Anda di halaman 1dari 74

PPT DK 2

Skenario 6
Laki-laki Terjatuh
dari Motor
IKGK 6 - Kelompok 5
Anggota Kelompok 5
1. Adilah Nurahmah Argani (2106707486)
2. Andi Nabhila A Kezia F (2106722291)
3. Angelica Rachel (2106722133)
4. Aurellia Ainur Rifqa (2106702586)
5. Diva Akhsana Zahra Amala (2106631620)
6. Elgiva Kallita Tafiana (2106704484)
7. Farah Farnisa (2106707744)
8. Muhammad Rafif Fasya (2106722013)
9. Safra Aisyah Sahira (2106704534)
10. Sekar Embun Jempina (2106704282)
11. Shafira Khairunnisa (2106634995)
Jabaran Skenario
Seorang laki-laki usia 18 tahun datang ke IGD RSKGM FKGUI dengan keluhan sulit makan
setelah kecelakaan lalu lintas 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien
mengendarai motor, tidak menggunakan helm dengan kecepatan 40 km/jam, kemudian
ditabrak dengan oleh motor lain dari sisi kanan. Pasien kemudian terjatuh, lalu pingsan
dan tidak ingat kejadian, muntah menyembur ada. Saat ini tampak asimetri wajah, nyeri
tekan pada area zygoma. Pada pemeriksaan intraoral, tampak maloklusi (edge-to-edge),
dan floating maksila.
01
Bagaimana penalaran klinis yang
mendasari diagnosis pada kasus
tersebut?
Aurellia Ainur Rifqa 2106702586
Diva Akhsana Zahra Amala 2106631620
Sekar Embun Jempina 2106704282
Shafira Khairunnisa 2106634995
Primary Survey
Primary Survey
● Pasien dengan oromaxillofacial trauma biasanya
datang dengan luka parah, mungkin tidak
sadarkan diri, adanya cedera tulang belakang
leher harus diasumsikan sampai terbukti tidak
ada dan oleh karena itu gerakan leher harus
dijaga seminimal mungkin.
● Pasien memiliki waktu 1h (60min) dari waktu
cedera untuk menerima perawatan definitif.
Setelah itu akan terjadi peningkatan morbiditas
dan mortalitas pasien yang signifikan
● Manajemen pasien trauma maxillofacial pada
kondisi emergensi terdiri dari:
○ Primary survey dan fase resusitasi
○ Secondary survey
○ Perawatan definitif

James Hupp, Edward Elis III, Myron J tucker, Contemporary of Oral and Maxillofacial Surgery, 7th ed. Elsevier. 2019
Primary Survey & Resuscitation
● Primary survey adalah pemeriksaan fisik yang cepat dan dapat digunakan untuk
mengevaluasi pasien trauma serta dirancang untuk mendiagnosis dan mengobati
kondisi yang mengancam jiwa dengan segera.
● Seluruh pasien akan dilakukan pemeriksaaan mengenai kelainan fisiologis atau
anatomi yang dapat menyebabkan kematian dini dan morbiditas.
● Urutan survei primer adalah ABCDE:
1. Airway with cervical spine control
2. Breathing with ventilation
3. Circulation and hemorrhagic control
4. Disability management (neurological)
5. Exposure with environment control
● Pemantauan pasien (oksimetri nadi, elektrokardiogram (EKG), tekanan darah (BP),
hasil darah, radiografi dada dan panggul) harus berjalan paralel dengan survei
primer. Pendekatan tim sangat penting untuk survei primer.

Saigal, Saurabh & Khan, Manal. (2021). Primary Assessment and Care in Maxillofacial Trauma. 10.1007/978-981-15-1346-6_48.
Primary Survey & Resuscitation
1. Airway with cervical spine control
a. Cedera maksilofasial dapat menyebabkan obstruksi jalan napas karena:
i. Fraktur mandibula anterior bilateral memungkinkan lidah jatuh ke posterior
ii. Pergeseran maksila ke bawah dan ke belakang ke nasofaring, setelah fraktur midface
iii. Blood clots dan sekret
iv. Benda asing berupa gigi avulsi atau gigi palsu
b. Chin lift atau jaw thrust dianjurkan untuk mencapai patensi jalan napas
c. Stabilisasi cervical spine harus dilakukan→ semua kasus dianggap memiliki cedera tulang
belakang leher kecuali didiagnosis sebaliknya

2. Breathing with ventilation


a. Pernapasan, ventilasi, oksigenasi pasien, dan gangguan yang mengancam jiwa harus ditangani →
intervensi yang paling umum dilakukan selama survei primer untuk mendukung pernapasan
adalah pemberian oksigen tambahan, assisted or mechanical ventilation, and tube thoracotomy
or chest tube insertion
b. Ventilasi biasanya diukur dengan menggunakan pulse oximeter → perangkat ini memberikan
informasi mengenai saturasi oksigen pasien dan perfusi perifer

Saigal, Saurabh & Khan, Manal. (2021). Primary Assessment and Care in Maxillofacial Trauma. 10.1007/978-981-15-1346-6_48.
Primary Survey & Resuscitation
3. Circulation and hemorrhagic control
a. Sirkulasi harus dinilai untuk menentukan ada tidaknya syok setelah menangani
prioritas tertinggi dalam survei primer (jalan napas dan pernapasan).
b. Fokus segmen survei primer ini harus menilai adanya syok, menentukan
penyebabnya (biasanya kehilangan darah), dan memulai resusitasi.
c. Pada pasien trauma, syok dianggap hipovolemik/hemoragik, dan resusitasi
dimulai segera setelah akses vaskular diperoleh.
i. Kemungkinan syok neurogenik (misalnya cedera medula spinalis) atau
syok kardiogenik (misalnya tamponade perikardial) juga harus
dipertimbangkan.
d. Tanda-tanda perfusi yang buruk termasuk nadi lemah, ekstremitas dingin atau
lembap, selaput lendir kering, kulit pucat, dan kebingungan. Pemeriksaan status
mental yang normal menegaskan adanya perfusi serebral yang dapat diterima.
Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi jaringan dan homeostatis.

Saigal, Saurabh & Khan, Manal. (2021). Primary Assessment and Care in Maxillofacial Trauma. 10.1007/978-981-15-1346-6_48.
Primary Survey & Resuscitation
4. Disability management (neurological)
a. Fokus utama adalah menentukan status mental dan fungsi neurologis pasien dengan
cepat melalui pemeriksaan fisik.
b. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah cara cepat dan andal untuk mengukur tingkat
kesadaran pasien.
i. Skor GCS memungkinkan komunikasi cepat di antara dokter tentang status mental
pasien saat ini dan dapat menjadi penting untuk pengambilan keputusan. Penilaian
neurologis juga mencakup pemeriksaan saraf kranial, pupil, dan fungsi sensorik dan
motorik.

5. Exposure with environment control


a. Dekontaminasi mungkin juga diperlukan, tergantung pada sifat trauma.
b. Perlindungan dari hipotermia dan pemantauan suhu terus menerus sangat penting.

6. Fluid resuscitation
a. Cairan resusitasi hangat harus diberikan → terapi cairan IV dengan kristaloid.
b. Bolus 1-2 L larutan isotonik mungkin diperlukan untuk mencapai respon yang tepat pada
pasien dewasa.

Saigal, Saurabh & Khan, Manal. (2021). Primary Assessment and Care in Maxillofacial Trauma. 10.1007/978-981-15-1346-6_48.
Secondary Survey
Secondary survey
● Survei sekunder merupakan pemeriksaan lengkap dari kepala sampai kaki pasien
trauma yang meliputi anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik.
● Selama survei sekunder, pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan.
● Skor GCS pasien diidentifikasi, radiografi diambil, dan pemeriksaan laboratorium
dilakukan sesuai indikasi.
● Anamnesis
○ Siapa pasiennya?
○ Kapan cedera terjadi?
○ Dimana cedera terjadi?
○ Bagaimana cedera terjadi?
○ Perawatan apa yang sudah dilakukan setelah cedera terjadi?
○ Apakah ada yang mencatat potongan gigi di lokasi kecelakaan?
○ Bagaimana kondisi pasien secara umum?
○ Apakah pasien merasa mual, muntah, tidak sadar, amnesia, sakit kepala,
mengalami gangguan visual, atau bingung setelah kejadian?
○ Apakah ada gangguan gigit?

Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Secondary survey
● History taking (pengambilan riwayat)
○ Penilaian medis lengkap mencakup anamnesis dan pemahaman mekanisme
cedera.
○ Seringkali, pasien tidak dalam kondisi untuk memberikan riwayat ini.
○ Dalam kasus seperti ini, bantuan tersebut harus diperoleh dari anggota
keluarga.
○ Pengambilan riwayat meliputi identifikasi berbagai alergi, pengobatan saat ini,
riwayat penyakit apa pun di masa lalu, kehamilan, makanan terakhir yang
dikonsumsi, dan kejadian trauma.
○ Mekanisme cedera harus dipahami apakah disebabkan oleh trauma tembus
atau tumpul, atau cedera akibat panas atau karena lingkungan berbahaya.

Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Secondary Survey
● Evaluasi fisik dapat dilakukan setelah assessment fisik secara keseluruhan tuntas
● Pada pemeriksaan fisik pada survei sekunder harus diikuti urutannya yaitu pemeriksaan
kepala, struktur maksilofasial, tulang belakang leher dan leher, dada, perut,
perineum/rektum/vagina, sistem muskuloskeletal, dan sistem saraf.
● Lakukan evaluasi area wajah dan kranium secara teratur, berurutan, dan hati-hati untuk
mencari tanda trauma, seperti laserasi, abrasi, memar, edema, hematoma, atau
ecchymosis
○ Ecchymosis periorbital dengan perdarahan subkonjungtiva → fraktur kompleks
orbital rim / zygomatic
○ Memar di belakang telinga / Battle Sign → fraktur tulang tengkorak basilar
○ Ecchymosis di dasar mulut → fraktur mandibula anterior
● Lakukan pemeriksaan neurologis wajah. Penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan
reaksi pupil terhadap cahaya juga harus dievaluasi.
○ Perubahan ketajaman visual / pupil → trauma orbita direct / intrakranial (disfungsi
saraf kranial II atau III)
○ Pupil tidak rata (anisocoria) pada pasien yang lesu → cedera intrakranial
○ Pupil asimetris (tidak bulat) → perforasi bola mata
○ Abnormalitas gerakan mata → masalah neurologis sentral (saraf kranial III, IV, atau
VI) atau pembatasan mekanis gerakan otot mata akibat fraktur kompleks orbita
● Evaluasi juga fungsi motorik otot wajah (saraf kranial VII), otot pengunyahan (saraf kranial
V), dan sensasi pada area wajah (saraf kranial V)
James Hupp, Edward Elis III, Myron J tucker, Contemporary of Oral and Maxillofacial Surgery, 7th ed. Elsevier. 2019
Secondary Survey
● Evaluasi mandibula dengan palpasi ekstraoral semua
area inferior dan lateral border, serta sendi
temporomandibular
● Periksa oklusi, step deformitas bidang oklusal, dan
laserasi gingiva
● Lakukan palpasi bimanual pada area fraktur yang
dicurigai dengan memberikan tekanan kuat pada
mandibula posterior dan anterior area fraktur,
tujuannya untuk memanipulasi dan menimbulkan
mobilitas di area tersebut, setelah itu periksa ulang
oklusi
● Periksa mobilitas gigi di area kemungkinan fraktur
● Untuk evaluasi midface dimulai dengan penilaian
mobilitas maksila
○ Kepala pasien harus distabilkan dengan
menekan dahi menggunakan satu tangan
○ Genggam maksila menggunakan ibu jari dan
telunjuk dengan tekanan yang kuat

James Hupp, Edward Elis III, Myron J tucker, Contemporary of Oral and Maxillofacial Surgery, 7th ed. Elsevier. 2019
Secondary survey
● Four-person log roll
○ Untuk memeriksa punggung pasien dan melepas papan tulang belakang,
setidaknya diperlukan empat orang untuk logroll:
○ Orang yang satu berdiri di depan kepala pasien untuk mengontrol kepala dan
tulang belakang C dan dua orang di sepanjang sisi pasien untuk mengontrol
tubuh dan ekstremitas.
○ Tiga orang menjaga keselarasan tulang belakang, saat pasien digulingkan.
○ Orang keempat memeriksa bagian belakang dan melepaskan papan.
○ Setelah papan dilepas, pasien dikembalikan ke posisi terlentang dengan tetap
menjaga keselarasan tulang belakang

Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Secondary survey
● Kepala
○ Survei sekunder dimulai dengan pemeriksaan kepala yang melibatkan
identifikasi cedera.
○ Seluruh kulit kepala harus diperiksa untuk mengetahui adanya laserasi,
kontusio, dan bukti adanya patah tulang.
○ Selain cedera ini, ketajaman penglihatan, ukuran pupil, perdarahan konjungtiva
dan/atau fundus, dan gangguan mata harus diperiksa.
○ Aspek-aspek ini harus dievaluasi ulang setelah edema periokular mereda.
○ Pemeriksaan ketajaman penglihatan harus dilakukan dengan meminta pasien
membaca bahan cetakan seperti kartu Snellen genggam.
○ Untuk mengecualikan jebakan mata, pergerakan mata harus diperiksa.

Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Secondary survey
● Kepala
○ Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan menjadi difus atau fokal.
○ Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, kontusio, dan
hematoma intracerebral.
○ Tanda-tanda patah tulang pangkal tengkorak:
■ Hematoma atau ekimosis pada mastoid (Battle’s sign)
■ Otorrhea atau rinorea CSF
■ Hemotympanum
■ Perdarahan subsklera
○ Pemindaian tomografi komputer (CT) kepala harus dilakukan untuk menilai cedera
neurologis secara akurat dan mendeteksi lesi massa.
○ CT scan membantu dalam mendiagnosis:
■ Perdarahan intrakranial
■ Memar
■ Patah tulang tengkorak
■ Benda asing
■ Pergeseran otak
■ Hidrosefalus

Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Secondary survey
● Struktur maksilofasial
○ Pemeriksaan maksilofasial meliputi pemeriksaan jaringan lunak, palpasi seluruh
struktur tulang, pemeriksaan oklusi, dan pemeriksaan intraoral.
○ Trauma pada daerah maksilofasial yang tidak berhubungan dengan obstruksi jalan
napas harus ditangani setelah pasien stabil setelah penatalaksanaan cedera yang
mengancam jiwa.
● Tulang belakang servikal dan leher
○ Pasien dengan trauma maksilofasial harus dianggap mengalami cedera tulang
belakang leher yang tidak stabil kecuali terbukti sebaliknya.
○ Tidak adanya defisit neurologis tidak mengecualikan adanya cedera tulang belakang
C
○ Cedera tulang belakang C dapat disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari
mekanisme cedera berikut:
■ Flexion
■ Axial loading
■ Extension
■ Rotation
■ Lateral bending
■ Distraction
Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Secondary survey
● Dada
○ Pemeriksaan dada meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
○ Inspeksi dada anterior dan posterior dapat mengidentifikasi kondisi seperti
pneumotoraks terbuka dan segmen ekor besar.
○ Kontusio dan hematoma di dada menunjukkan adanya cedera tersembunyi.
Palpasi seluruh tulang rusuk, tulang selangka, dan tulang dada membantu
dalam mendiagnosis patah tulang.
○ Cedera yang signifikan dapat muncul dengan nyeri, dispnea, dan hipoksia.
○ Auskultasi dada bagian anterior yang tinggi membantu dalam diagnosis
pneumotoraks, sedangkan auskultasi dasar posterior menunjukkan
hemotoraks.
○ Tamponade jantung dapat dikenali dengan adanya bunyi jantung jauh dan
penurunan tekanan nadi.
○ Adanya distensi vena leher menunjukkan adanya tamponade jantung dan
tension pneumothorax.
○ Radiografi dada dapat memastikan adanya hemotoraks atau pneumotoraks
sederhana.
Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Secondary survey
● Airway (saluran udara)
○ Penting untuk mengenali dan mengatasi cedera besar yang mempengaruhi
jalan napas selama survei primer.
○ Kepatenan jalan napas dan pertukaran udara harus dinilai dengan
■ Mendengarkan pergerakan udara pada hidung, mulut, dan paru-paru
pasien
■ Memeriksa orofaring untuk mencari adanya benda asing
■ Mengamati retraksi otot interkostal dan supraklavikula.
○ Cedera laring dapat menyertai trauma toraks besar.

Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Secondary survey
● Pernapasan
○ Dada dan leher pasien harus terbuka seluruhnya untuk memungkinkan penilaian
pernapasan dan vena leher.
○ Hal ini mungkin memerlukan pelepasan sementara bagian depan kerah serviks
setelah trauma benda tumpul.
○ Dalam hal ini, imobilisasi tulang belakang leher harus selalu dipertahankan secara
aktif dengan memegang kepala pasien saat kalungnya longgar.
○ Pergerakan pernapasan dan kualitas pernapasan dinilai dengan mengamati, meraba,
dan mendengarkan.
○ Tanda-tanda cedera dada atau hipoksia yang penting namun sering kali tidak
kentara, meliputi peningkatan laju pernapasan dan perubahan pola pernapasan,
yang sering kali diwujudkan dengan pernapasan yang semakin dangkal.
○ Sianosis merupakan tanda akhir hipoksia pada pasien trauma.
○ Namun, tidak adanya sianosis tidak selalu menunjukkan oksigenasi jaringan yang
memadai atau jalan napas yang memadai.
○ Cedera toraks utama yang mempengaruhi pernafasan dan harus dikenali dan
ditangani selama survei primer meliputi tension pneumothorax, open pneumothorax
(luka hisap di dada), flail chest dan kontusio paru, dan hemotoraks masif

Saigal S, Khan MM. Primary assessment and care in maxillofacial trauma. In: Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician. Singapore: Springer Nature Singapore; 2021. p. 983–95.
Penilaian Kesadaran
Penilaian Penurunan Kesadaran
● Pada saat pemeriksaan Disability, pemeriksa mengecek tingkat kesadaran pasien dengan
AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unconscious) atau GCS (Glasgow Coma Scale). AVPU lebih
mudah dilakukan saat di lapangan namun GCS lebih akurat untuk mendeteksi trauma
kepala.
○ A: awake → jika pasien sadar dan memiliki orientasi yang jelas, yaitu orientasi diri
(sadar/ingat siapa dirinya), orientasi waktu (sadar/ingat jam dan tanggal sekarang),
dan orientasi tempat (sadar/ingat dimana dia sekarang).
○ V: verbal response → pasien respon terhadap suara, ditunjukkan dengan menjawab
apabila ditanya.
○ P: painful response → ada respon terhadap rangsang nyeri (ex: dicubit).
○ U: unresponsive → pasien tidak memberikan respon terhadap rangsang apapun.
Tingkat kesadaran ini membutuhkan pengawasan jalan napas dan/atau bantuan
hidup lain.c
Loss of Consciousness
● Trauma Neurological Exam → merupakan evaluasi sistemik tanda klinis yang penting
yang menyediakan bukti untuk membantu menentukan tatalaksana dan investigasi
selanjutnya terhadap kondisi pasien
● Concussion (gegar) atau mild/minor TBI merupakan gangguan reversible fungsi
neurologis setelah injuri kepala
○ Fitur klinisnya termasuk loss of consciousness ketika injuri traumatis, “seeing
stars” (visual changes), dan gejala lainnya seperti headache, dizziness, nausea,
and vomiting
● Pada cedera traumatik akut terhadap spinal cord, terdapat fase inisial yang disebut
“spinal shock”
○ Spinal shock dikarakteristikan dengan flaccid paralysis (decreased muscle tone
where the muscles become limp) below the level of spinal cord damage, loss of
deep tendon reflexes, decreased sympathetic outflow, and absent sphincter
reflexes/tone.
○ Penurunan sympathetic outflow mengarah pada relaksasi vascular smooth
muscle, dilatasi pembuluh darah, seluruhnya mengarah pada moderately
decreased blood pressure (hypotension)
■ Penurunan sympathetic outflow dapat berpotensi mengarah pada
penurunan heart rate (bradycardia)

Clark A, Das JM, Mesfin FB. Trauma Neurological Exam. StatPearls Publishing LLC; 2022.
Loss of Consciousness
● Pupillary responses merupakan salah satu bagian terpenting dalam neurologic exam pada pasien
dengan gangguan kesadaran
○ Respons pupil normal mendemonstrasikan fungsi normal dari saraf optik dan okulomotor (CN #3)
○ Posisi dan gerakan mata awal harus diperhatikan. Nystagmus jarang terlihat pada pasien yang
tidak sadar tetapi dapat mengindikasikan lesi otak yang mengiritasi atau bahkan aktivitas kejang
yang tersembunyi.
○ Ukuran pupil (menggunakan pupilometer) dan reaksi terhadap cahaya harus didokumentasikan.
○ Cahaya yang kuat harus digunakan, karena respon pupil mungkin lamban pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
● Pupil reactivity, atau light reaction, tergantung pada intact pathway dari retina via saraf optik (CN #2)
ke midbrain kemudian kembali ke pupillary sphincter muscle via oculomotor nerve (CN #3)
○ Hilangnya reaksi dapat terjadi karena cedera dimanapun sepanjang pathway ini
○ Adanya respons asimetris atau abnormal dari pupil juga bisa terjadi karena kerusakan brainstem
● Penting untuk mencatat setiap nystagmus (repetitive uncontrolled eye movements), dysconjugate gaze
(failure of the eyes to move in the same direction), or fixed deviation of the eyes in a particular direction at
rest
○ Oculocephalic reflex yang normal terjadi ketika mata bergerak dalam arah yang berlawanan dari
pergerakan kepala (e.g., turning the head rightward causes leftward deviation of the eyes to
maintain fixation of gaze, sometimes termed “doll’s eyes” movement)

Clark A, Das JM, Mesfin FB. Trauma Neurological Exam. StatPearls Publishing LLC; 2022.
Bauer ZA, De Jesus O, Bunin JL. Unconscious Patient. [Updated 2022 Jun 5]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538529/
Loss of Consciousness
(ICD 10 Classification)

Obeid, Jihad & Weeda, Erin & Matuskowitz, Andrew & Gagnon, Kevin & Crawford, Tami & Carr, Christine & Frey, Lewis. (2019). Automated detection of altered mental status in emergency department
clinical notes: a deep learning approach. BMC Medical Informatics and Decision Making. 19. 10.1186/s12911-019-0894-9.
Glasgow Coma Scale (GCS)
● The Glasgow Coma Scale (GCS)
digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pada berbagai pasien yang
mengalami trauma.
● Penilaian berdasarkan respon pada →
eye-opening, motor, and verbal responses.
● Keparahan ditentukan dari total skor GCS
GCS

Glasgow Coma Scale. Centers for Disease Control and Prevention. Centers for Disease Control and Prevention;
Jain S, Iverson LM. Glasgow Coma Scale. StatPearls Publishing LLC; 2022.
Interpretasi GCS
Mengenali
Tingkat
Kesadaran
Fraktur
Fasial
Zygomaticomaxillary Complex Fractures
● Fraktur ini disebabkan dari benturan langsung pada malar eminence yang
menyebabkan tulang zygomatic untuk berpisah dari calvaria
● Pada kondisi normal, tulang zygomatic memiliki empat sutures bersama
dengan tulang-tulang fasial lainnya serta the calvaria
● Tulang zygomatic memiliki peran penting dalam menentukan tinggi dan lebar
dari midface, sehingga kegagalan untuk menangani fraktur ini dapat
menyebabkan deformitas kosmetik
○ Keterlibatan orbital juga menentukan perawatan bedah karena
peningkatan volume orbital merupakan penyebab paling umum dari
post-traumatic enophthalmos
○ Jika 50% dari orbital floor terpengaruh, maka diperlukan open
reconstruction
● Fraktur ini juga dapat menjadi displaced akibat gaya rotasi tulang zygomatic
dari otot masseter; sehingga jika infratemporal fossa terisi, pasien dapat
mengalami kesulitan mengunyah

Gómez Roselló, E., Quiles Granado, A. M., Artajona Garcia, M., Juanpere Martí, S., Laguillo Sala, G., Beltrán Mármol, B., & Pedraza Gutiérrez, S. (2020).
Facial fractures: classification and highlights for a useful report. Insights into imaging, 11(1), 49. https://doi.org/10.1186/s13244-020-00847-w
Zygomaticomaxillary Complex Fractures

Gómez Roselló, E., Quiles Granado, A. M., Artajona Garcia, M., Juanpere Martí, S., Laguillo Sala, G., Beltrán Mármol, B., & Pedraza Gutiérrez, S. (2020).
Facial fractures: classification and highlights for a useful report. Insights into imaging, 11(1), 49. https://doi.org/10.1186/s13244-020-00847-w
Fraktur mandibula
Klasifikasi
● Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dan pola fraktur.

James R Hupp, Edward Ellis III, Myron R Tucker, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 2019, Elsevier.
Lars Andersson, Karl-Erik Kahnberg, M. Anthony Pogrel, Oral and Maxillofacial Surgery, 2010, Wiley Blackwell
Kesimpulan
Pemeriksaan Subjektif
Pemeriksaan Penunjang
● laki-laki usia 18 tahun
● Computed Tomography
● keluhan sulit makan setelah
(CT)
kecelakaan lalu lintas 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit
● Saat kecelakaan → Pasien Diagnosis
terjatuh, pingsan, tidak ingat ● Fraktur Maksila : Zygomatic
kejadian, muntah menyembur Arch Fracture
● Fraktur Mandibula di
Pemeriksaan Objektif alveolar (regio 41-43)
● Ekstra oral
○ Tampak asimetri wajah
○ Nyeri tekan pada area zygoma
● Intra oral
○ Tampak maloklusi
(edge-to-edge)
○ floating maksila
○ Fraktur ⅓ mahkota gigi 11
02
Bagaimana penalaran klinis yang
mendasari rencana perawatan pada
kasus tersebut?
Adilah Nurahmah 2106707486
Elgiva Kallita T 2106704484
Farah Farnisa 2106707744
Muhammad Rafif Fasya 2106722013
Evaluasi Pasien dengan Facial Trauma
Sebelum melakukan evaluasi rinci pada area wajah, penting untuk menangani cedera kritis yang
dapat mengancam jiwa terlebih dahulu. Evaluasi awal pada pasien trauma dimulai dengan :
1. Memeriksa stabilitas kardiopulmoner, termasuk memastikan saluran napas terbuka dan
paru-paru yang terventilasi dengan baik.
2. Selama survei primer, tanda-tanda vital seperti laju pernapasan, detak jantung, dan
tekanan darah harus diukur dan dicatat.
3. Masalah yang mengancam jiwa lainnya, seperti pendarahan berlebihan, juga harus segera
ditangani dengan langkah-langkah seperti penekanan perban, pengisian, dan penjepitan
pembuluh yang berdarah deras.
4. Setelah itu, pasien harus dievaluasi untuk status neurologisnya dan tulang belakang leher,
karena cedera pada wajah dapat mempengaruhi tulang belakang leher.
5. Penanganan cedera kepala dan leher sebaiknya ditunda hingga evaluasi dan stabilisasi
pasien secara menyeluruh telah dilakukan.
6. Meskipun demikian, beberapa tindakan awal mungkin perlu dilakukan untuk menjaga
saluran napas pasien yang mungkin terganggu akibat patah tulang wajah.

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Evaluasi Pasien dengan Facial Trauma
7. Manajemen saluran napas pasien sangat penting, terutama jika patah tulang wajah
mengganggu saluran napas pasien.
8. Dalam beberapa kasus, pergeseran mandibula dan lidah dapat menyebabkan
penyumbatan saluran napas atas, yang dapat diatasi dengan mengatur ulang posisi
mandibula.
9. Pemasangan saluran napas nasofaring atau orofaring juga dapat membantu menjaga
saluran napas tetap terbuka sementara.
10. Intubasi endotrakea mungkin diperlukan dalam situasi yang lebih serius.
11. Benda-benda asing atau puing-puing yang dapat menyumbat saluran napas harus segera
dihilangkan.
12. Semua perdarahan harus segera ditangani dengan pengisian, penekanan perban, atau
penjepitan.
13. Semua cairan berlebih, termasuk air liur dan darah, harus disedot dari faring untuk
mencegah aspirasi.
14. Cedera pada wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah, tetapi juga jaringan lunak seperti
lidah atau leher atas.
15. Dalam beberapa kasus, tindakan darurat seperti trakeostomi atau krikotirotomi mungkin
diperlukan untuk menjaga saluran napas.
Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Tatalaksana dan Prinsip
● Setiap kali struktur wajah terluka, perawatan harus diarahkan pada rehabilitasi
maksimal pasien.
● Untuk patah tulang wajah → penyembuhan tulang yang cepat; kembalinya fungsi
okular, pengunyahan, dan hidung yang normal; pemulihan ucapan; dan hasil estetik
wajah dan gigi yang baik.
● Basic surgical principles → pengurangan fraktur (yaitu, pemulihan segmen tulang ke
lokasi anatomi yang tepat) dan fiksasi segmen tulang untuk melumpuhkan segmen di
lokasi fraktur.
● Waktu pengobatan → selalu lebih baik untuk mengobati cedera sesegera mungkin.
Penundaan selama beberapa hari atau minggu membuat reduksi anatomi yang ideal
dari fraktur menjadi sulit serta edema secara progresif memburuk selama 2 sampai 3
hari setelah cedera dan seringkali mempersulit penanganan fraktur.

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Tatalaksana dan Prinsip
● Rencana perawatan sebagian besar fraktur wajah dimulai dengan pengurangan fraktur
mandibula dan bekerja secara superior melalui midface.
○ Alasannya → mandibula dapat dengan mudah distabilkan lalu oklusi serta
kerangka wajah lainnya dapat diatur ke mandibula yang direduksi.
● Untuk memperbaiki struktur wajah ahli bedah mencoba membangun kembali wajah
berdasarkan konsep bahwa struktur tulang tertentu di dalam wajah memberikan
dukungan utama dalam arah vertikal dan anteroposterior.
○ Tiga penopang terdapat secara bilateral yang membentuk penopang vertikal
primer pada wajah, yaitu naso maxillary, zygomatic, dan pterygomaxillary
○ Struktur yang mendukung proyeksi wajah pada arah anteroposterior meliputi
frontal bar, zygomatic arch dan kompleks zygoma, alveolus dan palatum maksila,
dan segmen basal mandibula

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Perawatan
Perawatan fraktur midface dapat dibagi menjadi
fraktur yang mempengaruhi hubungan
oklusal—seperti fraktur Le Fort I, II, atau III—dan
fraktur yang tidak mempengaruhi oklusi, seperti
fraktur zygoma terisolasi, lengkungan zygomatic,
atau kompleks NOE

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Perawatan Fraktur yang Mempengaruhi Oklusi

● Pada fraktur yang memengaruhi oklusi tujuan dari perawatan adalah untuk
membangun kembali hubungan oklusi dengan menempatkan maksila pada oklusi yang
sesuai dengan mandibula. Tujuan ini dapat dicapai dengan beberapa metode yang
identik dengan berbagai jenis fiksasi intermaksila untuk fraktur mandibula.
● Meskipun demikian, seperti pada fraktur mandibula, membangun kembali hubungan
oklusi mungkin tidak menyediakan reduksi yang adekuat pada fraktur di berbagai area.
Oleh karena itu terkadang diperlukan juga tambahan stabilisasi pada area fraktur.

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Perawatan Fraktur yang Tidak Mempengaruhi Oklusi
Pada fraktur zygoma, fraktur arch zygomatic terisolasi, dan fraktur NOE, pengobatan
terutama ditujukan untuk mengembalikan fungsi mata, hidung, dan pengunyahan yang normal
serta estetika wajah.
● Pada fraktur zygoma terisolasi (cedera midfacial yang paling umum), reduksi terbuka
umumnya dilakukan melalui beberapa kombinasi pendekatan intraoral, alis lateral, atau
infraorbital. Alat digunakan untuk mengangkat dan menempatkan zygoma ke posisi yang
tepat. Jika stabilisasi yang adekuat tidak dapat dilakukan dengan reduksi manual
sederhana, pelapisan tulang zygomaticomaxillary buttress, area zygomaticofrontal, dan
area rim orbital inferior mungkin diperlukan.
● Pada fraktur zygomatic arch, baik pendekatan intraoral atau ekstraoral dapat dilakukan
untuk elevasi zygomatic arch dan mengembalikannya ke posisi yang seharusnya. Elevasi
dan reduksi ini harus dilakukan beberapa hari setelah injuri, jika dibiarkan terlalu lama akan
semakin mempersulit untuk mempertahankan arkus ke posisi yang sesuai dengan stabil
● Pada fraktur NOE, tujuan perawatan adalah untuk menghasilkan kembali fungsi
nasolacrimal dan okular serta melakukan reposisi tulang nasal dan median canthal
ligaments ke posisi yang sesuai untuk mendukung fungsi estetik postoperative. Pada situasi
ini, biasanya dilakukan reduksi terbuka.

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
● Exposure yang luas ke supraorbital rim -
nasal, medial canthal, dan infraorbital rim
bisa didapatkan dengan beberapa
pendekatan misalnya dengan coronal flap
yang memungkinkan exposure ke seluruh
bagian wajah atas dan nasoethmoidal
melalui insisi tunggal.
● Plat tulang kecil dan direct transnasal wiring
tampaknya masih menjadi cara yang
paling efektif untuk stabilisasi dan
mempertahankan segmen tulang pada
fraktur ini

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Suspension Wiring
● Suspension wiring kadang-kadang digunakan sebagai
tambahan dari direct wiring
● Tujuannya → menyediakan stabilisasi dari tulang yang
fraktur dengan menangguhkan mereka ke tulang yang
lebih stabil secara superior
● Terdiri dari → kabel yang menempel pada area tepi
piriformis, tepi infraorbital, lengkungan zygomatik, atau
tulang frontal.
● Kabel suspensi dapat dihubungkan langsung ke kawat
lengkung rahang atas, atau dapat dihubungkan dengan
kawat perantara ke splint interoklusal atau ke mandibula.
● Kabel suspensi ini mencegah pergerakan rahang atas yang
disebabkan oleh tarikan inferior rahang bawah selama
upaya pembukaan

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Sistem Micro-bone Plate
● Pemakaian plate sangat meningkatkan pengobatan fraktur
midfacial.
● Merupakan pelat paduan titanium dengan ketebalan berkisar
dari 0,6 hingga 1,5 mm dan diamankan dengan sekrup dengan
diameter ulir eksternal 0,7 mm hingga 2,0 mm
● Keuntungannya yaitu sangat meningkatkan kemampuan untuk
mendapatkan kontur tulang yang tepat pada saat operasi.
● Bisa menangani fraktur wajah midfacial yang tidak stabil
○ semua segmen yang retak dikombinasikan dengan
penggunaan pelat tulang untuk membangun kembali pilar
wajah, mengembangkan kontur yang memadai, dan
menstabilkan sebanyak mungkin fragmen tulang wajah.
● SIfatnya biokompatibel dan tidak memerlukan pengangkatan
pada operasi kedua kecuali jika teraba, terinfeksi, atau
mengganggu operasi rekonstruktif sekunder (misalnya,
pencangkokan tulang atau implan).

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Resorbable Plate and Screw System
● Berbagai polimer asam poliglikolat dan asam polilaktat
telah dikembangkan untuk sistem pelat dan sekrup yang
dapat diserap.
● Sistem pelapisan resorbable mungkin sangat diinginkan
pada trauma pediatrik dan tengkorak di mana
pertumbuhan dan pencitraan ulang CT menjadi
pertimbangan.
● Namun, karena desain saat ini, keterbatasan mekanis,
kebutuhan penyadapan, dan biaya, sistem ini tidak
digunakan secara rutin.
● Penggunaan pelat tulang dan sekrup juga telah
memfasilitasi penggunaan pencangkokan tulang segera
untuk menggantikan segmen tulang yang hilang pada saat
pembedahan dan untuk meningkatkan stabilisasi segmen
yang kominutif.

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Pengobatan Trauma Wajah Kompleks dengan
Teknologi Canggih
Perkembangan terbaru dalam pengobatan trauma wajah kompleks melibatkan penggunaan teknologi
canggih termasuk:
● Rekonstruksi virtual.
● Pemodelan stereolitografi.
● Navigasi intraoperatif → untuk memposisikan ulang dan menstabilkan fraktur kompleks secara lebih
akurat.

PENGGUNAAN DATA CT UNTUK PERAWATAN FRAKTUR KOMPLEKS


● Tujuan: untuk membuat model stereolitografik yang menduplikasi fraktur secara tepat.
● Model stereolitografi dapat dihasilkan dari segmen fraktur yang dimanipulasi secara virtual menjadi
model "sempurna" untuk membantu fiksasi, pelat prebending, dan pemilihan ukuran implan orbital.
● Pada trauma orbital atau zygomatic unilateral, sisi kontralateral digunakan sebagai panduan untuk
mengembangkan panduan bedah untuk merekonstruksi area yang rusak menggunakan cangkok
tulang, implan aloplastik, dan implan yang diperkuat titanium anatomis.

Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Hupp, J.R., Tucker, M.R. & Ellis, E., 2019. Contemporary Oral and maxillofacial surgery, Philadelphia: Elsevier.
Pemberian Nutrisi pada Pasien
Setelah Fiksasi Rahang
Kontrol Diet Pasca Operasi
Konsultasikan dengan nutritional experts saat pasien dirawat di RS dan rencanakan
manajemen postoperative pain
● Jika pasien sadar dan responsive → ajari mereka cara makan sendiri
○ Harus mempertahankan diet tinggi protein dan kalori saat MMF terpasang
● Jika pasien tidak responsive atau tidak dapat mempertahankan diet oral →
enteral feeding dengan selang makanan nasogastric, seperti dobhoff tube atau
percutaneous endoscopic gastrotomy (PEG) tube
○ Keuntungan: biaya rendah, pemeliharaan lapisan mukosa saluran cerna
yang utuh, mengurangi risiko peradarahan lambung, mudah ‘delivery’
sejumah besar nutrisi berkualitas baik, improved penyembuhan luka
● Jika enteral feeding tidak memungkinkan → parenteral feeding tanpa
penundaan
Enteral Feeding
● Indikasi: perkiraan kebutuhan dukungan nutrisi pasien > 4-6 minggu
● Dapat menggunakan
○ Open or laparoscopic gastronomy
○ Surgically placed jejunostomy tubes
○ PEG
○ Percutaneous endoscopic jejunostomy
● Dapat dilakukan secara:
○ Intermittent → menggunakan jarum suntik manual atau pemberian gravitasi
(lebih bersifat psikologis, dengan lebih sedikit kemungkinan kontaminasi)
○ Continue → menggunakan pompa volumetric (wajib saat ujung tabung pengisi
berada di usus kecil)
● Butuh frequent flushing dengan air untuk mempertahankan patensi
○ Continues feedings → flushing setiap 4 jam sekali
○ Intermittent feedings → sebelum dan sesudah feeding atau delivery medikasi
Enteral Feeding

PEG (Percutaneous
Endoscopic Gastrostomy)
● Indikasi
● Keuntungan ○ Operasi kepala & leher (inc: neoplasia, disfagia
○ Tidak ada prosedur laparotomi neurologis, kanker cachexia, obstruksi kerongkongan
atau bekas luka dan faring)
○ Mengurangi adhesi peritoneum ● Kontraindikasi
○ Waktu anestesi lebih singkat ○ Operasi lambung sebelumnya
○ Nyeri pasca operasi lebih sedikit ○ Obesitas morbid
○ Dapat dilakukan rawat jalan ○ Peritonitis
○ Pemberian makanan langsung ○ Asites massif
○ Low-cost ○ Dialysis peritoneal
○ Penurunan tingkat komplikasi
○ Sepsis
○ Penurunan kebocoran stomal
○ Tidak mampu untuk mentransilluminasi dinding perut
○ Pengosongan lambung yang buruk
○ Risiko aspirasi tinggi
○ Pembatasan anatomi pada endoskopi
Prosedur
1. Induksi anestesi umum dan intubasi trakea
2. Posisikan pasien dalam posisi reverse
trendelenburg
3. Lakukan prosedur sterilisasi pada kuadran
perut kiri atas
4. Masukkan flexible gastroscope video melalui
kerongkongan ke dalam lambung
5. Lambung kemudian insufflated untuk
mendekati dinding visceral lambung ke
dinding parietal rongga peritoneum
6. Lampu ruang operasi dimatikan untuk
memungkinkan cahaya gastroscope untuk
mentransilluminasi dinding lambung dan
perut
7. Palapasi digital eksternal dan indentasi
tempat yang diterangi di dinding perut
(biasanya beberapa cm di bawah batas
kosta kiri, konfirmasi melalui gastroscope)
8. Masukkan angiocatheter 16-gauge secara
perkutan di tempat transillumination.
9. Wire loop atau suture dilewatkan melalui kateter
dan diambil di perut oleh jerat gastroskopi.
10. Gastroskop dengan Wire loop atau suture
diangkat melalui mulut.
11. Wire loop atau suture kemudian dilekatkan ke
ujung luar tabung gastrostomy
12. Sayatan 1 cm dibuat di situs tusukan kateter
dinding perut untuk melepaskan dermis
13. Tabung gastrostomi ditarik oleh kawat atau
suture melalui mulut dan perut untuk muncul di
sayatan kulit kecil.
14. Flensa melekat pada tabung di tingkat kulit untuk
retensi tabung.
15. Lambung dan tabung diperiksa dengan
memasukkan kembali gastroscope, diikuti oleh
dekompresi lambung.
Parenteral Feeding
● Indikasi:
○ Pasien memiliki disfungsi usus parah, atau tidak dapat
menyerap kalori dan suplementassi yang diperlukan
secara oral, enteral, atau keduanya
● Kontraindikasi:
○ Pasien dengan fungsi usus normal
Parenteral Feeding

Peripheral Parenteral Nutrition (PPN)

● Diberikan melalui kateter IV peripheral bore besar


● Indikasi: suplementasi parenteral diperlukan selama ≤10 hari
● Diberikan melalui vena perifer → osmolaritas larutan dibatasi hingga
1150 mOsm/L
● Larutan PPN mengandung 20% dekstrosa dan harus ditambah emulsi
lemak
● Lemak menjadi sumber utama kalori
Parenteral Feeding

Total Parenteral Nutrition (TPN)

● Butuh kateter vena sentral


● Indikasi: pasien hipermetabolik, sakit kritis dengan disfungsi usus, sakit parah dengan
perkiraan asupan enteral akan tertunda setelah 7-10 hari
● Larutan TPN mengandung lebih banyak larutan glukosa, asam amino, dan emulsi
lemak yang lebih pekat
● Minimal 2-4% dari total kilokalori harus diberikan sebagai lipid → untuk menghindari
defisiensi asam lemak esensial
● Komplikasi: infeksi saluran pusat, hiperglikemia, gangguan elektrolit
● Pencegahan komplikasi: penyesuaian elektrolit setiap hari dalam larutan,
penambahan vitamin ke larutan setiap hari, penambahan insulin ke solusi untuk
membantu mengontrol kadar glukosa serum
Rujukan
● Rujukan trauma secara umum:
○ Pada kasus head trauma → diperlukan konsultasi neurosurgical
■ Chest trauma → diperlukan EKG dengan konsultasi cardiology jika terdapat kecurigaan
myocardial contusion
■ Genitourinary tract → konsultasi urologic untuk mengevaluasi dan diagnosis lebih lanjut
terkait perluasan cedera
■ Extremities → konsultasi orthopedic
● Rujukan fraktur zygomatic complex → diperlukan preoperative ophthalmologic consultation
● Rujukan fraktur frontal sinus and naso-orbitoethmoid complex → untuk kasus posterior table
fractures diperlukan konsultasi neurosurgical → dicurigai adanya keterlibatan saraf
Rujukan
● Dibutuhkan pendekatan multidisiplin dalam kasus perawatan trauma oromaksilofasial
○ Multidisciplinary team (MDT) umumnya terdiri atas ahli-ahli di emergency department, trauma
center, plastic surgery, neurosurgery, orthopedics, dan ophthalmology
● Untuk pasien dengan pendarahan oral, obstruksi dan sesak napas, anesthesiologist diminta untuk
melakukan emergency tracheal intubation untuk mengurangi sesak, debride, penghentian pendarahan,
dan jahit
○ Jika terdapat hematoma di leher atau dasar mulut, emergency tracheotomy dilakukan
● Pasien dengan rib fractures dan blood pneumothorax harus dikonsultasikan dengan thoracic surgeon
untuk closed thoracic drainage dan rib fractures dirawat
● Pasien dengan cedera craniocerebral harus dikonsultasikan oleh neurosurgeon untuk arahan
perawatan bedah dan perawatan lanjutan
● Pasien dengan limb fractures dan pelvic fractures ditransfer ke departemen orthopedic, serta jaw
fracture reduction and internal fixation dilakukan pada waktu yang sama atau pada tahap kedua dari
orthopedic surgical treatment
Kesimpulan
● Prinsip tatalaksana fraktur
○ Reduction ● KIE
■ Closed technique ○ Pemeliharaan kebersihan
■ Open technique mulut yang tepat, baik
○ Fixation sebelum dan sesudah
■ fiksasi fragmen fraktur yang operasi
berkurang pada posisi yang ○ Kontrol Infeksi serta Diet
diinginkan. setelah tatalaksana
● Direct ● Rujukan
● Indirect
○ Spesialis Bedah Mulut, THT,
○ Immobilisation
○ Early return of function Bedah Saraf
● Pharmaceutical Administration
○ Antibiotik
○ Vaksinasi Tetanus
○ Pain control
○ Chlorhexidine
○ Hidrokortison
03
Bagaimana menentukan
proyeksi radiografik/imaging pada
kasus ini?
Andi Nabila Kezia 2106722291
Angelica Rachel 2106722133
Safra Aisyah Sahira 2106704534
Interpretasi Radiograf
Pemeriksaan Radiograf Trauma Skeletal/Fasial
Digunakan untuk mengevaluasi:
a. Adanya fraktur
b. Lokasi dan arah garis fraktur
c. Tingkat perpindahan dan pemisahan ujung tulang
d. Hubungan gigi terhadap garis fraktur
e. Lokasi yang dikaitkan dengan foreign bodies di dalam jaringan lunak dan
keras
f. Adanya penyakit kontributif atau penyakit coincidental
g. Penyelarasan fragmen tulang setelah perawatan
h. Penyembuhan dan identifikasi komplikasi pasca trauma termasuk infeksi,
tidak menyatu atau malunion (salah menyatu)

Fraktur maksilofasial dideteksi menggunakan computed tomography (CT)


imaging sebagai metode pilihan terutama yang melibatkan multipel tulang.

Whaites E. Drage N. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 5th ed. 2013
White and Pharoah's Oral Radiology, Principles and Interpretation, 8th edition,Elsevier, Inc 2019
Interpretasi Radiograf
Interpretasi Faktur
● Saat melakukan penilaian secara keseluruhan, perlu diingat
bahwa banyak pasien yang baru saja terluka mungkin sangat
sulit untuk dilakukan radiografi karena rasa sakit, obat-obatan,
pembalut/dressing luka jaringan lunak atau cedera lain yang
mungkin mereka alami pada saat yang bersamaan.
● Selain itu, darah di antra, hidung, dan faring dapat
mempengaruhi kontras gambar.
● Dokter tidak boleh terlalu kritis terhadap radiografer; radiografi
yang diperoleh mungkin yang terbaik dalam situasi tersebut.

Whaites E. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 6th ed. Elsevier Churchil Livingstone; 2020
Klasifikasi Radiografi Fraktur
➔ Campbell’s Lines
◆ Line 1
● Fraktur pada zygomaticofrontal suture
kanan dan kiri, supraorbital ridge kanan
dan kiri, serta frontal sinus
◆ Line 2
● Fraktur pada zygomatic arch kanan dan
kiri, badan zygoma kanan dan kiri,
infraorbital margin kanan dan kiri, serta
nasal complex
◆ Line 3:
● Fraktur pada condylar neck kanan dan
kiri, coronoid process kanan dan kiri ,
lateral wall of antrum kanan dan kiri,
serta base of nasal complex
◆ Line 4:
● Fraktur pada angle of mandible kanan
dan kiri serta garis dari occlusal plane

Whaites E. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 6th ed. Elsevier Churchil Livingstone; 2020
Klasifikasi Radiografi Fraktur
Secondary Curved
◆ Kurva 1
● Dinding lateral antrum dan
permukaan inferior dari body of
zygoma dan lengkungan zygomatic
◆ Kurva 2
● Batas superior zygomatic arch dan
aspek lateral dari body of the zygoma
serta orbital margin
◆ Kurva 3
● Aspek dalam orbital rim
◆ Kurva 4
● Lengkungan luar nasal complex

Whaites E. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 6th ed. Elsevier Churchil Livingstone; 2020
Klasifikasi Radiografi Fraktur
➔ Curved Zones
◆ Zona 1
● Melewati frontal sinus, floor of the anterior
cranial fossa termasuk cribriform plate,
anterior walls dari middle cranial fossa,
sphenoidal sinus, vertical walls dari
pterygopalatine fossa, pterygoid plates, gigi
posterior, dan gigi anterior
◆ Zona 2
● Melewati frontonasal suture, lateral border
of the orbit, maxillary antrum, palatum
keras, dan anterior border of the maxilla
◆ Zona 3
● Melewati tulang nasal, anterior wall of the
maxillary antrum, dan anterior nasal spine

Whaites E. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 6th ed. Elsevier Churchil Livingstone; 2020
Klasifikasi Fraktur Midfacial dan Maxilla
● Fraktur Orbital Wall Blow-Out
○ Fraktur orbital wall blow-out diakibatkan oleh
pukulan langsung ke orbita oleh benda yang terlalu
besar untuk memasuki rongga orbita, seperti
kepalan tangan atau bola baseball.
○ Pemeriksaan pilihan utama → Coronal CT
■ Pencitraan CT koronal dapat menunjukkan
penampilan "trap door" klasik dari lantai orbit
yang displaced.
■ Pencitraan CT juga dapat menunjukkan
kepadatan jaringan lunak atau air-fluid level
di sel udara ethmoid yang berdekatan atau
sinus maksilaris atau herniasi lemak
periorbital dan terjebaknya otot periorbital
melalui defek tulang di dasar orbita.

White SC, Pharoah MJ. Oral Radiology: Principles and interpretation. 7th ed. St. Louis, MO: Mosby; 2014.
● Fraktur Zygomatik
○ Cedera pada tulang atau lengkung zygomatik
biasanya diakibatkan oleh pukulan kuat pada pipi
atau sisi wajah
○ Karena edema mengaburkan gambaran klinis,
pemeriksaan pencitraan dapat memberikan
satu-satunya cara untuk menentukan keberadaan
dan luasnya cedera.
○ Pencitraan CT adalah modalitas utama
○ Radiografi panoramik pada arkus zygomatic sering
mengungkapkan sutura zygomaticotemporal
sebagai garis radiolusen yang mungkin memiliki
penampilan diskontinuitas di perbatasan inferior →
variasi normal

White SC, Pharoah MJ. Oral Radiology: Principles and interpretation. 7th ed. St. Louis, MO: Mosby; 2014.
Jenis Proyeksi Radiograf
● Evaluasi radiografi mandibula:
○ Panoramik
○ Open-mouth towne view
○ Posteroanterior
○ Lateral oblique
● Bisa juga diberikan radiografi tambahan, seperti occlusal atau
periapikal untuk membantu memberikan informasi yang memadai
● Computed tomography (CT) dapat memberikan informasi yang
tidak dapat diperoleh dari radiografi biasa.
○ CT scan → digunakan utk menyingkirkan kemungkinan
cedera neurologis pada pasien dengan trauma wajah
○ CT scan adalah analisis radiografi utama untuk pasien
dengan patah tulang wajah
○ CT cone-beam pada pasien rawat jalan telah
memungkinkan dilakukannya analisis tiga dimensi dengan
dosis radiasi yang relatif rendah.
Jenis Proyeksi Radiograf
● Evaluasi fraktur bagian tengah wajah:
○ Waters view
○ Lateral skull view
○ Posteroanterior skull view
○ Submental vertex view
● CT adalah teknik radiografi yang paling umum
digunakan untuk evaluasi trauma bagian
tengah wajah.
○ Kemampuan untuk mengevaluasi
fraktur pada beberapa bidang ruang
dan memvisualisasikan seluruh
tengkorak, wajah bagian tengah, dan
mandibula dengan rekonstruksi tiga
dimensi memberikan informasi yang
sangat berharga untuk mendiagnosis
dan mengobati trauma wajah yang
kompleks
Kesimpulan
Pemeriksaan Radiograf Trauma Skeletal/Fasial
Digunakan untuk mengevaluasi:
a. Adanya fraktur ● Evaluasi radiografi mandibula:
b. Lokasi dan arah garis fraktur ○ Panoramik
c. Tingkat perpindahan dan pemisahan ujung tulang ○ Open-mouth towne view
d. Hubungan gigi terhadap garis fraktur ○ Posteroanterior
e. Lokasi yang dikaitkan dengan foreign bodies di dalam ○ Lateral oblique
jaringan lunak dan keras ● Evaluasi fraktur bagian tengah wajah:
f. Adanya penyakit kontributif atau penyakit coincidental ○ Waters view
g. Penyelarasan fragmen tulang setelah perawatan ○ Lateral skull view
h. Penyembuhan dan identifikasi komplikasi pasca trauma ○ Posteroanterior skull view
termasuk infeksi, tidak menyatu atau malunion (salah ○ Submental vertex view
menyatu)

Fraktur maksilofasial dideteksi menggunakan computed


tomography (CT) imaging sebagai metode pilihan terutama
yang melibatkan multipel tulang.

Anda mungkin juga menyukai