Anda di halaman 1dari 7

ATRIAL FLUTTER

a. Definisi
Atrial flutter adalah aritmia kardiak yang ditandai dengan frekuensi
atrium 240-400 detak/menit disertai tanda-tanda blokade konduksi nodus
atrioventrikular. Atrial flutter dapat terjadi pada berbagai penyakit medis
yang mendasari seperti penyakit paru obstruktif kronik, penyakit katup
mitral dan trikuspid, serta akibat pembentukan jaringan parut pada
dinding atrium pasca operasi penyakit jantung bawaan.

b. Etiologi
Etiologi atrial flutter sering bersinggungan dengan penyebab atrial
fibrilasi (AF). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan atrial
flutter antara lain penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), penyakit katup
mitral dan trikuspid, serta bekas sayatan pascaoperasi penyakit jantung
bawaan.
Risiko atrial flutter meningkat hingga 2 kali lipat pada individu
dengan PPOK dibandingkan individu tanpa PPOK. Selain itu, kebiasaan
merokok dianggap sebagai prediktor independen terhadap
kekambuhan atrial flutter pasca kardioversi pada wanita dengan PPOK.

c. Patofisiologi
Sebagai suatu macroreentrant atrial tachycardia (MAT), mekanisme
patofisiologi atrial flutter adalah suatu sirkuit listrik yang masuk kembali
(re-entry) ke dalam atrium kanan yang disertai aktivasi pasif atrium kiri.
 Mekanisme Re-entry pada Atrial Flutter

Mekanisme re-entry pada atrial flutter didasarkan pada


pengamatan hewan coba yang menunjukkan bahwa atrial
flutter dapat diinduksi dan bertahan apabila ada suatu lesi linier
pada atrium, terutama di antara kedua vena kava atau pada dinding
atrium kanan. Apabila terdapat garis penghambat pada lokasi ini,
gelombang konduksi tidak dapat diteruskan dan dipaksa memutar
ke sekitarnya.
Cavotricuspid isthmus (CTI) memiliki peran dalam
menyediakan zona protektif konduksi lambat yang penting pada
pembentukan sirkuit re-entry atrial flutter. Kecepatan konduksi
listrik melewati CTI lebih lambat pada pasien dengan atrial
flutter dibandingkan individu tanpa atrial flutter. Hal ini diduga
berkaitan dengan fibrosis interseluler akibat penuaan atau dilatasi
atrium sehingga mengubah sambungan celah antarsel dan
menyebabkan konduksi anisotropik yang tak merata di seluruh
jaringan trabekular di CTI.
Struktur lain yang turut mempengaruhi perkembangan barier
fungsional pada kejadian atrial flutter adalah krista terminalis.
Secara normal, perlambatan konduksi dan hambatan impuls ke arah
transversal dapat terjadi pada krista terminalis ketika irama.
Pada atrial flutter, hambatan konduksi transversal di sepanjang
krista terminalis tersebut menjadi pembatas lateral dari lokasi atrial
flutter. Atrial flutter tipikal lebih sering muncul pada individu dengan
krista terminalis yang tebal dan kontinu, serta menunjukkan
hambatan konduksi transversal pada panjang siklus pacu jantung
yang lebih lama.
 Tipe Gelombang Atrial Flutter
Gelombang atrial flutter memiliki dua tipe, yakni berlawanan
jarum jam dan searah jarum jam (dilihat dari perspektif anterior
oblik kiri pada sisi ventrikuler di anulus trikuspidalis). Pada atrial
flutter yang berlawanan jarum jam, gelombang berjalan ke arah
kaudosefalik menuju sisi septal anulus trikuspidalis lalu ke krista
terminalis dan berlanjut ke arah sefalokaudal ke dinding lateral
atrium kanan menuju anulus trikuspidalis lateral hingga ke
CTI. Atrial flutter yang searah jarum jam sering disebut
dengan atrial flutter tipikal terbalik karena arah sirkuitnya
berlawanan dari atrial flutter tipikal murni. Pada kedua jenis atrial
flutter tipikal ini, sirkuit atrial flutter terbatas hanya pada atrium
kanan saja meskipun aktivasi atrium kiri dapat terjadi sebagai
akibat dari terusan konduksi transseptal melewati koneksi inferior
sinus koronarius-atrium kiri, berkas Bachmann, dan fossa ovalis.

d. Diagnosis

Diagnosis atrial flutter ditegakkan berdasarkan data anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala aritmia serta didukung oleh hasil
elektrokardiogram yang khas berupa gelombang berbentuk gigi gergaji. Pada pasien
yang dicurigai mengalami atrial flutter, evaluasi skoring akan sangat berguna dalam
menentukan strategi antikoagulan ketika tindakan kardioversi atau ablasi kateter
menjadi pilihan pengobatan.
 Anamnesis
Informasi yang didapat dari anamnesis pasien yang dicurigai mengalami atrial
flutter tidak terlalu spesifik untuk membedakan kondisi tersebut dari aritmia atrium
lainnya. Selain itu, belum ada suatu algoritma klinis spesifik yang dikembangkan
untuk mengarahkan tanda dan gejala klinis yang dapat membantu meningkatkan
probabilitas diagnosis atrial flutter.
- Manifestasi Klinis
Pasien dengan atrial flutter dapat muncul tanpa gejala atau dengan gejala.
Gejala yang mungkin berkaitan dengan atrial flutter antara lain berdebar-debar, rasa
melayang, mudah lelah, penurunan toleransi aktivitas, sesak, dan nyeri dada.
Bila atrial flutter telah berlangsung lama dan tidak mendapat penanganan
segera, gejala komplikasi kardiovaskuler akut seperti gagal jantung dan sindrom
koroner akut dapat muncul. Sebagai bagian dari takikardia supraventrikuler
(SVT), atrial flutter jarang sekali sampai menyebabkan sinkop walaupun keluhan
berupa rasa melayang dapat ditemukan.
- Faktor Risiko
Faktor risiko yang meningkatkan probabilitas pasien terhadap atrial flutter juga harus
digali. Pasien perlu ditanyakan apakah pernah mengalami riwayat kelainan irama
jantung atau keluhan yang sesuai atrial flutter dan aritmia lainnya. Riwayat
pengobatan yang pernah didapatkan, durasi pengobatan, serta prosedur invasif jantung
yang pernah dijalani juga perlu ditanyakan.
- Komplikasi
Sekitar 7% pasien dengan atrial flutter dapat mengalami trombosis aurikel yang
berpotensi meningkatkan risiko tromboembolisme sehingga evaluasi risiko perlu
dilakukan saat anamnesis. Skor CHADS2 dan CHA2DS2-VASc merupakan sistem
skoring yang dapat membantu stratifikasi risiko stroke iskemik pada pasien atrial
flutter.

 Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan fisik pada pasien dengan atrial


flutter asimptomatik biasanya tidak terlalu khas selain menunjukkan
suatu takikardi reguler saja. Walaupun demikian, evaluasi sistem
kardiovaskuler menyeluruh tetap diperlukan.
Mengingat atrial flutter cukup sering ditemukan bersama
atrial fibrilasi, pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosis atrial
fibrilasi (AF) juga harus dilakukan. Hal ini mencakup adanya pulsasi
ireguler, pulsasi vena jugularis ireguler, dan intensitas bunyi jantung
pertama yang bervariasi akibat perubahan preload ventrikel.
Walaupun denyut nadi ireguler lebih sering ditemukan pada kasus
AF, pulsasi reguler juga dapat terjadi pada pasien dengan AF dan
blokade jantung total yang disertai irama lolos
(junctional/ventricular escape rhythm). Adanya murmur biasanya
mengindikasikan bahwa terdapat kelainan katup sebagai penyebab
dasar atrial flutter dan AF. Distensi vena jugular, edema perifer,
ronki basah halus, dan adanya bunyi jantung ketiga mengisyaratkan
suatu kondisi gagal jantung.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis atrial
flutter yang utama adalah EKG dimana akan didapatkan gambaran
gigi gergaji.
- Elektrokardiogram
Elektrokardiogram (EKG) 12 sandapan pada saat takikardia
dapat menunjukkan gambaran gigi gergaji yang merupakan temuan
EKG khas pada atrial flutter.
Gambaran EKG pada atrial flutter tipikal terbalik berlawanan
dengan gambaran EKG pada atrial flutter tipikal murni. Pada atrial
flutter tipikal terbalik, defleksi positif gelombang kepak pada EKG
terlihat pada sandapan inferior yang disebabkan oleh aktivasi
atrium kiri dari arah depan dekat berkas Bachman. Perbedaan pola
EKG ini tidak berpengaruh terhadap laju atrium dan ventrikel pada
kedua tipe atrial flutter tipikal.
- Ekokardiografi Transesofageal
Ekokardiografi transesofageal (transesophageal
echocardiography/TEE) merupakan pemeriksaan penunjang yang
sangat baik dalam mendeteksi trombus di atrium pada kasus atrial
flutter. Sekitar 6% pasien dengan atrial flutter dapat mengalami
trombus di atrium kiri dan risiko ini semakin meningkat khususnya
pada pasien yang disertai atrial fibrilasi dengan onset >48 jam.
Canadian Cardiovascular Society (CCS) merekomendasikan TEE
sebagai pemeriksaan penunjang untuk memastikan adanya trombus
atrium kiri, khususnya pada pasien yang berpotensi memerlukan
kardioversi dini, sebagai alternatif terhadap terapi antikoagulan selama
3 minggu sebelum kardioversi.

- Uji Elektrofisiologi
Jika EKG saat takikardia telah menunjukkan pola yang sesuai
dengan atrial flutter, pemeriksaan lanjutan berupa uji elektrofisiologi
harus dilakukan untuk meningkatkan kesuksesan ablasi kateter
radiofrekuensi. Uji elektrofisiologi dilakukan dengan pemetaan aktivasi
menggunakan kateter multisandapan maupun sistem komputer
pemetaan aktivasi tiga dimensi. Pemeriksaan ini sangat berguna
khususnya pada kasus atrial flutter tipikal terbalik, atrial flutter yang
disertai atrial fibrilasi, gambaran gelombang delta pada EKG, dan atrial
fibrilasi dengan konduksi aberan.

- Rontgen Dada
Pemeriksaan rontgen dada dapat dilakukan apabila terdapat
kecurigaan penyakit jantung struktural atau penyakit pada paru-paru
sebagai etiologi atrial flutter. Kardiomegali, peningkatan vaskuler paru,
dan efusi pleura pada gambaran rontgen dada dapat mengisyaratkan
suatu gagal jantung kongestif. Rontgen dada juga dapat bermanfaat
untuk mengidentifikasi penyebab atrial flutter yang tak lazim
khususnya pada populasi bayi dan anak-anak. Suatu laporan kasus dari
Almeida menemukan bahwa insersi kateter vena umbilikalis yang
terlalu dalam dapat menyebabkan ujung kateter berakhir di sekitar
atrium kiri dan memicu kejadian atrial flutter.
- Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah yang dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan atrial flutter mencakup pemeriksaan darah perifer lengkap,
elektrolit serum, fungsi ginjal, hati, dan tiroid. Pemeriksaan darah
perifer lengkap, termasuk hitung jenis, menjadi penting apabila pasien
datang dengan atrial flutter kompleks atau dengan keluhan utama
berupa sesak napas. Sebuah penelitian yang dilakukan
Scheuermeyer et al menemukan bahwa sekitar 60% pasien
dengan atrial flutter atau atrial fibrilasi kompleks, memiliki penyakit
penyerta berupa sepsis atau gagal jantung akut.
Pemeriksaan fungsi tiroid dan hati juga diperlukan sebagai
evaluasi awal jika pasien akan mendapat terapi amiodarone.
Penggunaan amiodarone jangka pendek biasanya ditoleransi dengan
baik oleh pasien, namun penggunaan jangka panjang berpotensi
menyebabkan disfungsi tiroid, kelainan fungsi hati, dan toksisitas paru.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan:
- Digitalis, DC syok, propranolol, verapamil atau adenosin
- Amlodaron untuk kasus-kasus resisten
- Tidak perlu untuk antikoagulasi

Sumber :

1. Page RL, Joglar JA, Caldwell MA, Calkins H, Conti JB, Deal BJ, et al. 2015
ACC/AHA/HRS Guideline for the Management of Adult Patients With
Supraventricular Tachycardia: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines and the Heart Rhythm Society. J Am Coll Cardiol [Internet].
2016 Dec 5;67(13):e27–115. Available from:
http://circ.ahajournals.org/lookup/doi/10.1161/CIR.0000000000000310
2. Chubb H, Williams SE, Whitaker J, Harrison JL, Razavi R, Neill MO.
Diagnostic Electrophysiology & Ablation Cardiac Electrophysiology Under
MRI Guidance : an Emerging Technology Diagnostic Electrophysiology &
Ablation. Arrhythmia Electrophysiol Rev. 2017;6(Ivc):85–93.
3. Tai C-T, Chen S. Review Article Electrophysiological Mechanisms of Atrial
Flutter. Indian Pacing Electrophysiol J. 2006;6(2):119–32.
4. January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, Cigarroa JE, Cleveland JC, et al.
2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation. Circulation [Internet]. 2014 Dec 2;130(23):183–8. Available
from: https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIR.0000000000000041
5. Buku Praktis Kardiologi FK Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai