Anda di halaman 1dari 10

Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam

Oleh Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed.

Hak Cipta pada: Pengarang


Hak Penerbitan pada: PT LOGOS Wacana Ilmu Layout: Maula PS
Desain Sampul: Salimi Ahmad
Diterbitkan oleh: PT Logos Wacana limu
Bukit Pamulang Indah V. Jl. Poksay, Blok A-4/2
Pamulang Timur, Ciputat-15417 Telepon: (021) 7434778, Fax: 7493747
Cetakan Pertama: Maret 1999
LWI: 046

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang, mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh buku ini
tanpa izin Penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Maruhu
Memberdayakan sistem pendidikan Islam/
Marubu-Cet. 1. Jakarta: Logos 1999, 298xvill hlm. 21cm.
Bibliografi
Indeks
ISBN 979-626-068-9

1. Pendidikan Islam.
1.Judul.

297.64
KEBIJAKAN TERHADAP KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

TULISAN ini berusaha menyajikan hasil pengamatan evaluatif mengenai


pembangunan nasional di bidang pendidikan dalam tahun terakhir Bangkajang I
(Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Pertama). Akan diupayakan di sini bagaimana
posisi pembangunan pendidikan nasional lengkap dengan masalah masalah mendesak yang
harus segera ditanggulangi. Kemudian dilanjutkan dengan penuturan bagaimana antisipasi
kedudukan dan masalahnya di awal Bangkajang II. Adapun tolok ukur yang digunakan dalam
pengamatan itu adalah keinginan GBHN (Garis garis Besar Haluan Negara) 1988 di bidang
pendidikan. Dengan kata lain, tulisan ini ingin menyajikan perbandingan antara apa yang
diinginkan oleh GBHN 1988 dengan apa yang terjadi.

Seperti diketahui, medan berlakunya kegiatan pendidikan adalah dalam lingkungan


keluarga (pendidikan informal), lingkungan masyarakat (pendidikan non-formal), dan
lingkungan sekolah (pendidikan formal). Tulisan ini akan memusatkan perhatiannya terutama
dalam lingkungan pendidikan formal.

Meskipun demikian, disadari sepenuhnya, bahwa ketiga lingkungan tersebut


(keluarga, masyarakat dan sekolah) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu, kedua daerah lingkungan itu tetap disinggung dalam tulisan ini.

Keinginan GBHN dan Kenyataan Pendidikan Nasional dan


Kenyataan Pendidikan Nasional

Keberhasilan pembangunan nasional merupakan satu kesatian utuh dari semua sektor
pembangunan, dan bukan merupakan penjumlahan keberhasilan dari setiap sektor
pembangunan. Sehubungan dengan itu, maka keberhasilan pembangunan di sektor
pendidikan sangat tergantung kepada keberhasilan sektor-sektor lin secara keseluruhan.
Bahkan sangat dipengaruhi oleh kemajuan internasional atau arus globalisasi secara
keseluruhan.

Pada dasarnya maksud dan tujuan pembangunan di bidang pendidikan adalah untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik mutu dalam arti moral-spiritual atau mental,
maupun muti dalam arti intelektual-profesional atau kemampuan berkerja dan beramal sesuai
dengan konteksnya.

Bangsa indonesia sadar sepenuhnya bahwa tidak ada teon pendidikan yang berlaku
umum bagi setiap bangsa di dunia ini Setiap bangsa memerlukan sistem pendidikan
nasionalnya sendir sendiri sesuai dengan nilai-nilai luhur, sebagaimana terkandung dalam
pandangan hidupnya. Dituturkan dalam kebudayan dan kepercayaan agama yang dipeluknya.
Bagi bangsa Indonesia dasar pendidikannya adalah Pancasila. Sebagai konsekuensi logis dari
padanya, maka tujuan pendidikan nasional adalah tumbuh dan berkembangnya kepribadian
Pancasila.

Adapun fungsi pendidikan nasional menurut keinginan GBHN adalah


mengembangkan: pengetahuan, kemauan, dan keterampilan atau keahlian warga negaranya,
baik secara individual maupun kolektif dalam rangka menumbuh-kembangkan sumber daya.
manusia Indonesia. Di mana pada akhirnya dilakukan untuk memajukan bangsa dan negara
secara menyeluruh. Melalui pendidikan juga diharapkan dapat dibudayakan nilai kehidupan
bahwa belajar merupakan kewajiban sepanjang hayat.

Selain itu, GBHN menginginkan agar setiap warga negara memperoleh kesempatan
yang maksimal untuk menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Dengan pendidikan
diharapkan agar setiap warga mampu memberikan sumbangan terbaik dan maksimal untuk
memajukan kehidupan bersama. Dengan pendidikan berusaha ditumbuhkan budaya disiplin
dan berlomba dalam kebaikan. Dalam hal ini hak setiap warga diharapkan mendahulukan
kepentingan bersama dan negara di atas kepentingan masyarakat, golongan, keluarga, dan diri
sendiri. Sebaliknya, dalam hal kewajiban diharapkan mendahulukan kewajiban pribadi
sebelum orang lain.

Sehubungan dengan idealisme semacam itu, bangsa Indonesia menolak dengan keras
pendidikan sebagai bidang komersialisasi. Pendidikan dan ilmu adalah bidang-bidang "suci"
yang harus dijaga kehormatannya dan diamalkan demi kebaikan dan kemajuan bangsa, bukan
sebagai komoditi yang dapat diperjual-belikan.

Tetapi bagaimana kenyataannya? Seberapa jauh keinginan GBHN 1988 itu menjadi
kenyataan? Benarkah pendidikan masih tetap menjadi bidang suci atau sudah mulai tercemar
menjadi bidang komersialiasi? Mampukah pendidikan menjadi bidang suci pembangunan
untuk mengangkat dan mengembangkan kepribadian bangsa, sehingga menjadi bangsa yang
maju dan terhormat dalam tata kehidupan dunia?
Secara makro, dinamika pembangunan nasional menunjukkan kemajuan yang
mengesankan. Pertumbuhan ekonomi sangat terasa kehadirannya di tengah-tengah kehidupan
bersama, sehingga dapat melaksanakan pembangunan di pelbagai sektor dengan tenang dan
dinamis. Kepercayaan luar negeri semakin besar. Deregulasi semakin longgar dan kontrak
dengan bangsa bangsa lain pun semakin terbuka. Semua itu diharapkan dapat memperbesar
gairah membangun, termasuk pembangunan di bidang Pendidikan.

Angka-angka berikut menunjukkan betapa secara makro pembangunan nasional telah


menunjukkan hasilnya mengesankan. Penghasilan eksport kita dalam Pelita (Pembangunan
Lima Tahun) V telah naik dari 7 milyard dollar AS menjadi 20 milyar dollar AS. Pendapatan
rata-rata perkapita naik dari 100 dollar A menjadi 500 dollar AS. Angka kematian bayi
menurun dari orang menjadi 58 orang. Harapan hidup rata-rata naik dari s bawah 50 tahun
menjadi 65 tahun. Lulusan SD (Sekolah Dasar dalam Pelita V menjadi 3.815.00; SLTP
(Sekolah Lanjutan Pertama) 1.986.000; SMU (Sekolah Menengah Umum) 1.010.400, dan
jumlah mahasiswa yang selama Pelita II 239.300 menjadi 1.663.900 pada akhir Pelita IV
yang lalu. Kini, jumlah mereka yang lulus perguruan tinggi terus bertambah (Kompas, 6 Juli
1990). Kecuali itu, angka partisipasi sekolah SD telah terpenuhi 100%. Angka-angka
partisipasi untuk tingkat sekolah yang lebih tinggi pun terus meningkat.

Namun demikian, jika pengamatan secara mikro dilakuka untuk menganalisis


pembangunan secara sektoral, dalam hal in bidang pendidikan, ternyata terdapat isyarat-
isyarat yang menark untuk disimak. Bahkan juga terdapat gejala-gejala yang sifatnya
mendasar dan dapat dikategorikan serius untuk segera ditanggulang.

Secara makro, di bidang Pendidikan nasional ada masalah mendasar dan monumental,
yaitu:

1. Pengaruh Globalisasi

Seperti dikemukkan di atas, masalah pendidikan tidak lepas dari pengaruh


pertumbuhan internasional secara global. Masalah ini sebenarnya telah muncul sejak awal
zaman industrialisasi, yakni sejak ditemukannya mesin uap dan alat-alat mesin lain, seperti
alat alat elektronika, informasi, dan komunikasi. Setiap penemuan baru membuka wawasan
pemikiran yang lebih luas dan kerja semakin gencar. Jarak penemuan satu ke penemuan lain
semakin pendek dan memacu penemuan berikutnya secara berlipat ganda. Semua itu memacu
kerja yang berlipat ganda. Oleh karena itu, menghasilkan barang yang berlipat ganda pula.
Setiap penemuan iptek. menghasilkan ketergantungan manusia dengannya. Manusia tidak
lagi berhadapan dengan kekuatan alam, tetapi dengan kekuatan yang diciptakannya sendiri.

Masalah pengaruh globalisasi itu berada di seputar ketidak seimbangan kekuatan dan
kemajuan antara kelompok negara-negara utara dan selatan. Atau dalam skala yang lebih
kecil antara lapisan masyarakat dalam satu negara, di mana lapisan atas dan kaya memegang
posisi membantu dan mengatur. Sedangkan lapisan bawah yang miskin berada dalam posisi
dibantu dan diatur. Hal ini disebabkan karena kelompok atas memiliki informasi-komunikası
lengkap dengan teknologi canggih. Sementara kelompok bawah tidak memiliki semuanya itu.
Mereka "kebanjiran" informasi-komunikasi yang tidak mampu dimanfaatkan dalam
kehidupan modern. Dengan kata lain, arus globalisasi menyebabkan satuan lapisan
masyarakat atas atau negara berhasil masuk dalam kemajuar struktural. Sedangkan lapisan
masyarakat bawah justru terperangkap ke dalam kebodohan atau kemiskinan struktural.

Zaman industri juga menyuburkan tumbuhnya budaya asing yang materialistik.


Dalam kaitan ini bidang-bidang studi yang "basah" dan sangat relevan dengan pemenuhan
kebutuhan keahlian di berbagai sektor industri menjadi sangat mahal. Karena itu, hanya dapat
dijangkau oleh mereka dari keluarga kaya dan berpendidikan tinggi.

Seiring dengan itu telah muncul pula sekolah-sekolah favorites dan tidak favorites.
Semua itu, selain memperlebar ju ang perbedaan antara lapisan masyarakat atas dan bawah,
menyuburkan semakin besarnya kecemburuan sosial. Bahkan secara keseluruhan dampak
globalisasi itu dapat memudarkan identitas nasional, yaitu larutnya kepribadian nasional ke
dalam kepribadian internasional. Hal ini justru menyerang kelompok atas yang memperoleh
kesempatan belajar yang lebih tinggi di luar negeri.

Dalam konteks tersebut, pengaruh globalisasi bagi perkem bangan pendidikan


nasional adalah gejala bahwa anak dari kmasyarakat tingkat atas memperoleh kesempatan
belajar pada sekolah-sekolah terbaik dan mampu belajar di perguruan-perguruan. bermutu,
baik dalam negari maupun di luar negeri. Sedangkan anak dari lapisan bawah tidak
memperoleh hal yang demikian itu bahkan banyak yang drop out.

Anak pejabat dan anak orang kaya belajar di sekolah-sekolah mereka atau di
perguruan tinggi negeri yang favorit di dalam negeri dan di luar negeri. Sementara keadaan
sebaliknya diperoleh oleh yang berasal dari lapisan bawah. Dengan kata lain, makin rendah
jabatan dan miskin keluarga yang bersangkutan, anaknya dikirim ke sekolah "apa adanya".
Sekalipun sebenarnya banyak anak berbaka dan jenius yang dilahirkan dari keluarga
kelompok ini. Tetapi, karena faktor kemiskinan tidak memungkinkan baginya memasuki
sekolah sekolah yang lebih baik dan bermutu.

Dengan demikian, variabel yang berlaku untuk memperoleh jenis sekolah yang baik
tidak semata-mata ditentukan oleh baka atau kemampuan intelektual dan kesungguhan.
Tetapi lebih banyak ditentukan oleh uang dan kedudukan sosial orang tua. Dan, seiring
dengan itu, muncul pula adanya gejala komersialisasi dunia pendidikan.

2. Kuantitatif.

Masalah ini berada di seputar ketidakseimbangan antara jumlah yang ingin masuk dan
daya tampung sekolah. Hal ini amat terasa pada sekolah-sekolah negeri, lebih-lebih pada
sekolah terkenal dan bergengsi. Sekolah-sekolah negeri lebih murah dan memiliki peralatan
serta mutu pendidikan yang lebih baik daripada swasta. Di samping itu, ijazah negeri
merupakan syarat utama, bahkan "tunggal" untuk meniti jenjang kerja dan belajar lebih lanjut
setelah menamatkan satu jenjang pendidikan tertentu.

3. Kualitatif

Masalah ini berada di seputar ketidakseimbangan antara mutu yang ingin dihasilkan
dengan kenyataan yang ada. Meskipun tulisan ini tidak dapat menyajikan data terukur secara
tepat untuk itu, namun dapat diamati bahwa pada umumnya mutu hasil pendidikan masih
rendah dan tidak selalu relevan dengan kebutuhan kerja yang diperlukan. Praktis hampir tidak
ada anak yang tidak naik kelas dan ndak lulus ujian. Hal ini karena mengejar target kuantitatif
bukan kualitiatif. Memang, pendidikan tidak dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang
siap pakai, tetapi yang siap belajar lebih lanjut.

Dalam kaitan dengan kerja pendidikan bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang
siap menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, kemudian diharapkan mampu melaksanakan
pekerjaannya dengan penuh inisiatif dan dedikatif. Bukan menjadi pekerja tukang yang
mekanis tanpa pemikiran pengembangan. Dewasa ini, praktis kita belum dapat mengandalkan
kemampuan lulusan SLTA, baik untuk bekerja maupun usaha mandiri. Bahkan banyak
lulusan S-1 yang masih mengecewakan dalam prestasi kerjanya.
Masalah kualitatif ini disebabkan oleh watak pendidikan kita yang masih beroritasi
pada: (a) masa lampau dan bukan ke masa depan; (b) kepentingan pendidik bukan pada
kepentingan peserta didik, dan (c) formalitas dan bukan pada profesionalitas. Kecuali tu,
masalah tersebut tidak terlepas dari dampak negatif arus globalisasi yang menyebabkan
munculnya gejala kuantitatif-massal dan standarisisasi. Sebenarnya, globalisasi juga
memunculkan gejala spesialisasi yang berpotensi memacu pengembangan: kreativitas,
inovasi, dan dinamika persaingan. Justru di masa-masa mendatang orang akan banyak
dihadapkan pada tantangan untuk memilih, karena membanjirnya pilihan atau "over
choiches" daripada bahaya kuantitaif-massal.

Oleh karena itu, orentasi pendidikan nasioanal harus mengacu ke depan dan demi
kepentingan anak didik dalam usaha menentukan pilihannya sendiri. Jadi, anak perlu dibekali
kemampuan memilih yang sesuai dengannya, sekaligus juga demi kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara. Melalui kepentingan umumlah, kepentingan pribadi dapat dipenuhi
dengan leluasa.

4. Efesien

Masalah ini berada di seputar ketidaksempurnaanya pelaksanaan pendidikan oleh


berbagai fihak. Bagi bangsa Indonesia hanya ada satu sistem pendidikan nasional, namun
pelaksanaanya dapa dilakukan oleh banyak pihak. Dengan telah disepakatinya UU SPN
(Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional) No. 2/1989, diharapkan semua pelaksanaan
pendidikan, baik negeri maupun swasta, yang dikelola Departemen Pendidikan &
Kebudayaan maupun departemen lain, harus mengacu kepada undang-undang tersebut.
Dewasa ini, masih tampak adanya orientasi kepentingan yang berbeda-beda di antara para
pengelola pendidikan, sehingga muncul ekses negatif, antara lain, komersialisasi pendidikan
bagaimana disebutkan tadi.

5. Efektifitas

Masalah ini berada di seputar ketidakseimbangan antara gura (kuantitatif dan


kualitiatif), kurikulum, metodologi pengajaran, supervisi, dan evaluasi pendidikan dengan
tuntutan kebutuhan yang sangat cepat berkembang dan beragam. Masalah ini terjadi karena
apa yang berjalan di sekolah lebih lambat dengan apa yang berjalan di masyarakat. Kemajuan
iptek mampu mempengaruhi pergeseran pergeseran nilai, biak nilai dasar yang menyangkut
tantangan hidup maupun nilai-nilai instrumental yang menyangkut perkembangan iptek itu
sendiri. Sistem pendidikan untuk memahami ajaran-ajaran dasar pandangan hidup harus
selalu diperbaharui dan dikembangkan dengan konteksnya. Karena itu, kebutuhan untuk
selalu mening katkan mutu guru, mengembangkan kurikulum, memperbaiki metodologi
pengajaran, supervisi, dan evaluasi harus terus dilakukan.

Masalah Mendesak

Memasuki Bangkajang II, kiranya masalah-masalah berikut perlu diprioritaskan


penanggulangannya:

1. Guru

Masalah ini menyangkut jumlah, mutu, kesejahtraan, dan sistem pengadaan guru.
Kalau dalam Bangkajang I prioritas pemenuhan guru bersifat kuantitatif, maka dalam
Bangkajang II ini prioritas pertama harus sudah diletakkan pada mutu guru. Guru bukan
hanya sebagai pengajar tetapi juga pendidik. Dengan demikian tidak semua orang dapat
menjadi guru; hanya orang-orang yang berbakat dan telah melalui jenjang pendidikan guru
oleh lembaga pendidikan guru tingkat tinggi yang profesional.

Hal ini hanya mungkin diatasi apabila kesejahtraan dan kebutuhan guru di tengah
kehidupan sosial dapat dijamin dan dihormati kewibawaannya. Jabatan guru hendaknya
diperlakukan sebagai jabatan edukatif-profesional, bukan sebagai pegawai birokrasi-
adiministrasi. Misalnya, makin rendah tingkat sekolah, makin diperlukan guru-guru senior
dan berpandagan luas dan arif sebagai pendidik. Oleh karena itu, kepangkatan guru yang
tinggi memungkinkan baginya untuk mengajar di tingkat bawah. Tidak seperti sekarang
justru siswa yunior diasuh oleh guru yunior, karena persoalan pangkat kepegawaiannya yang
rendah.

2. Kurikulum

Kurikulum hendaknya lebih berorientasi ke masa depan dan kepentingan anak didik,
sesuai dengan tantangan zaman modern yang mementingkan prestasi, bukan prestise.
3. Buku

Isi buku-buku pelajaran hendaknya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang telah
berubah dari masyarakat tani ke industri; dari masyaraka yang hanya berorientasi ke "darat"
ke masyarakat yang berorientasi ke "laut" dan "kedirgantaraan"; dari masyarakat lokal ke
nasional dan internasional.

4. Metodologi

Perlu segera diadakan reorientasi metodologi pengajaran da cara belajar pasif ke cara
belajar aktif. Dari murid menun menerima, dan meniperoleh materi pelajaran sebanyak-
banyaknya menjadi aktif mencari dan menguasai metodologi berpikir yang k dan konstruktif.
Dari dimensi belajar "memiliki menjadi bela "menjadi atau dari dimensi balajar "memori"
menjadi metode belajar “mengolah” dan “menganalisis” , kemudian “mensintesa”
“mengevaluasi” , dan ;mengantisipasi”.

5. Sarana

Perlu diprioritaskan dan disyaratkan terpenuhnya sarat pendidikan: gedung,


laboratorium, perpustakaan, dan alat-ala pendidikan lain. Sebelum membuka sekolah, perlu
ditekanke "keras", terutama kepada semua fihak yang akan membeka sekolah baru sehingga
terpenuhi apa yang diinginkan oleh UUSPN No. 2/1989. Dewasa ini, banyak sekolah yang
tidak memili perpustakaan, padahal sarana ini merupakan hal yang vital dalam proses balajar
mengajar. Mereka membuka sekolah baru denga persiapan "apa adanya", asal memperoleh
murid banyak.

6. Kesempatan Memperoleh Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan harus dipriontaskan pada yarat kemampatan


akademis, kebutuhan, dan komitmen. Bukan pads kemampuan belajar dan kebutuhan sempit
keluarga, sahabat, das golongan Seiring dengan ini hendaknya bidang-bidang sudi leh
ditekankan pada bidang-bidang pembangunan yang strategis de teknokratik pengelolaan
sumber daya manusia, laut, udara, dans dan lingkungan.
Jadi, perlu ditegaskan bahwa dalam Bangkajang I titik fokus pembangunan nasional
ditekankan pada tercapainya stabilitas nasional, pemerataan, dan pertumbuhan ekonomi.
Maka, dalam Bangkajang II titik fokusnya adalah pengembangan sumber daya manusia
melalui pemberdayaan lembaga pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai