3/Jul-Sep/2012
89
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
90
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
91
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
92
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
93
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
dalam keadaan melawan hukum menjadi "dengan sengaja" dan dengan berbagai
tidak boleh. variasinya dimasukkan dalam rumusan
a. Tentang "dengan sengaja" tindak pidana. Pencantuman kata-kata
Kesengajaan adalah bentuk kesalahan, "dengan sengaja” dalam suatu rumusan
yaitu salah satu unsur yang menentukan tindak pidana karena harus dipahami
pertanggungjawaban pidana. Dengan bahwa hal itu dimaksudkan hanya untuk
demikian, kesengajaan (dan termasuk mempermudah penafsiran unsur-unsur
kealpaan) adalah syarat-syarat untuk berikutnya.
mempertanggung jawabkan seseorang Dalam tindak pidana penggelapan
yang melakukan tindak pidana. Sementara asuransi, "dengan sengaja" berarti adanya
itu, untuk dapat "kesadaran" dan "pengetahuan" atau
mempertanggungjawabkan seseorang `purposely" and "knowingly" (willen en
dalam hukum pidana, terlebih dahulu dapat wetten) pada diri pelaku ketika melakukan
dipastikan yang bersangkutan melakukan perbuatan yang secara materil melawan
tindak pidana. Tindak pidana adalah hukum,7 yaitu memiliki premi asuransi yang
perbuatan yang dilarang dan diancam ada padanya bukan karena kejahatan.
dengan pidana barangsiapa yang Dengan demikian, dalam membuktikan
melakukannya, dalam pengertian tindak adanya tindak pidana penggelapan
pidana tidak termasuk hal dapat asuransi, pertamatama harus nyata bahwa
dipertanggung jawabkannya orang pelaku dengan kesadaran dan
melakukan perbuatan itu. Konsekuensi dari pengetahuannya melakukan perbuatan
pandangan ini adalah pada dasarnya melawan hukum. Selain itu, perbuatan
kesengajaan seharusnya tidak dimasukkan melawan hukum tersebut ditujukan dengan
kedalam rumusan tindak pidana. kesadaran dan pengetahuannya pula untuk
Memang masalah kesengajaan melakukan perbuatan pemilikan premi
diperlukan dalam menentukan suatu yang ada padanya bukan karena kejahatan.
perbuatan sebagai tindak pidana. b.Tentang "melawan hukum"
Kesengajaan adalah bentuk ketercelaan "Melawan hukum" selalu menjadi unsur
yang umum atas suatu perbuatan. Pada mutlak setiap tindak pidana. Namun
dasarnya perbuatan yang dinyatakan demikian, baru harus dibuktikan apabila
sebagai tindak pidana adalah perbuatan menjadi bagian inti (be.rtanddee~ dari
yang dilakukan dengan kesengajaan tindak pidana yang didakwakan. Praktek
pembuatnya. Hanya terhadap perbuatan- peradilan menunjukkan adanya pergeseran
perbuatan tertentu yang dianggap penting paradigma ketika memberi arti tentang
yang sekalipun terjadi karena kealpaan unsur "dengan melawan hukum". Pada
pembuatnya, juga dinyatakan sebagai awalnya, "melawan hukum" diartikan
tindak pidana. Dengan demikian, kealpaan secara formil (bertentangan dengan
adalah bentuk ketercelaan yang khusus. perundangundangan) tetapi kemudian
Setelah menjadi dasar pertimbangan bergeser ke arah materil, yaitu selain
kriminalisasi, maka masalah kesengajaan bertentangan dengan peraturan
"disimpan" sampai nanti ada orang perundang-undangan, juga bertentangan
dipertangungjawabakan atas tindak pidana dengan rasa keadilan masyarakat. Lebih
tersebut. jauh lagi, pergeseran selanjutnya, melawan
Konsepsi sebagaimana tersebut di atas hukum materil juga diartikan dalam
digunakan dalam Rancangan KUHP. Namun
demikian berbeda halnya dengan KUHP 7
George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law
yang sekarang ini masih berlaku. Perkataan (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 440.
94
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
fungsinya yang positif, yaitu melawan hukum kita mengingat bunyi Pasal 1 ayat
hukum dalam arti sekalipun tidak (1) KUHP".9
bertentangan dengan perundangundangan Sementara itu, sekalipun Komariah E.
(melawan hukum formil), tetapi sepanjang Sapardjaja, mengakui adanya pergesaran
perbuatan terdakwa adalah "tindakan- paradigma melawan hukum, dari melawan
tindakan yang bersifat perbuatan tercela, hukum formil kepada melawan hukum
tidak sesuai dengan rasa keadilan, materil (kasus Machrus Efendi), dan
bertentangan dengan kewajiban hukum melawan hukum materil dari fungsinya
pelakunya, bertentangan dengan yang negatif menjadi melawan hukum
kesusilaan, atau bertentangan suatu materil dalam fungsinya yang positif (dalam
kepatutan", sudah dapat dikatakan kasus Sonson Natalegawa), tetapi beliau
melawan hukum (melawan hukum materiel tetap memandang sebaiknya melawan
dalam fungsinya yang positif). Demikian hukum hanya diterapkan dalam fungsinya
misalnya yang ini dikemukakan oleh yang negatif. Dalam hal ini beliau
Komariah E. Sapardjaja.8 menyatakan:
Berbeda dengan para praktisi (praktek "Khusus bagi Indonesia, walaupun
peradilan), kalangan akademisi justru penafriran itu dimungkinkan bahkan
umumnya justru menolak penerapan ajaran karena mengingat keadaan perundang-
melawan hukum materil dalam fungsinya undangan pidana Indonesia sekarang
yang positif. Misalnya Roeslan Saleh yang kadang-kadang diperlukan untuk
menyatakan sebagai berikut: mengantisipasi bentuk-bentuk k jahatan
`Pandangan mengenai melawan hukum baru, tetapi penafsiran ekstensif ini
materiil hanya mempunyai arti perlu dibatasi. Hendaknya untuk
memperkecualikan perbuatan yang membatasi penafsiran ekstensif tentang
mesrkipun termasuk dalam rumusan arti sifat melazvan hukum, setidak-
undang-undang dan karenanya dianggap tidaknya untuk menetapkan hilangnya
sebagai perbuatan pidana. Jadi suatu sifat melazvan hukum sebagai alasan
perbuatan perbuatan yang dilarang pembenar.... "10
undang-undang dapat dikecualikan oleh
aturan hukum tidak tertulis sehingga Dengan ini, berarti Komariah E.
tidak menjadi perbuatan pidana. Sapardjaja, juga berpendapat bahwa
Biasanya inilah yang disebut sebagai praktek peradilan yang menerapkan ajaran
fungsi negatif dari ajaran melawan melawan hukum materi dalam fungsinya
hukum materil. yang positif, harus dibatasi. Bahkan dengan
Fungsinya yang positif, yaitu walaupun menerima hal itu sebagai alasan pembenar,
tidak dilarang undang-undang tetapi maka hal ini berarti keinginan beliau
oleh ma yarakat perbuatan itu mengembalikannya kepada penerapan
dipandang tercela dan dengan itu perlu ajaran melawan hukum materil dalam
menjadikannya perbuatan pidana tidak fungsinya yang negatif.
mungkin dilakukan menurut sistem Sebenarnya tidak satupun ahli-ahli
hukum pidana (akademisi) dapat
9
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum
8
Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Perbuatan Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987),
Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia; hal.18.
Studi Tentang Penerapan dan Perkembangannya
10
dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002), hal. Komariah, Op.Cit.
225-226.
95
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
96
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
hukum materil dalam fungsinya yang tindak pidana asuransi adalah "setiap
positif. Berbeda halnya dengan tindak orang" yang terkait dengan usaha
pidana asuransi yang sekalipun mengingat perasuransian, karena sebenarnya dapat
addressat-nya dapat digolongkan sebagai dikatakan "penguasaan" atas premi
white collar crime, tetapi masih "ordinary" tersebut selalu terkait dengan jabatannya
sifatnya, sehingga tidak memerlukan "extra di perusahaan asuransi.
ordinary measures" dalam Ketika seseorang "memiliki" sesuatu,
penanggulangannya. maka padanya ada previlege untuk berbuat
apapun terhadap miliknya tersebut. Dalam
3. Unsur "memiliki premi asuransi yang tindak pidana penggelapan premi, "premi"
seluruh atau sebagian adalah disini harus dipahami sebagai "sejumlah
kepunyaan orang lain". uang". "Premi" adalah sebutan uang jasa
"Memiliki" adalah perbuatan aktif asuransi yang menjadi kewajiban
(commision), yaitu memperlakukan sesuatu tertanggung kepada penanggung. Dengan
seolah-olah sebagai miliknya sendiri, demikian, terhadap "uang premi" yang
padahal yang bersangkutan menyadari dan sebenarnya kepunyaan orang lain, pelaku
mengetahui bahwa seluruh atau sebagian telah menggunakannya, mengalihkannya,
dari sesuatu tersebut adalah milik orang memberikannya, menghilangkan-nya atau
lain. Sebelum melakukan perbuatan perbuatan apapun yang dengan itu dapat
"memiliki" disini, pelaku harus terlebih dinilai sebagai seolaholah miliknya sendiri
dahulu "menguasai" sesuatu tersebut. secara melawan hukum. Termasuk pada
Hanya saja dalam penggelapan, termasuk pengertian ini adalah apabila terjadi
penggelapan premi, penguasaan atas premi kelebihan pembayaran premi oleh
tersebut oleh pelaku bukan ditimbulkan tertanggung, tetapi ketika diminta untuk
oleh suatu kejahatan. Jadi hanya terjadi direstitusi (ditagih kembali), penanggung
karena hal-hal yang bersifat melawan mengelak dengan berbagai alasan.
hukum. Apakah sebagai titipan, Pada dasarnya pembayaran dan
penerimaan pembayaran ataupun kutipan penguasan premi secara tegas telah diatur
premi yang sah secara hukum. dalam Undang-Undang No. 73 tahun 1992
Selain dapat terjadi karena hal-hal yang tentang Penyelenggaraan Usaha
umum, "penguasaan" atas premi tersebut Perasuransian Pasal 22 ayat 1-3 berbunyi:
juga dapat terjadi karena hal-hal yang (1) Premi asuransi dapat dibayarkan
berhubungan dengan jabatan si pelaku. langsung oleh Tertanggung kepada
Mengingat tindak pidana penggelapan Perusahaan Asuransi, atau melalui
premi tidak membedakan apakah hal itu Perusahaan Pialang Asuransi untuk
dilakukan dalam kaitannya dengan jabatan kepentingan Tertanggung.
pelaku atau tidak. Tampaknya hal ini (2) Dalam hal premi asuransi
sengaja dilakukan oleh pembentuk Undang- dibayarkan melalui Perusahaan
Undang Asuransi, yaitu untuk mengarahkan Pialang Asuransi, Perusahaan
bahwa dalam tahap kebijakan aplikatif Pialang Asuransi wajib
(penerapan hukum), tidak pidana asuransi menyerahkan premi tersebut
memang selalu terkait dengan jabatan si kepada Perusahaan Asuransi
pelaku dalam usaha perasuransian. Hal ini sebelum berakhirnya tenggang
justru berbeda dari sistematika waktu pembayaran premi yang
penggelapan secara umum dalam KUHP. ditetapkan dalam polls asuransi
Dengan demikian, hal ini justru yang bersangkutan.
memperkuat argumentasi bahwa addresat
97
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
(3) Dalam hal penyerahan premi oleh pembayaran premi itu kepada Perusahaan
Perusahaan Pialang Asuransi Pialang Asuransi atau kepada Tertanggung
dilakukan setelah berakhirnya karena telah melewati batas waktu yang
tenggang waktu sebagaimana ditetapkan. Sebaliknya yang seringkali
dimaksud dalam ayat (2), terjadi adalah Perusahaan Asuransi tetap
Perusahaan Pialang Asuransi yang menerima pembayaran premi tersebut
bersangkutan wajib bertanggung yang senyatanya telah melewati batas
jawab atas pembayaran klaim yang waktu yang ditetapkan (oleh Perusahaan
timbul dari kerugian yang terjadi Asuransi). Permasalahan ini seharusnya
dalam jangka waktu antara tidak mungkin terjadi jika Perusahaan
habisnya tenggang waktu Asuransi tersebut tidak hanya memikirkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat aspek keuntungan semata.
(2) sampai dengan diserahkannya Hal yang lebih menarik lagi adalah jika
premi kepada Perusahaan Perusahaan Asuransi menerima
Asuransi.” pembayaran premi yang telah melewati
batas waktu yang ditetapkan, namun ketika
Namun demikian, dalam praktek bisnis Perusahaan Pialang Asuransi yang mewakili
asuransi saat ini, seringkali penguasaan atas Tertanggung melakukan klaim kepada
suatu premi menjadi dasar timbulnya Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
dispute yang berujung bagi para pihak pada tersebut dengan confidence menyatakan
saling melakukan tuntutan hukum. Hal ini bahwa klaim tersebut telah melewati batas
dimungkinkan karena memang aturan waktu pembayaran premi yang ditetapkan
hukum mengenai penguasaan premi ini kemudian premi tersebut dikembalikan
masih dapat diperdebatkan. Dalam banyak kepada Perusahaan Pialang Asuransi atau
praktek hubungan asuransi yang kepada Tertanggung.
dituangkan dalam suatu polis dikenal Disadari atau tidak oleh para pelaku
ketentuan mengenai `payment warranty bisnis asuransi, bahwasanya permasalahan
clause (30 days)", yaitu suatu ketentuan di di atas tentunya telah memasuki ruang-
mana seharusnya batas waktu pelunasan ruang lain selain ruang hukum asuransi
premi paling lambat 30 hari sejak semata, antara lain ruang hukum
dimulainya polis. Di mana hal ini biasanya perlindungan konsumen, ruang hukum
dijadikan dasar bagi Perusahaan Asuransi perdata bahkan juga telah memasuki ruang
untuk menolak klaim. hukum pidana.
Jika ketentuan `payment warranty Masuknya ke dalam ruang hukum
clause (30 days)" dikaitkan dengan bunyi perlindungan konsumen, karena memang
dari Pasal 22 ayat (2) di atas, memang secara nyata permasalahan tersebut telah
dinyatakan dengan tegas. Namun demikian, menimbulkan kerugian bagi Tertanggung
yang menjadi permasalahan utama yang selaku konsumen. Masuknya ke dalam
seringkali bersinggungan dengan aspek ruang hukum perdata, karena memang
hukum pidana Pasal 372 atau 378 adalah secara nyata permasalahan tersebut telah
bagaimana akibat hukumnya jika mengingkari Pasal 1320 dan 1338 dari Kitab
keterlambatan pembayaran premi tersebut Undang-Undang Hukum Perdata
tidak menjadi dasar bagi Perusahaan. (KUHPerdata). Masuknya ke dalam ruang
Asuransi untuk menolak pembayaran hukum pidana, karena memang
premi tersebut, atau dengan kata lain, permasalahan tersebut telah memenuhi
Perusahaan Asuransi tersebut sedari awal unsur-unsur delik sebagaimana yang
seharusnya menolak (mengembalikan) dimaksud dalam Pasal 372 dan 378 KUHP.
98
Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
B. Saran
Bahwa hal yang telah menjadi kebiasaan
yang dilakukan oleh Perusahaan Asuransi
yaitu menerima pembayaran premi yang
telah melewati batas waktu, seharusnya
tidak terjadi. Begitu pula bagi Tertanggung
atau Perusahaan Pialang Asuransi,
seharusnya mentaati ketentuan yang
termaktub dalam polis berkaitan dengan
pembayaran premi yang telah melewati
batas waktu. Jika demikian, maka tidak
perlu lagi ada dispute mengenai
penyelesaian permasalahan ini.
99