Anda di halaman 1dari 9

TUGAS GADAR II

PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER DAN


TERSIER PADA KASUS HEAD INJURY
DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Maria Wisnu Kanita, M.Kep

Disusun Oleh :
 Apresia Murtati (ST 162011)
 Avilia Kusumaningrum (ST162012)
 Ayu Hanggayomi (ST162013)
 Budiyono (ST162014)
 Danang Rifaudin (ST162015)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN TRANSFER


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2018
PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER DAN TERSIER
HEAD INJURY

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :

A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera, misalnya :
1. Tidak mengemudi dengan gangguan kesehatan (terlalu lelah, mengantuk, di
bawah pengaruh obat-obatan dan alkohol)
2. Pengendalian kecepatan kendaraan/ tidak mengebut
3. Penggunaan helm dan sabuk pengaman
4. Muatan penumpang tidak berlebihan
5. Membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman (tidak macet, kondisi tidak
6. berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok)

B. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada
kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi
prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh
karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup
lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi
untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan
jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga
menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu
pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga
pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok,
dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian
transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
Selain pemeriksaan airway diatas diperlukan pemeriksaan yang lain yaitu :
1. Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang
dialami pasien. Selain itu perlu dicatat juga tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita,
muntah atau tidak, adanya kejang. Keluarga pasien diminta keterangan tentang apa yang
terjadi.
2. Pemeriksaan Fisik Umum
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital yaitu kesadaran, nadi, tensi darah,
frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran juga dicatat yaitu
kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis, somnolen (mengantuk), sopor (tidur), atau
koma. Selain itu dapat pula ditentukan dengan GCS.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap. Pada pasien
yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan objektif. Bentuk
pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningen, yang berupa tes kaku
kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher)
normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu
dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sensorik (nervus kranialis). Saraf
yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus II (optikus),
nervus III (okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI
(abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus), nervus
X (vagus), nervus XI (spinalis), nervus XII (hipoglous), nervus spinalis (pada otot lidah),
dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.
4. Pemeriksaan Radiologis
a. Foto rontgen polos
Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis.
Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital,
buatkan foto anterior-posterior. Bila lesi terdapat di daerah frontal buatkan foto
posterior-anterior. Bila lesi terdapat di daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri,
film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur
basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar
rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang
bawah). Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk
melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin
menimbulkan impressions digitae.
b. Compute Tomografik Scan (CT-Scan)
CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan potongan
melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas. CT-Scan
kepala merupakan standard baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua
pasien dengan GCS<12 sebaiknya menjalankan pemeriksaan CT-Scan, sedangkan pada
pasien dengan GCS>12 CT-Scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti:
nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang
berat, muntah lebih dari satu kali, penderita lansia (> 65 tahun) dengan penurunan
kesadaran atau anamnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat-
obat anti koagulen, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan,
gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT Scan.
Kelainan yang tidak tampak pada CT-Scan dapat dilihat dengan MRI. Namun,
dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT Scan sehingga
tidak sesuai dengan situasi gawat darurat.
C. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan
psikologis bagi penderita.
Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap
penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara
fisik, rehabilitasi psikologis dan social
1. Rehabilitasi Fisik
o Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas
dan bawah tubuh.
o Perlengkapan splint dan kaliper
o Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi
kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan
diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang
semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
o Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan
paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak
ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
o Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat)
DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B & Turana, Y. 2007. Panduan Praktis Diagnosis &
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Grace, P.A & Borley, N.R. 2007. At a Glance ILMU BEDAH. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kowalak, J.P. 2003. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
http://sugengmedica.wordpress.com/2012/03/09/cedera-kepala/
ANALISA PERAN PERAWAT TERHADAP PENCEGAHANPRIMER,
SEKUNDER DAN TERSIER PADA KASUS HEAD INJURY

Data Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006 menunjukkan bahwa


kecelakaan lalu lintas (KLL) merupakan penyebab utama dari kematian dengan berbagai sebab
dan menempati urutan ke10 sebagai penyebab dari semua kematian. Dewasa ini, kejadian KLL
makin meningkat dalam jumlah maupun jenisnya dengan prakiraan angka kematian dari 5,1 juta
pada tahun 1990 menjadi 8,4 juta pada tahun 2020 atau meningkat sebanyak 65%. Pada tahun
2010 Polri mencatat 31.234 orang meninggal dunia, kemudian meningkat menjadi 32.185 pada
tahun 2011 dengan variasi penyebab yang semakin kompleks. Data direktorat lalu lintas Polri
menyebutkan tingkat volume lalu lintas di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini
berkembang cukup pesat khususnya sepeda motor, yang merupakan penyumbang terbesar
terjadinya KLL.

Cidera kepala akibat KLL sepeda motor bisa diakibatkan oleh ketidak patuhan dalam
penggunaan pengaman kepala (helm) ataupun penggunaan helm yang tidak memenuhi standar
SNI. Salah satu fungsi helm adalah untuk melindungi kepala dari benturan pada saat kecelakaan.
Penggunaan helm pada pengendara kendaraan roda dua dapat mengurangi dampak benturan
kepala. Jenis dan kekuatan terhadap daya tekanan helm menentukan tinggi rendahnya kemampuan
melindungi kepala (Stefie, dkk, 2013) hal ini sejalan dengan teori pencegaha primer yang
menyebutkan bahwa pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera
salah satunya dengan penggunaan helm pengaman.

Pemeriksaan awal yang dilakukan pasien dengan cedera kepala adalah dengan Glasgow
coma scale (GCS) merupakan sistem penilaian terstandarisasi yang digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran pada pasien dengan gangguan kesadaran. GCS adalah perhitungan angka dari
kognitif, perilaku, dan fungsi neurologis. Keseimbangan oksigen otak dipengaruhi oleh aliran
darah otak yang besarnya berkisar 1520 % dari curah jantung (Black & Hawks, 2009). Proteksi
otak merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan
sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia. Iskemia otak adalah suatu gangguan
hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai ke suatu tingkat yang
akan menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel. Metode dasar dalam melalukan proteksi otak
adalah dengan cara membebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat (Simon M, Andrew B,
Mark CB, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Alit Suwandewi (2017) menyebutkan bahwa ada pengaruh
pemberian oksigen melalui masker sederhana dan posisi kepala 30° terhadap perubahan tingkat
kesadaran dengan nilai p value 0,009 dengan Rerata nilai GCS sebelum dilakukan intervensi
pemberian oksigen melalui masker sederhana dan posisi kepala 30° yaitu 10 dengan standar
deviasi 1,145 dan rerata nilai GCS sesudah dilakukan intervensi pemberian oksigen melalui
masker sederhana dan posisi kepala 30° yaitu 11,07 dengan standar deviasi 2,766. Hal ini sesuai
dengan apa yang dijelaskan oleh Patria (2012) bahwa pada pasien cedera kepala hendaknya
diberikan terapi oksigen dengan menggunakan masker ataupun masker reservoir dengan
konsentrasi oksigen 40-80%. Hal ini juga sesuai dengan teori pencegahan sekunder yang
menyatakan bahwa pencegahan sekunder pada pasien cidera kepala setelah dilakukan pembebasan
jalan nafas adalah dengan pemberian bantuan pernafasan salah satunya dengan pemberian oksigen.

Tingkat kesadaran merupakan salah satu indikator kegawatan dan prognosis pada cedera
kepala. Penurunan kesadara pada cedera kepala di ukur secara objektif dengan Glasgow Comma
Scale (GCS). Penurunan kesadaran tersebut dapat mempengaruhi pemenuhaan kebutuhan dasar
pasien. Stimulasi sensori mampu memberikan efek neuroprotektif yang mencegah kerusakan sel-
sel otak dari iskemik yang ditimbulkan cedera kepala. Penelitian yang dilakukan oleh vestina dan
Anastasia (2015) menunjukkan hasil bahwa Stimulasi sensori dapat mempengaruhi nilai GCS pada
pasien cedera kepala di ruang Neurosurgical Critical Care Unit (NCCU) RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Asirin (2007) yang menyatakan bahwa
stimulasi pada organ pendengaran terbukti dapat merangsang sel-sel saraf di otak dimana
denganperangsangan melalui terapi musik yang diberikan pada pasien trauma kepala berat dapat
meningkatkan status kesadaran pasien. Hasil penelitian-penelitian diatas sesuai dengan teori
pencegahan tersier cidera kepala salah satunya dengan rehabititasi fisik diantaranya bisa dilakukan
dengan melakukan stimulasi sensori.

Anda mungkin juga menyukai