Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN RESUME KASUS

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian

Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin

kuman Clostridium Tetani dengan manifestasi kejang otot selama

paroksimal dan diikuti kejang otot seluruh tubuh (Murwani, 2009 : 119).

Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin

kuman Clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara

paroksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot

ini tampak pada otot maseter dan otot-otot rangka (Batticaca, 2008 : 126).

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan

meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh

tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan Clostridium

tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya

tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal (Departemen ilmu

penyakit dalam, 2008 : 1777).

2. Etiologi

Clostridium Tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti

penabuh genderang, berspora, golongan gram positif, hidup anaerob.

Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus

5
2

spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf tepi

setempat.

Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan

mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah,

merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang

neurotopik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot

(Muttaqin, 2011 : 219).

3. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis menurut Batticaca (2008 : 126) meliputi :

a. Masa inkubasi Clostridium Tetani adalah 4-21 hari. Semakin lama

masa inkubasi, maka prognosisnya semakin baik. Masa inkubasi

tergantung dari jumlah bakteri, virulensi, dan jarak tempat masuknya

kuman (port d’entre) dengan SSP. Semakin dekat luka dengan SSP

maka prognosisnya akan semakin serius dan jelek. Misalnya, luka

ditelapak kaki dan leher bila sama-sama terserang hasil tetanus, yang

lebih baik prognosisnya adalah luka yang di kaki.

b. Timbulnya gejala biasanya mendadak, didahului dengan ketegangan

otot terutama pada rahang dan leher.

c. Sulit membuka mulut (trismus).

d. Kaku kuduk merupakan tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi

kepala mengalami kesulitan karena adanya spasme otot-otot leher.

e. Badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam mengalami ekstensi,

lengan kaku, mengepal.


3

f. Kejang tonik (merupakan manifestasi toksin yang terdapat pada kornu

anterior)

g. Kesadaran biasannya tetap baik.

h. Asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot, retensi urin bahkan dapat

terjadi fraktur kolumna vertebralis (pada anak) akibat kontraksi otot

yang sangat kuat.

i. Demam ringan (biasanya pada stadium akhir).

4. Pathofisiologi

Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan

kebanyakan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca,

terkena kaleng atau luka yang menjadi kotor, karena terjatuh ditempat

yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup

debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Luka yang

kotor/tertutup memungkinkan keadaan anaerob yang ideal untuk

pertumbuhan Clostridium Tetani. Sebagai porte d’entre lainnya dapat juga

luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah, gigi berlobang

dikorek dengan benda yang kotor. Masa inkubasi tetanus berkisar antara

2-14 hari. Prognosis penyakit ini sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media

Purulen) dan luka pada kulit kepala.

Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat oleh

jaringan saraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan

oleh antitoksin spesifik. Tetapi toksin yang bebas dalam peredaran darah
4

sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. Hal ini penting untuk

pencegahan dan pengobatan penyakit tetanus ini (Muttaqin, 2011: 221).


5

5. Pathways

Luka tusuk dalam dan kotor serta belum terimunisasi

Toksin diabsorpsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu silindrik ke
SSP

Susunan limfatik ke sirkulasi darah arteri dan masuk ke SSP

Tetanus

Toksik bersifat neurotoksin, menghancurkan sel darah merah,


merusak leukosit

Perubahan fisiologis intrakranial

Penekanan area
fokal kortikal rangsangan suara, sentuhan, cahaya peningkatan
permeabilitas
kesulitan membuka kejang rangsang darah / otak
mulut (trismus)

perubahan mobilitas
sulit menelan fisik
proses inflamasi di jaringan otak,
perubahan tingkat kesadaran
Hambatan perubahan frekuensi nadi
mobilitas
intake nutrisi tidak fisik
adekuat Penurunan tingkat
kesadaran, penurunan
perfusi jaringan otak
Resiko
ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
Resiko
kebutuhan tubuh
cidera
6

(Muttaqin, 2011).

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium: biasannya terdapat leukositosis ringan, kadang-

kadang terjadi peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK), pada pemeriksaan

bakteriologis (kultur jaringan) di daerah luka ditemukan Clostridium tetani

(Batticaca, 2008: 127).

7. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Medis

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan menurut Batticaca (2008:

127) sebagai berikut:

1) Imunisasi aktif dengan pemberian Difteri Pertusis Tetanus (DPT),

booster dose (untuk balita). Jika terjadi luka lagi, booster ulang.

2) Imunisasi pasif, pemberian Antitetanus Serum (ATS) profilaksis

1500-4500 UI (dapat bertahan 7-10 hari). Pemberian imunisasi ini

sering menyebabkan syok anafilaksis sehingga harus dilakukan skin

test terlebih dahulu. Jika pada lokasi skin test tidak terjadi

kemerahan, gatal dan pembengkakkan maka imunisasi dapat

diinjeksikan, anak-anak diberikan setengah dosis (125 UI) bila tidak

tahan Antitetanus Serum (ATS).


7

3) Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersihan luka) memakai

perhidrol (hidrogen peroksida-H2O2), debridemen, bilas dengan

NaCl dan jahit.

4) Injeksi penisilin (terhadap basil anaerob dan basil simbiosis).

b. Penatalaksanaan Keperawatan

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan menurut Murwani (2009:

120) sebagai berikut :

1) Penderita diisolasi untuk menghindari rangsangan, cahaya, suara

2) Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya

3) Memberikan oksigen dan nafas buatan kalau perlu

4) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

5) Diberikan diet tinggi kalori dan protein, dalam bentuk yang

disesuaikan dengan kemampuan menelan dari penderita. Bila ada

trismus makanan bisa diberikan personde atau parenteral.

8. Komplikasi

Komplikasi menurut Nanda (2013: 556) meliputi:

a. Sistem jalan nafas : aspirasi, laringospasme, obstruksi berkaitan

dengan sedatif.

b. Sistem respirasi : apnea, hipoksia

c. Sistem kardiovaskuler : takikardi, hipertensi, iskemia, gagal jantung

d. Sistem ginjal : gagal ginjal curah tinggi, gagal ginjal oliguria

e. Sistem gastrointestinal : stasis gaster, illeus, diare


8

f. Lain- lain : penurunan berat badan, tromboembolus, sepsis.

9. Fokus Pengkajian

Pengkajian keperawatan tetanus menurut Muttaqin (2011: 221-224)

meliputi:

a. Anamnesia.

b. Riwayat penyakit saat ini.

c. Riwayat penyakit dahulu.

d. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual.

e. Pemeriksaan Fisik.

1) B1 (breathing)

Inspeksi apakah klien batu, produksi sputum, sesak nafas,

penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi

pernapasan yang sering didapatkan pada klien tetanus yang

disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi

thorax didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.

Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada pasien

dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang

menurun.

2) B2 (blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok

hipovolemik yang sering terjadi pada klien tetanus. Tekanan

darah biasanya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis

karena hancurnya eritrosit.


9

3) B3(brain)

Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap

dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya : tingkat kesadaran,

fungsi serebri, pemeriksaan saraf kranial. Pemeriksaan saraf

kranial meliputi : saraf I : biasanya pada klien tetanus tidak ada

kelaianan fungsi penciuman tidak ada kelainan. Saraf II : tes

ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Saraf III, IV, VI :

dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh

mengalami fotopobia atau sensitif yang berlebihan atau sensitif

yang berlebihan terhadap cahaya. Respon kejang umum akibat

stimulus rangsang cahaya perlu diperhatikan perawat untuk

memberikan intervensi menurunkan stimulasi cahaya tersebut.

Saraf V : refleks masester meningkat. Mulut mecucu seperti

mulut ikan (ini adalah gejala yang khas pada tetanus). Saraf VII :

persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris. Saraf

VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

Saraf XI dan X : kemampuan menelan kurang baik, kesukaran

membuka mulut (trimus). Saraf XI : didapatkan kaku kuduk.

Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak). Saraf XII : lidah

simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikula,

indra pengecapan normal.

4) B4 (bladder)
10

Penurunan volume haluaran berhubungan dengan penurunan

perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi

urine karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang

sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.

5) B5 (bowel)

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi

asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun

karena anoreksia dan adannya kejang, kaku dinding perut (perut

papan) merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme otot

menyebabkan kesulitan bab.

6) B6 (bone)

Adanya kejang umum sehingga menganggu mobilitas klien dan

menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien

mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan port d’entre

kuman Clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan yang

optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada fraktur vertebra

pada bayi, ketegangan dan spasme otot pada abdomen (Muttaqin,

2008:221-224).

10. Fokus Intervensi

Fokus intervensi menurut Nanda (2016: 177) yaitu:

a. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan.

Intervensi :
11

1) Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk dan adanya sekret.

Rasional : faktor-faktor tersebut menentukan kemampuan menelan

klien dan klien harus dilindungi dari resiko aspirasi.

2) Berikan pengertian tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.

Rasional : agar termotivasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

3) Timbang berat badan sesuai indikasi.

Rasional : untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan makanan.

4) Berikan makanan dengan meninggikan kepala.

Rasional : menurunkan resiko regurgitasi atau respirasi.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

neuromuskular.

Intervensi :

1) Review kemampuan fisik.

Rasional : mengidentifikasi kerusakan fungsi dan menentukan

pilihan intervensi.

2) Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat ketergantungan

Rasional : untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien

3) Berikan perubahan posisi yang teratur pada klien

Rasional : dapat memfasilitasi peredaran darah serta mencegah

dekubitus.

4) Berikan perawatan kulit secara adekuat

Rasional : memfasilitasi sirkulasi dan mencegah gangguan

integritas kulit
12

c. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan mekanisme pertahanan

primer.

Intervensi :

1) Monitor kejang pada kaki, mulut dan otot - otot muka lainnya.

Rasional : untuk mencegah terjadinya komplikasi.

2) Pasang pengaman tempat tidur.

Rasional : melindungi klien bila kejang terjadi.

3) Pertahankan bedrest total.

Rasional : mengurangi resiko jatuh.

4) Kolaborasi pemberian terapi : diazepam.

Rasional : untuk mencegah atau mengurangi kejang.

B. Resume Kasus

1. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada hari Senin, 28 Maret 2016 jam 21.30

WIB di Ruang Melati 1 RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Sumber data dari

pasien, keluarga dan rekam medis. Pada pasien nama Tn.S, umur 50 tahun,

jenis kelamin laki-laki, pendidikan SD, agama Islam, pekerjaan petani,

status menikah, alamat Mudal RT 16 RW 02 Soko, Miri, Sragen, Jawa

Tengah ,suku Jawa, bangsa Indonesia. Penanggung jawab nama Ny.P,

umur 42 tahun, jenis kelamin perempuan, agama Islam, pendidikan SD,

pekerjaan petani, suku/bangsa Jawa/Indonesia, alamat Mudal rt 16 rw 02

Soko, Miri, Sragen, Jawa Tengah, hubungan dengan pasien Istri pasien.
13

Tanggal masuk 28 Maret 2016, nomer register 01334XXX, diagnosa medis

Tetanus.

Riwayat kesehatan, keluhan utama pasien mengatakan tidak bisa

membuka mulut. Riwayat kesehatan sekarang sebelum dirawat di Rumah

Sakit Umum Dr.Moewardi pasien mengatakan saat disawah kaki kanan

terkena garu sekitar 2 minggu yang lalu, setelah itu sama keluarga diberi

obat tetapi lupa namanya dan pasien merasa sudah sembuh. Kemudian

pada tanggal 26 Maret 2016 jam 00.00 WIB pasien tidak bisa membuka

mulut, pasien juga mengatakan badannya kaku, lalu oleh keluarga dibawa

ke Rumah Sakit Gemolong tetapi penuh lalu dirujuk ke RSUD Dr.

Moewardi, pasien masuk lewat IGD jam 02.00 WIB, di IGD pasien

mendapatkan terapi infus RL 20 tetes per menit, injeksi metronidazole 500

gram, injeksi ATS (Antitetanus Serum) 20.000 unit lewat IM

(Intramuskuler) kanan dan kiri, pemeriksaan laboratorium. Pasien

dipindahkan ke bangsal Melati 1 jam 03.00 WIB dengan diagnosa medis

tetanus grade II. Pasien tampak lemas dan sulit membuka mulut saat dikaji,

pasien juga terlihat kejang. Riwayat penyakit keluarga pasien dan keluarga

mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang mempunyai penyakit

menurun seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan tidak ada yang

mempunyai penyakit menular seperti HIV dan AIDS.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan : kesadaran composmentis

E3,M5,V4, tanda-tanda vital tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84x/menit,

suhu 36,7 C, respiratori rate 24x/menit, berat badan 50 kg, tinggi badan 158
14

kg. Wajah tampak menahan nyeri saat kejang. Mulut mukosa bibir kering,

terasa kaku, sulit membuka, trismus 3 cm, abdomen inspeksi: simetris,

tidak ada luka, tidak terlihat benjolan, auskultasi: bising usus terdengar

10x/menit, perkusi : tympani, palpasi : tidak ada benjolan, tidak ada nyeri

lepas dan nyeri tekan, perut terasa kaku. Ekstremitas atas : lengkap, tidak

ada kelainan, terpasang infus RL 20 tetes per menit ditangan kiri sejak

tanggal 27 maret 2016 dan terpasang infus drip aminofluid sejak tanggal 29

maret 2016, tidak ada edema, tidak ada kelainan, bawah : lengkap, tidak

ada kelainan.

Pengkajian pola fungsi menurut Handerson pola makan sebelum

sakit : pasien mengatakan makan 3x sehari (pagi, siang, sore) makan

dengan sayur dan lauk pauk, makan habis 1 porsi, selama sakit: pasien

mengatakan nafsu makan turun, makan cuma habis 2 sendok makan

Antropometri (A) : Berat badan 50 kg, tinggi badan: 158 kg, Indeks Masa

Tubuh (IMT) : 20, Biokimia (B) : Albumin 3,3 g/dl, Clinical (C) :

tanda-tanda vital : tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84x/menit, respiratori

rate : 24x/menit, suhu : 36,7 C, Diit (D) : diet cair 1500 kkal. Pola gerak,

sebelum sakit : pasien mengatakan bebas bergerak secara mandiri, selama

sakit : pasien mengatakan tidak bisa bergerak karena badannya terasa kaku,

terpasang infus RL 20 tetes per menit ditangan kiri. Pola menghindari

bahaya sebelum sakit : pasien mengatakan dapat menghindari bahaya

secara mandiri tanpa bantuan orang lain, selama sakit : pasien mengatakan

semua aktivitas dibantu oleh keluarga.


15

Pemeriksaan penunjang pada tanggal 28 Maret 2016 Kimia Klinik

Albumin 3,3 g/dl (3,5-5,2 g/dl), leukosit 3,9 ribu/ul (4.5-11.0 ribu/ul).

Terapi Medis yang diberikan infus RL 20 tetes per menit, infus

metronidazole 500 mg/8 jam, injeksi (Antitetanus Serum) ATS 20000 unit,

infus D5% drip 2 ampul diazepam 20 tetes per menit, injeksi ATS 10000

unit, injeksi diazepam ½ ampul bila kejang, injeksi ceftriaxone 2 gram/24

jam, infus D5% drip 1 ampul aminofluid, infus aminofluid.

Data fokus, data subyektif : pasien mengatakan nafsu makan turun,

pasien mengatakan tidak bisa bergerak karena badannya terasa kaku, pasien

mengatakan tidak bisa membuka mulut, pasien mengatakan semua aktivitas

dibantu oleh keluarga, data obyektif : seluruh badan terlihat kaku, pasien

tampak lemas, A : berat badan : 50 kg tinggi badan 158 cm (Indeks Masa

Tubuh) IMT : 20 B : Albumin : 3,3 g/dl C : Tanda-tanda vital tekanan darah

130/70 mmHg, nadi 84x/menit, respiratori rate 24x/menit, suhu 36,7 C D :

diet cair 1500 kkal, mulut trismus 3 cm, ekstremitas atas sebelah kiri

tampak terpasang infus RL 20 tetes per menit, sebelah kanan tampak

terpasang D5% drip aminofluid 20 tetes per menit bergantian dengan infus

D5% drip 1 ampul diazepam, tonus otot tangan kanan dan kiri 3, kaki

kanan dan kiri 1, skala norton 13 (beresiko dekubitus), indeks katz G

(ketergantungan untuk semua fungsi), resiko jatuh pasien tinggi (75).

Tabel 1.Analisa data

N Tanggal Data Penyebab Masalah


o
1. 28-3- Data Subyektif : Resiko Ketidakmampu
16

2016 pasien mengatakan nafsu ketidakseimbangan an mencerna


makan turun, pasien nutrisi kurang dari makanan.
mengatakan tidak bisa kebutuhan tubuh
membuka mulut.
Data Obyektif :
pasien tampak lemas,
tekanan darah : 130/70
mmHg, nadi : 84x/menit,
suhu : 36,7 C, respirator
rate 24x/menit, IMT : 20,
pasien tampak tidak bisa
membuka mulut, mulut
trismus 3 cm.
2. 28-3- Data Subyektif : Hambatan Gangguan
2016 pasien mengatakan tidak mobilitas fisik. neuromuskular.
bisa bergerak karena
badannya terasa kaku.
Data Obyektif :
ekstremitas atas sebelah
kiri tampak terpasang infus
RL 20 tpm dan sebelah
kanan tampak terpasang
D5% drip aminofluid 20
tpm bergantian dengan
infus D5% drip diazepam,
tonus otot tangan kanan
dan kiri 3, kaki kanan dan
kiri 1, skala norton
beresiko dekubitus (13),
indeks katz G
(ketergantungan untuk
semua fungsi).
3. 28-3- Data Subyektif : Resiko cidera. Gangguan
2016 pasien mengatakan semua mekanisme
aktivitas dibantu oleh pertahanan primer..
keluarga.
Data Obyektif :
resiko jatuh tinggi (75),
pasien tampak lemas,
pasien tampakkejang, GCS
E3M5V4.

2. Diagnosa keperawatan sesuai prioritas :

a. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan.


17

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik.

c. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran.

3. Intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan

a. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan menelan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

dengan kriteria hasil tidak adanya tanda-tanda malnutrisi, berat badan

dalam batas normal, menunjukkan pemasukan dan pengeluaran

mendekati seimbang. Intervensi yang disusun pada tanggal 28-30 maret

2016 adalah kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk dan adanya

sekret, berikan pengertian tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh,

timbang berat badan sesuai indikasi, anjurkan makan sedikit demi

sedikit, kolaborasi dengan dokter.

Implementasi yang dilakukan penulis pada tanggal 28 maret

2016 sampai dengan 30 maret 2016 adalah mengkaji tanda-tanda vital

memberikan injeksi sesuai advis dokter yaitu injeksi ATS 10000 unit,

injeksi ceftriaxone 2 gram, mengganti infus D5% didrip diazepam

dengan infus aminofluid, menganjurkan makan sedikit demi sedikit,

memberikan pengertian tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, mengkaji

kemampuan klien dalam menelan.

Evaluasi dilakukan pada tanggal 30 maret 2016 dengan hasil S:

pasien mengatakan tidak bisa makan O : mulut tampak kaku, kesulitan

menelan, pasien tampak lemas A : masalah resiko gangguan nutrisi


18

kurang dari kebutuhan belum teratasi P : intervensi dilanjutkan : anjurkan

makan sedikit demi sedikit tapi sering, kolaborasi dengan dokter

pemberian aminofluid.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

neuromuskular.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dengan

kriteria hasil tidak ada kontraktur otot, pasien mampu melakukan

aktivitas dengan mandiri. Intervensi yang disusun pada tanggal 28-30

maret 2016 adalah review kemampuan fisik dan kerusakan yang terjadi,

kaji tingkat imobilisasi, berikan perubahan posisi yang teratur,

pertahankan tempat tidur dalam keadaan kering, kaji adanya nyeri,

kemerahan, bengkak pada area kulit.

Implementasi yang dilakukan penulis pada tanggal 28 maret

2016-30 maret 2016 adalah mengobservasi keluhan utama dan tanda-

tanda vital, mengganti seprei pasien dengan yang bersih, kaji tingkat

imobilisasi, mereview kemampuan fisik.

Evaluasi dilakukan pada tanggal 30 maret 2016 dengan hasil S :

pasien mengatakan seluruh badannya kaku, O : pasien tampak kaku,

badan pasien tampak berat, A : masalah gangguan mobilitas fisik belum

teratasi, P : intervensi dilanjutkan : kaji tingkat imobilisasi, berikan

perubahan posisi yang teratur.

c. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan mekanisme pertahanan

primer.
19

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dengan

kriteria hasil klien tidak mengalami cidera, kemungkinan jatuh rendah.

Intervensi yang disusun pada tanggal 28-30 maret 2016 adalah

mempersiapkan lingkungan yang aman (pasang pelindung tempat tidur,

matikan lampu), pasang pengaman tempat tidur, pertahankan bedrest

total, kolaborasi pemberian terapi : diazepam.

Implementasi yang dilakukan penulis pada tanggal 28 maret

2016-30 maret 2016 adalah mengobservasi tanda-tanda vital, memasang

pelindung tempat tidur, memberikan injeksi sesuai advis dokter injeksi

ATS 10000 unit, injeksi ceftriaxone 2 gram lewat intravena, memasang

gelang berwarna kuning, memonitor kejang, mempertahankan bedrest

total.

Evaluasi dilakukan pada tanggal 30 maret 2016 dengan hasil S:

pasien mengatakan posisi tidur atau istirahat kurang enak. O : posisi

kepala pasien tampak terlalu miring, pasien tampak masih sering kejang

A: masalah resiko cidera belum teratasi. P : intervensi dilanjutkan

monitor kejang, pasang pelindung tempat tidur, anjurkan keluarga untuk

selalu disamping pasien.

Anda mungkin juga menyukai