Anda di halaman 1dari 9

Patofisiologi pada Penyakit Hipertensi

I. Abstrak
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang melebihi batas normal.
Tiga kategori hipertensi yaitu prehipertensi, hipertensi tahap awal, dan hipertensi
tahap kedua. Hipertensi berkaitan dengan penyakit penyerta seperti stroke, penyakit
jantung koroner, kerusakan hati, penyakit ginjal kronik, diabetes melitus, dan pasca
infrak miokard. Mekanisme meningkatnya tekanan darah dipengaruhi beberapa
sistem pengaturan tekanan darah seperti aktivitas sistem renin-angiotensin,
disfungsi endotelium, dan saraf simpatis. Pengobatan pada hipertensi dilakukan
secara farmakoterapi maupun non-farmakoterapi tergantung pada kondisi tubuh.
Perubahan pilihan bahan makanan dengan menggunakan acuan Dietary Approaches
to Stop Hypertension (DASH) diet singnifikan perannya dalam menurunkan
tekanan darah.

II. Latar Belakang


Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah sistolik maupun
diastolik yang melebihi batas normal yang prevalensinya meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistolik 130 mm Hg
dan tekanan darah diastolik 80 mm Hg.(1) Ada tiga klasifikasi hipertensi yaitu
prehipertensi, hipertensi tahap pertama, dan hipertensi tahap kedua. Prehipertensi
memiliki tekanan darah sistolik 120-139 mm Hg dan tekanan darah distolik 80-89
mm Hg, hipertensi tahap pertama memiliki takanan sistolik 140-159 mm Hg dan
tekanan darah diastolik 90-99 mm Hg, dan pada kondisi hipertensi tahap kedua
memiliki tekanan sistolik ≥ 160 mm Hg dan tekanan darah diastolik ≥ 100 mmHg.(2)
Secara global di 45 negara pada tahun 2015 prevalensi hipertensi sebesar 32,3%.
Prevalensi hipertensi tinggi terjadi pada negara berpenghasilan tinggi (39,1%)
dibandingkan negara berpenghasilan sedang(37,8%) dan rendah (23,1%).(3) Di
Indonesia, prevalensi pada usia ≥ 18 tahun meningkat dari 25,8% menjadi 34.1%. (4)
Tingginya tekanan darah berkaitan dengan kejadian beberapa penyakit penyerta
yaitu stroke, penyakit jantung koroner, kerusakan hati, penyakit ginjal kronik, (1)
diabetes melitus, dan pasca infrak miokard.(5)

1
III.Tinjauan Pustaka
A. Patofisiologi pada Hipertensi
Hipertensi dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu meningkatnnya asupan
sodium serta menurunnya asupan kalium dan kalsium, meningkatnya aktivitas
saraf simpatis, meningkatkan aktivitas angiotensin-converting enzyme (ACE)
yang menghasikan angiotensin II (Ang II) dan juga mengaktifkan sistem
kallikrein kinin, serta ketidakmampuan endothelial.(6)

Sistem Angiotensin
Sistem angiotensin erat kaitanya dengan pengaturan tekanan darah. Jalur
dari sistem angiotensin berawal dari ginjal yang mensekresikan enzim renin
yang menyebabkan konversi proteolitik dari angiotensinogen menjadi
angiotensin I (Ang I). Kemudian ACE membentuk Ang II melalui katalisasi
pembelahan dua asam amino dari terminal-C Ang I, yang berperan dalam
regulasi tekanan darah dengan mempengaruhi pembuluh darah, sodium, dan
homeostatis.(7) Ang II dimetabolisme oleh karboksipeptidase (ACE2)
menghasilkan vasodilator Ang 1-7. (8) Selain itu, ACE2 juga menghasilkan Ang -
9 yang bersamaan dengan Agn 1-7 dapat mengambat aktivasi Ang II. (9)
Aktivasi Ang 2 melalui dua reseptor utama yaitu angiotensin tipe 1 (AT1)
dan angiotensin tipe 2 (AT2), stimulasi dari AT1 reseptor menyebabkan
vasokonstriksi sedangkan stimulasi dari AT2 reseptor menyebabkan
vasodilatasi.(10) AT1 reseptor dapat mengaktifkan jalur yang berbeda yaitu
pompa kalsium bertengangan tinggi, fosfolipase C, fosfolipase D dan fosfolipase
A-2 dan dapat menghambat adenil siklase. Fosfolipase C aktif yang selanjutnya
menghasilkan inosititol-1,4,5-trifosfat and diasilgliserol, yang kemudian
inosititol-1,4,5-trifosfat berikatan dengan sarkoplasma sehingga saluran terbuka
menyebabkan kalsium dapat masuk ke sitoplasma. Kalsium mengikat
calmodulin dan mengaktifkan miosin kinase, kemudian fosfolirasi meningkatkan
interaksi aktin dan miosin yang merangsang kontraksi sel otot. (11) Berlawanan
dengan AT1 reseptor, AT2 reseptor dapat menghambat aktivitas AT1 reseptor di
otak terlebih pada medula ventrolateral rostral atau infus kronis C21 yang
mengurangi sekresi norepineftin dan tekanan darah. Selain itu, aktivasi AT2

2
reseptor dapat menghambat proliferasi dan diferensiasi, mengurangi inflamasi
dan stress oksidatif, dan merangsang pelebaran arteriol aferen dan eferen. (12)
Angiotensin-converting enzyme (ACE) berkaitan sistem renin angiotensin
dan sistem kallikrein kinin. ACE dalam sistem renin angotensin berperan
memproduksi angiotensin II, sedangkan pada sistem kallikrein kinin ACE
berperan dalam menghambat bradykinin.(13) Bradykinin diproduksi dengan cara
menghambat aktivasi kininogen dengan kallikrein. (14) Dua macam reseptor kinin
yaitu reseptor bradykinin B1 (B1R) dan reseptor bradykinin B2 (B2R). B2B
ekspresinya banyak di jaringan sedangkan B1R merupakan indikasi adanya
stress pada peradangan dan diabetes. Stimulasi B1R dan B2R dapat merangsang
peningkatan konsentrasi kalsium di intraseluler dan aktivititasi A2 fosfolipase
dan mempengaruhi pelepasan berbagai mediator termasuk nitrat oksida (NO),
prostaglandin (PG), asam arakidonat yang dapat melebarkan pembuluh darah.(15)

Ketidakmampuan Endothelial
Sel endothelial sangat berperan penting dalam mengatur homeostasis pada
pembuluh darah.(6) Dalam mengatur tonus pembuluh darah, sel endothelial
memiliki dua faktor yang memberikan efek berlawanan pada sel otot polos
pembuluh darah yaitu faktor relaksasi endothelial dan faktor konstiksi
endothelial. Nitrit oksida menyebabkan vasodilator, sementara endotelin
memiliki efek vasokostriksi. Ketidakseimbangan kedua faktor tersebut akan
menyebabkan ketidakmampuan endothelial.(16)(17)
Nitrit oksida (NO) di dalam sel endothelial dibentuk dari L-arginin
menggunakan enzim nitric oxide synthase (NOS).(6) Produksi NO dari L-arginin
oleh NOS membutuhkan kehadiran kofaktor yaitu tetrahidrobiopterin, flavin
adenin dinukleotida, flavin mononukleotida, kalmodulin (protein pengikat
kalsium) dan protoporfirin besi.(16)(17) Nitrit oksida dapat menyebabkan
vasodilatasi dengan mengaktifkan soluble guanylate cyclase (sGC) yang
kemudian mengubah guanosin trifosfat (GTP) menjadi siklik guanosin-
monofosfat (cGMP) pada cairan intraseluler. Siklik guanosin-monofosfat yang
dapat mengaktifkan protein kinase G menyebabkan penurunkan konsentrasi
kalsium yang selanjutnya terjadi relaksasi pembuluh darah.(6)(17) Aktivasi NO

3
dapat menghambat inflamasi, proliferasi sel pembuluh darah, adhesi trombosit,
dan faktor jaringan.(18)
Berbeda dengan NO, endotelin bersifat vasokonstriksi. Endotelin memiliki
tiga isoform yaitu ET1, ET2, dan ET3. Namun ET1 yang paling dominan dan
berperan dalam mengatur fungsi pembuluh darah. ET1 memiliki dua jenis
reseptor yaitu endothelin receptor A (ETA) dan endothelin receptor B. ETA
terletak di sel otot polos pembuluh darah sedangkan ETB terletak pada
endotelium dan sel otot polos pembuluh darah.(6) Vasokonstriksi melalui jalur
aktivasi pompa kalsium tipe L dengan mengikat reseptor ETA pada sel otot
polos pembuluh darah sedangkan vasodilatasi terjadi ketika ET1 mengikat ETB
di endotelium sehingga terjadi peningkatan NO dan sintesis prostasiklin.
Pelepasan ET1 dapat dihambat oleh prostasiklin, atrial natriuretic tide dan NO.
(17)
Oleh karena itu, penurunan kadar NO dan peningkatkan Ang II dapat
menyebabkan ketidakmampuan endothelial sehingga tekanan darah meningkat.

Sistem Saraf Simpatis


Sistem saraf simpatis (SNS) merupakan sistem saraf otonom yang sangat
penting dalam mekanisme pengaturan tekanan darah kaitannya dengan
keseimbangan natrium dan menjaga keadaan homeostatis. (19)
Aktivasi sistem
saraf simpatis yang berlebih dapat menyebabkan hipertensi bahkan penigkatan
aktivitas SNS akan memberikan efek buruk seperti hipertropi jantung,
perubahan pada arteri, dan ketidakmampuan endothelial. (20) Pembentukan
katekolamin (norepinefrin dan epinefrin) di dalam sel-sel kromafin dari medula
adrenal dan serat postaganglion dari sistem saraf simpatis. Reseptor andregenik
diaktifkan oleh katekolamin. Reseptor α-adregenik memiliki peran penting
dalam menjaga tonus pembuluh darah sedangkan reseptor β-adrenergik dapat
meningkatkan kontraksi.(21) Pelepasan katekolamin akan meningkatkan hipertrofi
kardiomiosit karena meningkatnya aktivitas β-adrenoceptor sementara aktivitas
α-adrenoceptor menurun sehingga renin menjadi bentuk aktif.(22) Aktivitas renin
akan mengaktifkan RAS yang akan meningkatkan tekanan darah melalui
produksi Ang II. Mekanisme perifer pada sistem saraf simpatis yaitu mengatur
presimpatik dari pelepasan norepinefrin yang diakibatkan Ang I dan Ang II.

4
Selain itu, ROS dan ET1 juga dapat merangsang respon sistem saraf simpatis. (6)
Oleh karena itu, peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dapat menyebabkan
hipertensi.

B. Pengobatan
Pengobatan penyakit hipertensi dapat dilakukan dengan cara non-
farmakoterapi yaitu melalui perubahan gaya hidup dan farmakoterapi yang
menggunakan obat penurun tekanan darah. Perubahan gaya hidup meliputi
menurunkan konsumsi natrium dan lipid, menurunkan konsumsi alkohol,
meningkatkan aktivitas, dan meningkatkan konsumsi kalium dan serat. (23)(24)

Sedangkan penggunaan obat didasarkan pada tingkatan hipertensi yang terjadi.


Pada pasien dengan hipertensi tingkat 1 dengan perhitungan estimasi 10 tahun
penyakit jantung. Jika besar angka ≤10% maka cukup melakukan perubahan
gaya hidup selama 6-12 bulan. Hal ini cukup efektif. Namun pada pasien
hipertensi tingkat 2 dan memiliki estimasi ≥ 10% sehingga intervensi obat-
obatan diperlukan.(1) Pemberian obat hipertensi meliputi diuretik, angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitors atau angiotensin receptor blockers
(ARBs), beta-blockers, and calcium channel blockers (CCBs). (5)
Meknisme diuretik melalui 3 komponen penting yaitu thiazides, lengkung
henle, dan kalium. Thazides merupakan antihipertensi yang akan bekerja dalam
menghambat absorbsi natirum dan klorida pada tubulus distal. Kemudian pada
lengkung henle bagian atas akan menghambat Na+/K-/2Cl- simporter sehingga
mengurangi reabsorbsi NaCl. Selanjutnya penyerapan kalium pada tubulus distal
dan kolektivus yang meghalangi resptor aldosteron sehingga terjadi penurunan
reabsorbsi natrium dan pada permukaan epitelium di tubulus kolektivus terjadi
penghambatan masuknya Na+ melalui pompa Na+/K-. Sehingga terjadi
penurunan tekanan darah.

C. Intervensi Gizi
Perubahan pola makan dalam kehidupan sehari-hari berpotensi besar dalam
mengurangi tingkat keparahan hipertensi. Pola makan yang di rekomendasikan

5
laporan DGAC 2010, pendekatan diet yang digunakan yaitu Dietary Approaches
to Stop Hypertension (DASH) diet dan Mediterranean- style diet. (25) Pola DASH
diet menekankan pada sayuran, buah-buahan, dan produk susu rendah lemak;
termasuk biji-bijian, unggas, makanan laut, dan kacang-kacangan; dan
Mengurang lemak, daging merah, permen, natrium dan minuman yang
mengandung gula. Diet ini juga kaya akan kalium, magnesium, kalsium, dan
serat serta mengurangi total lemak, lemak jenuh, dan kolesterol. (25) Efek
pemberian DASH diet dapat menurnkan tekanan sistolik sebesar 5,5 mm Hg dan
pada tekanan diastolik sebesar 3 mmHg. Ketika pemberian asupan makanan
menekankan pada buah-buahan dan sayuran, hasilnya signifikan terhadap orang
berkulit hitam dengan menurunkan tekanan sistolik dan diastolik sebesar 6,9 dan
3,7 mmHg sedangkan pada orang berkulit putih dengan tekanan sistolik dan
diastolik sebesar 3,3 dan 2,4 mmHg.(23) Mediterranean- style diet hampir sama
dengan DASH diet namun pada jumlah konsumsi lemaknya lebih tinggi
terutama lemak tak jenuh dari minyak zaitun, kacang-kacangan, dan biji-bijian
yang memenuhi sekitar 40% dari total energi.(26)

IV. Kesimpulan
1. Aktivitas sistem renin-angiotensin, disfungsi endotelium, dan saraf simpatis
dapat menginduksi penyakit hipertensi.
2. Pengobatan terhadap penyakit hipertensi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
farmakoterapi dan non-farmakoterapi.
3. Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet singnifikan perannya
dalam menurunkan tekanan darah.

V. Daftar Pustaka
1. Sandra J. Taler MD. Initial Treatment of Hypertension. N Engl J Med.
2018;378(7):636–44.
2. Kesehatan K. Hipertensi [Internet]. 2014. Available from:

6
www.depkes.go.id/download.php?file=download/...hipertensi.pdf
3. Sarki AM, Nduka CU, Stranges S, Kandala N-B, Uthman OA. Prevalence of
Hypertension in Low- and Middle-Income Countries A Systematic Review and
Meta-Analysis. Medicine (Baltimore). 2015;94(50):1–16.
4. Kesehatan K. Riset Kesehatan Dasar 2018 [Internet]. 2018. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/materi_rakorpop_2018/
Hasil Riskesdas 2018.pdf
5. Fitrianto H, Azmi S, Kadri H. Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien
Hipertensi Esensial di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUP DR. M. Djamil Tahun
2011. J Kesehat Andalas. 2014;3(1).
6. Majumder K, Wu J. Molecular Targets of Antihypertensive Peptides:
Understanding the Mechanisms of Action Based on the Pathophysiology of
Hypertension. Int J Mol Sci. 2015;16(1):256–83.
7. Mendoza-Torres E, Oyarzún A, Mondaca-Ruff D, Azocar A, Castro PF, Jalil JE,
et al. ACE2 and Vasoactive Peptides: Novel Players in Cardiovascular/Renal
Remodeling and Hypertension. SAGE J. 2015;9(4):217–37.
8. Tikellis C, Thomas MC. Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE2) Is a Key
Modulator of the Renin Angiotensin System in Health and Disease. Int J Pept.
2012;2012:1–8.
9. Varagic J, Ahmad S, Nagata S, Ferrario CM. ACE2: Angiotensin II/Angiotensin-
(1-7) Balance in Cardiorenal Injury. Curr Hypertens Rep. 2014;16(3):1–9.
10. Romero-Nava R, J. E. Rodriguez1 AAR ´ndiz-A, ˜oz FS ´nchez-M, ´z AR-H,
Hong FHE, Villafan S. Changes in Protein and Gene Expression of Angiotensin
II Receptors (AT1and AT2) in Aorta of Diabetic and Hypertensive Rats. Clin
Exp Hypertens. 2015;38(1):56–62.
11. Dasgupta C, Zhang L. Angiotensin II Receptors and Drug Discovery in
Cardiovascular Disease. Drug Discov Today. 2011;16(1–2):22–34.
12. Luis C. Matavelli M, Helmy M. Siragy M. AT2 Receptor Activities and
Pathophysiological Implications. J Cardiovasc Pharmacol. 2015;65(3):226–32.
13. Carey RM. Hypertension and Hormone Mechanisms. New Jersey: Humana
Press; 2014.
14. Mamenko M, Zaika O, Pochynyuk O. Direct Regulation of ENaC by Bradykinin

7
in the distal nephron. Implications for Renal Sodium Handing. Curr Opin
Nephrol Hypertens. 2014;23(2):122–9.
15. Kayashima Y, Smithies O, Kakokia M. Kinins— The Kallikrein-Kinin System
and Oxidative Stress. Curr Opin Nephrol Hypertens. 2012;21(1):92–6.
16. Caroline Bleakley, MD M, Paul Kevin Hamilton, MD, MRCP Bs, Richard Pumb,
MD M, Mark Harbinson, MD, FRCP Gary Eugene McVeigh, MD F. Endothelial
Function in Hypertension: Victim or Culprit? J Clin Hypertens. 2015;17(8):651–
4.
17. Konukoglu D, Uzun H. Endothelial Dysfunction and Hypertension. Hypertens
From Basic Res to Clin Pract. 2016;(956):511–40.
18. Laher I. Systems Biology of Free Radicals and Antioxidants. Berlin: Springer;
2014.
19. MarkusP.Schlaich AT. Relevance of Symathetic Nervous System and Metabolic
Syndrome. J Diabetes Res. 2015;1–11.
20. Moreira MC dos S, Pinto IS de J, Mourão AA, Fajemiroye JO, Colombari E, Reis
ÂA da S, et al. Does The Sympathetic Nervous System Contribute to The
Pathophysiology of Metabolic Syndrome? Front Physiol. 2015;6(234).
21. Byrne CJ, Khurana S, Kumar A, Tai and TC. Inflammatory Signaling in
Hypertension: Regulation of Adrenal Catecholamine Biosynthesis. Front Physiol.
2018;9.
22. Dominiczak GC, Freel EM, Perry CG, F. A. Disorders of Blood Pressure
Regulation- Role of Catecholamine Biosynthesis, Release, and Metabolism. Curr
Hypertens Rep. 2012;14(1):38–45.
23. Gupta R, Guptha S. Strategies for initial management of hypertension. Indian J
Med Res. 2010;132(5):531–42.
24. Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et al.
Clinical Practice Guidelines for the Management of Hypertension in the
Community. J Clin Hypertens. 2014;16(1):14–26.
25. Mensah GA. Hypertension and Hypertensive Heart Disease, An Issue of
Cardiology Clinics. San Francisco: Elsevier Health Sciences; 2010.
26. Bazzano LA, Green T, Harrison TN, Reynolds K. Dietary Approaches to Prevent
Hypertension. Curr Hypertens Rep. 2013;15(6):694–702.

8
9

Anda mungkin juga menyukai