Anda di halaman 1dari 3

2.

1 Durasi Gelombang P

2.1.1 Aktivitas listrik atrium

Aktivitas atrium melibatkan dua proses, yaitu depolarisasi dan repolarisasi


(Baranchuk and Bayés de Luna, 2015). Depolarisasi arium menyebar dari sinus node di
atrium kanan melalui serabut Bachmann ke atrium kiri dan dengan kecepatan konduksi
yang sama ke seluruh area atrium sisanya. Melalui koneksi ini, bagian lateral atas atrium
kanan akan terdepolarisasi pertama kali, disusul oleh dinding anterior kanan menuju
septum interatrial. Setelahnya aktivasi gelombang ini akan mencapai AV junction (zona
sel transisi di bagian atas AV node). Proses ini membutuhkan waktu kurang lebih 0,04-
0,05 detik (Baranchuk and Bayés de Luna, 2015). Pada waktu yang sama impus melalui
serabut Bachmann menyebar ke atrium kiri, terutama melalui bagian atas dan anterior
septum. Depolarisasi atrium (kiri dan kanan) menghabiskan waktu 0,07-0,11 detik
(Baranchuk and Bayés de Luna, 2015) dan pada EKG proses ini digambarkan oleh
gelombang P, yaitu defleksi positif pertama pada suatu gelombang EKG.

2.1.2 Durasi normal gelombang P pada EKG

Gelombang P pada EKG merupakan gambaran sinyal depolarisasi atriun, dan


durasi maksimum dari gelombang P berhubungan dengan durasi aktivasi atrium (Köse et
al., 2003). Durasi gelombang P diukur dari awal munculnya gelombang P di atas garis
isoelektris hingga akhir gelombang P (Pipberger and Tanenbaum, 1958)
Penelitian mengenai durasi gelombang P normal telah banyak dilakukan,
bervariasi baik dari subjek yang diteliti maupun metode yang digunakan. Penelitian yang
dilakukan oleh Rijnbeek et al., pada tahun 2014 misalnya, membagi nilai normal EKG
berdasarkan usia dan jenis kelamin pada individu Belanda yang sehat. Dari penelitiannya
didapat bahwa semakin tua usia seseorang, durasi gelombang P cenderung semakin
memanjang, namun rata-rata durasi dibawah 121 milidetik. Selain itu penelitian ini juga
mengungkapkan bahwa nilai durasi gelombang P pada laki-laki (106-121 milidetik)
cenderung lebih panjang dibanding pada perempuan (104-118 milidetik) di semua
kelompok usia. Penelitian yang dilakukan oleh Ende, et al. pada tahun 2017 juga
menunjukkan hasil yang sama. Penelitian ini juga dilakukan pada individu Belanda yang
sehat dan didapatkan rata-rata durasi gelombang P pada laki-laki sekitar 107-122
milidetik dan perempuan berkisar 100-115 milidetik.
Penelitian literatur yang dilakukan oleh (Magnani et al., 2009) menyatakan
bahwa nilai minimum dan maksimum durasi P gelombang berkisar dari 93±10 milidetik
hingga 108±7 milidetik. Penelitian ini mengumpulkan data dari penelitian yang
dipublikasikan dari Januari 1985 hingga Desember 2007 dan menggunakan subjek diatas
100 orang.

2.1.3 Hubungan Durasi Gelombang P dengan Kejadian Atrial Fibrilasi


Adanya perpanjangan waktu konduksi baik secara interatrial maupun
intraatrialdisertai tidak homogennya penghantaran sinyal dari sinus merupakan
patofisiologi terjadinya atrial aritmia (Dilaveris, 2006 ) dan (Lepage et al., 2001).
Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa individu dengan paroksimal atrial
fibrilasi akan mengalami peningkatan durasi gelombang P pada pengukuran EKG 12-lead
(Alonso and Chen, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh (Hvidtfeldt et al., 2011) dengan 301.572 individu
dan median waktu follow up 5,5 tahun, menyatakan adanya hubungan antara durasi
gelombang P dengan kejadian AF. Menurut penelitian tersebut, jika seseorang memiliki
durasi gelombang P dibawah persentil 5 (< 89 milidetik), akan meningkatkan resiko
menjadi AF sebanyak 1,55 kali (CI 1,38-1,75, p<0,001). Penelitian lain juga dilakukan
oleh (Ishida et al., 2010) pada individu dengan overload atrium kiri mengungkapkan pada
grup yang berkembang menjadi AF memiliki durasi gelombang P awal yang lebih
panjang yakni 126,7±4,8 milidetik dibandingkan grup kontrol 115,8±16,7 milidetik.
Penelitian lain yang dilakukan oleh (Censi et al., 2016) juga memperlihatkan
semakin panjang durasi gelombang P, akan semakin beragam bentuk gelombang P yang
dihasilkan dan risiko untuk berkembang menjadi AF. Penelitiannya mengungkapkan jika
durasi gelombang P maksimal > 121 milidetik dan durasi minimal > 97 milidetik
meningkatkan risiko berkembangnya AF dengan sensitivitas 95,9% dan spesifisitas 95%.
2.1.3 Durasi Gelombang P sebagai Prediktor Terjadinya AF pada CABG
AF merupakan aritmia yang paling sering terjadi setelah operasi coronary arteri
bypass graft (CABG). Post operative AF (POAF) berhubungan dengan peningkatan
mortalitas, morbiditas, lama rawat di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan (Wu et al.,
2018). POAF sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian obat-obatan profilaksis,
namun perlu dilakukan penggolongan pasien-pasien mana yang merupakan risiko tinggi
sehingga pasien tidak perlu menerima pengobatan yang tidak diperlukan (Wong et al.,
2014). Selain itu profilkasis pada pasien yang menjalani CABG sering terbentur karena
masalah asma ataupun tiroid (Jazi et al., 2012). Penelitian mengenai faktor yang
mempengaruhi terjadinya POAF telah dilakukan dan ditemukan usia tua sebagai faktor
yang paling signifikan, walau etiologi pastinya belum dapat dipahami dengan jelas (Wu
et al., 2018). Berdasarkan patofisiologi terjadinya AF, ditemukan bahwa AF terjadi
karena adanya jaringan atrium yang tidak normal, kelainan elektrofisiologis dan kejadian
yang terjadi selama operasi. Durasi gelombang P yang bisa menggambarkan kecepatan
dan sinkronisasi atrium, telah lama diteliti sebagai faktor yang bisa menjadi prediktor
kejadian POAF pada CABG.
Penelitian yang dilakukan oleh (Frost et al., 1996) menemukan bahwa pasien
yang mengalami POAF setelah CABG memiliki durasi gelombang P yang lebih panjang
sebelum operasi yakni 129 ± 12 milidetik dengan mereka yang tidak (124 ± 12 milidetik).
Walau dalam penelitiannya, (Frost et al., 1996) menemukan bahwa durasi gelombang P
bukan satu-satunya prediktor yang mempengaruhi terjadinya POAF pada pasien dengan
CABG. Usia yang lebih tua dengan durasi gelombang P yang lebih panjang sebelum
CABG dilakukan merupakan prediktor kuat untuk terjadinya POAF.
Hal lain disampaikan (Amar et al., 2004) yang membahas tentang keadaaan klinis
pasien sebagai prediktor terjadinya AF pada pasien post CABG juga mengemukakan jika
durasi gelombang P > 100 milidetik, maka risiko kejadian AF pada pasien post CABG
akan bertambah.
Meta analisis yang dilakukan oleh (Wu et al., 2018) dengan melibatkan sampel
299 orang, menemukan durasi gelombang P ≥ 105 milidetik merupakan nilai prediktif
untuk terjadinya AF, dengan sensitivitas 74% dan spesifisitas 65%. Bahkan menurutnya,
kombinasi durasi gelombang P ≥105 milidetik dengan usia ≥ 60 tahun meningkatkan
spesifitas 79% namun menurunkan sensitivitas menjadi 58%.
Penelitian lain yang dilakukan oleh (Roshanali et al., 2007) dengan menggunakan
echocardiografi menemukan nilai batas atrial electromechanical interval (AEMI) ≥120
milidetik sebagai prediktor terjadinya AF pada pasien post CABG. Menurutnya, nilai
AEMI ≥ 120 milidetik ini memiliki nilai sensitivitas 100%, spesifitas 81,9%, nilai
prediktif positif 81,9% dan nilai prediktif negatif 100%.

Anda mungkin juga menyukai