Anda di halaman 1dari 22

Perkembangan Visual dalam Teori Sekuritisasi

Arung Rhaka Agni, Dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D

1. Departement of Internasional Relations, Faculty of Social and Political Science, Universitas Indonesia,
Jl. Prof. DR. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424, Indonesia
2. Departement of Internasional Relations, Faculty of Social and Political Science, Universitas Indonesia,
Jl. Prof. DR. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424, Indonesia

E-mail: arungragni@gmail.com

Abstrak

Perkembangan teknologi media visual, kejadian fenomenal, dan perdebatan teoretis mengenai
hubungan visual dan kebijakan luar negeri mendorong para penulis keamanan untuk
memasukkan analisis visual dalam proses sekuritisasi. Tulisan ini berusaha mengaji
perkembangan tulisan-tulisan analisis visual dalam Teori Sekuritisasi. Pengelompokan literatur
dalam tulisan ini menggunakan metode tipologi. Tulisan ini mengidentifikasikan empat tema
besar yang umumnya menjadi fokus dalam pembahasan literatur mengenai visual dalam Teori
Sekuritisasi: pertama, perkembangan Teorisasi Sekuritisasi Visual; kedua, penggunaan
Sekuritisasi Visual oleh aktor sekuritisasi; ketiga, pembahasan visual dalam perannya untuk
membangkitkan emosi audiens dan; keempat, pembahasan dampak genre media sekuritisasi
visual atas konstruksi ancaman terhadap referent object. Dari keempat tema tersebut
pembahasan mengenai teori sekuritisasi visual merupakan pembahasan yang paling banyak
ditulis oleh para peneliti. Dengan mayoritas peneliti menuliskan pendefinisian Teori
Sekuritisasi Visual dan bagaimana sebuah visual dapat bekerja dalam kerangka kerja
sekuritisasi. Perdebatan yang muncul dari tulisan mayoritas ini adalah mengenai peran visual
dalam mengonstruksikan keamanan; apakah melalui speech-act atau dapat mengonstruksikan
keamanan dengan cara baru. Sementara itu, tema lain yang cukup banyak ditulis adalah
mengenai penilaian para peneliti tentang dampak genre visual atas konstruksi ancaman
terhadap referent object. Tulisan ini menemukan bahwa para peneliti keamanan melihat peran
sentral visual sebagai bagian dari proses sekuritisasi, tetapi masih belum sepakat mengenai
ketepatan peran visual dalam kerangka kerja sekuritisasi. Selain itu tulisan ini menemukan
bahwa simbol/ ikon merupakan genre visual yang memiliki kemungkinan sekuritisasi paling
tinggi, sebagai contoh gambar ikon ‘Aisha’ di sampul majalah TIME yang mendorong
terjadinya debat dalam hal keberlanjutan intervensi militer Amerika Serikat ke Afganistan.
Tulisan-tulisan yang membahas visual dalam Teori Sekuritisasi banyak berbicara mengenai
konsep internal dari sekuritisasi seperti peran visual dalam kerangka kerja speech-act. Namun,
sampai saat ini masih belum banyak tersedia tulisan yang membahas tentang peran emosi dan
peran audiens dalam konstruksi keamanan melalui visual.
Visual Developments in Securitization Theory

Abstract

The development of visual media technology, phenomenal events, and theoretical debates
regarding visual relations and foreign policy prompted security writers to include visual
analysis in the securitization process. This paper attempts to examine the development of visual
analysis writings in Securitization Theory. The literature grouping in this paper uses the
typology method. This paper identifies four major themes that are generally the focus in the
literature on visual discussions in Securitization Theory: first, the development of Visual
Securitization Theory; second, the use of Visual Securitization by securitization actors; third,
visual discussion in its role to evoke audience emotions and; fourth, the discussions of the
impact of the visual genre on threat construction of the referent object. From the four major
themes, the discussion most written by researchers is about visual securitization theory.
Majority of this writing is about the definition of Visual Securitization Theory and how a visual
can work within the framework of securitization. The debate that emerges from this majority
paper is about the visual position in constructing security, whether visual helps speech-act or
can construct security in a new way. Meanwhile, another theme that has been written quite
extensively is the researchers' assessment of the impact of the visual genre on threat
construction of the referent object. This paper finds out that security researchers see the central
role of visuals as a part of the securitization process, but they still disagree about the
appropriateness of visuals within the securitization framework. In addition, this paper finds out
that symbols/icons are visual genres that have the highest possibility of securitization, as an
example an iconic image of ‘Aisha’ on the cover of TIME magazine provokes the debate of
the continuation of US military intervention to Afghanistan. Writings that discuss visuals in
Securitization Theory mainly concern about the internal concept of securitization such as the
visual role in the speech-act framework. However, there are not many literature available
discussing the role of emotions and the role of audience in security construction through
visuals.

Keywords: Visual Securitization , visual and security policies, emotions.


Pendahuluan

Dalam Studi Keamanan, Teori Sekuritisasi pernah dipandang sebagai teori yang paling
dinamis, inovatif dan berguna dalam menjawab permasalahan mendasar Studi Keamanan:
“Apa itu yang disebut sebagai Keamanan?”1 Perdebatan Teori Sekuritisasi menjadi inovatif
dalam Ilmu Keamanan karena pemikir-pemikir konstruktivisme berusaha memasukkan
pendekatannya ke dalam studi yang didominasi oleh pemikiran-pemikiran tradisional, seperti
Realis dan Neo-realis.2 Hasil dari masuknya pendekatan ini adalah perubahan pendekatan
keamanan terhadap isu-isu keamanan kontemporer dalam Hubungan Internasional (HI).
Sejumlah tulisan yang dikembangkan oleh Barry Buzan, Ole Wæver , dan para kolaboratornya
ini kemudian dikenal sebagai tulisan Copenhagen School.
Tumbuhnya Teori Sekuritisasi dari Copenhagen School atau yang dapat disingkat CS
merupakan upaya dari kelompok widener dalam Studi Keamanan untuk memperluas definisi
keamanan yang tidak hanya memfokuskan objek keamanan pada negara saja, tetapi segala
referent object – baik itu manusia maupun wilayah – yang terancam dari bahaya militer
maupun non-militer.3 Sehingga keamanan merupakan bentuk yang subjektif bukan objektif.
Teori ini menekankan sekuritisasi sebagai sebuah speech act atau struktur retorika dari
pengambilan kebijakan yang berusaha membingkai sebuah masalah dan mengangkatnya
menjadi sesuatu yang lebih penting dari politik biasa seperti yang dijabarkan oleh John L.
Austin.4 Menurut Austin, terdapat tiga komponen speech act, yaitu (1) locutionary — ucapan
ungkapan yang mengandung rasa referensi tertentu, (2) illocutionary — tindakan yang
dilakukan dalam mengartikulasikan suatu kata dengan maksud, (3) perlocutionary — efek
konsekuensi atau sekuel yang ditujukan untuk membangkitkan perasaan, kepercayaan, pikiran
atau tindakan audiens.5 Untuk itu Teori Sekuritisasi CS melihat bahwa kata-kata digunakan

1
Barry Buzan, Ole Waever, and Jaap de Wilde, Security : A New Framework for Analysis, Lynne Rienner Pub.
(Boulder, 1998).
2
Felix Ciutǎ, “Security and the Problem of Context: A Hermeneutical Critique of Securitisation Theory,” Review
of International Studies 35, no. 2 (2009): 301–26, https://doi.org/10.1017/S0260210509008535.
3
Matt McDonald, “Securitization and the Construction of Security,” European Journal of International Relations
14, no. 4 (2008): 563–87, https://doi.org/10.1177/1354066108097553.
4
Saloni Kapur and Simon Mabon, “The Copenhagen School Goes Global: Securitisation in the Non-West,”
Global Discourse 8, no. 1 (2018): 1–4, https://doi.org/10.1080/23269995.2018.1424686.
5
Thierry Balzacq, “The Three Faces of Securitization: Political Agency, Audience and Context,” European
Journal of International Relations 11, no. 2 (2005): 171–201, https://doi.org/10.1177/1354066105052960.
oleh securitizing actor bukan hanya untuk mendeskripsikan kenyataan tapi juga merupakan
bagian dari kenyataan itu sendiri. Karena audiens berinteraksi dengan speech act yang
merupakan kata-kata, melalui aksi yang akan berkontribusi besar dalam perubahan kenyataan
isu-isu keamanan.6 Sehingga kata-kata menjadi hal yang sangat penting dalam melakukan
sekuritisasi sebagai sebuah speech act.
Namun pada abad ke-21, Teori Sekuritisasi sebagai speech act yang menitikberatkan
pada kata-kata dan linguistik mendapatkan tantangan dalam menjelaskan peran gambar dalam
membingkai keamanan. Dengan kemajuan media dalam memvisualisasi berita, gambar-
gambar menjadi informasi penting yang memiliki dampak besar bagi audiens maupun aktor-
aktor sekuritisasi. Bahkan dalam beberapa tulisan, terdapat argumen bahwa gambar atau visual
sendiri dapat melakukan sekuritisasi terhadap sebuah referent object.7 Sehingga Teori
Sekuritisasi CS yang pernah sangat mutakhir dalam studi keamanan mengalami tekanan untuk
melakukan evolusi.
Kesadaran untuk memasukkan analisis visual dalam Teori Sekuritisasi utamanya
didorong oleh peneliti-peneliti generasi baru dari CS seperti Lene Hansen, Rebecca Adler-
Nissen, dan Michael C. Williams. Para peneliti ini mendorong konsepsi Sekuritisasi Visual
sebagai usaha terdepan dalam memasukkan analisis visual ke ranah keamanan.8 Kelompok CS
ini kemudian menulis kajian-kajian tentang visual di bawah naungan pusat kajian yang
bernama Images and International Security di Universitas Kopenhagen, Denmark. Pusat kajian
ini berusaha memajukan penelitian tentang peran gambar atau visual dalam politik dunia.
Mereka melihat visual dapat menciptakan konflik, mendokumentasikan autokrasi, juga dapat
menunjukkan bagaimana pihak-pihak yang awalnya bermusuhan dapat bersatu. Menurut
mereka visual dapat berbicara tentang keamanan, tetapi aktor-aktor seperti pemerintah, para

6
Michael C. Williams, “Words , Images , Enemies : Securitization and International Politics,” International
Studies Quarterly 47, no. 4 (2003): 511–31.
7
Axel Heck and Gabi Schlag, “Securitizing Images: The Female Body and the War in Afghanistan,” European
Journal of International Relations 19, no. 4 (2013): 891–913, https://doi.org/10.1177/1354066111433896;
Matthew Kearns, “Gender, Visuality and Violence: Visual Securitization and the 2001 War in Afghanistan,”
International Feminist Journal of Politics 19, no. 4 (2017): 491–505,
https://doi.org/10.1080/14616742.2017.1371623; Erika Kirkpatrick, “Visuality, Photography, and Media in
International Relations Theory: A Review,” Media, War and Conflict 8, no. 2 (2015): 199–212,
https://doi.org/10.1177/1750635215584281.
8
“About the Project – University of Copenhagen,” accessed January 18, 2021, https://images.ku.dk/about/.
diplomat, para jurnalis, dan para aktivis berkompetisi untuk mendefinisikan apa sebenarnya
yang gambar bicarakan, sehingga diperlukan teori yang dapat menganalisis hal tersebut.9
Seperti yang dijabarkan oleh Buzan dan Hansen dalam The Evolution of International
Security Study, Studi Keamanan berevolusi karena tiga hal: teknologi, kejadian spektakuler,
dan dinamika debat akademis. Seperti teori-teori Studi Keamanan pada umumnya, ketiga hal
ini mendorong evolusi Teori Sekuritisasi memasukkan visual ke dalam analisis. Teknologi
komunikasi visual yang mengalami kemajuan secara pesat membuat gambar menjadi hal yang
pusat dalam pendistribusian informasi. Rekaman-rekaman dari pusat peperangan yang jauh
dapat dengan sekejap dibagikan oleh media televisi dan memiliki audiens yang global dengan
konteks yang berbeda-beda. Dengan kecanggihan ponsel pintar, masyarakat secara luas
memiliki kemampuan untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi data-data
visual yang beragam. Sehingga terjadi perubahan pola hubungan antara elite kebijakan,
audiens, dan keamanan yang belum pernah terjadi pada era sebelumnya.10
Kemajuan teknologi saja tidak akan cukup untuk mendorong evolusi Studi Keamanan
secara umum dan Teori Sekuritisasi secara khusus, jika tidak bersamaan dengan kejadian
spektakuler. Hal ini dibuktikan pada akhir tahun 90an hingga sekarang terdapat banyak
kejadian spektakuler yang penentuan pengambilan dan penghentian kebijakan luar negerinya
bersamaan dengan visualisasi media yang masif. Beberapa contoh seperti; penarikan pasukan
akibat kegagalan intervensi militer Amerika Serikat ke Somalia oleh Presiden Clinton yang
pada setiap perkembangannya disiarkan secara langsung oleh media visual pada tahun 1993;
kemudian siaran detik-detik runtuhnya Menara Kembar WTC dan gambar orang-orang yang
loncat dari gedung pada Serangan Teroris 11 September 2001 sebagai pelatuk mulainya era
Kebijakan Perang terhadap Teror Amerika Serikat oleh Presiden Bush; dan Krisis Kartun
Muhammad yang menyebabkan eskalasi konflik antara negara-negara Islam dengan Negara
Denmark serta negara-negara barat lainnya.11
Debat akademis dalam Studi Keamanan juga mendorong masuknya analisis visual ke
dalam Teori Sekuritisasi. Ilmuwan Hubungan Internasional memiliki tradisi untuk mengambil

9
“About the Project – University of Copenhagen.”
10
Barry Buzan and Lene Hansen, The Evolution of International Security Studies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), https://doi.org/10.1017/CBO9780511817762.
11
Lene Hansen, “Theorizing the Image for Security Studies: Visual Securitization and the Muhammad Cartoon
Crisis,” European Journal of International Relations 17, no. 1 (2011): 51–74,
https://doi.org/10.1177/1354066110388593.
inspirasi dari Ilmu Humaniora sebagai alat analisis, seperti teori-teori post-structuralism,
feminisme, dan postcolonialism.12 Ilmuwan keamanan adalah salah satu kelompok ilmuwan
HI yang mengambil inspirasi dari disiplin Humaniora. Pada tahun 90an, banyak dari mereka
mengambil inspirasi khususnya dari Studi linguistik. Fenomena penggunaan analisis linguistik
di dalam Studi Keamanan yang luas kemudian dikenal sebagai “linguistic turn” dalam Studi
Keamanan. Teori Sekuritisasi sebagai sebuah speech act pada dasarnya memiliki kemiripan
dari metode linguistik yaitu discourse analisis.13 Kemudian Studi Keamanan didorong untuk
kembali berevolusi karena adanya kemajuan teknologi dan kejadian-kejadian besar yang
dipengaruhi oleh gambar-gambar atau visual. Dorongan eksternal ini membuat ketertarikan
peneliti untuk menyelidiki pengaruh visual terhadap keamanan meningkat. Masuknya analisis
visual ke dalam Teori Sekuritisasi merupakan salah satu agenda “Visual Turn” dalam Studi
Keamanan.14 “Visual Turn” dalam Studi Keamanan mengambil inspirasi dari Studi
Kebudayaan, Studi Visual, dan berbagai macam bidang studi estetik seperti Sejarah Kesenian,
dan Studi Film.15
Sekuritisasi Visual bukan usaha pertama para ilmuwan untuk memasukkan analisis
visual ke dalam Studi Keamanan Internasional. Menurut Eytan Gilboa secara kronologis Teori
CNN Effect merupakan teori dengan agenda “Visual Turn” pertama yang berusaha
dikembangkan oleh para peneliti untuk membicarakan visual dalam keamanan. Pada awal
tahun 1990an, CNN Effect merupakan proyek yang digadang oleh ilmuwan Penelitian
Perdamaian (Peace Research) yang menginginkan adanya konsep atau model interaksi antara
media massa dan kebijakan luar negeri.16 Teori CNN Effect utamanya menggunakan contoh
intervensi-intervensi militer yang banyak dilakukan atas dasar kemanusian yang terjadi selepas
berakhirnya Perang Dingin. Namun menurut Piers Robinson, seorang wartawan dan Ilmuwan
Komunikasi, Teori CNN Effect terlalu menyederhanakan hubungan media visual dan kebijakan
luar negeri. Perdebatan dalam tulisan-tulisan mengenai CNN Effect hanya terbatas pada
dikotomi antara media yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, atau sebaliknya pemerintah

12
Hansen.
13
James Der Derian dalam Bleiker, Roland. Visual Global Politics. Abingdon, Oxon: Routledge, 2018
14
Iver B. Neumann, “Returning Practice to the Linguistic Turn: The Case of Diplomacy,” Millennium: Journal
of International Studies 31, no. 3 (2002): 627–51, https://doi.org/10.1177/03058298020310031201.
15
Neumann.
16
Eytan Gilboa et al., “Moving Media and Conflict Studies beyond the CNN Effect,” Review of International
Studies 42, no. 4 (2016): 654–72, https://doi.org/10.1017/S026021051600005X.
mempengaruhi media. Agenda penelitian yang demikian akhirnya tidak dapat secara baik
menjelaskan bagaimana visual mempengaruhi politik yang terjadi dalam pembentukan
kebijakan luar negeri.17 CNN Effect bisa menjelaskan pengaruh visual dalam konteks intervensi
kemanusiaan yang ada di tahun 1990an, tetapi tidak dapat menjelaskan hubungan pemberitaan
visual serangan teroris 11 September dan Krisis Penjara Abu Ghraib dengan kebijakan-
kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang mengikuti setelah kejadian tersebut. Hal ini
dikarenakan kasus 11 September dan Abu Ghraib memerlukan pemahaman visual sebagai
kondisi ontological-political bukan sebagai variabel. Maka para peneliti keamanan setuju
bahwa Teori Sekuritisasi Visual merupakan alat analisa yang cocok untuk menjelaskan kondisi
ini.18
Selain karena ketiga faktor tuntutan evolusi studi keamanan di atas, menurut Michaell
C. William, Teori Sekuritisasi memiliki kebutuhan untuk mengevolusi dirinya sendiri dengan
memasukkan analisis visual. Teori Sekuritisasi sebagai sebuah speech act merupakan
kontribusi ilmuwan konstruktivisme dalam studi keamanan. Namun William mengingatkan
bahwa teori ini memiliki akar realis dan secara praktik digunakan dalam konteks tradisi
otoriter. Teori Sekuritisasi memiliki kemiripan dengan analisis tentang politik milik Carl
Schmitt, seorang ahli hukum yang konservatif dari Jerman, ahli teori politik, dan anggota
terkemuka Partai Nazi.19 Menurut Schmitt pendefinisian politik terletak pada bagaimana aktor-
aktor yang terlibat dalam suatu masalah merasakan hubungan yang intens terhadap masalah
tersebut. Masalah atau isu menjadi politis bukan karena isi substantifnya, namun bagaimana
intensifikasi sebuah isu memiliki kemampuan absolut untuk membagi antara kawan dan musuh
dalam sebuah masalah. Kemudian Schmitt menambahkan bahwa aktor memiliki power sejati
ketika ia memiliki kemampuan yang berdaulat untuk memutuskan kebijakan dalam masalah
yang darurat. Sehingga dalam masalah darurat aktor-aktor yang berdaulat menunjukkan power
dengan membuat norma baru yang terpolitisasi, membuat seseorang atau suatu kelompok
menjadi teman maupun musuh, tanpa memperhatikan norma normal. Musuh politik menurut
Schmitt bukanlah kelompok dengan moral buruk atau secara estetika jelek, bukan pula terlihat
sebagai lawan ekonomi bahkan mungkin akan menjadi lebih bermanfaat untuk berbisnis

17
Piers Robinson, “The CNN Effect : Can the News Media Drive Foreign Policy ?” 25, no. September 2000
(2014): 301–9.
18
Hansen, “Theorizing the Image for Security Studies: Visual Securitization and the Muhammad Cartoon Crisis.”
19
C. Williams, “Words , Images , Enemies : Securitization and International Politics.”
dengannya, tetapi cukup perbedaan dan keanehan mereka yang membuatnya secara natural
bisa menjadi musuh.
Kedua aspek yang sama dengan pemikiran Carl Schmitt inilah menurut Williams harus
membuat para ilmuwan CS melihat visual dengan serius, jika mereka ingin etika dari Teori
Sekuritisasi CS tetap dipertahankan.20 Schmitt melihat bahwa hubungan yang intens terhadap
sebuah isu, bukan isi substantif, yang menentukan bahwa sesuatu itu “politik”, begitu pula CS
melihat semua isu memiliki potensi untuk di-sekuritisasi hingga isu tersebut disajikan dan
diterima sebagai ancaman eksistensi audiens. Implikasinya adalah digunakannya Teori
Sekuritisasi untuk memobilisasi kekuatan mitos dalam memproduksi perbedaan teman dan
lawan, dan memaksakan pengambilan kebijakan yang tersentralisasi kuat hingga
menjustifikasi kediktatoran. Segala bentuk kekerasan akibat politik yang membeda-bedakan,
dan irasional harus dilihat sebagai bentuk lain dari speech-act dan harus diberlakukan secara
objektif. CS menyadari kemungkinan fenomena sosial ini dan implikasinya terhadap
penggunaannya yang berbahaya. Sehingga secara garis besar rekomendasi CS adalah
sekuritisasi melalui speech act harus dihindari. Secara keilmuan CS juga mengembangkan
konsep desekuritisasi dan asekuriti sebagai bagian integral dalam proses yang ada dalam Teori
Sekuritisasi. Namun dengan masifnya perubahan produksi dan pendistribusian visual, Teori
Sekuritisasi belum mampu menjelaskan perbedaan institusi dan proses sekuritisasi di era media
visual abad ke-21 dari era sebelumnya yang berbasis teks.
Mengingat pentingnya Teori Sekuritisasi dari CS terhadap pemahaman public
discourse kebijakan luar negeri, maka masuknya analisis visual ke dalam Teori Sekuritisasi
penting untuk dipelajari lebih lanjut. Analisis visual atau visual turn masih menjadi masalah
yang dikesampingkan dalam pemahaman Hubungan Internasional yang mainstream. Padahal
seharusnya tulisan mengenai visual dalam Hubungan Internasional bisa membantu
mencerminkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh dunia nyata. Apalagi Teori
Sekuritisasi CS memiliki kemungkinan digunakan dalam konteks yang bertentangan dengan
perdamaian dunia. Sehingga pada prinsipnya tidak dimasukkannya analisis visual dalam Teori
Sekuritisasi pada akhirnya akan berdampak pada implikasi etis yang berusaha untuk
dipertahankan oleh CS.
Untuk menjawab berbagai permasalahan di atas, maka perlu adanya tulisan yang dapat
merangkum perkembangan analisis visual dalam Teori Sekuritisasi CS . Tulisan ini merupakan
salah satu usaha awal pemetaan dari tulisan-tulisan yang memasukkan analisis visual ke dalam

20
C. Williams.
Teori Sekuritisasi CS. Sehingga tulisan ini mengajukan pertanyaan utama yaitu “Bagaimana
perkembangan literatur akademik menjelaskan analisis visual dalam teori sekuritisasi?”
Terdapat tiga alasan penting untuk membahas masuknya analisis visual ke dalam Teori
Sekuritisasi dari CS. Pertama, Teori Sekuritisasi Visual dapat menjadi teori sederhana yang
memberikan kerangka ontologis media gambar/visual dan kebijakan keamanan luar negeri
yang selama ini belum didapatkan oleh penulis Studi Keamanan dalam Hubungan Internasional
dan Studi Komunikasi dan Media. Kedua, adalah alasan empiris. Diskursus publik mengenai
keamanan pada abad ke-21 telah jauh berbeda daripada sebelum Perang Dunia Kedua. Akibat
dari teknologi yang lebih maju, aliran informasi berbasis gambar/visual dapat diproduksi dan
dikonsumsi oleh sejumlah masyarakat yang di era sebelumnya tidak pernah mungkin. Alasan
Ketiga adalah relevansinya bagi Indonesia. Tulisan dalam Bahasa Indonesia mengenai analisis
visual dalam Studi Keamanan pada umumnya dan Teori Sekuritisasi Visual pada khususnya
masih belum ada.

Tinjauan Teoretis

Dari bacaan awal, terdapat empat tema dominan dalam perkembangan literatur yang membahas
mengenai visual dalam Teori Sekuritisasi. Tema pertama adalah perkembangan Teorisasi
Sekuritisasi Visual. Terdapat tiga pembahasan dominan dalam tema ini. Pembahasan pertama
adalah perkembangan awal wacana hubungan visual dan kebijakan keamanan pra tragedi 9/11
yang mencakup dari kajian Penelitian Perdamaian Liberal, literatur gagalnya CNN Effect dan
Manufacturing Consent/Indexing Hypothesis, kritik tentang teori hubungan media
visual/gambar dengan kebijakan luar negeri yang ada pada pra Kejadian 9/11. Pembahasan
kedua adalah kajian yang mendorong peneliti keamanan untuk melibatkan visual/gambar ke
dalam analisis sekuritisasi. Pembahasan ketiga adalah teorisasi Sekuritisasi Visual. Kenyataan
dunia dan tuntutan dari akademisi mendorong pemikir-pemikir keamanan, khususnya Ilmuwan
Teori Sekuritisasi untuk memasukkan pendekatan visual dalam analisisnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pendekatan visual dalam sekuritisasi merupakan bidang keamanan yang
masih terus gencar diperdebatkan oleh Ilmuwan-ilmuwan. Sehingga perkembangan
pembentukan konsep Sekuritisasi Visual menjadi penting untuk menjawab dasar dari analisis
visual dalam Sekuritisasi. Pembahasan mengenai perkembangan konsep-konsep sekuritisasi
dengan analisis visual akan memberikan pemahaman mengenai ontologi dan epistemologi
konsep ini.
Tema kedua adalah penggunaan Sekuritisasi Visual oleh aktor sekuritisasi. Terdapat
dua pembahasan dominan dalam literatur ini. Pembahasan pertama berbicara mengenai siapa
yang dapat menggunakan visual sebagai alat dalam melakukan sekuritisasi. Meskipun secara
teoretis Aktor Sekuritisasi terbuka kepada entitas apa pun, selama mereka dapat berbicara
keamanan, tetapi kebanyakan yang memiliki kemampuan tersebut adalah kelompok elite
politik yang mendapatkan legitimasi untuk berbicara dalam artikulasi dan penunjukan
ancaman. Sedangkan dalam kasus sekuritisasi melalui visual, banyak aktor sekuritisasi bukan
dari institusi resmi melainkan berasal dari media, seniman, maupun warga biasa dengan alat
rekam. Selain itu pertanyaan tentang visual yang dapat melakukan sekuritisasi dengan
sendirinya juga dibahas dalam literatur penggunaan Sekuritisasi Visual oleh aktor sekuritisasi.
Pembahasan kedua melihat bagaimana strategi aktor sekuritisasi menggambarkan tentang
referent object atau ancaman melalui visual. Pembicaraan mengenai bagaimana strategi aktor
sekuritisasi mengonstruksikan keamanan dan ancaman, hingga saat ini, bertumpu pada konsep
speech-act yang berdasarkan kata-kata. Melalui kata-kata, strategi mengonstruksikan ancaman
dapat dengan narasi us vs other. Namun, terdapat tantangan terhadap bagaimana keamanan
terkonstruksi dengan adanya kenyataan visual yaitu bertambahnya kepadatan 'komunikasi
keamanan' antara semakin banyak aktor dan semakin banyak audiens. Dengan keambiguan dari
maksud sebuah visual dan mudahnya gambar disebarkan dari berbagai aktor ke banyak
audiens, yang memiliki konteks kebudayaan yang berbeda, maka penafsiran terhadap
konstruksi keamanan juga memiliki penafsiran yang berbeda. Baik itu karena memang terdapat
perbedaan konteks kebudayaan antara tempat asal visual dan tempat visual diamankan, unsur
kesengajaan oleh aktor yang melakukan securitization move, atau terdapat berbagai langkah
pengamanan yang bersaing antar-aktor.
Tema ketiga adalah pembahasan visual dalam perannya dalam membangkitkan emosi
audiens. Terdapat literatur yang signifikan dalam membahas emosi audiens yang dibangkitkan
oleh visual/gambar yang kemudian mempengaruhi kebijakan keamanan luar negeri. Hal ini
menjadi penting untuk dibahas karena selama ini Studi Hubungan Internasional melalui
paradigma-paradigmanya melihat aktor-aktor Internasional sebagai aktor rasional yang
menghasilkan kebijakan yang merupakan hasil diskursus yang dipikirkan secara rasional.
Namun menurut Daniel Kahneman, dalam bukunya Thinking, Fast, and Slow, pada
kenyataannya aktor-aktor yang menjadi bagian dari pembentukan kebijakan ini memiliki cara
berpikir yang bias dan heuristis. Studi Keamanan Internasional sejak lama juga menggunakan
asumsi bahwa para aktor keamanan adalah individu maupun institusi yang rasional. Padahal
sesungguhnya menurut Kahneman, manusia bertindak dan bereaksi menggunakan dua proses
otak: sistem satu dan sistem dua. Sistem satu merupakan sistem cara berpikir yang beroperasi
secara otomatis dan cepat, dengan sedikit atau tanpa usaha dan tanpa rasa kendali sukarela.
Sedangkan sistem dua merupakan sistem cara berpikir yang mengalokasikan perhatian pada
aktivitas mental yang menuntut usaha lebih, termasuk perhitungan yang rumit, dan sering
dikaitkan dengan pengalaman subjektif dari agensi, pilihan, dan konsentrasi. Sistem satu sangat
emosional karena cepat. Hal ini menyebabkan manusia berpikir dengan cara pintas, atau yang
disebut heuristis, yang memungkinkan kita berfungsi dengan cepat dan efektif. Namun
heuristis merupakan penyederhanaan (kira-kira, aturan praktis) untuk membuat penilaian yang
sulit. Ketergantungan pada heuristis menyebabkan bias atau kesalahan sistematis dalam reaksi
mereka.21 Konsekuensi dari manusia yang memiliki bias dan berpikir secara heuristis
berpengaruh dalam Teori Sekuritisasi Visual dalam dua hal: pertama, bagaimana aktor
keamanan menggunakan emosi dalam memanfaatkan ke-bias-an audiens melalui visual untuk
mendukung proses sekuritisasi (securitizing move) dan kedua, bagaimana ke-bias-an audiens
dapat merespons proses sekuritisasi (securitizing move) melalui visual. Selain itu kita dapat
melihat bahwa kebijakan keamanan yang idealnya merupakan hasil deliberasi panjang sering
merupakan hasil dari tekanan audiens yang tergerak emosinya. Begitu pula sebaliknya
kegagalan aktor sekuritisasi untuk menarik emosi dari audiens merupakan kegagalan
sekuritisasi secara keseluruhan. Meskipun terdapat kenyataan ini, tetapi banyak tulisan
mengenai Teori Sekuritisasi maupun Teori Sekuritisasi Visual belum mendalami peran emosi
dalam proses sekuritisasi.
Tema keempat adalah pembahasan dampak genre media sekuritisasi visual atas
konstruksi ancaman terhadap referent object. Dalam membahas tentang pengaruh visual dalam
kebijakan keamanan luar negeri, penulis-penulis seperti Lene Hansen, Heck, dan Kirkpatrick
melihat bahwa terdapat perbedaan dalam variasi jenis atau genre media visual dalam
menggambarkan referent object dengan pengaruhnya terhadap proses sekuritisasi.
Keterbukaan konseptual dari CS dalam melihat referent object sebagai sesuatu yang
dikonstruksikan dan bukan sesuatu yang objektif membuat tingkat keberhasilan securitization
move sangat bergantung dari kondisi yang memfasilitasi. Penggambaran referent object
melalui berbagai genre berkaitan erat dengan kondisi yang memfasilitasi karena tiga hal:

21
Daniel Kahneman, Thinking, Fast, and Slow, Farrar, Straus and Giroux, 1st ed. (New York, 2013),
https://doi.org/10.1007/s00362-013-0533-y.
“apakah penggambaran referent object melalui genre tertentu sudah cukup berbicara secara
politik tentang keamanan?”, “apakah penggambaran referent object melalui genre tertentu
mendukung audiens untuk menerima otoritas aktor dalam berbicara keamanan?”, “apakah fitur
ancaman terhadap referent object digambarkan secara baik melalui genre tertentu?”
Berikut adalah pengelompokan literatur berdasarkan metode typology tersebut.

Tabel 1.1 Perkembangan Aspek Visual dalam Teori Sekutitisasi

Perkembangan Awal Wacana Galtung & Ruge (1965), Ostgaard (1965), Schoor (1998),
Hubungan Visual dan Livingston & Eavis (1995), Neuman (1996), Jakobsen
Kebijakan Keamanan Pra (1996), Jakobsen (2000), Feist (2001), Robinson (2002),
Tragedi 9/11 Gilboa (2005), Robinson (2014), Gilboa et al (2016).
Pentingnya Visual untuk Brink (2000), Zerubauel (2004), Welzer (2002), Sontag
Masuk ke Dalam Teori (2002), Campbell & Saphiro (2007), William (2003),
Sekuritisasi Paska Tragedi Möller (2007), Hansen (2011).
9/11
Teorisasi sekuritisasi visual Debrix (2006), Möller (2007), Horst (2007), Mcdonald
(2008), Hansen (2011), Costcun (2012), Rørbaek (2012),
Heck & Schlag (2013), Hansen (2015), Kardas & Yesiltas
(2017).

Tabel 1.2 Penggunaan Sekuritisasi Visual oleh Para Aktor Sekuritisasi

Mcdonald (2008), Vuori (2010), Hansen


Perdebatan Aktor Pengguna Sekuritisasi Visual
(2011), Simon (2012), Heck & Schlag
(2013), Witjes & Olbrich (2017).
Coupe (1969), Duus (2001), Hansen (2006),
Strategi Aktor dalam Menggambarkan Referent
object atau Ancaman melalui Visual Hansen (2011), Rørbek(2012), Heck &
Schlag (2013), Kardas & Yesiltas (2017).

Tabel 1.3 Pembahasan Visual dalam Perannya Membangkitkan Emosi Audiens


Perkembangan Konsep Audiens dalam Teori Balzacq (2005), Stitzel (2007), Salter (2008),
Sekuritisasi Visual Cavelty (2008), Vuori (2008), Vaughn
(2009), Leonard & Kaunart (2010).
Visual sebagai Pembangkit Emosi Audiens Brink (2000), Weltzer (2002), William
dalam Proses Sekuritisasi (2003), Aradau (2009), Abramsen (2005),
Vuori (2008), Barthwal-Datta (2009),
Hansen (2011).

Tabel 1.4 Dampak Genre Media Sekuritisasi Visual atas Konstruksi Ancaman terhadap
Referent Object

Vuori (2010), Hansen (2011), Andersen &


Menilai Tingkat Keaslian Penggambaran
Ancaman terhadap Referent Object berdasarkan Möller (2013), Heck & Schlag (2013),
Genre Visual Kirkpatrick (2015), Andersen (2017),
Grayson & Mawdsley (2019), Madarin
(2019)
Menilai Tingkat Pernyataan Politik dalam Campbell (2003), Hansen (2001), Heck &
Penggambaran Ancaman terhadap Referent
Schlag (2013), Heck (2017), Andersen
Object berdasarkan Genre Visual
(2017), Witjes & Olbrich (2017).
Coskun (2012), Heck & Schlag (2013), Friss
Menilai Tingkat Respons Audiens atas
Penggambaran Ancaman terhadap Referent (2015), Hansen (2017), Andersen (2017),
Object berdasarkan Genre Visual Witjes & Olbrich (2017), Grayson &
Mawdsley (2019).

Metode Penelitian

Tinjauan pustaka ini menggunakan empat tahapan utama dalam penulisannya. Pertama,
mengumpulkan literatur yang relevan dengan kajian Teori Sekuritisasi Visual. Kedua,
membaca referensi yang telah dikumpulkan, lalu memahami tentang konteks literatur tersebut,
dan mengidentifikasi argumen dalam literatur tersebut. Ketiga adalah mengelompokkan
berdasarkan argumen yang dikemukakan oleh penulis literatur tersebut. Keempat dan tahapan
terakhir adalah memahami celah yang ada dalam kelompok literatur beserta kelebihan dan
kekurangan kelompok literatur tersebut.
Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan literatur-literatur, masuknya analisis visual ke dalam Teori Sekuritisasi bukanlah


usaha pertama yang mendorong masuknya analisis visual ke dalam Studi keamanan. Terdapat
beberapa tulisan yang membahas mengenai hubungan kebijakan luar negeri dan visual dengan
latar belakang masa Perang Dingin hingga sebelum Tragedi 9/11. Ilmuan Perdamaian Liberal
menuliskan mengenai bagaimana visual digunakan oleh kedua polar sebagai alat propaganda
dengan latar belakang puncak Perang Dingin. Tulisan-tulisan mengenai Teori CNN Effect dan
Manufacturing Consent/Indexing Hypothesis merupakan usaha dari Ilmuan Perdamaian
Liberal untuk melihat hubungan antara media visual dan kebijakan luar negeri dengan latar
belakang berakhirnya perang dingin dan awal tahun 2000-an. Namun karena pembentukan
teorinya dalam format sebab-akibat, kedua teori ini memiliki banyak kekurangan. Hal ini
disebabkan karena Tulisan-tulisan CNN Effect dan Manufacturing Consent/Indexing
Hypothesis menempatkan visual hanya sebagai satu variabel tanpa kompleksitas yang lebih.
Kemudian para Ilmuan Keamanan mulai merefleksikan teori yang ada di dalam tubuh Studi
Keamanan untuk menjelaskan letak visual di dalam keamanan di era Paska Tragedi 9/11. Pada
waktu yang bersamaan terdapat tulisan-tulisan yang berusaha mengonsepkan visual sebagai
alat politik antagonistis milik tradisi Schmittian, mendefinisikan Teori Sekuritisasi Visual dan
memberikan kerangka kerja yang dapat menunjukkan letak visual dalam speech act.
Berdasarkan tinjauan literatur-literatur, penggunaan sekuritisasi berdasarkan aktor
berkembang dalam dua kelompok literatur. Dalam kelompok pertama, terdapat tulisan yang
masih melihat aktor keamanan tradisional sebagai pengguna visual dalam proses sekuritisasi,
dan terdapat tulisan yang melihat aktor keamanan non tradisional mendapatkan kesempatan
lebih untuk menggunakan visual dalam proses sekuritisasi. Pada kelompok kedua, terdapat
tulisan yang membahas mengapa pembahasan strategi aktor sekuritisasi dalam penggambaran
ancaman terhadap referent object dan ancaman menjadi penting dalam sekuritisasi visual, dan
terdapat tulisan yang membahas strategi apa yang digunakan oleh aktor sekuritisasi visual
dalam menggambarkan ancaman terhadap referent object dan ancaman.
Berdasarkan tinjauan literatur-literatur, tulisan mengenai visual dalam perannya
membangkitkan emosi audiens terbagi dalam dua kelompok literatur. Kelompok literatur
pertama membahas perkembangan konsep audiens dalam Teori Sekuritisasi yang membahas
pemahaman CS terhadap peran audiens dalam sekuritisasi, kritik terhadap konseptualisasi dari
audiens dalam CS, dan pemahaman baru terhadap peran audiens dalam proses sekuritisasi.
Kelompok literatur kedua membahas strategi aktor dalam menggambarkan ancaman terhadap
referent object. Dalam kelompok literatur ini masih belum terdapat kesinambungan antara satu
literatur dengan literatur lain. Setiap tulisan mengonsepsikan peran visual untuk membangun
emosi audiens dengan caranya sendiri-sendiri. Namun setiap tulisan menekankan konteks yang
tertanam dalam setiap diskursus yang melibatkan visual.
Berdasarkan tinjauan literatur-literatur, dampak genre media visual atas konstruksi
ancaman terhadap referent object dapat dinilai dari tiga klaim epistemik politik. yaitu: (1) jenis
klaim yang dibuat genre visual tentang penggambaran dengan kejadian asli, (2) sejauh mana
sebuah genre terlihat membuat pernyataan politik yang eksplisit, (3) signifikansi bentuk
respons audiens yang dibangun atau diharapkan. Literatur-literatur menunjukkan bahwa
fotografi, video tak bernarasi, dan citra satelit merupakan kelompok visual yang memiliki
klaim paling akurat dan autentik dalam penggambaran kejadian asli, namun memiliki tingkat
keterlibatan dengan politik secara eksplisit paling rendah. Hal ini menyebabkan kelompok
genre di atas rentan terhadap pencabutan maksud politis atau non politis dari produsen di awal
pembuatan visual. Kelompok genre ini juga memerlukan bantuan interteks untuk berbicara
perlunya perlindungan referent object. Harapan reaksi audien pada genre ini adalah bangkitnya
emosi tetapi belum ada panggilan untuk mensekuritisasi sebuah isu tanpa adanya interteks yang
immediate. Literatur-literatur yang membahas simbol dan ikon menyatakan bahwa genre ini
tidak melakukan penggambaran asli tetapi dapat mencerminkan kenyataan atau dengan kata
lain ambigu. Keambiguan ini menurut literatur-literatur merupakan kekuatan dari ikon dan
simbol dalam merepresentasikan referent object. Keterlibatan audiens dalam
menginterpretasikan maksud dari genre ini adalah sesuatu yang krusial. Namun konteks sosial
dan interteks juga merupakan hal yang menentukan seberapa baik simbol dan ikon berbicara
tentang keamanan. Genre performatif seperti kartun dan video bernarasi merupakan genre
dengan distorsi penggambaran paling tinggi. Penyebab distorsi ini adalah penggunaan awal
sebagai kritik melalui ironi bagi kartun dan pengaruh naratif yang besar di video bernarasi.
Namun dengan begitu genre performatif merupakan genre yang memiliki keterlibatan politik
paling besar dibandingkan dengan genre lain. Kemampuan kartun dan video bernarasi untuk
berbicara sesuatu membawa audiens untuk memiliki ekspektasi bahwa genre performatif
mendorong makna tertentu dan mengurangi makna lain.
Masih terdapat beberapa celah literatur yang perlu diteliti lebih lanjut bagi penelitian
Teori Sekuritisasi Visual. Para peneliti belum menuliskan bagaimana analisis visual dapat
membahas desekuritisasi, yang juga merupakan salah satu konsep sentral dalam sekuritisasi.
Para peneliti juga belum mengelaborasi strategi aktor lebih lanjut. Para penulis juga belum
menuliskan emosi sebagai salah satu bagian ontologis keamanan. Tulisan-tulisan di atas juga
masih belum membahas mengenai hubungan genre lain yang lebih canggih seperti computer-
generated imagery (CGI), video game, atau jenis lukisan kontemporer maupun klasik.

Kesimpulan

Maka kesimpulan dari TKA ini adalah para peneliti keamanan melihat visual dapat menjadi
bagian dari speech act dan/atau melakukan gerakan sekuritisasi. Hal ini disebabkan belum
adanya perdebatan yang konklusif mengenai bagaimana visual berbicara. Sehingga penulis-
penulis yang memiliki ketertarikan dengan hubungan antara kebijakan luar negeri dan visual
belum dapat merujuk pada satu sumber definisi. Apakah visual dapat berbicara sendiri atau
memerlukan interteks yang dekat. Selain itu pembahasaan eksternal yaitu teorisasi mengenai
konteks sosial dan bagaimana visual berbicara masih belum mencapai titik yang memuaskan.
Literatur yang sudah ada belum melihat bagaimana struktur mempengaruhi hubungan dengan
visual yang membicarakan keamanan. Kesimpulan lain adalah pentingnya landasan ontologis
emosi sebagai bagian dari Studi Keamanan tidak sebanding dengan usaha penulisan untuk
mengelaborasinya. Ketika para penulis visual membicarakan dampak genre dalam
merepresentasikan referent object dan hubungannya dengan emosi, masih terdapat kegagalan
dalam membicarakan emosi sebagai bagian dari kerangka berpikir. Emosi masih menjadi
bagian dari kenyataan dalam hubungan internasional namun tidak memiliki tempat dalam teori.
Saran

Berdasarkan hasil tinjauan pustaka, tulisan ini memberikan tiga rekomendasi, yaitu
rekomendasi untuk penelitian akademik, rekomendasi untuk unit-unit yang terlibat dalam
pembentukan kebijakan keamanan, dan rekomendasi untuk Indonesia. Dalam ranah akademik,
kajian literatur merekomendasikan para peneliti untuk menjawab celah penelitian keamanan
yang ada dalam kajian pustaka ini. Penelitian mengenai Teori Sekuritisasi Visual masih
memiliki banyak konsep yang kurang teorisasi walaupun secara empiris visual terus
mempengaruhi ranah keamanan. Selanjutnya, tulisan ini mengingatkan kembali kepada unit-
unit yang terlibat proses sekuritisasi dalam beberapa hal. Pertama visual memiliki peran dalam
konstruksi keamanan. Setiap unit keamanan merupakan individu maupun sekelompok individu
yang rentan terhadap konstruksi ide, salah satunya melalui visual. Kedua pengakuan bahwa
individu memiliki kerentanan terhadap manipulasi emosi melalui visual merupakan salah satu
langkah untuk menghasilkan kebijakan keamanan yang baik. Tulisan ini merekomendasikan
beberapa hal untuk Indonesia. Masyarakat dan Pemerintah Indonesia harus menyadari
kekuatan dan bahaya dari visual untuk melakukan sekuritisasi. Kehati-hatian dalam melakukan
retorik dan penggunaan visual yang memecah audiens menjadi us vs the other merupakan hal
yang imperatif bagi setiap pembuat kebijakan.

Daftar Refrensi

Andersen, Rune S., and Frank Möller. “Engaging the Limits of Visibility: Photography,

Security and Surveillance.” Security Dialogue 44, no. 3 (2013): 203–21.

https://doi.org/10.1177/0967010613484955.

Andersen, Rune S. “Video, Algorithms and Security: How Digital Video Platforms Produce

Post-Sovereign Security Articulations.” Security Dialogue 48, no. 4 (2017): 354–72.

https://doi.org/10.1177/0967010617709875.

Balzacq, Thierry. “The Three Faces of Securitization: Political Agency, Audience and

Context.” European Journal of International Relations 11, no. 2 (2005): 171–201.

https://doi.org/10.1177/1354066105052960.

Bennett, W, Lance. “Toward a Theory Of Press-State Relations in the United States.” Journal

of Communication 40, no. 2 (1990): 103–27.

Brody, Richard A., and Jonathan Mermin. Debating War and Peace: Media Coverage of U.S.

Intervention in the Post- Vietnam Era. The American Political Science Review. Vol. 94,

2000. https://doi.org/10.2307/2585865.

Buzan, Barry, and Lene Hansen. The Evolution of International Security Studies. Cambridge:

Cambridge University Press, 2009. https://doi.org/10.1017/CBO9780511817762.

Buzan, Barry, Ole Waever, and Jaap de Wilde. Security : A New Framework for Analysis.
Lynne Rienner Pub. Boulder, 2018.

C. Williams, Michael. “Words , Images , Enemies : Securitization and International Politics.”

International Studies Quarterly 47, no. 4 (2003): 511–31.

Campbell, David. “Cultural Governance and Pictorial Resistance: Reflections on the Imaging

of War.” Review of International Studies 29, no. SPEC. ISS. (2003): 57–73.

https://doi.org/10.1017/S0260210503005977.

Campbell, David, and J. Michael Shapiro. “Guest Editors’ Introduction.” Security Dialogue

38, no. 2 (2007): 131–37. https://doi.org/10.1177/0967010607080596.

Chomsky, Noam, and Edward S. Herman. Manufacturing Consent: The Political Economy of

the Mass Media. Random House, 2010.

Ciutǎ, Felix. “Security and the Problem of Context: A Hermeneutical Critique of Securitisation

Theory.” Review of International Studies 35, no. 2 (2009): 301–26.

https://doi.org/10.1017/S0260210509008535.

Compaine, Benjamin. “Global Media.” Foreign Policy 53, no. 133 (November 2002): 20.

https://doi.org/10.2307/3183548.

Coskun, Bezen B. “Words, Images, Enemies: Macro-Securitization of the Islamic Terror,

Popular TV Drama and the War on Terror.” Turkish Journal of Politics 3, no. 1 (2012):

37+.

Debrix, François. “The Sublime Spectatorship of War: The Erasure of the Event in America’s

Politics of Terror and Aesthetics of Violence.” Millennium: Journal of International

Studies 34, no. 3 (2006): 767–91. https://doi.org/10.1177/03058298060340031401.


Friis, Simone Molin. “‘Beyond Anything We Have Ever Seen’: Beheading Videos and the

Visibility of Violence in the War Against ISIS” 4, no. August 2014 (2015): 725–46.

https://eds.a.ebscohost.com/eds/pdfviewer/pdfviewer?vid=21&sid=d16c2cb1-78ea-

43b8-9598-dbfd62477881%40sessionmgr4007.

Galtung, Johan, and Mari Holmboe Ruge. “The Structure of Foreign News: The Presentation

of the Congo, Cuba and Cyprus Crises in Four Norwegian Newspapers.” Journal of Peace

Research 2, no. 1 (1965): 64–90. https://doi.org/10.1177/002234336500200104.

Gilboa, Eytan. “The CNN Effect: The Search for a Communication Theory of International

Relations.” Political Communication 22, no. 1 (2005): 27–44.

https://doi.org/10.1080/10584600590908429.

Gilboa, Eytan, Maria Gabrielsen Jumbert, Jason Miklian, and Piers Robinson. “Moving Media

and Conflict Studies beyond the CNN Effect.” Review of International Studies 42, no. 4

(2016): 654–72. https://doi.org/10.1017/S026021051600005X.

Hansen, Lene. “How Images Make World Politics: International Icons and the Case of Abu

Ghraib.” Review of International Studies 41, no. 2 (2015): 263–88.

https://doi.org/10.1017/S0260210514000199.

———. “Theorizing the Image for Security Studies: Visual Securitization and the Muhammad

Cartoon Crisis.” European Journal of International Relations 17, no. 1 (2011): 51–74.

https://doi.org/10.1177/1354066110388593.

Heck, Axel. “Analyzing Docudramas in International Relations: Narratives in the Film A

Murderous Decision.” International Studies Perspectives 18, no. 4 (2017): 365–90.

https://doi.org/10.1093/ISP/EKW012.
Heck, Axel, and Gabi Schlag. “Securitizing Images: The Female Body and the War in

Afghanistan.” European Journal of International Relations 19, no. 4 (2013): 891–913.

https://doi.org/10.1177/1354066111433896.

Jakobsen, Peter Viggo. “Focus on the CNN Effect Misses the Point: The Real Media Impact

on Conflict Management Is Invisible and Indirect.” Journal of Peace Research 37, no. 2

(2000): 131–43. https://doi.org/10.1177/0022343300037002001.

———. “National Interest, Humanitarianism or CNN: What Triggers UN Peace Enforcement

after the Cold War?” Journal of Peace Research 33, no. 2 (1996): 205–15.

https://doi.org/10.1177/0022343396033002006.

Kahneman, Daniel. Thinking, Fast, and Slow. Farrar, Straus and Giroux. 1st ed. New York,

2013. https://doi.org/10.1007/s00362-013-0533-y.

Kapur, Saloni, and Simon Mabon. “The CS Goes Global: Securitisation in the Non-West.”

Global Discourse 8, no. 1 (2018): 1–4. https://doi.org/10.1080/23269995.2018.1424686.

Kardaş, Tuncay, and Murat Yesiltaş. “Rethinking Kurdish Geopolitical Space: The Politics of

Image, Insecurity and Gender.” Cambridge Review of International Affairs 30, no. 2–3

(2017): 256–82. https://doi.org/10.1080/09557571.2017.1410098.

Kearns, Matthew. “Gender, Visuality and Violence: Visual Securitization and the 2001 War in

Afghanistan.” International Feminist Journal of Politics 19, no. 4 (2017): 491–505.

https://doi.org/10.1080/14616742.2017.1371623.

Kirkpatrick, Erika. “Visuality, Photography, and Media in International Relations Theory: A

Review.” Media, War and Conflict 8, no. 2 (2015): 199–212.

https://doi.org/10.1177/1750635215584281.
Lyman, Rick. “A NATION CHALLENGED: HOLLYWOOD; White House Sets Meeting

With Film Executives to Discuss War on Terrorism.” The New York Times, 2001.

https://www.nytimes.com/2001/11/08/us/nation-challenged-hollywood-white-house-

sets-meeting-with-film-executives.html?searchResultPosition=1.

McDonald, Matt. “Securitization and the Construction of Security.” European Journal of

International Relations 14, no. 4 (2008): 563–87.

https://doi.org/10.1177/1354066108097553.

Möller, Frank. “Photographic Interventions in Post-9/11 Security Policy.” Security Dialogue

38, no. 2 (2007): 179–96. https://doi.org/10.1177/0967010607078549.

Neumann, Iver B. “Returning Practice to the Linguistic Turn: The Case of Diplomacy.”

Millennium: Journal of International Studies 31, no. 3 (2002): 627–51.

https://doi.org/10.1177/03058298020310031201.

Östgaard, Einar. “Factors Influencing the Flow of News.” Journal of Peace Research 2, no. 1

(1965): 39–63. https://doi.org/10.1177/002234336500200103.

Ottosen, Rune. “Enemy Images and the Journalistic Process.” Journal of Peace Research 32,

no. 1 (1995): 97–112. https://doi.org/10.1177/0022343395032001008.

Robinson, Piers. “The CNN Effect : Can the News Media Drive Foreign Policy ?” 25, no.

September 2000 (2014): 301–9.

———. The CNN Effect: The Myth of News, Foreign Policy and Intervention. Routledge.

Routledge, 2002. https://doi.org/10.4324/9780203995037.

Salter, Mark B. “Securitization and Desecuritization: A Dramaturgical Analysis of the

Canadian Air Transport Security Authority.” Journal of International Relations and


Development 11, no. 4 (2008): 321–49. https://doi.org/10.1057/jird.2008.20.

Simon, Stephanie. “Suspicious Encounters: Ordinary Preemption and the Securitization of

Photography.” Security Dialogue 43, no. 2 (2012): 157–73.

https://doi.org/10.1177/0967010612438433.

Skovgaard-petersen, Jakob. Politik: New Media and Conflict in Middle East, 2016.

Stritzel, Holger. “Towards a Theory of Securitization: Copenhagen and Beyond.” European

Journal of International Relations 13, no. 3 (2007): 357–383.

Vuori, Juha A. “A Timely Prophet? The Doomsday Clock as a Visualization of Securitization

Moves with a Global Referent Object.” Security Dialogue 41, no. 3 (2010): 255–77.

https://doi.org/10.1177/0967010610370225.

Witjes, Nina, and Philipp Olbrich. “A Fragile Transparency: Satellite Imagery Analysis, Non-

State Actors, and Visual Representations of Security.” Science and Public Policy 44, no.

4 (2017): 524–34. https://doi.org/10.1093/scipol/scw079.

Zaller, John, and Dennis Chiu. “Government’s Little Helper: U.S. Press Coverage of Foreign

Policy Crises, 1945–1991.” Political Communication 13, no. 4 (October 1996): 385–405.

https://doi.org/10.1080/10584609.1996.9963127.

Anda mungkin juga menyukai