax100% ΔI=(8.7x35.89)/100%=3.12lumen/steradian
IL=(35.89±3.12) lumen/steradian

Merupakan grafik antara x2terhadap d22 Dari grafik tersebut diperoleh persamaan y=0.606x-
322.7,dengan y=d22(variabelrespon), x=x2 (variabel manipulasi) m=IB2/IB1
Maka:
IB2/IB1=0.606
IB1=1977.71/0.606=3263.54lumen/steradian
Dengan taraf ketelitian=0.933x100%=93.3%
Pada percobaan 2

Merupakan grafik antara x2terhadap d12 Dari grafik tersebut diperoleh persamaan y=0.009x-
5.300 dengan y=d12,x=x2 m=IL/IB1
Maka:
0.009= IL/1900.42
IL=0.009x1900.42=17.10 lumen/steradian Maka dapat disimpulkan ketelitian dari
percobaan kuat cahaya lilin dengan metodegrafik adalah
ketelitian=98.2% Ketidakpastian=ΔI/Irata-ratax100%
ΔI=(1.8x17.10)/100%=0.3lumen/steradian
IL=(17.10±0.3) lumen/steradian

Merupakan grafik antara x2terhadap d22 Dari grafik tersebut diperoleh persamaan y=1.561x-
608.5 dengan y=d22(variabelrespon), x=x2 (variabel manipulasi) m=IB2/IB1
Maka:
IB2/IB1=1.561
IB1=2966.56/1.561=1900.42lumen/steradian
Dengan taraf ketelitian
=0.994x100%=99.4%
D. KESIMPULAN

Untuk mengukur besar intensitas cahaya suatu sumber cahaya dengan menggunakan
photometer leunumer brodhun adalah merangkai alat percobaan dimana meletakkan lampu B1
pada jarak tertentu di kiri fotometer (P) dan meletakkan L1 di kanan fotometer sedemikian
sehingga kuat penerangan oleh B1 dan L1 terhadap eyepiece sama terang.Kemudian mengganti
L1 dengan lampu B2 dengan jarak B1 tetap.Selalanjutnya jarak B2 dan P sedemikian sehingga
kuat penerangan oleh B1 dan B2 terhadap permukaan eyepiece sama terang. Kemudian
mengulanginya sebanyak 20 kali.
JEMBATAN WHEATSTONE

A. DASAR TEORI
1. JEMBATAN WHEATSTONE

Jembatan Wheatstone adalah alat ukur yang ditemukan oleh Samuel Hunter Christie pada
1833 dan meningkat kemudian dipopulerkan oleh Sir Charles Wheatstone pada tahun 1843. Ini
digunakan untuk mengukur suatu yang tidak diketahui hambatan listrik dengan menyeimbangkan
dua kali dari rangkaian jembatan, satu kaki yang mencakup komponen diketahui kerjanya mirip
dengan aslinya potensiometer.

Jembatan Wheatstone adalah suatu alat pengukur, alat ini dipergunakan untuk memperoleh
ketelitian dalam melaksanakan pengukuran terhadap suatu tahanan yang nilainya relatif kecil
sekali umpamanya saja suatu kebocoran dari kabel tanah/ kartsluiting dan sebagainya. (Suryatmo,
1974 dalam Lutfii,2009).

Jembatan Wheatstone adalah alat yang paling umum digunakan untuk pengukuran tahanan
yang teliti dalam daerah 1 sampai 100.000 Ω. Jembatan Wheatstone terdiri dari tahanan R1, R2,
R3, dimana tahanan tersebut merupakan tahanan yang diketahui nilainya dengan teliti dan dapat
diatur. (Lister, 1993 dalam Lutfii,2009).

(Google, images, 2010)

Contoh terapan jembatan wheatstone : sebagai thermometer, penguat-

intensitas cahaya, indicator desakan

Sebagai thermometer, salah satu pelawan di dalam jembatan ditukar dengan thermisitor.
Thermisitor ini akan mengindera perubahan-perubahan suhu ( Perubahan suhu akan mengubah
harga perlawanan thermisitor, dan perubahan perlawanan ini berakibat perubahan tegangan V .
Perubahan tegangan V dapat ditampilkan oleh alat ukur yang tertera dalam derajat Celcius
(Wasito.S.2006)

1.1 Hukum Dasar Rangkaian Listrik Yang Berhubungan Dengan Jembatan Wheatstone

1) Hukum Kirchoff

Jaringan yang kompleks dapat dianalisa dengan menggunakan hokum kirchoff. Untuk ini
didefinisikan dua istilah. Suatu titik cabang dalam suatu suatu jaringan adalah tempat bertemunya
beberapa buah konduktor. Sebuah loop adalah suatu jalan konduksi yang tertutup (Sutrisno dan
Tan Ik Gie, 1979). Maka dari itu hokum kirchoff terbagi 2:

Hukum I Kirchoff (Bambang Murdaka Eka Jati dan Tri Kuntoro Priyambodo,2009)

Hukum ini disebut pula hokum kirchoff tentang arus listrik (Kirchoff Current Law= KCL).
Hukum ini menyatakan bahwa superposisi semua arus listrik yang menuju ke titik cabang adalah
nol. Hukum ini dilandasi oleh hokum kekekalan muatan listrik. Pada peristiwa ini jumlah muatan
yang terlibat tidak bertambah ataupun berkurang. Untuk arus listrik di kawat ke I yaitu Ib dari
sejumlah N arus yang menuju ke titik cabang maka KCL secara matematis dapat ditulis :

∑ 𝐼𝑖 = 0; 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑁
𝐼=1

Superposisi ini menganut ketentuan bahwa arus listrik yang menuju ke titik cabang ditulis
positif sedangkan yang meninnggalkan titik cabang ditulis negative

Mengacu pada persamaan di atas maka persamaan untuk gambar diatas dapat ditulis:

∑ 𝐼𝑖 = 0; 𝑠𝑒ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝐼1 + 𝐼2 − 𝐼3 − 𝐼4 − 𝐼5 = 0
𝐼=1
2) Hukum II Kirchoff(Bambang Murdaka Eka Jati dan Tri Kuntoro Priyambodo,2009)

Hukum ini disebut juga hukum kirchoff tentang tegangan (Kirchoff Voltage Law=KVL). Hukum
ini enyatakan bahwa jumlah aljabar beda potensial diuntai tertutup adlah nol.Untuk beda
potensial ke I adalah ∆VI dari N buah komponen yang memberikan beda potensial di untai
tertutup, secara matematis KVL ditulis :

∑ 𝑉𝑖 = 0; 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑁
𝐼=1

2. Galvanometer

Jika konduktor pengalir arus ditempatkan dalam medan magnet dihasilkan gaya pada
konduktor yang cenderung menggerakkan konduktor itu dalam arah tegak lurus medan. Prinsip
ini digunakan dalam instrument pendeteksi arus. Instrument pendeteksi arus yang peka disebut
galvanometer. (Lister, 1993 dalam Lutfii, 2009).

Galvanometer merupakan instrument sangat peka dan dapat mengukur arus yang sangat
lemah. Galvanometer terdiri atas sebuah komponen kecil berlilitan banyak yang ditempatkan
dalam sebuah medan magnet begitu rupa sehingga garis-garis medan akan menimbulkan kopel
pada kumparan apabila melalui kumparan ini ada arus. (Flink, 1985 dalam Lutfii, 2009).

Di dalam teori pengukuran listrik yang dimaksudkan dengan pengukuran Galvano yaitu
suatu instrument yang dipergunakan untuk memperlihatkan arus yang lemah. Untuk menyatakan
dengan jelas kadang-kadang dipisahkan juga untuk instrument-instrumen yang peka (sensitif),
yang banyak dipakai di laboratorium dan terutama sistem jembatan yang banyak kita jumpai.
(Suryatmo, 1974 dalam Lutfii,2009).

Galvanometer adalah alat yang dipergunakan untuk deteksi dan pengukuran arus.
Kebanyakan alat itu kerjanya tergantung pada momen yang dilakukan pada kumparan di dalam
medan magnet. (Pratama, 2010 dalam Lutfii,2009).
B. ALAT
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :

1) Hambatan standar dan hambatan geser


2) Hambatan standar sebagai hambatan/tahanan yang sudah diketahui nilai
hambatannya. hambatan geser sebagai resistor yang belum dikatahui nilai
hambatannya
3) Galvanometer
4) sebagai alat untuk mendeteksi adanya arus listrik pada rangkaian wheatstone
5) Catu daya
6) Catu daya berfungsi untuk mengontrol kestabilan tegangan output dengan
mengubah-ubah lebar untuk menyaklarkan transitor penyaklar dan sebagai
sumber arus/PLN.
7) Kabel-kabel penghubung 4 buah
8) Kabel penghubung berfungsi sebagai penghubung ke rangkaian.
9) Kontak geser sebagai saklar, alat untuk memutus dan menyambung arus listrik

C. LANGKAH KERJA
1. Persiapkan semua peralatan yang dibutuhkan ( konsultasikan dengan dosen
pengasuh atau asisten)
2. Susun rangkaian aeperti pada skema gambar dibawah ini :

3. Hidupkan catu daya, dengan masukan tegangan 3 volt DC (minta dosen pengasuh
atau asisten)
4. Tentukan harga Rs. Atur kontak geser sehingga galvanometer menunjukan angka nol.
5. Catat panjang L1 dan L2
6. Ulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk 10 kali perulangan. Tanyakan kepada asisten
besarnya Rs tersebut.
7. Ulangi langkah diatas untuk harga Rs yang lain.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil

No. L1 L2 Rx

1. 7 cm 93 cm 7.5 ohm

2. 20,5 cm 79,5 cm 25.8 ohm

3. 62,5 cm 37,5 cm 166.7 ohm

4. 58,8 cm 41,2 cm 142.7 ohm

5. 52,3 cm 47,7 cm 109.6 ohm

6. 59 cm 41 cm 143.9 ohm

7. 50 cm 50 cm 100.0 ohm

8. 39 cm 61 cm 63.9 ohm

9. 44 cm 56 cm 78.6 ohm

10. 42 cm 58 cm 72.4 ohm

 𝑅𝑥1 = 𝑙1 × 𝑅 𝑆
𝑙2
7
= × 100
93
= 7,5 𝑜ℎ𝑚

= 𝑙1 × 𝑅 𝑆
 𝑅𝑥2 𝑙2

20,5
=
79,5
× 100

= 25,8 𝑜ℎ𝑚

= 𝑙1 × 𝑅 𝑆
 𝑅𝑥3 𝑙2

62,5
=
37,5
× 100

= 166,7 𝑜ℎ𝑚

= 𝑙1 × 𝑅 𝑆
 𝑅𝑥4 𝑙2

58,8
=
41,2
× 100

= 142,7 𝑜ℎ𝑚

= 𝑙1 × 𝑅 𝑆
 𝑅𝑥5 𝑙2

52,3
=
47,7
× 100

= 109,6 𝑜ℎ𝑚

= 𝑙1 × 𝑅 𝑆
 𝑅𝑥6 𝑙2

59
=
41
× 100

= 143,9 𝑜ℎ𝑚

= 𝑙1 × 𝑅 𝑆
 𝑅𝑥7 𝑙2

50
=
50
× 100
= 100 𝑜ℎ𝑚

= 𝑙1 × 𝑅 𝑆
 𝑅𝑥8 𝑙2

39
=
61
× 100

= 63,9 𝑜ℎ𝑚
= 𝑙1 × 𝑅 𝑆
 𝑅𝑥9 𝑙2

44
=
56
× 100

= 78,6 𝑜ℎ𝑚
= 𝑙1 × 𝑅𝑆
 𝑅𝑥

10 𝑙2

42
=
58
× 100
= 72,4 𝑜ℎ𝑚
2. Pembahasan

Dari hasil yang sudah ada dapat diketahui bahwa konsep dari jembatan wheatstone yaitu
melakukan perbandingan antara besar hambatan yang telah diketahui dengan besar hambatan yang
belum diketahui yang tentunya dalam keadaan Jembatan disebut seimbang yaitu Galvanometer
menunjukkan pada angka nol. Maka dapat diketahui bahwa pada percobaan pertama jika L1 = 7 cm ,
maka l2 = 93 cm maka RX1 = 7,5 ohm selanjutnya pada percobaan kedua jika L1 = 20,5 cm , maka l2 =
79,5 cm maka RX2 = 25,8 ohm, selanjutnya pada percobaan ketiga jika L1 = 62,5 cm , maka l2 = 37,5
cm maka RX3 = 166,7 ohm.

Pada percobaan keempat jika L1 = 58,8 cm , maka l2 = 41,2 cm maka RX4 = 142,7 ohm pada
percobaan kelima jika L1 = 52,3 cm , maka l2 = 47,7 cm maka RX5 = 109,6 ohm pada percobaan
keenam jika L1 = 59 cm , maka l2 = 41 cm maka RX6 = 143,9 ohm pada percobaan ketujuh jika L1 = 50
cm , maka l2 = 50 cm maka RX7 = 100 ohm pada percobaan ke delapan jika L1 = 39 cm , maka l2 = 61
cm maka RX8 = 63,9 ohm pada percobaan kesembilan jika L1 = 44 cm , maka l2 = 56 cm maka Rx9 =
78,6 ohm pada percobaan kesepuluh jika L1 = 42 cm , maka l2 = 58cm maka RX10 = 72,4 ohm.

Kaitan antara konsep jembatan wheatstone dengan hasil praktikum yakni sangat berkaitan
dimana konsep jembatan wheatstone itu melakukan perbandingan dengan hambatan yang sudah
diketahui sedangkan pada praktikum juga kita menggunakan hambtan yang sudah diketahui
kesalahan kesalahan dalam praktikum yang terjadi disebabkan oleh praktikan sendiri dan juga dari
alat praktikum.

Ditinjau dari praktikan, praktikan tersebut biasanya belum memahami konsep daari jembatan
wheatstone sehingga hasil yang dicapai kurang maksimal. Dan juga arus yang berlebihan dapat
mengakibatkan perubahan permanen pada tahanan, kondisi ini tidak boleh terjadi, karena akan
terjadi kesalahan pada pengukuran- pengukuran selanjutnya, dan karena itu untuk mengatasi
masalah ini, maka disipasi daya dalam lengan-lengan jembatan harus dihitung sebelumnya, sehingga
nilai arus dapat dibatasi pada nilai yang aman.

Dalam pengukuran tahanan-tahanan rendah, ggl termal pada rangkaian jembatan atau rangkaian
galvanometer dapat menyebabkan masalah. Untuk mengatasinya diperlukan galvanometer yang
lebih sensitif dilengkapi dengan sistem suspensi tembaga, sehingga kontak antara logam-logam yang
tidak sama dan ggl termal dapat dicegah.
E. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa Jembatan Wheatstone adalah
rangkaian yang terdiri dari empat buah hambatan seperti R1 , R2 dan R3 merupakan hambatan yang sudah
diketahui, sedangkan Rx adalah hambatan yang akan di cari besarnya konsep dari jembatan wheatstone
yaitu melakukan perbandingan antara besar hambatan yang telah diketahui dengan besar hambatan yang
belum diketahui yang tentunya dalam keadaan Jembatan disebut seimbang yaitu Galvanometer
menunjukkan pada angka nol, Galvanometer adalah alat ukur yang memiliki kepekaan tinggi oleh karena
itu galvanometer dipakai pengukuran dengan tegangan kecil.
PROYEKTIL

A. LANDASAN TEORI

1. Konservasi Momentum
Menurut prinsip konservasi momentum, momentum adalah kekal dalam elastis dan
inelastic tumbukan. Jika sistem terisolasi, perubahan momentum dari salah satu bagian dari sistem
akan mewujudkan sederajat perubahan momentum di bagian lain dari sistem. Kekekalan
momentum awal dan akhir diberikan sebagai:

𝑃𝑖 = 𝑃𝑓

Dalam percobaan ini, seperti ditunjukkan pada Gambar. 1, sistem ini terdiri dari bola baja dan
pendulum. Karena pendulum diam sebelum tumbukan, kecepatannya (dan dengan demikian
momentum) adalah nol. Dengan demikian total momentum sistem sebelum tumbukan, P i ,
Adalah momentum bola, dan karena itu, Pi adalah produk dari massa m bola dan v kecepatannya.

𝑃𝑖 = 𝑚𝑣 …. (1)
Dan kecepatan awak vi adalah
𝑥
𝑣𝑖 = 𝑡 … (1a)

Dimana x adalah jarak kedudukan antara pendulum dan proyektil yang jaraknya diubah-ubah dan
t adalah waktu tempuh yang dibutuhkan proyektil untuk menumbuk pendulum.

Pada saat tumbukan, bola ditangkap oleh pendulum. Keduanya sekarang berbagi kecepatan umum
vf dan gabungan massa (M + m). Momentum akhir dari sistem ini, Pf , Diberikan oleh:

𝑃𝑓 = (𝑀 + 𝑚)𝑣𝑓 …. (2)

Setelah tumbukan pendulum berayun pada pusat penyangga. Pada perpindahan sudut maksimum,
pusat massa dari sistem akan meningkat melalui jarak vertikal h. Ini adalah posisi titik-titik yang
ditunjukkan pada Gambar. 1. Pada saat ini semua energi kinetik awal telah diubah menjadi energy
potensial. Menerapkan prinsip konservasi energi, diperoleh:
1
(𝑀 + 𝑚)𝑣𝑓2 = (𝑀 + 𝑚)𝑔ℎ…. (3)
2

di mana g adalah percepatan gravitasi. Kecepatan dari sistem bola pendulum adalah:

𝑣𝑓 = √2𝑔ℎ …. (4)

Memasukkan persamaan (4) ke dalam persamaan (2), diperoleh:


𝑃𝑓 = (𝑀 + 𝑚)√2𝑔ℎ …. (5)

Gambar 1: Blackwood alat pendulum balistik dengan pistol semi.

Pusat massa dari pemegang dengan bola akan menaikkan ketinggian h bersih ke posisi yang telah
ditentukan/dititik. Sebuah pawl pada bawah dudukan tangkapan di takik di rak melengkung untuk
menahan system pada titik tertinggi (ditunjukkan dalam Posisi titik-titik
B. METODE PRAKTIKUM

1. IDENTIFIKASI VARIABEL

- Variable terukur :
a. Massa proyektil (m) , gram
b. Massa pendulum (M), gram
c. Posisi awal pendulum (hi), cm
d. Posisi akhir pendulum (hf), cm
e. Jarak pendulum dari proyektil (x), cm
f. Waktu tumbukan proyektil ke pendulum (t), s

- Variable bebas/tidak terukur :


a. Gravitasi bumi (g), m/s

2. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

a. Massa proyektil, dengan symbol (m), memiliki satuan gram atau Kg. dimana massa proyektil ini
diukur menggunkan neraca digital dengan kesalahan mutlak 5%. Proyektil yang digunakan hanya
satu buah yang dilontarkan pada sebuah balok kayu yang berupa pendulum pada percobaan
pertama, dan melontarkan proyektil tersebut secara bebas tanpa hambatan pada percobaan kedua
untuk menghitung kecepatan proyektil.
b. Massa pendulum, dengan symbol (M), merupakan variable yang diukur dan memiliki satuan gram
atau Kg, dimana massa pendulum ini diukur menggunakan neraca digital dengan kesalahan mutlak
5%. Pendulum disini merupakan jumlah massa dari sebuah balok kayu dengan kawat yang
digantung bebas pada alat. Pendulum ini, merupakan balok stasioner dan sebagai objek pelontar
pada proyektil. Pada percobaan ini, kita tidak menghitung momentum pendulum melainkan
momentum proyektil.
c. Posisi awal pendulum, dengan symbol (hi), memiliki satuan cm atau meter. Dimana posisi awal
pendulum diukur mulai dari dasar alat ke ujung atas balok yang tergantung pada sebuah kawat dan
masih tergantung bebas sebelum terjadinya tumbukan dengan proyektil. Posisi ini diukur
menggunakan sebuah mistar. Posisi ini diukur sebanyak 5 kali atau lebih lalu di rata-ratakan.
d. Posisi akhir pendulum, dengan symbol (hf), memiliki satuan cm atau meter. Dimana posisi akhir
ini diukur mulai dari dasar alat ke ujung atas balok yang telah terlontar akibat tembakan pada
sebuah proyektil. Posisi ini diukur menggunakan mistar, pada pengukuran ini harus hati-hati dan
cermat dalam melihat skala pada mistar. Posisi ini dikur sebanyak 10 kali atau lebih lalu di rata-
ratakan.
e. Gravitasi bumi memiliki symbol (g) dengan satuan m/s2. Gravitasi merupakan variable bebas atau
variable tak terikat, dimana variable ini digunakan untuk menentukan kecepatan lontaran proyektil
pada sebuah lintasan parabola arah horizontal.
f. Jarak antara pendulum dengan proyektil (x) dengan satuan cm. jarak ini merupakan variable terukur
atau variable manipulasi, dimana jarak ini besarnya diubah-ubah sebanyak 10 kali sesuai
banyaknya manipulasi ketinggian h. jarak ini pula akan dirata-ratakan untuk memperoleh nilai
kecepatan awal tumbukan proyektil terhadap pendulum.
g. Waktu tempuh proyektil menumbuk pendulum (t) dengan satuan sekon. Waktu ini merupakan
variable terukur atau variable manipulasi, dimana waktu ini besarnya diubah-ubah sebanyak 10 kali
sesuai banyaknya manipulasi ketinggian h dan jarak. Variable ini pula akan dirata-ratakan untuk
memperoleh nilai kecepatan awal tumbukan proyektil terhadap pendulum. Waktu diukur
menggunakan stopwatch.

3. ALAT DAN BAHAN/METODE


Alat adalah pendulum balistik Blackwood dengan senapan semi, seperti ditunjukkan pada
Gambar. 1.

Pada bagian pertama percobaan, bola baja terpasang pada pistol semi diluncurkan horisontal dan
tertangkap oleh dudukan pada pendulum. Pendulum kemudian naik ketinggian h. Dari
pengukuran ini h, kecepatan, v, dari sistem pendulum-bola ditentukan sebagai pendulum pertama
mulai berayun. Mengetahui kecepatan ini dan massa bola dan pendulum, pada momentum akhir
P f , setelah system maka tumbukan dapat ditentukan.

Pada bagian kedua dari percobaan, pendulum berayun keluar dari jalan sehingga tidak
mengganggu bola. Kecepatan bola saat peluncuran ditentukan dari pengukuran y ketinggian awal
di atas lantai dan kisaran X horizontal ke titik hasil tumbukan. Momentum bola sebelum tumbukan
adalah yang kecepatan v kali m massanya. Momentum pendulum stasioner - sebelum tumbukan
dengan bola bergerak - adalah nol karena tidak bergerak. Oleh karena itu, momentum awal dari
system bola pendulum sebelum tumbukan adalah hanya momentum bola.
4. PROSEDUR PERCOBAAN
Bingkai alat Blackwood harus rata dan tegas dijepit ke meja. Adalah penting bahwa alat
tetap berada di posisi yang sama sampai semua pengukuran telah selesai. Jadi, berhati-hatilah
untuk tidak memindahkan meja selama percobaan! Alat harus terletak di dekat salah satu tepi
meja.
Perhatian: Pastikan tidak ada di jalur bola baja untuk mencegah cedera pada siswa
lain atau instruktur.

3.2.1. Penentuan Velocity Final (Kecepatan akhir) Pendulum-Proyektil (bola baja) Sistem
setelah tumbukan

1. Lepaskan pendulum dari rak dan memungkinkan untuk menggantung bebas. Identifikasi pointer
indeks menandai pusat massa pendulum. Hati-hati mengukur h i (Lihat Gambar. 1), ketinggian
Indeks pointer di atas dasar peralatan. Perkirakan kesalahan eksperimental dalam mengukur h i.

2. Pindahkan pendulum naik ke rak. Siapkan senjata untuk diluncurkan dimana pendulum pada
rak sedangkan proyektil (ball) ditempatkan pada poros ujung tersebut pada semi-gun . Memegang
pistol dengan satu tangan, dan dengan tangan yang lain mendorong bola kembali terhadap pegas
sampai kerah pada batang pelatuk. Ini kompres pegas jumlah tertentu. Disebabkan oleh
penyimpangan dalam mekanisme peluncuran, Anda akan menemukan beberapa variasi dalam
kecepatan v. Ini akan menyebabkan variasi dalam nilai ketinggian hf (Lihat Gambar. 2) yang
pendulum naik.

3. Lepaskan pendulum dari rak dan memungkinkan untuk menggantung bebas. Ketika pendulum
adalah saat istirahat, meluncurkan bola ke pemegang pendulum. Pendulum akan berayun dari
posisi awalnya, hi, ke posisi akhir, hf, Seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 1.

4. Ukur hf, Ketinggian pointer indeks. Perkirakan kesalahan dalam pengukuran ini. Untuk
melepaskan bola, dorong keluar dari dudukannya dengan jari Anda.
5. Ulangi langkah 2 sampai 4 untuk membuat sepuluh peluncuran pendulum ke rak/holder. Setiap
anggota kelompok harus mengambil giliran mengukur hi dan h f .

6. lakukan pengukuran pula terhadap jarak pendulum dan proyektil ketika pengukuran/ penentuan
nilai h. variable ini diubah sebanyak 10 kali dengan jarak yang berbeda, tuk setiap kali lontaran.
Ukur pula banyaknya waktu yang dibutuhkan proyektil untuk menumbuk pendulum, variable ini
merupakan variable respon dari jarak tempuh.

7. Setiap kelompok tersebut yang anggota harus mengukur massa m dari bola menggunakan neraca
keseimbangan. Catatan perkiraan Anda dari kesalahan eksperimental untuk prosedur ini. Catat M
massa balistik pendulum (diberikan pada peralatan).
5. ANALISIS DATA
1. TABEL
Tabel yang digunakan ada 3 macam yaitu table hubungan hi dan hf, table waktu t dan table
jarak s

Konservasi Momentum dalam Satu Dimensi


Data Sheet
1. Catat massa bola baja dan pendulum:
m bola = ________________gram
M pendulum = ________________gram
2. Pengukuran hi dan hf dari Pendulum

# hi # hf h = (hf – hi,avg)
- cm - cm cm
1 1
2 2
3 3
hi, average = 4
5
6
7
8
9
10

3. Pengukuran t (sekon) dan x (cm) dari bola baja

t x t x
sekon cm s cm

6. TEKNIK ANALISIS DATA


Adapun perhitungan dan analisis data dalam percobaan ini adalah :

1. Hitung mean (rata-rata) nilai h, t, dan x

2. Masukkan nilai rata-rata dari kisaran t dan x ke dalam Pers. (1a) untuk mendapatkan kecepatan
v dari bola sebelum bertumbukan dengan pendulum. Hitung momentum awal sistem
menggunakan Persamaan. (1), (Pi = m v) atau bergantian Anda dapat menggunakan Persamaan.
(9) untuk mendapatkan nilai P i .

3. Hitung momentum akhir sistem sesaat setelah tumbukan dengan memasukkan nilai rata-rata h
ke dalam Pers. (5).
C. HASIL, ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Konservasi Momentum dalam Satu Dimensi


Data Sheet
1. Catat massa bola baja dan pendulum:
m bola/proyektil = 2.03 gram x 5% = 0.00192 kg
M pendulum = 19.46 gram x 5 % = 0.01844 kg
2. Pengukuran hi dan hf dari Pendulum

# hi # hf h = (hf – hi,avg)
- cm - cm cm
1 1
6.80 11.00 4.01
2 2
7.10 10.00 3.01
3 3
7.00 10.50 3.51
4 4
7.10 10.00 3.01
5 5
6.90 9.80 2.81
6 6
7.00 10.20 3.21
7 7
7.10 10.50 3.51
8 8
6.80 9.70 2.71
9 9
7.00 11.00 4.01
10 10
7.10 11.00 4.01
Hi, avg 6.99 3.38

3. Pengukuran t dan x dari bola baja


t x t x
sekon cm s cm
1 25 1,40 27,5
1,04 25,5 1,49 28
1,2 26 1,5 28,5
1,25 26,5 1,6 29
1,31 27 1,7 29,5
B. ANALISI DATA
Rata-rata nilai :

h = 3.38 cm = 0.0338 m
x = 27 cm = 0.27 m
t = 1.47 s

kecepatan v dari bola/proyektil sebelum bertumbukan dengan pendulum :

𝑥
𝑣=
𝑡

0,27 𝑚
𝑣=
1,47 𝑠

𝑣 = 0,187 𝑚/𝑠

momentum awal sistem menggunakan Persamaan. (1), (Pi = m v)

𝑃𝑖 = 𝑚𝑣

𝑚
𝑃𝑖 = (0,00192 𝑘𝑔)(0,018 )
𝑠

𝑃𝑖 = 0,0036 𝑘𝑔 𝑚/𝑠

momentum akhir sistem sesaat setelah tumbukan dengan memasukkan nilai rata-rata h ke dalam
Pers. (5).
𝑃𝑓 = (𝑀 + 𝑚)√2𝑔ℎ

𝑃𝑓 = (0,01844 𝑘𝑔 + 0,00192 𝑘𝑔)√2(10)(0,0338 𝑚)

𝑃𝑓 = (0,02036 𝑘𝑔)√2(10)(0,0338 𝑚)

𝑃𝑓 = 0,00307 𝑘𝑔 𝑚/𝑠

Hitung energy kinetik [EK = (½) mv 2 ]


(a) Energi kinetik awal (EK) dari sistem sebelum tumbukan.
1
𝐸𝐾𝑖 = 𝑚𝑣 2
2
1
𝐸𝐾𝑖 = 𝑝𝑖 2
2
1
𝐸𝐾𝑖 = (0,0036)2
2
𝐸𝐾𝑖 = 0,00000648 𝑗𝑜𝑢𝑙𝑒

(b) Hitung energi kinetik akhir (EK) f sistem sekejap setelah tumbukan.
1
𝐸𝐾𝑓 = 𝑀𝑣 2
2
1
𝐸𝐾𝑓 = 𝑝𝑓 2
2
1
𝐸𝐾𝑓 = (0,00307)2
2
𝐸𝐾𝑓 = 0,00000471 𝑗𝑜𝑢𝑙𝑒

Menghitung energy yang hilang ketika tumbukan :

[|𝐸𝐾𝑖 − 𝐸𝐾𝑓|]
𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 (𝑠𝑒𝑙𝑖𝑠𝑖ℎ) =
𝐸𝐾𝑖

[|0,00000648 𝑗𝑜𝑢𝑙𝑒 − 0,00000471 𝑗𝑜𝑢𝑙𝑒|]


𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 (𝑠𝑒𝑙𝑖𝑠𝑖ℎ) =
0,00000648 𝑗𝑜𝑢𝑙𝑒

𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 (𝑠𝑒𝑙𝑖𝑠𝑖ℎ) = 0,2371

C. PEMBAHASAN
Pada percobaan ini terdapat adalah Penentuan Velocity awal (Kecepatan awal)
Pendulum-Proyektil (bola baja) Sistem setelah tumbukan, pada percobaan ini kita
mengukur nilai hi dan hf, dimana hi adalah posisi awal pendulum dan hf adalah posisi akhir
pendulum. Posisi hi diperoleh 10 data dengan rata-rata adalah 6,99 cm dan hf diperoleh 10
data. Pada kasus ini kita menghitung nilai h sebagai perubahan posisi atau selisih antara hf
dengan hi rata-rata ( data dapat dilihat pada table hasil percobaan) dan percobaan kedua
adalah Penentuan kecepatan awal dari Pengukuran jarak pendulum – proyektil dan waktu
tempuh lontaran. Nilai x disini adalah jarak tempuh proyektil dari kedudukan awal hingga
menumbuk pendulum, Nilai x yang diperoleh pada percobaan ini adalah 10 data dengan
rata-rata nilai 2,75 cm. sedangkan nilai t adalah waktu tempuh proyektil hingga menumbuk
pendulum. Nilai t yang diperoleh adalah 10 data dengan rata-rata 1,47 sekon. Semakin
besar nilai x maka semakin besar pula nilai t nya.
Pada percobaan ini pula, kita dituntut tuntut untuk menghitung nilai Pi (momentum
awal) dan Pf (momentum akhir). Hal ini dilakukan untuk membuktikan keberlakuan
hukum kekekalan momentum dalam percobaan. Pada percobaan ini kita mendapatkan nilai
Pi sebesar 0,0036 kg m/s2 diperoleh dari kalkulasi nilai rata-rata x dan t sehingga
memperoleh nilai v, dimana nilai v di kalikan dengan nilai m = massa proyektil, sehingga
diperoleh nilai Pi (menggunakan persamaan 1a). Sedangkan nilai Pf yang diperoleh sebesar
0,00307 kg m/s2, nilai ini diperoleh dengan menggunakan persamaan 2.
Berdasarkan hukum kekekalan momentum yang berlandaskan dengan hukum III
Newton yang menyatakan momentum itu kekal selama tidak ada impuls yang
mempengaruhi. Dapat diartikan bahwa momentum awal sama dengan momentum akhir.
Namun pada percobaan ini, momentum awal tidak sama dengan momentum akhir, tapi
nilai yang diperoleh memiliki selisih yang kecil, jadi kita beranggapan bahwa hukum
kekekalan momentum pada percobaan ini terbukti. Hal ini dikarenakan, kurangnya
ketelitian dan kecermatan dalam pengukuran nilai x, t, hi, dan hf sehingga hasil data yang
diperoleh kurang akurat. Selanjutnya kita ingin menghitung jumlah energy kinetic untuk
momentum awal dengan momentum akhir dengan persamaan Ek = ½ mv2. Hal ini
dilakukan untuk membuktikan bahwa pada percobaan ini apakah ada energy yang hilang
atau lolos, jika ada berarti percobaan ini tepat sebagai percobaan tumbukan lenting
sebagian/tdk lenting. Ek untuk tumbukan awal adalah 0,00000648 joule dan Ek untuk
tumbukan akhir adalah 0,00000471 𝑗𝑜𝑢𝑙𝑒. Dengan menggunakan persamaan diatas,
maka terdapat persentase energy yang hilang sebesar 0,2371 %. Sudah terbukti bahwa
percobaan ini membuktikan tumbukan tidak lenting. Jadi, pada percobaan ini seharusnya
berlaku hukum kekekalan momentum dan tidak berlaku hukum kekekalan energy.
D. PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Dengan mengetahui besarnya nilai h, X dan Y maka Untuk mengetahui besarnya nilai momentum
awal dan momentum akhir adalah
𝑃𝑖 = 𝑚𝑣
𝑃𝑓 = (𝑀 + 𝑚)√2𝑔ℎ
2. Pada percobaan ini tidak berlaku hukum kekekalan energy karena ada energy kinetic yang
lepas atau hilang ketika terjadi tumbukan, namun berlaku hukum kekekalan momentum.
Sehingga tumbukan pada percobaan ini adalah tumbukan tidak lenting.
3. Hukum kekekalan momentum berlandaskan pada teori hukum III Newton yang
menyatakan bahwa momentum awal sama dengan momentum akhir.

B. SARAN
Adapun saran yang kami berikan untuk kelancaran eksperimen ini adalah :
1. Pada waktu pengukuran dan pengambilan data, usahan secermat dan seteliti mungkin dalam
melihat skala pada alat ukur. Hal ini berguna mengurangi kesalahan/meminimalisir kesalahan
dalam pengambilan data sehingga data yang dihasilan lebih akurat.
2. Pada waktu menggunakan alat, usahakan tidak mengubah atau menggeser posisi alat sebelum
pengambilan semua data selasai.
3. Mintalah bantuan kepada orang lain dalam pengambilan data, sehingga seluruh kegiatan
eksperimen dapat terpusat pada satu kegiatan, sehingga data yang diperoleh lebih maksimal dan
tidak menguras tenaga.

Anda mungkin juga menyukai