Anda di halaman 1dari 122

p

7 f

I. "1 ajwwirjif't'i'jti

S3 Scriiil liiikii Dimil Hnij Ki'-KiH

rn>

PantluanfLengk^ffl
: C ■

r
^

w
1 1
^ ^ f 7 ? .
tl /

T r
%!

Al-hafizh Abdurrahman bin AH bin al-Jauzi


DAlOILtUQ
'i
A !»

w
I

t/7* "t
ST
hidiantoiito

SHALAT
WAHiffi
Perpustakaan Nasionat R1: Katalog I^lam Terbttan (KOT)

Al-Unazzi, Mxlullah bln Za'I


Shalat Sunnah Rawatib /Abdullah bin Za'I
a!-Unazzi; penerj^ah, Ahmad Syaikhu ;
murajaah, tJm pustaka DH. -Jakarta :Darul Haq,
2006.
X+110 him.; 17,5 cm

Judul Asli: Ahkam as-Sunan ar*Rawatib


ISBN 979-3407*95-6

1. Shalat sunat I. Judul. II. Ahmad

Syaikhu. III. Tim Pustaka DH.

297.412 21
Judul Asli:
Ahkam as-Sunan ar-RawatIb

Penulis:
Abdullah bin Za'I al-Una22l

Penerbit:

Dar al-QasIm
Teip. 4092000 Faks. 40331S0
Po. Box 6373 Riyadh 11442

Edisi Indonesia:

Panduan Lengkap
S H A L AT SUNnAH R AWAT I B

Penerjemah:
Ahmad Syaikhu, S.Ag

Muraja'ah:
Ti m P u s t a k a D H

Setting &Desain Sampul:


O H G r a fi k a

Penerbit;

DARUL HAQ, Jakarta


Karens yang Haq lebih Utama untuk Diikuti
Telp. (021) 92772244 -4701616 /Faks. (021) 47882350
www.darulhaq.com
E-mall: lnfo@darulhaq.com
Cetakan I, Ramadhan 1427 H. /Oktober 2006 M.

Dilarang memperbanyak isi buku ini lanpa izin terlulis dari penerbit
All Rights Reserved *
Hak terjemahan dilindungi undang-undang
D A F TA R I S I

MUKADDIMAH 1

BAB P E RTA M A :

TENTANG KEUTAMAAN SHALATSUNNAH RAWATIB,


JUMLAH, KEDUDUKAN DAN WAKTUNYA 9

1. Hadits-hadits yang Menyebutkan Tentang Keuta-


maan Shaiat Sunnah Rawatib 9

2. Jumlah Shaiat Sunnah Rawatib 11

3. Apakah Shaiat Ashar Ada Sunnah Rawatibnya?... 16

4. Sunnah-sunnah Rawatib yang Paling Ditekankan... 19

5. Apa yang Menjadi Kekhususan Sunnah Rawatib


Fajar 2 3

6. Bacaan dalam Sunnah Maghrib 3 1

7. Apakah Shaiat Sunnah Empat Rakaat Sebelum


Zhuhur dengan Satu Salam atau Dua Salam?.... 3 2

8. Shaiat Sunnah Rawatib Jum’at 3 6

9. Apakah Ada Shaiat Sunnah Rawatib Sebelum


Jum'at? 3 9

10. Shaiat Sunnah Rawatib Pada Saat Bepergian.... 4 7

11. Tempat Pelaksanaan Shaiat Sunnah Rawatib .... 50

vii
12. Waktu Shalat Sunnah Rawatib 54

13. Hikmah Adanya Sebagian Sunnah Rawatib Sebelum


Shalat dan Sebagian Lainnya Sesudah Shalat... 55

BAB KEDUA:

MENGQADHA SHALAT SUNNAH RAWATIB 5 7

1. Qadha Shalat Sunnah Rawatib 57

2. Mengqadha Sunnah-sunnah Rawatib Pada Waktu


6 0
yang Dllarang
3. Kapan Sunnah Fajar Diqadha? 6 3

4. Jika Shalat Shubuh Beijamaah Sudah Terlewat,


Apakah Memulai dengan Sunnah Rawatib ataukah
Fardhu?..... 67

5. Tertib Dalam Qadha 67

6. Mengqadha Shalat Sunnah Rawatib yang Terlewat,


Jika Banyak 6 8

BAB KETIGA:
TENTANG MENYATUKAN ANTARA SUNNAH RAWATIB
DAN SHALAT-SHALAT SUNNAH LAINNYA 7 0

1. Menyatukan Antara Shalat Sunnah Rawatib dengan


Tahryyatul Masjid dan Sunnah Wudhu 70

2. Menyatukan Antara Rawatib Fajar dengan Shalat


Isyraq (Setelah Terbit Matahari Setinggl Tombak) 71

3. Menyatukan Antara Rawatib dengan Dua Rakaat


Thawaf 72

4. Menyatukan Antara Dua Rakaat Dhuha dan Rawatib


Fajar, Jika Melaksanakannya Pada Waktu Dhuha 73

viii
5. Menyatukan Antara Rawatib Isya' dengan Dua
Rakaat Pertama Shalat Tarawih 74

6. Menyatukan Antara Rawatib dan Dua Rakaat


Istikharah 76

7. Apakah Sunnah Dua Fardhu Boleh Dijama' dengan


Satu Niat? 7 8

BAB K E E M PAT:

MEMULAI SHALAT SUNNAH RAWATEB DAN MEMUTUS-


KANNYA : 79

1. Menentukan Niat Shalat Sunnah Rawatib Sebelum


Memulainya 79

2. Memutus Shalat Sunnah Tanpa Udzur 8 0

3. Memulai Rawatib Setelah Iqamat 8 0

4. Memutus Shalat Sunnah Rawatib Ketika Iqamat


Shalat 84

5. Jika Seseorang Tahu Bahwa Shalat Sebantar Lagi


Diiqamatkan, Apakah la Boleh Memulai Shalat
Sunnah? 85

BAB KELIMA:

PERSOALAN-PERSOALAN LAINNYA 86

1. Memisah Antara Fardhu dan Sunnah 86

2. Mengangkat Tangan Ketika Berdoa Setelah Shalat


Sunnah Rawatib 89

3. Shalat Sunnah Rawatib dengan Duduk 90

4. Shalat Sunnah Rawatib di Atas Kendaraan 92

5. Shalat Sunnah Rawatib Berjamaah 93

ix
6.
Kapan Melaksanakan Shalat Sunnah Rawatib,
Jlka Seseorang Menjama* Dua Shalat? 9 7
7.
Mendahulukan Dztkir-dzikir Shalat Daripada Sunnah
Rawatib (Ba'diyah) 9 8
8. Istighfar dan Dzikir-dzikir Sesudah Shalat Sunnah
Rawatib 101
9. Apakah Seseorang Mengerjakan Shalat Sunnah Ra¬
watib Ataukah Mendengar Mau'izhah (Nasihat)?... 101
10.
Seseorang SIbuk Menghormatl Tamu Sehingga
TIdak Mengerjakan Sunnah Rawatib..! 101
11 .
ShalatSunnahyangDikeijakanSeorangPegawai,
Balk Rawatib Maupun yang Lainnya 102
12. Membuat Jadwal Untuk Muhasabah Diri Berke-
naan dengan Shalat Fardhu dan Shalat Sunnah
Rawatib 102
13. Meninggalkan Sunnah-sunnah Rawatib Bukan
Kefasikan 104

PENUTUP... 105
REFERENSI 106

X
M U K A D I M A H

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat


dan Salam semoga terlimpah atas RasulNya al-Amin
(yang terpercaya), serta atas keluarganya dan para saha-
batnya semuanya. Amma ba'du.
Di antara hikmah dan rahmat AUah atas para ham-
ba-Nya ialah Dia mensyariatkan imtuk mereka amalan
sunnah (tathaivjim'), dan menjadikan untuk setiap ibadah
wajib berupa amalan sunnah dari jenisnya agar menjadi
penyempuma terhadap kekurangan yang terdapat pada
amalan-amalan fardhu. Dari Abu Hiurairah -4^, dari Nabi
beliau bersabda.
^ ^ ^ 0

9 ^
^It A
4Jc—IxS^ 4 Jl
J a ! ) w ?

(5;^ * 4 ^ 0-^*'

1
rawatib adalah surmah dan bukan fardhu. Tetapi, seba-
g a i m a n a disebutkan dalam hadits, amalan-amalan sun-
nah tersebut dapat menyempurnakan amalan-amalan
fardhu. la merupakan faktor kecintaan Allah kepada
hamba. Mengerj^annya berarti meneladani Nabi
Oleh karena itu, orang mukmin semestinya memelihara-
nya dan memperhatikannya, sebagaimana Nabi Mmem-
perhatikannya di samping sunnah Dhuha, Tahajjud
pada malam hari dan Witir. Orang mukmin memper-
hatikan dan memelihara semua ini."^
Saudaraku tercinta!

Karena urgensinya ibadah ini dan dikerjakan secara


berulang-ulang setiap kali mengerjakan shalat-shalat far¬
dhu, maka saya ingin menjelaskan sebagian dari hukum-
hukumnya secara ringkas dengan hanya mendasarkan
pada sabda sebaik-baik manusia, yakni R^ulullah dan
pernyataan para imam terkemuka Mereka telah
menjelaskan dengan sangat baik dan penuh manfaat.
Keadaan mereka dengan orang-orang selain mereka
adalah sebagaimana dalam perumpamaan: "Dengan ter-
bitnya matahari, anda tidak perlupelita lagi." Risalah
ini berisikan lima Bab sebagaimana berikut ini:
Bab pertama, tentang keutamaan shalat sunnah m -

zvatib, ju^ah, tempat dan waktunya. Dalam bab ini ter-


dapat 13 permasalahan:
Pertama, hadits-hadits tentang keutamaan shalat

‘MaJmu'Fatawa wa MaqalatMutanawwl’ah{\\l'2%\).

3
sunnah rawatih.

Kedua, jumlah shalat simnah rawatih.


Ketiga, apakah shalat Ashar memiliki suimah roiwj-
fi h ?

Keempat, sunnah-sunah rawatih yang paling ditekan-


kan {mu'akkad).
Kelkna, apa yang mergadi kekhnsusan shalat sunnah
rawatih Fajar?
Keenam, bacaan dalam siinnah Maghrib.
Ketujuh, apakah shalat empat rakaat sebelum Zhuhur
itu dengan satu salam atau dua salam?
Kedelapan, sunnah rawatih Jum'at.
Kesembilan, apakah ada shalat sunnah rawatih sebe-
lum Jum'at?
Kesepuluh, shalat sunnah rawatih pada saat beper-
gian.
Kesebelas, tempat pelaksanaan shalat sunnah r a ¬

watih.

Kedua belas, waktu shalat sunnah rawatih.


Ketiga belas, hikmah adanya sebagian sunnah r a w a -
tib sebelum shalat dan sebagian lainnya sesudah shalat.
Bab kedua, mengqadha shalat sunnah rawatih. Di
dalamnya terdapat enam permasalahan:
Pertama, qadha shalat sunnah rawatih.
Kedua,mengqadhasunnah-sunnahrawatihpada

4
waktu yang dilarang.
Ketiga, kapan sunnah Fajar diqadha?
Keempat, jika shalat Shubuh berjamaah sudah ter-
lewat, apakah memulai dengan sunnah razvatib ataukah
fardhu?

Kelima, tertib dalam qadha.


Keenam, mengqadha shalat sunnah rawatih yang
luput jika banyak.
Bab ketiga, tentang menyatukan (niat) antara sun¬
nah rawatib dan shalat-shalat sunnah lainnya. Menge-
nai hal ini terdapat tujuh permasalahan:
Pertama, menyatukan antara shalat sunnah rawatih
dengan tahiyatiil masjid dan sunnah wudhu.
Kedua, menyatukan antara sunnah rawatib Fajar
yang diqadha' dengan shalat Isyraq (setelah terbit ma-
tahari setinggi tombak).
Ketiga, menyatukan antara shalat sunnah raxvatib
dengan dua rakaat thawaf.
Keempat, menyatukan antara dua rakaat Dhuha dan
sunnah rawatib Fajar, jika melaksanakannya pada waktu
Dhuha.

Kelima, menyatukan antara sunnah rawatib Isya'


dengan dua rakaat pertama shalat Tarawih.
Keenam, menyatukan antara shalat sunnah rawatib
dengan dua rakaat Istikharah.
Ketujuh, apakah sunnah rawatib dua fardhu boleh

5
dijama' dengan satu niat?
Bab keempat, tentang memulai shalat sunnah ra-
watib dan memutuskannya. Mengenai hal ini terdapat
lima permasalahan:
Pertama, menentukan niat shalat sunnah rawatib
sebelum memulainya.
Kedua, memutuskan shalat sunnah, tanpa udzur.
Ketiga, memulai siinnah rawatib setelah iqamat.
Keempat, memutuskan shalat sunnah rawflhb keti-
ka iqamat shalat.
Kelima, jika seseorang tahu bahwa shalat sebentar
lagi diiqamatkan, apakah ia boleh memulai shalat sunnah?
Bab kelima, masalah-masalah beragam. Mengenai
hal ini terdapat 13 permasalahan:
Pertama, memisah antara fardhu dengan sunnah
rawatib.

Kedua, mengangkat tangan ketika berdoa setelah


shalat sunnah rawatib.

Ketiga, shalat sunnah rawatib dengan duduk.


Keempat, shalat sunnah rawatib di atas kendaraan.
Kelima, shalat sxmnah rawatib berjamaah.
Keenam, kapan seseorang meiaksanakan shalat sun¬
nah rawatib, ia menjama' dua shalat?
Ketujuh, mendahulukan dzikir-dzikir shalat daripada
sunnah rawatib (ba'diyah).

6
$UiA'

Kedelapan, isti^ifar dan dziJkir-dzikir sesudah shalat


sunnah rawatib.

Kesembilan, apakah seseorang mengerjakan shalat


sunnah rawatib ataukah mendengar nasihat (mau'izhah)?
Kesepuluh, seseorang sibuk menghormati tamu se-
hingga tidak mengerjakan simnah rawatib.
Kesebelas, shalat sunnah yang dikerjakan seorang
pegawai, baik sunnah rawatib maupim yang lainnya.
Kedua belas, membuat jadual vmtuk evaluasi diri
berkenaan dengan shalat fardhu dan shalat sunnah ra~
watib.

Ketiga belas, meninggalkan sunnah-sunnah rawatib


bukan kefasikan.

Dan Penutup
Saya merasa telah mencurahkan segenap kemampu-
an saya imtuk menghimpim semua materi ini dan me-
nyusurmya. Bila ada yang benar maka itu berasal dari
Allah semata, dan Dia memiliki anugerah serta karunia.
Adapun kesalahan pasti ada, bukan mustahil, dan bukan
suatu yang aneh bila teijadi pada manusia, sebagaimana
kata seorang penyair:
Aku tidak bisa mewbebaskan diriku

karem sesungguhnya aku manusia


Aku lupa dan salah selagi takdir tidak menjagaku
Tidakkah anda melihat udzur yang Jebih utama
bagi orang yang melakukan kesalahan

7
Daripada tnengucapkan pengakmn bahzm
aku adalah rmnusia

Kepada Allah-lah aku memohon agar menjadikan


amal ini ikhlas karena WajahNya semata, dan menjadi¬
kan amal ini bermanfaat di dunia dan akhirat. Sesung-
guhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan
doa.

Semoga shalawat dan salam terlimpah atas Nabi kita


Muhammad, serta atas keluarganya dan para sahabatnya.

8
Pt/ j°rfTTfr

keutamaan shaiat
SUNNAH EAWATIB, JUMIAH,
T E M PAT D A N WA K T U N YA

1. HaditS'Hadits yang Menyebutkan Tentang Keuta-


maan Shaiat Sunnah Rawatib

Banyak hadits yang menyebutkan tentang keutama¬


an shalat-shalat simnah rawatib, di antaranya ada yang
menyebutkan tentang keutamaan shaiat sunnah raxvatib
secara umum dan ada pula yang menyebutkan keutama¬
an orang yang melaksanakan shalat-shalat sunnah ter-
sebut.

Di antaranya, secara ringkas, ialah:


1. Hadits dari Uirunu Habibah la mengatakan,
Aku mendengar RasuluUah Mbersabda.
^

'Barangsiapa yang shaiat dua betas rakaat dalam sehari

9
i^wA'4

semalam, maka dibangunkan untuknya sebuahrumahdi


surga'."^
Ummu Habibah mengatakan, "Aku tidak pemah me-
ninggalkannya sejak aku mendengamya dari Nabi
Anbasah mengatakan, "Aku tidak pemah meninggal-
kannya sejak aku mendengarkannya dari Ummu Habi¬
bah."

Amr bin Aus mengatakan, "Aku tidak pemah me-


ninggalkannya sejak aku mendengarkannya dari Anba¬
sah."

An-Nu'man bin Salim mengatakan, "Aku tidak per-


nah meninggalkannya sqak aku mendengarkannya dari
Amr bin Aus."

Ash-Shan'ani berkata, "Sepertinya yang dimaksud


ialah dalam setiap hari dan malam, bukan dalam suatu
hari dan suatu malam saja (sementara hari-hari dan ma-
lam-malam lainnya tidak pemah dikerjakan, pent)." ^
2. Dari Aisyah dari Nabi beliau bersabda,

"Dua rdkaat (sunnah)Fajar itu lebih haik daripada dunia


berikut segcda isinya."
Dalam suatu riwayat.

‘HR. Muslim (728).


^Subu!as-Salamima).

10
\jji\ ‘Ji Li-f iijj
"Sungguh kedmnya lebihakucintaidaripadaduniaselu-
ruhnya. " 1
3. Dari Ummu Habibah ia mengatakan, "Aku
mendengar RasuluUah ^bersabda,
9yy A yy y y9yyyy
.y y9^

K* j>- UbJju

_,l3i
'Barangsiapa yang memelihara empat rakaat sebelum Zhu-
hur dan empat rakaat sesudahnya, maka Allah mengha-
ramkan neraka baginya'."^
Asy-Syaukani mengatakan, "Hanya orang yang
"3
memelihara shalatlah yang diharamkan ihasuk neraka.
2. Jumlah Shalat Sunnah Rawatib

Hadits Ummu Habibah yang telah lalu menur^uk-


kan bahwa shalat sunnah rawatib berjumlah 12 rakaat
Penjelasan mengenai 12 rakaat ini disebutkan dalam ri-
wayat at-Tirmidzi dan an-Nasa'i. Dari Aisyah ia me¬
ngatakan, "RasuluUah Hbersabda,

‘HR. Muslim (725).


^HR. Ahmad (6/325); Abu Daud (1269); at-THmidzi (428); an-Nasa’l (1814); Ibnu Majah
(1160). At-Tlnrtdd mengatakan, Inladal^ hadits
Ini iisfiahlHnan Ahmad Syakir dan al-AIbanL Syakh Ibnu Baz menUal sanadnya bagus dan
kuat berdasarkan semua Jalur periwayatannya. Sementara sanad Ahmad sesuai krtterla
asti-ShahIfi Uhat; Hasylyah Syaikh Abdul Aziz bln Baz atas Butugh ahMafam (1/ 256).
’Nallal-Authar{^IZQ).

11
^ P ✓
' A a

^ LS^ 4^1 4iTj Js> j)\j ^

■!r^jj t^AJOu t^^^JaJl


(J*
^ P
Ci*’li^j
^-i isIssJl
^jf
>iji j;i jjj c
'Barangsictpa yang tekun melaksanahm 12 rakaat shalat
sunnah, nuika Allah rmnibangunkan untuknyasebuah ru-
mah di surga: empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua ra¬
kaat sesudahnya, dm rakaat sesudah Maghrib, dm rakaat
sesudah Isya', dan dm rakaat sebelum Fajar (Shubuh)'."^
Diriwayatkan dengan shahihjugabahwajumlahnya
10 rakaat sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar la
mengatakan,
IoIaS^j aJLp *0)1 ^ C-ltf
A.«Ji Jju
Jc;s .^1 ji ^ J

0 ^

S^Cr- jj ^ X r J J
0j

I t

Aku hafal dari Nabi Msefmluh rakaat: dm rakaat sebe¬


lum Thuhur dan dm rakaat sesudahnya, dm rakaat sesu¬
dah Maghrib di rumahnya, dm rakaat sesudah Isya' di

‘HR. at-Tlrmldzi (414). Syaikh Ahmad Syakir mengatakan, "Hadits ini hasan atau sftahffi"
Juga diriwayatkan an-Nasa'i (1794). Hadits Ini dls/?a/>/^n al-Albani, dan sanadnya
d\fjasarkan oleh Syaikh Ibnu Baz. Uhat, Hasytyah Syaikh Abdul Aziz bin Baz ala Bu/ugft
at-Maram (1/256).

12
rutnahnya, dan dm rahmt sebelum shalat Shubuh.
Dan dari Aisyah

J? jJ J? JS/ OlS^ ^ill


"Bahwa Nabi 0tidakpemah meninggalkan empat rakaat
sebelum Zhuhur dan dim rakaat sebelum Shubuh." 2

At-Tirmidzi berkata, "Ini yang diamalkan menurut


mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi ^dan
generasi sesudah mereka, mereka memilih agar seseorang
mengerjakan shalat empat rakaat sebelum Zhuhur. Ini
adalah pendapat Sufyan ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak,
" 3
Ishaq dan penduduk Kufah.
An-Nawawi berkata, "Para sahabat kami dan
selainnya mengatakan, perbedaan hadit-hadits menge-
nai jumlahnya bisa diartikan bahwa dalam persoalan
tersebut ada keleluasaan. Ada yang minimal dan ada
yang lebih sempurna, dan prinsip sunnah tercapai de-
ngan mengerjakan yang paling minimal. Tetapi yang
terbaik ialah mengerjakai\ yang paling sempurna. Hal
ini sama dengan perselisihan hadits-hadits tentang shalat
Dhuha dan juga dalam hadits-hadits tentang shalat Wi-
tir. Dalam semua hadits-hadits itu disebutkan jumlah
paling minimal dan yang paling maksimal serta yang
pertengahan, imtuk menunjukkan batasan minimal se-

‘MR. al-Bukhari(1180).
^HR. al-Bukhari (1182).
*Sunan at-Tlrmldzl, (92). (cet. SalfulAfkar ad-Daullyah)

13
$4*^

seorang berhak meraih pokok sunnah, yang paling sem-


pnma, dan yang pertengahan. Wallahu a'lam."^
Ibnu al-MuUaqin mengatakan, "Perbedaan ha-
dits-hadits mengenai jumlahnya bisa diartikan sebagai
keleluasaan^ bahwa ia memiliki batas minimal dan yang
lebih sempuma. Namun, pokok sunnah diperoleh dengan
yang paling minimal, dan yang lebih sempuma dengan
mengerjakan yang lebih banyak."2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Para ulama berselisih mengenai sunnah-sunnah rawatib
yang menyertai shalat fardhu. Di antara para ulama ada
yang tidak menetapkan sesuatu mengenai hal itu, dan ada
pula yang menetapkan banyak hal dengan hadits-hadits
dhaif, bahkan dengan hadits-hadits yang diketahui oleh
ahli hadits sebagai hadits-hadits maudhu'. Seperti orang
yang menentukan enam rakaat sebelum Zhuhur dan
empat rakaat sesudahnya, empat rakaat sebelum Ashar,
empat rakaat sebelum Isya' dan empat rakaat sesudahnya,
serta yang sejenisnya. Yang benar dalam bab ini ialah
pendapat yang berdasarkan hadits-hadits shahih, bukan
yang bertentangan dengannya. Ada tiga hadits yang telah
tsabit dalam ash-Shahih."

Kemudian beliau menyebutkan hadits Ibnu Umar


hadits Aisyah dan hadits Ummu Habibah Kemudi¬
an beliau mengatakan, "Dalam dua hadits shahih ini, be-

*ShahihMuslimdenganSyarhShahihMuslim,Imaman-Nawawl(6/9).
*Al-I'lambl-fawa'IdUmdahat-Ahkam(2/398).

14
Sl^lA

liau shalat (sunnah rawatib) menyertai shalat fardhu ter-


"1
kadang 10 rakaat dan terkadang 12 rakaat.
Al-Mardawi iil^berkata, "TapimenurutSyaikhTaqi-
" 2
yuddin, empat rakaat sebelum Zhuhur.
Ibnu al-Qayyim berkata, "Ada dua pemyataan
yang bisa diutarakan: bahwa jika beliau melaksanakan
shalat di rumahnya, maka beliau mengerjakan empat
rakaat dan jika beliau shalat dimasjid, maka beliau shalat
dua rakaat, dan inilah yang paling jelas. Atau bisa pula di-
nyatakan bahwa beliau terkadang mengerjakan dua
rakaat dan terkadang pula mengerjakan empat rakaat.
Masing-masing, baik Aisyah maupun Ibnu Umar
menuturkan apa yang disaksikannya, dan kedua hadits
itu shahih, tidak boleh dicela salah satunya."^
Setelah al-Hafizh Ibnu Hajar mengemukakan
pendapat-pendapat guna mengkompromikan hadits
Aisyah dan hadits Ibnu Umar beliau berkata, "Dan
yang paling utama ialah diartikan pada dua keadaan:
sekali waktu, beliau mengerjakan dua rakaat dan di-
waktu yang lain, beliau mengerjakan empat rakaat. Ini
dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu
Daud dalam hadits Aisyah,
f a
^y it ^ ^

‘Majmu'Fatawa Ibn Talmiyyah (22/280-281).


^Al-Inshaf{2in^).
^/4/-Zatf(l/308).

15
"Beliau mengerjakan shcdat di runwhnya sebelum Zhukur
empat rdkaat, kemudian beliau keluar."
Abu Ja'far ath-Thabari berkata, "Empat rakaat itulah
yang paling sering beliau kerjakan, sedangkan dua ra¬
"1
kaat itu jarang beliau lakukan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "Ada-
pun rbnu Umar maka telah shahih darinya bahwa
shalat sunnah rawatib berjumlah sepuluh rakaat, dan
shalat sunnah rawatib sebelum Zhuhur adalah dua ra¬

kaat. Tetapi Aisyah dan Ummu Habibah menghafalnya


empat rakaat. Sementara kaidah menyatakan bahwa
orang yang menghapalnya lebih didahulukan diban-
dingkan orang yang tidak menghapalnya. Dengandemi-
kian, shalat sunnah rawatib tetap berjumlah 12 rakaat."^
3. Apakah Shalat Ashar Ada Sunnah Rawatibnya?
Dari Ibnu Umar ia mengatakan, "RasuluUah ^
bersabda.

'Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat empat


rakaat sebelum Ashar'.

‘Fath a/-B3/i{3/70).
^MaJmu'Fatawa wa MaqalatMutanawwl'ah{\ll3S0-331).
^HR. Ahmad (2/117); Abu Daud (1271); at-TIrmidzl (1271); at-Tirmldzl (430); Ibnu
Khuzalmah (2/206). Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhteh (2/13), "Dalam sanad-
nya terdapat Muhammad bin MIhran, yang masih diperselisihkan, tetapi dinilal tsiqah
oleh Ibnu HIbban dan dinllal cacat oleh Ibnu Qaththan." Hadits Ini q\shahitkax\ oleh

16
Dan daii Ashim bin Dhamrah, ia mengatakan, "Kami
pernah bertanya kepada ALL tentang shalat Rasulullah
ia berkata, 'Siapa di antara kalian yang sanggup mela-
kukannya?' Kami menjawab, 'Jika kami tidak sanggup
melakukannya, kami telah mendengarnya Ali berkata,
lup Ilia ^Ilia ^ b i Sir
^ r i i i a *

LrjJ\
B f
j_j Lxjji l a a

e 4 X ^ « ' s '

Oi:iy s-ojip . 1 1 1 . : . ;
U-' piij
I I

Beliau, jika matahari terlihat dari sini (sebelah timur)


sebagaimana bentuknya terlihat dari sini (sebelah barat)
pada xuaktu Ashar, maka beliau shalat dua rakaat. Jika
matahari terlihat dari sini sebagaimana bentuknya terlihat
dari sini pada saat Zhuhur, maka beliau shalat empat
rakaat. Beliau shalat empat rakaat sebelum Zhuhur dan
dua rakaat sesudahnya. Dan beliau shalat empat rakaat
sebelum Ashar, dengan memisah di antara tiap-tiap dm
rakaat dengan salam kepada malaikat muqarrabin dan

Ibmj Khuzaimah dan Ibnu HIbban, serta dihass/Man at-T)rmldzi dan al-Albanl. Syaikti
Ibnu Baz men\\a\ sanaOt^a bagus. Uhat, Hasy/yah asy-Sya/kh Abd//b/n Baz a/a
Bulugh al-Maram (1/257).

17
para ndbi serta para pengikut mereka dari kalangan kaum
mukminin dan muslimin."^

Ibnu Rajab '6^ mengatakan, "Para ulama berselisih,


apakah empat rakaat sebelum Ashar tersebut dapat
dikategorikan sebagai shalat surunah rawatib? Jimihur xila-
ma berpendapat bahwa ia tidak dapat dikategorikan
" 2
padanya.
Al-Aini mengatakan, "Ibrahim an-Nakha'i me-
ngatakan, 'Mereka melaksanakan shalat empat rakaat
sebelum Ashar, dan mereka tidak meng^ggapnya seba¬
gai sunnah (yakni sunnah rawatib)'."^
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Diriwayatkan dari Nabi ^dalam fls/z-S/iflftzfi bahwa
beHau bersabda,

JlijU
‘jli
'Di antara tiap-tiap adzan dan iqamah terdapat shalat,
di antara tiap-tiap adzan dan iqamah terdapat shalat.'
Kemudian beliau mengatakan pada kali ketiganya, 'Bagi
siapa yang suka. ’(Muttafaq Alaih).
Karena beliau tidak suka orang-orang menjadikarmya

^HR. Ahmad (1/85) dan an*Nasa'l (674) serta 6\hasatlKan al-AlbarrI. Syaikh Ibnu 8az me-
nilai sanadnya hasan. Uhat, Hasylyah asy-Syaikh AbdH Azin bin Baz ala Bulugh al-
Afera/n (1/257).
*Fath al-Barl, Ibnu Rajab (3/536).
3Umdah al-Qar1{7IZAl).

18
sebagai sunnah {rawatib), yang rutin dikerjakan. Ini men-
jelaskan bahwa shalat sebelum Ashar, Maghrib dan
Isya' adalah kebajikan dan bukan sunn^. Barangsiapa
yang ingin mengeijakan shalat sebelum Ashar, sebagai-
mana ia mengeijakan shalat sebelum Maghrib dan Isya'
menunit cara deirdkian, maka itu perbuatan bagus. Ada-
pun meyakini bahwa itu adalah sunnah rawatib yang
biasa dikerjakan oleh Nabi Msebagaimana beliau melak-
sanakannya sebelum dan sesudah shalat Zhuhur serta
sesudah Maghrib, maka ini suatu kesalahan.''^
Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,
"Shalat Ashar tidak memiliki sunnah raxvatib, baik sebe¬
lum maupun sesudahnya. Hanya saja seseorang disun-
nahkan untuk melaksan^an shalat sebelum Ashar sebagai
shalat mutlak."2

Syaikh Abdullah al-Bassam mengatakan, "Empat


rakaat sebelum Ashar bukan termasuk shalat sunnah ra¬
watib. la hanyalah shalat sunnah biasa yang tidak memi-
liki kedudukan sebagai shalat sunnah rawflfih dalam hal
keutamaan dan senantiasa dipelihara."^
4. Sunnah-Sunnah Rawatib yang Paling Ditekankan
{Mu’akkad)
Sunnah rawatib yang paling ditekankan ialah dua

‘Majmu'Fatawa Ibn Taimiyyah (23/125).


^Majmu'FatawawaRasa'HFadhUahasy-SyaIkhMuhammadblnShallhal-Utsalmln
(14/343).
^Taudhih al-Ahkam (2/385).

19
rakaat Fajar (yakni sebelum shalat Shubuh). Penekanan
dua rakaat Fajar tersebut ditunjukkan oleh sabda Nabi

"Dua rakaat Fajar lebih baik dibandingkan dunia berikut


segala isinya."
Dalam suatu riwayat:
1^0 ^ . ^oi 11 ^i1, £ ^ i

"Sungguh keduanya lebih aku cintai dibandingkan selu-


ruh dunia.

Dari Aisyah ia mengatakan,

jj toiiTj ^pcfrCuii ^ ^
Ijjl ^ 3 u^- j J

Nabi 0shalat Isya', kemudian shalat delapan rakaat, dua


rakaat dengan duduk, dua rakaat di antara adzan dan
iqamah, dan beliau tidak pemahmeninggalkan keduanya
112
selamanya.
Dari Bilal ^bahwa dia datang kepada Rasulullah 0
untuk memberitahukan kepada beliau bahwa shalat Shu¬
buh sudah masuk. Lalu Aisyah menyibukkan Bilal
dengansuatuperkarayangditanyakankepadanya,sehing-
‘HR,Muslim(725).
*HR.al-Bukhari(1159).

2 0
ga Shubuh sudah cukup terang. Jodi Shuhuh sudah terang
sekali. Lain Bilal herdiri untuk menguimndangkan adzan
shalat dan diikuti dengan iqamah. Tapi Rasul 0belum
juga keluar. Ketika keluar, beliau shalat mengimami para
sahabatnya. Bilal ^memberitahukankepada beliau bahiva
Aisyah t^telah menyibukkannya dengan suatu perkara
yang ditanyakan kepadanya sehingga ia mengumandang-
kan adzan shalat Shubuh saatpagi sudah terang. Bahiva-
sanya beliau lambat keluar, maha beliau bersabda,
1^1 aDI ^ j
fI* !' * 0 f»r”"ti- AXe^f
LL* y (JI3

"Sesungguhnya aku tengah melaksanakan shalat dua


rakaat Fajar." Bilalbertanya, "Wahai Rasulullah, Engkau
shalat Shubuh pada saat pagi sudah terang sekali." Beliau
menjaiuab, "Seandainya aku telat lebih dari yang aku
lakukan pagi ini, niscaya aku melaksanakan dua rakaat
" 1
tersebut dengan lebih baik dan lebih bagus.
Dari Aisyah

"Bahxua Nabi 0tidak pemah lebih menjaga suatu shalat

*HR. Abu Daud (1257), dan 6\shah/fMan al-Albanl.

21
sunmh pun dibandingkm dua rakaat sehelutn Shubuh."
Dalam suatu riwayat, "Aku tidak perhah melihat Rasu-
lullah 0lebih hersegera dalam melaksanakan shalat sunnah
dtbandingkan dua rahiat sebelum Fajar."'^
Dari Abu ad-Darda' ia mengatakan.

^ ^ o' f'*' oi

"Kekasihku 0benvasiat kepadaku dengan tiga perkara:


puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat Witir sebelum
tidur, dan dua rakaat Fajar."'^
An-Nawawi berkata, "Dalam hadits ini terdapat
" 3
dalil atas agungnya keutamaarmya.
Ibnu Abd al-Barr mengatakan, "Tidak diperseli-
sihkan dari Nabi ^bahwa apabila Fajar telah menying-
sing, maka beliau melaksanakan shalat dua rakaat sebe¬
lum Shubuh, dan beliau tidak pemah meninggalkannya
hingga wafat."^
Ibnu Hazm berkata, "Para ulama sepakat atas di-
sunnahkannya dua rakaat, setelah terbit Fajar dan sebe-

‘HR. Muslim (724).


*Ai-HaitsamImengatakandalamAtey/77<j'a7-Za»va7rf(2/461),"HaditsInidiriwayatkan
ath-Thabrani dalam al-Muyam al-KabIr dan para perawinya adalah para perawi yang
shahlh."

^ShahlhMuslimb!Syarhan-Nawaw!(6/4).
*Path al-Mallkbl Tabwib at-Tamhidala Muwaththa'Malik(21373).

22
lum shalat Shubuh."^

Ibnu al-Qayyim mengatakan, "Nabi ^sangat


menjaga shalat siinnah Fajar dibandingkan semua shalat
simnah lainnya. Karena itu, beliau tidak pemah mening-
galkannya dan juga shalat Witir, baik pada waktu beper-
gian maupun pada saat bermukim"^

5. Apa yang Menjadi Kekhususan Sunnah Rawatib


Fajar
Dua rakaat Fajar selain apa yang telah disinggung-
dikhususkan dengan hal-hal berikut ini:
a) Dipendekkan, berdasarkan hadits Aisyah ia me-
ngatakan.
0 »

Ujij^‘j\ uuio' ^yji Oir


fb f> ji ‘J\
"Nabi Mmemendekkan dua rakaat sebelum shalat Shubuh,
hingga aku mengatakan, 'Apakah beliau membaca Um-
mul Kitab (al-Fatihah)'
An-Nawawi berkata, "Hadits ini adalah daJil ten-
tang memendekkan sedemikian rupa dua rakaat tersebut
Dan yang dimaksud dengan mubalaghah (sangat memen¬
dekkan), adalah bila dibandingkan dengan kebiasaan

‘Maratib al-IJm^, hal. 34.


^Zad ahMa'adiH'ilS).
^HR. al-Bukharl (1165); dan Muslim (724).

23
beliau berupa memanjangkan shalat malam dan shalat-
" 1
shalat sunnah lainnya.
Al-Qurthubi berkata/'Bukan berarti bahwa
Aisyah meragukan Nabi ^membaca al-Fatihah.
Tetapi maknanya bahwa beliau biasa memanjangkan
rakaat dalam shalat-shalat sunnah. Sehingga ketika beliau
memendekkan dua rakaat Fajar, maka seolah-olah beliau
tidak membacanya bila dibandingkan dengan shalat-
shalat lainnya. " 2
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Terdapat
perbedaan pendapat mengenai hikmah dipendekkannya
dua rakaat Fajar. Konon, karena beliau ingin bersegera
melaksanakan shalat Shubuh di awal waktunya. Pendapat
ini didukimg oleh al-Qurthubi. Konon, untuk membuka
shalat siang hari dengan dua rakaat ringan sebagaimana
beliau lakukan untuk membuka shalat malam, agar
memasuki shalat fardhu atau serupanya dalam hal keuta-
" 3
maan dengan giat dan persiapan yang sempuma.
b) Nabi ^membaca pada dua rakaat t^sebut sesudah
al-Fatihah dengan bacaan khusus.
Dari Abu Hurairah
ya a' i' ^ a'-' ^ * f

*Shahih Muslim b! Syarh an-Nawawl{^l«,).


^AI-Mufhim{W2.).
^Path al-Barl{2l5^).

24
"Bahwa Rasulullah Mmembaca pada dua rakaat Fa-
jar: Qul ya ayyulml kafirun dan Qul huwallahu ahad."'^
Dari Sa'id bin Yasar bahwa Ibnu Abbas menga-
barkan kepadanya,
^ ^ a< ^ »y ^ y^yay
j (ji5^

M^ \ ^0 ^ 9 » » ✓ »

tU-^ fl i j t
L-Ju

"Bahwa Rasulullah Mdalam dua rakaat sunnah Fajar,


pada rakaat pertama membaca: ['Katakanlah(hai orang-
orang mukmin), 'Kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkan kepada kami.'JYaitu ayat yang ter-
dapat dalam surat al-Baqarah. Dan pada rakaat terakhir
membaca: ['Kami beriman kepada Allah; dan saksikan-
lah bahwa sesungguhnyakamiadalahorang-orangyang
berserahdiri.'] (Ali Imran: 52)."
Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas ia mengata-
kan.

_y»uai! J'^jh L ? ^

*HR. Muslim (726).

25
S\ 4U'^j ' 5 y
\

IV}\^ ^
"Rasulullah 0membaca pada dua rakaat sunnah Fajar:
I'Katakanlah (hai orang-orang mukmin), 'Kamiberiman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami.'] (Al-
Baqarah: 136), dan ayat yang terdapat dalam surah Ali
Imran: ['Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ke-
tetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan
112
kamu.'J (Ali Imran: 64).
Dan dari Aisyah ia mengatakan,
jL] ijir
■” I *ff ' ai 0 * a* ' e " *
tjSrcjdl\

Gk'd

I t

Rasulullah Mshalat dua rakaat sebelum Fajar, dan beliau


mengatakan, 'Sebaik-baik dua surat ialah yang dibaca
dalam dua rakaat sunnah Fajar yaitu: Qul huwallahu ahad
" 2
dan qul ya ayyuhal kafirun.
c) Disunnahkan berbaring ke sebelah kanan setelah me-
ngeijakan dua rakaat Fajar.

1
HR. Muslim (727).
^HR. Ibnu Majah (1150), dan d\shah/fian al-Albani.

26
beliaur yakni pada makm hari. Lain beliau bersujud pada
tiap-tiap rakaat sepanjang kira-kira 50 ayat yang dibaca
oleh salah seorang dari kalian. Lain beliau melaksanakan
shalat dm rakaat sebelum shalat Shubuh, kemudian beliau
berbaring ke sebelah kamn hingga muadzin datang untuk
mengumandangkan adzan slmlat"^
Imam al-Bukhari mengatakan, "Bab tentang
orang yang bercakap-cakap setelah mengerjakan dua
rakaat (sebelum Shubuh) dan tidak berbaring." Kemu¬
dian dia mengemukakan hadits Aisyah y a n g m e n u -
turkan, "Nabi ^jika telah melaksanakan shalat sunnah
Fajar, maka jika aku sudah bangun, beliau bercakap-
cakap denganku. Jika tidak, maka beliau berbaring hing¬
112
ga adzan shalat dikumandangkan.
Al-Hafizh Ibnu HajarcwiiS^ mengatakan, "Dia meng-
isyaratkan dengan keterangan bab tersebut bahwa beliau
^tidak melaksanakannya secara terns menerus. Dengan
dasar itulah para imam berhujjah mengenai tidak wajib-
nya (berbaring setelah shalat dua rakaat sebelum Shubuh).
Mereka memahami perintah yang mensinyalir hal itu
dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dan selainnya sebagai anjuran. Faedah dari hal itu
ialah untuk beristirahat dan supaya giat melaksanakan
shalat Shubuh. Berdasarkan hal tersebut maka berbaring
setelah shalat dua rakaat adalah bagi orang yang telah

'HR. al-Bukhari (1160); dan Muslim (736).


^HR. al-Bukhari (1161); dan Muslim (742).

28
SCiLn

melakukan tahajjud. Pendapat inilah yang didukung


oleh Ibnu ai-Arabi."^

Ibnu al-Arabi mengatakan, "Tidak boleh berbaring


setelah menjalankan dua rakaat Fajar untuk menunggu
shalat, kecuali jika ia telah melakukan shalat malam
lalu berbaring supaya giat dalam melaksanakan shalat
" 2
Shubuh, maka hal ini tidak apa-apa.
Syaikh Muhammad bin Utsaimincuii^ berkata, "Yang
benar iaiah apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam
bahwa jika seseorang penat dari tahajjudnya, maka ia
disunnahkan beristirahat dengan berbaring ke sebelah
kanannya. Ini dengan syarat, ia tidak khawatir ketidur-
an sehingga terlewat mengerjakan shalat Shubuh. Jika
khawatir, maka ia tidak boleh tidur."3

Hikmah Berbaring Ke Sebelah Kanan


Ibnu al-Qayyim mengatakan, "Berbaring ke se¬
belah kanan itu ada rahasianya, yaitu bahwa hati itu ber-
gantung di sebelah kiri. Jika seseorang tidur ke sebelah
kiri, maka ia menjadi pulas tidumya. Karena tidur yang
demikian dilakukan untuk beristirahat secara total, maka
tidurnya menjadi pulas. Jika ia tidur ke sebelah kanan,
maka ia akan gelisah dan tidak terlelap dalam tidurnya
karena hatinya gelisah, kesadarannya masih ada, dan
masih ada kecenderungan kepadanya. Karena itu para

‘Fatf) <J/-S5r/(3/53).
^Aridhah at-Ahwadzi (2/184).
^Syarh Riyadh ash-Shal/hin (3/287),

29
dokter menganjiirkan tidur ke sebelah kiri agar beristira-
hat dengan sempuma dan tidur dengan pulas. Sementara
pembawa syariat menganjurkan tidur ke sebelah kanan,
agar tidumya tidak pulas sampai terlewat mengeijakan
qiyamul lail. Tidur ke sebelah kanan lebih bermanfaat bagi
hati, sementara tidur ke sebelah kiri lebih bermanfaat bagi
tubuh."i

Dr. Shalih bin Ahmad Ridha mengatakan, "Bisa jadi


pertama-pertama yang bisa disebutkan tentang manfaat
hal itu, b^wa hati itu lebih besar dibandingkan lambimg.
la terletak di sebelah kanan, sehingga ketika kita tidur ke
sebelah kanan, maka lambimg itu beristirahat di atas hati.
Adapun sebaliknya, maka lambung terpengaruh oleh
beban hati, terutama pada awal tidur."2
Apakah Boleh Berbaring di Masjid?
Dari Abu Hurairahia mengatakan, "RasuluUah ^
bersabda.

'Jika sdlah seorang dari kalian telah ttiengerjakan shaiat dm


rakaat sebelum Shubuh, maka berbaringlah ke sebelah
kanannya'
Al-Mubarakfuri berkata, "Hadite Abu Hurairah
^tersebut... adalah mutlak. Karena kemutlakannya

‘Zad al-Ma'ad
^Al-rjazal-llmlRas-Sunnahan-Nabawiyyah(1/104).
^Telah
dlfaA:/>/$'sebelumnya.

30
$ 4 ^

maka anjuran berbaring itu berlaku baik di rumah mau-


pun di masjid. Di mana ia shalat sunnah Fajar, maka di
situlah ia berbaring. Jika ia shalat di ruinah, maka ia ber¬
baring di rumah danjikaia shalat di masjid, maka ia ber¬
baring di maqid. Tidak dinukil dari Nabi ^bahwa beliau
melakukannya di masjid, hanyalah kardna beliau selalu
shalat sunnah Fajar di rumah sehingga beliau berbaring
di rumah."^

Syaikh Muhammad bin Ibrahim menjawab per-


tanyaan tentang bolehnya berbaring di masjid. Beliau
berkata, "Boleh, kecuali bila ia berada di depan shaf,
112
maka tidak seharusnya melakukannya.

6. Bacaan dalam Sunnah Maghrib


Dari Ibnu Umar ia berkata, "Aku memperhatikan
Rasulullah sebanyak 20 kali, membaca pada dua ra-
kaat setelah Maghrib dan pada dua rakaat sebelum Fajar:
Qul ya ayyuhal kafirun dan qul huwallahu
Dari Ibnu Mas'ud ia berkata, "Tak terhitung ba-
nyaknya aku mendengar Rasulullah Mmembaca pada
dua rakaat sebelum Maghrib: Qul ya ayyuhal kafirun dan
Qul huwallahu ahad."*

‘Tuhfah al-Ahwadil {21395-396).


^Majmu' Fatawa asy-SyaIkh Muhammad bln Ibrahim (2/249).
^HR. an-N3sa'i (992), dan d\hasarkat\ al-AlbanI; serta diriwayatkan Juga oteh Ahmad
(2/92).
*HR. at-nrmidzl (431), dan al-Albani menllalnya hasan shahttr, serta diriwayatkan
juga oleh Ibnu Majah (1166).

31
7. Apakah Shalat Sunnah Empat Rakaat Sebelum
Zhuhur Dengan Satu Salam atau Dua Salam?
Dari Abu Ayyub dari Nabi beliau bersabda,
■* yai it'. tJ’j .a ,i.yt'. of, "o'" ^ ?

"EmpatrakaatsebelumZhuhur,tanpadipisahdengansa¬
lam, akan membuka pintu-pintu langit.
Dari Ibnu Umar dari Nabi
y“y y^y '' * ' * ! '

t.5^ J ^ '
Shalat malam dan siang itu dikerjakan dua -dua." 2

‘HR. Ahmad (5/417); Abu Daud (1270); dan Ibnu Majah (1175). An-Nawawi

mengatakan dalam ahMajmu', "Dhalf'^anq telah dfsepakati keo/?a/>Snnya." Dl antara


yangmenrfAaZ/fcannyaiaiahYahyabinSa'idblnQathan,AbuDauddanal-Baihaqt.
PoroskelemahannyaadapadaUbaidahbinMut'lb,daniaadalahdhalf.Juga6\dhalfkan
oleh Ibnu Khuzaimah, sebagaimana dinukil oleh az-Zaila'I dalam/Va5/7d ar-/?a/5/?
(2/142). Syaikh Ibnu Baz 5menilai 5a/7adiya dhalf. Lihat, Hasyiyah asy-Syaikh AbdH
Aziz bln Baz ala Bulugh al-Maram{UlS7). Tapi hadits ini <^\hasarksn oleh al-Albani.
^HR.AbuDaud(1295);at-TIrmIdzi(587);an-Nasa’i(1666);IbnuMajah(1322);
Ahmad (2/26 dan 51); Ibnu Khuzaimah (1210); al-Balhaqi (2/686); dan Malik dalam
al-Muwaththd, Kitab ash-Shalah, Bab dan selain mereka.
Para uiama beiteda pendapat mengenai hadits ini, dan ,asal hadits ini terdapat
dalam ash-ShahIhain dari hadits Ibnu Umar secara/oarrt/dengan tanpa menyebut
nahar (slang hari).Adapun tambahan Inl maka di nilai cacat oleh para imam hadits,
dl antaranya Yahya bin Ma'in, Ahmad, at-TIrmldzi, an-Nasa’I, ad-Daruquthni, al-
Hakim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan al-Hafizh Ibnu Hajar.Tapi hadits ini
disA^A/Zkan oleh al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-BaihaqI, Ahmad
Syakir, al-AlbanI, dan oleh Ibnu Baz. Lihat, Nashbar-Rayah{;il\AZ)) at-Talkhlshal-
Hablr (imy, Fatawa Syaikh al-Islam [21I2B9)] Sunan at-Tlrmidzl, tahqiq Ahmad
5ya*zr (2/492); dan Hasyiyah Syaikh Abdul Aziz bln Baz ala Bulugh al-Maram {U
256).

32
Imam al-Bukhari mengatakan, "Bab yang mene-
rangkan shalat sunnah dua rakaat-dua rakaat. Hal itu
disebutkan dari Ammar, Abu Dzar, Anas, Jabir, Zaid,
Ikrimah dan az-Zuhri Yahya bin Sa'id al-Anshari me¬
ngatakan, 'Aku tidak mendapatkan para fuqahanegeri
kami melainkan mereka bersalam pada tiap-tiap dua
rakaat dari shalat sunnah pada sianghari'."^Kemudian
mushmmif mengemukakan dalam bab ini delapan hadits
yang menyebutkan bahwa Nabi mshalat tathamvu' pada
siang hari dua rakaat.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Yang dimak-
sud oleh mws/zflnMi/(al-Bukhari) denganhadits-hadits
ini ialah menolak kalangan yang menyangka bahwa shalat
sunnah pada siang hari berjumlah empat rakaat s e c a r a
bersambung.Danjumhurulamamemilihbersalampada
tiap-tiap dua rakaat dalam shalat malam dan siang hari. " 2

Ibnu al-Mundzir mengatakan, "Di antara ulama


yang berpendapat bahwa shalat malam dan siang hari
adalah dua-dua, ialah Malik bin Anas, asy-Syafi'i, dan
Ahmad bin Hanbal. Ahmad berargumen dengan sejum-
lah hadits, di antaranya hadits Ibnu Umar mengenai
shalat sunnah yang dilakukan Nabi yaitu dua rakaat
sesudah Zhuhur, dan dua rakaat dua rakaat lainnya. Ha¬
dits tentang shalat Id dua rakaat, dan istisqa' dua rakaat.
Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, hendaklah

‘Fath al-Barl{2l5Q).
^Pathal-Barl{2160).

33
ia shalat dua rakaat sebelum duduk. Nabi ^jika masuk
nimahnya,beliaushalatduarakaat.Ahmadmenyebut-
kan hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Ya'la
bin Atha', pemah ditanyakan kepadanya, 'Bukankah diri¬
wayatkan bahwa Nabi Mshalat sebelum Zhuhur empat
rakaat?' la menjawab, 'Telah diriwayatkan bahwa Nabi
Mshalat Dhuha delapan rakaat, maka apakah menurut-
m u beliau tidak memisahnya dengan salam'?"i

An-Nawawi berkata, "Disunnahkan bagi siapa


yang melaksanakan shalat empat rakaat sebelum Zhuhur
atau sesudahnya, agar bersalam pada tiap-tiap dua raka-
at"2

Al-Mubarakfuri mengatakan, "Aku tidak men-


jumpai satu hadits marp' yang shahih lagi tegas tentang
memisah di antara empat rakaat sebelum Zhuhur (de¬
ngansalam)ataumenyambungnya.Olehkarenaitu,jika
iasuka,silahkaniashalatempatr^aatdengansatusalam
dan jika suka, silahkan ia shalat empat rakaat dengan dua
salam.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "Disya-


riatkan bagi setiap muslim untuk mengerjakan shalat
sunnah dua rakaat-dua rakaat, baik pada malam maupun
siang hari; berdasarkan sabda Nabi

^A/-Aussth {5/23S).
^AI-MaJmu'{3l3A9).
3Tuhfah al-AhwadzHlIAW).

3 4
'SMat malam itu dua-dua.' (Disepakati keshahihan-
nya).
Dalam suatu riwayat yang simhih disebutkan:

'Shalat malam dan siang hari adalah dua-dua.' (HR.


Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan dengan
sanad shahih)."^
Syaikh MiihammadbinUtsaiminiilS^^ mengatakan,
"Sunnah-sunnah rawatib dipisah dengan salam, yakni
seseorangshalatsunnahraivatibempatrakaatdengandua
salam, bukan dengan satu salam; karena Nabi ^bersab-
da:

'Shalat malam dan siang hari adalah dua-dua'.''^


Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan, "Seba-
gian ulama membolehkan shalat empat rakaat sunnah
dengan satu salam. Tetapi yang terbaik ialah dengan dua
salam.

^MaJmu'Fatawa wa MaqalatMutanawwi'ah (11/390).


^Majmu'FatawawaRasa'HFadhUahasy-SyaIkhMuhammadbinShallhahUtsalmln
(14/288).
*IbhaJ al-Mu'mInIn bi syarh MinhaJ as-SallkIn (1/160).

35
8. Shalat Sunnah Rawatib Jum'at
Dari Abdullah bin Umar

^4^^' ^ ^ J o f
.0.' »..* ' ex.* '
^ J J J

^ ^ 1 i b j Vo i r ^ j c ^ ' J ^ Ltodl JjDi j


Bxx efx i', '. 0 > '

J ^ J

I t

BahwasanyaRasulullahMbiasamengerjakanshalatsebe-
lum Zhuhur dua rakaat dan sesudahnya dua rakaat, sesu-
dah Maghrib dua rakaat di rumahnya, setelah Isya' dua
rakaat,danbeliautidakshalatsesudahshalatJum'athing-
ga beliau pergi lalu shalat dua rakaat."'^
Dari Abu Hurairah ia mengatakan, "Rasulullah ^
bersabda.

IjtJjf LaJLuj 4
'Jika salah seorangdari kalian mengerjakan shalat Jum'at,
makashalatlahempatrakaatsesudahnya'."(HR.Muslim)
Dalam suatu riwayat, beliau Mbersabda,
<2x*

"Barangsiapa di antara kalian shalat sesudah shalat Jum¬


'at, maka shalatlah empat rakaat " 2

1
HR. Al-Bukhari (937); dan Muslim (882).
^HR. Muslim (881).

36
An-Nawawi berkata," hadits-hadits ini berisikan
anjuran shalat sunnah setelah shalat Jum'at, minimal
dua rakaat dan yang paling sempuma empat rakaat Nabi
^mengingatkan lewat sabda beliau,
^ 9y '0 9^ 0 ^ ^ ^

jl Ax^kjsrJl Jju ^ 1 - , ^ lil


"Jikasalahseorangdarikalianinginmengerjakanshalat
setelahshalatJum'at,makahendaklahiashalatempat r a -

kaat sesudahnya."
Sebagaianjuranpadanyadenganbentukkalimatpe-
rintah. Beliau juga mengingatkan lewat sabdanya.

"Barangsiapa di antara kalian yang shalat..."


Sebagai sunnah bukan kewajiban.
Beliau menyebutkan empat rakaat karena keutama-
annya. Sedangkan beliau melaksanakan dua rakaat di
berbagaiwaktusebagaipenjelasankarenaminimalnya
duarakaat.Sepertidiketahuibahwabeliaushalatempat
rakaat di banyak waktu, karena beliau memerintahkan
dan menganjurkan demikian kepada kita. Sementara
beUauadalahorangyangpalingsenangdalamkebajikan,
paling memperhatikannya, dan paling memprioritas-
kannya."!
Dari Atha' dari Ibnu Umar ia (Atha') mengatakan.

Syarh Shahih Muslim, Imam an-Nawawi (6/169-170).

37
'!Ketika dia (Ibnu Umar) berada di Mekah, setelah me-
laksanakan shalat Jum'at, dia shalat dua rakaat, kemu-
dian setelah itu dia melaksanakan shalat empat rakaat.
Namim ketika berada di Madinah, dia shalat Jum'at, ke-
mudian pulang ke rumahnya lalu mengerjakan shalat
dua rakaat dan tidak shalat di masjid. Ketika ditanyakan
kepadanya,
ia
mer^awab/Rasulull^
^melakukan
demi-
kian’."i

Imam Ahmad berkata, "Jika suka, ia boleh shalat


dua rakaat sesudah shalat Jum'at; dan jika suka, ia boleh
shalat empat rakaat." Dalam suatu riwayat "Jika suka,
ia boleh shalat enam rakaat. "2
Ibnu al-Qayyim berkata, "Jika Nabi Mtelah
selesai shalat Jum'at, beliau masuk ke rumahnya lalu
shalat sunnah Jum'at dua rakaat, dan beliau memerintah-
kan orang-orang yang hendak memmaikannya supaya
menunaikan empat rakaat sesudahnya. Syaikh kami, Abu
al-Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, 'Jika seseorang
shalat di masjid, ia shalat empat rakaat dan jika shalat
di rumahnya, ia shalat dua rakaat.' Saya tegaskan, bahwa
ini berdasarkan sejumlah hadits. Abu Daud menyebut-
kan riwayat dari Ibnu Umar bahwa jika dia shalat di
masjid, maka dia shalat empat rakaat dan jika shalat di

^HR. Abu Daud (1130). Asy-SyaukanI berkata dalam (3/318), "Abu


Daud dan al-Mundzirl mendlamkannya," Al-IraqI menilai sanadiya sh3h/h, dan
hadits ini 6\shah/fMari al-Albani.
* (3/248-249).

3 8
rumahnya, maka dia shalat dua rakaat."^
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan," Ada-
pun sesudah Jum'at maka ada sunnah nnf;fltibnya, sedikit-
" 2
nya dua rakaat dan paling banyak empat rakaat.
Syaikh Muhammad bia Utsaimin berkata, "Yang
terbaik bagi seseorang-menurut pendapat yang saya
anggap kuat- ialah terkadang shalat empat rakaat dan
terkadang dua rakaat "3
Dalam kesempatan lain, Syaikh Utsaimin mengata¬
kan, "Yang terbaik ialah dia mengerjakan shalat empat ra¬
kaat, baik di rumah maupun di masjid; berdasarkan ke-
umuman perintah Nabi ^padanya."^
Sementara al-lnjtwh ad-Da'imah li al-Buhuts al-Ilmiy}/ah
wa al-Ifta' (Dewan Tetap Umsan Riset Umiah dan Fatwa)
berfatwa, "Setelah shalat Jum'at terdapat shalat sunnah:
dua rakaat di rumahnya atau empat rakaat di masjid. " 5
9. Apakah Ada Shalat Sunnah Rawatib Sebelum
Jum’at?

Dari Nafi', ia mengatakan, "Ibnu Umar biasa meman-


jangkan shalat sebelum Jum'at, dan shalat dua rakaat
sesudahnya. Dia menuturkan bahwa Rasulullah ^me-

‘Zada!-Ma‘ad{\MQ).
^Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah (13/387).
^Asy-Syarh al-Mumtl'{5l 78).
*Majmu'FatawawaRasaHFadhitahasy-SyaHthMuhammadb/nSha/ffiahUtsaMn(16/133).
®Fatawaal-LaJnahad-Da'imahHai-BuhutsaHImiyyahwa5/-/te'(8/274).

39
lakukan hal itu."i
Al-Hafizh IbnuHajar^wiJ^mengatakan/'An-Nawawi
berhujjah dengannya dalam al-Khulashah tentang adanya
shalat sunnah sebelum Jijin'at. Ucapan Ibnu Umar di
akhir hadits, 'Dan beliau melakukan hal itu,' adalah me-
rujuk pada ucapannya, 'Dan dia shalat sesudah Jum'at
dua ra^at di rumahnya'. Ini ditimjnkkan oleh riwayat al-
Laits dari Nafi' dari Abdullah bahwa jika dia telah shalat
Jum'at, maka dia pulang lalu shalat dua rakaat di rumah¬
nya, kemudian dia mengatakan, 'Rasulullah Mbiasa
melakukan demikian'." (HR. Muslim).
Adapun ucapannya, "Dia memperpanjang shalat se¬
belum Jum'at," imaka jiia yang dimaksud iakh setelah ma-
suk waktu, maka ini tidak sah sebagai hadits marfu'.
Karena Nabi Mkeluar ketika matahari telah tergelincir,
lalu menyampaikan khutbah kemudian melaksanakan
shalat Jum'at. Jika yang dimaksud ialah sebelum masuk
waktu, maka itu shalat mutlak dan bukan sunnah ra-
watib. Jadi tidak ada hujjah tentang shalat sunnah se¬
belum Jum'at, tapi yang ada ialah shalat sunnah mutiak...
Dasar paling kuat yang bisa dijadikan pegangan tentang
disyariatkannya dua rakaat sebelum Jum'at ialah ha¬
dits umum yang dishahihhan Ibnu Hibban, yaitu hadits
Abdullah bin az-Zubair secara marfu':

*HR. Abu Oaud (1128), dan 6\shahitkzt\ al-Albanl.

4 0
'TxAdk ada shakitjhrdhu pun melainkan terdapat dm raka-
at (sunnah) sehelumnya'
Dan hadits semisal riwayat Abdullah bin Mughaffar
4^ di mana RasuUuUah ^bersabda.
i * t

u^-

"Antara tiap~tiap adzan dan iqamah ada shalat."


Al-Azhim Abadi mengatakan,
Abu Syamah mengatakan daiamfl/-Bfl'its 'alalnkaral-
Bida' wa al-Hawadits, "Yang dimaksud derigan pemyataan-
nya: 'Bahwa Rasulullah ^melakukan demikian/ ialah
bahwa beliau melaksanakan dua rakaat sesudah Jum'at
di rumahnya dan tidak melaksanakannya di masjid. Itu-
lah yang dianjurkan, sebagaimana disebutkan di selain
hadits ini. Dan takwil ini ditunjukkan oleh dalil-dalil
yang menyatakan tidak adanya shalat sunnah sebelum
shalat jum'at.
Adapun Ibnu Umar memanjangkan shalat sebe¬
lum Jum'at, maka itu berasal darinya dan orang-orang se-
misalnya sebagai amalan tambahan dari diri mereka.
Karena mereka bersegera menghadiri shalat Jum'at, ma¬
ka mereka menyibukkan diri dengan shalat. Demikian
maksud dari shalat Ibnu Mas'ud sebelum Jum'at seba-
nyak empat rakaat, bahwa dia melakukannya sebagai
amalan tambahan hingga imam keluar. Lantas dari mana-

‘Fart jAflSr/(2/494).

41
kah kalian memperoleh daiil yang menyatakan bahwa
dia meyakininya sebagai sunnah Jum'at? Sedangkan
disebutkan pula dari para sahabat selainnya yang lebih
banyak daripada itu.
Abu Bakar bin al-Mundzir mengatakan, "Kami meri-
wayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia shalat sebelum
Jum'at 12 rakaat. Dari Ibnu Abbas bahwa ia shalat de-
lapan rakaat. Ini daiil bahwa itu berasal dari mereka
sebagai amalan tambahan(tathawwu^) dari dirimereka
dengan tanpa ketentuan dari Nabi Karena itu terjadi
perbedaan jumlah rakaat yang diriwayatkan dari mereka,
dan bab tathawwu' itu terbuka. Penyebabnya mungkin
seorang dari mereka atau sebagian besar dari mereka
berada di masjid sebelum adzan dan sebelum masuk
waktu Jum'at, karena mereka bersegera ke masjid dan
melaksanakan shalat hingga imam keluar. Sudah men-
jadi kebiasaan bahwa orang-orang mengerjakan shalat
di antara dua adzan pada hari Jum'at dengan dua rakaat,
empat rakaat atau lebih, hingga imam datang. Itu boleh
dan mubah, bukan mungkar dari aspek sebagai shalat.
Tetapi yang mungkar hanyalah keyakinan kaum awam
dan sebagian ahlifikih bahwa itu adalah sunnah sebelum
Jum'at sebagaimana mereka melaksanakan shalat sunnah
s e b e l u m Z h u h u r. S e m u a i t u s a m a s e k a l i t i d a k b e n a r.
Tidak ada shalat sunnah sebelum Jiun'at seperti Isya' dan
Maghrib. Demikian pula Ashar."^

^Aunal-Ma'buddl^^).

4 2
Dari Salman al-Farisi mengatakan, "Nabi ^ber-
sabda.

>^i; r>: v
0^ a, 9 £ ^ ^ i 9 0 f fi /■
V- '
^or? cT-^' J' 0^

'^1 ^ aJ t—^ tijjij


cs>^i iiiiJi ^ ^! r'^V'
'Tidaklah seseorang mandipada hari Jum'at, bersuci se-
rmksimal mungkin, memakai minyaknya atau memakai
zveivangian yang terdapat di rumahnya, kemudian keluar,
lalu tidak melangkahi di antara dua orang, kemudian
mengerjakan shalat yang ditetapkan untuknya, kemudian
diam ketika imam berkhutbah, melainkan Allah mengam-
puni dosanya yang ada di antara Jum 'at ini dengan Jum 'at
berikutnya'
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Dalam ha-
dits ini disyariatkan shalat sunnah sebelum Jum'at, ber-
dasarkan sabda beliau

ij u-J:
'Kemudian ia mengerjakan shalat yang ditetapkan untuk¬
nya.'
Lalu beliau bersabda.

HR. al-Bukhari (883).

43
'^1 ^ (tJ

'Kemudian diamjika imam berkhutbah.'


Ini sebagai dalil bahwa shalat tersebut dikerjakan
sebelum khutbah Jum'at. Ahmad telah menjelaskannya
dari hadits Nabisyah al-Hudzali dengan lafazh,
<J IJj L* ^^
"Jika ia tidak melihat imam datang, ia siuilat apa yang tam-
pakolehnya'."'^
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Yang benar ialah pendapat yang menyatakan bahwa
tidak ada sunnahraw;atibtertentusebelxim shalat Jum'at...
Sebagian orang berargumen mengenai shalat sebelum
Jum'at dengan sabda beliau

'Antara tiap-tiap adzan dan iqamah terdapat shalat.'


Tapi yang lain menolaknya dengan pernyataan:
Adzan yang dilakukan di atas menara tidak pernah di-
lakukan pada masa RasuluUah Tapi Utsman meme-
rintahkannya tatkala masyarakat bertambah banyak pada
masanya, dan tidak mungkin adzan terdengar oleh mere-
ka ketlka dia keluar dan duduk di atas mimbar. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa tatkala adzan ini disim-

Fath a/’Barf (21^33).

4 4
nahkan oleh Utsman, dan kaum muslimin nienyepakati-
nya, maka ia menjadi adzan syar'i, ketika itulah shalat
di antara adzan pertama dengan adzan kedua menjadi
boleh dan dianggap baik. Namun, ia bukan sunnah rawa-
tib, seperti shalat sebelum Maghrib. Dengan demikian,
siapa yang melakukan hal itu maka ia tidak diingkari,
dan siapa yang meninggalkannya juga tidak diingkari.
Ini adalah pendapat yang paling adil, dan pemyataan
Imam Ahmad menunjukkan hal itu, Dengan demikian
pula, meninggalkannya mungkin lebih baik, jika orang-
orang bodoh menyangka bahwa ini adalah sunnah raivatib
atau suatu kewajiban, apalagi jika masyarakat telah mem-
biasakannya, maka semestinya sesekali ditinggalkan se-
hingga tidak menyerupai shalat fardhu."^
Ibnu al-Qayyimai>l^ berkata, "Jika Bilal sudah selesai
mengumandangkan adzan, maka Nabi 0, langsung ber-
khutbah, dan tidak ada seorang pun yang melaksanakan
shalat dua rakaat sama sekali. Adzan waktu itu hanya
sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jiim'at itu seperti
shalat Id (hari raya), tidak ada sunnah qabliyahnya. Ini
adalah pendapat paling shahih dari dua pendapat ulama,
dan inil^ yarig didukung oleh sunnah. "2
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "Shalat
Jum'at tidak ada sunnah rawatib sebelumnya menurut
pendapat paling shahih dari dua pendapat ulama. Tetapi

‘Majmu'Fatawa Ibn Ta/m/ya/? (24/193-194).


^Zatf a/-A/a’atf(l/431-432).

45
setiap muslim, ketika datang ke masjid, disyariatkan
untuk mengerjakan shaJat yang dimudahkan Allah xintuk-
nya yaitu beberapa rakaat dengan salam pada tiap-tiap
dua rakaat, berdasarkan sabda Nabi

✓ ✓

'Shalat (sunnah) malam dan siang itu dua rakaat dua


rakaat.' (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sflnad
hasan, dan asalnya terdapat dalamash-Shahih dengan
tanpa menyebut siang hari).
Karena telah shahih dari Nabi ^dalam banyak ha-
dits yang menimjiikkan atas disyariatkannya setiap mus-
lim, ketika datang ke masjid pada hari Jum'at, untuk
melaksanakan shalat yang ditentukan Allah Mbaginya
sebelum imam datang. Nabi ^tidak membatasi jumlah
rakaatnya. Jika ia shalat dua rakaat, empat rakaat atau
lebih dari itu, maka semua itu baik. Minimal dua rakaat
tahiyatul masjid. " 1
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, "Shalat Jum¬
'at tidak ada sunnah qabliyahnya. Tapi disyariatkan bagi
orang yang datang ke" 2masjid, agar mengerjakan shalat
hingga imam datang.
Sementara al-lajnah ad-Da'imah Ual~Buhuts al-Umiyyah
zva al-lfta' (DewanTetap UrusanRisetDmiah danFatwa)

‘MaJmu'Fatawa wa Maqalat Mutanawwl'ah{Xll'i9t-2«7).


^Majmu' Fatawa wa Rasa'll FadhUah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsalmin
(16/133).

4 6
RtvAii

berfatwa, "Tidak ada shalat sunnah sebelum Jum'at. Dan


sepanjang pengetahuan kami, tak ada satu riwayat pun
dari Nabi Mtentang disyariatkannya shalat sunnah se-
belum Jum'at... Tetapi disyariatkan bagi orang yang
datang ke masjid imtuk shalat Jum'at, agar melaksanakan
shalat yang ditentukan untuknya tanpa membatasi de-
ngan batasan tertentu, berdasarkan keshahihan hadits-
"1
hadits tentang hal itu.

10. Shalat Sunnah Rawatib Pada Saat Bepergian


Dari Hafsh bin Ashim, ia mengatakan, "Aku pemah
benar-benar sakit, lalu Ibnu Umar menjengukku. Kemu-
dian aku bertanya kepadanya tentang shalat sunnah
dalam perjalanan. la menjawab, 'Aku pemah menemani
RasuluUah ^dalam suatu perjalanan, temyata aku tidak
melihat beliau mengerjakan shalat sunnah. Seandainya
aku melaksanakan shalat sunnah, berarti aku hams me-
nyempurnakan shalat fardhu. Padahal Allah ^berfir-
m a n .

A - '
>- ( j
i p
'Sesungguhnya telah ada pada (diri) RasuluUah itu suri
teladan yang baik bagimu.' (Al-Ahzab: 21). " 2
Ibnu al-Qayyim berkata, "Ini merupakan bukti
kepahamannya terhadap agama. Sebab Allah memberi-

‘Fatawa ahLajnah ad-Da'Imah /Ial-Buhuts al-Ilmiyyah wa a/*//te'(8/260-261).


^HR, Muslim (689).

47
kan keringanan kepada musafir yaitu sepanih dari shalat
yang berjumlah empat rakaat. ^andainya disyariatkan
untuknya dua rakaat sebelum atau sesudah shalat fardhu,
tentunya menyempumakan shalat fardhu itu lebih uta-
ma."’

Dari Abu Hurairah dan Abu Qatadah tentang


kisah tidumya Nabi ^dan para sahabat ketika mereka
pulang dari perang Khaibar sehingga terlewat menger-
jakan shalat Shubuh. Abu Qatadah mengatakan, "Kemu-
dian Bilal mengumandangkan adzan untuk shalat, lalu
RasuluUah Mshalat dua rakaat, kemudian beliau menger-
jakan shalat Shubuh. Beliau melakukan sebagaimana yang
biasa beliau lakukan setiap hari."2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Dari bab ini yang disetujui para ulama adalah diboleh-
kan dua hal: mengerjakan shalat sunnah rawatib dalam
perjalanan, siapa yang mau maka ia boleh mengerjakan-
nya, dan siapa yang suka maka ia boleh meninggalkan-
nya, berdasarkan kesepakatan para imam... Tapi Nabi
Mtidak pemah melakukan shalat sunnah rawatib dalam
perjalanan kecuali dua rakaat Fajar dan 'Witir."^
Ibnu al-Qayyim berkata, "Dalam perjalanan,
beliau lebih membiasakan shalat srmnah Fajar dan Witir
dibandingkan semua shalat simnah lainnya. Tidak ada

'Zad al-Ma'ad
^HR. Muslim (681).
^Majmu' Fatawa Ibn Talmlyyah (22/279).

4 8
riwayat dari Nabi ^bahwa beliau shalat sunnah rowAhl?
selain keduanya."^
"Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, "Yang
disyariatkan adalah meninggalkan shalat sunnah raioatib
dalam perjalanan selain Witir dan sunnah Fajar. Karena
diriwayatkan dari Nabi Mdari hadits Ibnu Umar dan
selainnya bahwa beliau meninggalkan shalat sunnah
"2
rawatib dalam perjalanan kecuali Witir dan sunnah Fajar.
Sementara cd-Lajmh ad-Da'imah li al-Buhuts al-Rmh/yah
wa al-Ifta' mengemukakan fatwa, "Tidak disyariatkan sha¬
lat sunnah rawatib pada saat bepergian kecuali dua rakaat
Fajar..."3
Syaikh Muhammad bin Utsaimin menyampai-
kan kepada orang yang meninggalkan shalat surmah
raivatib di Masjidil Haram, "Jika Allah memberi karunia
kepada seseorang untuk sampai di masjid ini, maka se-
mestinya ia memperbanyak shalat... Maksudnya, ketika
kami mengatakan bahwa musafir tidak shalat sunnah
rawatib Zhuhur, sunnah rawatib Maghrib dan sunnah
rawatib Isya', maka itu bukan berarti kami mengatakan,
'Jangan shalat selamanya.' Bahkan kami tegaskan, 'Sha-
latlah dan perbanyaklah shalat. Shalat itu sebaik-baik
imisan.' Shalat itu, sebagaimana firman Allah

'Z3d3/-Ma'ad (1/315).
^Majmu'Fatawa ma Maqatat Mutan3wwl'ah(lll3VS).
^Fatawa al-Lajnah ad-Dalmah Hal-Buhuts al-Ilmlyyah wa a/-//?@'(7/256).

49
^94<^ ^ ^

'Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perhuatan-


perbuatm) keji dan mungkar.' (Al-Ankabut: 45).
Karena itu, kaird menganjurkan kepada saudara-
saudara kami agar memperbanyak shalat sxinnah di mas-
jid ini, meskipun mereka sebagai musafir. Karena safar
tidak menghalangi Rasululiah Munbak melaksanakan
shalat sunnah. Tetapibeliauhanyameninggalkansunnah
Zhuhur, sunnah Maghrib dan sunnah Isya' saja. Semen-
"1
tara sunnah-sunnah lainnya masih tetap dianjurkan.

11. Tempat Pelaksanaan Shalat Sunnah Rawatib


Dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasululiah Hmembuat
kamar -perawi mengatakan, 'Aku menduga ia mengata-
kan dari tikar’- pada bulan Ramadhan. Kemudian beliau
shalat di dalamnya beberapa malam, lalu sejumlah orang
dari para sahabatnya mengikuti shalat beliau. Ketika
beliau mengetahui mereka, maka beliau duduk. Lantas
beHau keluar seraya bersabda kepada mereka,

✓ ^ 0 9 6 ^^ 9 ^ ^
3j ^ 5-^^1
'Aku sudah mengetahui apa yang aku lihat dari perbua-

‘Majmu' Fatawa wa Rasa’ll Fadh/lah asy-Syalkh Muhammad bln Shalih al-Utsaimin


(14/271).

5 0
Dalam hadits Ibnu Umar terdahulu, ia mengata-
kan, "Aku hafal dari Nabi li sepuluh rakaat: ...dua rakaat
sesudah Maghrib di rumah beliau, dua rakaat sesu-
dah Isya' di rumah beliau..."i
Dari Abdullah bin Umar bahwa dia menyifati
shalat sunnahnya RasuluUah Mdengan pemyataannya.

9 ^

5^ ^
"Beliau tidak shalat sesudah shalat Jum'at sampai beliau
pergi, lantas beliau shalat dua rakaat di rumah beliau."'^
An-Nawawi berkata, "Beliau hanyalah meng-
anjurkan shalat surmah di rumah, karena yang demikian
itu lebih tersembimyi,lebihjauhdaririya',lebihterjaga
dari perkara-perkara yang membatalkan amal, agar ru¬
mah menjadi berkah dengannya, rahmat dan malaikat
turun di dalamnya, dan setan lari darinya. " 3
Ibnu Qudamah mengatakan, "Dianjurkan me-
ngerjakan shalat-shalat sunnah di rumah... Abu Daud
mengatakan, 'Aku tidak pemah melihat Ahmad melak-
sanakan dua rakaat, yakni dua rakaat Fajar, di masjid sa-
ma sekali'."^

Al-Qurthubi berkata, "Pada asalnya shalat itu

‘HR. al-Bukhatl (1180); dan Muslim (729).


^HR. Muslim (882).
^Shah/h Muslim b! Syarb an-Nawaw! (6/67-68).
(2/543).

5 2
sebaiknya dikerjakan di rumah. la dikerjakan di masjid
karena suatu alasan atau suatu halangan. Misalnya, ada-
nya gangguan bila mengerjakan di rumah, atau lebih
mudah dan lebih giat dikerjakan di masjid, ataupun kare¬
na alasan yang semisalnya. " 1
Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,
"Semestinya setiap orang mengerjakan semua shalat sim-
nah razvatibnya di rumahnya... Bahkan di Mekah dan
Madinah sekalipun, yang terbaik ialah shalat sunnah
rawatib dikerjakan di rum^. Shalat sunnah rawahl? lebih
baik dikerjakan di rumah daripada dikerjakan di masjid,
baik di Masjidil Haram maupim Masjid Nabawi. Karena
Rasulullah ^mengatakan demikian saat berada di Ma¬
dinah. Sementara banyak orang pada saat sekarang meng-
anggap lebih baik shalat sunnah di Masjidil Haram, bukan
di rumah. Ini merupakan salah satu bentuk kebodohan."^
Beliau melanjutkan, "Tidak diriwayatkan dari Nabi
Mbahwa beliau pemah shalat sunnah di masjid, kecuali
shalat-shalat sunnah yang khusus dHakukan di masjid
maka beliau melaksanakannyadi masjid... Jadi, yang lebih
utama ialah menjaga shalat sunnah, dan seseorang melak-
sanakan shalat sunnah rawatib di rumahnya.
Sementara cd-Lajmh ad~Da'imah li al-Buhuts al-Ilmiyyah
xva al-Ifta' mengemukakan fatwa, "Dianjurkan shalat sim-

'AZ-Mufahham {2/366).
^Syarh Riyadh ash-ShallhIn {3/29S).
^Majmu'Fatawa wa Rasa'll FadhUah asy-Syaikh Muhammad bin Shallh al-Utsalmln
(14/289).

5 3
nah di rumah, baik sunnah rawatib maupun selainnya,
kecuali yang disyariatkan Allah ^agar dilaksanakan di
"1
masjid.
12. Waktu Shalat Sunnah Rawatib
Ibnu Qudamah mengatakan, "Shalat sunnah
qabliyah(sebelumshalatfardhu),waktuhyasejakmasuk
waktu shalat fardhu sampai shalat fardhu tersebut di-
dirikan. Dan shalat sunnah ha'diyah (sesudah shalat far¬
dhu), waktunya sampai habisnya waktu shalat fardhu."^
AI-Buhuti mengatakan, "Waktu semua shalat
rawatib, yakni sunnah rawatib sebelum shalat fardhu,
sepertisunnahFajardansunnahqabliyahZhuhur,ialah
sejakmasukwaktushalatFardhuhinggashalattersebut
dikerjakan. Sunnah Fajar dan qabliyah Zhtihur yang di-
kerjakansetelahshalatfardhuadalahqadha'sebagaimana
yangakandijelaskan.Sementarashalat-shalatsunnah
sesudah fardhu, seperti shalat sunnah sesudah Zhuhur,
surmah sesudah Maghrib dan Isya', maka waktunya
sejak shalat fardhu usai dikerjakan hingga akhir waktu-
nya. Shalat sunnah ba'diyah ini tidak sah didahulukan
dari shalat fardhu." ^

Syaikh Muharnmad bin Utsaiinin mengatakan,


"Pendapatyangkuat(rajih)bahwasunnahqabliyahwaktu¬
nya di antara masuknya waktu shalat fardhu hingga
‘Fatawsal-LaJnahad-Da'ImahIIal-Buhutsal-Ilmlyyahwaal-Ifta(7/239).
^Al-Mugfjn/{2I5M).
^Kasysyaf al-Qlna'{\ISQ2).

54
pelaksanaan shalat tersebut. Sunnah raioatib qahliyah
Zhuhur waktunya masuk sejak adzan Zhuhur, yakni se-
jak tergelincimya matahari, dan berakhir dengan pelak¬
sanaan shalat yakni shalat Zhuhur. Sementara sunnah
ba'diyah waktunya dimulai sejak selesainya shalat fardhu
dan berakhir dengan habisnya waktu shalat. Tetapi jika
waktu sunnaht e r s e b u t sudahlewatbukankarena
kelalaian seseorang, maka ia mengqadhanya sesudah
shalat fardhu. Adapun menunda shalat sunnah rawatib
qabliyah sehingga habis waktunya dengan tanpa udzur,
maka itu tidak bermanfaat baginya walaupun mengqa¬
dhanya. Karena pendapat yang shahih bahwa semua iba-
dah yang ditentukan dengan waktu tertentu, jika waktu¬
nya sudah habis dengan tanpa udziu, maka tidak sah dan
tidak diterima."!

13. Hikmah Adanya Sebagian Sunnah Raivat//) Sebe-


lum Shalat dan Sebagian Lainnya Sesudah Shalat
Ibnu Daqiq al-Id mengatakan, "Didahulukan
dan diakhirkannya shalat-shalat sunnah dari shalat-shalat-
fardhu terdapat rahasia penting. Adapun didahulukannya
dari shalat fardhu, karena manusia itu sibuk dengan
berbagai urusan duniawi dan faktor-faktomya sehingga
jiwa menjadi tercerai berai karenanya dalam keadaan jauh
dari konsentrasi dan kekhusyu'an dalam ibadah yang
menjadi spiritnya. Jika sunnah-simnah didahulukan atas

Majmu'Fatawa wa Rasa'llFadhHah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsalmln


(14/270).

55
shalat fardhu, maka jiwa mergadi senang pada ibadah dan
menyatu kembali dalam keadaan lebih dekat pada kekhu-
syu'an. Sehingga ia masuk dalam shalat fardhu dalam
kondisi yang bagus, yang hal itu tidak akan terwujud
sekiranya shiat sunnah tidak didahulukan. Sebab jiwa
itu tercipta xmtuk tercerai berai terhadap perkara yang
dihadapinya, terlebih lagi jika perkara yang dihadapinya
itu bermacam-macam. Adapun sunnah-sunnah ba'diyah,
maka disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah itu akan
menambal kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu.
Jika shalat fardhu telah dilakukan, maka tepat bila sete-
lahnya terdapat shalat sunnah yang dapat menutupi
111
segala kekurangan yang ada padanya, jika ada.
Syaikh Abdullah al-Bassam mengatakan, "Seba-
gian shalat sunnah rawatib ini dikerjakan sebelum shalat
fardhu, untuk menyiapkan jiwa orang yang shalat untuk
beribadah sebelum memulai shalat fardhu. Sementara
sebagian siinnah rawatib dilakukan setelah shalat fardhu.
Mimgkin di antara hikmah Allah mengadakan sunnah
rawatib Shubuh dan sunnah navatib Zhuhur sebelum sha¬
lat fardhu, karena masanya jauh. Jadi shalat sebelum
waktunya adalah untuk menyiapkan jiwa, dan menyatu-
kan jiwa imtuk mengerjakan shalat fardhu yang merupa-
kan syiar paling agung. Lain halnya dengan Maghrib
dan Isya', sebab orang yang shalat masih dekat masanya
dengan shalat."^

‘Ihkam ahAhkam {,251).


*Taudhlh ahAhkam (2/383).

56
S i /

MENGQADHA SHAIAT SUNNAH


RAWATIB

1. Qadha Shaiat Sunnah Rawatib

Dari Abu Huiairah ia mengatakan,


i y

^ iii y^ai->
Jki-D O - i i l s

iOUa-jJl \jJ i ✓ ✓ ✓ ✓
J ^
^
|*j w»jii If-Jj cblM.A5 rjli
,t9 ^ , I ,* * A* * * .
.✓✓■ ! !!^ I^l( '' ®**l ^ *» 1 ^ ^
ftlJjJl ^iU»fl3 d^LAJl C.~a^i |*-t

Kami hermalam bersarm Nabi Mdun kami tidak bangun


l t

hingga matahari terbit, maka Nabi Mbersabda, 'Hendak-


lah masing-masing orang memegang kepala untanya.
Sebab ini adalah tempat dimana kita telah didatangi oleh
setan.Kami pun melakukannya. Kemudian beliau me¬

57
minta air untuk herwudhu. hdu heliau shalat dm rakaat.'
Ya'qub (salahseorangrawihadite ini) berkata,'Kemu~
dian heliau shalat dua rakaat, kemudian iqamah shalat
ij
dikumandangkan lalu heliau shalat Shuhuh.
Ibnu al-Qayyim^us!;^^berkatamengenaikandimgan
fikih dari kisah ini, "Kisah ini mengisyaratkan bahwa
sunnah-sunnah rawatib itu diqadha' sebagaimana halnya
shalat-shalat fardhu. Rasulullah Mpemah mengqadha
sunnah Fajar bersama shalat Shubuh, dan mengqadha
sunnah Zhuhur saja. Dan di antara petunjuk sunnah be-
liau adalah mengqadha sunnah-sunnah b e r s a m a
shalat-shalat fardhu."^

Syaikh Muhammad bin Utsaimincwsl^ mengatakan,


"Rawatib diqadha karena mengikuti shabt fardhu, seba¬
gaimana hal itu disebutkan dari Nabi ^tentang kisah
tertidurnya mereka sehingga terlewat shalat Shubuh
dalam peijalanan. Di mana Nabi ^shalat rawatib, kemu¬
dian shalat fardhu."3

Dari Anas 4^ dari Nabi beliau bersabda,

iLJi 'ill 9jUS" S/


"Barangsiapa yang lupa shalat, maka hendaMah ia menu-
mikannyaket^mengingatnya.Tiadakajfarohbagishalat

*HR. Muslim (680).


^Zadal-Ma'ad(3/356).
^MaJmu'Fatawa wa Rasa'll Fadhilah asy-SyaIkh Muhammad bln Shallh al-Utsalmln
(14/281).

58
$i^Ut

" I
yang ditinggalkannya kecuali itu.
Ibnu Hazm ^wil^^mengatakan, "Ini berlaku umum
"2
imtuk semua shalat, baik fardhu maupun sunnah.
An-Nawawi ai!;^berkata, "Dalamhaditsiniterdapat
dalil tentang diqadhanya shalat sunnah rawatib, jika terle-
watkan."^

la juga mengatakan, "Yang shahih, menurut (madz-


hab) kami, dianjurkan mengqadha shalat-shalat sunnah
raivatib."*

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,


"Ini meliputi shalat fardhu, qiyamul tail, Witir dan sunnah-
sunnah rawatib."^

Al-Buhuti mengatakan, "Barangsiapa yang ter-


lewat mengeijakan sesuatu dari sunnah-sunnah ini, maka
ia disunnahkan untuk mengqadhanya, berdasarkan ri-
wayat yang menyebutkan bahwa Nabi Mmengqadha
dua rakaat Fajar l^rsama shalat Shubuh ketika tertidur
sehingga terlewat waktunya. Beliau juga pemah meng¬
qadha dua rakaat sebelum Zhuhur sesudah shalat Ashar.
" 6
Dan yang lainnya kita kiaskan dengan hal itu.
Ibnu Qudamah mengatakan, "Jika waktu dari

‘HR. al-Bukhari (597); dan Muslim (680).


*AI-Muhalla (2/55).
^Syarh Shahih Muslim, Imam an*Nawawi (5/183).
*/V-Way/ny'(3/368).
*Majmu'Fatawa Ibnu Ta//77/>ya/? (23/'90).
®Kasysyafal-QinaWSQl).

59
U-*-*-*i

shalat-shalat surmah ini terlewat, maka Ahmad mengata-


kan, 'Tidak sampai pada kami bahwa Nabi ^pemah
mengqadha satu pim dari shalat simnah kecuali dua
rakaat Fajar dan dua rakaat sesudah Ashar'."i
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "Shalat
sunnah akangugurketikasudahlewatwaktunya, kecuali
sunnah Fajar, maka ia diqadha sesudah shalat atau sesu¬
dah terbit matahari. Karena Nabi Mdan para sahabatnya
mengqadhanya bersama shalat Shubuh, ketika mereka
tertidur sehingga waktu shalat Shubuh terlewat dalam
salah satu perjalanannya...Demikian pula sunnah rawati??
qabliyah Zhuhur, jika terlewat waktunya, maka diqadha
setelah shalat Zhuhur bersama sunnah rawatib ba'diyah.
Karena Nabi^ tatkala terlewat mengerjakannya, maka
beliau mengqadhanya sesudah shalat. "2

2. Mengqadha Sunnah-sunnah Rawatib Pada Wak¬


tu yang Dilarang
Dari Ummu Salamah bahwa ia pemah mengutus
sahaya wanitanya untuk bertanya kepada Rasulullah ^
tentang dua rakaat sesudah Ashar, maka beliau ^men-
jawab.

i ^ 0

>■ k
u

‘AI-Mughnl{2IS^).
*Majmu'Fatawa wa MaqalatMutanawwl'ah{\\l'i^^).

6 0
jifu ii4i
'Wfl/wi PutriAbu Urmyyah! Engkau bertanya tentang
dua rakaat sesudah Ashar. Sesungguhnya sejumlah orang
dari qabilah Abdul Qais datang kepadaJai dengan memba-
loa keislaman dari kaum mereka. Sehingga mereka mela-
laikanku dari dua rakaat sesudah shalat Zkuhur. Jodi dua
rakaat tersebut adalah dua rakaat sebelum Zhuhur (yang
dicjodha)." ^
Ibnu Qudamah mengatakan, "Adapun meng-
qadha sunnah-sunnah rawatib sesudah Ashar, maka me-
nurut pendapat yang benar adalah dibolehkan, karena
Nabi Mpemah mel^ukannya. Sesungguhnya beliau ^
pemah mengqadha dua rakaat sebelum Zhuhur sesudah
Ashar dalam hadits Ummu Salamah. Dan mencontoh

apa yang dilakukan Nabi ^adalah suatu keharusan."^


Ibnu al-Qayyim mengatakan, '^Ketika terlewat
mengeijakan dua rakaat sesudah Zhuhur, beliau ^meng-
qadhanya sesudah Ashar. Karena jika beliau melakukan
suatu amalan, maka beliau konsisten mengerjakannya.
Mengqadha sunnah-sunnah raujafib pada waktu-waktu
terlarang adalah berlaku umum untuk beliau dan xunat-
nya. Adapun senantiasa mengeijakan dua rakaat tersebut
pada waktu-waktu terlarang, maka itu dikhususkan

>HR. al-Bukhari (1233) dan Muslim (834)


’A/-Mughn/(21532).

61
"1
untuk beliau (tidak berlaku bagi umatnya).
Syaikhul Islam IbnuTaimiyah mengatakan,"Jika
sunnii rawatib sudah terlewat, seperti stmnah Zhuhur,
apakah boleh diqadha setelah Ashar? Ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh diqadha, dan kedua, boleh diqadha.
Dan inilah pendapat yang lebih kuat."2
Syaikh IbnuUtsaimin;Ji>lSi^berkata, "Semestinyadike-
tahui bahwa pendapat yang kuat {rajih) dari pendapat-
pendapat para nlama, bahwasanya semua shalat sunnah
yang memiliki sebab-sebab, tidak ada larangan untuk
dikeqakan, tetapi boleh dikerjakan meski pada waktu
yang dilarang sekalipun. " 3
Adapun Syaikh Abdul Aziz bin Baz berpenda-
pat, "Seandainya shalat sunnah sebelum Zhuhxir terlewat-
kan, maka yang benar ialah tidak diqadha setelah keluar
waktunya. Karena Nabi Mtatkala mengqadha sunnah
ba'diyah Zhiihur sesudah Ashar, Ummu Salamah bertanya
kepada beliau tentang hal itu, 'Apakah kami mengqadha-
nya jika sudah lewat waktu?' Beliau menjawab, 'Tidak.'^
Dengan demikian, ini merupakan salah satu kekhususan

‘Zad3l-M3'3Cf (11308).
^Majmu'Fatawa Ibnu Talmiyyah (23/127) dengan diringkas. .
*Majmu'Fatawa wa Rasa'HFadhilah asy-SyaIkh Muhammadb/n Shallh al-Utsalmln
(14/341).
*Al-Albani 5mengatakan dalam Irwa' al-Ghalll (21188) tentang tambahan ini daiam
hadits Ummu Salamah, "Mayorltas perawl dari Hammad bdak menyebutkan tambahan
Ini. JadI, Ini merupakan tambahan yang aneh."

6 2
Nabi yakni mengqadhanya sesudah Ashar."^
Imam al-Baihaqi mengatakan tentang hadits
Ummu Salamah "Ini adalah riwayat yang dhaif." Ke-
mudian ia mengatakan, "Dan yang menjadi kekhususan
Nabi Mialah mengerjakan secara terus-menerus, bukan
qadha itu sendiri."^
3. Kapan Sunnah Fajar Diqadha?
Dari Abu Hurairah ia mengatakan, "RasuluUah
^bersabda,
4 ^ i f

'Barangsiapa hehim melakukan shalat (sunnah) dua ra-


kant Fajar, nmka kerjakanlah setelah matahari terhit '^
Asy-Syaukani berkata, "Tidak ada dalam hadits
suatu dalil yang menunjukkan atas dilarangnya menger¬
jakan kedua rakaat tersebut sesudah shalat Shubuh.
Hal itu ditunjukkan oleh riwayat ad-Daruquthiu, al-
Hakim dan al-Baihaqi, yang redaksinya berbunyi,
^J;. ^ ^
'Barangsiapa belum melakukan shalat (sunnah) dm raka¬
at Fajar hingga terbit matahari, maka hendaklah ia me-

‘MaJmu'Fatawa wa MaqalatMutanavml'ah{\ll2S\-Z^2).
^Nall al-Authar{Zlll).
^HR. at-Tirmidzl (423); dan q\shahilkar\ al-Albanl.

63
ngerjakannya'
Dari Muhammad bin Ibrahim, dari kakeknya, yang
bemama Qais, ia mengatakan, "Nabi 0, keluar lalu shalat
diiqamahkan, maka aku shalat Shubuh bersama beliau.
Kemudian Nabi Mpergi dan menjumpaiku tengah me-
ngerjakan shalat, maka beliau mengatakan,

jil j

'Sebentar, wahai Qais, apakah dm shalat sekaligus?' Aku


menjawah, 'Wahai RasuluUah, sesungguhnya aku belum
melaksanakan shalat (sunnah) Fajar.' Beliau bersabda, 'Ka-
laubegitu, tidakapa-apa'." (HR.at-Tirmidzi)
Dalam riwayat Abu Daud dengan redaksi:
jaJlp auI j 1"
"Maka RasuluUah Mdiatn"^
Al-Mubarakfuri berkata, "Ketahuilah bahwa
sabda Nabi 'oij yS' bermakna 'maka tidak apa-apa
kamu melaksanakan shalat dua rakaat tersebut pada saat
itu.' Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Abu Daud dengan
lafazh, 'Maka RasululUdi Mpun diam'."^
Penulis kitab Aun al-Ma'bud mentikil dari al-Khath-

*Nall al-Authar{ZI29).
^HR. at-71rmldzl {422); Abu Daud (1267), dan dXshahltkan al-Albanl.
*Tuhfah al-Ahwadzl

64
thabi yang menyatakan, "Dalam hadits ini terdapat
penjelasan bahwa bagi orang yang terlewat mengerjakan
shalat dua rakaat sebelum shalat fardhu, maka ia boleh
mengerjakannya sesudahnya sebelum terbit matahari.
Larangan mengerjakan shalat sesudah shalat Shubuh
hingga terbit matahari, hanyalah berkenaan dengan sha¬
lat sunnah yang dikerjakan seseorang secara langsung
dan spontan, bukan yang memiliki kaitan dengan suatu
sebab."i

Ibnu Qudamah mengatakan, "Adapim meng-


qadha sunnah Fajar sesudah shalat Shubuh maka diper-
bolehkan. Hanya saja Imam Ahmad memilih agar kedua
rakaat tersebut diqadha pada waktu Dhuha. la mengata¬
kan, 'Mengerjakan kedua rakaat tersebut sesudah Fajar
(Shubuh) hukumnya sah. Namun, aku memilih hal itu
(dikerjakan pada waktu Dhuha)."2
Syaikh Miihammad bin Ibrahim mengatakan,
"Barangsiapa yang masuk masjid dan menjumpai jamaah
tengah mengeijakan shalat Shubuh, lalu ia shalat bersama
mereka, maka ia boleh mengeijakan dua rakaat Fajar se-
telah selesai melaksanakan shalat Shubuh. Tetapi yang
terbaik ialah memmdanya hingga matahari naik setmggi
tombak."3

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "Jika

*Aun al-Ma'bud{AllQl).
*AI-Mughnl{2IS3\).
’Majmu'Fatawaasy-SyaikhMuhammadblnIbrahim(2/259-260).

6 5
seorang muslim tidak dapat menunaikan sunnah Fajar
sebelum shalat Shubuh, maka ia boleh memilih di antara
dua pilihan: mengeijakarmya sesudah shalat Shubuh atau
menundanya hingga matahari meninggi. Karena ada
ketetapan dari Sunnah Nabi Mtentang dua hal tersebut.
Tapi menundanya adalah lebih baik hingga matahari
meninggi, karena Nabi Mmemerintahkan demikian. Ada-
pun mengerjakarmya sesudah shalat, maka ada taqrir
(persetujuan) dari Nabi ^yang menunjukkan atas hal
itu."i

Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,


"Mengqadha sunnah Fajar setelah shalat Shubuh tidak
apa*apa, menurut pendapat yang kuat (rajih). Dan itu
tidak bertentangan dengan hadits yang melarang shalat
sesudah shalat Fajar karena yang dilarang ialah shalat
yang tidak memiliki suatu sebab. Tetapi jika ia menunda
mengqadhanya hingga Dhuha dan tidak khawatir akan " 2
melupakannya, maka itulahyang terbaik.
Sementara al-Lajmh ad-Da'imah li d-Buhuts al-Umiyyah
w a
aUlfta' berfatwa, "Dua rakaat Fajar, jika ia belum me-
ngerjakannya sebelum shalat fardhu, maka ia mengerja-
kan dua rakaat tersebut sesudahnya. Jika ia mengerjakan-
nya setelah matahari meninggi, maka itulah yang lebih

‘MaJmuFat3waw9 MaqalatMutanamvi'afi {111373). !


^Majmu'Fatawa wa Rasa'H FadhHah asy-SyaIkh Muhammad bln Shallh al-Utsalmln
(14/ 280).

6 6
utaina."!

4. Jika Shalat Shubuh Berjamaah Sudah Terlewat,


Apakah Memulai Dengan Sunnah Rawatib atau-
kah Fardhu?

Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,


"Shalat sunnah rawatib didahulukan atas shalat fardhu;
karena sunnah Fajar itu sebelum shalat fardhu, walaupun
jamaah sudah keluar dari masjid. " 2
5 . Te r t i b D a l a m Q a d h a

Al-Buhuti berkata, "Dimulai dengan sunnah qab-


liyah Zhuhur, jika ia mengqadhanya. Yakni sunnah sebe¬
lum sunnah yang sesudahnya, yakni ba'diyah Zhuhur 113
sebagai anjuran, karena memperhatikan urutannya.
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, "Jika suatu
shalat memiliki dua sunnah, qabliyah dan ba'diyah, lalu
yang awal terlewat, maka ia memulai yang ba'diyah ke-
mudian baru yang terlewat. Sebagai contoh, seseorang
masuk masjid sementara imam sedang shalat Zhuhur
sedangkan ia belum shalat sunnah rawatib qabliyah Zhu¬
hur maka ketika shalat telah selesai dikerjakan, ia me¬
mulai dengan shalat dua rakaat ba'diyaJi, kemudian meng-

’Fatawa Bl-Lajnah ad-Da'imah IIal-Buhutsal-Ilmlyyah wa al-lfta'{7l 240-241).


^MajmuFatawawaRasallFadhHahasy-SyaikhMuhammadbinShallhal-Utsalmln(14/
298).
^Kasysyafal-QIna'{1I50Z).

67
S*-*-*^

qadha empat rakaat qabliyah Zhxihur."i


6. Mengqadha Shalat Sunnah Rawatib yang Terle-
wat, Jika Banyak
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Boleh mengqadha shalat-shalat yang terlewat berikut
sunnah-siinnah mwatibnya, atau tanpa dengannya, karena
sunnah-sunnah tersebut sangat ditekankan. Kemudian
jika banyak, maka yang terbaik ialah cukup mengqadha
yang fardhu saja; karena bersegera lepas dari tanggungan
lebih diprioritaskan. Karena itu, ketika Nabi ^meng¬
qadha empat shalat pada saat perang Khandaq, beliau
mengqadhanya secara berurutan, dan tidak dinnkil bah-
wa beliau mengqadha sesuatudiantarakeempatnya...
Namun, jika hanya satu atau dua shalat, maka yang
lebih utama ialah mengqadhanya sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi ^pada saat terlewat mengerjakan
shalat Subuh, di mana beliau mengqadhanya berikut
shalat sunnahnya."2
Al-Buhuti '6^ berkata, "Jika shalat fardhu yang ter¬
lewat hanya sedikit, maka ia mengqadha sunnah-sun-
nah rawatibnya. bersamanya. Jika banyak, maka yang
lebih utama ialah meninggalkannya... kecuali sunnah
Fajar maka sebaiknya ia mengqadhanya walaupun ba¬
nyak shalat-shalat yang terlewat, karena sunnah Fajar
sangat ditekankan dan dianjurkan oleh Syari' (dalam
^Syarah Riyadh ash-Shallhln{'3l2'S3).
^Syarh at-Umdah jz38).

68
hal ini RasultiUah

Syaikh Mar'i al-Karmi mengatakan, "Disunnah-


kan mengqadha sunnah raivatib dan Witir, kecuali bda
yang terlewat bersama shalat fardhunya cukup banyak,
maka yang lebih utama ialah meninggalkannya. " 2
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di mengatakan,
"Jika shalat yang terlewat adalah shalat sunn^, maka
dianjurkan untuk mengqadhanya, kecuali sunnah mwatib
jika terlewat bersama banyak shalat fardhu, maka ia
cukup mengerjakan shalat-shalat fardhu tersebut. Kecuali
sunnah Fajar, maka ia mengqadhanya secara mutlak."^

‘K3Sysy3fa/-Q/na'{1/309).
^Dam ath-Thallb {1/30).
^AHrsyadHaMa'tifahal-Ahkam(29).

69
T E N TA N G M E N YAT U K A N A N TA R A
SUNNAH RAWATIB DAN SHAIAT-
S H A I AT S U N N A H l A I N N YA

1. Menyatukan Antara Shalat sunnah rawatib De-


ngan TahiyatuI Masjid dan Sunnah Wudhu
An-Nawawi mengatakan, "Para sahabat kami
mengatakan, 'Demikian pula seandainya seseorang ber-
niat shalat fardhu dan tahiyatul masjid, atau sunnah ra-
watih dan tahiyatul masjid, maka keduanya diperoleh
"1
dengan tanpa ada perbedaan pendapat.
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di^yii^ mengatakan, "Jika
seseorang masuk masjid pada waktu masuknya shalat
sunnah rawatib dan ia shalat dua rakaat, dengan meniat-
kan sebagai sunnah rawatib dan tahiyatul masjid maka
keduanya diperoleh dan ia memperoleh keutamaan ke¬
duanya. Dernikian pula bila berhimpun sunnah wudhu
pada keduanya atau salah satu dari keduanya. " 2
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "la
1Al-Majmu'{3/375).
^Al-Qawa'id wa al-Ushulal-Jaml'ah {75).

70
iUlA

shalat siinnah raxvatib dan tidak perlu lagi shalat tahiyatul


tmsjid karena maksudnya bahwa seorang muslim tidak
boleh shalat di masjid hingga mengerjakan shalat yang
mudah dilakukannya. Jika ia menemukan apa yang dapat
menempati kedudukan tahiyatul masjid, maka itu sudah
cukup seperti shalat fardhu, shalat rawatib, shalat Kusuf,
dan semisalnya."!
Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,
"Jika seseorang masuk masjid dan ingin mengerjakan
shalat rawatib, lalu ia shalat rawatib, maka tahiyatul masjid
menjadi gugur dengan hal itu. Karena yang dimaksud
iaiah anda tidak duduk hingga mengerjakan shalat, se-
dangkan anda sudah shalat. " 2
Sementara al-Lajnah ad-Da'imah lial-Buhuts al-Rmiyyah
wa al-Ifta' (Dewan Tetap Urusan Riset Umiah dan Fatwa)
berfatwa, "Jika seorang muslim berwudhu dan masuk
masjid setelah adzan Zhuhur, dan ia shalat dua rakaat
dengan meniatkannya sebagai tahiyatul masjid, sunnah
wudhu dan sunnah i^uhur, maka hal itu sudah m e n c a -

kup ketiganya. " 3

2. Menyatukan Antara sunnah rawatib Fajar Dengan


Shalat Isyraq (Setelah Terbit Matahari Setinggi
Tombak)
Syaikh Muhammad bin Utsaimin berkata, "Jika

'Majmu'Fatawa wa MaqalatMutanawwl'ah{\\l'i7S).
*Mapiu'Fatawa RasaVFadhilahasy-SyalMiM’jhanvnadblnSii3V\ . ) 41 / 02 (
^FatawaahLaJnahad-Da'imahIIahBuhutsal-Ilmlyyah
waal-lfta'
(7/248-249).

71
seseorang melaksanakan shalat Isyraq, sementara ia luput
mengerjakan sunnah Fajar, maka itu tidak bisa menca-
kup sunnah Fajar. Tapi jika ia shalat sunnah Fajar, maka
bisa kita katakan bahwa itu bisa mencaktip shalat Isyraq.
Karena tujuan bisa tercapai, maka seseorang cukup shalat
dua rakaat.

Bisa juga kita katakan bahwa itu tidak mencakup-


nya. Karena maksudnya seseorang mengerjakan shalat
dua rakaat yang khusus berkenaan dengan Isyraq. Ini
y a n g lebih hati-hati. Berdasarkan hal ini, ia shalat sunnah
" 1
Fajar, baru kemudian dua rakaat Isyraq.
3. Menyatukan Antara Sunnah Rawatib Dengan
Dua Rakaat Thawaf

Ibnu al-Qayyim berkata, "Seandainya seseorang


shalat dua rakaat dengan meniatkannya sebagai tahiyatul
masjid dan sunnah rawatib, atau shalat sesudah thawaf
sebagai fardhu, atau sunnah yang ditentukan, maka dua
rakaat itu sah terhitung untuk shalat tersebut dan juga
untuk dua rakaat thawaf."^
Al-Buhuti mengatakan, "Kedua rakaat itu sudah
memadai untuk dua rakaat I7wwfl/yang diwajibkan dan
sunnah rawatib."^

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di mengatakan.

‘Majmu Fatawa wa Rasa'll FadhHah asy-Syaikh Muhammad bin Shalth al-Utsalmln (14/
275-276).
^Tuhfah ahMaudud {112).
^Kasysyafal-Qina'{2l\\67).

7 2
"Shalat Dhuha termasuk shalat-shalat surmah yang ber-
sifat mutlak tidak terikat, dan sunnah-sunnah mutlak
tidak termasuk dalam pernyataan mereka bahwa sese-
orang yang masuk masjid, misalnya, lalu mengerjakan
shalat dengan meniatkannya sebagai tahiyatul masjid
dan sunnah raivatih maka hal itu sudah memadai, karena
dua ibadah dari satu jenis dan perbuatan keduanya ber-
padu. Dan sama halnya juga dengan shalat thawaf. " 1
Syaikh Muhammad bin Utsaimin berkata,
"Pen-
dapat yang kuat menunitku, adalah hams mengerjakan
shalat dua rakaat untuk masing-masing dari keduanya:
112
imtuk thawaf dan rawatib.
4. Menyatukan Antara Dua Rakaat Dhuha dengan Ra¬
watib Fajar, Jika Melaksanakannya Pada Waktu
Dhuha

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di mengatakan,


"Shalat Dhuha termasuk shalat-shalat sunnah yang ber-
sifat mutlak tidak terikat, dan sunnah-simnah mutlak
tidak termasuk dalam pernyataan mereka bahwa sese-
orang yang masuk masjid, misalnya, lalu mengerjakan
shalat dengan meniatkaruiya sebagai tahiyatul masjid
dan sunnah rawatib maka hal itu sudah memadai, karena
dua ibadah dari satu jenis dan perbuatan keduanya ber-
padu. Dan sama halnya juga dengan shalat thawaf Se-

‘Flqh asy-SyaIkh as-Sa'dl{ll\7%).


^Majmu Fatawa wa Rasa'll FadhUah asy-SyaIkh Muhammad bln Shallh al-Utsalmln (20/
13).

73
dangkan shalat sunnah rawatib bisa mencakup shalat
sunnah wudhu dan sejenisnya dari shalat-shalat yang
memiliki suatu sebab dan hukunmya menjadi hilang
dengan hilangnya sebab tersebut. Berbeda dengan shalat
" 1
Dhuha maka itu tidak termasuk dalam kategorinya.
Syaikh Muhammad bin Utsaimin m e n g a t a k a n ,
"Seseorang luput mengerjakan sunnah Fajar hingga terbit
matahari, dan tibalah waktu shalat Dhuha, maka di sini
sunnah Fajar tidak dapat mencakup shalat Dhuha, dan
tidak bisa pula shalat Dhuha mencakup sunnah Fajar,
serta tidak bisa pula keduanya dijama'. Karena sunnah
Fajar itu berdiri sendiri, dan sunnah Dhuha juga berdiri
" 2
sendiri. Salah satunya tidak bisa mencakup lainnya.
5. Menyatukan Antara Sunnah Rawatib Isya' De¬
ngan Dua Rakaat Pertama Shalat Tarawih
Syaikh Abdullah Abu Bathdiin mengatakan,
"Adapun orang yang shalat sunnah rawatib Isya' di be-
lakang orang yang shalat Tarawih, maka dalam masalah
ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur, sedang-
" 3
kan yang kuat (rajih), menurut saya, adalah boleh.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "Yang
sesuai dengan sunnah ialah agar tahajjud di bulan Rama-
dhan dan selainnya dilakukan setelah melaksanakan
shalat sunnah rawatib Isya' sebagaimana Nabi Mmela-

‘Fiqh asy-Syalkh as-SaWiUm).


*Mapiu' Fatawa W3 RasaV Fadhilah asy-Syalkh Muhammad bin Shallh al-Utsaknh 00113).
^Ad-Durar as-Sunntyyah

7 4
<>UUt

kukannya. Tiada bedanya apakah bertahajjud di masjid


atau di rumah."i

Syaikh Muhammad bin Utsaimiriui^ mengatakan


bagi siapa yang masuk masjid dan imam sedang me-
laksanakan shalat Tarawih, sementara ia belum shalat
IsyaV "Kami katakan/Ikutlahbersama imam dalam Tara¬
wih dengan niat shalat fardhu,yaknidenganniatlsya'.
Jika imam salam, maka berdirilah dan laksanakan dua
rakaat untuk menyempiumakan shalat fardhu tersebut..
Kemudian ikutlah bersamanya dalam Tarawih dengan
niat sunnah rawatib Isya'... Jika kamu telah shalat sunnah
rawatib Isya', masukl^ bersamanya dalam Tarawih. Ti-
"2
dak mengapa niat imam berbeda dengan niat makmum.
Adapun Syaikh Abdullah bin Jibrin mengata¬
kan, "Sudah dimaklumi tentang disunnahkannya rawa¬
tib yang mengiringi shalat-shalat fardhu, di antaranya
dua rakaat sesudah Isya'. Di anjurkan untuk memeliha-
ranya dan mengqadhanya bila terlewatkan. Adapun
Tarawih maka ini adalah^flm yang dikhususkanpada
malam-malam Ramadhan dan hukumnya sunnah mu'ak-
kadah, sebagaimana terdapat ar^uran untuk mengeijakan-
nya, dan sunnah rawatib Isya' tidak bisa masuk di dalam-
nya. Yang sesuai dengan sunnah adalah bahwa setelah
melaksanakan shalat fardhu Isya' mereka hendaknya
mendirikan sunnah rawatib, kemudian berdiri untuk

*MaJmu'Fatawa wa MaqalatMutanawwI'ah^WIZ&S).
^Asy-Syarh a/-Afy/nff'(4/66).

75
melaksanakan shalat Tarawih. Mereka tidak boleh me-
ngategorikan sebagai dua rakaat sunnah rawatib dari
shalat Tarawih. Sebab ada perbedaan yang besar di an-
tara keduanya.''^
6. Menyatukan Antara Sunnah Rawatib dan Dua
Rakaat Istikharah

Dari Jabir bin Abdillah ia mengatakan, "Rasu-


luUah ^mengajarkan kami Istikharah dalam segala uru-
san, sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surah
al-Qur'an, beliau ^bersabda,
li!

"Jika salah seorang dari kalian ingin melakukan suatu


" 2
urusan, maka shalatlah dua rakaat selain shalat Jardhu.
Imam an-Nawawi mengatakan, "Zhahimyabah-
wa Istikharah dapat diperoleh dengan dua rakaat dari
sunnah-surmah rawatib."^

Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan, seseorang


melaksanakan shalat sunnah rawatib atau tahiyatul masjid,
kemudian menginginkan sesuatu sesudah shalat atau di
tengah-tengah shalat, maka zhahimya bahwa shalat sim-
nah Istikharah tidak terperoleh dengan hal itu. Benar, ^
jika ia meniatkan hal itu sebelum memulai shalat sunnah

‘AhQau!al-Mubin nMa'rifah ma Yahum al-Mushallln


2HR. al-Bukhari (1166).
3Al-Adzkar{\51).

76
rawatib atau tahiyatul rmsjid, maka zhahimya bahwa hal
itu terperoleh."!
Ibnu Hajar mengatakan, "Jika ia meniatkan sha-
lat tertentu dan shalat Istikharah sekaligus, maka itu sah,
berbeda halnya jika tidak meniatkannya."^
Syaikh Abdurrahman as-Sa'diiiilS^ mengatakan, "Jika
seseorang masuk masjid pada saat tiba waktunya shalat
sunnah rawatib dan shalat dua rakaat dengan meniatkan-
nya sebagai shalat sunnah rawatib dan tahiyatul masjid,
maka keduanya diperoleh dan ia memperoleh keutama-
an keduanya. Demikian pula jika sunnah wudhu berhim-
pun bersama keduanya atau salah satu dari keduanya,
shalat/sfi/c/wra/i, atau shalat-shalat lainnya."^
Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,
"Tidak dapat disebut sebagai doa istikharah jika seseo¬
rang shalat tahiyatul masjid atau rawatib, sementara ia
belum meniatkannya sebelumnya. Karena hadits dengan
tegas memerintahkan shalat dua rakaat untuk istikharah.
Jika ia shalat dua rakaat dengan selain niat ini, maka pe-
rintah tersebut belum terlaksana.

Adapun jika ia bemiat istikharah sebelum tahiyatul


masjid dan rawatib, kemudian ia berdoa dengan doa istikha¬
rah, maka zhahir hadits menunjukkan bahwa itu men-

*At-T3dakhulbalna al-Ahkam nal-Flqh al-Islaml{il'iQ^), yang dinukll darl hadits


tentang shalat Istikharah (54).
^Fath al-Bari{nii%<i).
^AFQawa'id Wa al-Ushulal-Jaml'ah {7S).

77
cukupinya (sah); berdasarkan sabda beliau

'Maka shalatlah dm rakaat selain jdrdhu.'


Beliau tidak mengecualikan kecuali shalat fardhu.
Bisa juga mengandung arti bahwa itu tidak sah. Karena
sabda Nabi

if ^r*
'Jika herkeingimn, maka shalatlah dm rakaat.'
Ini menunjukkan bahwa kedua rakaat tersebut tidak
memiliki sebab kecuali Istikharah. Dan yang lebih utama,
menurut saya, seseorang melaksanakan shalat dua raka¬
at tersendiri; karena kemungkinan itu tetap ada."i

7. Apakah Sunnah Dua Fardhu Boleh Dijama' De-


ngan Satu Niat?
Al-Lajnah ad-DaHmah li al-Buhuts al-Umiyyah wa al-
Ifta' (Dewan Tetap Urusan Riset nmiah dan Fatwa) ber-
fatwa, "Sunnah fardhu dengan sunnah fardhu lainnya
"2
tidak boleh dijama' dengan satu niat.

'Majmu'Fatawa wa Rasa'll FadhHah asy-Syaikh Muhammad bln Shallh al-Utsalmln


(14/322).
*Fatawa al-LaJnah ad-Da'imah Hal-Buhuts al-Ilm/yyah wa a/-//te'{7/249).

78
M E M U I A I S H A I AT S U N N A H
E A W AT I B D A N M E M U T U S K A N N YA

1. Menentukan Niat Shalat Sunnah rawatib Sebelum


Memulainya
Ibnu Qudamah mengatakan, "Shalat nafilah ter-
bagi menjadi dua macam (mu'ayyanah dan ghairu mu'ay-
yanah), yang mu'ayyanah seperti shalat Kusuf, Istisqa',
Tarawih, Witir, dan stmnah-sunnah raivatib, yang memer-
lukan ta'yin (penentuan dalam niat)."^
An-Nawawi berkata, "Shalat nafilah itu ada dua
macam: Pertama, yang memiliki waktu atau sebab, seper¬
ti sunnah-sunnah raivatib, Dhuha, Witir, Kusuf, Istisqa', Id
dan selainnya. Dalam hal ini disyaratkan niat mengerja-
kan shalat tertentu... la bemiatsunnahShubuh, sunnah
qabliyah atau ba'diyah Zhuhur, atau sunnah Ashar."^

‘A/’Mughn/{2/123).
^Al-Majmu'(2mi).

79
2. Memutus Shalat Sunnah Tanpa Udzur
Syaikh Muhammad bin Utsaimin berkata, "Para
ulama berpendapat, setiap orang yang sedang me-
laksanakan shalat sunnah, ia boleh memutusnya. Karena
ia hanya shalat sunnah, dan melanjutkannya tennasuk
sunnah. Hanya saja dimakmhkan untuk memutuskannya
" 1
tanpa keperluan.
3. Memulai Sunnah Rawatib Seteiah Iqamat
Dari Abu Hurairah dari Nabi beliau ber-
sabda.

'*Jika shalat sudah diiqamatkan, tmka tiada shalat lagi


kecuali shalat fardhu. "2
An-Nawawi berkata, "Dalam hadits ini terdapat
larangan yang tegas untuk memulai shalat sunnah seteiah
iqamat shalat, baik rawatib, seperti sunnah Shubuh, Zhuhur,
"3
Ashar, maupim yang lainnya.
Dari Abdullah bin Malik bin Buhainah bahwa Rasu-
luUah ^melewati seseorang yang sedang shalat, padahal
shalat Shubuh sudah diiqamatkan, lalu beliau membi-
sikkan sesuatu padanya. Kami tidak tahu apa yang beliau
bisikkan? Ketika kami selesai shalat, kami mengelilingi-

*Uqa' al-Bab al-Maftuh(fil2S-‘iQ).


^Syarh Shahih Muslim, Imam an-Nawawi (5/222). .
^Al-Majmu'{2iyi9).

6 0
St^Ut

nya untuk menanyakan, "Apakah yang dikatakan oleh


RasuluUah ^kepadamu?" la menjawab, "Beliau menga-
takan kepadaku.
fXOi . ^ ^ i ^ y, !fI! « ^

uwji 01-vaJi
'Hampir saja sahh seorang dari kalian mengeijakan sha-
lat Shubuh empat rakaat'."'^
Disebutkan dalam riwayat lain, perawi berkata,
"Ketika shalat Shubuh telah diiqamatkan. RasuluUah
Mmelihat ada seorang laki-laki yang sedang shalat dan
muadzin sedang mengumandangkan iqamat. Maka
RasuluUah ^bersabda.

lirjf ‘J:J\
"Apakah engkau akan shalat shubuh empat rakaat?"
Dari Abdullah bin Sarjis 4^, ia mengatakan, "Seseo-
rang masuk masjid pada saat RasuluUah 0, tengah me-
laksanakan shalat Shubuh, lalu ia shalat dua rakaat di
sisi masjid. Kemudian baru ikut shalat bersama Rasu-
lullah 5^, maka setelah salam (dari shalat) beliau ^ber-
sabda.
0 - f

'Wahai fulan, manakah di antara dua shalat yang engkau

‘HR. Muslim (711).

81
perhitungkan: Apakah shcdatmu sendiri ataukah shalatmu
hersama kami'?"'^

An-Nawawi berkata, "Yang shahih bahwa hik-


mahnya ialah agar seseorang melaksanakan shalat fardhu
di awal waktunya. Jadi ia langsimg memulai shalat fardhu
begitu imam sudah memulainya. Jika ia sibuk dengan sha¬
lat sunnah, maka ia luput dari melakukan takbiratul ihram
bersama imam dan luput dari mengerjakan sebagian
perkara yang dapat menyempurnakan shalat fardhu.
Sebab sh^at fardhu lebih utama untuk dipelihara dengan
" 2
meny empumakanny a.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Shalat-shalat sunnah dapat dikeijakan setelah menunai-
kan shalat fardhu dengan cara diqadha. Sementara apa
yang dilewatkannya berupa mendapatkan permulaan
shalat dan apa yang dilewatkannya berupa shalat di be-
lakang imam, walaupun sebagian rakaat dalam shalat
jamaah, maka itu tidak dapat digantikan dengan qadha.
Oleh karena itu, memelihara perkara yang tidak dapat
digantikan adalah lebih utama daripada perkara yang
dapat digantikan, karena apa yang diperolehnya berupa
takbiratul ihram, mengucapkan amin serta ruku' (bersama
imam), itu lebih baik daripada semua tathawwu'-, berda-
sarkan hadits yang menyebutkan tentang keutamaan
orang yang mendapatkan awal shalat {takbiratul ihram

‘HR. Muslim (712).


^Syarh ShaNh Muslim, an-Nawawi (5/223).

82
SiAtCt

bersama imam) dan orang yang sempat membaca amin


bersama imam. Lagi pula sibuk menjawab mu'adzin
itu lebih utama daripada sibuk dengan shalat sunnah
berdasarkan keterangan yang telah lalu, karena pada
saat itu adalah waktu untuk menjawab seruan muadzin.
Sebab sibuk dengan perkara yang diserukan adalah lebih
utama daripada shalat sunnah."^
Beliau mengatakan, "Jika shalat telah diiqamatkan,
maka janganlah seseorang menyibukkan diri dengan
shalat tahiyatul tmsjid maupun sunnah Fajar. Dan para
ulama telah bersepakat bahwa pada saat itu ia tidak boleh
melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Tetapi mereka ber-
beda pendapat mengenai sunnah Fajar. Dan pendapat
yang benar bahwa jika ia telah mendengar iqamat, maka
ia tidak boleh lagi shalat sunnah, baik di nimahnya mau¬
pun di selain rumahnya. Tetapi jika mau, ia mengqadha-
nya setelah shalat fardhu."^
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "Tidak
boldi bagi siapa pun yang masuk masjid, pada saat shalat
telah diiqamatkan, untuk melaksanakan shalat sunnah
rawatib atau tahiyatul masjid. Tetapi ia wajib ikut shalat
bersama imam dalam shalat yang sedang dilaksanakan."^
Sementara cd-lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-Rmiyyah
wa al-Ifta' (DewanTetap Urusan RisetIlmiah dan Fatwa)

Syarh at-Umdah (608).


*Majmu'Fatawa Ibnu Talmlyah {I'illSA)
^Majmu'Fatawa wa Maqalat Mutanawwl'Bh^WiyJl).

83
iULX

berfatwa, "Jika seorang mxislim masuk masjid pada saat


shalat sudah diiqamatkan, maka ia hams ikut shalat ber-
sama mereka dan tidak melaksanakan shalat sunnah."^

4. Memutus Shalat Sunnah rawatib Ketika Iqamat


Shalat

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,


shalat telah diiqamatkan dan sebagian jamaah sedang
shalat tahiyatul masjid atau rawatib, maka disyariatkan
baginya untuk memutuskannya dan bersiap imtuk shalat
fardhu; berdasarkan sabda Nabi

'Jika shalat telah diiqamatkan, maka tiada shalat lagi ke-


cuali shalat fardhu.'
Tetapi jika shalat telah diiqamatkan dan ia sudah
mku' pada rakaat yang kedua, maka tidak mengapa ia
menyempumakannya. Karena shalat telah selesai dan
hanya tersisa kurang dari satu rakaat.
Sementara al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-Umiy-
yah wa al-Ifta' (Dewan Tetap Urusan Riset Ilmiah dan Fat-
wa) berfatwa -saat menjawab pertanyaan seorang pena-
nya, "Jika shalat telah diiqamadcan dan masih ada orang
yang melaksanakan dua rakaat sunnah atau tahiyatul
masjid, apakah dia memutuskan shalatnya imtuk menger-

‘Fatawa al-Lajnah ad-Da'Imah IIal-Buhutsal-Ilmlyyah waal-Ifta'{7l2^7).


^Majmu'Fatawa wa Maqalat Mutanawwl'ah (11/392-393).

84
jakan shalat fardhu berjamaah?"- dengan memberikan
jawaban, "Yang shahih dari dua pendapat ulama bahwa
ia memutuskan shalat tersebut, dan keluar darinya tanpa
salam."^

Syaikh MiihammadbinUtsaiininial?^ mengatakan.


"Yang kuat (rajih) dalam hal ini bahwa jika anda sudah
shalat satu rakaat shalat sunnah dan anda sudali berdiri
ke rakaat kedua, kemudian shalat diiqamatkan, maka
sempumakanlah dengan cepat. Sedangkan jika shalat
diiqamatkan dan anda di rakaat pertama, maka putuskan-
lah."2

5. Jika Seseorang Tahu Bahwa Shalat Sebentar


Lagi Diiqamatkan, Apakah fa Boleh Memulai
Shalat Sunnah?

Syaikhul Islam mengatakan, "Semestinya dinya-


takan bahwa ia tidak dianjurkan imtuk memulai shalat
sunnah, karena kuat diigaan bahwa permulaan shalat
akan terlewatkan karenanya. Bahkan meninggalkannya
untuk mendapatkan awal shalat bersama imam dan men-
jawab mu'ad^ itulah yang disyariatkaru.. Karena m e n -

jaga aspek fardhu dengan ketentuan-ketentuannya adalah


lebih utama daripada shalat sunnah yang mungkin masih
bisa diqadha atau tidak mungkin."^

‘Fatawaal-LaJnsh3d-Da'lmahHat-Buhuts3l-Ilmlyyahwaahifta'{V'iiy).
*Majmu' Fatawa wa Rasa'H Fadhilaht asy-Syaikh Muhammad bln Shalih aht'^-jimin
(15/102).
^Syarh ahUmdah (609).

85
PERSOAIAN-PERSOAIAN
IAIN

1. Memisah Antara Fardhu dan Sunnah


Dari Mu'awiyah ia mengatakan,
s'^C^ ^ 4i)l Sj^j 0l
* ' . * i*'^ '
ji

"RasuluUah 0memerintahkankamiagarsatushalattidak
disambung dengan shalat lainnya, hingga kami berbicara
atau kami kelmr."'^
An-Nawawi berkata, "Hadits ini berisi dalil ten-
tangpendapatparasahabatkami{asy-SyaJi'iyyah)bahwa
srinnii rawatib dan selainnya dianjurkan untuk dipindah-
kan dari tempat pelaksanaan shalat fardhu ke tempat
lainnya, dan yang lebih utama ialah berpindah ke ru-
mahnya. Jika tidak maka di tempat lainnya dari masjid
tersebut atau selainnya untuk memperbanyak tempat
sujudnya, dan agar bentuk shalat sunnah terpisah dari

HR. Muslim (883).

86
shalat fardhu. Perkataan perawi (Mu'awiyah): 'Hingga
kami berbicara/ adalah dalil bahwa memisahkan di an-
tara keduanya juga bisa diperoleh deng^ berbicara. Te-
tapi dengan berpindah adalah lebih baik berdasarkan
apa yang telah kami sebutkan.''^
Syaikhul Islam mengatakan, "Yang sesuai de¬
ngan sunnah adalah memisahkan antara fardhu dan
" 2
sunnah dalam shalat Jum'at maupun selainnya.
Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,
"Dari sini para ulama mengambil dalil bahwa hams
dipisah antara fardhu dan sunnahnya, baik dengan uca-
" 3
pan maupun dengan berpindah dari tempatnya.
Dari Abdullah bin Rabbah dari seorang sahabat Rasu-
lullah Mbahwa (pada suatu saat) ketika Rasulullah M
telah selesai dari mendirikan shalat Ashar (bersama kaum
muslimin), tiba-tiba seorang bangkit xmtuk melakukan
shalat (sunnah). Ketika Umar ^melihatnya, ia menga¬
takan, "Duduklah, karena Ahlul Kitab binasa hanyalah
karena mereka tidak memisah shalat mereka." Mendengar
hal itu, Rasulullah ^bersabda.
» '

Syarh shah/h Muslim, Imam an-Nawawl (6/170-171)


^MaJmu'Fatawa Ibnu Talmlyah (23/202).
^MaJmu'Fatawa wa Rasa'll FadhUah asy-Syalkh Muhammad bln Shallh af-utsalmln
(14/ 291).

8 7
Ibnu al-Khaththab telah benar."'^

As-Sa'ati berkata, "Hadits bab ini menimjukkan


dianjurkannya memisahkan antara shalat fardhu dan
shalat sunnah dengan semisal ucapan, dzikir atau ber-
" 2
pindah.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan tentang
berpindah tempat "Sepanjang pengetahuan saya, tidak
ada satu piin hadits shiiih yang mensinyaIirhalitu.Teta-
pi Ibnu Umar dan banyak ulama salaf yang melaku-
kannya. Namim alhamdulillah, dalam perkara ini ada
kelonggaran. Memang mengenai hal itu ada hadits dhaif
yang diriwayatkan oleh Abu Daud ...dan telah di-
perkuat oleh perbuatan Ibnu Umar serta perbuatan
para as-salafush shalih."^
Sementara (d-lajnah od-DaHmah li d-Bnhuts al-Umiyyah
w a
al-Ifta' (Dewan Tetap Urusan Riset Ilmiah dan Fatwa)
berfatwa, "Tidak ada satu hadits pun dari Nabi ^yang
menyebutkan hal itu -sepanjang pengetahuan kami-
namim perkara memiliki keluasan. Apalagi Ibnu Umar
" 4
^melakukannya.

*HR, Ahmad (22611). Al-Hattsami mengatakan dalam Majma'az-Zawa'ld{2I^B),


"Para perawl Ahmad adalah para perawl yang shahih."
^AhFath ar-Rabbanl{AI22\).
^MaJmu'Fatawa wa MaqalatMutanawwl'ah{l\iy7i-V9).
** Fatawa al-LaJnah ad-Da'Imah IIal-Buhuts al-Ilmlyyah wa a/-/to'(7/231).

8 8
S/dljSt. $4.4^*^

2. Mengangkat Tangan Ketika Berdoa Setelah Shalat


Sunnah Rawatib

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, "Dalam


shalat sunnah, saya tidak melihatnya ada larangan meng¬
angkat kedua tangan dalam berdoa setelahnya, sebagai
bentuk pengamalan keumuman dalil-dalil. Tetapi sebaik-
nya tidak membiasakan hal itu. Karena perbuatan itu
tidak ada dasamya dari Nabi Seandainya beliau me-
lakukannya setelah tiap-tiap shalat sunnah, niscaya hal
itu telah dinukil dari beliau. Karena para sahabat telah
menukil perkataan dan perbuatan beliau ^baik dalam
perjalanan maupun pada saat bermukim, serta semua hal
ihwal"!

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin me¬


ngatakan, "Apa yang dilakukan sebagian orang awam,
yaitu setiap kali mereka selesai shalat sunnah, maka me-
reka mengangkat tangan mereka. Sampai-sampai seba¬
gian dari mereka nyaris mengatakan bahwa ia tidak
berdoa. Karena anda melihatnya, ketika shalat diiqamat-
kan, dia sedang tasyahhud dari shalat sunnahnya. Ketika
salam, ia mengangkat kedua tangannya. Seolah-olah,
wallahu a'lam, ia hanya sekedar mengangkat tangannya
kemudian mengusap wajahnya. Semua ini dilakukan
untuk memelihara doa yang dikiranya disyariatkan,
padahal tidak. Memelihara amalan tersebut hingga se-

Arkan al-Islam (171).

8 9
demikian rupa bisa dikategorikan sebagai bid'ah."i
3. Shalat Sunnah Rawatib Dengan Duduk
Dari Abdullah bin Arm ia mengatakan.
^ a' y\ i> ■' 0J^*fJ J

i'*\y ttta yyt tl!!-».l^ li**!® . i* i“ l'*®ti


j3 <U^l3 ’u^ *|gi> 1-Lp13

Ij dJLJ i^jLiai t4^ j c L i * J L ? ! -


;Aiji ^ d j j i

[lApli c5!>CaJl tjLyaj 'J^li 5^)0


C--*J

"Afcw diberikabarbahwaRasulullah0hersabda, 'Shalat-


nya seseorang dengan duduk itu dinilai separuh shalat'
hdu aku mendatangi beliau dan menjumpai beliau tengah
shalat dalam keadaan duduk, lalu aku meletakkan tangan-
ku di atas kepala beliau, maka beliau berucap, 'Mengapa
engkau, wahai Abdullah bin Amr?' Aku menjawdb, 'Aku
mendapaikan kabar, wahai Rasulullah, bahwa engkau
bersab^,'Shalatnyaseseorangdengandudukitudinilai
separuh shalat.' Sementara engkau shalat dengan duduk?'
Beliau menjawab, 'Ya, tetapi aku tidak seperti salah seo-

‘Majmu' Fatawa wa Rasa'll Fadhilahasy-Syaikh Muhammad bln Shallhal-Utsalmln{l^l


293-294).

9 0
rangdari kalian'."'^
Ibnu Abdil Barr berkata, "Syariat mensinyalir
tentang dibolehkaimya duduk dalam shalat simnah. Dan
itu adalah ijma' yang dinukil oleh para ulama secara
umum dan imam-imam ulama secara khusus. Hanya saja,
orang yang shalat sunnah dengan duduk mendapatkan
" 2
separuh pahala orang yang shalat dengan berdiri.
Ibnu Qudamah berkata, "Kami tidak mengetahui
adanya perbedaan pendapat tentang dibolehkannya
shalat suiinah dengan duduk, dan shalat sunnah dengan
berdiri adalah lebih utama."^

An-Nawawi berkata, "Boleh mengerjakan shalat


sunnah dengan duduk meskipun mampu berdiri, tetapi
pahalanya hanya separuh. Semua shalat sunnah sama
berkenaan dengan apa yang telah kami sebutkan, baik
surmah rawatib maupun selainnya, menurut pendapat
yang shahih."^
Sementara al-Lajnah ad-Da'itmh li al-Buhuts cd-Umiyyah
wa al-Ifta' (Dewan Tetap Urusan Riset Umiah dan Fatwa)
berfatwa, "Shalat sunnah boleh dikeijakan dengan duduk,
dan pahalanya adalah separuh dari shalat yang dikerja-
kan dengan berdiri, jika ia mampu berdiri. Adapun
orang yang tidak mampu berdiri karena sakit dan seje-

‘HR. Muslim (735).


^Fath al-Mallk b! Tabwib at-TamhId ala Muwaththa' Malik (3/78).
’AI-Mughnl{2IS67).
^Raudhah atb-Thallbln (1/239).

91
"1
nisnya, maka pahalanya sempuma.
4. Shalat Sunnah Rawatih di Atas Kendaraan
Dari Amir bin Rabi'ah ia mengatakan,

aLl> >C il«J aJLp J C - j i f’ J


*
ffHy A
*,0 %' 9 9 '/ ,6 ,^ 9i' ^AyJJ I
' *
OJ^J u^- Hj l^-y y

4jliJJi L ? ^
Aku melihat Rasulullah 0rtielaksanakan shalat sunnah
t t

di atas kendaraan, heliau mengisyaratkan dengan kepaianya


ke arah mam saja wajahnya menghadap. Dan Rasulullah " 2
0tidak pemah melakukan hal itu dalam shalat Jardhu.
Dari Abdullah bin Umar ia mengatakan,

^Js' - J
8 1y 8 f y o', y9'iy tJ9 t' yi> yy9 ' * i ' y,
J jiyj l ) ^

j:^iy»S\
lu
"Rasulullah 0pemah shalat sunnah di atas kendaraannya
ke arah mana saja wajahnya menghadap, dan heliau juga
pemah shalat Witir di atasnya. Hanya saja, heliau tidak
pernah shalat Jardhu di kendaraan."^

*Fatawa ahLajnah ad-Da'imah II al-Buhuts ahllmlyyah wa al-Ifia'{71236).


^HR. al-Bukhart (1097).
5HR. Muslim (700).

92
Syaikhul Islam mengatakan, "Ibnu Abi Musa me-
ngatakan, diperselisihkan pendapatnya (yakni Imam
Ahmad) mengenai musafir: apakah boleh shalat dua raka-
at Fajar di atas kendaraan ataukah tidak? Ada dua riwa-
yat, riwayat yang paling jelas adalah bahwa hal itu boleh.
la berkata^, "Satu pendapat lagi menyatakan bolehnya
shalat Witir di atas kendaraan. Namun (pendapat) yang
benar adalah menyamakan keduanya (yakni shalat sun-
nah Fajar dan Witir), karena keduanya sama-sama shalat
suimah, dan boleh bagi seseorang untuk melakukan ke¬
duanya dengan duduk, demikian juga dengan melaku-
kannya di kendaraan."
AI-Mardawi mengatakan, "Boleh mengerjeikan-
nya di atas kendaraan, menurut pendapat yang shahih
dari madzhab (Ahmad), dan itulah pendapat yang diikuti
" 2
para pengikutnya.
Al-Buhuti berkata, "Boleh mengeijakan kedua¬
nya, yakni dua rakaat Fajar di atas kendaraan." ^
5. Shalat Sunnah rawatib Berjamaah
Dari Ibnu Umar ia mengatakan,

'i't. \\ 'x*' *-■'1® ' » I-

'Syarh al-Umdah (534).


^A/-Inshaf{Vm).
^Kasysyafal-Qina'{llSQl).

93
*■' *®ti 1*f^ * ■ ' - ' ' ■ * ! * t i ' ' ® ' ' ^
ytAJl L*»i A j L . < k j > ^ \ U a j j
^'' !^
»^ ».S* S. .,'>-^ « ! ! '

tisi M ^ c , . A * a i
*'Aku shalat bersama Rasulullah Mdua rakaat sebelum
Zhuhur, dm rakaat sesudah Zhuhur, dm rakaat sesudah
Maghrib, dm rakaat sesudah Is]/a\ dan dm rakaat sesudah
Jum'at Adapun Maghrib, Isya' dan Jum'at, makaaku
shalat bersama Nabi Mdi rumah beliau.
Ibnu Qudamah mengatakan, "Boleh shalat sun-
nah dengan berjamaah dan sendiri-sendiri, karena Nabi
^pem^melakukankeduahaltersebut,namunpada
umumnya beliau shalat sunnah sendirian. Beliau pemah
shalat sunnah bersama Hudzaifah ^sekali, bersama
Ibnu Abbas sekali, bersama Anas ibunya serta
anak yatim sekali, bersama para sahabat di rumah Itban
sekali, dan bersama mereka pada malam-malam Rama-
dhantiga kali."^
An-Nawawi berkata, "Shalat-shalat sunnah se-
perti sunnah rawatib yang menyertai shalat fardhu, Dhuha
dan sunnah mutlak lainnya, tidak disyariatkan beijamaab.
Yakni tidak dianjurkan. Tetapi seandainya ia melaksana-
kannya secara berjamaah, maka itu boleh-boleh saja.
Tidak boleh dikatakan bahwa itu makruh. Imam asy-
Syafi'i telah menjelaskan dalam dua Mukhtashar al-
Buivaithi, dan juga ar-Rabi', bahwa tidak apa-apa shalat

‘HR. Muslim (729).


^AI-Mughnl{2ISS7).

9 4
Pertama, yang disunnahkan dilaksanakan dengan
berjamaah secara rutin, seperti shalat Kusuf (gerhana),
Istiscja', dan QiyamRamadhan (Tarawih). Ini senantiasa
dikerjakan dengan beijamaah, sebagaimana sunnah me-
nyebutkan demikian.
Kedua, yang tidak disunnahkan dikerjakan berjama-
ah secara rutin, seperti Qiyamul Lail, sunnah-sunnah
rawatih, shalat Dhuha, tahiyatul masjid, dan sejenisnya.
Semua ini jika terkadang dilaksanakan secara ber-
jamaah, maka lx)leh-boleh saja. Adapun mengeijakannya
dengan berjamaah secara rutin maka ini tidak disyariat-
kan, bahkan bid'ah yang dibenci. Sebab Nabi para
sahabat, dan tabi'in tidak membiasakan berkumpul imtuk
mengerjakan hal itu secara rutin. Nabi Mhanyalah me-
ngerjakannya secara berjamaah kadangkala saja... dan
pada umumnya beliau melaksanakan shalat sunnah
M1
dengan sendirian.
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan, Tara
sahabat dan generasi sesudah mereka bersepakat bahwa
shalat Tarawih dilaksanakan secara berjamaah, dan
mungkin shalat-shalat sunnah lainnya disamakan de-
ngannya dalam hal dibolehkan melaksanakannya secara
berjamaah. Meskipun yang dibiasakan dalam sunnah
rawatih adalah sendiri-sendiri. Demikian juga tahiyatul
Masjid dan dua rakaat Thawaf. Mungkin rahasianya
bahwa setiap orang yang hendak shalat datang sendi-

MBjmu' Fatawa Ibnu TaltT7lyah{l‘il 413-414).

9 6
rian, lalu memulai shalat surmah rawatib qabliyah atau
tahiyatul masjid sendirian, kemudian duduk imtuk menu-
nggu shalat. Demikian pula thawaf, ketika orang yang
hetthawaf telah selesai thawaf, ia melaksanakan shalat
dua rakaat sendirian, kemudian pergi untuk menyem-
purnakan manasiknya. Kendati pun demikian, tiada
larangan bHa dua orang melaksanakan shalat-shalat sun-
" 1
nah tersebut dengan berjamaah.
6. Kapan Melaksanakan Shalat Rawatib, Jika Sese-
orang Menjama' Dua Shalat?
An-Nawawi berkata, "la melaksanakannya sesu-
dah mengerjakan keduanya bukan diantara keduanya,
dan melaksanakan qabliyah Zhuhur sebelum mengerjakan
kedua shalat tersebut.

Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,


"Ya, jika seseorang menjama' antara Zhuhur dan Ashar
dengan farm' taqdim atan jama' ta'khir, dan ia bukan musa-
fir, maka ia shalat surmah rawatib Zhuhur sesudah Ashar,
karena ia memiliki suatu sebab. Dan shalat-shalat yang
memiliki sebab-sebab tidak dilarang dikerjakan pada
" 3
waktu yang terlarang.

‘Al-Qaulal-Mubln aMs'rifah Ma Yahumm al-Mushallln (^l-A42).


^Syarh Shahih Muslim, an-Nawawl (9/31).
^Uqa'atal-Babal-Maftuh(l/55'3).

9 7
7. Mendahulukan Dzikir-dzikir Shaiat Daripada
Sunnah Rawatib {Ba'diyah)
Dari Abu Hurairah mereka mengatakan,
"Wahai RasuluUah, orang-orang yang berharta pergi
dengan membawa banyak derajat (pahala) dan kenikma-
tan yang abadi." Beliau Mbertanya, "Bagaimana hal itu
terjadi?" Mereka menjawab, "Mereka shaiat sebagaimana
kami shaiat, mereka beijihad sebagaimana kami beijihad,
dan mereka menginfakkan kelebihan harta mereka, se-
mentara kami tidak pimya harta."
Beliau ^lantas bersabda,

0jij—Jj ^ O j - V j j a \ j ^ j ^ \
e /
^
'' ' ' '* *y ' a t
Ojo. jj (,\jtyS' ^ *J^4^
,*o y.'y ,*9 y

"Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang suatu per-


kara yang dengannya kalian dapat menyusul orang-
orang sebelum kalian dan mendahului orang-orang yang
datang sesudah kalian, serta tidak ada seorang pun yang
datang dengan membawa seperti yang kalian bawa kecuali
siapa yang datang dengan membawa sepertinya? Kalian
hertasbih pada setiap sehabis shaiat sebanyak sepuluh

9 8
kali, bertahmid sepuluh kali dan Ixrtakbir sepuluh kali." ^
Dari Warrad maula al-Mughirah bin Syn'bah, ia me-
ngatakan, "Al-Mughirah bin Syu'bah menulis surat kepa-
da Mu'awiyah bin Abi Sufyan bahwa RasuluUah Mme-
ngucapkan pada usai tiap-tiap shalat, ketika selesai salam:
coikji ciiiJi iJ dii >VV ! V
Vj tcjapl llJ Vte-^^
Jtij! V j llJ
'Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata
yang tiada selmtu bagiNya, Dia memiliki kekuasaan, Dia
memiliki pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Ya Allah, tiada yang menghalangi apa yang Engkau beri-
kan dan tiada yang memberi apa yang Engkau halangi.
Tidak pula bermanfaat kesungguhan seseorang tanpa
seizinMu'."^

Ibnu Hajar berkata, "Ibnu Baththal mengatakan,


'Dalam hadits-hadits ini terdapat anjuran berdzikir pada
usai tiap-tiap shalat, dan bahwa itu menyamai infak harta
dalam ketaatan kepada Allah, berdasarkan sabdanya,
O^ 8 -- , 0^ 8
(It*

'Dengannya kalian akan menyusul orang-orang yang

‘HR. al-Buktiari (6329).


^HR. al-Bukhari (6330); dan Muslim (593).

99
telah mendahului kalian...'

Dalam hadits-hadits itu juga disebutkan bahwa dzi-


kir tersebut diucapkan setelah shalat fardhu, dan tidak
boleh ditunda hingga selesai mengerjakan shalat sunnah
" 1
rawatib ba'diyah.
Syaikh Abdullah bin Jibrin pemah ditanya:
"Jika saya shalat jenazah sesudah Maghrib, apakah
saya mengerjakan shalat sxinnah rawatib secara langsung
sesudah shalat jenazah, ataukah saya menyempumakan
dzikir kemudian baru shalat sunnah raivatib?"

Beliau menjawab, "Sebaiknya Anda dudxik dan me¬


nyempumakan dzikir kemudian shalat sunnah rawatib.
Inilah yang disyariatkan, baik di sana ada jenazah mau-
pun tidak ada. Dzikir adalah wirid yang" dibaca sesudah
shalat fardhu yang disunnahkan untuk dipelihara dan
tidak dirusak. Jika Anda memutuskannya imtuk shalat
jenazah, maka sesudah selesai shalat jenazah lanjutkan
lagi dan sempumakan dzikir yang masih belum sempur-
na. Kemudian kerjakan shalat sunnah rawatib, yaitu shalat
sunnah ba'diyah. Hal itu mencakup shalat Zhuhur, Magh¬
rib dan Isya' dalam mengakhirkan shalat sunnah rawatib
sesudah dzikir."^

‘Fath a/-B3fi (11/139).


^Al-Qaulal-Mubln ftMaWah ma Yahumm al-Mushallin(A71).

1 0 0
Si*lA I^4muU^

8. Istighfar dan Dziktr-Dzikir Sesudah Shaiat Sun-


nah Rawatib

Syaikh Abdullah bin Jibrin;i<'.i4^ pemahditanya,"Jika


orang yang shaiat telah salam dari shaiat sunnah raivatib
atau shaiat sunnah lainnya, apakah disyariatl:an baginya
sebagaimana dalam shaiat fardhu yaitu membaca istighfar
tiga kali dan mengucapkan, 'Allahumma antus salam wa
minkas salam...' dan seterusnya?
Beliau menjawab, "Hal itu tidak disyariatkan. Tetapi
istighfar itu diperintahkan dan dianjurkan sesudah tiap-
tiap shaiat, baik fardhu maupun sunnah.
9. Apakah Seseorang Mengerjakan Shaiat Sunnah
Rawatib Ataukah Mendengar Nasihat {Mau1zhah)7
Al-Ljijtwh ad-Da'imah li al-Buhuts al~Ilmiy\/ah xva al-Ifta'
(Dewan Tetap Urusan Riset Ilmiah dan Fatwa) berfatwa,
"Jika ada nasihat disampaikan sesudah shaiat, seorang
muslim disyariatkan untuk mendengarkannya kemu-
dian baru melaksanakan shaiat sunnah rawatib, seperti
Zhuhur, Maghrib dan Isya'."^

10. Seseorang Sibuk Menghormati Tamu Sehingga


Tidak Mengerjakan Sunnah Rawatib
Syaikh Muhanunad bin Utsaimin mengatakan,
"Seseorang terkadang menghadapi pekerjaan-pekerjaan
yang pada asalnya bukan sesuatu yang diutamakan, ke-

'Fatawa al-Lajnah ad-Da'Imah UahBuhuts al-Ilmtyyah wa al-Hia'pliz^).

101
^iftuAU

mudian itu menjadi suatu keutamaan baginya karena


suatu sebab. Seandainya ia sibuk untuk menghormati
tamu yang datang kepadanya sehingga tidak menger-
jakanshalatsunnahraivatib^uhur,makakesibukannya
dengan hal itu adalah lebih utama daripada shalat sunnah
rawatib."'^

11. Shalat Sunnah yang Dikerjakan Seorang Pegawai,


Baik Sunnah Rawatib Maupun yarig Lainnya
Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan,
"Adapim mengerjakan shalat sunnah setelah shalat selain
yang rawatib, maka tidak boleh; sebab waktunya mei^adi
hak untuk orang lain karena ada tuntutan akad persewaan
atau tugas pekerjaan. Sementara shalat sunnah rawatib,
maka tidak apa-apa, karena sudah berlaku kebiasaan " 2
bahwa ada toleransi imtuk hal ini dari para pimpinan.
12. Membuat Jadual Untuk Muhasabah Diri Berke-
naan dengan Shalat Fardhu dan Shalat Sunnah
Rawatib.

Sebagian orang membuat jadual untuk muhasabah


diri dalam rangka menunaikan shalat-shalat fardhu dan
sunnah-sunnah rawatib, di mana ia membuat pada tiap-
tiap waktu dua kolom:

‘Majmu' Fatawa wa Rasa 'll FadhUah asy-SyaIkh Muhammad bln Shallh ahUtsalmln
(16/ 176).
^Majmu' Fatawa wa Rasa'll FadhUah asy-Syalkh Muhammad bln Shallh al-Utsalmln
(15/ 32).

102
Yang Pertama, berisi shalat fardhu.
Dan yang kedua, berisi shalat sunnah rawatib.
Jika ia telah mengerjakan shalat fardhu dengan berja-
maah, maka ia meletakkan satu nilai untuk shalat itu. Jika
ia telah shalat sunnah rawatib, ia meletakkan satu nilai
juga untuk shalat tersebut. Jika ia tidak shalat, ia tidak
meletakkan satu nilai pun... Demikian setemsnya. Ke-
mudian pada akhir pekan, ia mengldtiing total nilainya.
Inilah bentuk jadual tersebut:
Hari Satrtu Ahad Senin SeUsa Rabu Kamb Jimi'al H
o

S
W k t F s F S F S F s F S F S F 5

FJr

Z h r

A s r

Mgb

by

Keterangan: F:Fardhu S: Sunnah

t t
Syaikh Muhammad bin UtsaiminauiS^berpendapat,
Cara ini tidak disyariatican, maka ini adalah bid'ah. Dan
bisa jadi akan merampas hati tentang esensi peribadatan
kepada Allah, sehingga ibadah seolah-olah sebagai peker-
" 1
jaan mtinitas sebagaimana yang mereka nyatakan.

‘Majmu'Fatawa wa Rasa'H FadhUah asy-SyaIkh Muhammad bln Shallh al-Utsakrun


(16/175-176).

103
13. Meninggalkan Sunnah-sunnah Rawatib Bukan
Kefasikan

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, Tenda-


pat sebagian ulama bahwa meninggalkan shalat sunnah
rawatib adalah kefasikan merupakan pendapat yang
tidak baik, bahkan salah. Karena shalat sunnah rawatib
adalah sunnah. Siapa yang memelihara shalat fardhu lima
waktu dan meninggalkan berbagaikemaksiatan,makaia
bukan orang yang fasik, bahkan ia adalah seorang muk-
min yang lurus lagi adB. Demikian pula pendapat seba¬
gian ulama fikih {fuqaha) bahwa ini (menjaga shalat sun¬
nah rawatib) adalah syarat adil dalam persaksian, adalah
pendapat yang lemah. Sebab setiap orang yang memeli¬
hara shalat fardhu dan meninggalkan hal-hal yang diha-
ramkan, maka ia adil dan tsiqah (bisa dipercaya). Hanya
saja sifat mukmin yang sempuma ialah bersegera melak-
sanakan shalat sunnah rawatib, bersegera kepada banyak
Ill
kebajikan dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya.

‘MaJmu'Fatawa wa MaqalatMutanawwi'ah{l\l'i^2).

104
^IAjX

PENUTUP

Al-Ghazali mengatakan, "Amalan fardhu itu


akan sempuina dengan amalan sunnah. Maka barangsiapa
yang tidak memperbanyak amalan sunnah, bisa jadi
amalan fardhunya tidak terbebas dari cacat tanpa ada
" 1
penambalnya.
Ibnu al-Qayyim mengatakan, "Jumlah shalat
yang rutin dikerjakan oleh Rasulullah ^pada malam
dan siang hari ada 40 rakaat, yang senantiasa beliau peli-
hara yaitu 17 rakaat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat sun¬
nah rawatib, dan 11 atau 13 rakaat Qiyamul Lail. Jumlahnya
ada 40 rakaat. Sedangkan selebihnya adalah spontanitas
bukan rutin... Oleh karena itu, semestinya bagi seorang
hamba untuk senantiasa mengerjakan shalat ini hingga
mati. Betapa cepat dikabulkan doanya dan betapa ce-
pat dibukakan pintu, bagi siapa yang mengetuknya se-
tiap hari dan malam sebanyak 40 kali."^ Dan hanya ke-
pada Allah-lah tempat meminta pertolongan.

‘Ihya' U/um ad-DIn (1/230).


^Zadal-M3'3d {1/327).

105
$4(64

referensi

Ad-Durar as-Saniyyahfi al-Ajwibah an-Najdiyyah, penyu-


sun, Abdurrahman bin Qasim, cet. keenam, 1417 H.
Al-Adzkar, Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Kalim ath-
Thayyib, cet. kedelapan, 1421 H.
Al’Fath ar~Rabbani, Ahmad Al-Banna, asy-Syihab.
Al-I'jaz al-llmifi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Shalih bin
Ahmad Ridha, al-Ubaikan, cet. pertama, 1421 H.
Al-Vlam bijmva'id Umdah al-Ahkam, Ibnu al-Mulaqqin, Dar
al-Ashimah, cet. pertama, 1417 H.
Al-Inshaf Ali bin Sulaiman al-Mardawi, Ihya' at-Turats
al-Arabi.

Al-Irsyad ila Ma'rijah tom, Abdurrahman as-Sa'di,


Dar ad-Dzakha'ir, cet. pertama, 1420 H.
Al-Majmu'r Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Ihya'at-Turats
al-Arabi, cet. pertama, 1422 H.
Al-Mufhim, al-Qurthubi, Dar Ibnu Katsir, cet. kedua,
1420 H.

Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Dar al-Hajr, cet. pertama,


1406 H.

106
Al-Muhalla, Abu Muhammad AH bin Hazm, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
Al-Muwaththa', Malik bin Anas, Dar al-Kitab al-Arabi,
cet. keempat, 1418 H.
Al-Qaul al-Mubin JiMa'rifahmaYahummai-Mushallin,
Abdul Aziz al-Musainid, ash-Shuma'i, cet. pertama,
1419 H.

Al-Qawa'id iva al-Ushul al-JamVah, Abdurrahman as-


Sa'di, Ibnu al-Jauzi, cet. kedua, 1423 H.
Aridhah (d-Ahwadzi, Ibnu al-Arabi, Dar al-Kutub al-Dmiy-
yah, cet. pertama, 1418 H.
Arkan al-Islam, Abdul Aziz bin Baz, Dar ad-Da'i, cet. Per¬
tama, 1420 H.
As-Sunan al-Kubra, Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1420 H.
Asy-Syarh al-Mumti' alaZMal-Mustaqni', Muhammad bin
Utsaimin, Dar Ibn al-Jauzi, cet pertama, 1423 H.
At-Tadakhul bairn al-Ahkamfial~Fiqhal-Islami,Kha\id bin
Sa'd al-Khasylan, Dar IsybiHya, cet pertama, 1419 H.
At-Talkhish al-Hdbir, Ibnu H^ar, Maktabah Ibn al-Qayyim.
Aun al-Ma 'bud, al-Azhim Abadi, Dar al-Kutub al-Dirdyyah,
cet. pertama, 1410 H.
Dalil ath-Vmlib, Mar'i bin Yusuf al-HanbaH,al-Maktabal-
Islami, cet. kedua, 1398 H.

107
Majma' az-Zawa'id, Alibin Abi Bakaral-Haitsami, Dar al-
F i k r, 1 4 1 2 H .
Majmu' Fatawa asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim,
penyusun, Mxihammad bin Qasim.
Majmu' Fatawa ibn Tmmiyyfl/i, susunanAbdurrahnianbin
Qasim.
Majmu' FatawawaRasa'ilKeutamaanasy-SyaikhMuhammad
bin Shalih al-Utsaimin, penyusun, Fahd as-Siilaiman,
Dar ats-Tsuraya, cet. pertama, 1420 H.
Maratib al-Ijma', Abu Muhammad Ali bin Hazm, Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah.
Musnad al-lmam Ahmad, Ahmad bin Hanbal ,Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, cet. pertama, 1413 H.
Nail al-Authar, asy-Syaukani, Dar an-Nafa’is, al-Akhirah.
Nashb ar-Rayah, Abdullah az-Zaila'i, Dar al-Hadits.
Raudhah ath-Thalibin, Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-
Maktab al-Islami, cet. kedua, 1405 H.
Shahih Ibni Khuzaimah, Muhammad bin Khuzaimah, al-
Maktab al-Islami, cet. ketiga, 1424 H.
Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, ar-Rayyan, cet. Per¬
tama, 1407 H.

Subul as-Salam, ash-Shan'ani, ar-Rayyan, cet. keempat,


1407 H.

Sunan Abi Daud, Sulaiman bin al-Asy'ats, Bait al-Afkar


ad-Dauliyah.

109
Sunan an-Nasa'i, Ahmad bin Syu'aib an-Nasa'i, Bait al-
Afkar ad-Dauliyah.
Sunan at-Tirmidzi dengan tahqiq Ahmad Syakir,
Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah.
Sunan at-Tirmidzi, Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Bait
al-Afkar ad-Dauliyah.
Sunan IbniMajah, Muhammad bin yazid al-Qazwaini, Bait
al-Afkar ad-Dauliyah.
Syarh al-Umdah, Ibnu Taimiyyah, Dar al-Ashimah, cet.
pertama, 1418 H.
Syarh Riyadh ash-Shalihin, Muhammad bin Utsaimin, al-
Bashirah, cet. kedua.
Taudhih al-Ahkam min al-Maram, Abdullah al-Bas-
sam, al-Asadi, cet. kelima, 1423 H.
Tuhfah al-Akwadzi, al-Mubarakfuri, Dar al-Kutub al-Ilmi-
yyah.
Tuhjah al-Maudud, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab,
cet. pertama, 1417 H.
Umdah al-Qari, al-Aini, Dar al-Kutub al-llmi3^ah, cet.
pertama, 1421 H.
Zad al-Ma'ad fi Hadyi Khair al-Ibad, Ibnu Qayyim al-
Jauziyah, ar-Risalah, cet. kelima belas, 1407 H.

110
|#4'‘T‘V'i 4H'‘T‘T‘I‘T* i*T
. , rr^'SiFW^Mryif
%

Panduan Lengkap
o
' J r n m m
i d lQainllM)lli) I

,_/^pa
hikmah
disyariatkannya
shalat
sunnah?
»

Berapa Jumlah rakaat shaiat-shalat sunnah rawatib?


Dengan apakah shalat sunnah rawatib Fajar
dikhususkan? Apakah shalat sunnah empat rakaat
sebelum Zhuhur dengan satu salam atau dua salam?
Apakah shalat Jum'at ada sunnah rawatib
sebelumnya? Apa hikmah adanya sebagian sunnah
rawatib sebelum shalat fardhu dan sebagian lainnya
sesudahnya? Kapan sunnah rawatib diqadha'? Apa
hukum mengqadha' sunnah rawatib yang terlewat
jika banyakjumiahnya? Apa hukum menyatukan niat
antara shalat sunnah rawatib dengan shalat*shalat
sunnah lainnya, seperti shalat sunnah wudhu
dengan dua rakaat thawaf, shalat Isyraq, shalat
I
istikharah dan dua rakaat pertama shalat Tarawih?
Dalam buku Ini Anda akan menemukan jawabannya
secara memadai tentang pertanyaan-pertanyaan
penting tersebut dan pertanyaan-pertanyaan lainnya
yang bertalian dengan shaiat-shalat sunnah rawatib.
Silakan menelaahnyal

ISBN 979-3407-95-6

llllllllllllllllllllll
9789793 407951 >

Anda mungkin juga menyukai