Anda di halaman 1dari 64

PROPOSAL PENELITIAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DINAS PERHUBUNGAN DAERAH


ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PENINGKATAN KUALITAS
LAYANAN BUS TRANS JOGJA

Oleh:

Louis Alexander Leiwakabessy

15520127

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN STRATA 1 (S1)

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”

YOGYAKARTA

2020
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian :
Implementasi Kebijakan Dinas Perhubungan Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam Peningkatan Kualitas
Layanan Bus Trans Jogja
2. Identitas Mahasiswa
Nama : Louis Alexander Leiwakabessy
NIM : 15520127
Alamat : Jalan MT Haryono Blok A No 92 Balikpapan
Kalimantan Timur
Alamat Orang Tua : Jalan MT Haryono Blok A No 92 Balikpapan
Kalimantan Timur.
Nomor Hp dan e-Mail : 081997240524 dan luisalexander483@yahoo.co.id
Jangka Waktu Penelitian : 2 Bulan (Dua Bulan)
Yogyakarta, 28 Januari 2022

Menyetujui,
Dosen Pembimbing Peneliti

(Dr. R Widodo Tri Putro, MM, M.Si) (Louis Alexander Leiwakabessy)

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan

(Dr.Guno Tri Tjahjoko, M.A)


Surat Penunjuk Dosen Pembimbing

ii
Perihal : Permohonan Penerbitan Surat Izin Penelitian
Kepada Yth,
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan S-1
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta

Di Tempat,
Dengan Hormat saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Louis Alexander Leiwakabessy
NIM : 15520127
Program Studi : Ilmu Pemerintahan
Judul Penelitian : Implementasi Kebijakan Dinas Perhubungan Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam Peningkatan Kualitas Layanan Bus Trans
Jogja.
Lokasi Penelitian : Dinas Perhubungan DIY (Dishub DIY) dan PT. Anindya
Mitra Internasional
Dosen Pembimbing : Dr. R Widodo Tri Putro, MM, M.Si
Mengajukan permohonan untuk dibuatkan surat pengantar guna mengajukan
penelitian skripsi di Dinas Perhubungan DIY (Dishub DIY) dan PT Anindya Mitra
Internasional (AMI). Adapun saya lampirkan proposal penelitian yang telah disetujui
Dosen Pembimbing.
Demikian surat permohonan ini saya buat, atas perhatian dan kerjasama saya ucapkan
terima kasih.
Yogyakarta, 28 Januari 2022
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Peneliti

(Dr. R Widodo Tri Putro, MM, M.Si) (Louis Alexander Leiwakabessy)


Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan

(Dr.Guno Tri Tjahjoko, M.A)

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................................i
Surat Penunjuk Dosen Pembimbing.....................................................................................ii
Permohonan Penerbitan Surat Izin Penelitian ......................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................................iv
A. LATAR BELAKANG MASALAH.............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................................................7
D. Kerangka Konseptual...................................................................................................8
1. Kebijakan Publik....................................................................................................8
2. Implementasi Kebijakan Publik..........................................................................18
3. Pelayanan Publik..................................................................................................23
4. Pelayanan Publik Bidang Tranportasi...............................................................26
5. Manajemen Tranportasi......................................................................................33
F. Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................................46
G. Metodologi Penelitian.................................................................................................47
1. Jenis Penelitian.....................................................................................................47
2. Unit Analisis..........................................................................................................47
H. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................................48
1. Wawancara...........................................................................................................48
2. Dokumentasi.........................................................................................................48
I. Teknik Analisis Data...................................................................................................49
a. Pengumpulan Data...............................................................................................49
b. Reduksi Data.........................................................................................................49
c. Penyajian Data.....................................................................................................49
d. Penarikan Kesimpulan.........................................................................................50

iv
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................51

v
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Seiring perkembangan yang berlangsung di tengah masyarakat global,

transportasi telah menjadi isu yang pokok bagi pemerintah dan banyak kalangan.

Kehidupan bermasyarakat secara umum menuntut mobilitas tinggi warga

masyarakat. Dari sudut pandang pemerintah, peningkatan sarana mobilitas

tentunya diperlukan untuk membantu warga dapat beradaptasi dengan kondisi

sosial dan ekonomi yang bergerak cepat.

Transportasi diartikan sebagai sebagai pemindahan barang dan manusia

dari tempat asal ke temapt tujuan. Pemindahan barang dan manusia dilakukan

melalui mekanisme pengangkutan. Pengangkutan sendiri berarti merupakan

gerakan dari tempat asal, dari mana kegiatan angkutan dimulai, ke tempat tujuan,

ke mana kegiatan pengangkutan diakhiri (Ibnu Zakaria dan Sri Rahayu Tri

Astuti, 2013: 1). Di samping infrastruktur berupa jaringan jalan, sarana angkutan

merupakan aspek penting yang menunjang berjalannya sistem transportasi.

Dewasa ini, kendaraan bermotor merupakan moda angkutan utama yang

menghubungkan orang dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Meliputi

di dalamnya mobil penumpang, mobil bus, mobil barang dan sepeda motor.

Selanjutnya jenis kendaraan dibedakan ke dalam kendaraan peribadi dan

kendaraan umum. Data yang dirilis BPS pada 2018 menunjukkan bahwa jumlah

kendaraan motor didominasi oleh sepeda motor yakni sebesar 120.101.047 unit.

Disusul oleh mobil penumpang sebanyak 16.440.987 unit. Mobil barang

sebanyak 7.778.544 unit. Jenis kendaraan berikutnya yaitu mobil bis hanya

1
2.538.182 unit (www.bps.go.id, diakses pada 25 Agustus 2020). Sepeda motor

dan mobil penumpang berjumlah paling besar dibanding jenis kendaraan

bermotor lainnya. Kedua jenis kendaraan ini lebih banyak digunakan sebagai

sarana angkutan pribadi. Berdasarkan data tersebut dapat dimengerti bahwa

jumlah sarana angkutan pribadi lebih banyak ketimbang sarana angkutan umum.

Sarana angkatan umum tetap memiliki arti strategis meski terdapat

kecenderungan masyarakat memilih jenis kendaraan yang dapat berfungsi

sebagai sarana angkutan pribadi. Sarana angkutan umum menjadi bernilai

strategis karena menguatnya isu kemacetan. Banyak kalangan menilai perlunya

ada perombakan cara bertransportasi masyarakat. Dominasi kendaraan pribadi

dalam sistem transportasi memberi kontribusi besar terhadap kemacetan. Karena

itulah pemerintah melalui program bus rapid transit (BRT) yang dirancang

Kementerian Perhubungan mendorong kemunculan transportasi massal dan

murah di berbagai daerah guna mengurai kemacetan.

Salah satu daerah yang mengimplementasikan program BRT dalam

kebijakan transportasinya adalah Daerah Istimewa Yogyarakarta (DIY).

Kebijakan transportasi tersebut diimplementasikan dalam program Bus Trans

yang mana Dinas Perhubungan DIY (Dishub DIY) berkedudukan sebagai

regulator dan PT Jogja Tugu Trans (PT JTT). Program ini tidak bertujuan

mengambah kuota armada bus melainkan sebagai bentuk lain substitusi angkutan

bus kota. Trans Jogja didirikan berdasarkan konsorsium empat koperasi

pengelola transportasi umum kota dan pedesaan di Yogyakarta yang terdiri dari

2
Koperasi Pemuda Sleman, Kopata, Aspada dan Puskopkar) dan Perum DAMRI.

Konsorsium tersebut selanjutnya menghasilkan pendirian PT Jogja Tugu Trans.

Perusahaan patungan ini mengelola bus Trans Jogja dari tahun 2008 hingga

2015. Pada 2015 Pemprov DIY mengakhiri kerja sama dengan PT JTT sebagai

operator Trans Jogja. Mulai 1 Januari 2016, operator Trans Jogja beralih ke PT

AMI (Anindya Mitra Internasional) yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD) melalui mekanisme penugasan, dengan surat penugasan Gubernur DIY

kepada PT. AMI Nomor: 384/KEP/2015 tanggal 31 Desember 2015 tentang PT

Anindya Mitra Internasional sebagai Penyelenggara Sistem Angkutan Umum

Bersubsidi atau buy the service system (https://sengguh.jogjaprov.go.id, diakses

pada 25 Agustus 2020).

Dalam kaitannya dengan pelayanan transportasi, terdapat tiga unsur

utama dalam pelayanan Trans Jogja, yaitu armada bus, halte (shelter), dan sistem

tiket. Sejauh ini Trans Jogja memiliki armada sebanyak 129 bus yang melayani

rata-rata 15 ribu penumpang setiap harinya. Jumlah ideal bus diperkirakan

sebanyak 500 bus untuk dapat mengakomodasi rata-rata jumlah penumpang

harian (http://www.kabarjogja.id/, diakses pada 25 Agustus 2020). Bus Trans

Jogja menggunakan sistem tertutup yaitu akses penumpang terhadap bus hanya

dilayani melalui jaringan halte khusus. Karena itu, aksesibilitas masyarakat

terhadap layanan Trans Jogja dipengaruhi oleh posisi halte. Pembelian tiket

dilakukan melalui mekanisme sekali jalan, tiket berlangganan pelajar atau tiket

umum berlangganan. Tiket yang dipergunakan dalam sistem layanan Bus Trans

3
Jogja berbeda dari tiket bus konvensional. Pemeriksaaan tiket dilakukan dengan

pemanfaatan teknik komputasi yang terintegrasi dengan portal halte. Portal halte

akan terbuka secara otomatis bila tiket terverifikasi valid. Penumpang dapat

berganti bus tanpa harus membayar biaya tambahan sejauh belum keluar dari

sistem jaringan halte. Peralihan sistem halte dan pembelian tiket tersebut

dimaksudkan untuk memberi kemudahan, kenyamanan dan keamanan bagi

masyarakat.

Trans Jogja merupakan angkutan massal berbasis jalanan sehingga

seharusnya pelayanan terhadap masyarakat dilakukan berdasar pada standar yang

terdapat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012 tentang

Standar Minimal Pelayanan Angkutan Massal Berbasis Jalan. Pasal 3 Ayat (4)

Permenhub No.10 Tahun 2012 mengatur bahwa keamanan, keselamatan,

kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan menjadi tolak ukur

kualitas pelayanan. Ketentuan tersebut dipertegas dalam Pasal 1 Ayat (7) UU

Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pelayanan Publik. Standar pelayanan publik

merupakan tolak ukur yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

pelayanan dan acuan penilaian kualitas layanan sebagai kewajiban dan janji

penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas,

cepat, mudah, terjangkau dan terukur.

Faktanya, pelayanan Bus Trans Jogja masih menuai banyak keluhan,

kritik dan saran. Rekapitulasi dan catatan jumlah keluhan yang dilakukan oleh

Dishub DIY, dalam kurun waktu 1 Januari 2016 hingga 24 November 2016

4
terdapat 485 aduan operasional, 411 di antaranya adalah keluhan terhadap

pelayanan bus Trans Jogja sementara 74 di antaranya hanya berupa saran dan

pertanyaan. Tidak hanya itu, Ombudsman DIY mencatat terdapat kenaikan

sebesar 3% keluhan masyarakat terhadap layanan Trans Jogja pada 2019

(https://ombudsman.go.id/, diakses pada 25 Agustus 2020).

Berdasarkan pengamatan sementara yang peneliti lakukan, pelayanan

Bus Trans Jogja juga bermasalah pada aspek keamanan, keselamatan dan

kenyaman penumpang. Bus Trans Jogja umumnya melaju dengan kecepatan

tinggi di berbagai kondisi dan tempat, bahkan dalam kondisi jalanan padat

pengguna jalan di tengah kota. Beberapa Bus Trans Jogja yang peneliti amati

yakni bus jalur 1A, 2A, 1B dan 3B dipacu pada kecepatan di atas 40

kilometer/jam. Kecepatan tersebut melampaui ambang batas kecepatan tertinggi

wilayah pemukiman dan dalam kota sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara

Penetapan Batas Kecepatan. Tentunya hal itu membahayakan keamanan dan

keselamatan para penumpang dan pengguna jalan lainnya serta mengurangi

kenyamanan para pengguna jasa layanan.

Dalam pengamatan peneliti, kecenderungan pengemudi Bus Trans Jogja

memacu bus dalam kecepatan di atas ambang batas kecepatan tertinggi

disebabkan oleh faktor kebijakan dan struktural. Diperkirakan perilaku sopir Bus

Trans Jogja yang demikian didorong oleh adanya kebijakan head time atau

standar waktu yang harus dipenuhi para pengemudi. Standar waktu diperlukan

5
guna memastikan keteraturan sirkulasi bus. Namun, ekses dari kebijakan tersebut

adalah terpacunya para pengemudi untuk tergesa-gesa memenuhi target waktu

sehingga mengenyampingkan aspek keamanan dan kenyamanan penumpang

serta peraturan yang berlaku.

Selain aspek keamanan, keselamatan dan kenyamanan, persoalan lain

yang mengemuka dalam pelayanan Bus Trans Jogja adalah keterjangkauan halte.

Berdasarkan pengamatan sementara peneokasi halte kerap tidak strategis

sehingga menyulitkan sebagian besar masyarakat dalam menjangkaunya.

Ditambah rute tempuh bus yang berliku-liku sehingga dianggap kurang efisien

jika dibandingkan dengan penggunaan kendaraan pribadi.

Pada dasarnya, program Bus Rapid Transit yang di DIY diterapkan

dalam program Bus Trans Jogja berpotensi menjawab persoalan mobilitas dan

kemacetan. Potensi tersebut terlihat dari tarif murah yang dikenakan pada

penumpang yakni Rp 3500 dalam jarak dekat maupun jauh. Kondisi bus juga

relatif bersih, layak dan memberi ruang yang memadai bagi kaum penyandang

disabilitas. Selain itu, berdasarkan keterangan yang peneliti himpun dari

kondektur salah satu bus jalur 2A, 3B dan 4A, jumlah rata-rata penumpang yang

memanfaatkan layanan Bus Transjogja relatif tinggi pada akhir pekan yaitu pada

jumat, sabtu dan minggu. Jumlah penumpang tersebut mengalami penurunan

pada masa pandemi.

Namun, tingginya keluhan masyarakat atas kualitas layanan dan

berbagai persoalan yang mengemuka terkait layanan Bus Trans Jogja yang

6
tentunya berkorelasi dengan kebijakan Dishub DIY, menyiratkan adanya

permasalahan dalam kebijakan tersebut dan implementasinya. Berdasarkan

kondisi tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti Implementasi Kebijakan

Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam meningkatkan kualitas

layanan Bus Trans Jogja.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian

adalah: “Bagaimanakah implementasi kebijakan Dinas Perhubungan Daerah

Istimewa Yogyakarta dalam meningkatkan kualitas layanan Bus Trans Jogja?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis implementasi

kebijakan Dinas Perhubungan DIY dalam meningkatkan kualitas pelayanan Bus

Trans Jogja.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

pemerintah daerah khususnya Dinas Perhubungan DIY dalam mengembangkan

kebijakan yang sesuai dengan peningkatan kualitas pelayanan Bus Trans Jogja.

Manfaat praktis berikutnya diharapkan dapat dirasakan oleh masyarakat pengguna

layanan Bus Trans Jogja yang terdampak oleh kebijakan peningkatan kualitas

layanan.

Sedangkan manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya diskursus

ilmiah dalam studi kebijakan pemerintah dan pelayanan publik sehingga dapat

7
menyumbang pada pengembangan ilmu pengetahuan secara umum dan khususnya

ilmu pemerintahan.

D. Kerangka Konseptual
1. Kebijakan Publik
Kebijakan menurut Federick dalam Agustino (2008:7) diartikan

sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok

atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-

hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap

pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan

tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan

perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting

dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan

apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam

beberapa kegiatan pada suatu masalah.

Menurut Budi Winarno (2007:15), istilah kebijakan (policy term)

mungkin digunakan secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri Tiongkok”

, “kebijakan hukum India”. Dapat juga dipakai dalam penggunaan yang lebih

khusus, misalnya dalam kebijakan pembatasan sosial berskala besar di

Jakarta.

Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010:12) kebijakan harus

dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan

yang berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian

8
kebijaksanaan memerlukan pertimbangan pertimbangan lebih jauh lagi,

sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada didalamnya.

Berdasarkan pendapat pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan secara mendasar berbeda dari kebijaksanaan. Kebijakan berkenaan

dengan hal ikhwal arah kepemerintahan yang berpedoman peraturan

perundang-undangan dalam rangka menempuh tujuan pemerintah secara

spesifik. Sementara itu, Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang

mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar

yang dibuat oleh pemegang otoritas publik (Soeharto, 2008: 3). Sebagai suatu

keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh

otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang ,

umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat

banyak dan demi kepentingan rakyat. Selanjutnya Soeharto (2008: 6)

menyebutkan bahwa terdapat beberapa konsep kunci yang termuat dalam

kebijakan publik yaitu:

a. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah

tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah

yang memiliki kewenangan hukum, politik dan finansial untuk

melakukannya.

b. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan

publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang

bekembang di masyarakat.

9
c. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik

biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri dari

beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai

tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak.

d. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

e. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seseorang atau beberapa orang

aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi

terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah

dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan.

Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik dibuat oleh

sebuah instansi pemerintah maupun oleh beberapa perwakilan lembaga

pemerintah.

Penekanan pada keberpihakan terhadap rakyat mengemuka pula dalam

pendapat Chandler dan Plano (Tangkilisan, 2003: 1) yang menyatakan bahwa

kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-

sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau

pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu

bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi

kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka

dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Thomas R Dye dalam Islamy (2009: 19) mendefinisikan kebijakan publik

sebagai whatever government choose to do or not to do ( apapaun yang dipilih

10
pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Definisi ini

menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan tindakan

dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik

semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu

juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh (dampak yang

sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu).

Definisi dari Easton (Agustino, 2009: 19) menitikberatkan pada dimensi

kuasa dan legitimasi sebagaimana memberikan definisi kebijakan publik

sebagai the autorative allocation of values for the whole society. Definisi ini

menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah)

yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan

pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena

pemerintah termasuk ke dalam authorities in a political system yaitu para

penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan sistem politik

sehari-hari dan mempunyai tanggungjawab dalam suatu maslaha tertentu

dimana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di

kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota

masyarakat selama waktu tertentu.

Bila pendapat para pakar di atas disarikan maka didapat kesimpulan

bahwa kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah atau lembaga yang

memperoleh delegasi kewenangan dalam menyelenggarakan urusan yang

11
berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas. Pemerintah atau lembaga yang

diberi wewenang juga dapat melakukan intervensi berkelanjutan terhadap

dinamika keadaan untuk kepentingan umum.

Menurut Nugroho (2003), ada dua karakteristik dari kebijakan publik,

yaitu: 1) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami,

karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan

nasional; 2) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah diukur, karena

ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah

ditempuh.

Menurut Bridgeman dan David dalam Edi Suharto (2007:5) menerangkan

bahwa kebijakan publik setidaknya memiliki tiga dimensi yang saling

bertautan, yakni sebagai tujuan (objective), sebagai pilihan tindakan yang

legal atau sah secara hukum (authoritative choice), dan sebagai hipotesis

(hypothesis). Berikut adalah penjabaran dari definisi Bridgeman tersebut:

Pertama, kebijakan publik sebagai tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya

menyangkut pencapaian publik. Artinya, kebijakan publik adalah serangkaian

tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang

diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah. Kedua, kebijakan

publik sebagai pilihan tindakan yang legal. Pilihan tindakan dalam kebijakan

bersifat legal atau otoritatif karena dibuat oleh lembaga yang memiliki

legitimasi dalam sistem pemerintahan. Keputusan itu mengikat para pegawai

negri untuk bertindak atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti

12
menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk

dipertimbangkan oleh parlemen atau mengalokasikan anggaran guna

mengimplementasikan program tertentu. Ketiga, kebijakan publik sebagai

hipotesis. Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai

sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-

asumsi mengenai prilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang

mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan juga selalu memuat

disensetif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu. Kebijakan harus

mampu menyatukan perkiraan-perkiraan mengenai keberhasilan yang akan

dicapai dan mekanisme mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi.

Menurut Suharno (2010: 22-24), ciri-ciri khusus yang melekat pada

kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan.

Ciri-ciri kebijakan publik antara lain: Pertama, kebijakan publik lebih

merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku

atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik

dalam sistem politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.

Kedua, kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling

berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh

pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang berdiri

sendiri. Kedua, kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya

dilakukan pemerintah dalam bidang tertentu. Keempat, kebijakan publik

mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif, kemungkinan meliputi

13
keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak

melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana justru campur

tangan pemerintah diperlukan.

Perumusan kebijakan publik melibatkan aktor, variabel dan proses yang

kompleks. Aktor-aktor yang terlibat tidak hanya lembaga pemerintahan yang

menjadi produsen kebijakan, tapi juga kelompok-kelompok kepentingan

termasuk pula di dalamnya masyarakat yang menjadi sasaran utama

perlindungan dari kebijakan publik. Jalinan beragam kepentingan yang kerap

menghadirkan pertentangan pada gilirannya menciptakan variabel yang

kompleks. Tidak hanya kepentingan yang beragam, faktor-faktor eksternal

seperti kondisi juga memiliki keberagaman. Faktor-faktor eksternal yang

beragam berkombinasi dengan aktor-aktor dan berbagai kepentingan yang

juga beragam membuat proses perumusan kebijakan publik menjadi

kompleks.

Menurut Suharno (2010: 52-53) faktor-faktor eksternal yang turut

berperan dalam proses perumusan kebijakan publik adalah sebagai berikut:

Pertama, adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar; Kedua, adanya pengaruh

kebiasaan lama; Ketiga, adanya pengaruh sifat-sifat pribadi; Keempat, adanya

pengaruh dari kelompok luar; Kelima, adanya pengaruh keadaan masa lalu

Menurut Thomas R. Dye (2000: 21) kebijakan publik memiliki 3 elemen

dalam pembentukannya yaitu kebijakan publik (public policy), pelaku

kebijakan (policy stakeholders), dan lingkungan kebijakan (policy

14
environment). Ketiga elemen ini saling memiliki andil, dan saling

mempengaruhi. Sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat mempunyai andil

dalam kebijakan, namun mereka juga dapat pula dipengaruhi oleh keputusan

pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

pembuat kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri.

Kompleksitas proses perumusan kebijakan publik mengandaikan

keberadaan beragam tahapan perumusan kebijakan publik. Menurut William

Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 32-34 adalah sebagai

berikut: Pertama, tahap penyusunan agenda. Pada tahap ini para penyusun

kebijakan menentukan jadwal dan kerja penyusunan kebijakan publik. Selain

itu, ditetapkan pula isu yang akan jadi fokus perhatian. Kedua, tahap

formulasi kebijakan. Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan

kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi

didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan

masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy

alternatives/policy options) yang ada. Ketiga, tahap adopsi kebijakan. Pada

tahap penyusunan ini para penyusun kebijakan publik akan memilih salah satu

dari sekian rumusan kebijakan yang ditawarkan oleh berbagai pihak terkait

berdasarkan prosedur yang demokratis.

Keempat, tahap implementasi kebijakan. Pada tahap ini suatu

kebijakan publik akan dijalankan oleh pemerintah atau lembaga yang

berwenang. Kelima, tahap evaluasi kebijakan. Dalam tahap ini kebijakan yang

15
telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk melihat sejauh mana

kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu

memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.

James Anderson sebagaimana dikutip Suharno (2010: 24-25)

menyampaikan ragam kategori atau jenis-jenis kebijakan publik adalah

sebagai berikut: Pertama, kebijakan substantif versus kebijakan prosedural.

Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut apa yang akan

dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan prosedural adalah

bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan. Kedua, kebijakan

distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif.

Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada

masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori merupakan kebijakan yang

berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok

masyarakat. Sedangkan, kebijakan redistributif merupakan kebijakan yang

mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak diantara

berbagai kelompok dalam masyarakat. Keempat, kebijakan materal versus

kebijakan simbolik. Kebijakan materal adalah kebijakan yang memberikan

keuntungan sumber daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan,

kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada

kelompok sasaran. Kelima, kebijakan yang barhubungan dengan barang

umum (public goods) dan barang privat (privat goods). Kebijakan public

goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian barang atau pelayanan

16
publik. Sedangkan, kebijakan privat goods adalah kebijakan yang mengatur

penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

Selanjutnya Soeharsono (2005: 6-8) menuliskan bahwa kebijakan

publik memiliki kerangka kerja yang ditentukan oleh beberapa aspek berikut:

Pertama, tujuan yang akan dicapai, tercakup di dalamnya kompleksitas tujuan

tersebut. Apabila ujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit

mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin

sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya. Kedua, preferensi nilai

yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Ketiga, sumber

daya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan ditentukan

oleh sumberdaya finansial, material dan infrastruktur lainnya. Keempat,

kemampuan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas

tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya,

pengalaman kerja, dan integritas moralnya.

Kelima, lingkungan sekitarnya. Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi

oleh lingkungan sosial, ekonomi, politik tempat kebijakan tersebut

diimplementasikan. Keenam, strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.

Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan akan

mempengaruhi kinerja dari suatu kebijakan. Strategi yang digunakan dapat

bersifat top-down approach atau bottom-up approach, otoritas atau demokratis

17
2. Implementasi Kebijakan Publik
Secara harfiah implementasi diartikan sebagai penerapan atau

pelaksanaan (kbbi.kemdikbud.go.id). Sebagaimana pemaparan di atas,

implementasi kebijakan publik merupakan salah tahap akhir dalam

penyelenggaraan kebijakan publik oleh pemerintah maupun lembaga

berwenang. Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab

(2012:135) menjelaskan bahwa implementasi adalah memahami apa yang

senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan

merupakan faktor perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian

dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman

kebijakan publik yang mencakup baik usaha-usaha untuk

mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata

pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Sedangkan menurut Daniel Mazmanian dan Paul Sabater dalam

Agustino (2006:139) mendefinisikan bahwa implementasi kebijakan sebagai

pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-

undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-

keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

Implementasi kebijakan publik dengan demikian bermakna penerapan

atau pelaksanaan suatu kebijakan publik oleh implementor atau pelaksana

kebijakan publik dengan mengambil bentuk regulasi, perintah atau keputusan

administratif dan putusan pengadilan. Ada pun yang menjadi perhatian tahap

18
implementasi ini adalah proses pengadministrasian dan implikasinya pada

level masyarakat sebagai sasaran kebijakan publik.

Menurut George C. Edwards III dalam Soebarsono (2005: 87)

pengimplementasian kebijakan publik dipengaruh oleh empat faktor, yaitu:

Pertama, komunikasi yang berfungsi sebagai sarana dalam mentransmisikan

tujuan dan sasaran kebijakan kepada kelompok sasaran (target group)

sehingga meminimalkan penyimpangan kebijakan; Kedua, sumberdaya yang

menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan. Ketiadaan sumber daya

membuat mustahil setia`p upaya penerapan suatu kebijakan publik; Ketiga,

disposisi atau watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti:

komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Keempat, struktur birokrasi yang

berperan sebagai pelaksana kebijakan publik pada tataran praktis.

Sementara itu menurut Cheema dan Rondinelli dalam Soebarsono

(2005:101) disebutkan bahwa terdapat empat kelompok variabel yang

mempengaruhi kinerja pengimplementasian dan dampak suatu program yaitu:

a) kondisi lingkungan; b) hubungan antar organisasi; c) sumber daya

organisasi untuk implementasi program; d) karakteristik dan kemampuan agen

pelaksana.

Pengimplementasian suatu kebijakan publik sebagaimana

perumusannya merupakan suatu tindakan yang kompleks karena melibatkan

banyak faktor dan variabel. Faktor-faktor generik yang turut mempengaruhi

penerapan suatu kebijakan publik yaitu faktor eksternal seperti kondisi

19
lingkungan dan relasi kelembagaan. Sementar faktor internal atau subjektif

yang berpengaruh terhadap pengimplementasian suatu kebijakan publik

adalah sumber daya, kualitas pelaksana, dan struktur birokrasi.

Kompleksitas faktor dalam usaha penerapan suatu kebijakan publik

menandakan diperlukannya model implementasi kebijakan guna

menyederhanakan proses pemahaman terhadap implementasi kebijakan

tersebut. Model implementasi tersebut di antaranya model George Edward III,

model implementasi van Meter dan van Horn, model implementasi Merilee S.

Grindle, model implementasi Charles O. Jones dan model implementasi Jan

Merse (Oktavianti dan Lituhayu, 2017:5).

Berikut adalah penjelasan secara rinci aspek-aspek model

implementasi kebijakan dari para pakar di atas:

Pertama, Model Implementasi Merilee S. Grindle. Keberhasilan implementasi

menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni

isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of

implementation) seperti terlihat pada gambar, variabel isi kebijakan ini

mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target group

termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target

group; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4)

apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah

menyebutkanimplementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program

didukung oleh sumberdaya yang memadahi. Sedangkan variable lingkungan

20
kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi

yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2)

karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan

dan responsivitas kelompok sasaran.

Kedua, Model Implementasi Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

(1975). Menurut Meter dan Horn, ada lima variabel yang memengaruhi

kinerja implementasi, yakni: (1) standar dan sasaran kebijakan; (2)

sumberdaya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (4)

karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik.

Ketiga, Model Impelentasi Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier. Model ini

disebut dengan model Kerangka Analisis Implementasi (A Framework for

Impelementation Analysis) yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan

Paul A. Sabatier (1983). Didalam pemetaan model ini diberi label ‘MS’ yang

terletak pada kuadran ‘puncak ke bawah’ dan lebih condong pada mekanisme

paksa ketimbang mekanisme pasar. Duet ini mengklasifikasikan proses

implementasi kebijakan kedalam tiga variabel, yaitu: 1) Variabel Independen

Yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator

masalah teori dan teknispelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti

apa yang dikehendaki. 2) Variabel Intervening Yaitu variabel kemampuan

kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator

kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan

alokasi sumberdana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga pelaksana, aturan

21
pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana, dan

keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan kebijakan yang

memperngaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator

kondisi sosioekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan resources

dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan

kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. 3) Variabel Dependen Yaitu

tahapan dalam proses impelementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman

dari lembaga/badan pelksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana,

kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan

akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat an dilaksanakan

tersebut atau keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar (Oktavianti dan

Lituhayu, 2017:8-9).

Implementasi kebijakan publik bidang transportasi dengan demikian

dapat diartikan sebagai penerapan atau pelaksanaan suatu kebijakan publik

dalam mendukung usaha pemindahan dan pengangkutan manusia dan barang

dari satu tempat ke tempat yang lain dan mengatasi berbagai hambatan bagi

keberlangsungan usaha tersebut. Penerapan atau pelaksanaan suatu kebijakan

publik bidang transportasi oleh implementor mengambil bentuk regulasi,

perintah atau keputusan administratif dan putusan pengadilan.

Pasal 139 Ayat (2) dan 158 Ayat (1) UU No.22 Tahun 2009

menegaskan bahwa Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya

angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam

22
provinsi khususnya angkutan massal berbasis jalan atau buss rapid transit

(BRT).Sesuai dengan Pasal 2 Permenhub No.10 Tahun 2012 tentang Standar

Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan bahwa pemerintah

daerah hanya dimungkinkan menyelenggarakan angkutan massal atau BRT di

kawasan perkotaan meliputi kawasan megapolitan, metropolitan dan

perkotaan besar.

Sementara itu PP No.74 2014 tentang Angkutan Jalan mengatur secara

spesifik perihal angkutan massal berbasis jalan atau BRT pada bagian tentang

Angkutan Massal Pasal 47. Garis-garis kebijakan yang perlu ditetapkan oleh

pemerintah daerah selaku penyedia jasa layanan publik transportasi massal di

antaranya adalah kebijakan terkait sarana pendukung angkutan massal. Diatur

bahwa angkutan massal harus didukung dengan mobil bus yang berkapasitas

angkut massal, lajur khusus, trayek angkutan umum lain yang tidak

berhimpitan dengan trayek angkutan massal dan angkutan pengumpan.

3. Pelayanan Publik
Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara

ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan

kehidupan manusia (Sinambela, 2010:3). A.S. Moenir (2002:26-27)

mendefinisikan pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat pemuasannya hanya

dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani, tergantung kepada

23
kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna. Proses

pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inilah yang

dinamakan pelayanan. Jadi dapat dikatakan pelayanan adalah kegiatan yang

bertujuan untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan

orang lain.

Sementara kata publik berasal dari Bahasa Inggris yaitu public yang

berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik diadaptasikan ke dalam menjadi

Bahasa Indonesia menjadi yang berarti umum, orang banyak, ramai. Makna

publik dalam penerapannya dapat juga dibandingkan dengan istilah kepentingan

umum. Perkataan publik sering dikaitkan dengan masyarakat dan rakyat.

Sementara itu, pengertian publik menurut Inu Kencana Syafi’ie, dkk (1999:18)

yaitu sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berfikir, perasaan,

harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma

yang mereka miliki.

Pelayanan publik secara ringkas bisa diartikan sebagai layanan yang

diberikan oleh pemerintah kepaa warga negaranya baik secara langsung

maupun secara tidak langsung yaitu lewat pembiayaan penyediaan layanan

yang diselenggarakan oleh pihak swasta (Fadhila, 2012: 1). Sedangkan menurut

Mahmudi (2010: 22), pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Widodo (2001) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan

24
keperluan masyarakat yang mempunyai kepentingan pada orang itu sesuai

dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Ratminto (2005) mendefinisikan bahwa pelayanan publik atau pelayanan

umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam

bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi

tanggung jawab dandilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, didaerah,

dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah,

dalam rangkaupaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Konsep pelayanan publik berpangkal dari tujuan pendirian Negara

Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan

UUD 1945 dan dijabarkan ke dalam rumusan pasal-pasalnya. Karena itu konsep

pelayanan inheren dalam konsep Negara Republik Indonesia sehingga tidak

dapat dipisahkan pula dari sistem hukum Indonesia. Pasal 1 Ayat (1) UU

Nomor 25 tentang Pelayanan Publik mengartikan bahwa pelayanan publik

adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga

negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang

disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009 mengatur tentang asas-asas pelayanan

publik yang di antaranya adalah sebagai berikut: 1) kepentingan umum; 2)

kepastian hukum; 3) kesamaan hak; 4) keseimbangan hak dan kewajiban; 5)

25
keprofesionalan; 6) partisipatif; 7) persarnaan perlakuan/ tidak diskriminatif; 8)

keterbukaan; 9) akuntabilitas; 10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok

11) rentan; 12) ketepatan waktu; dan 13) kecepatan, kemudahan, dan

keterjangkauan.

Menurut pasal tersebut dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik,

organisasi penyelenggaran pelayanan publik mengacu pada standar tertentu.

Standar tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, prosedur

pelayanan. Prosedur pelayanan yang dibagikan bagi pemberi dan penerima

pelayanan termasuk pengaduan. Kedua, waktu penyelesaian. Waktu

penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan

penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. Ketiga, biaya pelayanan.

Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses

pemberian pelayanan. Keempat, produk pelayanan. Hasil pelayanan yang akan

diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Kelima, sarana dan

prasarana. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh

penyelenggara pelayanan publik. Keenam, kompetensi petugas pemberi

pelayanan. Kompetensi petugas pemberi pelayanan kompetensi harus

ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan,

sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

4. Pelayanan Publik Bidang Tranportasi.

Pelayananan publik bidang transportasi mencakup tiga moda pelayanan

transportasi yaitu moda transportasi perairan, udara dan darat. Dalam konteks

26
pelayanan publik bidang transportasi darat, Pasal 141 Ayat (1) UU No.22

Tahun 2009 pun telah menetapkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik

bidang transportasi oleh perusahaan angkutan umum harus dilakukan dalam

standar minimal sebagai berikut: a) keamanan; b) keselamatan; c) kenyamanan;

d) keterjangkauan; e) kesetaraan; dan f) keteraturan.

Pasal 141 Ayat (2) UU No.22 Tahun 2009 mengatur lebih lanjut

mengatur bahwa penetapan standar pelayanan minimal sebagaimana di atas

berdasarkan pada jenis pelayanan transportasi yang diselenggarakan. Ada pun

jenis-jenis pelayanan transportasi menurut Pasal 10 UU No.22 Tahun 2009

terdiri atas di antaranya: Pertama, pengangkutan orang dengan sarana

kendaraan umum tidak dalam trayek. Kedua, pengangkutan orang dengan

sarana kendaraan umum di dalam trayek.

Pelayanan transportasi umum yang dilakukan tidak dalam trayek

bermakna pengangkutan orang tidak berada dalam lintasan trayek yang telah

ditetapkan. Pasal 150 UU No.22 Tahun 2009 menetapkan ragam jenis

angkutan umum yang beroperasi dalam modus pelayanan transportasi tidak di

dalam trayek yang di antaranya seperti taksi, angkutan orang yang beroperasi

untuk tujuan tertentu, keperluan pariwisata, dan kawasan tertentu.

Selanjutnya Pasal 142 dan 143 UU No.22 Tahun 2009 menetapkan

bahwa pelayanan transportasi umum yang dilakukan dalam trayek dicirikan

dengan kriteria dan jenis-jenis angkutan umum sebagai berikut: Pertama,

adanya rute perjalanan yang tetap dan teratur. Kedua, terjadwal, berawal dan

27
berakhir, menaikkan dan menurunkan penumpang di terminal untuk angkutan

antar kota dan lintas batas negara. Ketiga, menaikkan dan menurunkan

penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan

perdesaan. Selanjutnya, jenis pengakutan orang yang tergolong ke dalam jenis

pelayanan transportasi ini adalah sebagai berikut: Pertama, angkutan lintas

batas negara. Kedua, angkutan antar kota dan provinsi. Ketiga, angkutan antar

kota dalam provinsi. Ketiga, angkutan perkotaan. Keempat, angkutan

perdesaan.

Selain kedua jenis pelayanan transportasi di atas, Pasal 158 UU No.22

Tahun 2009 mengatur pula jenis pelayanan transportasi lain yang menjadi

objek penelitian ini yaitu angkutan massal berbasis jalan. Pasal ini juga

mewajibkan pada pemerintah untuk menjamin ketersediaan angkutan massal

guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan transportasi publik.

Ditentukan pula bahwa penyediaan sarana angkutan massal memerlukan

pemenuhan syarakat berikut di antaranya adalah mobil bus yang berkapasitas

angkutan massal, lajur khusus, trayek angkutan umum lain yang tidak

berhimpitan dengan trayek angkutan massal dan angkutan pengumpan.

Berkenaan dengan standar pelayanan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan

menteri, dalam hal ini Permenhub No.10 tahun 2012.

Angkutan massal berbasis jalan merupakan istilah yuridis yang

dipergunakan rezim UU No.22 Tahun 2009 berikut regulasi turunannya untuk

bus rapid transit (BRT). Pasal 3 Ayat (3), 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 Permenhub No.10

28
Tahun 2012 telah mengatur tentang standar pelayanan minimal khususnya

aspek jenis pelayanan pada angkutan massal berbasis jalan atau BRT yang di

antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, keamanan yaitu terbebasnya

Pengguna Jasa dari gangguan perbuatan melawan hukum dan/atau rasa takut,

misalnya lampu penerangan, nomor kendaraan bermotor, kaca spion, dan

petugas keamanan. Kedua, keselamatan yaitu terhindarnya dari risiko

kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia, sarana dan prasarana. Jaminan

keselamatan tersebut diindikasikan dengan adanya standar operasional

prosedur pengoperasian kendaraan dan penanganan keadaan darurat untuk

keselamatan manusia. Selanjutnya, keselamatan pada bus misalnya kelaikan

kendaraan, dan lain-lain. Lalu keselamatan sarana dan prasarana meliputi

misalnya perlengkapan lalu lintas, fasilitas penyimpanan dan pemeliharaan

kendaraan dan-lain-lain.

Ketiga, kenyamanan yaitu memberikan suatu kondisi nyaman, bersih,

indah dan sejuk yang dapat dinikmati pengguna jasa. Misalnya, kenyamanan

di halte ditandai dengan adanya fasilitas kemudahan naik dan turun.

Selanjutnya kenyamanan di bus yang misalnya ditandai dengan fasilitas

pengatur suhu yang baik. Keempat, keterjangkauan yaitu memberikan

kemudahan bagi Pengguna Jasa mendapatkan akses Angkutan Massal

Berbasis Jalan dan tarif yang terjangkau. Kelima, kesetaraan yaitu

memberikan perlakuan khusus berupa aksesibilitas, prioritas pelayanan, dan

fasilitas pelayanan bagi Pengguna Jasa penyandang cacat, manusia usia lanjut,

29
anak-anak, dan wanita hamil. Keenam, keteraturan yaitu memberikan

kepastian waktu pemberangkatan dan kedatangan mobil bus serta tersedianya

fasilitas informasi perjalanan bagi Pengguna Jasa.

Keberadaan standar dalam pelayanan publik mengasumsikan adanya

kualitas dalam tindakan pelayanan publik transportasi. Parasuraman

sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto (2008:145) menyatakan bahwa terdapat 5

dimensi dalam kualitas pelayanan, antara lain Tangibles, pelayanan yang

diberikan dalam bentuk pelayanan fisik yang dapat dilihat, misalnya

infrastruktur jalan. Reliability adalah kehandalan untuk menyelenggarakan

pelayanan yang dijanjikan secara akurat. Setiap pegawai memiliki

kemampuan yang handal. Responsiveness adalah kerelaan untuk menolong

pengguna layanan dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas. Assurance

adalah kemampuan para petugas penyedia layanan dalam memberikan

kepercayaan kepada pengguna layanan. Empathy adalah kemampuan

memberikan perhatian kepada pengguna layanan secara individual (Al Rasyid,

2015:3).

Pelayanan jasa publik termasuk bidang transportasi menurut Pasal 8

Perda DIY No.5 Tahun 2014 tentang Pelayanan Publik merupakan pelayanan

yang mencakup pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa termasuk

bidang transportasi yang dibutuhkan masyarakat. Berdasarkan Pasal 8 Ayat

(2) Perda DIY No.5 Tahun 2014 terdapat tiga golongan penyedia jasa

pelayanan publik yaitu: Pertama, pemerintah daerah, kota dan desa yang

30
dananya seluruh atau sebagian bersumber dari APBD dan APBDes. Kedua,

badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya berasal dari

kekayaan daerah atau desa. Ketiga, penyediaan jasa publik yang

pembiayaannya tidak berasal dari APBD, APBDes, maupun kekayaan daerah

dan desa lain. Penyediaan jasa transportasi publik oleh Bus Trans Jogja

dilakukan oleh Pemerintah Daerah DI Yogyakarta berdasarka mekanisme

penugasan pada PT Jogja Tugu Trans (PT JTT) berdasarkan Kesepakatan

Bersama (MoU) dengan

Nomor17/KES.BER/GUB/2007(052/K/ORG-DIY/VIII/2007)telah

ditandangani pada 21 Agustus 2007 dalam bentuk Kesepakatan Bersama

Nomor tentang Kerja Sama Pengelolaan Sistem Pelayanan Angkutan Orang

Dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Pada 2015 Pemprov DIY mengakhiri kerja sama dengan PT JTT sebagai

operator Trans Jogja. Mulai 1 Januari 2016, operator Trans Jogja beralih ke

PT AMI (Anindya Mitra Internasional) yang merupakan BUMD DIY melalui

mekanisme penugasan, dengan surat penugasan Gubernur DIY kepada PT.

AMI Nomor: 384/KEP/2015 tanggal 31 Desember 2015 tentang PT Anindya

Mitra Internasional sebagai Penyelenggara Sistem Angkutan Umum

Bersubsidi atau buy the service system (https://sengguh.jogjaprov.go.id).

Dalam konteks penyediaan layanan jasa Bus Trans Jogja, pemerintah daerah

31
berperan sebagai regulator dan penerima tugas penyediaan layanan yaitu PT

JTT lalu PT AMI sebagai operator.

Untuk memaksimalkan pelayanan terutama guna memenuhi standar

pelayanan khususnya dalam hal jangkauan maka pemerintah daerah

menerapkan skema buy the service. Menurut Sutomo (2002) dalam Lefrandt

(https://digilib.fisipol.ugm.ac.id, 24 September 2020) skema buy the service

adalah sistem dimana perjalanan-perjalanan bus melayani trayek-trayek dibeli

oleh pemerintah untuk kemudian pemerintah menjualnya kepada masyarakat

dengan ongkos yang ditetapkan. Sistem ini memindahkan resiko surplus atau

defisit operasi dari tangan operator ke pemerintah. Sistem ini menjamin

kualitas dan kuantitas pelayanan serta kendali yang baik dan fleksibilitas tingi

atas pelayanan kepada masyarakat.

Pengertian sistem buy the service meliputi di antaranya: 1) Tidak

menggunakan sistem setoran; 2) Operator termasuk sopir hanya

berkonsentrasi pada pelayanan; 3) Sopir, pemilik bis dan petugas Jainnya

dibayar sesuai dengan km Iayanan; 4) Ada standar pelayanan yang harus

dipenuhi, antara lain bis hanya berhenti di tempat yang ditentukan; 5)

Pelayanan transportasi bis dengan sistem buy the service lebih

mengedepankan pelayanan masyarakat; 6) Keuntungan disetor sebagai PAD

dan kemudian diinvestasikan untuk peningkatan pelayanan publik; 7) Dengan

sistem subsidi Untuk rnendukung sistern baru tersebut diperlukan tempat henti

khusus dan sistem tiket otomatis untuk menghindari kebocoran dan

32
kemudahan evaluasi (http://ojs.balitbanghub.dephub.go.id, 24 September

2020).

5. Manajemen Tranportasi
Pembahasan tentang transportasi perlu dilakukan terlebih dahulu

sebelum mengurai perihal manajemen transportasi. Menurut Salim (2000:2)

kata transportasi berasal dari bahasa latin yaitu transportare yang mana trans

berarti mengangkat atau membawa. Jadi transportasi adalah membawa sesuatu

dari satu tempat ke tempat yang lain. Dapat juga diartikan sebagai kegiatan

pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain.

Selanjutnya, Menurut Miro (2005:34) transportasi dapat diartikan usaha

memindahkan, mengerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari

suatu tempat ke tempat lain, di mana di tempat lain ini objek tersebut lebih

bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan

menurut Nasution (2008:5) adalah sebagai pemindahan barang dan manusia

dari tempat asal ke tempat tujuan. Jadi pengertian tranportasi berarti sebuah

proses, yakni proses pemindahan, proses pergerakan, proses mengangkut, dan

mengalihkan di mana proses ini tidak bisa dilepaskan dari keperluan akan alat

pendukung untuk menjamin lancarnya proses perpindahan sesuai dengan waktu

yang diinginkan. Berbeda dari beragam pendapat di atas, Soesilo (1999:17)

memberi penekanan pada manusia sebagai satu-satunya subjek dalam kegiatan

transportasi sehingga baginya transportasi merupakan pergerakan tingkah laku

33
orang dalam ruang baik dalam membawa dirinya sendiri maupun membawa

barang.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa transportasi merupakan usaha memindahkan dan mengangkut manusia

dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Proses pemindahan dan

pengangkutan dilakukan dengan alat pendukung tertentu guna menjamin

kelancaran proses pemindahan dan pengangkutan. Selain itu, definisi dari

berbagai ahli di atas memberi petunjuk tentang adanya unsur-unsur yang

terkandung dalam transportasi yang di antaranya: 1) objek yang dipindahkan

dan diangkut; 2) alat transportasi atau sarana pengangkutan; 3) infrastruktur

berupa jalan, rel, stasiun, terminal, pelabuhan, bandara, dan lain-lain; 4) sumber

daya manusia; 5) organisasi dan sistem manajemen yang menjalankan

pengelolaan atas kegiatan transportasi.

Keseluruhan unsur terkait dan saling dukung dalam kegiatan

transportasi. Proses pemindahan dan pengangkutan objek dilakukan dengan

memanfaatkan alat transportasi atau sarana pengangkutan melalui infrastruktur

darat, laut atau udara dan digerakkan oleh sumber daya manusia yang dikelolalu

dengan organisasi dan sistem manajemen transportasi. Karena itu, manajemen

merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan kegiatan transportasi.

Handoko dengan mengutip Stoner (dalam Qalyubi: 2007: 276)

berpendapat bahwa manajemen adalah proses perencanan, pengorganisasian,

pengarahan, dan pengawasan, berikut pula berbagai usaha dari organisasi tujuan

34
organisasi yang telah ditetapkan. Selanjutnya menurut G.R Terry (dalam

Hasibuan, 2014: 4) bahwa manajemen merupakan suatu proses khas yang

terdiri dari berbagai tindakan seperti perencanaan, pengorganisasian,

menggerakan dan mengendalikan. Berbagai tindakan tersebut dilakukan untuk

menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui

pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.

Di dalam proses manajerial terdapat tiga faktor yang berpengaruh yaitu

antara lain:

a. Pemanfaatan sumber daya organisasi, baik sumber daya manusia maupun

sumber-sumber daya lainnya;

b. Terdapat proses dalam rupa fase-fase yang dimulai dari perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan dan pengimplementasian sampai pada

pengendalian dan pengawasan;

c. Terdapat seni dalam penyelesaian pekerjaan (Sule dan Saefullah, 2009: 3).

Selanjutnya, di dalam proses manajemen tersebut terdapat di dalamnya

elemen-elemen yang senantiasa melekat dan menjadi acuan dalam

pelaksanaan suatu kegiatan mencapai tujuan, para ahli menyebutnya dengan

fungsi-fungsi manajemen (Randal dan Susan, 1999:13). manajemen

mempunyai empat fungsi, yakni perencanaan (planning), pengorganisasian

(organizing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian (controlling). Dari

fungsi dasar manajemen tersebut, kemudian dilakukan tindak lanjut setelah

35
diketahui bahwa yang telah ditetapkan “tercapai” atau “belum Tercapai”

(Abdul Choliq, 2011: 36).

Sedikit berbeda dari pendapat di atas, Hasibuan (2006:38) berpendapat

bahwa fungsi manajemen dapat dibagi menjadi empat bagian, yakni planning

(perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (penggerakan), dan

controlling (pengawasan). Sementara menurut Fayol dalam Safroni (2012:47),

fungsi-fungsi manajemen meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian

(organizing), pengarahan (commanding), pengkoordinasian (coordinating),

dan pengendalian (controlling). Pendapat yang berbeda juga muncul dari

Grifin yang menyatakan bahwa fungsi-fungsi manajemen terdiri dari

perencanaan dan pengambilan keputusan (planning and decision making),

pengorganisasian (organizing), pengarahan (leading) serta pengendalian

(controlling).

Seluruh pendapat tentang fungsi-fungsi manajemen sebagaimana di atas

meski berbeda namun senantiasa dimulai dengan tindak perencanaan

(planning). Selain itu aspek lain yang terdapat dalam fungsi manajemen

berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di antaranya adalah pengorganisasian

termasuk pembentukan struktur dan tim kerja berikut pembagian tugasnya.

Aspek selanjutnya adalah kepemimpinan dan sistem koordinasi. Aspek lain

yang ada pada setiap pendapat tentang fungsi manajemen adalah pengendalian

atau pengawasan.

36
Seluruh kegiatan memerlukan tindakan manajerial guna mewujudkan

tujuannya, termasuk pula transportasi. Studi yang mendalami tindakan

manajerial dalam bidang transportasi adalah manajemen transportasi. Menurut

Nasution (2008:90) manajemen transportasi adalah kegiatan yang

dilaksanakan oleh bagian transportasi atau unit dalam organisasi industri atau

perdagangan dan jasa lain (manufacturing business and service) untuk

memindahkan / mengangkut barang atau penumpang dari suatu lokasi ke

lokasi yang lain secara efektif dan efisien. Sedangkan Menurut Khisty dan

Lall (2006:2) manajemen transportasi adalah sebuah proses perencanaan dan

pengoprasian sistem transportasi ke arah peningkatan akses dan mobilitas arus

kendaraan, barang, dan orang yang maksimal dengan menghemat sumber

keuangan, dan energi sehingga menjaga mutu lingkungan dan kehidupan

Tugas utama dari diselenggarakannya manajemen transportasi adalah

sebagai berikut: Pertama, menyusun rencana dan program untuk mencapai

tujuan dan misi organisasi secara keseluruhan. Kedua, meningkatkan

produktivitas dan kinerja perusahaan; Ketiga, Dampak sosial dan tanggung

jawab sosial dalam mengoperasikan angkutan (Nasution, 2008:12). Sementara

itu, aspek utama manajemen transportasi meliputi tiga aspek utama yaitu:

Pertama, pengaturan, yaitu aspek legal berupa peraturan perundang-

undangan; Kedua, pembinaan, yaitu menyangkut pengawasan dalam sistem

transportasi. Ketiga, pengelolaan, yaitu menyangkut pengendalian dalam

sistem transportasi (Alfonsius, 2017:43).

37
Selanjutnya menurut Nasution (2004:107) pelaksanaan fungsi

manajemen transportasi pada usaha jasa transportasi diwujudkan dalam aspek-

aspek kegiatan berikut: 1) merencanakan kapasitas dan jumlah armada; 2)

merencanakan jaringan trayek/lintas/rute serta menentukan jadwal

keberangkatan; 3) mengatur pelaksanaan operasi armada dan awak kendaraan;

4) memelihara dan memperbaiki armada; 5) melaksanakan promosi dan

penjualan tiket; 6) merencanakan dan mengendalikan keuangan; 7) mengatur

pembelian suku cadang dan logistik; 8) merencanakan sistem dan prosedur

untuk meningkatkan efisiensi perusahaan; 9) melaksanakan penelitian dan

pengembangan perusahaan; 10) menjalin hubungan yang erat dengan instansi-

instansi pemerintah maupun instansi lainnya yang terkait.

Penerapan fungsi manajemen tersebut disesuaikan dengan moda

transportasi yang akan dioperasikan. Papacostas (1987) mengatakan bahwa di

dalam sistem tranportasi dapat ke dalam beberapa kategori yaitu tranportasi

darat, tranportasi udara,tranportasi air dan trasnportasi dalam pipa darat dan

laut. Menurut Sani (2010:38) dalam penerapan fungsi manajemen dalam moda

transportasi darat meliputi rincian sebagai berikut:

a. Perencanaan yang terdiri dari tindakan seperti menginventarisasi dan

mengevaluasi tingkat pelayanan (level of service) lalu lintas, menetapkan

tingkat pelayanan yang diinginkan, menetapkan pemecahan permasalahan

lalu lintas, menyusun rencana dan program pelaksanaan implementasinya

38
b. Pengaturan yang ditujukan pada kegiatan berlalu lintas di jaringan atau

ruas-ruas jalan tertentu, termasuk dalam hal ini meliputi penataan

sirkulasi lalu lintas, penentuan kecepatan maksimum dan atau minimum,

larangan penggunaan jalan, larangan dan atau perintah bagi pemakai

jalan yang tertuang dalam bentuk rambu atau marka.

c. Pengawasan yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk untuk melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan yang ada apakah

dilaksanakan dengan baik oleh pengendara. Berikut merupakan kegiatan

dalam pengawasan, meliputi: pemantauan dan penilaian terhadap

pelaksanaan kebijaksanaan lalu lintas. Selanjutnya kegiatan pemantauan

dan penilaian dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas dari

kebijaksanaan tersebut untuk mendukung pencapaian tingkat pelayanan

yang telah ditentukan. Termasuk dalam kegiatan pemantauan antara lain

meliputi inventarisasi mengenai kebijaksanaan lalu lintas yang berlaku

pada ruas jalan, jumlah pelanggaran dan tindakan koreksi yang telah

dilakukan atas pelanggaran tersebut. Termasuk dalam kegiatan penilaian

antara lain meliputi penentuan kriteria penilaian, analisis tingkat

pelayanan, analisis pelanggaran dan usulan tindakan perbaikan. Selain itu,

tindakan lain yang masuk indakan korektif terhadap pelaksanaan

kebijaksanaan lalu lintas. Tindakan korektif dimaksudkan untuk

menjamin tercapainya sasaran tingkat pelayanan yang telah ditentukan.

Termasuk dalam tindakan korektif adalah peninjauan ulang terhadap

39
kebijaksanaan apabila di dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah

yang tidak diinginkan.

d. Pengendalian dilakukan dengan cara memberikan arahan dan petunjuk

dalam pelaksanaan kebijaksanaan lalu lintas kepada para

pengemudi/masinis/pilot. Proses pengendalian meliputi di antaranya

pemberian arahan dan petunjuk dalam ketentuan ini berupa penetapan

atau pemberian pedoman dan tata cara untuk keperluan pelaksanaan

manajemen lalu lintas. Selanjutnya Pemberian bimbingan dan penyuluhan

kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam

pelaksanaan kebijaksanaan lalu lintas. Sementara pada angkutan lain

pengawasan dan pengendalian dilakukan pada tempat yang sama.

Menurut Kamaluddin (2003: 18-19) transportasi darat terdiri atas

transportasi jalan raya (road transport) dan transportasi jalan rel (rail

transport). Pertama, transportasi jalan raya. Alat transportasi yang digunakan

yakni berupa manusia, binatang, sepeda, sepeda motor, becak, bus, truk, dan

kendaraan bermotor lainnya. Jalan yang digunakan berupa jalan setapak, jalan

tanah, jalan kerikil dan jalan aspal. Tenaga penggerak yang digunakan adalah

tenaga manusia, tenaga binatang, tenaga uap, BBM dan diesel. Kedua,

transportasi jalan rel yakni alat angkut yang digunakan berupa kereta api.

Jalan yang dipergunakan berupa jalan rel baja. Tenaga penggeraknya adalah

berupa tenaga uap, diesel, dan tenaga listrik.

40
Dewasa ini dengan semakin berkembangnya aktivitas masyarakat

mendorong meningkatnya kepadatan pada sistem transportasi darat yang

berujung pada kemacetan. Permasalahan transportasi menurut Tamin (1997:5)

dalam Rifusua (http://lontar.ui.ac.id/, diakses pada 5 September 2020) di

antaranya berkenaan dengan prasarana transportasi yang ada, terkait pula

dengan aspek-aspek sosial ekonomi seperti pendapatan rendah, urbanisasi

yang cepat, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan kuantitas

data yang berkaitan dengan transportasi, kualitas sumber daya manusia,

disiplin yang rendah, dan lemahnya perencanaan dan pengendalian, sehingga

aspek-aspek tersebut memperparah masalah transportasi.

Menurut Sukarto (http://sipil-uph.tripod.com, diakses pada 5 September

2020) penyelesaian masalah transportasi sebagaimana di atas didasarkan pada

pemilihan moda transportasi yang di dalamnya mempertimbangkan syarat-

syarat seperti pemindahan barang dan manusia yang dilakukan dalam jumlah

terbesar dan jarak yang terkecil. Dalam hal ini transportasi massal merupakan

pilihan yang lebih baik dibandingkan transportasi individual.

Menurut LPM ITB (1997) dalam Anas Tahir (2005:2) transportasi

pribadi (private transport) yaitu angkutan yang dimiliki dan dioperasikan oleh

dan untuk kepentingan pribadi pemilik dengan menggunakan prasarana

pribadi maupun prasaran umum. Sedangkan transportasi massal atau angkutan

umum (public transport) adalah angkutan yang dimiliki oleh operator yang

bisa digunakan untuk kepentingan umum dengan prasyarat tertentu.

41
Pemanfaatan sistem angkutan umum atau transportasi massal dilakukan

melalui dua cara yaitu: Pertama, sistem sewa (demand responsive system)

yang mana dalam sistem ini kendaraan dapat dioperasikan baik oleh operator.

maupun oleh penyewa, dalam hal ini tidak ada rute dan jadwal tertentu yang

harus diikuti oleh pemakai. Penggunaannya juga tergantung pada adanya

permintaan. Contoh dari sistem ini adalah jenis angkutan taksi. Kedua, Sistem

penggunaan bersama (transit system) yang mana dalam sistem ini kendaraan

dioperasikan dengan rute dan jadwal yang biasanya tetap dan pasti (Anas

Tahir 2005:3). Namun, di dalam kenyataannya, sistem penggunaan bersama

(transit system) tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu paratransit dan

transit. Sistem penggunaan angkutan umum paratransit adalah kendaraan yang

dioperasikan dengan tidak ada jadwal dan rute yang pasti dan dapat berhenti

(menaikan dan menurunkan penumpang) di sepanjang rutenya, misalnya

seperti angkutan kota. Sedangkan sistem penggunaan berbasis transit adalah

sistem angkutan umum dengan jadwal dan rute yang tetap yang diperuntukkan

bagi semua orang yang telah membayar tarif seperti bus kota, kereta api (Anas

Tahir 2005:3-4).

Bentuk penerapan mekanisme transit dalam pengelolaan bus kota adalah

program Bus Rapid Transit (BRT). Menurut Thomas (2001) dalam Irawati

Ismail Ali, dkk. (2017:3) BRT dapat dikatakan sebagai sebuah sistem yang

mengintegrasikan antara fasilitas, pelayanan, dan kenyamanan yang bertujuan

meningkatkan kecepatan, reliabilitas, dan ciri khas dari angkutan bus. Lain

42
kata, BRT adalah Light Rail Transit (LRT) dalam bentuk bus, suatu

transportasi yang mengombinasikan kualitas transportasi kereta dan

fleksibilitas bus.

Istilah BRT atau yang kerap disebut busway muncul dari penerapan

Amerika Utara dan Eropa. Namun konsep ini juga diadopsi diseluruh dunia

dengan nama yang berbeda-beda seperti Hight- Capacity Bus System, High-

Quality Bus Sistem, Metro Bus, Surface Metro, Express Bus Systems dan

Busway System. Meskipun memiliki istilah yang bervariasi antara satu negara

dengan negara lain, tetapi memiliki prinsip dasar yang sama seperti kualitas

dan pelayanan kendaraan yang bersaing dengan transportasi umum lainya

dengan biaya/tarif yang dapat terjangkau (Irawati Ismail Ali, dkk., 2017:3).

Berdasarkan catatan dari Barton-Ashman Associates (1971), pengembangan

sistem transportasi darat berbasis BRT dipelopori oleh Kota Chicago pada

1937 yang selanjutnya diikuti oleh Washington DC pada 1956-1959.

Pengembangan pertama dalam skala besar dari layanan bus ekspress dimulai

di Curitiba (Brazil) pada tahun 1974. Sejak itu, pengalaman Curitiba telah

memberikan inspirasi pada kota-kota lain untuk mengembangkan sistem

serupa. Pada tahun 1970-an, pengembangan sistem BRT telah terbatas pada

Amerika Utara dan Selatan. Pada akhir tahun 1990-an, reproduksi konsep

BRT mulai tumbuh kembali dan di buka di Quito- Ekuador pada tahun 1996,

Los Angeles- USA pada tahun 1999 dan Bogota Kolombia pada tahun 2000.

Diatas semua, proyek TransMilenio di Bogota mulai beroperasi pada tahun

43
2000 dan keberhasilan nya telah menarik perhatian masyarakat internasional

sebagai contoh sistem BR.

Sementara itu pengembangan BRT secara serius di kawasan Asia

dimulai pada 2004. Jakarta merupakan salah satu kota besar di Asia yang

mula-mula menerapkan sistem ini. Pada tanggal 1 Juli 2004, 3 koridor BRT

sepamjang 37 km telah dibangun di Seoul Korea Selatan.  Pada tangal 25

Desember 2004, tahap pertama komersial BRT diluncurkan di Beijing China

sepanjang 5 km. Di Bangkok, proyek BRT telah diumumkan pada tahun 2004

oleh Gubernur baru di Bangkok Administration (BMA), dan dibuka pada

Oktober 2005. (dalam dishub.jabarprov.go.id, diakses pada 5 September

2020).

BRT dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10

Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis

Jalan (Permenhub No.10 Tahun 2012) disebut dengan istilah angkutan massal

berbasis jalan yang diartikan sebagai sistem angkutan umum yang

menggunakan mobil bus dengan lajur khusus yang terproteksi sehingga

memungkinkan peningkatan kapasitas angkut yang bersifat massal yang

dioperasikan di Kawasan Perkotaan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka

BRT hanya beroperasi pada kawasan perkotaan saja. Kawasan perkotaan yang

dimaksud sebagaimana di atas menurut Pasal 2 Ayat (1) Permenhub No.10

Tahun 2012 meliputi Kawasan Megapolitan, Kawasan Metropolitan, dan

44
Kawasan Perkotaan Besar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Daerah Istimewa Yoyakarta merupakan salah satu daerah yang

menerapkan sistem BRT dalam rupa program Bus Trans Jogja. Pengelolaan

bus dilakukan berdasarkan kerjasama buy the service yang mana pemerintah

daerah berperan sebagai regulator sementara PT Jogja Tugu Trans (PT JTT)

yang selanjutnya diganti oleh PT Anindya Mitra Internasional (PT AMI)

selaku operator. Sementara itu manajemen pelayanan transportasi Bus Trans

Jogja dilakukan oleh operator dengan berpatokan pada berbagai peraturan

yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan (Dishub) DIY.

Operasionalisasi Trans Jogja dimulai pukul 05.30 sampai dengan pukul

22.00 setiap harinya, pihak manajemen menempatkan dua petugas pada halte-

halte tertentu guna melayani penumpang yang menunggu kedatangan bus. Di

dalam bus terdapat dua petugas yakni yang bertugas sebagai supir dan juga

yang memandu naik dan turunnya penumpang. Waktu tunggu bus dengan

trayek yang sama adalah selama maksimal 15 menit, misalnya bus 1A

melintas di shelter X maka untuk menunggu kedatangan bus 1A kembali

dibutuhkan waktu 15 menit, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan oleh

penumpang untuk menggunakan fasilitas Trans Jogja.

Trans Jogja menerapkan sistem tertutup yaitu penggunaan Bus Trans

Jogja hanya dapat dilakukan melalui halte yang telah disiapkan. Sistem

tertutup di atas memiliki kemiripan dengan Trans Jakarta namun berbeda dari

45
Trans Jakarta yang memiliki koridor khusus, sementara itu Trans Jogja belum

memilikinya dan masih begabung dengan kendaraan lainnya. Tarif hanya

sebesar RP. 3500,- dalam satu kali perjalanan dari shelter asal menuju shelter

selanjutnya. Berdasarkan data yang dirilis oleh Dishub DIY, jumlah armada

bus yang dioperasikan oleh PT AMI Yogyakarta adalah sebanyak 117 bus dan

12 bus cadangan.

F. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kebijakan Dishub DIY dan

implementasinya dalam peningkatan pelayanan Bus Trans Jogja. Dalam rangka

menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka peneliti akan berfokus pada

berbagai objek berikut:

1. Kebijakan yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Dinas Perhubungan DIY

dalam usaha peningkatan pelayanan Bus Trans Jogja.

2. Implementasi kebijakan Dishub DIY dalam meningkatkan pelayanan Bus Trans

Jogja berikut faktor-faktor yang turut mempengaruhi proses implementasi

tersebut seperti regulasi dan keputusan misalntya berkaitan dengan peraturan

Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012 tentang Standar Minimal

Pelayanan Angkutan Massal Berbasis yang mengatur tentang keamanan,

keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan menjadi

tolak ukur kualitas pelayanan, sumber daya berupa transportasi maupun

telekomunikasi, birokrasi, dan kualitas sumber daya manusia yaitu individu

produktif.

46
3. Struktur kelembagaan yang mengatur dan melaksanakan pelayanan Bus Trans

Jogja;

4. Berbagai struktur pendukung di pemerintah yang terkait dengan dengan

kebijakan dan implementasinya dalam hal peningkatan pelayanan Bus Trans

Jogja.

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Lexi J. Moleong

(2011) penelitian deskriptif kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati dimana metode yang digunakan

menekankan pada proses penelusuran data/infornasi hingga dirasakan telah

cukup digunakan untuk membat suatu interpretasi.

2. Unit Analisis
Obyek dari penelitian ini adalah informasi mengenai implementasi kebijakan

dinas perhubungan DIY dalam peningkatan kualitas layanan bus trans Jogja.

Subyek penelitian merupakan segala hal yang terkait dengan orang-orang

yang dapat memberikan informasi. Teknik yang digunakan untuk menentukan

informan dengan cara teknik Purposive yaitu mengambil sample sumber data

berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh peneliti dalam penentuan narasumber

yang dianggap relevan untuk dapat memberikan informasi mengenai

47
implementasi kebijakan Dinas Perhubungan DIY dalam peningkatan kualitas

layanan bus trans Jogja. Berikut daftar informan dalam penelitian ini adalah:

a. Pejabat Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai

implementator kebijakan

b. Pihak PT AMI (Anindya Mitra Internasional)

c. Supir bus trans Jogja

d. Petugas yang membantu supir di dalam trans jogja

e. Penumpang bus trans Jogja

f. Petugas halte trans Jogja

H. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah:

1. Wawancara
Menurut Lexy Lexi J. Moleong (2010), wawaancara adalah

percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua

pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan

yang terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

itu. Beberapa ciri dari wawancara ialah dilakukan secara tatap muka,

dilakukan dengan tujuan mengumpulkan data dan fakta.

Melalui wawancara ini peneliti akan menggali informasi dan data

dari subyek penelitian. Wawancara akan dilakukan kepada pihak dinas

perhubungan, pegawai trans Jogja maupun para penumpang trans Jogja.

48
2. Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2011), Dokumentasi adalah catatan peristiwa yang

sudah berlalu. Dokumentasi bisa berbentuk tulisan,gambar atau karya

monumental. Dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

berkaitan dengan intansi terkait yaitu dinas perhubungan DIY, di dalam

trans jogja maupun hal lain yang berkaitan dengan penelitian.

I. Teknik Analisis Data


Sugiyono (2017) mengemukakan bahwa analisis data ialah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari

wawancara,catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting

akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri

sendiri maupun orang lain.

Langkah-langkah menganalisis data dalam penelitian ini adalah:

a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara,observasi dan

dokumentasi

b. Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu proses dimana data yang diperoleh dari

lapangan tersebut dilakukan reduksi,dirangkum dan dipilih hal hal yang

pokok dan difokuskan pada hal-hal yang penting serta disusun secara

49
sistematis dengan tujuan agar data tersebut menjadi lebih mudah

dipahami.

c. Penyajian Data
Penyajian data merupakan tampilan atau laporan yang merupakan

informasi yang diperoleh sebagai hasil dari reduksi data yang

memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Pada penelitian ini data disajikan secara sistematis dalam bentuk uraian

deskriptif.

d. Penarikan Kesimpulan
Langkah terakhir dalam analisi data adalah penarikan kesimpulan dan

verifikasi. Penarikan kesimpulan penelitian dilakukan sesuai dengan data-

data yang diperoleh dalam penelitian dan telah dianalisis. Kesimpulan

dalam hal ini merupakan jawaban dari rumusan pertanyaan penelitian

yang dicari selama proses penelitian.

50
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Salim. 2000. Manajemen Transportasi. Cetakan Pertama. Edisi Kedua.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Choliq, Abdul. 2011. Pengantar Manajemen. Semarang: Rafi Sarana Perkasa.

Hasibuan, S.P. Malayu, 2004. Manajemen Dasar,Pengertian, dan Masalah. Jakarta:


Penerbit Bumi Aksara.
Abdul Wahab, Solichin, 2011. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta:Sinar Grafika.

Agustino, Leo, 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik, Bandung:Alfabeta.

Dwijowijoto, Ryant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan


Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Dye, Thomas R. 2011. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.

Fadilah, S. 2012. “Pengaruh Implementasi Pengendalian Intern dan Total Quality


Management terhadap Kinerja Organisasi”. MIMBAR, Vol. XXVIII No. 1.

51
Islamy, Irfan. 2009. Prinsip- prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara:
Jakarta.

Kamaluddin. 2003. Ekonomi Transportasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Khisty & Lall (2006). Dasar-Dasar Rekayasa transportasi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Miro, Fidel. 2004. Perencanaan Transportasi untuk Mahasiswa, Perencana dan


Praktisi. Jakarta: Erlangga.
Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Moleong, Lexy J. (2010), Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,


Bandung
Nasution . 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Cetakan

kedua belas. Jakarta : Bumi Aksara.

Qalyubi, Syihabuddin dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi.


Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Fakultas
Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Randal S. Schuler and Susan E. Jacksen, Manajemen Abad 21, (Jakarta: Erlangga,
1996).

Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2005.Manajemen Pelayanan. Yogyakarta:Pustaka


Pelajar.

Shandy Ibnu Zakaria dan Sri Rahayu Tri Astuti, 2013, Analisis FaktoR-Faktor Yang
Mempengaruhi Kepuasan Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Transportasi
(Studi Kasus Pada Pengguna Bus Trans Jogya di Kota Yogjakarta),
Diponegoro Journal Of Managemen, Vo. 2 Nomer 3 Tahun 2013 ISSN
2337- 3792. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/djom/article/view/3229

Safroni, Ladzi. 2012. Manajemen dan Reformasi Pelayanan Publik dalam Konteks
Birokrasi Indonesia. Surabaya: Aditya Media Publishing.

52
Soesilo, Nining I. 1999. Ekonomi Perencanaan dan Manajemen Kota. Jakarta:
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia.
Sule, E. T., dan Saefullah, K. 2010. Pengantar Manajemen. Edisi 1. Jakarta: Kencana
Predana Media Group.

Sukarto, Haryono. 2006. Transportasi Perkotaan dan Lingkungan. Jurnal Teknik


Sipil Vol.3 No.2.

S. Schuler, Randall dan Susan E. Jackson. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia
(Menghadapi Abad Ke-21). Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Suandi, I Wayan. 2010. Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum Dalam


Pemerintahan Daerah. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Udayana bali. Vol.I No. 01, Tahun 2010.

Subarsono, AG. (2010). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suharno. (2010). Dasar-dasar Kebijakan Publik (kajian proses dan analisis


kebijakan). Yogyakarta: UNY Press.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


Afabeta.

Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Syafiie dkk, Inu Kencana, 1999. Ilmu Administrasi Publik, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Tangkilisan, Hessel Nogi S. M.Si, Drs. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi,
Konsep, Strategi dan Kasus, Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI.

Widodo, Joko. 2001. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik. Malang: CV. Citra
Malang.

Winarno, Budi. 2007, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta:Med Press
(Anggota IKAPI).

http:e-journal.uajy.ac.id/1881/3/2KOM02985.pdf

53
Karetji, Y. N. . (2017). Kebijakan Operasional Bus Angkutan Umum Trans Jogja
sebagai Alternatif Mengurangi Kemacetan Arus Lalulintas di Kota Yogyakarta
dan Sekitarnya. 14(2), 89–97.

Putu, M., & Kusmarianto, C. (2009). Implementasi Peraturan Daerah Kota


Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 Tentangnpenyelenggaraan Parkir 234
Volume Iv Nomor 2 Desember 2015 Volume Iv Nomor 2 Desember 2015 235. Iv,
234–252.
Albizzia, O., Sulistiana, U., & Supardal. (2016). Efektivitas Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 64 Tahun 2013 Dalam Mewujudkan Ruang Terbuka Hijau
Publik Kota Yogyakarta. 130–141.

Ali, I. I., Akmal, M. I., Alfisyahrin, A. L., Indrawan, N. F., & Tikson, S. D. S. (2017).
MAKASSAR SMART TRANSPORTATION : Penerapan Mamminasata Apps
dan Mamminasata Card guna optimalisasi Bus Rapid Transit ( BRT ) Kota
Makassar. Jurnal Bisnis, Manajemen Dan Informatika, 14(1), 1–13.

Sukarto, H. (2006). Pemilihan Model Transportasi Di Dki Jakarta Dengan Analisis


Kebijakan “ Proses Hirarki Analitik .” Jurnal Teknik Sipil, 3(1), 25–36.
Tahir, A. (2005). Angkutan Massal Sebagai Alternatif Mengatasi Persoalan
Kemacetan Lalu Lintas Kota Surabaya. Jurnal SMARTek, 3(Massal, Angkutan
Alternatif, Sebagai Persoalan, Mengatasi Lalu, Kemacetan Kota, Lintas), 1–.14

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Jalan dan Lalu Lintas.
Lembaran Negara Republik Indonesia 2009 Nomor 96.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Lembaran Negara


Republik Indonesia 2009 Nomor 112.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Tahun 10 Nomor 2012 tentang
Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan. Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 133.

54
Peraturan Daerah DIY Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pelayanan Publik Lembaran
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 Nomor 5. Noreg Peraturan Daerah
Daerah Istimewa: (5/14).

Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2017 tentang Jaringan Trayek Perkotaan Trans
Jogja. Berita Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2017 Nomor 17.
Keputusan Gubernur DIY No.80/KEP/2017.

Kesepakatan Bersama (MoU) dengan Nomor17/KES.BER/GUB/2007(052/K/ORG-


DIY/VIII/2007).

https://sengguh.jogjaprov.go.id

http://www.kabarjogja.id/

www.bps.go.id

https://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwk--jumlah-pelapor-layanan-publik-ke-

ombudsman-diy-2019-naik-3-persen

http://dishub.jabarprov.go.id/artikel/view/566.html

https://media.neliti.com/media/publications/221994-angkutan-massal-sebagai-

alternatif-menga.pdf

https://www.solopos.com/transportasi-jogja-lajur-khusus-terlalu-sulit-terwujud-

muncul-wacana-bus-lane-906061

https://www.krjogja.com/berita-lokal/diy/yogyakarta/subsidi-besar-layanan-trans-

jogja-harus-baik/

http://ojs.balitbanghub.dephub.go.id

https://dishub.jogjaprov.go.id

https://digilib.fisipol.ugm.ac.id/api/files/79d65344-7060-4e7d-82c5-7750608ee2ef/

skripsi_Gustraprasaja_G_J__Buy_The_Service.pdf

55
PANDUAN WAWANCARA

Bagian A

1. Bagaimana bentuk kebijakan dari dinas perhubungan terkait dengan upaya


peningkatan pelayanan transjogja
2. Adakah kebijakan khusus dalam peningkatan pelayanan trans jogja ?
3. Apakah ada rencana Kebijakan yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan
DIY dalam usaha peningkatan pelayanan Bus Trans Jogja.
4. Sejauh ini kebijakan terkait dengan peningkatakan pelayanan trans jogja
apakah sudah berhasil?
5. Dalam mengukur efektivitas
6. Jika sudah ada kebijakan terkait peningkatan pelayanan trans Jogja, sudah
Sejauh mana kebijakan ini diimplementasikan?

56
7. Apakah trans jogja ada kaitannya dengan peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 10 Tahun 2012 tentang Standar Minimal Pelayanan Angkutan
Massal?
8. Bagaimana kebijakan-kebijakan yang dibuat dishub ada kaitan dengan PT
AMI?
9. Kebijakan seprti apa dalam peningkatan kualitas pelayanan Trans Jogja?
10. Bagaimana bentuk kerjasama PT AMI dengan dinas perhubungan dalam
rangka peningkatan kualitas pelayanan trans jogja?
11. Hubungan kerjasama seperti apakah yang terbangun antara PT AMI

Bagian B

1. Bagaimana Implementasi kebijakan Dishub DIY dalam meningkatkan


pelayanan Bus Trans Jogja
2. Berkaitan dengan peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012
tentang Standar Minimal Pelayanan Angkutan Massal Berbasis yang
mengatur tentang keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan,
kesetaraan dan keteraturan menjadi tolak ukur kualitas pelayanan apakah
telah diterapakan dengan baik ? buktinya seperti apa?
3. Bagaimana bentuk konkret terkait kebijakan yang berfokus pada
keterjangkauan di dalam kualitas pelayanan trans jogja ?
4. Bagaimana bentuk konkret terkait kebijakan yang pada keteraturan guna
meningkatkan kualitas pelayanan transjogja
5. Apa saja kendala dalam melakukan implementasi kebijakan terkait dengan
peningkatan pelayanan trans jogja
6. Bagaimana menangani kendala –kendala dalam implementasi kebijakn
7. Bagaimana evaluasi yang dilakukan terkait implementasi kebijakam yang
telah dilaksanakan ?

Bagian C

1. Bagaimana susunan/Struktur kelembagaan yang mengatur dan


melaksanakan pelayanan Bus Trans Jogja
2. Bagaimana pembagian tugas secara umum dalam rangka meningkatkan
pelayanan trans jogja
3. Bagaimana bentuk kepemimpinan yang diselenggarakan terkait dengan
upaya meningkatakan pelayanan trans jogja ?

57
4. Bagaimana sistem koordinasi dalam semua lembaga yang mengurus trans
jogja ?
5. Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan para pemnangku kebijakan
guna meningkatkan pelayanan trans jogja

Bagian D

1. Bisa dijelakan terkait struktur pendukung di pemerintah yang terkait dengan


dengan kebijakan dalam hal peningkatan pelayanan Bus Trans Jogja?
2. Bagaimana bentuk bentuk kerja yang dilakukan struktur pendukung dalam
rangka meningkatkan pelayanan trans jogja
3. Bagaimana cara pihak yang berada di struktur pendukung di pemerintah
melakukan pengoperasiaan program kerja ?

58

Anda mungkin juga menyukai