Anda di halaman 1dari 23

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Tanaman Stevia
Stevia merupakan tanaman yang berbentuk perdu/ semak dengan tinggi antara
60 – 90 cm, panjang daun 3 – 7 cm dan memiliki banyak cabang. Bentuk daun stevia
lonjong, langsing dan duduk berhadapan. Sedangkan batang stevia berbentuk lonjong,
ditumbuhi oleh bulu – bulu halus. Tanaman stevia dapat tumbuh dengan baik di tanah
latosal yang berwarna kemerahan pada ketinggian 500 – 1500 m dari permukaan laut.
Stevia memiliki akar serabut dan terbagi menjadi dua bagian yaitu akar halus dan
akar tebal. Bunganya hermaprodit dengan mahkota khas berbentukseperti tabung.
Salah satu kelebihan stevia adalah daya regenerasi yang kuat sehingga tahan terhadap
pemangsa. Tanaman ini dapat diperbanyak dengan cara stek, biji, anakan dan kultur
jaringan (Lutony, 1993). Tanaman stevia ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Tanaman Stevia rebaudiana (Isdianti, 2007)

5
6

Urutan taksonomi tanaman Stevia rebaudiana disajikan dalam Tabel 2.1


(Kinghorn et al., 1984).
Tabel 2.1. Urutan taksonomi tanaman Stevia rebaudiana
Kingdom Plantae – tumbuhan
Subkingdom Tracheobionta – tumbuhan vaskular
Superdivisi Spermatopita
Divisi Magnoliopita – tumbuhan berbunga
Kelas Magnoliopsida – Dikotil
Subkelas Asteridae
Ordo Asterales
Famili Asteraceae
Genus Stevia Cav – daun gula
Spesies Stevia rebaudiana (Bertoni) Bertoni

Stevia adalah tumbuhan perdu asli dari Paraguay. Cocok pada tanah berpasir
dengan tinggi tanaman maksimal 80 cm. Daunnya mempunyai rasa lezat dan
menyegarkan. Gula stevia telah di komersilkan di Jepang, Korea, RRC, Amerika
Selatan untuk bahan pemanis bagi penderita diabetes dan kegemukan. Stevia yang
pernah ditanam di Indonesia berasal dari Jepang, Korea dan China. Bahan tanaman
tersebut berasal dari biji sehingga pertumbuhan tanaman stevia di lapang sangat
beragam. Pada tahun 1977 tanaman stevia dikenalkan pertama kali di Indonesia, dan
dicoba pembudidayaannya dibeberapa daerah seperti Sukabumi, Garut,
Tawangmangu, dan Bengkulu dengan ketinggian sekitar 1000 m dari permukaan laut.

2.1.2 Kandungan utama daun stevia


Kandungan utama dari daun stevia adalah stevioside ditampilkan pada Gambar
2.2. Stevioside memiliki kira – kira 300 kali lebih manis dari sukrosa pada
konsentrasi 0.4%, 150 kali lebih manis dari sukrosa pada konsentrasi 4% dan 100 kali
7

lebih manis dari sukrosa pada konsentrasi 10% (Kinghorn, 1985). Hasil uji
organoleptik menunjukkan dalam setiap 0.1 g pemanis stevia setara dengan 20 g
sukrosa (gula putih) pada minuman teh tanpa mengurangi rasa kesukaan, sedangkan
pada minuman ringan yang mengandung essence jeruk dan juga frambosen untuk
penggunaan 2 g pemanis stevia setara dengan 4 g gula putih.
OH

HO
OH

HO

OH
O
OH

O
O

OH

OH CH3 CH2

HO
O

CH3

HO O O

OH

Gambar 2.2. Struktur Steviosida

Kandungan senyawa yang ada dalam daun stevia merupakan campuran dari
diterpen, triterpen, tannin, stigmasterol, minyak yang mudah menguap, dan delapan
senyawa manis diterpen glikosida (Crammer, 1986). Delapan senyawa glikosida
diterpen yang member rasa manis yaitu steviosida, steviolbiosida, rebaudiosida A-E,
dan dulkosida A. Kandungan steviosida dalam daun stevia adalah yang paling tinggi
tingkat kemanisannya, namun bila digunakan sendiri sebagai gula murni untuk bahan
pemanis makanan dan minuman dalam dosis yang cukup banyak, maka akan
memberikan rasa manis yang kurang mengena pada lidah. Hal ini disebabkan
steviosida masih memiliki rasa getir dan pahit. Rasa getir dan pahit tidak didapat pada
senyawa lainnya. Apabila rebaudiosida A, D dan E digabungkan maka campuran
yang dihasilkan akan memiliki tingkat kemanisan yang setara dengan steviosida
8

(Lutony, 1993). Rasa getir dan pahit dapat mengganggu tingkat kemanisan gula
stevia karena dapat menurunkan tingkat kemanisan gula stevia.
Rasa pahit dalam daun stevia disebabkan oleh kandungan tannin dalam daun
stevia. Tannin merupakan senyawa yang memiliki gugus fungsi fenol, memiliki rasa
pahit dan mempunyai kemampuan menyamakan kulit. Senyawa ini dapat membentuk
kopolimer yang tidak larut dalam air bila bereaksi dengan protein (Harborne, 1987).
Beberapa ilmuan telah meneliti kegunaan senyawa tanin sebagai senyawa yang
melindungi tanaman dari hewan herbivore serta memiliki peran dalam jaringan
pertumbuhan, sedangkan bagi manusia, tannin memiliki khasiat farmakologi sebagai
gastroprotektif dan antiulcerogenik (De, Padua, 1999; Ramirez &Roa, 2003)
(Jayaraman et al., 2008).

2.1.3 Ekstraksi daun stevia


Cara ekstraksi daun stevia untuk mengeluarkan komponen pemanis dari daun
ada tiga cara yaitu ekstraksi dengan pelarut air yang merupakan modifikasi prosedur
Wood et al. (1955), ekstraksi dengan pelarut menguap seperti methanol menurut
prosedur Kohda et al. (1979) dan ekstraksi dengan pengepresan hidraulik. Penelitian
ini menggunakan pelarut air untuk mendapat pemanis glikosida pada daun stevia.
Pelarut yang sesuai untuk ekstraksi daun stevia adalah pelarut polar antara lain
air dan alkohol. Pelarut yang baik harus mempunyai sifat antara lain memiliki daya
larut dan selektivitas tinggi terhadap glikosida, tidak bereaksi atau merusak senyawa
yang diinginkan, setelah proses ekstraksi dapat dipisahkan dengan mudah. Selain itu
hasil yang didapat tidak beracun, mudah didapat dan harganya murah. Urutan
polarisasi pelarut menurun sebagai berikut : air, metanol, etanol, n-propanol, aseton,
etil asetat, etil eter, kloroform, diklorometan, benzene. Sifat – sifat dari hasil ekstraksi
daun stevia dengan pelarut metanol dan air ditampilkan dalam Tabel 2.2
(Muhammad, 1983).
9

Kedua cara ekstraksi ini menunjukkan bahwa ekstraksi dengan menggunakan


pelarut air hanya menghasilkan cairan kental yang berasa manis dan setelah dilakukan
proses kristalisasi ternyata tidak terbentuk kristal pemanis stevia.
Tabel 2.2. Sifat – sifat hasil ekstraksi daun stevia dengan pelarut metanol dan air
Sifat – sifat hasil ekstraksi Jenis pelarut
Metanol Air
Bentuk Bubuk kasar Cairan kental

Warna Putih kehijauan Coklat

Rendemen 4.5% ---

Kadar air 4.5% ---

Rasa Manis Manis

Etanol dapat dipilih sebagai pelarut karena bersifat tidak toksik dan titik
didihnya rendah lebih rendah dari titik didih air. Sehingga membutuhkan waktu
ekstraksi yang lebih cepat. Selain itu, etanol termasuk jenis pelarut dengan
kemampuan ekstraksi yang baik untuk hampir semua senyawa kimia yang
mempunyai berat molekul kecil seperti golongan metabolit sekunder (Samuelsson,
1999).
Menurut Kumar (2000) pengembangan proses ekstraksi dan penjernihan ekstrak
daun stevia dengan mengurangi penggunaan pelarut organik. Air dan etanol efektif
untuk mengekstraksi glikosida dengan pH dan suhu tertentu.
Pengambilan senyawa organik metabolit sekunder yang terdapat pada bahan
alam padat yang lebih umum menggunakan metode sokletasi. Pada prinsipnya
metode sokletasi menggunakan suatu pelarut yang mudah menguap dan dapat
melarutkan senyawa organik yang terdapat dalam bahan alam tersebut. Metode
sokletasi mempunyai keunggulan dari metode lain, karena melalui metode
10

penyaringan dilakukan beberapa kali dan pelarut yang digunakan tidak habis
(didinginkan melalui pendingin) dan dapat digunakan lagi setalah hasil isolasi
dipisahkan (Distantina et al., 2002).
2.1.4 Analisa Fitokimia
Analisa fitokimia adalah pengujian kandungan kimia secara kualitatif untuk
mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam suatu tumbuhan. Uji fitokimia
diarahkan pada senyawa – senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid,
glikosida, terpen, kuinon, tannin dan saponin (Harborne, 1987).
2.1.4.1 Alkaloid
Alkaloid adalah basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya dalam gabungan berbentuk siklik. Alkaloid biasanya terasa pahit, berbentuk
padatan, tetapi ada juga yang cair. Alkaloid larut dalam air dan ada yang tidak larut
dalam pelarut organik. Alkaloid dapat diperoleh dengan cara mengekstraki bahan
memakai air yang diasamkan untuk melarutkan alkaloidsebagai garam. Alkaloid
dapat dideteksi dengan cara pengendapan menggunakan pereaksi Mayer, Dragendrof,
dan Wagner (Harborne, 1987).
Alkaloid sering digunakan oleh manusia untuk pengobatan, seperti kinin
sebagai antimalaria, dan lobelin untuk asma. Selain itu juga telah ditemukan bahwa
alkaloid radikamin memiliki efek sebagai antihiperglikemik (Sirait, 2007).
Alkaloid dari tanaman kebanyakan merupakan senyawa amina tersier dan
yang lainnya terdiri dari nitrogen primer, sekunder, dan quartener (Sirait,
2007).Berdasarkan asam amino penyusunnya, alkaloid asiklis yang berasal dari asam
amino ornitin dan lisin. Alkaloid aromatis jenis fenilanin berasal dari fenilalanin,
tirosin dan 3,4-dihidrosifenilalanin. Alkaloid indol yang berasal dari trifon.
Metode klasifikasi alkaloid yang paling banyak digunakan adalah berdasarkan
struktur nitrogen yang dikandungnya (Krygowski et al., 2005; Sherman, 2004), yaitu:
1. Alkaloid heterosiklis, merupakan alkaloid yang atom nitrogennya berada dalam
cincin heterosiklis. Alkaloid ini dibagi menjadi alkaloid pirolidin, alkaloid indol,
alkaloid piperidin, alkaloid piridin, alkaloid tropan, alkaloid histamine, imidazole,
11

dan guanidine, alkaloid isokuinolin, alkaloid kuinolin, alkaloid akridin, alkaloid


kuinazolin, alkaloid izidin. Beberapa contoh alkaloid dapat dilihat pada Gambar
2.3.
2. Alkaloid dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis, seperti efedrina.
3. Alkaloid putressin, spermin, dan spermidin, misalnya pausina.
4. Alkaloid peptide merupakan alkaloid yang mengandung ikatan peptide.
5. Alkaloid terpena dan steroidal, contohnya funtumina.

O OH
CH3
CH3 OH

N
N OH

N
O N
OH

CH3 O

a b
O

OH
H

NH2

I I

OH O I

c
Gambar 2.3. Struktur senyawa Alkaloid (a) Kafein (b) Tiroksin (c) Triptofan

2.1.4.2 Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6. Flavonoid umumnya
terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Fungsi flavonoid untuk tanaman berperan
sebagai zat warna, dan untuk menarik serangga yang membantu proses penyerbukan.
Sedangkan pada manusia telah dimanfaatkan sebagai antibakteri contohnya naringin,
dan sebagai antihiperglikemik contohnya apigenin dan aminoguanidin (Sirait, 2007)
antosianidin, dan kalkon (Robinson, 1995). Struktur Flavanoid dapat dilihat pada
Gambar 2.4.
12

Gambar 2.4.Struktur flavonoid

Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenol yang memiliki banyak


gugus –OH dengan adanya perbedaan keelektronegatifan yang tinggi sehingga
memiliki sifat polar. Golongan senyawa ini mudah terekstrak dalam pelarut etanol
yang memiliki sifat polar karena adanya gugus hidroksil, sehingga dapat terbentuk
ikatan hydrogen.

2.1.4.3 Kardenolin dan Bufadienol

Cardenolin dan Bufadienol adalah steroid yang mengandung deoksi gula dan
cincincin lakton yang tak jenuh, yang bekerja pada jantung dan otot dari
hati.Glikosida steroid adalah glikosida yang aglikonnya berupa steroid. Glikosida
steroid disebut juga glikosida jantung karena memiliki daya kerja kuat dan spesifik
terhadap otot jantung (Robinson, 1991).
Secara kimiawi bentuk struktur glikosida jantung sangat mirip dengan asam
empedu yaitu bagian gula yang menempel pada posisi tiga dari inti steroid dan bagian
aglikonnya berupa steroid yang terdiri dari dua tipe yaitu tipe kardinolida dan tipe
bufadienolida.
Tipe kardenolida merupakan steroid yang mengandung atom C-23 dengan
rantai samping terdiri dari lingkaran lakton 5-anggota yang tidak jenuh dan alfa-beta
menempel pada atom C nomor 17 bentuk beta.Sementara tipe bufadienolida berupa
homolog dari kardenolida dengan atom C-24 dan memepunyai rantai samping
13

lingkaran keton 6-anggota tidak jenuh ganda yang menempel pada atom C nomor
17.Struktur Kardenolin dan Bufadienol dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan 2.6.

O O O
O

OH OH

Gambar 2.5.Struktur kardenolin Gambar 2.6. Struktur bufadienol

2.1.4.4 Tanin

Tannin adalah senyawa yang memiliki gugus fenol, memiliki rasa sepat dan
mempunyai kemampuan menyamak kulit. Senyawa ini dapat membentuk kopolimer
yang tidak larut dalam air bila bereksi dengan protein (Harborne, 1987).
Manfaat tannin bagi tanaman yaitu sebagai senyawa yang melindungi tanaman
dari hewan herbivora serta memiliki peran dalam jaringan pertumbuhan, sedangkan
bagi manusia, tannin memiliki khasiat farmakologi sebagai gastroprotektif dan
antiulserogenik (De, Padua, 1999; Ramires & Roa, 2003). Senyawa tanin mempunyai
sifat-sifat umum sebagai berikut :
a. Sifat fisika
Sifat fisika dari tanin (Hagerman, 2002) adalah sebagai berikut :
i. Jika dilarutkan ke dalam air akan membentuk koloid dan memiliki rasa asam dan
sepat.
ii. Jika dicampur dengan alkaloid dan gelatin akan terjadi endapan
iii.Mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut
sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik.
b. Sifat kimia
Sifat kimia dari tanin (Hagerman, 2002) adalah sebagai berikut :
14

i. Merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang


sukar dipisahkan sehingga sukar mengkristal.
ii. Tanin dapat diidentifikasikan dengan kromotografi.
iii. Senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi astrigensia, antiseptik dan
pemberi warna.
Tanin adalah senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi
(lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein. Tanin terdapat
luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angoispermae terdapat khusus dalam
jaringan kayu. Dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim
sitoplasma, bila jaringan tumbuhan rusak, misalnya hewan memakannya, maka
dapat terjadi reaksi penyamakan. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar
dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak
mengandung tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya sepat,
sehingga mungkin mempunyai arti sebagai pertahanan bagi tumbuhan (Hagerman,
2002; Harbone, 1996). Tanin merupakan satu grup substansi fenolik polimer yang
mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang
dikenal sebagai astringensi. Tanin ditemukan hampir disetiap bagian dari
tanaman; kulit kayu, daun, buah, dan akar (Hagerman, 1998). Struktur senyawa
tannin dapat dilihat pada Gambar 2.7.
OH

OH
O
OH

OH

Gambar 2.7. Struktur senyawa tanin

Senyawa tanin dibedakan menjadi dua, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi.
15

a. Tanin terhidrolisis
Tanin ini biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan membentuk
jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan menggunakan
asam sulfat atau asam klorida (Hagerman, 2002). Salah satu contoh jenis tanin
terhidrolisis adalah gallotanin yang merupakan senyawa gabungan dari
karbohidrat dan asam galat.
Selain membentuk galotanin, dua asam galat akan membentuk tanin
terhidrolisis yang disebut elagitanin. Elagitanin sederhana disebut juga ester asam
hexahydroxydiphenic (HHDP) (Hagerman, 2002). Senyawa ini dapat terpecah
menjadi asam galat jika dilarutkan dalam air.
b. Tanin terkondensasi
Tanin jenis ini biasanya tidak dapat dihidrolisis. Tanin jenis ini
kebanyakan terdiri dari polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Nama lain
dari tanin ini adalah proantosianidin. Proantosianidin merupakan polimer dari
flavonoid, salah satu contohnya adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini
merupakan trimer yang tersusun dari epiccatechin dan catechin.
Senyawa ini jika dikondensasi maka akan menghasilkan flavonoid jenis
flavan dengan bantuan nukleofil berupa floroglusinol (Hagerman, 2002). Tanin
terkondensasi banyak terdapat dalam paku-pakuan, gymnospermae, dan tersebar
luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu (Robinson,
1991).
2.1.4.5 Saponin
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat, dapat menimbulkan busa
jika dikocok dengan air, dan pada konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan
hemolisis sel darah merah pada tikus. Identifikasi saponin dapat dilakukan dengan
mengocok ekstrak bersama air didalam tabung reaksi dan akan timbul busa yang
dapat bertahan lama. Setelah penambahan HCl 2 N busa tidak hilang (Harborne,
16

1987). Manfaat saponin bagi manusia salah satunya adalah diosgenin sebagai
antikanker (De, Padua, 1999).
Saponin diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia menjadi dua yaitu saponin
steroid dan saponin triterpenoid.
1. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat.
Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan satu aglikon yang dikenal sebagai
sapogenin. Tipe saponin ini memiliki efek antijamur. Pada binatang menunjukan
penghambatan aktifitas otot polos. Saponin steroid diekskresikan setelah
koagulasi dengan asam glukotonida dan digunakan sebagai bahan baku pada
proses biosintetis obat kortikosteroid. Saponin jenis ini memiliki aglikon berupa
steroid yang di peroleh dari metabolisme sekunder tumbuhan. Jembatan ini juga
sering disebut dengan glikosida jantung, hal ini disebabkan karena memiliki efek
kuat terhadap jantung. Struktur dalam steroid dapat dilihat pada Gambar 2.8.

CH3
CH3
CH3
O
CH3
CH3 O

H3C

CH3 CH3

ch3

Glikon
O

Gambar 2.8. Struktur dasar steroid Gambar 2.9. Asparagosida

Salah satu contoh saponin jenis ini adalah Asparagosida (Asparagus


sarmentosus), Senyawa ini terkandung di dalam tumbuhan Asparagus sarmentosus
yang hidup dikawasan hutan kering afrika. Tanaman ini juga biasa digunkan sebagai
obat anti nyeri dan rematik oleh orang afrika. Struktur Aspargosida dapat dilihat pada
Gambar 2.9.
17

2. Saponin tritetpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat.


Dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin ini merupakan
suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat
dimurnikan. Tipe saponin ini adalah turunan -amyrine (Amirt Pal, 2002). Salah
satu jenis contoh saponin ini adalah asiatosida. Senyawa ini terdapat pada
tumbuhan Gatu kola yang tumbuh didaerah India. Senyawa ini dapat dipakai
sebagai antibiotik (Amirt Pal, 2002). Struktur Triterpen dapat dilihat pada
Gambar 2.10 sedangkan struktur Asiatosida dapat dilihat pada Gambar 2.11.
H3C CH3
H3C CH3

CH3

O
Glikon
CH
CH
CH3 3 CH3 3

OH OH
CH3
CH3
CH3 CH3

Gambar 2.10.Struktur Dasar Triterpen Gambar 2.11. Asiatosida

2.1.4.6 Glikosida
Glikosida adalah suatu senyawa yang bila dihidrolisa akan terurai menjadi glikon
dan aglikon, atau genin. Glikosida dapat dibedakan menjadi α-glikosida dan β-
glikosid . Pada tumbuhan, glikosida biasanya terdapat dalam β. Umumnya
glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral dan enzim. Hidrolisis menggunakan
asam membutuhkan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak membutuhkan
panas, dan biasanya terjadi pada tanaman selama proses perkecambahan, luka, serta
aktivitas fisiologis sel. Kegunaan glikosida bagi tanaman diantaranya untuk cadangan
gula sementara, sedangkan pada manusia biasanya digunakan untuk obat jantung dan
precursor hormone steroid (Sirait, 2007; Fernandez et al., 2005).
18

2.1.5 Adsorbsi tannin dengan arang aktif


Adsorpsi merupakan proses terserapnya suatu molekul atau ion pada
permukaan suatu adsorben. Dapat dikatakan bahwa adsorpsi terjadi karena adanya
partikel yang terakumulasi pada suatu permukaan. Partikel yang terakumulasi dan
diserap oleh permukaan disebut adsorbat, sedangkan material tempat terjadinya
adsorpsi, terjadi tarik – menarik antara molekul adsorbat disebut adsorben (Atkins,
1999). Adsorpsi terjadi jika gaya tarik menarik antara zat terlarut dengan permukaan
penyerap dapat mengatasi gaya tarik menarik antara pelarut dengan permukaan
penyerap (Oscik, 1982). Kecepatan adsorpsi sangat dipengaruhi oleh beberapa factor,
antara lain konsentrasi awal larutan, luas permukaan adsorben, temperature, ukuran
partikel, pH, dan waktu kontak. Jenis adsorpsi yang umum dikenal adalah adsorpsi
kimia (kemisorpsi) dan adsorpsi fisika (fisisorpsi). Perbedaan adsorpsi kimia
ditampilkan pada Tabel 2.3. (Atkins, 1999).
Tabel 2.3. Perbedaan adsorpsi fisika dan kimia

Adsorpsi Fisik Adsorpsi Kimia


Molekul terikat pada adsorben oleh Molekul terikat pada adsorben oleh
gaya van der Waals ikatan kimia
Mempunyai entalpi reaksi – 4 sampai – Mempunyai entalpi reaksi – 40 sampai
40 kJ/mol – 800 kJ/mol
Dapat membentuk lapisan multilayer Membentuk lapisan monolayer
Adsorpsi hanya terjadi pada suhu di Adsorpsi dapat terjadi pada suhu tinggi
bawah titik didih adsorbat Jumlah adsorpsi pada permukaan
Jumlah adsorpsi pada permukaan merupakan karakteristik adsorben dan
merupakan fungsi adsorbat adsorbat
Tidak melibatkan energi aktifasi Melibatkan energi aktifasi tertentu
tertentu
Bersifat tidak spesifik Bersifat sangat spesifik
19

Penjernihan ekstrak daun stevia dilakukan untuk menghilangkan atau


membuang semaksimal mungkin bagian bukan pemanis stevia yang terkandung
didalam ekstrak stevia. Hasil dari ekstraksi daun stevia dengan pelarut air masih
dalam bentuk ekstrak kasar. Jika ekstrak kasar tidak jernih maka rasanya masih sepat
dan warnanya gelap sehingga tidak dapat dipasarkan. Kotoran dalam ekstrak kasar
terdiri dari pigmen organik dan garam inorganik (Wang et al., 2002).
Proses penjernihan dan pemurnian pemanis stevia telah banyak dikembangkan
yaitu ekstraksi dengan pelarut, flokulasi dan prespitasi, ion exchange, adsorpsi
dengan menggunakan adsorben polimer, adsorpsi dengan menggunakan adsorben
inorganik, pemisahan dengan kolom kromatografi, ultrafiltrasi dan pemisahan
membran, dan ekstraksi dengan supercritical gas. Pemurnian diatas telah dilakukan
untuk pemurnian glikosida stevia (Wang et al., 2002).
Menurut penelitian dari Tidore R (2012) proses penjernihan dan pemurnian
dengan adsorben arang aktif dapat memurnikan kondensat gula aren. Arang aktif
dengan daya serap tinggi mampu menghilangkan bau dan menjernihkan kondensat
gula aren. Arang aktif yang baik digunakan dalam pemurnian gula aren adalah arang
aktif yang memiliki daya serap 70 – 80%. Semakin besar daya serap arang aktif maka
gula yang diperoleh akan semakin murni. Penggunaan arang aktif ini juga dinilai
sangat sederhana dan praktis. Maka metode ini dapat diusulkan sebagai cara
pemurnian gula stevia dan dalam isolasi senyawa tannin untuk mengurangi rasa getir
dan pahit.
Arang aktif adalah arang yang telah diaktivasi sehingga pori-porinya
terbuka dan memiliki daya jerap yang tinggi. Arang aktif merupakan adsorben
yang baik dan dapat digunakan untuk pemurnian, menghilangkan warna dan bau,
deklorinasi, detoksifikasi, penyaringan, pemisahan dan dapat digunakan sebagai
katalis (Bansal et al., 1988). Bahan-bahan yang dapat dibuat menjadi arang aktif
dapat berupa kayu, tempurung kelapa, tongkol jagung, sekam padi, biji buah-
buahan, kulit kacang dan lain sebagainya. Arang aktif dapat dibuat dengan
20

mengaktifkan bahan atau material yang mengandung karbon tersebut pada


kondisi tertentu (Bansal et al.,1988).
Arang aktif adalah bentuk umum dari berbagai macam produk yang
mengandung karbon yang telah diaktifkan untuk meningkatkan luas
permukaannya. Arang aktif berbentuk kristal mikro karbon grafit yang pori-porinya
telah mengalami pengembangan kemampuan untuk mengadsorpsi gas dan uap
dari campuran gas dan zat-zat yang tidak larut atau yang terdispersi dalam cairan
(Murdiyanto, 2005). Luas permukaan, dimensi, dan distribusi karbon aktif
bergantung pada bahan baku, pengarangan, dan proses aktivasi. Berdasarkan
ukuran porinya, ukuran pori karbon aktif diklasifikasikan menjadi 3, yaitu mikropori
(diameter <2 nm), mesopori (diameter 2–50 nm), dan makropori (diameter >50 nm)
(Kustanto, 2000). Penggunaan karbon aktif di Indonesia mulai berkembang dengan
pesat, yang dimulai dari pemanfaatannya sebagai adsorben untuk pemurnian pulp, air,
minyak, gas, dan katalis. Namun, mutu karbon aktif domestik masih rendah
(Harfi, 2003), dengan demikian perlu ada peningkatan mutu karbon aktif tersebut.

2.1.6 Kinetika Adsorpsi

Kinetika kimia membahas tentang kecepatan (laju) reaksi dan bagaimana proses
reaksi berlangsung. Laju reaksi merupakan suatu perubahan konsentrasi pereaksi
maupun produk dalam suatu waktu (Keenan, 1984). Orde reaksi merupakan bagian
dari persamaan laju reaksi. Orde reaksi terhadap suatu komponen menurut merupakan
pangkat dari konsentrasi komponen itu dalam persamaan laju reaksi (Atkins, 1999).
Kinetika adsorpsi menyatakan kecepatan proses penyerapan adsorbat oleh adsorben
yang dinyatakan dalam fungsi konsentrasi terhadap waktu. Pendekatan model empiris
yang digunakan untuk menentukan model kinetika adsorpsi yaitu model pseudo order
satu (pseudo first order) dan pseudo order dua (pseudo second order) (Ho dan
McKay, 1997).
21

Kinetika adsorpsi menjelaskan laju pengambilan adsorbat oleh adsorben pada


bertambahnya waktu kontak yang merupakan salah satu parameter yang
menggambarkan efisiensi adsorben. Model kinetika pseudo orde satu dinyatakan oleh
persamaan.

log (qe – qt) = log qe - t (1)

atau,

ln (qe – qt) = lnqe - kf t (2)

Nilai konstanta laju reaksi adsorpsi orde satu (kf) ditentukan dari plot ln (qe – qt)
terhadap t pada persamaan (2) (Atkins, 1999).

Model kinetika pseudo orde satu dinyatakan oleh persamaan.

= kS (qe – qt)2 (3)

Dimana ks adalah konstanta laju reaksi pseudo-orde kedua (g/mg min). Integrasi
persamaan tersebut dengan batas qt = 0 pada t = 0 dan qt = qt pada t = t akan
menghasilkan persamaan berikut :

= + (4)

Nilai qe diperoleh dari slope pada alur t/qt versus t, dan ks diperoleh dari intersepnya.
qe bisa diperoleh dari slope garis tersebut, ks bisa dihitung dari nilai ks (Ho et al.,
1999). Dimana qe : konsentrasi saat setimbang (mg/g), qt : konsentrasi zat teradsorpsi
pada waktu t (mg/g), t : waktu kontak (jam), kf : konstanta pseudo orde satu, dan ks :
konstanta pseudo orde dua.
22

2.1.7 Isoterm Adsorpsi


a. Isoterm Adsorpsi Langmuir
Proses adsorpsi dalam larutan, jumlah zat teradsorpsi tergantung pada
beberapa faktor, seperti : jenis adsorben, jenis adsorbat, luas permukaan
adsorben, konsentrasi zat terlarut, dan temperatur. Pada tahun 1918, Langmuir
menurunkan teori isoterm adsorpsi dengan menggunakan model sederhana berupa
padatan yang mengadsorpsi gas pada permukaannya. Model ini mendefinisikan
bahwa kapasitas adsorpsi maksimum terjadi akibat adanya lapisan tunggal
(monolayer) adsorbat di permukaan adsorben. Konstanta Langmuir adalah nilai
adsorpsi yang terjadi pada satu lapisan. Isoterm adsorpsi Langmuir digunakan untuk
menggambarkan adsorpsi kimia (Alberty et al., 1983).

Persamaan isotherm adsorpsi Langmuir dapat dijelaskan sebagai berikut


(Goksungup et.al, 2002):

= + (5)

Keterangan :

Q = masa yang teradsorpsi untuk tiap gram adsorben (mg/g)

Qmax = kapasitas adsorpsi maksimal (mg/g)

k = konsentrasi Langmuir (L/mg)

C = konstanta kesetimbangan adsorpsi (keadaan akhir) (mg/L)

Dengan membuat kurva 1/Q terhadap 1/C maka harga Qmax dan k dapat
dihitung dari slope dan intercept.

Energy adsorpsi merupakan jumlah energi elektrostatik dan energy adsorpsi


kimia yang terlibat dalam adsorpsi yang dapat dinyatakan sebagai energi bebas
23

standar adsorpsi (Oscik, 1982). Persamaan energy adsorpsi dapat ditulis seperti
persamaan 6.

Eadsorpsi = -ΔGo (6)

Harga ΔG dapat diukur dalam keadaan standar, sedangkan untuk sembarang


keadaan lainnya harga energi bebas Gibbs (ΔG) ditunjukkan pada persamaan 7.

ΔG = ΔGo + R T ln K (7)

Energy adsorpsi dapat dihitung dari harga K yang diperoleh dari persamaan
linier isoterm Langmuir.

b. Isoterm Adsorpsi Freundlich

Isoterm adsorpsi Freundlich menggambarkan adsorpsi yang terjadi pada


beberapa lapis dan ikatannya tidak kuat (Castellan, 1983). Isoterm Freundlich
menyatakan bahwa penyerapan senyawa organic oleh permukaan adsorben dalam
kondisi tertentu yang meliputi waktu kontak dan konsentrasi terjadi karena adanya
penyerapan secara fisika (Tchobanoglous, 1991). Persamaan adsorpsi Freundlich
dapat dituliskan sebagai berikut.

Q = bC1/n (8)

Jika persamaan tersebut dilogaritmakan akan membentuk persamaan :

log Q = log k + log C (9)

Keterangan :

Q : massa zat yang teradsorpsi tiap gram zat adsorben (mg/g)

C : konsentrasi larutan pada kesetimbangan (mg/L)

k : konstanta kesetimbangan adsorpsi


24

n : konstanta

2.1.8 Penetapan kadar tannin


Penetapan kadar tannin menggunakan metode spektrofotometer didasarkan
atas reaksi pembentukan warna yaitu reduksi ion ferri menjadi ion ferro oleh senyawa
tannin dan polifenolik lainnya, diikuti oleh pembentukan kompleks ferrisianida dan
ion ferro. Warna yang terbentuk diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 720 nm (Muhtady, 1999).
Pengukuran kadar tannin denga spektrofotometer uv-vis yaitu dengan pelarut
etanol 30, 50, dan 70 %, menggunakan metode total tannin yaitu dengan reagen folin
ciocalteu dan standar asam galat pada panjang gelombang 724,5 nm (Mailoa et al.,
2013). Sedangkan pengukuran kadar tannin pada buah salak dengan spektrofotometer
dengan menambahkan sodium tungsat, asam posfomolibdat dan asam posforat ke
dalam pelarut akuades. Campuran direfluks selama 2 jam dan didinginkan hingga
suhu 25 oC, dilarutkan sampai 1 L dengan akuades. Kemudian ditambahkan sodium
carbonat anhidrat, dilarutkan pada suhu 70 – 80 oC dan didinginkan satu malam.
Larutan standar dibuat dengan melarutkan asam tanat dalam air ( 1 mL = 0,1 mg).
larutan ditambahkan reagen Folin ciocalteu dan larutan Na2CO3 dan setelah 30 menit
diukur pada panjang gelombang 760 nm terhadap blanko yang disesuaikan pada
absorbansi 0 (Sumartha, 2000). Perhitungan kadar tannin dapat dihitung dengan
persamaan (1).
Kadar tannin (%(b/b)) = (10)

Dimana,

X=

Keterangan :

Y = Absorbansi Fp = Faktor pengenceran


25

2.2 Kerangka Pemikiran


Pemanis stevia merupakan alternatif pengganti pemanis buatan seperti
sakarin, aspartame, asulfam dan lain – lain. Rasa manis pada stevia disebabkan oleh
kandungan steviosida ( 3- 10% berat kering daun) dan rebaudioside (1 – 3%) yang
memiliki tingkat kemanisan 250 kali lebih manis dari sukrosa. Stevioside memiliki
keunggulan dibanding dengan pemanis buatan lainnya, yaitu stabil pada suhu tinggi
(100oC), range pH 3 – 9, dan tidak menimbulkan warna gelap pada waktu pemasakan
(Buchori, 2007).
Metode ekstraksi bahan alam yang paling umum dilakukan adalah refluks.
Pelarut yang digunakan akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang terdapat zat aktif sehingga zat aktif dapat terlarut. Karena adanya perbedaan
konsentrasi didalam dan diluar sel maka larutan yang terpekat akan terdesak keluar.
Keuntungan dari metode refluks ini adalah memperkecil kemungkinan kehilangan
pelarut jika digunakan pelarut yang mudah menguap.
Pelarut yang cocok digunakan dalam ekstraksi daun stevia adalah pelarut
polar misalnya air, etanol, dan metanol. Syarat pelarut yang baik adalah mempunyai
sifat daya larut dan selektivitas tinggi terhadap glikosida, tidak bereaksi atau merusak
senyawa yang diinginkan, setelah proses ekstraksi dapat dipisahkan dengan mudah,
tidak mempunyai efek racun, mudah didapat dan murah harganya.
Penggunaan pelarut etanol, air, dan etanol - air untuk sokletasi daun stevia
dinilai aman jika digunakan untuk konsumsi sehari – hari. Setelah direfluks larutan
stevia disaring dengan kertas saring. Ekstrak stevia berwarna hijau kecoklatan,
memiliki rasa sedikit getir dan pahit. Rasa getir dan pahit ini merupakan indikasi
adanya senyawa tannin. Selain itu, uji senyawa polihidroksil dengan menggunakan
pereaksi FeCl3 dari ekstrak daun stevia memberikan hasil positif yang ditandai
dengan warna hijau kehitaman (Asrilya, 2014). Selain itu juga dilakukan analisa
fitokimia lain untuk pengetahui senyawa kimia apa saja yang ada dalam ekstrak
stevia selain senyawa tannin.
26

Filtrat yang didapat dianalisa dengan Spektrofotometer UV untuk mengetahui


kadar senyawa tanin. Setelah itu dilakukan pemurnian ekstrak daun stevia dengan
adsorben arang aktif. Hal ini dilakukan untuk memisahkan senyawa tannin serta
memurnikan gula stevia. Filtrat hasil adsorbsi dianalisa dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui kadar tannin yang tersisa setelah
adsorbsi. Hasil yang diinginkan adalah kadar tannin yang rendah setelah adsorbsi.
Adsorpsi senyawa tannin dengan arang aktif dapat diperkirakan model
kinetika adsorpsi. Pada perhitungan kinetika adsorpsi menggunakan pseudo orde satu
dan pseudo orde dua. Dari perhitungan besaran – besaran dari model pseudo orde
satu dan model pseudo orde dua dapat diketahui nilai konstanta adsorpsi pseudo
order satu dan pseudo orde dua. Dari perhitungan isoterm adsorbsi Langmuir dan
Freundlich dapat diketahui besaran – besaran isoterm adsorbsi. Dapat diketahui nilai
Energi adsorpsi dari isoterm Langmuir dan konstanta adsorbsi dari Freundlich. Dari
besaran – besaran kinetika dan isoterm adsorbsi dapat diperkirakan mekanisme
adsorbsi senyawa tanin menggunkan arang aktif sesuai dengan adsorpsi fisik atau
adsorpsi kimia.

2.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran dan sejalan dengan rumusan masalah, maka
dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
a. Identifikasi fitokimia dari ekstrak stevia diperkirakan dalam ekstrak stevia
terkandung senyawa tannin, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, kardenolin
dan bufadienol.
b. Efektifitas arang aktif dalam memisahkan senyawa tannin dipengaruhi oleh
lamanya waktu kontak. Semakin lama waktu kontak arang aktif maka
dimungkinkan tannin yang terabsorbsi semakin banyak.
c. Kinetika adsorpsi senyawa tannin menggunakan arang aktif akan sesuai dengan
pseudo orde satu atau pseudo orde dua.
27

d. Isothermal adsorpsi senyawa tannin menggunakan arang aktif akan sesuai


dengan isoterm adsorpsi Langmuir atau Freundlich.

Anda mungkin juga menyukai