Anda di halaman 1dari 11

PEMBERHENTIAN SEMENTARA NOTARIS DARI JABATANNYA

KARENA MASA PENAHANAN DITINJAU DARI UNDANG -UNDANG


NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG JABATAN NOTARIS

Oleh : Lita Agnesia Sanyoto (124221015)


Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Prodi Magister Kenotariatan
Email: litaagnesia26@gmail.com

ABSTRAK
Notaris dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena masa penahanan
menurut pasal 9 ayat 1 huruf e Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Jabatan Notaris. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah Notaris
yang sedang menjalani masa penahanan masih dapat menjalankan tugas
jabatannya sebagai Notaris. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan berdasar undang- undang, karya ilmiah, buku-buku,
jurnal yang berkaitan dengan tema penulisan. Penelitian ini menggunakan bahan
hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Dalam hal Notaris yang dikenakan penahanan rumah atau penahanan kota dalam
menjalankan tugas jabatannya selama kewenangan yang dimiliki masih melekat
padanya maka Notaris tersebut masih dapat menjalankan tugas dan jabatannya,
karena Notaris yang dikenakan penahanan rumah atau penahanan kota, pada
dasarnya Notaris sebagai tersangka belum tentu bersalah dan harus menjunjung
tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

Kata kunci : Notaris; Penahanan, Pemberhentian Sementara

ABSTRACT
A notary can be temporarily dismissed from his position due to the detention
period according to article 9 paragraph 1 letter e of Law Number 2 of 2014
concerning the position of a notary. The purpose of this study is to analyze
whether a Notary who is currently in detention can still carry out his duties as a
Notary. This research is a normative research using a law-based approach,
scientific works, books, journals related to the theme of writing. This research
uses primary, secondary and tertiary legal materials. The results of this study
indicate that in the case of a Notary who is subject to house arrest or city
detention in carrying out his duties as long as the authority he has is still attached
to him, the Notary can still carry out his duties and positions, because the Notary
who is subject to house arrest or city detention is basically a Notary as the
suspect is not necessarily guilty and must uphold the principle of the presumption
of innocence
Keywords: Notary; Detention, Temporary Dismissal

I. PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara. Untuk
menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti
tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan
peristiwa hukum yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris
adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
Peraturan Umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan
dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya


dan memberikan Grosse salinan dan kutipannya, semua sepanjang akta itu oleh
suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat
atau orang lain.
Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggungawab terhadap
akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari
mengandung sengketa maka hal itu perlu dipertanyakan, apakah akta ini
merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak yang tidak mau jujur
dalam memberikan keteranganya kepada Notaris.
Keterlibatan Notaris dalam perkara hukum disebabkan adanya kesalahan
pada akta yang dibuatnya, baik karena kesalahan Notaris itu sendiri maupun
kesalahan para pihak atau salah satu pihak yang tidak memberikan keterangan
atau dokumen yang sebenarnya (tidak adanya iktikad baik dari para pihak atau
salah satu pihak) atau telah ada kesepakatan antara Notaris dengan salah satu
pihak yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Berhubungan dengan akta
yang dibuatnya, Notaris harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya karena
menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak. Notaris pada
dasarnya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, karena Notaris
hanya bertanggung jawab pada sisi formal pembuatan akta. Notaris yang
melanggar hukum dalam melaksanakan jabatannya baik disengaja maupun karena
kelalaian kini tidak bisa tenang lagi. Pihak pihak yang merasa dirugikan dapat
membuat pengaduan ke Majelis Pengawas Notaris dan kepolisan. Apabila Notaris
mengabaikan tugas jabatannya dan keluruhan dari martabatnya dan melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang perubahan
Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
dan peraturan perundag- undangan lainya yang berlaku maka Majelis Pengawas
dapat bertindak tegas mengenakan sanksi. Bahkan dapat memberikan
rekomendasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencabut izin
operasionalnya. Kepada Notaris yang bersangkutan tidak tertutup kemungkinan
untuk dituntut ke pengadilan, baik dalam perkara perdata maupun pidana.


Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, dan Menteri juga berwenang menentukan formasi jabatan Notaris pada
daerah kabupaten atau kota sebagai tempat kedudukan Notaris. Sedangkan
ketentuan mengenai Notaris yang diberhentikan sementara dan juga diberhentikan
secara tidak hormat dari jabatannya diatur di dalam pasal 9 dan pasal 12 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Selain dari pada itu, di dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris menjelaskan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat
oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 ( lima ) tahun atau lebih.
Dalam Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena sedang
menjalani masa Penahanan, pada Pasal 21 angka 21 KUHAP disebutkan bahwa
penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini, yang mana penempatan
tersangka atau terdakwa dapat dihukum dengan jenis penahanan yang berbeda-
beda.
Pasal 22 KUHAP menyebutkan ada 3 (tiga) jenis penahanan, yaitu
1. Jenis Penahanan dapat berupa :
a. Penahanan rumah tahanan Negara;
b. Penahanan rumah;
c. Penahanan Kota;
2. Penahanan rumah dilaksanakan dirumah tinggal atau rumah kediaman
tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk
menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam
penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan disidang pengadilan.



3. Penahanan kota dilaksanakan dikota tempat tinggal atau tempat kediaman


tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor
diri pada waktu yang ditentukan.
Dalam Praktik Notaris, ada juga Notaris yang Kantor Notarisnya
merangkap dengan rumahnya atau rumah merangkap kantor Notaris. Jika
pengertian penahanan rumah dilakukan dirumah tersangka atau terdakwa sendiri,
untuk Notaris yang dikenakan Penahanan rumah dan merangkap Kantor atau
Kantor merangkap rumah masih bisakah menjalankan tugas jabatannya karena
penahanan dilakukan dirumah sendiri yang rumah merangkap kantor tersebut,
dengan alasan sedang menjalani masa penahanan seperti yang ditegaskan pasal 9
ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang perubahan
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, tentang Jabatan Notaris, dalam masa
Penahanan tidak ada penjelasan integral sebagaimana dalam kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) apa yang dimaksud dengan penahanan dan ada
beberapa jenis penahanan, kemudian apakah penahanan yang dialami Notaris
tersebut ada kaitannya dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris atau Tindak
pidana pada umumnya.
Notaris tidak hanya sebagai pejabat hukum yang terkungkung dalam
aturan-aturan yuridis yang serba mengikat, melainkan juga sebagai individu yang
hidup dalam masyarakat, selain terikat pada tatanan social juga memiliki
kebebasan dalam membentuk dunianya sendiri sehingga tidak menutup
kemungkinan melakukan kekhilafan yang merujuk pada Tindak Pidana diluar dari
pelaksanaan tugas jabatannya sebagai Notaris.
Dari latar belakang tersebut mendorong penulis untuk melakukan kajian
dan analisis pada penulisan ini dengan mengambil Judul : Pemberhentian
Sementara Notaris Dari Jabatannya Karena Masa Penahanan Ditinjau Dari
Undang -Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.



II. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan lata belakang tersebut di atas maka muncul suatu rumusan
masalah yaitu : Apakah Notaris yang sedang menjalankan masa penahanan pada
pasal 9 ayat 1 huruf e Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris masih dapat menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris?

III. PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori kewenangan dan
teori keadilan. dimana di sebutkan bahwa kewenangan Notaris dalam
menjalankan jabatannya adalah memperoleh kewenangan secara Atribusi, karena
wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh Undang-undang Jabatan Notaris
sendiri. Setiap wewenang harus ada dasar hukumnya, sehingga jika seorang
pejabat melakukan tindakan diluar wewenang disebut sebagai perbuatan melawan
hukum.
Notaris hanyalah sebagai pejabat yang karena kewenangannya untuk
membuat akta autentik sesuai keinginan para pihak/penghadap. Kedudukan para
penghadap atau para pihak dalam suatu akta notaris dapat dibedakan dalam 3
(tiga) hal. Pertama, para penghadap atau para pihak bertindak untuk dirinya
sendiri. Kedua, para penghadap atau para pihak bertindak untuk mewakili orang
lain berdasarkan surat kuasa maupun ketentuan undang- undang. Ketiga, para
penghadap atau para pihak bertindak dalam jabatannya dan atau kedudukannya
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Hubungan hukum para pihak atau penghadap kepada Notaris dalam menuangkan
keinginannya pada suatu akta autentik. Para pihak ingin dengan akta autentik yang
dibuat oleh Notaris tersebut akan menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut
sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan para
pihak terlindungi dengan adanya akta tersebut. Akta autentik menjamin adanya
kepastian hukum. Dengan demikian dapat dihindari kerugian maupun sengketa
yang akan terjadi dikemudian hari. Dengan hubungan hukum seperti itu,



kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal tanggung gugat


Notaris.
Pada dasarnya hubungan hukum antara Notaris dengan para pihak/para
penghadap yang telah membuat akta autentik di hadapan Notaris tidak dapat
ditentukan pada awal pertemuan atau hubungan antara Notaris dan para
penghadap. Karena pada saat pertemuan tersebut harus sesuai dengan UUJN.
Notaris hanya melaksanakan segala sesuatu yang diperbolehkan oleh UUJN,
misalnya kewenangan Notaris secara umum yang diatur dalam Pasal 15 UUJN.
Pada dasarnya Notaris adalah pejabat umum untuk melayani masyarakat.
Dalam rangka pembuatan akta autentik oleh Notaris, masyarakat wajib
dilindungi.Untuk itulah diciptakan Majelis Pengawas yang fungsinya melindungi
masyarakat jika terjadi "malpraktik" oleh Notaris. Pengawasan ini tujuannya
adalah pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran yang merugikan masyarakat.
Notaris yang melakukan pelanggaran diberikan penindakan hukum. Notaris yang
bersangkutan diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku dengan melihat
pelanggaran yang dilakukannya. UUJN menyebutkan bahwa sanksi yang paling
ringan adalah teguran lisan. Sanksi kedua adalah teguran tertulis, dan yang ketiga,
sanksinya adalah pemberhentian sementara maksimal 6 bulan. Sanksi yang
terakhir adalah pemecatan terhadap jabatannya dengan tidak hormat berdasarkan
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mengatur bagaimana
kedudukan hukum Notaris dengan status sebagai tersangka yang dikenakan
penahanan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, proses pemeriksaan oleh
majelis hakim dan belum ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap. Seorang Notaris dalam status tersangka masih diperbolehkan membuat akta
sebelum terbit putusan tetap dari persidangan. Notaris belum dapat disebut
bersalah dan status dari Notaris tersebut masih sebagai Notaris aktif, dan akta



yang dibuat seorang Notaris aktif memiliki kekuatan hukum yang sah terhadap
para pihak yang keinginannya dituangkan dalam akta. Tidak berwenangnya
seorang Notaris dalam membuat akta adalah apabila notaris tersebut berada dalam
status skors, atau kewenangan Notaris tersebut telah dicabut karena sanksi
(dipecat) ataupun telah pensiun. Pada hakikatnya tidak ada aturan yang
menghalangi kewenangan seorang notaris yang berada dalam status tersangka
untuk membuat akta, kecuali telah ada surat keputusan menteri untuk
memberhentikannya.
Dalam hal Notaris yang dikenakan penahanan rumah atapun penahanan
kota dalam menjalankan tugas jabatannya, dapat di analisa bahwa pada Pasal 22
ayat 2 : Penahanan rumah dilaksanakan dirumah tinggal atau rumah kediaman
tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk
menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam
penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan; Pasal 22 ayat 2 ini
pun dipertegas oleh penjelasannya: Tersangka atau terdakwa hanya boleh keluar
rumah atau kota dengan izin dari penyidik, penuntut umum atau hakim yang
memberi perintah penahanan. Sedangkan pada Pasal 22 ayat 3 : Penahanan kota
dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau
terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada
waktu yang ditentukan; Dan jika melihat penjelasan pasal 22 KUHAP ayat 2 dan
3 tentang penahanan rumah dan penahanan kota, seorang Notaris yang
mempunyai tempat kedudukan didaerah kabupaten atau kota, memungkinkan bagi
dirinya untuk dapat menjalankan tugas dan jabatannya walaupun dalam status
penahanan rumah atau penahanan kota, apabila Notaris tersebut tidak
diberhentikan oleh menteri dan masih memiliki kewenangan, dia dianggap masih
dapat menjalankan tugas dan jabatannya walaupun dalam status tersangka, karena
pada dasarnya Notaris sebagai tersangka belum tentu bersalah dan harus
menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) . Salah
atau tidak seorang ditetapkan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan

hukum yang tetap. Dan kemudian pula pada pasal 9 ayat 2 Undang-undang
Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang jabatan Notaris bahwa “sebelum pemberhentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk
membela diri dihadapan Majelis pengawas secara berjenjang” dan bila dicermati
pemberhentian sementara yang dijelaskan pada pasal 9 ayat 1 Undang-undang
Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 tahun
2004 tentang Jabatan Notaris. Notaris dapat melakukan pembelaaan diri pada
semua jenjang yakni MPD, MPW sampai pada MPP, dan apabila MPP
memutuskan dan menetapkan tidak mengusulkan kepada Menteri untuk tidak
memberhentikan Notaris tersebut maka Notaris tersebut masih mempunyai
kewenangan. Dan Habib Adjie juga mengatakan bahwa seorang Notaris
menjalankan tugas Jabatannya berdasarkan kewenangannya, dan surat
Keputusannnya pengangkatan sebagai Notaris. Selama pada dirinya ada
kewenangannya dan surat Keputusan tidak dicabut, maka Notaris tersebut tetap
berwenang menjalankan jabatannya. Oleh karena itu Notaris yang dikenakan
penahanan rumah atau penahanan kota masih dapat menjalankan tugas dan
jabatannya apabila tidak ada keputusan menteri diberhentikan dari tugas dan
jabatannya.
Menurut Aristoteles yang juga pelopor teori keadilan mengatakan bahwa
tujuan hukum adalah memberikan hak yang dimiliki oleh seseorang tentang mana
yang adil dan mana yang tidak, keadilan menurut Aristoteles dibagi lagi menjadi
keadilan komulatif dan keadilan distributif. Keadilan komulatif memberikan
keadilan dalam bentuk yang sama kepada setiap orang, sedangkan keadilan
distributif memberikan keadilan secara proposional kepada setiap orang. Keadilan
komulatif diberikan kepada semua orang secara merata, sedangkan keadilan
distributive diberikan tergantung besar kecilnya jasa seseorang yang
dilakukannya.

Dengan masih dapatnya melakukan tugas jabatannya seorang Notaris yang


menjalani sanksi sebagai tahanan rumah maupun tahanan kota maka memenuhi
keadilan sebagaimana yang di utarakan oleh Aristoteles dalam hal ini keadilan
yang komulatif .

IV. PENUTUP
Bahwa pemberhentian sementara untuk Notaris yang sedang menjalani
masa penahanan pada Pasal 9 ayat 1 huruf e berlaku untuk semua jenis penahanan
pada Pasal 22 KUHAP, dikarenakan ketika Notaris diberhentikan dari jabatannya,
maka wewenang yang melekat terhadap Notaris tersebut tidak berlaku untuk
sementara, dan wewenang tersebut berlaku kembali setelah masa pemberhentian
sementara berakhir sebaliknya apabila tidak ada pemberhentian sementara bagi
Notaris tersebut dan masih melekat kewenangannya maka Notaris tersebut tetap
menjalankan tugas jabatannya akan tetapi ketika penahanan yang dikenakankan
tersebut adalah penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara). Dalam hal Notaris
yang dikenakan penahanan rumah atau penahanan kota dalam menjalankan tugas
jabatannya selama kewenangan yang dimiliki masih melekat padanya maka
Notaris teraebut masih dapat menjalankan tugas dan jabatannya, karena Notaris
yang dikenakan penahanan rumah atau penahanan kota, karena pada dasarnya
Notaris sebagai tersangka belum tentu bersalah dan harus menjunjung tinggi asas
praduga tidak bersalah (presumption of innocence).


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia
Indonesia, (Jakarta. 2001)
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase, dkk, Hukum Acara Pidana, Bandung:
Angkasa, 1990
Adjie, Habib. Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan).Cet.1. CV. Mandar Maju, (Bandung: 2009)
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta
Bakti, (Bandung, 1996)
Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Beserta
Penjelasannya, Politeia (Bogor: 1998)
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana, Ghalia
Indonesia (Jakarta: 2004)

Anda mungkin juga menyukai