Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH FILANTROPI BERBASIS PEKERJA SOSIAL

“TRADISI DAN PRAKTIK PEKSOS PADA MASA RASULULLAH SAW”

Dosen pengampu : Miftahul jannah

Disusun Oleh :

1. Emilia Qothrunnada (200302095)


2. Eli Rahmawati (200302071)
3. Olvi Sasmi Harti (200302101)
4. Lalu Zian Wirantake (200302083)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARM
2021/2022
PEMBAHASAN

A. Kisah Rasulullah SAW dalam Al-Quran

Menelusuri jejak Rasulullah SAW, bak menelusuri samudera tak bertepi


sebuah perjalanan yang spektakuler dengan berbagai suguhan komprehensif dan
relevan untuk setiap zaman. Apa yang sesungguhnya al-Quran dan hadits
bicarakan, melainkan Rasul Muhammad telah mengetahuinya. Terlalu luas untuk
menggambarkan siapa Rasulullah SAW, asal-usul, peran, fungsi, posisinya di sisi
Tuhan dan kedudukannya di muka bumi dan tidak lupa kedudukannya di mata
Barat.

Menarik esensi dari beberapa ayat dalam al-Quran, dapat disimpulkan bahwa
Rasulullah SAW adalah petugas kemanusiaan yang secara khusus dipilih oleh
Allah untuk membantu, membimbing, mengarahkan dan memberi jalan keluar
atas berbagai macam masalah yang dialami. Selaku utusan Allah, beliau diberi
keahlian tersendiri yang khas dalam menangani kasus-kasus sosial dengan sebuah
keahlian yang sarat dan keahlian zahir batin. Dari sekian keunggulan dan
kesempurnaan yang diberikan pada para Nabi-Rasul, Muhammad SAW lah
puncak semuanya. Setting sosial, politik, historis, kultur, peradaban, pergumulan
moral dan lain sebagainya.

Kota Madinah adalah lokasi untuk melihat praktik pekerjaan sosial Rasulullah
SAW yang paling representatif. Di sanalah Rasul memulai semuanya, kota
peradaban, kota ilmu, kota religius, kota ekonomi, kota pendidikan. Namun tidak
berarti melupakan kota Makkah yang merupakan bdidikan pertama hingga resmi
menjadi Nabi dan Rasul.

B. Cita-cita Global dan Perdamaian Dunia

Visi besar kedatangan Rasul di Madinah adalah membangun integritas sosial


yang dapat mengawal moral, kemanusiaan, dan keutuhan ummat. Sebuah
gebrakan yang relatif baru dalam budaya Arab. Untuk mewujudkan hal tersebut,
beliau mempersaudarakan kaum Muhajirinb (kelompok hijrah) dengan kaum
Ansgar (penduduk asli Madinah). Sejumlah penduduk Madinah sendiri
sebelumnya sudah memeluk islam, mereka menerima kehadiran penduduk
mekkah, tulus dan loyal. Meski sebetulnya sebagian besar penduduk muslim
madinah relatif berekonomi rendah. Negitu juga kaum pendatang baru ini
(Muhajirin), menaruh prhatian dan kasih sayang yang sama kepada penduduk asli.
Kaum muhajirin mendoakan kaum anshar dan minta perlindungan agar Allah
menjaga solidaritas, loyalitas, dan itegritas sesama mereka.
Agenda konfraternitas (persaudaraan) ini, tidak hanya sekedar mempererat
relasitas personal, kelompok atau relasitas lokal Arab, melainkan sebuah cita-cita
global untuk peradaban dunia. Pereratan antarkedua kaum ini adalah awal
pembuka untuk menegaskan pentingnya “perdamaian dunia”. Rasul memilih
istilah ‘persaudaraan’ karena istilah ini memiliki relasi integritas yang kokoh,
padu dan salin berketergantungan. Tentu berbeda dari pengertian yang sebenarnya
dalam pengertian bilogis, melainkan sebuah nilai yang akan dijunjung tinggi
selayaknya orang sesama saudara kandung. Dari itu, beliau tidak memilih yang
lain.

Saat persaudaraan dimulai, Rasul sendiri mencontohkan dirinya dengan Ali


bin Abi Thalib beliau menggenggam erat tangan Ali seraya berkata “inilah
saudaraku”. Ini artinya ada sebuah komitmen dari ekspresi jabatan atau
genggaman tangan itu, bahwa mereka satu sama lain harus saling mengayomi,
membantu, menolong, berbelas kasih serta berbagi solusi. Melalui persaudaraan
ini, berbagai persoalan sosial dapat terselesaikan, seperti kasus konflik antara suku
Auz dan Khazraj, kedua ini tidak pernah sepaham dan selalu menaruh curiga satu
sama lain, kerap beradu fisik, dan tidak rukun. Selain itu, nilai perekonomian kian
membaik, rasul tidak sama sekali mengharap pemberian dari kaum Ansar satu sisi
beliau bersama rombongan sadar bahwa ‘menerima pemberian’ tidak etis dalam
bersosial, untuk itu, kaum muhajirin diperintahkan untuk mandiri, meski
menumpang di ladang dan lahan kaum ansar. Dan dari sinilah beliau memulai
segalanya. Muhammad Gazali (2003:231) menambahkan, melalui persaudaraan
itu, akan menghapus kata ‘aku’, hingga setiap orang bergerak dengan semangat
dan jiwa kemasyarakatan tanpa memandang dirinya secara terpisah dari
masyarakat.

C. Rasulullah SAW sebagai pekerja sosial.

Sepanjang sejarah kemanusiaan, tradisi perbudakan amat kental di tengah-


tengah masyarakat bangsawan. Mereka yang mapan dalam segi ekonomi, politik,
budaya, pendidikan dan yang lain, kerap melakukan praktik perbudakan sebuah
penjajahan kemanusiaan. Semua manusia sama, sederajat dan memiliki hak yang
sama juga. Inilah juga salah satu yang digagas dalam surah an-Nisa yaitu sebuah
perubahan paradigma, pembebasan stigma dan pemusnahan penyakit masyarakat.

Menangani kasus perbudakan ini, Rasul sadar bahwa itu tidak semudah
mengacungkan telunjuk. Karena itu, beliau merumuskan langkah-langkah
konstruktif dan efisien. Tahap-tahap rasul dalam menangani persoalan perbudakan
ini sebagai berikut :

 Mengawal praktik perbudakan secara teoritis dan praktis, dengan


menyelipkan etika, norma-norma dan kode etik lainnya yang
mencerminkan ‘kesederajatan manusia di dunia’.
 Merumuskan prosedur dan kode etik perbudakan.
 Tidak melakukan perpanjangan kontrak ‘budak’.
 Menanamkan pengetahuan mengenai keutamaan membebaskan budak .
 Memberikan hak konstitusi bagi para budak untuk memerdekakan dirinya
melalui sistim mukatabah.
 Menghapus secara tegas UU perbudakan.
1. Penanganan psikologis para Budak

Selaku rasul, beliau punya perhatian khusu terhadap kondisi psikologi sosial
terutama mantan budak yang notabene sering mendapat perlakuan tidak adil di
tengah masyarakat. Penanganan kasus perbudakan, tidak hanya dituntaskan secara
fisik, hukum, namun aspek jiwa, mental, moral juga menjadi bagian inheren. Hak
kemerdekaan yang diberi Rasul adalah tahapan praktis dalam menangani
psikologi para budak. Sebagai langkah selanjutnya, Rasul memberi hak hidup dan
tinggal di tempat.

2. Penanganan Para Imigran

Madinah sebagai kota baru bagi umat Islam, tidak hanya dihuni oleh mereka
yang dipersaudarakan, melainkan bebrapa kelompok masyarakat asli termasuk
Yahudi. Selain itu, terdapat sekelompok pendatang yang biasanya singgah di
Masjid Nabi, dan menginap dalam waktu yang lama. Rata-rata pendatang ini
adalah kelompok lemah, miskin, tidak punya tempat tinggal dan tidak punya
keluarga. Tidak jarang para pendatang ini kelaparan, mereka hanya mengharapkan
pemberian dan bantuan penduduk setempat. Jumlah merekapun tak sedikit,
bahkan pernah mencapai empat ratus orang. Namun bagaimanapun, mereka
adalah orang yang berhak mendapatkan keadilan kemanusiaan, perlakuan
terhormat dan pemberdayaan.

Mengatasi itu, rasul merumuskan beberapa langkah solusi pertama, beliau


membangunkan tempat khusus guna mengakomodasi dan memudahkan kontrol
sekaligus. Kedua, pemberian bantuan merupakan sandang, pangan, dan papan.
Ketiga, pemberdayaan berkelanjutan seperti pelatihan militer, pendidikan,
ekonomi dan lainnya. Keempat, pembinaan mental dan kelima, memberikan
perlakuan baik secara moral, menyayangi, menghormati dan lain-lain.

3. Penanganan Problematika Rumah Tangga

Kasus-kasus rumah tangga saat ini dengan kasus yang pernah terjadi pada
masa rasul. Perceraian, kekerasan terhadap perempuan, penelantaran anak,
perkawinan bersyarat, harta gono gini, mentalitas suami atau istri, dan lain-lain.
Sebuah problematika sifatnya dinamis, mengembang, dan berulang-ulang.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi juga beragam. Seperti, ekonomi, kondisi
fisik, status sosial, penyakit masyarakat, termasuk kualitas individu berupa
pengetahuan, wawasan, skill, kreativitas dan lain-lain.

KESIMPULAN

Kota Madinah adalah lokasi untuk melihat praktik pekerjaan sosial Rasulullah
SAW yang paling representatif. Di sanalah Rasul memulai semuanya, kota
peradaban, kota ilmu, kota religius, kota ekonomi, kota pendidikan. Namun tidak
berarti melupakan kota Makkah yang merupakan pendidikan pertama hingga
resmi menjadi Nabi dan Rasul. Visi besar kedatangan Rasul di Madinah adalah
membangun integritas sosial yang dapat mengawal moral, kemanusiaan, dan
keutuhan ummat. Sebuah gebrakan yang relatif baru dalam budaya Arab. Untuk
mewujudkan hal tersebut, beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin (kelompok
hijrah) dengan kaum Ansar (penduduk asli Madinah).

Selain itu, nilai perekonomian kian membaik, rasul tidak sama sekali
mengharap pemberian dari kaum Ansar satu sisi beliau bersama rombongan sadar
bahwa ‘menerima pemberian’ tidak etis dalam bersosial, untuk itu, kaum
muhajirin diperintahkan untuk mandiri, meski menumpang di ladang dan lahan
kaum ansar.

Anda mungkin juga menyukai