Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS ASPEK NON-TEKNIS DI TPST BANTARGEBANG

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Limbah Padat yang diampu oleh
Dr. Benno Rahardyan, S.T., M.T.

oleh

Zaydan Zulfan Muamar 15320091


Marsha Daulah Salsabila 15320092
Farah Hapsari Yulistyani 15320093
Fayza Muthia Rahmanda Putri 15320099
Ryan Adrianus Win 15320100
Muhammad Zaidan 15320105
Iftitah Sudiono 15320106

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kami kemudahan untuk dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Analisis Aspek Non-Teknis
di TPST Bantargebang” ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Tugas ini. Dalam
proses pengerjaan makalah, penulis mendapatkan banyak pengetahuan baru, terlebih mengenai
aspek non-teknis yang meliputi sistem pengelolaan di TPST Bantargebang. Pengajuan makalah
ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Limbah Padat TL2202 pada
perkuliahan di Institut Teknologi Bandung
Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis mengalami beberapa kendala dan
hambatan, seperti susahnya mencari sumber studi pustaka. Namun, dengan adanya kerjasama
antar anggota kelompok, pada akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Selain itu, kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada Dr. Benno Rahardyan, S.T.,
M.T., selaku dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan Limbah Padat TL2202 juga Kak Sapta,
Kak Tita, dan Kak Saras, selaku kakak asisten, yang telah menyampaikan materi, membimbing,
dan memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar penulis dapat menyusun tugas ini menjadi
lebih baik dari segi isi maupun penyampaian. Penulis berharap bahwa tugas dengan judul
“Analisis Aspek Non-Teknis di TPST Bantargebang” ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 10 April 2022

Penulis

1
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL...................................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 5
1.2 Maksud dan Tujuan .......................................................................................................... 5
1.3 Ruang Lingkup Studi ....................................................................................................... 6
BAB II KONDISI EKSISTING DI TPST BANTARGEBANG .............................................. 7
2.1. Gambaran Umum Wilayah Studi .................................................................................... 7
2.2 Aspek Non Teknis ............................................................................................................ 8
2.2.1 Sistem Kelembagaan Formal ..................................................................................... 8
2.2.2 Sistem Kelembagaan Informal ................................................................................ 10
2.2.3 Struktur Organisasi .................................................................................................. 11
2.2.4 Biaya Pengelolaan TPST ......................................................................................... 13
2.2.5 Upaya Penanganan Sampah..................................................................................... 15
2.2.6 Dampak Lingkungan dan Sosial Secara Umum ...................................................... 16
BAB III EVALUASI KONDISI EKSISTING ....................................................................... 18
3.1 Best Practice Jepang ....................................................................................................... 18
3.2 Evaluasi Pendanaan ........................................................................................................ 20
3.3 Evaluasi Kelembagaan ................................................................................................... 21
3.4 Evaluasi Regulasi ........................................................................................................... 22
3.5 Evaluasi Pengeloaan ....................................................................................................... 24
BAB IV REKOMENDASI PERBAIKAN KONDISI EKSISTING ...................................... 26
4.1 Rekomendasi Pendanaan ................................................................................................ 26
4.2 Rekomendasi Kelembagaan ........................................................................................... 26
4.3 Rekomendasi Regulasi ................................................................................................... 27
4.4 Rekomendasi Pengelolaan.............................................................................................. 27
BAB V PENUTUP ................................................................................................................. 28
5.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 28
5.2 Saran ............................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 29
LAMPIRAN............................................................................................................................. 32

2
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Luas Zona Lahan Urug Saniter


Tabel 2.2.1 Daftar Bentuk Kerjasama TPST Bantargebang
Tabel 2.2.3 Daftar Pengelola TPST Bantargebang
Tabel 2.2.4 Biaya Operasional Sampah per Ton Setiap Tahun

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pembagian Wilayah TPST Bantargebang
Gambar 2.2.2.1 BGBJ sebagai tempat bermain anak-anak pemulung Bantar Gebang
Gambar 2.2.3.1 Struktur Organisasi UPSHT DLH DKI
Gambar 2.2.4 Jumlah Sampah yang Masuk ke Bantargebang
Gambar 2.2.5.1 PLTSa Merah Putih
Gambar 2.2.5.2 PLTSa di Bantargebang
Gambar 3.1 Pemilahan sampah di Jepang
Gambar 3.4 Jarak Subzona di Kawasan Sekitar TPA Sampah Dengan Sistem LUS dan LUT

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, pengelolaan sampah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah. Di dalam peraturan ini, dinyatakan bahwa segala bentuk
pengelolaan harus dilakukan secara sistematis dan terintegrasi. Dalam Undang-Undang nomor
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, telah dijelaskan pula apa saja lingkup penanganan
sampah yang dimaksud. Kegiatan yang termasuk penanganan sampah yaitu pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Untuk pemilahan dan
pengumpulan, bisa dilakukan dari sumber langsung ataupun dilakukan di satu tempat tertentu
seperti Tempat Penampungan Sementara (TPS). Sedangkan untuk pengolahan maupun
pemrosesan akhir biasanya dilakukan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dan/atau Tempat
Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).
Proses pengelolaan sampah untuk TPST atau TPA di Indonesia seharusnya mengikuti
aturan yang berlaku yaitu yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU)
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan Dalam
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Akan tetapi,
dalam pelaksanaan di lapangan sering terjadi kesalahan baik dari segi teknis maupun non-
teknis. Kesalahan yang terjadi tentu saja bertentangan dengan aturan yang seharusnya menjadi
pedoman dalam pengoperasian lokasi-lokasi yang dimaksud. Padahal dalam aturan tersebut
telah diatur cukup detail mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan pengolahan dan/atau
pemrosesan akhir sampah.
Observasi dilakukan pada TPST Bantargebang karena kualitas pengelolaan sampah di
TPST Bantargebang tergolong baik jika dibandingkan tempat-tempat serupa. Meningkatnya
jumlah penduduk, pola hidup masyarakat dan tingkat konsumtif masyarakat dapat
menyebabkan bertambahnya timbulan sampah yang dihasilkan. Jumlah tersebut dapat
bertambah setiap harinya dan masuk ke TPST Bantargebang. Di TPST Bantargebang,
permasalahan yang krusial adalah daya tampung yang terus menyusut, dimana kapasitas
maksimum adalah 49 juta ton, kini tinggal tersisa kapasitas 10 juta ton (UPTPST, 2020).
Begitu juga pengelolaan sampah dengan open dumping sudah melampaui ketinggian 35
meter. Jarak efektif polusi udara (bau) mencapai 10 km dari titik TPST. Hal ini
memerlukan pengelolaan yang baik agar tidak menyebabkan dampak buruk kepada masyarakat
maupun lingkungan. Pengelolaan tersebut mencakup aspek teknis dan non-teknis. Pada aspek
teknis, pembagian zona masih menjadi sebuah masalah dan menjadi sumber persaingan.
Sedangkan untuk aspek non-teknis, kesehatan dan keamanan pemulung selama bekerja belum
cukup diperhatikan. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan pada sektor informal, khususnya
aspek non-teknis, agar pengelolaan sampah dapat berjalan dengan baik dengan melakukan
analisis terhadap pengelolaan sampah di TPST Bantargebang dengan hasil akhirnya adalah
memberikan skema mekanisme non-teknis di TPST Bantargebang.

1.2 Maksud dan Tujuan


Tujuan dari tugas ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kondisi eksisting terkait pengelolaan sampah dan aspek pembiayaan di
TPST Bantargebang.
2. Menentukan kondisi ideal dan best practice dari negara lain yang dapat diterapkan di
TPST Bantargebang
3. Menentukan perbaikan dan skema mekanisme non-teknis dapat dilakukan di TPST
Bantargebang.

5
1.3 Ruang Lingkup Studi
Ruang lingkup studi dari tugas ini adalah sebagai berikut:
1. Pengelolaan sampah di TPST Bantargebang secara keseluruhan
2. Aspek teknis pengelolaan sampah di TPST Bantargebang secara keseluruhan
3. Aspek non-teknis pengelolaan sampah di TPST Bantargebang
4. Pengelolaan sampah di TPA Jepang

6
BAB II
KONDISI EKSISTING DI TPST BANTARGEBANG
2.1. Gambaran Umum Wilayah Studi

Gambar 2.1. Pembagian Wilayah TPST Bantargebang


(sumber: DLH, 2020)

Area TPST Bantargebang terletak di lahan seluas 110,3 Ha dan beroperasi di bawah
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. TPST ini memiliki luas efektif sebanyak 81,91 % dan sisanya
sebanyak 18,09% digunakan untuk prasarana seperti jalan masuk, jalan kantor, dan instalasi
pengolahan lindi. TPST Bantargebang berlokasi di Kota Bekasi, Kecamatan Bantargebang, dan
berada di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan
Sumur Batu.

TPST Bantargebang sudah mulai beroperasi sejak tahun 1989 oleh BKLH DKI Jakarta
dan BKL Jawa Barat. Kemudian, izin pengoperasian TPST Bantargebang direvisi dengan surat
persetujuan kelayakan lingkungan AMDAL, RKL, dan RPL No. 660.1/206.BPLH.
AMDAL/III/2010 tanggal 11 Maret 2010. Sebelumnya nama TPST Bantargebang adalah TPA
Bantargebang. Secara operasional pengelolaan sampah di TPA didasarkan pada Keputusan
Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Pemukiman Departemen Kesehatan
No. 281 tahun 1989 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah. Namun, seiring
dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang
mana di dalam undang-undang tersebut diatur mengenai cara dan standar-standar pengelolaan
sampah, nama TPA pun berubah sesuai dengan fungsinya menjadi TPST (Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu) Bantargebang.

TPST Bantargebang merupakan tempat pelayanan sampah untuk wilayah DKI Jakarta
dengan volume sampah rata-rata yang diangkut adalah 6500-7000 ton setiap harinya (UPST
DLH DKI Jakarta, 2022) yang dilayani oleh sekitar 1200 truk sampah. 85% sampah berasal
dari pemukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum. TPST Bantargebang memiliki beberapa
zona sebagai berikut:

7
1. Zona I
Zona I diperuntukan untuk sampah yang berasal dari Kotamadya Jakarta Timur.
Sampah yang berasal dari daerah ini terdiri sampah domestik, pasar, dan sisa industri
dari kawasan industri Pulo Gadung
2. Zona II
Zona II merupakan zona pembuangan sampah yang berasal dari Kotamadya
Jakarta Utara. Sampah pasar dan domestik dominan yang dibuang disini. Selain sampah
domestik sampah yang dibuang di zona ini adalah sampah pasar.
3. Zona III
Zona III adalah sampah yang berasal dari Jakarta Barat. Sampah terdiri sampah
domestik, pasar dan sisa industri. Sebagian sampah dari Jakarta Barat ada yang dibuang
ke TPST Tangerang karena tempat yang lebih dekat.
4. Zona IV
Zona IV adalah tempat pembuangan sampah untuk wilayah Jakarta Pusat.
Sampah yang paling dominan adalah plastik, sampah pasar, sampah perkantoran.
5. Zona V
Zona V adalah pembuangan sampah yang berasal dari Jakarta Selatan. Sampah yang
dominan adalah sampah domestik, sampah pasar dan sampah hotel dan restoran.

Tabel 2.1. Luas Zona Lahan Urug Saniter

Zona Luas (Ha)

Zona I 18,3

Zona II 17,7

Zona III 25,41

Zona IV 11,0

Zona V 9,5
(Sumber: UPST DLH DKI Jakarta, 2022)

2.2 Aspek Non Teknis

2.2.1 Sistem Kelembagaan Formal


Unit Pengelola Sampah Terpadu merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Lingkungan
Hidup dalam pelaksanaan pengolahan sampah terpadu. Unit Pengelola Sampah Terpadu
dipimpin oleh seorang Kepala Unit yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas.
Unit Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup, mempunyai kegiatan
strategis berupa:

8
1. Pengelolaan TPST Bantargebang
2. Pengelolaan sampah pada kawasan secara mandiri
3. Rencana Pengelolaan Intermediate Treatment Facilities (ITF)

Sejak TPA Bantargebang berdiri pada tahun 1989, beberapa kerjasama antara
Pemerintah Kota Bekasi dan Provinsi DKI Jakarta telah banyak terjalin. Beberapa periode
kerjasama sempat terkendala dan mengalami perubahan-perubahan skema kerjasama,
negosiasi politik, dan kendala di lapangan. Pemerintah DKI Jakarta sebagai pemilik lahan dan
lokasi terletak dalam wilayah administratif Kota Bekasi. Berikut disajikan perjalanan
kerjasama terkait dengan keberadaan TPA/TPST di Bantar Gebang:

Tabel 2.2.1 Daftar Bentuk Kerjasama TPST Bantargebang


Jangka Pihak-Pihak Operator Bentuk Kerjasama
Waktu Terkait Lapangan
Kerjasama

1989-1999 Pemkot Bekasi – Pemprov DKI Pemerintah DKI Jakarta


Pemprov DKI Jakarta memberikan kompensasi
Jakarta berupa dana tunai ke
Pemkot Bekasi. Pemprov
DKI Jakarta bertanggung
jawab atas Infrastruktur
di lingkungan sekitar
TPA Bantargebang.

2000-2004 Pemkot Bekasi – Pemprov DKI Pengkajian ulang akan


Pemprov DKI Jakarta kontrak kerjasama
Jakarta dilakukan untuk
menyelesaikan konflik
yang terjadi, tetapi
kegiatan operasional
masih tetap berjalan.

2004-2006 Pemkot Bekasi – Swasta (PT. Pembayaran 20% tipping


Pemprov DKI PBB) fee setiap ton sampah
Jakarta – Swasta oleh Pemprov DKI
(PT. PBB) Jakarta ke PT. PBB dan
Pemkot Bekasi.

2007-2008 Pemkot Bekasi – Pemprov DKI Pembayaran 20% tipping


Pemprov DKI Jakarta fee setiap ton sampah
Jakarta oleh Pemprov DKI ke
Pemkot Bekasi.

2008-2016 Pemkot Bekasi – Swasta (PT. Pembayaran 20% tipping


Pemprov DKI Godang Tua Jaya fee setiap ton sampah dari
Jakarta – Swasta Jo. PT. Navigat) Pemprov DKI Jakarta ke
(PT. Godang Tua PT. Godang Tua Jaya dan
Jaya Jo. PT. Pemkot Bekasi.
Navigat).

9
Jangka Pihak-Pihak Operator Bentuk Kerjasama
Waktu Terkait Lapangan
Kerjasama

2017- sekarang Pemprov DKI BPPT Membangun pilot project


Jakarta – BPPT berupa pembangkit listrik
tenaga sampah (PLTSa)
di dalam area TPST
Bantargebang.

2021-2026 Pemkot Bekasi – Pemprov DKI Ruang lingkup kerja


Pemprov DKI Jakarta sama dengan Pemerintah
Jakarta Kota Bekasi meliputi
dana kompensasi, revisi
dokumen Amdal
RKL/RPL, pengkajian
daya dukung dan daya
tampung lingkungan
hingga proses
pengakhiran TPST
Bantargebang Kota
Bekasi.

Pemkot Bekasi juga turut membantu pengelolaan sampah di TPST Bantar Gebang
melalui Dinas Kebersihan Kota Bekasi. Namun, tugas lembaga tersebut hanya melakukan
pengawasan dan monitoring pengelolaan air lindi dan pembuangan serta penumpukan.
Selain itu, Pemkot Bekasi juga bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta dalam
penyediaan fasilitas kesehatan gratis untuk warga Bekasi apabila muncul penyakit yang
disebabkan oleh aktivitas TPST Bantargebang.

2.2.2 Sistem Kelembagaan Informal


Permasalahan kelembagaan yang terjadi di TPST Bantar Gebang berdampak pada
penduduk sekitar, terutama yang berprofesi sebagai pemulung. Kondisi ekonomi mereka
yang memprihatinkan dengan bayaran yang tidak seberapa membuat perbedaan kehidupan
sangat jelas mereka rasakan, seperti biaya sekolah anak, uang makan sehari-hari, dsb. Selain
itu, sampah yang tidak dikelola dengan baik dan sehat dapat menimbulkan dampak buruk
bagi kesehatan. Dampak tersebut dapat menyebabkan infeksi pencernaan pada masyarakat
sekitar.
Upaya dalam menangani permasalahan diatas dilakukan oleh salah satu NGO
bernama BGBJ. BGBJ adalah kependekan dari Biji-Biji Bantar Gebang, sebuah komunitas
yang didirikan oleh Resa Boenard. Komunitas yang dibentuknya bersama temannya asal
Inggris John Devlin, bertujuan untuk mengubah pola pikir orang banyak tentang
Bantargebang lewat pendidikan anak-anak pemulung. Komunitas ini menawarkan peluang
bagi orang-orang yang ingin merasakan pengalaman berbeda selama tinggal di Jakarta.
Komunitas BGBJ melayani keluarga dengan penghasilan rendah yang
berpendapatan dari mengumpulkan berbagai material, seperti plastik, kertas, kaca, e-waste,
dll. menghadapi sejumlah tantangan, termasuk kualitas tempat tinggal yang buruk,
kurangnya sanitasi, cedera dan penyakit akibat kerja, dan lingkungan hidup yang tidak
10
menyenangkan. Terdapat sejumlah kegiatan dan proyek di sanggar BGBJ, setiap Minggu
sekitar 40 anak-anak Bantar Gebang berkumpul untuk belajar banyak hal. Diadakan kelas
dalam berbagai topik, seperti bahasa inggris, IT, T, kesehatan dan nutrisi, olahraga, musik
dan seni. Dengan kegiatan ini, BGBJ berharap dapat mengatasi kelaparan di seluruh
masyarakat dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya gizi sehat.

Gambar 2.2.2.1 BGBJ sebagai tempat bermain anak-anak pemulung


Bantar Gebang
(Sumber:https://www.bbc.com)
Satu hal yang diingatkan para pengajar kepada anak-anak di sana untuk pintar
mengelola sampah dan membiasakan hal tersebut di rumah masing-masing. BGBJ
mempunyai 50 sampai 70 anak didik dengan tenaga pengajar yang sebagian besar
merupakan volunteer yang berasal dari luar Indonesia seperti Australia, Jerman, Inggris,
dan Belanda. terdapat kurang lebih 300 volunteer yang keluar masuk membantu BGBJ
dalam rentang waktu tiga tahun terakhir.
Dengan konsep belajar sambil bermain, anak-anak diajarkan bagaimana mendaur
ulang sampah plastik dan kertas yang tidak dimanfaatkan lagi. Terdapat bengkel daur ulang
di lantai dua sebagai tempat pembelajaran proses daur ulang. Barang-barang yang
dihasilkan dan dijual oleh Komunitas BGBJ pun berasal dari kayu-kayu bekas, seperti
hiasan dinding atau hiasan meja untuk perayaan hari raya.
Terdapat juga beberapa stakeholders yang mewakili kelembagaan di TPST
Bantargebang, yaitu Knowledge greeneration foundation (Greeneration‐NGO),
Sustainable Indonesia (Sustainable‐ID), Kelompok pengusaha bank sampah (Bank‐
Sampah), dan Yayasan waste for change (Waste4Change).

2.2.3 Struktur Organisasi


Dalam keberjalanannya, TPST Bantargebang memiliki struktur organisasi yang jelas
terdiri dari pelaksana teknis dan pelaksana non-teknis. Hal ini dilakukan untuk menunjang
pelaksanaan pengelolaan sampah secara administrasi, kemasyarakatan, hingga teknis
pengolahan.

Tabel 2.2.3 Daftar Pengelola TPST Bantargebang


Tahun Pengelola TPST Bantargebang

Agustus 1989 – 2004 Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta

2004 – 2006 Pihak Swasta

11
Tahun Pengelola TPST Bantargebang

2007 – November 2008 Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta

Desember 2008 – 2016 Pihak Swasta

Januari 2017 – Sekarang Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta


(Sumber: DLH DKI Jakarta, 2020)

Pada awal tahun 2017 tepatnya dimulai tanggal 1 Januari 2017 terdapat perubahan
struktur organisasi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 salah
satunya yang terjadi pada Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta yang berubah nama menjadi
Dinas Lingkungan Hidup. Perubahan ini bermaksud untuk merampingkan struktur organisasi
yang ada di provinsi DKI Jakarta, merampingkan 53 SKPD menjadi 42 Berdasarkan data dari
Pemprov DKI Jakarta, pengurangan itu meliputi beberapa hal. Awalnya, ada 5 asisten dan 10
biro di Sekretariat Daerah. Kini berkurang menjadi 4 asisten dan 10 biro. Lembaga Teknis
Daerah semula berjumlah 18, kini menjadi 8 badan.
Dalam rangka menangani sampah, dibagi menjadi empat proses yang berakhir pada
pemrosesan akhir. Dimulai dari sumber sampah yang didapat dari pemukiman sekitar 85.3%,
pasar 7.7%, kawasan mandiri 3,4%, dan badan air 3,6%. Selanjutnya dari keempat sumber
tersebut dilakukan pengangkutan sampah oleh para pengepul sampah menggunakan triseda,
mobil pick up, dump truck, compactor, germor, hingga tronton. Selanjutnya, dilakukan
pengumpulan dan pengolahan sampah di TPS setempat, dan terakhir akan diproses pada TPST
Bantargebang. Pembagian kerja dilakukan dengan melibatkan tiga stakeholders sebagai
berikut:

2 Pemerintah
Pemerintah bertanggung jawab dalam penyediaan infrastruktur yang
dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk infrastruktur untuk menangani masalah
kebersihan lingkungan dan pengolahan sampah kota. Peran pemerintah pusat pada
penentuan arah kebijakan secara nasional, sedangkan pemerintah daerah bersifat teknis
dan operasional.
3 Pakar
Pakar disini berperan menjadi narasumber yang dianggap memahami masalah
persampahan dan pengelolaan TPST. Sedangkan responden merupakan orang-orang
yang terlibat langsung dalam penanganan masalah persampahan ini.
4 Masyarakat
Masyarakat bertanggung jawab dalam pengelolaan TPST Bantargebang,
terutama dalam hal pengurangan volume sampah yang akan dibuang ke TPST berasal
dari sumbernya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban dan memperpanjang umur
penggunaan TPST
Struktur organisasi UPST Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta terdiri
atas kepala unit, yang melakukan koordinasi kepada kepala bagian tata usaha, kepala
satuan pelaksana pengelolaan kawasan mandiri, kepada satuan pelaksana pengolahan
energi terbarukan komposting dan 3R serta pemrosesan akhir sampah, berakhir pada
sub kelompok jabatan fungsional.

12
Gambar 2.2.3.1 Struktur Organisasi UPSHT DLH DKI
(UPSHT DLH, 2022)

2.2.4 Biaya Pengelolaan TPST


Berdasarkan data dari Jurnal Pendidikan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Volume 21-Nomor 02 tahun 2020, peruntukan dana untuk TPST Bantargebang adalah untuk
biaya operasional. Diperkirakan biaya operasional TPST Bantargebang tiap ton sampahnya
adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2.4 Biaya Operasional Sampah per Ton Setiap Tahun


Tahun Biaya Operasional sampah per ton

2018 Rp95.674,52

2019 Rp107.393,62

2020 Rp107.431,32

2021 Rp108.729,07

2022 Rp110.407,67

2023 Rp112.256,94
(Sumber: Darmawan, 2020)

Pengeluaran biaya lainnya adalah dalam bentuk kompensasi. Kompensasi adalah


bentuk tanggung jawab yang diterima masyarakat dan Pemerintah Kota Bekasi yang terkena
dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan
akhir sampah. Kompensasi digunakan untuk penanggulangan kerusakan lingkungan,
pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan, dan kompensasi dalam bentuk lain
berupa bantuan langsung tunai. Dana kompensasi diberikan dalam bentuk bantuan keuangan
dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Wilayah Bantargebang dijadikan sebagai Tempat Pembuangan Akhir untuk berbagai jenis
sampah yang berasal dari wilayah Jakarta dan Bekasi. Akan tetapi, masyarakat dan Pemerintah
Kota Bekasi memerlukan dana dalam pemanfaatan lahan Tempat Pembuangan Akhir ini. Oleh

13
karena itu, diadakan kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah
Kota Bekasi mengenai pemanfaatan lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, yang
kemudian menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Bantargebang.
Berdasarkan Perjanjian Perubahan (Addendum) Perjanjian Kerja Sama Antara Pemerintah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dengan Pemerintah Kota Bekasi Tentang Peningkatan
Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Menjadi Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang Kota Bekasi Nomor : 25 Tahun 2016 Nomor : 444
Tahun 2016 dalam Pasal 14B, masyarakat dan Pemerintah Kota Bekasi akan menerima
kompensasi, yaitu bentuk tanggung jawab yang diterima masyarakat dan Pemerintah Kota
Bekasi yang terkena dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di
tempat pemrosesan akhir sampah. Kompensasi tersebut diberikan dalam bentuk Biaya Layanan
Pengolahan Sampah (tipping fee) yang diperoleh dari APBD.
Perhitungan kompensasi tersebut diperoleh dari perhitungan yang terdapat dalam
Perjanjian Perubahan (Addendum) Perjanjian Kerja Sama Antara Pemerintah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Dengan Pemerintah Kota Bekasi Tentang Peningkatan Pemanfaatan
Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Menjadi Tempat Pengolahan Sampah
Terpadu (TPST) Bantargebang Kota Bekasi Nomor : 25 Tahun 2016 Nomor 444 Tahun 2016.
Besarnya kompensasi ditentukan berdasarkan jumlah ton sampah. Jumlah ton sampah yang
dipakai merupakan asumsi yang diperoleh dari jumlah ton sampah pada tahun-tahun
sebelumnya.

Gambar 2.2.4 Jumlah Sampah yang Masuk ke Bantargebang


(Sumber: BPS DKI, 2020)

Oleh karena itu, berdasarkan data rata-rata jumlah sampah yang masuk TPST, Wali
Kota Bekasi, Rahmat Effendi, berpendapat bahwa jumlah tonase sampah yang masuk ke TPST
Bantargebang berada pada kisaran 7.800 ton per hari sehingga estimasi yang diperoleh
biasanya 379 miliar rupiah per tahun. Dari perpanjangan kontrak kerjasama TPST
Bantargebang tahun 2021-2026, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi akan menerima uang
sekitar sebesar 379 miliar rupiah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setiap tahun hingga
2026.
Anggaran tersebut terkait perpanjangan perjanjian kerja sama pemanfaatan lahan untuk
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi. Wali Kota Bekasi
Rahmat Effendi mengatakan, uang tipping fee sekitar sebesar 379 miliar rupiah setiap tahun
dari Pemprov DKI nantinya akan dibagi-bagi. Rincian pembagiannya adalah kompensasi bau
sampah kepada 24.000 keluarga senilai Rp 350.000 per bulan di tiga kelurahan, yaitu
Sumurbatu, Cikiwul, dan Ciketing Udik serta sekitar Rp 175.000 per bulan di satu kelurahan
Bantargebang. Selain uang dalam bentuk bantuan langsung tunai, dana dari Jakarta juga
digunakan untuk pembangunan infrastruktur saluran dan jalan, kebutuhan pendidikan hingga

14
kesehatan bagi warga di Kecamatan Bantargebang.

2.2.5 Upaya Penanganan Sampah


Berdasarkan kajian di tahun 2019, tersisa 10 juta ton dari 49 juta ton kapasitas
tampungan TPST Bantargebang. Dari enam zona yang dimiliki, hanya terdapat empat zona
yang aktif menampung sampah warga DKI Jakarta. Setiap zona aktif memiliki luas lahan yang
cukup besar tetapi tumpukan sampahnya sudah hampir mencapai tinggi maksimum yang
direncanakan. Hal itu menyebabkan volume tampungan sampah hanya tersisa sedikit.

Gambar 2.2.5.1 PLTSa Merah Putih


(Sumber: Clapeyron Media)
Bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pemerintah
Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membangun pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa) yang dinamakan PLTSa Merah Putih. Proyek ini merupakan bentuk komitmen
pemerintah dalam menekan tingginya produksi sampah plastik di Indonesia. Sesuai dengan
Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik
Berbasis Sampah di DKI Jakarta, PLTSa ini dibangun dalam rangka mengubah sampah
menjadi sumber energi, meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan peran listrik
berbasis energi baru terbarukan (EBT).

Gambar 2.2.5.2 PLTSa di Bantargebang


(Sumber: Clapeyron Media)

15
Pilot project PLTSa menggunakan teknologi proses termal yang dapat memusnahkan
sampah secara cepat, signifikan dan ramah lingkungan. Pilot project PLTSa didesain untuk
beroperasi secara kontinyu 24 jam/hari dan 250-300 hari/tahun, menggunakan bahan bakar
sampah dengan kapasitas 100 ton/hari dan menghasilkan listrik sebesar 700 kW yang akan
digunakan untuk pengoperasian internal unit PLTSa.
Selain PLTSa, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga membangun alternatif fasilitas
pengolahan sampah di dalam kota. Fasilitas pengolahan sebagaimana dimaksud yaitu
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF). Sesuai dengan
Masterplan Pengelolaan Sampah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2032, fasilitas tersebut akan
dibangun di 4 (empat) lokasi berbeda di DKI Jakarta, antara lain di Sunter, Marunda, Cakung,
dan Duri Kosambi.
Alih-alih hanya berbicara tentang rencana pengelolaan sampah, Pemprov DKI Jakarta
juga melakukan peningkatan kegiatan pengurangan sampah di sumber. Beberapa diantaranya
melalui pengelolaan sampah lingkup RW (Pergub 77/2020), bank sampah, biokonversi sampah
organik dengan bantuan larva maggot, sampah tanggung jawab bersama (SAMTAMA), dan
Jakarta Recycle Centre. Jumlah keberadaan bank sampah di DKI Jakarta sebanyak 1.500 unit
dan kota Bekasi 300 unit. Peran partisipasi pemulung dalam pemilahan sampah sangat penting.
Integrasi bank sampah dalam pengelolaan sampah dapat memberikan peningkatan
kesejahteraan warga.

2.2.6 Dampak Lingkungan dan Sosial Secara Umum


Pada Peraturan Walikota Bekasi Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pengembangan Zona
Industri untuk Mendukung Prioritas Pembangunan Ekonomi di Bagian Wilayah Perkotaan
Mustikajaya diketahui bahwa rencana kawasan dengan fungsi hunian di sekitar area Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Bentargebang dipandang tidak lagi sesuai dengan daya dukung
kualitas lingkungan sehingga perlu ditinjau kembali dan diarahkan menuju arah kebijakan yang
sesuai dengan tujuan penataan ruang Kota Bekasi.
Sejak diambil alih Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2016, pada TPST
Bantargebang, Dinas Lingkungan Hidup tidak lagi menggunakan sistem pengelolaan sampah
secara sanitary landfill (menimbun sampah dengan tanah merah) tetapi pengelolaan sampah
dilakukan dengan landfill mining (penambangan sampah). Salah satu cara meminimalisir
pencemaran sampah di TPST Bantargebang yakni dengan pemanfaatan gas-gas sampah
menjadi energi listrik atau Power House yang menghasilkan beberapa megawatt listrik
beberapa tahun terakhir, Pengelolaan sampah dengan teknologi thermal atau PLTSa Merah
Putih, proyek landfill mining dan refuse derived fuel (RDF) plant, dimana sampah dijadikan
briket, dan kompos, sehingga sampah memiliki nilai ekonomis. Pembangunan ruang terbuka
hijau pun dilakukan dengan penanaman sekitar 1000 pohon untuk meminimalisir bau tak sedap
yang dihasilkan TPST.
Hidup di antara timbunan sampah yang menjulang puluhan meter menjadi perkara yang
pelik, keselamatan nyawa pun menjadi taruhan akibat sampah yang longsor ataupun penyakit
yang dapat menyerang kesehatan, hal tersebut yang dirasakan para pemulung di TPST
Bantargebang. Masyarakat sekitar TPST mendapat uang bau (kompensasi) sebesar Rp
300.000/bulan/keluarga dan uang bau yang dikelola lembaga pemberdayaan masyarakat
(LPM) Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik, Sumurbatu, dan Bantargebang.
Menurut Pemprov DKI Jakarta, masih terdapat beberapa kendala dalam proses
pengelolaan sampah di TPST Bantar Gebang, salah satunya adalah terlalu banyaknya
pemulung yang bermukim di kawasan tersebut (6-10 ribu orang), sehingga proses
pengelolaannya sulit untuk dilakukan. Sumber mata pencaharian masyarakat Bantargebang

16
terdiri dari bidang pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, termasuk perdagangan.
Mayoritas masyarakat Bantargebang berprofesi sebagai buruh, kecuali di kelurahan Sumur
Batu yang didominasi oleh petani karena banyaknya sampah (Industrial Tourism World,
2019)
TPST Bantargebang merupakan salah lapangan kerja yang mampu mengatasi
perekonomian masyarakat sekitar TPST dan ribuan pemulung, sementara kegiatan
pengangkutan sampah, kegiatan pengelolaan sampah oleh petugas di lokasi serta kegiatan
pemulungan, menimbulkan kegiatan ekonomi seperti: tempat-tempat jasa dan perdagangan,
dan warung-warung yang menyediakan kebutuhan para pegawai TPST. Berdasarkan hal
tersebut dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung TPA Sampah telah memberikan
lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitarnya.
Keberadaan TPST Bantargebang masih dinilai tetap menimbulkan dampak sosial
bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk menyikapi hal ini, Pemprov DKI Jakarta
mengubah kebijakan, bahwa TPST tidak lagi hanya berfungsi untuk melayani kebutuhan
masyarakat (service center) dalam hal pengolahan sampah. Namun kini, peran TPST sudah
diperhitungkan manfaat atau nilai tambah (added value) yang dapat dihasilkan dari sampah.

17
BAB III
EVALUASI KONDISI EKSISTING

3.1 Best Practice Jepang


Segala sistem terkait pengelolaan sampah di Jepang ini sangat membantu dalam
mengurangi timbulan sampah yang akan berakhir di TPA sehingga meringankan kerja dan
mempermudah pemrosesan sampah. Sistem ini akan berjalan dengan baik apabila komponen-
komponen seperti kebijakan pemerintah, kelembagaan, peran serta masyarakat, dan
pembiayaan.
Waste Management Law merupakan salah satu hukum di Jepang yang mengatur tentang
pengaturan dan penanganan sampah di Jepang terdapat dalam UU No.137 Tahun 1970. Waste
Management Law dalam UU No.137 Tahun 1970 mengklasifikasikan sampah di Jepang
menjadi 2 kategori sebagai berikut:
1. Sampah industri yaitu sampah yang dihasilkan dari aktivitas produksi. Pengelolaan
sampah industri di Jepang diatur dalam Waste Management Law pada ketetapan UU
No.137 Tahun 1970 Bab III Pasal 11-15 yang menyatakan bahwa pengelolaan sampah
industri diserahkan sebagai tanggung jawab dari pihak yang menghasilkannya
2. Sampah umum yaitu semua sampah selain sampah industri, sampah rumah tangga, dan
sampah bisnis yang dihasilkan dari institusi dan badan komersial.
Pengelolaan sampah bukan hanya sekedar kegiatan mengumpulkan sampah lalu
diangkut dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (Wanless, 2008). Pengelolaan merupakan
serangkaian tahap yang selalu hadir di dalamnya dan memiliki fungsi masing-masing yang
mendukung untuk dilakukannya pengelolaan sampah. Jika salah satu tahap tidak dilakukan
maka keseluruhan proses dapat terganggu. Dengan mengacu pada pengelolaan Negara Jepang
maka pengelolaan sampah melingkupi sampah padat perkotaan atau yang dikenal dengan
istilah Muncipal Solid Waste Management (MSWM) sehingga kategori sampah yang dibahas
mengenai semua sampah padat yang dibatasi pada lingkup sampah padat perkotaan, terutama
sampah rumah tangga. MSWM di Jepang menggabungkan prinsip waste reduction, reuse, and
recycling sebagai satu kesatuan dari tahap pengelolaan sampah keseluruhan (Japan Institute of
Infra-Structure, 1982).
Pengelolaan sampah di Jepang tidak dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah pusat,
namun dipercayakan pada pemerintah tingkat municipality (Wardhani, 2007). Dalam Waste
Management Law, municipality bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan sampah rumah
tangga, termasuk mengumpulkannya.
Tahapan awal dari pengelolaan sampah di Jepang adalah pemilahan berdasarkan
jenisnya sebelum dibuang. Dalam mendukung pemilahan sampah secara kompeten, Jepang
melakukan informasi mengenai cara pemilahan sampah yang benar, memberikan selebaran dan
kalender berisi tata cara pemilahan sampah, serta buku panduan kepada warga secara langsung
maupun saat ada kegiatan rapat umum antar chonaikai. Sampah dipilah dan dibedakan sebagai
berikut:
1. Sampah mudah terbakar seperti sampah dapur, plastik, karet, kulit, rumput, ranting
pohon, dan busa sintesis.
2. Sampah tidak mudah terbakar seperti logam, keramik, kaca, payung, dan bola lampu.
3. Sampah berbahaya seperti lampu neon, termometer, batu baterai kering, alat semprot,
geretan, dan asbes.
4. Sampah yang dapat didaur ulang seperti botol plastik, kaleng, kertas, dan pakaian.
5. Sampah besar seperti barang yang berukuran panjang, lebar, dan tinggi berkisar antara

18
50 hingga 200 cm.
Namun, perlu diingat pemilahan sampah di atas tidak berlaku secara universal melainkan
bergantung pada kebijakan municipality masing-masing kota. Dari pemilahan tersebut dapat
dilihat teknis mengenai jadwal pengangkutan sampah maupun tempat pengumpulan ditetapkan
menurut peraturan, kemampuan, dan fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing distrik,
sedangkan prosedur pemilahan sampah diserahkan pada municipality masing-masing (Town
Planning, 1992).
Pada pelaksanaannya, pemerintah Jepang menitikberatkan pengelolaan sampah pada
teknologi dan berorientasi pada manusia. Pemerintah membutuhkan kerjasama dan partisipasi
masyarakat untuk memilah sampah dan mengumpulkannya berdasarkan kategori yang telah
ditentukan.

Gambar 3.1 Pemilahan sampah di Jepang


(Sumber: Environmental Affairs Bureau, 2008)

Tahap Pembuangan Akhir di Jepang diatur menurut undang-undang pengelolaan


sampah. Pada umumnya, ada dua proses pembuangan akhir di Jepang yaitu open dumping yaitu
sampah ditimbun di area tertentu tanpa membutuhkan tanah penutup dan sanitary landfill yaitu
sampah ditimbun secara berselang seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai
penutup. Penimbunan sampah memanfaatkan penguraian senyawa organik oleh mikroba yang
hidup dalam tanah dianggap menghasilkan gas metana. Maka disiapkan tabung anti gas untuk
mencegah terjadinya kebakaran atau ledakan (Kawasaki, 2005).
Salah satu TPA di Jepang yang dapat dijadikan best practice adalah Maishima
Incineration Plant Japan yang merupakan gabungan dari fasilitas pembakaran sampah dan
fasilitas penghancuran sampah massal. Maishima Incineration Plant Japan dikelola dalam
kemitraan antara Kota Osaka, Kota Yao, dan Kota Matsubara serta menyediakan tur gratis
dengan pemesanan di muka. Bangunan TPA yang memiliki lanskap hijau ini didesain oleh
Friedensreich Hundertwasser, seniman dan arsitek pelestarian lingkungan yang terkenal dari
Wina dan dibangun mulai dari 1997 sampai 2001. Di dalamnya, terdapat mesin pembakaran
sampah raksasa atau mesin incinerator yang dapat membakar 450 ton sampah sekaligus. Mesin
ini membakar sampah dua kali setiap harinya. Sampah-sampah dari seluruh Kota Osaka masuk
ke TPA ini melalui truk sampah khusus. Sampah telah dipisahkan berdasarkan jenisnya, yaitu
dapat dibakar dan tidak dapat dibakar, sejak di pintu gerbang. Kemudian, truk masuk ke lokasi

19
penampungan sampah untuk menampung sampah dalam penampungan raksasa. Sebuah capit
raksasa siap memindahkan sampah tersebut ke mesin incinerator. Sampah dari enam truk
sampah dapat terangkut masuk ke incinerator dalam sekali capit. Selanjutnya, sampah dibakar
dengan suhu mencapai 950 derajat celcius di incinerator. Pembakaran itu menghasilkan panas
yang akan digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti untuk pemanas ruangan, pemanas
air, dan pembangkit listrik bagi TPA itu sendiri. Maishima Incineration Plant Japan mampu
menjual listrik hasil pengolahan sampahnya ke perusahaan listrik di Osaka. Bahkan, pada tahun
2010, Kansa Electric Power, perusahaan listrik di Osaka, pernah menerima 50 juta kilowatt
listrik dari pabrik pembakaran sampah Maishima.
Jika dilihat perbandingan antara Jepang dan Indonesia, Indonesia tidak kalah jauh
dengan Jepang dari segi regulasi peraturan mengenai pembuangan sampah. Akan tetapi, proses
eksekusi pembuangan sampah di Indonesia masih kurang karena kondisi ideal yang berbeda
pada setiap negara. Dapat dilihat dari segi lokasi, TPST Bantargebang yang ada di Indonesia
dibangun di dekat wilayah permukiman, yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dan
ketidaknyamanan terhadap penduduk sekitar TPST Bantargebang, sedangkan Maishima
Incineration Plant Japan berada di lokasi khusus yang jauh dari permukiman penduduk. Dari
segi kondisi TPA-nya pun, dapat dilihat timbulan sampah yang menggunung, berserakan, dan
terus bertambah di TPST Bantargebang, berbeda dengan Maishima Incineration Plant Japan
yang tidak terlihat sama sekali ada timbulan sampah. Hal ini disebabkan oleh pemilahan
sampah di Jepang yang telah dilakukan dari sumbernya yang memiliki pengetahuan pemilahan
sampah dan kesadaran diri yang tinggi akan pentingnya pemilahan sampah untuk mengurangi
timbulan sampah yang dihasilkan. Walaupun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa)
Bantargebang tidak kalah dari Maishima Incineration Plant Japan karena sudah dapat
mengubah 9.879 ton sampah menjadi energi listrik sebesar 783,63 MWh, timbulan sampah
tersebut akan terus bertambah jika tidak dikurangi dari sumbernya. Oleh karena itu, Indonesia
masih perlu meningkatkan penerapan pemilahan sampah dari sumbernya agar jumlah sampah
yang sampah yang sampai di TPST Bantargebang bukan menjadi timbulan sampah yang
menggunung dan harus dipilah kembali melainkan langsung diproses untuk diubah menjadi
energi listrik.

3.2 Evaluasi Pendanaan


Pembiayaan pengelolaan sampah berdasarkan Dirjen Cipta Karya tahun 2012
dibedakan atas biaya investasi dan biaya operasi atau pemeliharaan. Komponen biaya tersebut
dijabarkan sebagai berikut:

1. Biaya operasi, terdiri atas:


• Biaya upah
• Biaya bahan atau material
• Biaya administratif
2. Biaya pemeliharaan, terdiri atas:
• Biaya penggantian pelumas
• Biaya penggantian komponen
• Biaya perbaikan peralatan
komponen biaya di atas harus disediakan oleh institusi pengelola setempat. Komponen
pembiayaan yang meliputi biaya pengumpulan, pengolahan, pemindahan, pengangkutan,
pemrosesan akhir dapat diketahui dari perhitungan biaya satuan pengelolaan sampah.
Perhitungan biaya operasi atau pemeliharaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah
20
diperhitungkan dihitung dari setiap ton kapasitas yang besarannya menggunakan biaya satuan
pekerjaan yang berlaku di wilayah tersebut (Baso, A dkk, 2017).
Pendanaan menjadi aspek penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang (Winahyu
dkk, 2013). Pada tahun 2007, Dinas kebersihan menggunakan data sampah yang masuk ke
TPA Bantargebang sebesar 5.497 ton per hari atau sekitar 79,5 persen dari total produksi
sampah kota. Pembiayaan yang dialokasikan untuk pengelolaan sampah Bantargebang hanya
kurang dari 10 persen dari APBD. Hal ini yang menjadi penyebab diperlukannya keterlibatan
dari pihak swasta dalam mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan baik dalam
proses Sanitary Landfill. Proses ini tentu memerlukan biaya investasi, operasional, dan
pemeliharaan yang nilainya menggunakan rupiah per ton sampah yang disebut dengan Tipping
Fee. Sejak 2008 hingga 2010, pengelolaan sampah TPA Bantargebang dibantu oleh pihak
swasta (PT. Godang Tua Jaya Jo. PT. Navigat) sebagai operator lapangan. Bentuk kerja sama
yang terjalin berupa Tipping Fee sebesar 20 % dari pembayaran setiap Ton sampah dari
Pemprov DKI Jakarta ke PT.Godang Tua Jaya dibayarkan ke Pemkot Bekasi.
Dari seluruh biaya yang dialokasikan, tidak semua biaya digunakan untuk pengelolaan.
Hal ini dikarenakan 20% dari biaya tipping fee itu digunakan dalam bentuk program
pemberdayaan masyarakat maupun penyediaan fasilitas sosial. Hal ini dapat mendukung
perbaikan kondisi sosial budaya masyarakat yang tinggal di sekitar TPST Bantargebang. Biaya
Tipping Fee standar untuk TPA yang benar menurut Sri Bebassari (2010) adalah Rp100.000,-
s.d Rp 300.000,- per ton dan sekitar Rp.100.000,- s.d Rp 150.000,- bagi setiap rumah tangga
per bulan untuk jasa pembuangan sampah. Hal tersebut berbeda dengan kenyataan saat ini,
karena di Indonesia pengelolaan sampah di masyarakat masih disubsidi oleh Pemerintah.
Kemudian apabila dilihat dari tarif/retribusi sampah, retribusi yang berjalan selama ini
belum didasarkan pada perhitungan dan pendataan yang memadai, baik dilihat dari jumlah
timbulan maupun jumlah potensi bayar. Perhitungan tarif juga belum optimal dilihat dari jenis
penghasil sampahnya, yang dapat berupa sampah dari rumah tinggal, sampah sektor komersial
maupun sampah sektor industri. Realisasi penarikan retribusi juga masih rendah secara
nasional masih sekitar 20%. Hal ini menyebabkan beban pemerintah dalam pembiayaan
pengelolaan sampah menjadi sangat besar. Selain itu, kendala yang dihadapi dalam
pembiayaan adalah respon pemerintah pusat yang lambat mengenai penurunan surat
peminjaman dan lainnya.

3.3 Evaluasi Kelembagaan


Secara teknis, pelaksanaan pengelolaan sampah di TPST Bantargebang dilakukan
melalui skema kerja sama antara pemprov DKI Jakarta dengan pemerintah kota Bekasi. Dasar
hukum terkait kerja sama tersebut terdapat dalam dokumen addendum ke-3 keputusan
kerjasama nomor 96 tahun 1999 junto nomor 3428/072 tahun 2003 dan nomor 168 tahun 1999
junto nomor 658.1/Kep.439 tahun 2003 tentang pengelolaan sampah dan TPA sampah di
kecamatan Bantargebang kota Bekasi (DKI-Jakarta, 2003). Selain itu, pemerintah DKI Jakarta
dan kota Bekasi juga menjalin kerja sama dengan pihak swasta dalam bentuk pembangunan
infrastruktur pengelolaan sampah terpadu di TPST Bantargebang.
Kebijakan kerja sama pemerintah DKI Jakarta, pemerintah kota Bekasi, dan pihak swasta
dalam pengelolaan TPST Bantargebang dinilai belum optimal. Hal tersebut terjadi karena saat
ini kerja sama pemerintah DKI Jakarta hanya berperan sebagai pemberi Community
Development dari Tipping Fee dan belum ada kontribusi menyeluruh terkait keberadaan TPST
Bantar Gebang tersebut. Angka Fee sebesar 20 % yang mengharuskan Pemerintah DKI dan
Swasta mengalokasikan ke Pemerintah Kota Bekasi merupakan angka politik, dimana angka
tersebut didapatkan berdasarkan negosiasi antar Pemerintah bukan berdasarkan suatu kajian

21
tersendiri sehingga dianggap belum dapat mewakili atau mengkompensasikan eksternalitas
yang terjadi akibat keberadaan TPST Bantargebang.
Pemkot Bekasi juga turut membantu pengelolaan sampah di TPST Bantar Gebang
melalui Dinas Kebersihan Kota Bekasi. Namun, tugas lembaga tersebut hanya melakukan
pengawasan dan monitoring pengelolaan air lindi dan pembuangan serta penumpukan. Selain
itu, belum ada suatu lembaga khusus yang memiliki struktur kelembagaan untuk mengatur
operasional TPST Bantargebang yang melibatkan seluruh pihak yang diatur oleh peraturan
yang mengikat. Belum ada kejelasan mengenai regulator dan operator TPST Bantargebang,
mulai dari pengangkutan, pemilahan, pengolahan, pendistribusian hasil olahan, dan yang
bertanggung jawab terhadap pengaturan dampak dari adanya eksternalitas.
Konsep Property Rights pun sulit untuk diterapkan karena di satu sisi wilayah TPST
tersebut merupakan milik Pemerintah DKI Jakarta, namun di sisi lain letak TPST tersebut
berada di wilayah Pemerintahan Bekasi. Kerja sama antar pihak terkait (Jakarta-Bekasi-
Swasta) untuk saat dinilai hanya akan menambah besar biaya daripada manfaatnya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pola kerja sama yang belum jelas yang hanya akan menambah
risiko berbagai pihak karena masing-masing pihak akan berusaha untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dari kerja sama tersebut.
Dalam pengelolaan sampah, TPST Bantargebang menerapkan konsep yang lebih ramah
lingkungan, terpadu, dan berkelanjutan (UPTPST, 2020). Namun, di sisi lain, persepsi negatif
sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait isu lingkungan dan
sosial dari masih ada. Hal lain yang perlu menjadi perhatian lebih adalah tingkat pelayanan
pengelolaan sampah yang masih mencapai 40% dari target yang diberikan oleh pemerintah
pusat sebesar 75-80%. Oleh karena itu,diperlukan sebuah kajian lebih lanjut terkait model
keberlanjutan pengelolaan sampah terpadu di TPST Bantargebang

3.4 Evaluasi Regulasi


Perubahan paradigma pengelolaan sampah yang sebelumnya pola penanganan sampah
kumpul, angkut, dan buang, dan mindset mengenai sampah adalah sesuatu yang tidak berguna
dan harus dibuang, sehingga pendekatan yang dijalankan adalah pendekatan melalui
penyelesaian di akhir (end of pipe), setelah disahkannya UU Nomor 18 Tahun 2008 mengubah
paradigma dari kumpul-angkut-buang menjadi pengurangan di sumber (reduce at source) dan
daur ulang sumberdaya (resources recycle), dan pendekatan yang tepat menggantikan
pendekatan end of pipe adalah dengan mengimplementasikan prinsip 3R (reduce, reuse,
recycle), extended producer responsibility (EPR), pemanfaatan sampah (waste utilisation), dan
pemrosesan akhir sampah di TPA yang environmentally sound manner).
TPST Bantargebang beroperasi sejak tahun 1989 oleh BKLH Provinsi DKI Jakarta dan
BKL Provinsi Jawa Barat yang kemudian direvisi dengan surat persetujuan kelayakan
lingkungan AMDAL, RKL, dan RPL No. 660.1/206.BPLH.AMDAL/III/2010 tanggal 11
Maret 2010. TPST Bantargebang terletak di tiga Kelurahan di Kecamatan Bantar Gebang.
TPST Bantargebang menjadi salah satu tempat yang dianggap memiliki potensi untuk
mendapatkan pekerjaan, salah satu yang menjadi faktor yaitu karena TPST Bantargebang
berada tidak jauh dari pusat Kota Bekasi yang menarik para pendatang untuk bermigrasi ke
TPST Bantargebang, sehingga menyebabkan permintaan lahan untuk permukiman semakin
meningkat. Sedangkan luas lahan kota terus berkurang seiring dengan pertumbuhan penduduk
yang mengakibatkan penurunan kualitas permukiman. Hal ini menjadikan banyak berdirinya
permukiman kumuh yang tidak layak huni di sekitar TPST Bantargebang.
Permukiman kumuh merupakan permukiman tidak layak huni dan bisa membahayakan
kehidupan bagi para penghuninya, karena keadaan, kenyamanan, keamanan, kesehatan yang
memprihatinkan, dan keandalan bangunan dan lingkungan yang tidak mendukung dan
22
memadai untuk dijadikan sebagai permukiman yang baik dari segi tata ruang, kepadatan
bangunan, serta sarana dan prasarana lingkungan yang tidak sesuai dengan syarat. Salah satu
solusi alternatif dari sulitnya penyediaan perumahan masalah harga lahan yaitu dengan
membangun hunian vertikal berupa rumah susun. Solusi penyediaan rumah susun ini
diharapkan menjadi cara terefisien dalam menanggapi permasalahan akan kebutuhan tempat
tinggal di TPST Bantargebang.
Pemilihan lokasi TPA diatur dalam SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan
Lokasi TPA Sampah, berdasarkan SNI 03-3241-1994, secara umum pemilihan lokasi TPA
disusun berdasarkan 3 (tiga) tahapan yaitu,
a. Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah
atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan.
b. Tahap penyisihan yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi
terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap
regional
c. Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih sesuai dengan
kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya yaitu terdapat poin-poin yang harus dipenuhi dalam pemilihan lokasi TPA yaitu,
a. Sesuai tata ruang kota & wilayah;
b. Geologi layak: sedimen berbutir sangat halus;
c. Hidrogeologi: jarak ke lapisan akuifer ≥ 4 m dan ke badan air ≥ 100 m;
d. Jenis tanah kedap air;
e. Daerah yang tidak produktif untuk pertanian;
f. Dapat dipakai minimal untuk 5-10 tahun;
g. Tidak membahayakan atau mencemarkan sumber air;
h. Jarak dari daerah pusat pelayanan ±10 km;
i. Daerah yang bebas banjir;
j. Jarak ke lapangan terbang ≥ 1500 m (baling-baling) ≥ 3000 m (jet);
k. Curah hujan kecil, kecepatan angin rendah, tidak ada permukiman;
l. Jarak dari pemukiman ≥ 1 km
m. Topografi : lahan kemiringan alami < 20%
n. Tidak di daerah produktif dan kawasan lindung/cagar alam;
o. Kemudahan operasi dan penerimaan masyarakat.

23
(a) (b)

Gambar 3.4 Jarak Subzona di Kawasan Sekitar TPA Sampah Dengan Sistem LUS dan LUT
Sub Zona penyangga berfungsi untuk:
a. Mencegah dampak lindi terhadap kesehatan masyarakat;
b. Mencegah binatang-binatang vektor, seperti lalat dan tikus yang merambah kawasan
pemukiman;
c. Menyaring debu yang beterbangan karena tiupan angin; dan
d. Mencegah dampak kebisingan dan pencemaran udara oleh pembakaran dalam
pengolahan sampah
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir Sampah, harus berjarak
0-500 m dari penyangga. Sedangkan sub zona budidaya terbatas berfungsi untuk memberikan
ruang untuk kegiatan budidaya terbatas, terutama kegiatan yang berkaitan dengan TPA
sampah. Sub zona ini ditetapkan dengan radius 500 meter dihitung dari batas terluar sub zona
penyangga. Penentuan jarak sub zona penyangga dan sub zona budidaya terbatas dibedakan
sesuai dengan sistem pengelolaan sampah yang digunakan. Apabila lahan urug terkendali
(LUT) jaraknya ke pemukiman minimal 1 km, sedangkan lahan urug saniter (LUS), jarak TPA
ke pemukiman minimal 500 m. Jika pengelolaan TPA semakin baik maka jaraknya ke
pemukiman bisa lebih dekat.

3.5 Evaluasi Pengeloaan


Ada beberapa hal yang dapat diperbaiki di TPST Bantargebang. Pertama, menurut
(Sukwika dan Noviana, 2020) pada TPST Bantargebang, ada beberapa zona yang belum
dikelola dengan baik. Upaya pengelolaan sampah secara sanitary landfill tidak terlaksana
dengan baik, sehingga sistem yang digunakan cenderung condong ke sistem open dumping
yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan karena menghasilkan air lindi (leachate)
serta gas metana. pemerintah DKI Jakarta juga dianggap belum melakukan penghijauan
pada area TPST Bantargebang. Pengoperasian Instalasi Pengelolaan Air Sampah (IPAS)
juga belum sempurna, sehingga pengolahan lindi tidak bisa dilakukan dengan baik. Lindi
dikatakan tidak langsung dialirkan ke IPAS karena lokasi IPAS berada di bawah tumpukan
sampah, sehingga pengelolaan air lindi langsung dibuang ke kali.
Hal ini tidak sesuai dengan Permen PU No. 3/2013 Pasal 33 dimana pengelolaan
sampah harus dilakukan secara urug saniter (sanitary landfill) dan juga pasal 33 (2) dimana
dikatakan pemrosesan akhir sampah di TPST harus melewati pengolahan lindi dan juga

24
penanganan gas. Hal ini juga melanggar perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi yang telah ditetapkan pada tahun 2016
dimana seharusnya Pemerintah Kota Bekasi melakukan pengelolaan secara ramah
lingkungan dan secara menyeluruh guna mengupayakan pengurangan tingkat pencemaran
lingkungan di TPST Bantargebang dan sekitarnya. Idealnya, pengolahan air lindi dilakukan
dengan mengalirkannya melalui pipa yang ditanam di bawah tanah yang kemudian
dialirkan ke kolam pengolahan IPAS. Dari IPAS air lindi akan diproses ke dalam kolam
ekualisasi (inlet). Selanjutnya, air lindi dijernihkan. Setelah itu, air lindi baru boleh dibuang
ke lingkungan dengan keadaan mutu air yang sudah tidak tercemar (JP Susanto, 2004).
Pada Sebagian zona lainnya, telah dilakukan teknik pengelolaan yang baik dan
dirasa ideal. Proses yang dilakukan mulai dari peralatan yang ada, pemadatan, serta
penutupan tanah telah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Proses lanjutan lainnya
adalah terasering/countering landfill, IPAS, dan power house gas metana. Gas metana
yang dihasilkan disalurkan melalui gas engine di power plant. Sistem yang diterapkan pada
zona ini telah mencapai standar ideal dan dirasa perlu untuk diterapkan pada TPST
Bantargebang secara keseluruhan.
Kedua, sarana dan prasarana yang digunakan oleh TPST Bantargebang nyatanya
belum dikelola dengan baik. Fakta ini didukung bahwa pada Juni 2016 terjadi konflik
dimana warga Bantargebang dan warga Cileungsi melakukan aksi penghadangan truk
karena mobil angkut sampah itu dinyatakan sudah mengganggu kenyamanan warga
(Dheevanadea, 2017). Menurutnya, banyak sampah yang berceceran setiap kali truk
tersebut melintas. Tak hanya itu, air lindi dari sampah juga sering kali bercucuran di jalan
serta keadaan truk yang dianggap tidak layak.
Kondisi ini kemudian dinyatakan sebagai pelanggaran atas perjanjian kerjasama
antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi dimana pencucian
kendaraan pengangkut sampah bersifat wajib dengan tujuan agar tidak mencemari
lingkungan sekitar. Keadaan truk pun dikatakan jauh dari kata layak melihat banyaknya
bolongan serta kerusakan body yang tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku. Keadaan
tersebut kemudian dinyatakan telah beralih menjadi ideal saat pada tahun 2019 dilakukan
peresmian tempat cuci truk sampah di TPST Bantargebang.

25
BAB IV
REKOMENDASI PERBAIKAN KONDISI EKSISTING

4.1 Rekomendasi Pendanaan


Berdasarkan negara best practices yang dipilih, yaitu Jepang dengan TPA Maishima
Incineration Plant Osaka, terdapat beberapa hal yang dapat dicontoh dan direkomendasikan
untuk TPST Bantargebang. Pembangunan fasilitas pengelolaan sampah tentunya
membutuhkan sumber dana yang besar. Dalam menutupi dana sebesar itu, pemerintah nasional
Jepang memberikan bantuan dana kepada pemerintah daerah sekaligus mempromosikan
pembangunan fasilitas pengelolaan sampah lebih luas dan komprehensif. Hal ini dilakukan
untuk menciptakan masyarakat dengan siklus material yang sehat sambil menghormati
perbedaan daerah dan otonomi kotamadya. Subsidi atau bantuan dana dari pemerintah nasional
biasanya berjumlah ⅓ hingga ½ dari total biaya pada proyek perintis.
Pendanaan yang diberikan pemerintah pusat akan digunakan sepenuhnya oleh
pemerintah kotamadya untuk mengelola sampah di wilayahnya sekaligus merumuskan dan
melaksanakan rencana pengelolaan sampah. Setiap daerah mengatur dan mengelola sendiri
sampahnya berdasarkan regulasi pemerintah pusat. Pengelolaan limbah padat di Kota Osaka
ditangani oleh Dinas Pengurangan Sampah dan Penataan Kota Biro Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Selain itu, pihak ketiga juga ikut terlibat dalam pengelolaan limbah di Kota Osaka, yaitu
perusahaan swasta yang bertugas menangani limbah secara umum.
Rekomendasi perbaikan dari sektor pendanaan di TPST Bantargebang dapat dilakukan
dengan meningkatkan kerja sama antara pemerintah daerah dengan pusat agar pendanaan dapat
berjalan semakin lancar. Selain itu, bisnis pengelolaan sampah mampu mendatangkan
keuntungan (profit) bagi para pelakunya harus tetap dipertahankan. Hal ini harus didukung
dengan pengelolaan sampah di TPA yang baik sehingga dapat menarik banyak investor yang
akan mengoptimalkan pembangunan dan fasilitas di TPA. Kehadiran investor ini juga akan
memberikan tambahan keuntungan hasil di TPA. Menurut Dasuki (2008), rekomendasi
perbaikan sektor pendanaan TPA dapat diawali dengan:
1. Melakukan promosi tentang potensi pengelolaan aset TPA yang bernilai
ekonomis.
2. Melakukan kajian tentang potensi ekonomi aset TPA yang melibatkan pihak
akademisi maupun investor.
3. Melakukan tender untuk mencapai hasil yang maksimal terhadap pengelolaan
aset TPA Bantar Gebang.
4. Memilih alternatif terbaik dalam pemanfaatan aset TPA (highest and best use)
dengan terlebih dahulu melakukan studi kelayakan usaha.
5. Menentukan alternatif kerja sama terbaik dengan investor, apakah lebih cocok
menggunakan BOT, BOO, BTO dan sebagainya.
4.2 Rekomendasi Kelembagaan
Pada subbab 3.1 telah ditentukan negara yang menjadi acuan best practices yaitu Jepang
dengan TPA yang terpilih adalah TPA Maishima Incineration Plant Japan. Berdasarkan
pembahasan pada best practices dapat diambil poin-poin yang bisa dijadikan rekomendasi
untuk TPST Bantargebang. Pengelolaan sampah di Jepang tidak dikendalikan sepenuhnya oleh

26
pemerintah pusat, namun dipercayakan pada municipality tingkat kota masing-masing. Dalam
Waste Management Law, municipality bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan sampah
rumah tangga, termasuk mengumpulkannya. Kebijakan pemilahan sampah juga menjadi
tanggung jawab dari municipality masing-masing kota. Peningkatan kerja sama antara
Pemprov dengan Pemda juga harus dilakukan agar komunikasi terkait perizinan, pengelolaan,
dan pembiayaan dapat berjalan dengan lancar.
Dari pemilahan tersebut dapat dilihat teknis mengenai jadwal pengangkutan sampah
maupun tempat pengumpulan ditetapkan menurut peraturan, kemampuan, dan fasilitas yang
dimiliki oleh masing-masing distrik, sedangkan prosedur pemilahan sampah diserahkan pada
municipality masing-masing kota. Pemerintah menitikberatkan pengolahan sampah di Jepang
pada penggunaan teknologi dan sumber daya manusia sehingga membutuhkan kerjasama dan
partisipasi masyarakat untuk memilah sampah dan mengumpulkannya berdasarkan kategori
yang telah ditentukan untuk nantinya diolah di Tempat Pemrosesan Akhir.

4.3 Rekomendasi Regulasi


Salah satu yang menjadi kendala dalam pengelolaan TPA adalah peraturan atau hukum
yang mengatur pengelolaan TPA. Hal tersebut dapat dicegah dengan dilakukannya pengkajian
produk hukum atau perundangan yang dirasa belum mampu mengkoordinir permasalahan
terkait pengelolaan TPA bahkan cenderung menjadi penghambat dan melakukan revisi atau
penghapusan. Kemudian, peraturan tentang pengelolaan TPA tersebut juga harus dilaksanakan
dengan baik diterapkan oleh seluruh aspek yang terlibat, baik masyarakat maupun pemerintah.
Dalam hal ini Indonesia bisa menerapkan peraturan pengelolaan sampah seperti yang
dilakukan oleh Jepang, yaitu dengan mempercayakan pengelolaan sampah pada pemerintah
tingkat daerah (municipality) dan pemerintah dapat melakukan sosialisasi-sosialisasi di sekolah
maupun pedesaan mengenai pengelolaan sampah dari sumber berdasarkan jenisnya
(pengelolaan sampah berbasis masyarakat).

4.4 Rekomendasi Pengelolaan


Sebelum diusulkan untuk melakukan rekomendasi perbaikan, telah ditentukan terlebih
dahulu Negara yang menjadi acuan best practices yaitu TPA Maishima Incineration Plant
Japan. Berikut poin-poin yang dapat dijadikan rekomendasi, pertama, TPA ini memiliki mesin
pembakaran sampah raksasa atau mesin incinerator yang dapat membakar 450 ton sampah
sekaligus. Sampah yang telah dipisahkan berdasarkan jenisnya, yaitu sampah yang dapat
dibakar dan sampah yang tidak dapat dibakar. Hal ini telah dipisahkan sejak berada di pintu
gerbang. Dengan demikian, perlunya dilakukan pemilahan sampah yang baik. Kedua, TPA ini
gabungan dari fasilitas pembakaran sampah dan fasilitas penghancuran sampah massal. Ketiga,
pembakaran sampah yang menghasilkan panas digunakan kembali untuk berbagai
kepentingan, seperti untuk pemanas ruangan, pemanas air, dan pembangkit listrik bagi TPA itu
sendiri. Dengan demikian, panas yang dikeluarkan tidak terbuang sia-sia karena dimanfaatkan
kembali. Keempat, TPA dibangun jauh dari wilayah pemukiman agar tidak menyebabkan
gangguan kesehatan bagi penduduk setempat. Poin terakhir, yaitu yang kelima, perlunya
dilakukan gerakan mengurangi sampah dari sumbernya karena timbulan sampah akan terus
bertambah jika tidak dikurangi dari sumbernya.

27
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kondisi eksisting terkait pengelolaan sampah termasuk aspek kelembagaan formal,
kelembagaan informal, struktur organisasi, upaya pengurangan sampah, dan dampak
lingkungan sosial secara umum serta aspek pembiayaan di TPST Bantargebang di
bahas pada BAB II.
2. Evaluasi mengenai kondisi eksisting terhadap kondisi ideal di Indonesia berdasarkan
regulasi dan peraturan yang berlaku dibahas pada BAB III. Evaluasi kondisi eksisting
ditinjau berdasarkan evaluasi pendanaan, kelembagaan, regulasi, dan pengelolaan.
TPA ideal best practice yang kami pilih adalah TPA Maishima Incineration Plant
Japan.
3. Rekomendasi perbaikan aspek non-teknis untuk TPST Bantargebang berdasarkan TPA
Maishia Incineration Plant dibahas pada BAB IV.

5.2 Saran
1. Setelah dilakukannya perbandingan antara TPST Bantargebang dengan TPA Maishima
Incineration Plant Japan didapatkan beberapa poin rekomendasi yang dapat diterapkan
untuk perbaikan TPST Bantargebang. Sekiranya, poin rekomendasi yang kelompok
kami ajukan dapat menjadi bahan pertimbangan agar menjadi lebih baik lagi.
2. Perlu dilakukan pengoptimalan dalam pengelolaan sampah, seperti dilakukan
pembakaran sampah menggunakan incinerator namun tetap memperhatikan panas yang
dihasilkan tidak terbuang secara sia-sia ke lingkungan. Dengan demikian, panas yang
dihasilkan dapat diolah kembali untuk pemanas ruangan, pemanas air, dan pembangkit
listrik bagi TPA itu sendiri.
3. Perlu dilakukan sounding yang baik kepada masyarakat untuk melakukan pemilahan
sampah terlebih dahulu sebelum melakukan pembuangan sampah. Pemilahan sampah
ini juga dapat didukung oleh pemerintah dengan memberikan selebaran berupa tata cara
pemilahan sampah yang benar atau berupa penayangan iklan mengenai pemilahan
sampah. Saat ini, media sosial memiliki dampak yang besar sekali bagi kehidupan.
Dengan demikian, media sosial juga dapat menjadi alternatif yang dipilih untuk
menyebarkan cara pemilahan sampah yang baik kepada masyarakat serta tujuan dan
manfaat dari pemilahan sampah itu sendiri.

28
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional. SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA.
Indonesia.
Badan Pusat Statistik DKI. (2020). Jumlah Sampah yang Masuk ke Bantargebang. Indonesia
Baso, A. dkk. (2017). Perencanaan Sistem Pengelolaan Persampahan Pelayanan TPA
Kaligending
Kabupaten Kebumen. Universitas Diponegoro: Departemen Teknik Lingkungan.
BBC Indonesia. (2018). Kisah ‘Putri Sampah’ yang Membina Anak-Anak di Bantargebang.
Clapeyron Media. (2020). PLTSa Bantargebang: Resolusi Konflik Sampah DKI Jakarta.
Diakses dari
https://www.clapeyronmedia.com/majalah-online/pltsa-bantargebang-resolusi-
konflik-sampah-dki-jakarta/?msclkid=c5b0101db89d11ecada957eca5b0728f
Chaowiang, dkk. (2022). Key Points and Best Practices for Successful Municipal Solid Waste
Incineration. IOP Conference. Diakses dari
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/1008/1/012020/pdf
Darmawan, A., Soesilo, T. E. B., & Wahyono, S. (2020). Model Optimasi Pengelolaan Sampah
di
TPA (Suatu Studi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang). Jurnal
Pendidikan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan Volume 21 - Nomor 02.
Dasuki, A. (2008). Strategi pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) bantar gerbang
sebagai aset pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Dheevanadea P.A.I. (2017). Konflik Antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah
Kota
Bekasi dalam Pengelolaan Sampah Bantargebang Tahun 2015-2016. Skripsi.
Universitas Diponegoro.
Dinas Lingkungan Hidup. (2020). TPST Bantargebang. Diakses dari
https://lingkunganhidup.jakarta.go.id/
Djalaluddin Pane Foundation. (2018). Pahlawan bagi Anak-Anak Bantargebang. Diakses dari
http://djalaluddinpane.org/home/news/detail/71
Hartoyo, S., Syaukat, Y., & Winahyu, D. (2013). Strategi Pengelolaan Sampah pada Tempat
Pembuangan Akhir Bantargebang Bekasi. IPB University.
Jakarta Green Building. (2018). TPST Bantargebang Pilot Project Pengolahan Sampah Secara
Termal. Diakses dari https://greenbuilding.jakarta.go.id/news/2018/03/21/tpst-bantar-
gebang-pilot-project-pengolahan-sampah-secara-termal/
Japan Institute of Infra-Structure. (1982). Guidelines of Solid Waste Management. Tokyo:
Ministry of
Health and Welfare.
Japan Ministry of the Environment Japan. (2014). History and Current State of Waste
Management in Japan. Diakses dari
https://www.env.go.jp/en/recycle/smcs/attach/hcswm.pdf
Juliansyah, M. H. (2010). Analisis Keberadaan TPST Bantargebang Bekasi. Thesis. Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi UI.
Kawasaki, Juko. (2005). Teknologi Pengolahan Sampah Jepang. Paper presented at the
29
Environmental Technology Seminar, Jakarta.
Kementrian Pekerjaan Umum. (2012). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19 Tahun
2012
Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir
Sampah. Indonesia.
Kementrian Pekerjaan Umum. (2013). Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan
dalam
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga. Indonesia.
Kompas. (2021). Duit Rp 379 M Per Tahun dari Pemprov DKI Jakarta Untuk Uang Bau
hingga
Infrastruktur di Bekasi. Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2021
/10/25/17582081/duit-rp-379-m-per-tahun-dari-pemprov-dki-digunakan-untuk-uang-
bau-hingga.
Kompas. (2021). Pilot Project PLTSa Bantargebang Sulap 9879 Ton Sampah Jadi Energi
Listrik.
Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/09/22065281/pilot-
project-pltsa-bantar-gebang-sulap-9879-ton-sampah-jadi-energi
Maulana, C., Rohmat, D., & Ruhimat, M. (2014). Zonasi Tempat Pembuangan Sampah
Terpadu
Bantargebang. Jurnal Gea Volume 14 Nomor 2
Sturmer, J. (2018). Osaka Rubbish Incinerator Maishima Looks Like Disneyland But is Part of
Japan's Saste Strategy. Diakses dari https://www.abc.net.au/news/2018-05-21/the-
japanese-waste-incinerator-that-has-its-own-tripadvisor-page/9780872
Pemprov DKI Jakarta. (2003). Keputusan Bersama Pemprov DKI Jakarta dengan Pemkot
Bekasi
No.3428/072 dan No. 658.1/Kep.439 tentang Penjanjian kerjasama pengelolaan
sampah dan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di kecamatan Bantargebang kota
Bekasi.
Pemprov DKI Jakarta. (2016). Perjanjian Perubahan (Addendum) Antara Pemprov DKI
Jakarta
dengan Pemkot Bekasi No. 25 Tahun 2016 dan No. 444 Tahun 2016 tentang
Peningkatan
Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Menjadi Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang Kota Bekasi.
Sukwika, T. & Noviana, L. (2020). Status Keberlanjutan Pengelolaan Sampah Terpadu di
TPST-Bantargebang, Bekasi: Menggunakan Rapfish dengan R Statistik. Jurnal Ilmu
Lingkungan Volume 18 Issue 1: 107-108
Susanto, P.J., Ganefati P.S., Muryani, S., dan Istiqomah, H.S., 2004. Pengolahan Lindi
(Leachate) dari TPA dengan Menggunakan Sistem Koagulasi Biofilter Anaerobic.
Jurnal
Teknologi Lingkungan, 5:167-173.
Suseno, A. G. (2018). Dampak TPST Bantar Gebang Terhadap Kondisi Sosial Masyarakat di
Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang. Skripsi. Universitas Diponegoro:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Town Planning. 1992. Gomi ga Wakaru Keyword 70 (Seventy Keywords to Understand the

30
Waste).
Tokyo: Daiyamondosha.
UPTPST. (2022). Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang. https://upstdlh.id/
(Diakses
pada 17 April 2022)
Wardhani, Citra. 2007. The Development of Waste Regulations and the Psychological
Perspectives of
Public Participation in Waste Management in Japan. Manabu, Journal of Japanese
Studies, Vo.2 No.1, pp. 57-74.
Wanless. 2008. What is Waste Management? Wanless Environmental Service. 17 April 2022.
https://wanless.com.au/
Wartakota. (2021). Pemprov DKI Jakarta Perpanjang Sewa Lahan TPST Bantargebang.
Diakses dari
https://wartakota.tribunnews.com/2021/10/25/pemprov-dki-perpanjang-sewa-lahan-
tpst-banta
rgebang-5-tahun-dengan-kompensasi-rp-379-milia

31
LAMPIRAN

32

Anda mungkin juga menyukai