Anda di halaman 1dari 29

DISKUSI KELOMPOK KE-1

KEDARURATAN MEDIK

BLOK 18

Velida Abiyyah Rosefin


4111191044

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
TAHUN AJARAN 2021/2022
SKENARIO
Anda sedang bertugas sebagai seorang dokter jaga IGD di RS, pada pukul 22.05 WIB datang seorang
laki-laki berusia sekitar 35 tahun diantar oleh petugas ambulans dan polisi. Dari keterangan polisi,
pasien diketahui terjatuh dari motor, kepala bagian dahi terbentur batu, tidak menggunakan helm, dan
ditemukan tidak sadar pada kira-kira pukul 21.40 WIB.

Pada pemeriksaan oleh petugas kesehatan yang datang ke lokasi kecelakaan, tampak luka yang berdarah
di daerah kepala dan lecet-lecet di sekitar luka. Korban tidak sadar. Tensi 110/60 mmHg, Nadi 110 kali/
menit. Terdengar suara napas tambahan, respirasi 33 kali/ menit.

Tindakan yang dilakukan ditempat kejadian kecelakaan: pemasangan satu line infus, neck collar dan
Oksigen diberikan melalui kanul hidung 10 lt/mnt.

Hasil pemeriksaan di IGD RS :


● Tidak sadar, terdengar suara nafas tambahan gurgling
● Tensi 100/70 mmHg, Nadi 100x/mnt, Pernafasan 36 x/mnt; Saturasi oksigen 85%.
● GCS 8, pupil bulat isokor, refleks cahaya positif

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


TUGAS
1. Berdasarkan skenario kasus ini, terangkan urutan cara pemeriksaan di UGD sesuai teori!
Jawaban :
A. Persiapan
● Fase Pra-Rumah Sakit
Selama fase pra-rumah sakit, menekankan pada pemeliharaan jalan napas, kontrol
perdarahan dan syok eksternal, imobilisasi pasien, dan transportasi segera ke fasilitas
terdekat yang sesuai dan lebih disukai ke pusat trauma yang sudah terverifikasi.
● Fase Rumah Sakit
1. persiapan alat resusitasi
2. persiapan tenaga medis
3. persiapan pemeriksaan penunjang
Standard Precautions :
1. Cap/penutup kepala
2. Gown/gaun pelindung
3. Gloves/sarung tangan
4. Masker
5. Shoe Covers/pelindung sepatu
6. Goggles / face shield/ pelindung wajah

B. Triage (apabila jumlah pasien melebihi jumlah tenaga medis) → Penilaian dilakukan secara
singkat dan cepat (selintas) untuk menentukan kategori kegawatdaruratan dengan cara:
(1) Menilai tanda vital dan kondisi umum Pasien
(2) Menilai kebutuhan medis
(3) Menilai kemungkinan bertahan hidup
(4) Menilai bantuan yang memungkinkan
(5) Memprioritaskan penanganan definitive

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


C. Primary Survey → terutama dilakukan pada kasus yang dapat mengancam nyawa
A : Airway + kontrol servikal.
● Menilai kelancaran jalan napas
● Cedera servikal → cervical control dengan collar neck (terutama pada pasien trauma
kepala, leher, atau multiple trauma)
B : Breathing / ventilasi / oxygenation
● Dinilai proses pernapasan (pertukaran O2 dan CO2 dalam darah)
● Ventilasi yang baik mencakup paru-paru, dinding dada dan diafragma yang baik
C : Circulation + kontrol perdarahan
● Yang perlu dinilai:
1. Tingkat kesadaran
2. Tekanan darah

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


3. Nadi
4. Suhu
5. Warna kulit
6. Kontrol perdarahan
7. Perbaikan volume
Pada pasien terdapat perdarahan eksternal kepala maka dapat dilakukan control perdarahan
berupa balut tekan didaerah luka.
D : Disability.
● Evaluasi keadaan neurologis dengan menilai GCS (Glasgow Coma Scale)

● Mencegah kerusakan otak sekunder


E : Exposure dan cegah hipotermia
● Mencegah hipotermia pada penderita
- baju basah → lepaskan
- berikan selimut hangat
- Cairan infus suhunya harus mendekati suhu tubuh normal.
Setelah mengenali tanda dan gejala yang dialami pasien maka dilakukan resusitasi

D. Pemeriksaan Tambahan
1. Tentukan analisis gas darah dan laju pernapasan
2. Monitor udara ekspirasi dengan monitoring CO2
3. Pasang monitor EKG
4. Pasang kateter uretra dan NGT kecuali bila ada kontraindikasi dan monitor urin setiap jam.
Urine output merupakan indikator yang sensitif untuk menilai volume intravaskular dan
mencerminkan perfusi dari ginjal
5. Pertimbangan kebutuhan untuk melakukan pemeriksaan radiologi
6. Pertimbangan kebutuhan DPL atau USG abdomen

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


E. Secondary Survey → pemeriksaan dilakukan head to toe untuk menilai adanya kelainan di
tempat lain
● Diawali dengan anamnesis
- Mekanisme trauma
- Riwayat AMPLE:
1. Allergies
2. Medications currently used
3. Past illness
4. Last meal
5. Event / Environment related to the injury
● Dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik head to toe
Kepala → maksilofasial → vertebrae → thoraks → abdomen → perineum, rectum,
musculoskeletal → neurologis

F. Pemeriksaan Tambahan untuk secondary survey


● Foto vertebra tambahan
● CT Scan kepala, vertebra, thoraks, abdomen
● Urografi dengan kontras
● Angiografi
● Foto ekstremitas
● USG transesofagus
● Bronchoscopy
● Esophagoscopy

G. Reevaluasi
● Saat primary survey dilakukan evaluasi ulang pada setiap pemeriksaan ABCD
● Setelah secondary survey (optimalisasi/memastikan pasien stabil) sebelum dilakukan
transfer pasien
● Yang perlu dimonitor:
1. Tanda vital
2. Saturasi O2
3. Urin output → dewasa = 0,5mL/kg/jam

H. Penanganan Definitif / Rujukan


1. Apabila life-saving sudah teratasi
2. Pasien stabil
3. Konsul dilakukan secepat mungkin ke dokter yang bersangkutan
4. Memastikan RS rujukan sanggup menangani (tersedia dokter dan fasilitas yang sesuai)
5. Cara transportasi yang tepat

SUMBER :
1) Carlson JN, Wang HE. Noninvasive airway management. In: Tintinalli's JE, Stapczynski JS,
Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Cline DM, Editor. Tintinalli’s emergency medicine: A
comprehensive study guide. 8Ed. Mcgraw Hill. 2015
2) Buku Gawat Darurat Medis dan Bedah Rumah Sakit Universitas Airlangga hal 70
3) Adult Triage Algorithm - https://chemm.hhs.gov/startadult.htm

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


2. Berdasarkan skenario kasus ini, analisislah mekanisme trauma yang terjadi, dan
interpretasikan hasil primary survey!
Jawaban :
Mekanisme trauma
American Congress of Rehabilitation Medicine (ACRM) mendefinisikan cedera kepala sebagai
perubahan status mental yang terjadi pada saat kecelakaan (disorientasi atau konfusi). ACRM
membatasi penyebab cedera kepala berupa benturan pada kepala, kepala yang terbentur pada suatu
objek atau pergerakan akselerasi-deselerasi otak, seperti whiplash, tanpa trauma langsung pada
kepala. Insidens cedera kepala di seluruh dunia meningkat terutama disebabkan oleh peningkatan
penggunaan kendaraan bermotor di negara berpendapatan rendah hingga menengah.
Mekanisme trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : tumpul, kompresi , ledakan dan tembus.
Mekanisme cidera terdiri dari : Cidera langsung (misal kepala dipukul menggunakan martil), kulit
kepala bisa robek, tulang kepala bisa retak atau patah, dapat mengakibatkan perdarahan di otak.
Cidera perlambatan / deselerasi, misal pada kecelakaan motor membentur pohon, Cidera percepatan
/ akselerasi, misalnya bila pengendara mobil ditabrak dari belakang. Misalnya pengendara mobil
ditabrak dari belakang. Tabrakan dari belakang biasanya kehilangan kesadaran sebelum tabrakan
dan sebagainya. Anamnesis yang berhubungan dengan fase ini meliputi :
a. Tipe kejadian trauma, misalnya : tabrakan kendaraan bermotor, jatuh atau trauma / luka tembus.
b. Perkiraan intensitas energi yang terjadi misalnya : kecepatan kendaraan, ketinggian dari tempat
jatuh, kaliber atau ukuran senjata.
c. Jenis tabrakan atau benturan yang terjadi pada penderita : mobil, pohon, pisau dan lain-lain.

Trauma Tumpul
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Pada suatu kecelakaan lalu
lintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita yang berada di dalam mobil akan mengalami
beberapa benturan (collision) berturut-turut sebagai berikut :
1. Primary Collision, terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada
posisi masing-masing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara :Tabrakan depan (frontal),Tabrakan
samping (TBone), Tabrakan dari belakang, Terbalik (roll over)
2. Secondary Collision, setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau
sabuk pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat tergantung dari
arah tabrakan.
3. Tertiary Collision, setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam
rongga tubuh akan melaju ke arah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan langsung
ataupun terlepas (robek) dari alat pengikatnya dalam rongga tubuh tersebut.
4. Subsidiary Collision, kemungkinan penumpang mobil yang mengalami tabrakan terpental ke
depan atau keluar dari mobil. Selain itu barang-barang yang berada dalam mobil turut terpental
dan menambah cedera pada penderita.

Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak, sedangkan bagian dalam
tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari belakang oleh bagian belakang dinding torak
oabdominal dan kulumnavetrebralis, dan didepan oleh struktur yang terjepit. Pada organ yang
berongga dapat terjadi apa yang trauma. Mekanisme trauma yang terjadi pada pengendara sepeda
motor dan sepeda meliputi :
a. Benturan frontal
Bila roda depan menabrak suatu objek dan berhenti mendadak maka kendaraan akan berputar
ke depan,dengan momentum mengarah ke sumbu depan. Momentum kedepan akan tetap,

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


sampai pengendara dan kendaraannya dihentikan oleh tanah atau benda lain. Pada saat gerakan
kedepan ini kepala, dada atau perut pengendara mungkin membentur stang kemudi. Bila
pengendara terlempar ke atas melewati stang kemudi, maka tungkai nya mungkin yang akan
membentur stang kemudi, dan dapat terjadi fraktur femur bilateral.
b. Benturan lateral
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau tertutup tungkai bawah.
Kalau sepeda / motor tertabrak oleh kendaraan yang bergerak maka akan rawan untuk
mengalami tipe trauma yang sama dengan pemakai mobil yang mengalami tabrakan samping.
Pada tabrakan samping pengendara juga akan terpental karena kehilangan keseimbangan
sehingga akan menimbulkan cedera tambahan.
c. Laying the bike down
Untuk menghindari terjepit kendaraan atau objek yang akan ditabraknya pengendara mungkin
akan menjatuhkan kendaraannya untuk memperlambat laju kendaraan dan memisahkannya dari
kendaraan. Cara ini dapat menimbulkan cedera jaringan lunak yang sangat parah.
d. Helm (helmets)
Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala agak terbatas namun penggunaannya
jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi kekuatan yang mengenai kepala dengan
cara mengubah energi kinetik benturan melalui kerja deformasi dari bantalannya dan diikuti
dengan mendistribusikan kekuatan yang menimpa tersebut seluas-luasnya. Secara umum
petugas gawat darurat harus berhati-hati dalam melepas helm korban kecelakaan roda dua,
terutama pada kecurigaan adanya fraktur servical harus tetap menjaga kestabilan kepala dan
tulang belakang dengan cara teknik fiksasi yang benar. Secara umum keadaan yang harus
dicurigai sebagai perlukaan berat (walaupun penderita mungkin dalam keadaan baik) adalah
sebagai berikut :
Penderita terpental, antara lain :
- Pengendara motor
- Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor
- Tabrakan mobil dengan terbalik
- Terpental keluar mobil
Setiap jatuh dari ketinggian > 6 meter
Ada penumpang mobil (yang berada di dalam satu kendaraan) meninggal.

Trauma ledakan (Blast Injury)


Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu bahan dengan volume yang
relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi produk-produk gas. Produk gas ini yang secara
cepat berkembang dan menempati suatu volume yang jauh lebih besar daripada volume bahan
aslinya. Bilamana tidak ada rintangan, pengembangan gas yang cepat ini akan menghasilkan suatu
gelombang tekanan (shock wave). Trauma ledakan dapat diklasifikasikan dalam 3 mekanisme
kejadian trauma yaitu primer, sekunder dan tersier

Trauma Tembus (Penetrating Injury)


1. Senjata dengan energi rendah (Low Energy) Contoh senjata dengan energi rendah adalah pisau
dan alat pemecah es. Alat ini menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena
energi rendah, biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder
2. Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high energy) Senjata dengan energi
menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata dengan energi tinggi seperti senjata
militer dan senjata untuk berburu.

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


Pasien yang tidak menggunakan helm ketika berkendara menggunakan motor mengalami
kecelakaan, kepala yang tidak ada perlindungan terbentur pada batu yang mengakibatkan adanya
suatu trauma pada kepala.
Pasien terjatuh dari motor, terkena batu → mengalami trauma tumpul → trauma capitis
menyebabkan fraktur os frontal → deformitas
menyebabkan kerusakan pembuluh darah → perdarahan terbuka → darah berakumulasi di saluran
pernapasan → obstruksi parsial → terdapat suara napas tambahan → gurgling

Primary survey
Primary survey merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi secara cepat masalah yang timbul
pada kasus trauma. Kelima hal dalam primary survey diterangkan menurut urutan prioritas namun
dalam prakteknya di lapangan dikerjakan secara simultan. Primary survey meliputi (Ali et al., 1997;
Legome, 2016; Offner, 2017) :
a. Airway with C-spine control
Masalah airway dapat dilihat dengan memeriksa suara napas dengan metode look, listen, and
feel. Masalah yang mungkin timbul pada airway adalah:
- Obstruksi jalan napas karena benda asing, cairan, ataupun fraktur maksilofasial.
- Fraktur servikal harus selalu dicurigai terutama pada kondisi :
● Kesadaran menurun,
● Adanya jejas di atas clavicula, dan
● Nyeri leher.
Pada Kasus :
Hasil Primary Survey di TKP :
● Terdengar suara nafas tambahan → disebabkan karena obstruksi parsial jalan napas
Hasil Primary Survey di RS :
● Gurgling (ada darah/cairan di rongga mulut) → belum dilakukan intervensi sehingga
terjadi perburukan

b. Breathing
Hal–hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah breathing adalah :
- Menghitung frekuensi napas/Respiratory rate (RR);
- Melihat gerakan dada simetris atau tidak; – perkusi: redup, hipersonor; dan
- Suara napas: vesikuler, meningkat atau menurun.
Distres napas antara lain dapat disebabkan oleh pneumotorakss, flail chest dengan
contusio pulmonum, hematotorakss, atau fraktur costa.
Pada Kasus :
Hasil Primary Survey di TKP :
● Hiperventilasi
Hasil Primary Survey di RS :
● Takipnea

c. Circulation with haemorrhage control


Hal–hal yang dapat dilihat untuk mengidentifikasi masalah circulation secara cepat adalah :
- Tingkat kesadaran;
- Warna kulit yang menandakan perfusi jaringan; dan
- Nadi.

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


Hati–hati pada orang tua, anak kecil, atlet, dan riwayat pemakaian obat–obatan karena
pasien tidak bereaksi secara normal. Sumber perdarahan dapat berasal dari dalam tubuh
yang tidak terlihat maupun yang terlihat dari luar.
- Internal bleeding paling banyak disebabkan oleh perdarahan intraabdomen,
hematotorakss masif, dan fraktur pelvis.
- Eksternal bleeding terutama pada ekstremitas.
Pada Kasus :
Hasil Primary Survey di TKP :
● Normotensi, takikardi → Takikardi bisa terjadi karena aktivasi simpatis dari adanya
perdarahan Takikardi pada kasus disebabkan oleh mekanisme kompensasi akibat
hipoksia
Hasil Primary Survey di RS :
● Hipotensi, takikardi → (terjadi perburukan, tanda-tanda syok) → belum teratasi

d. Disability
Masalah disability atau kesadaran menurun dapat disebabkan oleh perdarahan intrakranial atau
edem otak. Lucid interval karena epidural haemorrhage harus diwaspadai dan terus dilakukan
re-evaluasi. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi masalah disability adalah :
- Memeriksa skala kesadaran antara lain dengan metode AVPU (Alert, Verbal, Pain,
Unresponsive) atau GCS (Glasgow Coma Scale).
- Memeriksa adakah lateralisasi dengan melihat ukuran pupil dan reflek cahaya
Pada Kasus :
Hasil Primary Survey di TKP :
● Penurunan kesadaran
Hasil Primary Survey di RS :
● GCS 8 → (cedera kepala berat)

e. Exposure atau kontrol lingkungan


Pakaian pasien harus dibuka semua agar dapat dilakukan pemeriksaan dan evaluasi secara
menyeluruh namun harus tetap dijaga agar tidak terjadi hipotermi

SUMBER :
1) https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/8c1d577f1b14f41f815cb1571
a6b23dc.pdf

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


2) Buku Gawat Darurat Medis dan Bedah Rumah Sakit Universitas Airlangga hal 67-68
3) http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/817/573

3. Rumuskanlah kemungkinan diagnosis pasien pada skenario ini!


Jawaban :

DATA KETERANGAN

Anda sedang bertugas sebagai seorang dokter jaga Identitas


IGD di RS, pada pukul 22.05 WIB datang seorang
laki-laki berusia sekitar 35 tahun diantar oleh
petugas ambulans dan polisi.

Dari keterangan polisi, pasien diketahui terjatuh ● Etiologi → Trauma karena terjatuh dari
dari motor, kepala bagian dahi terbentur batu, motor
tidak menggunakan helm, dan ditemukan tidak ● Faktor risiko → pasien tidak
menggunakan helm
sadar pada kira-kira pukul 21.40 WIB.
● Pasien terjatuh dari motor (KLL
tunggal) merupakan penyebab
penurunan kesadaran. Kemungkinan
akibat :
o Airway (Obstruksi saluran
nafas)
o Breathing (hiperventilasi)
o Circulation (perdarahan berat)

Pada pemeriksaan oleh petugas kesehatan yang DD/


datang ke lokasi kecelakaan, tampak luka yang 1. Trauma maksilofasial
berdarah di daerah kepala dan lecet-lecet di 2. Trauma kepala
3. Trauma mandibular
sekitar luka.
4. Cedera kepala

Korban tidak sadar. Mengancam jiwa


Tensi 110/60 mmHg, Hipotensi (120/80mmHg)
Nadi 110 kali/ menit. Takikardi (60-90x/menit)
Terdengar suara napas tambahan, Gurgling → Tanda obstruksi jalan nafas parsial
Takipneu (16-24x/menit)
Respirasi 33 kali/ menit.
Hasil Primary Survey (TKP)
A : suara napas tambahan (gurgling)
B : takipnea dan hiperventilasi
C : normotensi dan takikardi
D : penurunan kesadaran

Tindakan yang dilakukan ditempat kejadian Tindakan Primary survey (TKP)


kecelakaan : A : Obstruksi parsial → Suction, Neck Collar
● pemasangan satu line infus, B : Takipnea → Oksigen diberikan melalui
kanul, kurang tepat jika diberikan 10L/menit,
● neck collar
sebaiknya diberikan 2-4L/menit.

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


● Oksigen diberikan melalui kanul hidung C : Takikardi → infus, inadekuat (seharusnya
10 lt/mnt. 2 line)
D : Penurunan Kesadaran
Tindakan penanganan awal tidak adekuat

Hasil pemeriksaan di IGD RS :


● Tidak sadar, terdengar suara nafas ● Gurgling akibat obstruksi jalan nafas
tambahan gurgling ● Hipotensi (120/80mmHg)
● Tensi 100/70 mmHg, ● Takikardi (60-90x/menit)
● Nadi 100x/mnt, ● Takipneu (16-24x/menit)
● Pernafasan 36 x/mnt; ● Menurun (95-100%)
● Saturasi oksigen 85%. ● Penurunan Kesadaran (Stupor) →
● GCS 8, Cedera Kepala Berat
● Menyangkal hematoma epidural,
subdural (pupil dilatasi
● pupil bulat isokor
ipsilateral/kontralateral)
● Belum ada mati batang otak
● refleks cahaya positif
Hasil primary survey (IGD RS)
A : gurgling 🡪 obstruksi parsial
B : takipnea
C : normotensi, takikardi
D : penurunan kesadaran (GCS 8)🡪 terdapat
cedera kepala berat

Belum teratasi dengan baik karena penanganan


ketika di TKP tidak adekuat

DK/ Trauma maksilofasial dengan cedera kepala berat

Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial berarti cedera pada wajah atau tulang maksilofasial. Trauma
wajah termasuk luka pada kulit, tulang kepala, hidung dan sinus, rongga mata, atau gigi dan
bagian lain dari mulut. Trauma wajah sering ditandai oleh pembengkakan atau luka (robek di
kulit). Tulang-tulang tersebut antara lain: tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila,
tulang nasal, tulang maksila, tulang mandibular. Trauma maksilofacial adalah trauma yang
mengenai wajah dan jaringan seluruhnya (jar. Lunak dan keras)
● Jar. Lunak : kulit, saraf, glandula parotid, kelopak mata, telinga, mata
● Jar. Keras :
➔ 1/3 atas wajah : os frontalis, region supraorbital, sinus frontalis
➔ 1/3 tengah : os maksila, os zygomaticum, os nasal, os orbita, os vomer
➔ 1/3 bawah : os mandibular, gigi, os alveolaris
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga pola fraktur
maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III.

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


a) Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dikenal juga dengan fraktur Guerin yang terjadi di atas level
gigi yang menyentuh palatum, meliputi keseluruhan prosesus alveolar dari maksila,
kubah palatum, dan prosesus pterigoid dalam blok tunggal. Fraktur membentang secara
horizontal menyeberangi basis sinus maksila. Dengan demikian buttress maksilari
transversal bawah akan bergeser terhadap tulang wajah lainnya maupun kranium.
b) Fraktur Le Fort II
Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal
menimbulkan fraktur dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk piramida.
Karena sutura zygomaticomaxillary dan frontomaxillary (buttress) mengalami fraktur
maka keseluruhan maksila akan bergeser terhadap basis kranium
c) Fraktur Le Fort III
Selain pada pterygomaxillary buttress, fraktur terjadi pada zygomatic arch
berjalan ke sutura zygomaticofrontal membelah lantai orbital sampai ke sutura
nasofrontal. Garis fraktur seperti itu akan memisahkan struktur midfasial dari kranium
sehingga fraktur ini juga disebut dengan craniofacial dysjunction. Maksila tidak
terpisah dari zygoma ataupun dari struktur nasal. Keseluruhan rangka wajah tengah
lepas dari basis kranium dan hanya disuspensi oleh soft tissue

Cedera Kepala/Trauma Kapitis


Merupakan trauma yang mengenai struktur kepala sehingga menimbulkan kelainan
struktural dan gangguan fungsional pada jaringan otak yang disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar yang dapat mengubah kesadaran dan menimbulkan gangguan kongnitif
dan fungsi fisik.

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


SUMBER :
1) Jurnal Biomedik (JBM) - Hubungan antara fraktur maksilofasial dengan terjadinya lesi
intrakranial
2) Jurnal THT-KL - Penanganan Operatif Fraktur Sepertiga Tengah Wajah (Le Fort I, II, dan III)
3) CDK Jurnal - Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis
4) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - Fraktur Pada Tulang Maksila

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


4. Setibanya di RS, hasil primary survey pasien menunjukkan perubahan. Rumuskanlah
penanganan kasus dan tindakan resusitasi yang paling tepat untuk mengatasi pasien tersebut
di RS! Jelaskan alasan anda!
Jawaban :
ATLS 2018

Persiapan Awal
Tahapan untuk mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk proses primary survey dan
resusitasi, dan yang lebih penting lagi adalah alat proteksi diri (sarung tangan, masker, kacamata,
dll) untuk mencegah penularan penyakit yang mungkin dialami oleh penderita trauma yang
nantinya akan ditolong.

Primary Survey dan Resusitasi


Tindakan Resusitasi
● Airway
○ Gurgling : lakukan suction, jika tidak teratasi intubasi
○ Snoring : lakukan jaw thrust/chin lift dan naso/oro-pharyngeal airway (OPA/NPA)
○ Stridor ec edema larynx : intubasi
● Breathing
○ Pemberian oksigen.
○ Needle toraksocintesis pada kasus tension pneumotorakss.
○ Punksi pleura atau pemasangan chest tube
● Circulation
○ Pemasangan double infus untuk resusitasi cairan. Resusitasi dilakukan dengan pemberian
kristaloid (Ringer lactate), koloid maupun darah tergantung dari derajat shock. Hindari

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


penggunaan vasopresor, steroid, atau Nabic. Pemberian cairan atau darah yang masih
dingin dapat memicu terjadinya hipotermi.
○ Pelvic sling untuk kecurigaan fraktur pelvis.
○ Bebat tekan untuk menghentikan sementara perdarahan eksternal. Pemakaian tourniquet
sebaiknya tidak dilakukan karena dapat menyebabkan iskemia di bagian distal, kecuali bila
telah terjadi amputasi traumatika.

Pada Kasus
Airway Dengan Kontrol Servikal
● Dilakukan suction terlebih dahulu karena terdengar suara gurgling (tidak menggunakan soft tip
karena khawatir terdapat fraktur basis cranii, sehingga biasanya digunakan rigid tip karena
manipulasi alat lebih mudah dan penghisapan lebih efisien)
● Lalu lakukan jaw thrust (head tilt, chin lift tidak dilakukan karena khawatir terdapat fraktur
servikal) agar lidah tidak jatuh menghalangi jalan nafas

● Pasang collar neck (sudah dilakukan di TKP)


● Jika masih ada gurgling, saturasi oksigen 85%, GCS 8, bahaya aspirasi → indikasi definitive
airway (ETT) intubasi (dilakukan saat sudah di RS)
● Sebelum dilakukan ETT perlu dilakukan Preoksigenasi selama setidaknya 3 menit dengan
NRM flow 10-12 L/min. Elevasikan kepala pasien 20-30 derajat dapat meningkatkan
preoksigenasi
● Indikasi ETT :
○ Cedera kepala dengan GCS < 8
○ Takipnea
○ Ancaman terhadap jalan nafas
○ Fraktur maksilofasial
○ Trauma inhalasi
● Kontraindikasi ETT
○ Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
○ Infeksi : Abses mandibula, peritonsiler abses, epiglottitis

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


○ Kelainan kongenital : Pierre Robin Syndrome, Syndrome Collin teacher, atresia laring,
Syndrome Goldenhar, disostosis kraniofasial
○ Benda asing
○ Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
○ Obesitas
○ Extensi leher yang tidak maksimal : Artritis rematik, spondilosis ankylosing, halo traction
○ Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi moncong
Breathing dan Ventilasi / Oksigenasi
● Pada pasien ini lakukan tindakan oksigenasi dengan nasal kanul di TKP dan ETT di RS
● Pasang pulse oximeter untuk memonitor oksigenasi (N: 95-100%)
● Memerlukan fungsi adekuat dari paru-paru, dinding dada, dan diafragma
● Hitung respiratory rate (peningkatan RR dapat menunjukkan gangguan pada airway dan/atau
ventilasi)
● Berikan oksigen lewat ETT 2-4L/min (dilakukan di RS)
● Pada kasus pemberian oksigen di TKP tidak adekuat (10 L/min dengan nasal kanul) sehingga
terjadi perburukan pada pasien, seharusnya menggunakan nasal kanul 2,5-4 L/min
Circulation
● Untuk menangani sirkulasinya pasien dilakukan balut tekan karena untuk menghindari
perdarahan yang terus menerus bisa berakibat kekurangan volume darah.
● Lalu memasang IV line 2 jalur dengan cairan kristaloid (ringer laktat) yang sesuai dengan suhu
tubuh sebanyak 1-2 liter apabila sudah dipasang kristaloid di TKP lakukan pengguyuran
kristaloid 1-2 lt
● Sebelum dilakukan IV line periksa nadi td dan sumber pendarahan (evaluasi tanda vital)
● IV dua jalur adalah pemasangan infus dua jalur intravena dengan jarum besar (Abocath No.
14/16 G) dipasang untuk membuat akses intravena guna pemberian cairan, karena tujuan
penggantian cairan adalah untuk memulihkan volume intravaskular
● Pada kasus hanya diberikan IV line satu jalur
Disability
● Pada pasien harus dicegah cedera kepala sekunder dengan mempertahankan ABC baik dan
keadaan stabil
● Reevaluasi primary survey → secondary survey : pemfis head to toe → reevaluasi → kondisi
pasien stabil → transfer (menghubungi rs utk menanyakan apakah ada dr spesialis bedah saraf
atau tidak)
Exposure
● Memeriksa kemungkinan trauma lain
● Mencegah pasien mengalami hipotermia dengan membuka pakaian yang basah dan
menyelimuti pasien

Secondary Survey
Setelah dilakukkan primary survey, lalu di evaluasi kembali dengan :
● Anamnesis
● Mekanisme trauma
● Riw. AMPLE (Alergi, Medikasi, Past Illnes, Last Meal, Event)
● Pem. Fisik head to toe
● Pem. Penunjang
● Reevaluasi
● Terapi definitif/rujukan jika pasien sudah stabil (Rujuk ke dr.SpBS)

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


SUMBER :
1) ATLS Student Course Manual 10th Edition Page 7-8, 30
2) Carlson JN, Wang HE. Noninvasive airway management. In: Tintinalli's JE, Stapczynski JS,
Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Cline DM, Editor. Tintinalli’s emergency medicine: A
comprehensive study guide. 8Ed. Mcgraw Hill. 2015
3) Buku Gawat Darurat Medis dan Bedah Rumah Sakit Universitas Airlangga hal 66-68

5. Jelaskan pengertian, pembagian, penyebab, serta tanda dan gejala obstruksi airway! Apakah
pada kasus ini ada obstruksi airway? Jelaskan!
Jawaban :

❖ Pengertian
Obstruksi jalan napas akut terjadi ketika ada penyumbatan sirkulasi udara di jalan napas, baik
secara parsial atau total yang dapat mencegah udara mencapai paru-paru.
Bila pasien dalam kondisi sadar dan dapat menjawab pertanyaan secara dekuat dapat
disimpulkan bahwa jalan napas baik, pernapasan baik dan perfusi darah ke otak baik. Gangguan
dalam menjawab pertanyaan menunjukkan adanya gangguan kesadaran, gangguan jalan napas
dan gangguan kesadaran

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


❖ Pembagian
1) Obstruksi jalan napas atas; terjadi di daerah mulai dari hidung dan bibir hingga laring
(kotak suara).
2) Obstruksi jalan napas bawah; terjadi antara laring dan saluran sempit paru-paru.
3) Obstruksi jalan napas parsial; Pada obstruksi jalan napas parsial korban mungkin
masih mampu melakukan pernapasan, walaupun sulit.
Gejala tambahan:
- Ditandai dengan adanya stridor, retraksi otot napas di daerah supraklavikula,
suprasternal, sela iga dan epigastrium selama inspirasi
- Napas paradoksal (saat inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar bukan
mengembang atau membesar)
- Napas makin berat dan sulit
- Ada tanda sianosis yang merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan napas
yang berat
- Sumbatan parsial berisik dan harus pula segera dikoreksi karena dapat
menyebabkan kerusakan otak, serta dapat menyebabkan henti napas dan henti
jantung
4) Obstruksi jalan napas total; tidak memungkinkan udara masuk. Pada obstuksi jalan
napas total korban biasanya tidak dapat berbicara (afoni), sulit bernapas (dispnea
sampai apnea), tidak lama kemudian wajah menjadi biru (sianosis). Bila sumbatan total
berlangsung > 5 menit pada orang dewasa dan 8 menit pada anak, maka akan terjadi
kerusakan otak dan henti jantung.
Gejala tambahan:
● Serupa dengan obstruksi parsial akan tetapi gejala lebih hebat & stridor
menghilang
● Retraksi lebih jelas, gerakan paradoksal lebih jelas, kerja otot napas tambahan
meningkat dan makin jelas
● Sianosis lebih cepat timbul
● Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia, henti napas, dan henti
jantung dalam waktu 5-10 menit bila tidak dikoreksiAliran udara pada mulut atau
hidung tidak terasa
● Retraksi otot pernapasan supraklavikul
5) Obstruksi jalan napas akut; penyumbatan yang terjadi dengan cepat. Tersedak benda
asing adalah contoh obstruksi jalan napas akut.
6) Obstruksi jalan napas kronis; terjadi dua cara: dengan penyumbatan yang
membutuhkan waktu lama untuk berkembang atau dengan penyumbatan yang
berlangsung lama.
❖ Penyebab/etiologi

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


1) trauma pada jalan napas akibat kecelakaan (dpt karena fraktur wajah: perdarahan,
evulsi gigi, fraktur ramus mandibula: lidah jatuh ke belakang, perlukaan daerah leher:
rusak laring dan trakea, perdarahan jaringan lunak)
2) akut : menelan benda asing
3) benda asing di hidung atau mulut
4) reaksi alergi
5) masalah pita suara
6) menghirup asap dalam jumlah besar dari api
7) infeksi virus, infeksi bakteri
8) penyakit pernapasan yang menyebabkan peradangan saluran napas bagian atas (croup)
9) pembengkakan lidah atau epiglotis
10) abses di tenggorokan atau amandel
11) runtuhnya dinding trakea (tracheomalacia)
12) asma
13) bronkitis kronis
14) emfisema
15) cystic fibrosis
16) penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
❖ Tanda dan Gejala
Tanda - tanda obstruksi jalan napas meliputi:
a. Look (lihat)
1) Tingkat kesadaran
Lakukan pengecekan kesadaran dari pasien dengan menanyakan "apakah
pasien baik-baik saja?" Bila pasien responsif dan menjawab berarti jalan nafas
paten, tetapi bila pasien tidak berespons goyangkan pundak pasien dengan
pelan dan ulangi lagi pertanyaannya. Bila pasien tetap tidak merespons
kemungkinan besar pasien mengalami penurunan kesadaran (agitasi) karena
hipoksia.
2) Tanda hipoksia
Tanda sianosis (kebiru-biruan) dapat dilihat pada kuku dan sekitar mulut
pasien disebabkan oleh hipoksemia.
3) Penggunaan otot pernapasan
Perhatikan juga adanya retraksi dan penggunaan otot bantu pernapasan oleh
pasien yang menunjukkan adanya gangguan pernapasan.
4) Benda asing pada jalan napas
Amati benda asing di dalam mulut seperti muntahan, darah atau cairan
lambung. Bila terlihat benda-benda tersebut maka lakukan finger sweep.
5) Dapat terjadi agitasi, deformitas, dan retraksi
b. Listen (dengar)
Adanya suara tambahan menunjukkan adanya obstruksi jalan napas.
1) Snoring (mendengkur) karena lidah jatuh ke belakang
2) Gurgling (berkumur) karena ada cairan atau darah
3) Stridor (serak/parau) karena ada sumbatan parsial pada faring atau laring
4) Wheezing (mengi) akibat adanya penyempitan saluran nafas bawah, spasme
bronkus
5) Penderita berkata-kata kasar atau melawan (gaduh gelisah) kemungkinan
mengalami hipoksia.

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


6) Terdiam, kemungkinan obstruksi jalan napas total
c. Feel (rasakan)
Lakukan pengecekan aliran udara ekspirasi dengan pipi penolong yang didekatkan
pada hidung dan mulut pasien rasakan apakah ada pergerakan udara ekspirasi.
Tentukan lokasi trachea dengan cara meraba apakah posisinya berada di tengah.
Lakukan pemeriksaan dari leher sampai toraks (trakea, vena leher, keadaan jaringan).
Serta menilai ada atau tidaknya hematoma/edema.
❖ Pada kasus → terdapat obstruksi jalan napas ditandai dengan suara gurgling yang menandakan
adanya cairan pada jalan napas oleh darah

SUMBER :
1) PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) 2019 hal 3-6
2) Healthline - Airway Obstruction
3) NCBI Bookshelf - Airway Obstruction
4) Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher 2015 hal 169

6. Berdasarkan skenario kasus diketahui bahwa pasien ini mengalami takipneu, analisislah
kemungkinan penyebab dan patofisologi terjadinya takipneu pada pasien ini!
Jawaban :

SUMBER :

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


1) FK Universitas Udayana - Fraktur Pada Tulang Maksila
2) NCBI - Maxillary Fracture
3) Medscape - Maxillary and Le Fort Fractures
4) http://repository.ump.ac.id/5214/2/Vita%20Fatimah%20BAB%20II.pdf

7. Berdasarkan skenario diketahui bahwa di tempat kecelakaan pasien telah dipasang 1 jalur IV
line, apakah tindakan tersebut sudah tepat? Kemukakan hasil analisis anda!
Jawaban :
● Tindakan tersebut belum tepat, karena pada kasus ini merupakan kasus trauma maksilofacial
dengan cedera kepala berat sehingga sebaiknya pasien dilakukan pemasangan 2 jalur IV line
untuk memberikan caira, darah, atau plasma dan perlu dilakukan resusitasi cairan adekuat agar
tidak terjadi shock.
● Pada kasus, penatalaksanaan awal (primary survey) perlu dipasang IV line 2 jalur di area yang
tidak terdapat luka atau trauma menggunakan jarum berdiameter besar 14-16G yang bisa masuk
ke pembuluh darah pasien guna pemberian cairan. Hal tersebut didasarkan dari ATLS yang
menyatakan bahwa pasien trauma yang dilakukan primary survey pada tindakan resusitasi
circulation harus dipasang 2 jalur IV line dengan pemberian kristaloid hangat (dihangatkan
hingga suhu 37-40 deajat C).
● pemasangan 2 jalur IV line dilakukan untuk jalur masuk cairan kristaloid hangat yang berguna
mencegah syok dan sebagai jalur persiapan jika tiba-tiba pasien mengalami syok akibat
perdarahannya dan membutuhkan transfusi darah.

SUMBER : Advance Trauma Life Support (ATLS) 10th Edition Page 7-10

8. Analisislah hasil pemeriksaan GCS pasien dalam kasus ini, kemudian jelaskan kemungkinan
etiologi dan patofisiologi terjadinya penurunan GCS pasien tersebut!
Jawaban :
Hasil Pemeriksaan GCS

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


Pada kasus 🡪 GCS: 8
GCS digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita mengalami cedera kepala. Nilai GCS cedera kepala berat, cedera kepala
sedang, dan cedera kepala ringan
Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya terjadi beberapa
detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan CT-scan, LCS
normal, dapat terjadi amnesia retrograde. Kehilangan kesadaran < 20 menit

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


Amnesia post traumatic < 24 jam
Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda neurologis
abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness dan confusion yang
dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat
terjadi beberapa bulan bahkan permanen. Kehilangan kesadaran >20 menit dan <36 jam, Amnesia
post traumatic>24 jam dan <7 hari
Cedera kepala berat (GCS 3-8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma. Penurunan kesadaran
dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena
gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten. Kehilangan
kesadaran > 36 jam, Amnesia post traumatic > 7 hari
Sumber : Advanced Trauma Life Support 10th edition hal 110

Etiologi
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal
maupun seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum diklasifikasikan dalam intrakranial
dan ekstrakranial. Selain itu juga dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non traumatik.
● Traumatik → kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh.
● Non traumatik → gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke
iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid, tumor otak, kondisi inflamasi,
infeksi SSP (meningitis, ensefalitis, dan abses serta gangguan psikogenik).

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


SUMBER :
1) Buku Ajar Neurologi FK UI
2) Buku Ajar Praktis Bedah Mulut

Patofisiologi
Ada tiga kemungkinan Kesadaran Terganggu, yaitu Disfungsi menyeluruh pada hemisfer otak,
abnormalitas dari ARAS, Disfungsi CNS secara umum.
Terdapat dua struktur anatomi yang mempengaruhi derajat kesadaran, yaitu kedua hemisfer otak dan
brainstem reticular activating system [RAS). Ada dua lintasan yang digunakan untuk menyampaikan
impuls aferen ke korteks serebri, yaitu:
1. Lintasan sensorik spesifik, menghantarkan impuls dari reseptor ke satu titik di korteks sensorik
primer. Lintasan ini melalui traktus spinotalamikus, lemniskus medialis, lemniskus lateralis,
atau radiasio optika.
2. Lintasan sensorik nonspesifik, terdiri atas serabut-serabut yang ada pada formasio retikularis.
Serabut-serabut ini memanjang di sepanjang batang otak. Formasio retikularis menerima
serabut aferen, lalu memproyeksikan serabut eferen dari dan ke korda spinalis, nukleus saraf
kranial, serebelum, dan hemisfer serebri. Beberapa nukleus yang ada di formasio retikularis;
khususnya yang ada di midbrain, diproyeksikan ke pusat yang lebih tinggi (kedua hemisfer
otak) dan menerima input kolateral dari berbagai serabut asending (seperti traktus
spinotalamikus, traktus spinalis nervus trigeminal, traktus solitarius, dan serabut dari nukleus
vestibular serta koklear). Berdasarkan beberapa studi diketahui bahwa sistem ini memiliki
peran mengatur derajat kesadaran pada manusia dan menjaga siklus tidur-bangun [sleep-wake
cycle]. Selanjutnya sistem tersebut dikenal dengan nama ascending reticular activa-ting system
(ARAS)

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


SUMBER :
1) Buku Ajar Neurologi FK UI
2) FK UMI - Patofisiologi Kesadaran Menurun

9. Sebagai dokter umum, apakah anda perlu melakukan rujukan untuk pasien ini? Jelaskan
alasan anda!
Jawaban :
Ya, perlu dilakukan rujukan

Mekanisme Rujukan
● Dirujuk setelah dilakukan tindakan Live Saving sampai kondisi stabil
● Lakukan koordinasi sebelum transport
○ Informasi bahwa area tempat pasien akan dipindahkan telah siap untuk menerima pasien
tersebut serta membuat rencana terapi
○ Dokter yang bertugas harus menemani pasien dan komunikasi antar dokter dan perawat
juga harus terjalin mengenai situasi medis pasien
○ Lampirkan status penderita baik Anamnesis, Tanda vital, lokasi perlukaan, pemeriksaan
tambahan dan tindakan yang telah dilakukan
● Persyaratan transportasi kondisi penderita stabil (dapat baik/buruk), didampingi oleh petugas
medis/paramedis. Untuk pasien yang yang memerlukan asuhan medis yang terus menerus harus
dirujuk dengan ambulans dan didampingi 2 profesional yang berkompeten. Salah satu
profesional adalah perawat yang bertugas, dengan pengalaman CPR atau khusus terlatih pada
transport pasien kondisi kritis. Profesional kedua dapat dokter atau perawat. Seorang dokter
harus menemanipasien dengan instabilitas fisiologik dan pasien yang membutuhkan urgent
action
● Peralatan yang dibutuhkan untuk menunjang pasien

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


○ Transport monitor
○ Blood pressure reader
○ Sumber oksigen dengan kapasitas prediksi transport, dengan tambahan cadangan 30 menit
○ Ventilator portable, dengan kemampuan untuk menentukan volume/menit, pressure FiO2
of 100% and PEEP with disconnection alarm and high airway pressure alarm.
○ Mesin suction dengan kateter suction
○ Obat untuk resusitasi: adrenalin, lignocaine, atropine dan sodium bicarbonate
○ Cairan intravena dan infus obat dengan syringe atau pompa infus dengan baterai
○ Pengobatan tambahan sesuai dengan resep obat pasien tersebut
● Monitoring selama transport
○ Tingkat monitoring dibagi sebagai berikut: Level 1= wajib, Level 2= Rekomendasi kuat,
Level 3= ideal
○ Monitoring kontinue: EKG, pulse oximetry (level 1)
○ Monitoring intermiten: Tekanan darah, nadi, respiratory rate (level 1 pada pasien pediatri,
Level 2 pada pasien lain).
● Dirujuk ke RS yang sesuai dan spesialis yang sesuai. Pada kasus : Konsul ke dokter Sp.B atau
Sp.OT. area maksilofasial bisa ke Sp BM, Sp.BP

SUMBER :
1) Buku Pelaksanaan Teknik Memindahkan Pasien Trauma FK Udayana Halaman 11-13

10. Jelaskan aspek medikolegal dan aspek bioetik humaniora serta profesionalisme pada kasus
ini!
Jawaban :
Medikolegal :
UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas
● Pasal 227 :
Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara:
a.mendatangi tempat kejadian dengan segera;
b.menolong korban;
c.melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara;
d.mengolah tempat kejadian perkara;
e.mengatur kelancaran arus Lalu Lintas;
f. mengamankan barang bukti; dan
g.melakukan penyidikan perkara.
● Pasal 231
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib:
a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
b. memberikan pertolongan kepada korban;
c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan
d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
● Pasal 241
Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan
pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 108 KUHAP 🡪 Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi
korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.Dengan dasar
pasal ini dokter dapat melaporkan kepada penyidik ataupun pasien sendiri sebagai korban
yang melaporkan kejadian KLL yang dialami.
● 360 (1) KUHP 🡪 Barang siapa yang menyebabkan orang lain mendapatkan luka berat,
diancam paling lama pidana 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun.
● Aspek asuransi : jenis kecelakaan tunggal termasuk yang tidak terjamin jasa raharja sesuai
UU 34 tahun 1964 jo PP No 18 tahun 1965 pasal 13, tetapi dapat dijamin oleh BPJS
● pasal 299 UU No 29/2009 tentang lalu lintas yang menjabarkan klasifikasi kecelakaan, pada
kasus termasuk kedalam kecelakaan lalu lintas berat karena mengakibatkan luka berat atau
meninggal.
● Luka berat sesuai 90 KUHP yakni :
❖ jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut
❖ tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencaharian
❖ kehilangan salah satu pancaindra
❖ mendapat cacat berat
❖ menderita sakit lumpuh
❖ terganggunya daya pikir selama 4 minggu

KDM :
Beneficence
Dokter melaksanakan kewajiban menolong pasien gawat darurat, pada kasus ini merupakan
gawat darurat sehingga dokter harus memberikan pertolongan pertama yang sesuai, melakukan
initial assessment terhadap pasien gawat darurat
Non- Maleficence
Dokter harus menolong pasien emergensi dan menangani secara proporsional tanpa
membahayakan pasien karena kelalaian sehingga pasien gawat darurat dapat pulih dari cederanya
Autonomy
Dokter melakukan informed consent, pada kasus ini pasien mengalami penurunan kesadaran
GCS 8 = somnolen. Sehingga informed consent dapat diwakilkan kepada orang yang
mengantarnya
Justice
Dokter dapat menghargai hak pasien untuk sehat,dan hak hukum pasien pada kasus tersebut

Prima Facie : Non-maleficence 🡪 menolong pasien emergensi, menangani secara proporsional pada
pasien gawat darurat, dan tidak melalaikan pasien.

Daftar Pustaka.
1. Cameron P, Jelinek G, Kelly AM, Brown A. In: Little M, Editor. Textbook of Adult emergency
medicine. 4th Ed. Churchill Livingstone. 2014
2. Nguyen HB, Huang DT, Pinsky MR. Hemodynamic monitoring. In: Tintinallis JE, Stapczynski
JS, Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Cline DM, Editor. Tintinalli’s emergency medicine: A
comprehensive study guide. 8Ed. Mc Graw Hill. 2015

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044


1. Carlson JN, Wang HE. Noninvasive airway management. In: Tintinallis JE, Stapczynski JS, Ma
OJ, Yealy DM, Meckler GD, Cline DM, Editor. Tintinalli’s emergency medicine: A
comprehensive study guide. 8Ed. Mc Graw Hill. 2015
2. Friedlander AD, Hirshon JM. Basic Cardiopulmonary resuscitation. In: Tintinallis JE,
Stapczynski JS, Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Cline DM, Editor. Tintinalli’s emergency
medicine: A comprehensive study guide. 8Ed. Mc Graw Hill. 2015
3. Vissers RJ, Danzi DF, Serrano K. Intubation and mechanical ventilation. In: Tintinallis JE,
Stapczynski JS, Ma OJ, Yealy DM, Meckler GD, Cline DM, Editor. Tintinalli’s emergency
medicine: A comprehensive study guide. 8Ed. Mc Graw Hill. 2015
4. Safar P, Bircher NG. Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation. 3rd ed, London: WB Saunders;
1988:15-36.
5. Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Aufderheide TP, Cave DM. M. Part 5: Adult Basic Life
Support: 2010
6. American Heart Association Guidelines for Cardio-pulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122(suppl 3):S685–S705.
7. Undang-undang RI nomor 29 Tahun 2009 tentang lalu lintas
8. Kitab undang-undang Hukum Pidana
9. Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ. Clinical ethics: a practical approach to ethical decisions in
clinical medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill:2010

Velida Abiyyah Rosefin - 4111191044

Anda mungkin juga menyukai