1. Pendidikan Islam.
1.Judul.
297.64
KEBIJAKAN TERHADAP KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Keberhasilan pembangunan nasional merupakan satu kesatian utuh dari semua sektor
pembangunan, dan bukan merupakan penjumlahan keberhasilan dari setiap sektor
pembangunan. Sehubungan dengan itu, maka keberhasilan pembangunan di sektor
pendidikan sangat tergantung kepada keberhasilan sektor-sektor lin secara keseluruhan.
Bahkan sangat dipengaruhi oleh kemajuan internasional atau arus globalisasi secara
keseluruhan.
Pada dasarnya maksud dan tujuan pembangunan di bidang pendidikan adalah untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik mutu dalam arti moral-spiritual atau mental,
maupun muti dalam arti intelektual-profesional atau kemampuan berkerja dan beramal sesuai
dengan konteksnya.
Bangsa indonesia sadar sepenuhnya bahwa tidak ada teon pendidikan yang berlaku
umum bagi setiap bangsa di dunia ini Setiap bangsa memerlukan sistem pendidikan
nasionalnya sendir sendiri sesuai dengan nilai-nilai luhur, sebagaimana terkandung dalam
pandangan hidupnya. Dituturkan dalam kebudayan dan kepercayaan agama yang dipeluknya.
Bagi bangsa Indonesia dasar pendidikannya adalah Pancasila. Sebagai konsekuensi logis dari
padanya, maka tujuan pendidikan nasional adalah tumbuh dan berkembangnya kepribadian
Pancasila.
Selain itu, GBHN menginginkan agar setiap warga negara memperoleh kesempatan
yang maksimal untuk menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Dengan pendidikan
diharapkan agar setiap warga mampu memberikan sumbangan terbaik dan maksimal untuk
memajukan kehidupan bersama. Dengan pendidikan berusaha ditumbuhkan budaya disiplin
dan berlomba dalam kebaikan. Dalam hal ini hak setiap warga diharapkan mendahulukan
kepentingan bersama dan negara di atas kepentingan masyarakat, golongan, keluarga, dan diri
sendiri. Sebaliknya, dalam hal kewajiban diharapkan mendahulukan kewajiban pribadi
sebelum orang lain.
Sehubungan dengan idealisme semacam itu, bangsa Indonesia menolak dengan keras
pendidikan sebagai bidang komersialisasi. Pendidikan dan ilmu adalah bidang-bidang "suci"
yang harus dijaga kehormatannya dan diamalkan demi kebaikan dan kemajuan bangsa, bukan
sebagai komoditi yang dapat diperjual-belikan.
Tetapi bagaimana kenyataannya? Seberapa jauh keinginan GBHN 1988 itu menjadi
kenyataan? Benarkah pendidikan masih tetap menjadi bidang suci atau sudah mulai tercemar
menjadi bidang komersialiasi? Mampukah pendidikan menjadi bidang suci pembangunan
untuk mengangkat dan mengembangkan kepribadian bangsa, sehingga menjadi bangsa yang
maju dan terhormat dalam tata kehidupan dunia?
Secara makro, dinamika pembangunan nasional menunjukkan kemajuan yang
mengesankan. Pertumbuhan ekonomi sangat terasa kehadirannya di tengah-tengah kehidupan
bersama, sehingga dapat melaksanakan pembangunan di pelbagai sektor dengan tenang dan
dinamis. Kepercayaan luar negeri semakin besar. Deregulasi semakin longgar dan kontrak
dengan bangsa bangsa lain pun semakin terbuka. Semua itu diharapkan dapat memperbesar
gairah membangun, termasuk pembangunan di bidang Pendidikan.
Secara makro, di bidang Pendidikan nasional ada masalah mendasar dan monumental,
yaitu:
1. Pengaruh Globalisasi
Masalah pengaruh globalisasi itu berada di seputar ketidak seimbangan kekuatan dan
kemajuan antara kelompok negara-negara utara dan selatan. Atau dalam skala yang lebih
kecil antara lapisan masyarakat dalam satu negara, di mana lapisan atas dan kaya memegang
posisi membantu dan mengatur. Sedangkan lapisan bawah yang miskin berada dalam posisi
dibantu dan diatur. Hal ini disebabkan karena kelompok atas memiliki informasi-komunikası
lengkap dengan teknologi canggih. Sementara kelompok bawah tidak memiliki semuanya itu.
Mereka "kebanjiran" informasi-komunikasi yang tidak mampu dimanfaatkan dalam
kehidupan modern. Dengan kata lain, arus globalisasi menyebabkan satuan lapisan
masyarakat atas atau negara berhasil masuk dalam kemajuar struktural. Sedangkan lapisan
masyarakat bawah justru terperangkap ke dalam kebodohan atau kemiskinan struktural.
Seiring dengan itu telah muncul pula sekolah-sekolah favorites dan tidak favorites.
Semua itu, selain memperlebar ju ang perbedaan antara lapisan masyarakat atas dan bawah,
menyuburkan semakin besarnya kecemburuan sosial. Bahkan secara keseluruhan dampak
globalisasi itu dapat memudarkan identitas nasional, yaitu larutnya kepribadian nasional ke
dalam kepribadian internasional. Hal ini justru menyerang kelompok atas yang memperoleh
kesempatan belajar yang lebih tinggi di luar negeri.
Anak pejabat dan anak orang kaya belajar di sekolah-sekolah mereka atau di
perguruan tinggi negeri yang favorit di dalam negeri dan di luar negeri. Sementara keadaan
sebaliknya diperoleh oleh yang berasal dari lapisan bawah. Dengan kata lain, makin rendah
jabatan dan miskin keluarga yang bersangkutan, anaknya dikirim ke sekolah "apa adanya".
Sekalipun sebenarnya banyak anak berbaka dan jenius yang dilahirkan dari keluarga
kelompok ini. Tetapi, karena faktor kemiskinan tidak memungkinkan baginya memasuki
sekolah sekolah yang lebih baik dan bermutu.
Dengan demikian, variabel yang berlaku untuk memperoleh jenis sekolah yang baik
tidak semata-mata ditentukan oleh baka atau kemampuan intelektual dan kesungguhan.
Tetapi lebih banyak ditentukan oleh uang dan kedudukan sosial orang tua. Dan, seiring
dengan itu, muncul pula adanya gejala komersialisasi dunia pendidikan.
2. Kuantitatif.
Masalah ini berada di seputar ketidakseimbangan antara jumlah yang ingin masuk dan
daya tampung sekolah. Hal ini amat terasa pada sekolah-sekolah negeri, lebih-lebih pada
sekolah terkenal dan bergengsi. Sekolah-sekolah negeri lebih murah dan memiliki peralatan
serta mutu pendidikan yang lebih baik daripada swasta. Di samping itu, ijazah negeri
merupakan syarat utama, bahkan "tunggal" untuk meniti jenjang kerja dan belajar lebih lanjut
setelah menamatkan satu jenjang pendidikan tertentu.
3. Kualitatif
Masalah ini berada di seputar ketidakseimbangan antara mutu yang ingin dihasilkan
dengan kenyataan yang ada. Meskipun tulisan ini tidak dapat menyajikan data terukur secara
tepat untuk itu, namun dapat diamati bahwa pada umumnya mutu hasil pendidikan masih
rendah dan tidak selalu relevan dengan kebutuhan kerja yang diperlukan. Praktis hampir tidak
ada anak yang tidak naik kelas dan ndak lulus ujian. Hal ini karena mengejar target kuantitatif
bukan kualitiatif. Memang, pendidikan tidak dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang
siap pakai, tetapi yang siap belajar lebih lanjut.
Dalam kaitan dengan kerja pendidikan bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang
siap menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, kemudian diharapkan mampu melaksanakan
pekerjaannya dengan penuh inisiatif dan dedikatif. Bukan menjadi pekerja tukang yang
mekanis tanpa pemikiran pengembangan. Dewasa ini, praktis kita belum dapat mengandalkan
kemampuan lulusan SLTA, baik untuk bekerja maupun usaha mandiri. Bahkan banyak
lulusan S-1 yang masih mengecewakan dalam prestasi kerjanya.
Masalah kualitatif ini disebabkan oleh watak pendidikan kita yang masih beroritasi
pada: (a) masa lampau dan bukan ke masa depan; (b) kepentingan pendidik bukan pada
kepentingan peserta didik, dan (c) formalitas dan bukan pada profesionalitas. Kecuali tu,
masalah tersebut tidak terlepas dari dampak negatif arus globalisasi yang menyebabkan
munculnya gejala kuantitatif-massal dan standarisisasi. Sebenarnya, globalisasi juga
memunculkan gejala spesialisasi yang berpotensi memacu pengembangan: kreativitas,
inovasi, dan dinamika persaingan. Justru di masa-masa mendatang orang akan banyak
dihadapkan pada tantangan untuk memilih, karena membanjirnya pilihan atau "over
choiches" daripada bahaya kuantitaif-massal.
Oleh karena itu, orentasi pendidikan nasioanal harus mengacu ke depan dan demi
kepentingan anak didik dalam usaha menentukan pilihannya sendiri. Jadi, anak perlu dibekali
kemampuan memilih yang sesuai dengannya, sekaligus juga demi kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara. Melalui kepentingan umumlah, kepentingan pribadi dapat dipenuhi
dengan leluasa.
4. Efesien
5. Efektifitas
Masalah Mendesak
1. Guru
Masalah ini menyangkut jumlah, mutu, kesejahtraan, dan sistem pengadaan guru.
Kalau dalam Bangkajang I prioritas pemenuhan guru bersifat kuantitatif, maka dalam
Bangkajang II ini prioritas pertama harus sudah diletakkan pada mutu guru. Guru bukan
hanya sebagai pengajar tetapi juga pendidik. Dengan demikian tidak semua orang dapat
menjadi guru; hanya orang-orang yang berbakat dan telah melalui jenjang pendidikan guru
oleh lembaga pendidikan guru tingkat tinggi yang profesional.
Hal ini hanya mungkin diatasi apabila kesejahtraan dan kebutuhan guru di tengah
kehidupan sosial dapat dijamin dan dihormati kewibawaannya. Jabatan guru hendaknya
diperlakukan sebagai jabatan edukatif-profesional, bukan sebagai pegawai birokrasi-
adiministrasi. Misalnya, makin rendah tingkat sekolah, makin diperlukan guru-guru senior
dan berpandagan luas dan arif sebagai pendidik. Oleh karena itu, kepangkatan guru yang
tinggi memungkinkan baginya untuk mengajar di tingkat bawah. Tidak seperti sekarang
justru siswa yunior diasuh oleh guru yunior, karena persoalan pangkat kepegawaiannya yang
rendah.
2. Kurikulum
Kurikulum hendaknya lebih berorientasi ke masa depan dan kepentingan anak didik,
sesuai dengan tantangan zaman modern yang mementingkan prestasi, bukan prestise.
3. Buku
Isi buku-buku pelajaran hendaknya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang telah
berubah dari masyarakat tani ke industri; dari masyaraka yang hanya berorientasi ke "darat"
ke masyarakat yang berorientasi ke "laut" dan "kedirgantaraan"; dari masyarakat lokal ke
nasional dan internasional.
4. Metodologi
Perlu segera diadakan reorientasi metodologi pengajaran da cara belajar pasif ke cara
belajar aktif. Dari murid menun menerima, dan meniperoleh materi pelajaran sebanyak-
banyaknya menjadi aktif mencari dan menguasai metodologi berpikir yang k dan konstruktif.
Dari dimensi belajar "memiliki menjadi bela "menjadi atau dari dimensi balajar "memori"
menjadi metode belajar “mengolah” dan “menganalisis” , kemudian “mensintesa”
“mengevaluasi” , dan ;mengantisipasi”.
5. Sarana