Anda di halaman 1dari 11

ABLASI PADA FIBRILASI ATRIUM

Budi Baktijasa
Rizka Amalia

Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular


FK Universitas Airlangga/ RSU Dr. Soetomo Surabaya

ABSTRACT
Atrial Fibrillation (AF) remains one of the major causes of stroke, heart failure, sudden
death, and cardiovascular morbidity in the world. The number of patients with AF is predicted to
rise steeply in the coming years. Treatment of AF is directed at three aspects of arrhythmia: (1)
ventricular rate control, (2) assessment the need of anticoagulation to prevent thromboembolism,
and (3) consideration to restore sinus rhythm.
Catheter ablation is increasingly offered to patients who suffer from symptoms due to at rial
fibrillation (AF), based on a growing body of evidence illustrating its efficacy compared with
antiarrhythmic drug therapy. Catheter ablation of AF is effective in restoring and maintaining
sinus rhythm in patients with symptomatic paroxysmal, persistent, and probably long-standing
persistent AF after failure of or intolerance to antiarrhythmic drug therapy. Pulmonary vein
isolation remains the cornerstone of AF ablation until today, this procedure is a reasonable and
effective first approach for catheter ablation of AF.

Keyword: Atrial Fibrillation, Rhythm Control, Catheter Ablation

PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (Atrial Fibrilation, AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui
dalam praktik sehari-hari. Prevalensi fibrilasi atrium mencapai 1-2% dan akan terus meningk at
dalam 50 tahun mendatang. Framingham Heart Study yang merupakan suatu studi kohort pada
tahun 1948 dengan melibatkan 5.209 subjek penelitian sehat menunjukkan bahwa dalam periode
20 tahun, angka kejadiannya adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan.1
Fibrilasi atrium adalah aritmia yang berpotensi berbahaya karena laju ventrikel yang cepat
menurunkan curah jantung yang menyebabkan hipotensi dan kongesti paru dan kontraksi atrium
yang tidak terkoordinasi memicu stasis darah di atrium yang meningkatkan resiko terbentuknya
thrombus khususnya pada aurikel kiri. Embolisasi thrombus di atrium kiri adalah penyebab
penting dari stroke. Oleh karenanya, tata laksana dari fibrilasi atrium berdasarkan pada 3 aspek,
yaitu pengendalian laju ventrikel, pertimbangan untuk mengubah ke irama sinus, dan keputusan
pemberian antikoagulan untuk mencegah tromboemboli.2 Terapi untuk mengubah ke irama sinus
meliputi medikamentosa dan ablasi. Ablasi meliputi 2 jenis yaitu ablasi dengan pembedahan dan
ablasi dengan kateter.
Ablasi kateter semakin banyak dilakukan kepada pasien yang menderita gejala akibat AF
berdasarkan pada bertambahnya bukti yang menggambarkan efektifitasnya dibandingkan dengan
terapi obat antiaritmia. Sekitar sepertiga prosedur ablasi AF saat ini dilakukan pada pasien dengan
1
persisten atau persisten lama.3 Pada makalah ini akan kami sajikan bahasan tentang ablasi kateter
pada atrial fibrilasi.

FIBRILASI ATRIUM
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi atrium yang
tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada fungsi nodus
atrioventricular (AV) yang normal, fibrilasi atrium biasanya disusul oleh respons ventrikel yang
juga tidak teratur, dan seringkali cepat.
Fibrilasi atrium dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan
durasinya, yaitu1 :
1. Fibrilasi atrium yang pertama kali diketahui, tanpa memandang durasi atau berat
ringannya gejala yang muncul.
2. Fibrilasi atrium paroksismal adalah AF dengan terminasi spontan dalam 48 jam hingga 7
hari.
3. Fibrilasi atrium persisten adalah AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
AF yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. Fibrilasi atrium persisten lama adalah AF yang bertahan hingga 1 tahun, dan strategi
kendali irama masih akan diterapkan.
5. Fibrilasi atrium permanen merupakan AF yang ditetapkan sebagai permanen sehingga
strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi.
Saat ini patogenesis AF meliputi interaksi antara adanya pencetus (trigger), seringka li
berupa adanya fokus ektopik yang cepat yang berlokasi di satu atau lebih vena pulmonalis dan
adanya substrat berupa jaringan atrium yang abnormal yang dapat menimbulkan aritmia.
Meskipun penyakit jantung struktural menyebabkan timbulnya banyak kasus AF, patogenesis AF
pada pasien dengan jantung yang normal jumlahnya sedikit.4

ABLASI KATETER
SEJARAH
Ablasi kateter adalah prosedur invasif minimal yang digunakan untuk menghilangkan atau
menghentikan jalur listrik yang salah pada jantung orang-orang yang cenderung menjadi aritmia
seperti AF, atrial flutter, takikardi supraventrikular dan sindroma Wolff-Parkinson-White.
Prosedur ablasi kateter jantung pertama pada manusia pada tahun 1981 dilakukan oleh Dr. Melvin
Scheinman yang menggunakan energi tinggi DC-shock untuk ablasi jaringan miokard. Pada studi
ini, lima pasien dengan takikardi supraventrik ular berulang resisten atau tidak toleran dengan obat.
Pasien-pasien ini menjalani prosedur baru yang menggunakan DC-shock menuju kateter elektroda
2
yang diposisikan berdekatan dengan berkas HIS. Total AV blok didapatkan pada semua pasien,
satu pasien meninggal mendadak enam minggu setelah terapi kejut dan sisanya mengalami total
AV blok dengan interval follow-up mulai dari empat sampai 12 bulan.5
Studi pertama tentang ablasi atrial fibrilasi dipublikasikan di 1995 oleh Morillo dan kawan
- kawan. Pada studi ini atrial fibrilasi pada 11 anjing diinduksi dengan model cryoablasi pada
daerah dengan panjang siklus atrial fibrilasi yang paling pendek yang biasanya didapatkan di
atrium kiri bagian inferoposterior dan berhasil menghentikan aritmia pada 9 anjing (82%).6
Penelitian pada manusia pada tahun 1996 terdapat tiga kelompok yang menerbitkan hasil dari
ablasi fibrilasi atrium traskateter. Swartz dan kawan - kawan melaporkan ablasi radiofrekuens i
pada pasien dalam jumlah kecil (29 pasien) dengan AF kronis. Lesi dilakukan pada atrium kanan
dan kiri dengan durasi prosedur lebih dari 10 jam, waktu fluoroskopi sekitar 2 jam dan komplikas i
mencapai di atas 30% (meliputi kejadian serebrovaskular dan efusi perikardial). Setelah 12 bulan
tindak lanjut, 79% pasien bebas dari aritmia.7 Dua kelompok lain melakukan pendekatan dengan
memulai dari bagian ruang jantung kanan. Haissaguerre dan kawan - kawan melaporkan pada 45
pasien dengan fibrilasi atrium paroksismal yang menjalani lesi linier progresif yang kompleks
dibuat dengan aplikasi radiofrekuensi secara berurutan di atrium kanan (hanya jika diperlukan
dilakukan di atrium kiri). Lebih dari 1 tahun tindak lanjut, 33% populasi terbebas dari fibrila s i
atrium tapi hasil ini tercapai tanpa menimbulkan komplikasi serius.8,9 Hasil ini dikonfirmasi pada
penelitian yang lebih kecil dari kelompok yang menargetkan atrium kanan. Dalam penelitia n
tersebut setidaknya dilakukan tiga lesi: lesi pertama dibuat dari vena kava superior ke vena cava
inferior menyentuh fosa ovalis dan sinus koronarius, lesi kedua dilakukan pada tingkat vena cava
inferior - isthmus katup trikuspid, dan lesi ketiga dilakukan transversal dari fosa ovalis melalui
dinding posterior sampai tepi lateral anulus trikuspid. Strategi ini terbukti ditoleransi dengan baik
tanpa komplikasi, kemungkinan 56% mempertahankan irama sinus dalam 1 tahun.10,11 Prosedur
ablasi pada atrium kanan meliputi garis pertama yang menjembatani antara isthmus dengan anulus
trikuspid dan ostium vena kava inferior, garis kedua menghubungkan ostium vena cava superior
dengan aspek anterior anulus trikuspid dan garis ketiga antara ostium vena cava inferior menuju
ostium vena cava superior.12

3
Gambar 1. Diagram skema ablasi yang digunakan pada atrium kanan (1,2,3: tampak dari ante rior) dan
atrium kiri (4: tampak dari posterior)9

Selanjutnya Haissaguerre dan kawan-kawan melakukan studi elektrofisiologi dengan


merekam dan memetakan fokus ektopi didalam dinding atrium pada 45 pasien yang menderita AF
refrakter. Pada hasil studi didapatkan 94% fokus ektopi terdapat pada vena pulmonalis. 1 3
Berdasarkan penemuan ini, kemudian banyak studi yang dilakukan untuk mengetahui secara lebih
mendalam bangkitan impuls oleh fokus tunggal dari vena pulmonalis atau regio atrium lain yang
dapat menyebabkan terjadinya gelombang fibrilasi sehingga ablasi sebagai pengobatan definitive
AF dapat dilakukan pada vena yang telah dilokalisir.
Sebuah inovasi diperkenalkan pada tahun 1999 oleh kelompok Pappone dan kawan -kawan
yang pertama kali mempresentasikan pengalaman pada 27 pasien dengan rekuren, AF refrakter
dengan obat yang bertahan lama lebih dari 1 tahun dengan sistem pemetaan elektroanatomik baru
tanpa fluoroskopi. Dengan cara ini semua pasien mendapatkan lesi pada daerah intercava l,
isthmus, dan garis anteroseptal pada atrium kanan dan daerah yang melingkari vena pulmonalis di
atrium kiri. Setelah follow-up 10 bulan sekitar 60% pasien bebas dari AF.14 Pada tahun 2001,
Pappone dan kawan kawan melaporkan isolasi vena pulmonal yang sangat baik pada kelompok
besar kohort pasien AF baik paroksismal maupun persisten dengan hasil setelah follow-up 10
bulan rekurensi AF adalah 15% pada AF paroksismal dan 32% pada AF persisten. Keseluruha n
komplikasi cukup rendah (0,8%).15,16

4
INDIKASI
Ablasi kateter pada AF efektif dalam memulihkan dan mempertahankan irama sinus pada
pasien dengan paroksismal yang simtomatik, persisten, dan mungkin AF persisten lama sebagai
pengobatan lini kedua setelah gagal atau tidak toleran terhadap terapi obat antiaritmia. Pada pasien
tersebut ablasi kateter lebih efektif daripada terapi obat antiaritmia.. Tingkat komplikasi hampir
sama bila ablasi dilakukan di pusat yang ahli. Sedikit data yang tersedia yang melaporkan
keefektifan dan keamanan ablasi kateter pada pasien dengan AF persisten atau AF persisten lama.
Pada pasien yang mengalami kekambuhan simtomatik AF meskipun sudah dengan terapi obat
antiaritmia, semua RCT menunjukkan perawatan irama sinus yang lebih baik dengan ablasi kateter
dibandingkan dengan obat antiaritmia.17

MEKANISME YANG MENDASARI ABLASI KATETER PADA AF

Beberapa kepustakaan telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko yang bertanggung


jawab terhadap timbulnya AF, termasuk adanya pencetus dan substrat yang membuatnya
berlangsung berkepanjangan. Pencetus AF antara lain simpatik, stimulasi parasimpatk, bradikardi,
denyut prematur atrium atau takikardi, accessory pathway. Akhir-akhir ini ditemukan pula bahwa
regangan akut dinding atrium dan fokus ektopik dilapisan dinding atrium di antara vena
pulmonalis atau vena caval junctions merupakan pencetus AF.18,19 Daerah ini dalam lingkunga n
yang normal memiliki aktifitas listrik yang sinkron, namun pada regangan akut dan aktifitas impuls
yang cepat, dapat menyebabkan timbulnya after-depolarisation lambat dan aktifitas triggered.
Triggered yang dijalarkan kedalam miokard atrium akan menyebabkan inisiasi lingkara n-
lingkaran gelombang reentry yang pendek (wavelets of reentry) dan multiple. Lingkaran reentry
yang terjadi pada AF terdapat pada banyak tempat (multiple) dan berukuran mikro, sehingga
menghasilkan gelombang P yang banyak dalam berbagai ukuran dengan amplitudo yang rendah
(microreentrant tachycardi).
Dapat disimpulkan di sini bahwa, terjadinya AF dimulai dengan adanya aktifitas listrik
cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung terus
dengan adanya lingkaran sirkuit reentry yang multipel. Penurunan masa refrakter dan
terhambatnya konduksi akan memfasilitasi terjadinya reentry.18 Setelah AF timbul secara kontinu,
maka akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya akan membuat AF
permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi permanen seiring
terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung lama. 18,20

Ablasi AF pada pasien yang mengalami AF persisten hasilnya inferior, hal ini
menunjukkan substrat yang berbeda untuk presentasi klinis aritmia dibandingkan dengan AF

5
paroksismal. Pada AF paroksismal, aktivitas yang tidak terorganisir sebagian besar berasal dari
dinding posterior kanan, dan di kanan dan kiri septum. Pada AF persisten terjadi peningkatan yang
signifikan aktivitas yang tidak terorganisir di semua daerah atrium (gambar 2) Berdasarkan data
tersebut irama sinus sulit dipertahankan pada pasien dengan AF persisten meskipun prosedur
isolasi vena pulmonalis dilakukan berulang.

Gambar 2. Rekaman dari pasien dengan AF paroksismal, persisten, persisten lama dan permanen. Dari aktivitas atriu m
yang tidak terorganisir terletak hanya di bagian terbatas atrium (kiri) aktivitas yang tidak terorganisir dicatat di
setidaknya dua daerah atrium. Setelah lebih banyak daerah dilibatkan siklus FF mempercepat mencapai status AF
permanen terakhir (kanan). Diubah dari Gaita dkk DCS, distal coronary sinus; LHS, left high septum; LLS, left low
septum; LMS, left mid septum; LS, left septum; PCS, proximal coronary sinus; RAN, right anterio r wall; RAS, right
anteroseptal wall; RP, right posterior wall; RPL, right posterolateral wall; RPS, right posteroseptal wall; RS, right
septum; S, septum (both right and left). Each pair of electrodes of the basket catheter is identified by a number: 1, 2
most distal (superior); 4, 5 most proximal (inferior) on the spline.12

Pada pasien dengan AF persisten diteliti efek dari pendekatan yang agresif meliputi isolasi
dari vena pulmonalis, vena kava superior dan sinus koroner. Selain itu lesi linier dibuat pada
tingkat isthmus cavotricuspid, antara dua vena pulmonalis superior dan pada isthmus mitral. Tidak
ada komplikasi periprosedur yang dilaporkan. Setelah 1 tahun tindak lanjut, 95% pasaien dengan
irama sinus.21
Dalam upaya untuk membatasi atau mengarahkan ablasi hanya pada daerah substrat yang
aktif pada pasien dengan AF persisten, teknik pemetaan dipandu elektrofisiologi standar
dikenalkan pada tahun 2004. Nademanee dan kawan - kawan mengusulkan penggunaan Complex
Fractionated Atrial Electrograms (CFAEs), didefinisikan sebagai gelombang fibrilasi re-entry
yang berkelanjutan menuju ke daerah yang sama atau tumpang tindih dari gelombang yang
berbeda memasuki area yang sama di waktu yang berbeda untuk memandu prosedur ablasi.22
RCT pada pasien dengan AF persisten lama dengan ablasi yang dipandu CFAE
menunjukkan bahwa statergi ini tidak superior dibandingkan dengan isolasi vena pulmona lis
saja.23 Dalam praktek terbaru, isolasi vena pulmonalis adalah pendekatan awal untuk fibrila s i
6
atrium paroksismal, sedangkan lesi linier dan ablasi yang dipandu CFAE dicadangkan untuk
pendekatan bertahap berikutnya untuk pasien dengan AF persisten atau AF paroksismal yang
kambuh setelah prosedur pertama.24 Pasien dengan AF paroksismal mempunyai tingkat
keberhasilan yang jauh lebih tinggi daripada AF persisten dan AF persisten lama (72,3 dan 63,1%).
Komplikasi yang paling sering adalah tamponade jantung, terjadi pada 1,3% kasus dan masalah
vaskular lokal (misalnya: pseudo aneurysma femur) terjadi pada 0,9%.25

TEHNIK
Tindakan ablasi kateter berupa insersi kateter transvenus masuk ke atrium kanan, lalu
atrium kiri diakses (jika tidak ada defek septum atrium atau paten foramen ovale) dengan tusukan
trans-septal. Posisi kateter dan juga anatomi vena pulmonalis dan atrium kiri dikonfirmasi dengan
fluoroskopi, venografi paru, pemetaan elektroanatomis tiga dimensi, ekokardiografi intrakardiak,
computed tomography, panduan jarak jauh menggunakan magnetic resonance imaging atau
kombinasi teknik dari beberapa teknik tersebut. Melalui penerapan energi termal, paling sering
dengan frekuensi radio atau cryothermy menginduksi terjadinya injury miokardium.26
Pendekatan konvensional terhadap ablasi AF menggunakan Ablasi RF (Radio-frequency)
point-by-point dengan penggunaan kateter irigasi merupakan prosedur yang kompleks, prosedur
yang lama dan berisiko yang membutuhkan double transseptal puncture atau tehnik kateterisasi
transeptal ganda single-puncture dengan konsekuensi peningkatan risiko dan durasi prosedur.27
Selanjutnya dibutuhkan pemetaan atrial kiri yang luas dengan menggunakan beberapa kateter.
Selama ablasi point-by point, kesenjangan pada garis ablasi tak terelakkan. Potensi komplikas i
kerusakan esofagus dan stenosis osteum vena pulmonalis adalah risiko tambahan. Dengan
demikian dibutuhkan tehnik yang lebih sederhana, cepat dan lebih murah.
Ablasi kateter pada AF telah berkembang dari prosedur eksperimental khusus menjadi
pengobatan umum untuk mencegah fibrilasi atrium berulang sejak adanya gambaran awal berupa
pemicu di vena pulmonalis yang mencetuskan paroksismal AF. Hal ini dicapai melalui isolasi vena
pulmonalis dan mungkin perlu isolasi yang lengkap untuk mencapai efektifitas dan ablasi
tambahan pada dinding posterior atrium kiri. Ablasi AF bila dilakukan di pusat yang
berpengalaman oleh tim yang terlatih lebih efektif daripada terapi obat antiaritmia dalam menjaga
ritme sinus dan tingkat komplikasi, meski tidak bisa diabaikan hampir sama dengan tingkat
komplikasi untuk obat antiaritmia.17
Lebih dari 15 tahun yang lalu, dasar pengembangan ablasi kateter AF dimulai saat fokus
ektopik yang berasal dari vena pulmonalis diamati mampu memicu AF. Sejak saat itu ablasi
melingkar di sekitar orificium vena pulmonal dengan tujuan prosedur berupa pemutusan listrik
vena pulmonal dari atrium kiri menjadi tonggak ablasi kateter AF. Ablasi terdiri dari serangkaian
7
lesi radiofrekuensi titik-demi-titik yang mengelilingi masing- masing atau ostia dari vena
pulmonalis kedua ipsilateral (Gambar 3). Sebagian besar pusat melakukan lesi ablasi ini dengan
menggunakan kateter ablasi radiofrekuensi transvena dimasukkan melalui vena femoralis.
Cryoenergy atau sinar laser digunakan sebagai alternatif energi radiofrekuensi konvensiona l
diaplikasikan melalui balon kateter (Gambar 4). Variasi anatomi ostium vena pulmonalis menjadi
rintangan untuk kateter berbasis balon satu ukuran untuk semua. Energi ultrasound dengan fokus
intensitas tinggi telah dikeluarkan dari pasar karena tingginya tingkat kejadian fistula atrio-
esofagus.27

Gambar 3. Peta elektroanatomis tiga dimensi atrium kiri dan ostium vena pulmonalis pada proyeksi posterior dengan
lesi ablasi melingkar (titik merah) di sekitar vena pulmonalis ipsilateral.27

Isolasi vena pulmonalis (PVI) yang lengkap pada tingkat atrium adalah target yang terbaik
untuk ablasi kateter. Isolasi lengkap vena pulmonalis menghasilkan irama yang lebih baik dari
pada isolasi yang tidak lengkap. PVI pada awalnya diuji pada pasien dengan AF paroksismal,
namun nampak noninferior untuk ablasi pada AF persisten. Ablasi yang lebih luas telah digunaka n
pada pasien dengan AF persisten, namun data yang ada tidak cukup untuk memandu
penggunaannya ini saat ini. Prosedur ablasi yang diperluas (beyond PVI) membutuhkan prosedur
yang lebih lama dan radiasi pengion yang lebih banyak yang berpotensi menimbulkan risiko bagi
pasien. Tambahan ablasi di atas PVI yang lengkap dapat dipertimbangkan pada pasien dengan AF
rekuren setelah prosedur ablasi awal. 17

HASIL DAN KOMPLIKASI


Hasil ritme setelah ablasi kateter pada AF sulit diprediksi pada masing- masing individ u.
Sebagian besar pasien membutuhkan lebih dari satu prosedur untuk mengontrol gejala. Secara
umum, hasil irama yang lebih baik dan komplikasi yang terkait prosedur yang lebih rendah
didapatkan pada pasien yang lebih muda dengan riwayat AF yang pendek dan sering, episode AF
yang pendek dengan tidak adanya penyakit jantung struktural yang signifikan. Ablasi kateter lebih
8
efektif dibanding terapi obat antiaritmia dalam mempertahankan ritme sinus. Irama sinus tanpa
kekambuhan gejala AF ditemukan pada 70% pasien dengan AF paroksismal dan sekitar 50% pada
AF persisten. Beberapa variabel telah diidentifikasi sebagai faktor risiko kekambuhan AF setelah
ablasi kateter, tetapi kekuatan prediksinya lemah. Keputusan untuk ablasi kateter harus didasarkan
pada pengambilan keputusan bersama termasuk penjelasan tentang potensi keuntungan dan
risikonya dan alternatifnya seperti obat antiaritmia atau penerimaan gejala tanpa terapi kontrol
ritme. Secara sistematis dibutuhkan data komplikasi pada praktik klinis untuk memperbaik i
kualitas prosedur ablasi pada AF.17
Lima sampai tujuh persen pasien akan mengalami komplikasi berat setelah ablasi kateter
pada AF, dan 2-3% akan mengalami komplikasi yang mengancam jiwa namun biasanya dapat
ditangani. Kematian intraprosedural telah dilaporkan, namun jarang terjadi (< 0,2%). Komplikas i
berat yang paling penting adalah stroke / TIA (< 1%), tamponade jantung (1-2%), stenosis vena
pulmonal, dan injury oesophageal yang menyebabkan fistula atrio-esofagus beberapa minggu
setelah ablasi. 'Silent strokes' telah diamati pada sekitar 10% pasien yang diobati dengan frekuens i
radio dan ablasi cryoballoon. Komplikasi paska-prosedural termasuk stroke, dengan risiko
tertinggi dalam minggu pertama, tamponade perikard beberapa hari setelah ablasi kateter, dan
fistula esofagus yang biasanya menjadi jelas 7-30 hari setelahnya ablasi.17

ANTIKOAGULASI: Sebelum, Selama, dan Setelah Ablasi


Pasien yang sudah dengan antikoagulan VKA harus terus menjalani terapi selama ablasi
dengan INR 2-3. Antikoagulasi dengan NOACs adalah alternatif untuk warfarin. Selama ablasi,
heparin harus diberikan untuk mempertahankan waktu pembekuan yang diaktifkan >300 detik.
Antikoagulan harus dijaga minimal 8 minggu setelah ablasi untuk semua pasien. Karena tidak ada
data percobaan terkontrol, OAC setelah ablasi kateter harus mengikuti rekomendasi antikoagula n
secara umum, apapun hasil iramanya.17

PEDOMAN UNTUK ABLASI KATETER PADA AF


Pernyataan Konsensus tentang ablasi kateter dan ablasi bedah pada AF pada HRS / EHRA
/ ECAS dan Pedoman untuk manajemen pasien dengan AF pada ESC (European Society of
Cardiology), AHA (American Heart Association), ACC (American College of Cardiology), dan
HRS merekomendasikan ablasi kateter AF paroksismal simtomatik setelah gagal dengan
setidaknya satu kelas 1 atau 3 agen antiaritmia. Indikasi ini dikelompokkan sebagai kelas I dan
tingkat A. Ablasi kateter sebagai garis pertama terapi dianggap beralasan (indikasi kelas IIa, level
B) pada pasien AF paroksismal tanpa penyakit jantung struktural. Tingkat indikasi yang sama

9
untuk pasien dengan AF persisten setelah gagal dengan terapi obat antiaritmia. Tujuan utama
ablasi kateter pada AF adalah mengendalikan gejala dan peningkatan kualitas hidup. 27

PENUTUP

Ablasi kateter pada AF sekarang menjadi modalitas terapi yang penting dimana pada
beberapa penelitian menunjukkan bahwa ablasi kateter lebih superior dibandingkan terapi dengan
menggunakan obat anti aritmia dalam mengontrol AF dan memperbaiki kualitas hidup pasien.
Ablasi kateter pada AF efektif dalam memulihkan dan mempertahankan irama sinus pada pasien
dengan AF paroksismal maupun AF persisten yang simtomatik. Bukti yang mendasari penggunaa n
ablasi kateter kurang kuat untuk AF persisten dan AF persisten lama dibandingkan dengan AF
paroksismal. Irama sinus tanpa kekambuhan gejala AF ditemukan pada 70% pasien dengan AF
paroksismal dan sekitar 50% pada AF persisten. Pada penelitian dengan kelompok besar kohort
2001, isolasi vena pulmonal yang sangat baik pada pasien AF baik paroksismal maupun persisten
dengan hasil setelah follow-up 10 bulan rekurensi AF adalah 15% pada AF paroksismal dan 32%
pada AF persisten dengan keseluruhan komplikasi cukup rendah (0,8%).

DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata Laksana Fibrilas i
Atrium Edisi Pertama. Jakarta: Centra Communications. 2014.
2. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease, A Collaborative Project of Medical Students and
Faculty, 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2011;261-278.
3. Kirchhof P, Calkins H. Catheter ablation in patients with persistent atrial fibrillation. Eur
Heart J. 2017;38(1):20-26.
4. Markides V, Schilling R.J. Atrial Fibrillation: Classification, Pathophysiology, Mechanisms
And Drug Treatment. Heart 2003;89:939943.
5. Scheinman MM, Morady F, Hess DS, Gonzalez R: Catheter induced ablation of the
atrioventricular function to control refractory supraventricular arrhythmia. JAMA 1982;248:
851.
6. Morillo CA, Klein GJ, Jones DL, et al. Chronic rapid atrial pacing: structural, functional, and
electrophysiological characteristics of a new model of sustained atrial fibrillation. Circulatio n
1995;91:15881595.
7. Swartz JF, Pellersels G, Silvers J, Patten L, Cervantez D. A catheter based curative approach
to atrial fibrillation in humans. Circulation 1994;90(Suppl I):I335 (abstract).
8. Haissaguerre M, Gencel L, Fischer B, et al. Successful catheter ablation of atrial brillation. J
Cardiovasc Electrophysiol 1994;5:10451052.
9. Haissaguerre M, Jas P, Shah DC, et al. Right and left atrial radiofrequency catheter therapy
of paroxysmal atrial fibrillation. J Cardiovasc Electrophysiol 1996;7:11321144.
10. Gaita F, Riccardi R, Lamberti F, et al. Vagal atrial fibrillation: atrial mapping and
effectiveness of a right atrial catheter ablation. Circulation 1996;94 (Suppl I):I-675.
11. Gaita F, Riccardi R, Calo` L, et al. Atrial mapping and radiofrequency catheter ablation in
patients with idiopathic atrial fibrillation. Electrophysiological findings and ablation results.
Circulation 1998;97:21362145.

10
12. Anselmino M, DAscenzo F, Amoroso G, et al. History of transcatheter atrial fibrillatio n
ablation. J Cardiovasc Med 2012;13:18.
13. Hassaguerre M et al. Spontaneous Initiation of Atrial Fibrillation by Ectopic Beats
Originating in the Pulmonary Veins. N Engl J Med.1998;339:659-666
14. Pappone C, Oreto G, Lamberti F, et al. Catheter ablation of paroxysmal atrial fibrillation using
a 3D mapping system. Circulation 1999;100:12031208.
15. Pappone C, Oreto G, Rosanio S, et al. Atrial electroanatomic remodeling after circumferentia l
radiofrequency pulmonary vein ablation: efficacy of an anatomic approach in a large cohort
of patients with atrial fibrillation. Circulation 2001;104:25392547.
16. Pappone C, Oreto G, Lamberti F, et al. Catheter ablation of paroxysmal atrial fibrillation using
a 3D mapping system. Circulation 1999;100:1203 1208.
17. Kirchhof P, Benussi S, Kotecha D, et al. 2016 ESC Guidelines for the Management of Atrial
Fibrillation Developed in Collaboration With EACTS. Eur Heart J 2016.
18. Markides V, Schilling R. Atrial Fibrillation: classification, pathophysiology, mechanisms and
drug treatment. Heart. 2003;89:939-934.
19. Hassaguerre M et al. Spontaneous Initiation of Atrial Fibrillation by Ectopic Beats
Originating in the Pulmonary Veins. N Engl J Med.1998;339:659-666.
20. Alessie M, et al. Current Perspective; Pathophysiology and Prevention of Atrial Fibrillatio n.
Circulation.2001;103:769.
21. Hassaguerre M, Hocini M, Sanders P, et al. Catheter ablation of longlasting persistent atrial
fibrillation: clinical outcome and mechanisms of subsequent arrhythmia s. J Cardiovasc
Electrophysiol 2005;16:1138 1147.
22. Nademanee K, McKenzie J, Kosar E, et al. A new approach for catheter ablation of atrial
brillation: mapping of the electrophysiologic substrate.J Am Coll Cardiol 2004;43:2044
2053.
23. Oral H, Chugh A, Yoshida K, et al. A randomized assessment of the incremental role of
ablation of complex fractionated atrial electrograms after antral pulmonary vein isolation for
long-lasting persistent atrial fibrillation. J Am Coll Cardiol 2009;53:782e9.
24. Habel N, Znojkiewicz P, Thompson N, et al. The temporal variability of dominant frequency
and complex fractionated atrial electrograms constrains the validity of sequential mapping in
human atrial brillation. Heart Rhythm 2010;7:586e93.
25. Cappato R, Calkins H, Chen SA, et al. Updated worldwide survey on the methods, efficac y,
and safety of catheter ablation for human atrial fibrillation. Circ Arrhythm Electrophys io l
2010;3:3238.
26. Lubitz SA, Fischer A., Fuster V. Catheter ablation for atrial fibrillation. BMJ. 2008;336:819 -
826.
27. Haegeli LM, Calkins H. Catheter ablation of atrial fibrillation: an update. Eur Heart J
2014;35:2454-2460.

11

Anda mungkin juga menyukai