Anda di halaman 1dari 24

BEST PRACTICES PENGELOLAAN SPECIAL SOLID WASTE UNTUK MARINE

DEBRIS DI AUSTRALIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Limbah Padat yang diampu oleh
Dr. Benno Rahardyan, S.T., M.T.

oleh

Zaydan Zulfan Muamar 15320091


Marsha Daulah Salsabila 15320092
Farah Hapsari Yulistyani 15320093
Fayza Muthia Rahmanda Putri 15320099
Ryan Adrianus Win 15320100
Muhammad Zaidan 15320105
Iftitah Sudiono 15320106

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami
kemudahan untuk dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Best Practice Pengelolaan Special Solid
Waste untuk Marine Debris di Australia” ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Tugas ini.
Dalam proses pengerjaan makalah, penulis mendapatkan banyak pengetahuan baru, terlebih mengenai
proses pengelolaan marine debris di Indonesia yang masih membutuhkan banyak perbaikan guna turut
mendukung usaha pemeliharaan lingkungan. Pengajuan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pengelolaan Limbah Padat TL2202 pada perkuliahan di Institut Teknologi Bandung

Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis mengalami beberapa kendala dan hambatan,
seperti susahnya mencari sumber studi pustaka. Namun, dengan adanya kerjasama antar anggota
kelompok, pada akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Selain itu, kami juga
mengucapkan terimakasih banyak kepada Dr. Benno Rahardyan, S.T., M.T., selaku dosen pengampu
mata kuliah Pengelolaan Limbah Padat TL2202 juga Kak Sapta, Kak Tita, dan Kak Saras, selaku kakak
asisten, yang telah menyampaikan materi, membimbing, dan memberikan arahan dalam menyelesaikan
penulisan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa tugas ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar penulis dapat menyusun tugas ini menjadi lebih baik
dari segi isi maupun penyampaian. Penulis berharap bahwa tugas dengan judul “Best Practices
Pengelolaan Special Solid Waste untuk Marine Debris di Australia” ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Bandung, 27 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan ....................................................................................................................... 2
1.4 Ruang Lingkup Studi ..................................................................................................................... 3
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI ............................................................................. 4
2.1 Gambaran Umum Wilayah Studi .................................................................................................. 4
2.2 Pengelolaan Limbah Padat Domestik di Australia ........................................................................ 5
2.3 Pengelolaan Limbah Padat Industri di Australia ........................................................................... 6
BAB III PENGELOLAAN SPECIAL SOLID WASTE ........................................................................ 9
3.1 Timbulan, Komposisi, dan Karakteristik....................................................................................... 9
3.2 Analisis Teknik Penanganan ....................................................................................................... 11
3.2.1 Penanganan di Sumber ......................................................................................................... 12
3.2.2 Pengumpulan dan Pengangkutan .......................................................................................... 12
3.2.3 Pengolahan atau Pemanfaatan .............................................................................................. 12
3.2.4 Final Disposal ....................................................................................................................... 12
3.3 Analisis Non-Teknis .................................................................................................................... 13
3.3.1 Peraturan Perundang-Undangan Terkait .............................................................................. 13
3.3.2 Analisis Aspek Ekonomi ...................................................................................................... 13
3.3.3 Analisis Aspek Lingkungan ................................................................................................. 14
3.3.4 Kebutuhan Tenaga Kerja ...................................................................................................... 14
3.4 Lesson Learned ............................................................................................................................ 14
3.4.1 Pengelolaan Marine Debris di Indonesia .............................................................................. 14
3.4.2 Analisis Potensi Aplikasi di Indonesia ................................................................................. 16
BAB IV PENUTUP .............................................................................................................................. 17
4.1 Kesimpulan .................................................................................................................................. 17
4.2 Saran ............................................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 18

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.2.1 Metode Pengumpulan Limbah domestik di Sydney ................................................ 5


Tabel 3. 1 Jumlah Marinde Debris di Australia Selama Tiga Tahun Terakhir .......................... 9
Tabel 3. 2 Timbulan Marine Debris yang Dihasilkan Australia Selama Tiga Tahun Terakhir 9

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Accumulation Rate (count/day) for All Debris Items in Australia ......................... 4
Gambar 2. 2 Lokasi Landfill/TPA Terdekat dari Kota Sydney .................................................. 6
Gambar 3. 1 Komposisi Marine Debris di Perairan Australia .................................................. 10
Gambar 3. 2 Sumber Marine Debris di Australia ..................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sampah merupakan bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, perkantoran, rumah
penginapan, hotel, rumah makan, industri, puing bahan bangunan, dan besi-besi tua bekas kendaraan
bermotor. Sampah merupakan hasil samping yang telah tidak terpakai (Sucipto, 2012). Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, jenis sampah yang dikelola terdiri
dari sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Pengelolaan
sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga, yang telah dibahas pada tugas-tugas
sebelumnya, terbilang sama bergantung pada karakteristik sampah yang dihasilkan. Sebaliknya, sampah
spesifik membutuhkan pengelolaan secara khusus.
Menurut Undang-Undang, sampah spesifik didefinisikan sebagai sampah yang karena sifat,
konsentrasi, dan volumenya memerlukan pengelolaan khusus. Sampah spesifik meliputi sampah yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun; sampah yang mengandung limbah berbahaya dan beracun;
sampah yang timbul akibat bencana; puing bongkaran bangunan; sampah yang secara teknologi belum
dapat diolah dan/atau sampah yang timbul secara tidak periodik.
Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun
2019, total sampah di Indonesia telah mencapai 68 juta ton dan sampah plastik diperkirakan akan
mencapai 9,52 juta ton. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah,
seringkali menyebabkan mereka membuang sampah ke sembarangan tempat, seperti membuang sampah
ke selokan, kali, dan bahkan di lautan. Hal tersebut tentu mengakibatkan kebersihan lingkungan serta
ekosistem laut menjadi rusak. Tak jarang banyak dari hewan-hewan laut yang mati akibat banyaknya
sampah plastik yang dibuang oleh warga yang tinggal di sekitar pantai, maupun banyaknya sampah
plastik yang hanyut di lautan, seperti yang diberitakan bahwa ada seekor paus yang mati di pinggir
pantai dengan seisi perutnya yang terdapat berbagai macam sampah plastik. Bahkan, di dalam rahimnya
terdapat janin sepanjang 2,7 meter yang sudah mulai terdekomposisi, yang berarti bahwa janin tersebut
sudah tak bernyawa lagi sebelum si paus terdampar mati.
Berbagai jenis sampah, termasuk sampah spesifik, yang berasal dari aktivitas manusia telah
dibuang ke sungai yang kemudian akan bermuara ke laut atau bahkan secara langsung dibuang ke laut
karena pola pikir masyarakat yang masih menganggap laut sebagai tempat pembuangan akhir bagi
kehidupan manusia sehingga menimbulkan pencemaran sampah di laut. Salah satu jenis sampah spesifik
yang dapat ditemukan di laut adalah sampah laut atau marine debris. Sampah laut (Marine Debris)
merupakan bahan padat persisten yang secara sengaja atau tidak disengaja dibuang dan ditinggalkan di
lingkungan laut (CSIRO, 2014). Sampah laut (marine debris) pada umumnya dihasilkan dari kegiatan
antropogenik. Hal tersebut menjadi ancaman langsung bagi habitat laut, kesehatan manusia, dan
keselamatan navigasi, sehingga mengakibatkan kerugian aspek sosial ekonomi yang serius. Penyebaran

1
sampah laut sangat memprihatinkan, yaitu sekitar 14 miliar ton sampah dibuang setiap tahun ke lautan
(Heatherington et al., 2005). Selain itu, Indonesia merupakan negara kedua terbesar penyumbang
sampah, 3,2 juta ton karena perkembangan pencemaran sampah yang begitu pesat, yang berarti
Indonesia hanya kalah dari Tiongkok di peringkat pertama, dan dari 192 negara pesisir (termasuk
Indonesia), setidaknya telah membuang sampah ke laut sebesar 12,7 juta ton (Purba, 2017).

Pengelolaan sampah Indonesia telah diatur dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008.
Akan tetapi, peraturan perundangan mengenai pengelolaan sampah spesifik secara lebih rinci masih
belum efektif dan membutuhkan pengembangan dalam pengkajian dan penerapannya. Hal tersebut
dapat dilihat dari implementasi sistem pengelolaan sampah spesifik di Indonesia yang masih belum
memadai. Dalam kondisi lapangan, Indonesia memiliki populasi pesisir sebesar 187,2 juta yang setiap
tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik. Sekitar 0,48-1,29
juta ton dari sampah plastik tersebut diduga mencemari lautan. Data tersebut juga mengatakan bahwa
Indonesia merupakan negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia
setelah China. China memimpin dengan tingkat pencemaran sampah plastik ke laut sekitar 1,23-3,53
juta ton/tahun, padahal jumlah penduduk pesisir Indonesia hampir sama dengan India, yaitu 187 juta
jiwa, serta besarnya sampah yang dihasilkan dalam suatu daerah tertentu sebanding dengan jumlah
penduduk, jenis aktivitas yang beragam dan tingkat konsumsi penduduk tersebut terhadap barang
material (Manik et al., 2016). Akan tetapi, tingkat pencemaran plastik ke laut India hanya sekitar 0,09-
0,24 juta ton/ tahun dan menempati urutan ke dua belas (Angga, dkk., 2021). Dapat disimpulkan bahwa
memang terdapat sistem pengelolaan sampah laut yang kurang baik di Indonesia. Australia merupakan
salah satu negara yang memiliki pengelolaan sampah laut yang baik. Oleh karena itu, pengelolaan
sampah laut di Australia dapat dikaji dan dijadikan sebagai best practice untuk penerapan pengelolaan
sampah laut di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut,
1. Bagaimana alur sistem penanganan marine debris di Australia?
2. Bagaimana pertimbangan aspek non-teknis pada pengelolaan marine debris di Australia?
3. Bagaimana perbaikan sistem pengelolaan marine debris di Indonesia bila merujuk pada
pengelolaan marine debris di Australia?

1.3 Maksud dan Tujuan


Tujuan dari tugas ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan alur sistem penanganan penanganan marine debris di Australia.


2. Menentukan pertimbangan aspek non-teknis pada pengelolaan marine debris di Australia.
3. Menentukan perbaikan sistem pengelolaan marine debris di Indonesia bila merujuk pada
pengelolaan marine debris di Australia.

2
1.4 Ruang Lingkup Studi
Ruang lingkup studi laporan ini akan membahas hal sebagai berikut:
1. Pengelolaan marine debris di Australia secara keseluruhan
2. Aspek teknis pengelolaan marine debris di Australia
3. Aspek non-teknis pengelolaan marine debris di Indonesia
4. Pengelolaan marine debris di Indonesia

3
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

2.1 Gambaran Umum Wilayah Studi


Australia atau Commonwealth of Australia merupakan sebuah negara benua yang terletak pada
lokasi astronomis 35 15’ LS 149 28’ BT. Australia merupakan pulau terbesar di dunia, terdapat di
belahan selatan yang terdiri dari daratan utama benua Australia itu sendiri, Pulau Tasmania dan berbagai
pulau kecil di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dengan luas 7.683.300 kilometer persegi. Pada
bagian utara, Australia berbatasan dengan Indonesia dan pada bagian selatan dikelilingi oleh Samudera
Hindia. Sementara di bagian timur, berbatasan dengan Selandia Baru dan Samudera Pasifik, serta pada
bagian barat berbatasan dengan Laut Timor juga dikelilingi oleh Samudera Hindia.

Gambar 2.1 Accumulation Rate (count/day) for All Debris Items in Australia
(Sumber: Jordan Gacutan, 2021)
Dalam “Marine pollution: source, distribution, and fate” CSIRO (Commonwealth Scientific and
Industrial Research Organization) melakukan penelitian terkait sampah di pantai Australia, dan dari
penelitian tersebut ditemukan bahwa sekitar 3/4 sampah di sepanjang pantai Australia merupakan
sampah plastik. Kepadatan plastik berkisar dari beberapa ribu keping plastik per kilometer persegi
hingga lebih dari 40.000 keping plastik per kilometer persegi.
Keberadaan sampah plastik di pantai dan laut mengancam kehidupan makhluk hidup di laut.
Berdasarkan penelitian Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations
Convention On Biological Diversity), sampah di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies
dengan 40% merupakan mamalia laut dan 44% lainnya adalah spesies burung laut. Di Australia, sampah
laut telah diidentifikasi sebagai proses utama yang mengancam fauna vertebrata yang terancam punah.
Australia mengatur pemuatan, pembuangan, dan pembakaran sampah yang disengaja di laut
berdasarkan Environment Protection (Sea Dumping) Act 1981 dan The Environment Protection (Sea
Dumping) Amendment Act 1986. Salah satu cara Australia mengatasi sampah laut adalah dengan
membuat sistem penyaringan dengan jaring-jaring raksasa pada ujung saluran pembuangan air. Sistem
tersebut terbukti efiktif dalam upaya mengurangi sampah laut.

4
2.2 Pengelolaan Limbah Padat Domestik di Australia
Australia merupakan negara dengan hasil limbah di atas rata-rata negara barat lainnya. Pada
tahun 2016-2017, Australia menghasilkan 67 juta ton limbah padat atau setara dengan 2,7 juta ton per
kapita. Sementara pada tahun 2018 - 2019, jumlah limbah padat yang dihasilkan menjadi 75,8 juta ton
atau lebih banyak 10% dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, terdapat 4 sektor yang menjadi
penyumbang terbanyak, yaitu manufaktur (16,9%), konstruksi (16,8%), rumah tangga (16,3%), dan
listrik, gas, serta pemeliharaan air (14,4%). Limbah padat domestik menjadi penyumbang cukup besar
dari keseluruhan limbah padat yang dihasilkan di Australia.

Dalam menangani hal tersebut, limbah padat domestik di Australia telah dikelola dengan
manajemen yang baik. Pengelolaan tersebut diawali dengan tahap pemilahan dengan 3 jenis warna pada
bak sampahnya, yaitu hijau, kuning, dan merah. Tempat sampah disediakan oleh pemerintah daerah
dengan volume minimal sebesar 55 L yang dirancang untuk menyimpan, mengangkut, dan membuang
limbah. Apabila limbah yang dihasilkan terlalu besar sehingga melebihi kapasitas tempat sampah yang
telah disediakan, warga dapat menghubungi Pusat Pelayanan Kota atau dapat dibawa secara mandiri ke
fasilitas sampah komersial untuk dibuang dengan dikenakan biaya.
Tabel 2.2.1 Metode Pengumpulan Limbah domestik di Sydney
Waste Type Disposal Method Standard Size

Garbage Red lid bins 120 L

Recycling Yellow lid bins 120 L

Garden Organics Green lid bins 240 L

Sebagai contoh, masyarakat di Sydney bertanggung jawab dalam mengumpulkan dan


memindahkan limbah. Proses tersebut mereka lakukan sendiri dengan kontraktor atau truk untuk
mengangkut dan memindahkan limbah ke fasilitas yang telah disediakan sebagai tempat penampungan
sampah sementara. Sampah dan limbah yang dapat didaur ulang diangkut seminggu sekali dari tempat
tinggal tunggal. Sedangkan untuk apartemen atau hunian multi unit yang tidak memiliki tempat sampah
bersama, pengangkutan sampah dilakukan melalui proses yang sama dengan frekuensi yang berbeda.
Proses Pengangkutan dilakukan oleh 45 kendaraan termasuk truk sampah yang dapat mengambil
sampah secara otomatis untuk dipadatkan.

Setelah terkumpul, limbah domestik tersebut nantinya akan dibawa beberapa tempat sesuai
dengan jenisnya. Proses pemilahan material limbah dilakukan di Materials Recovery Facilities (MRFs).
Fasilitas ini difungsikan untuk menyortir barang-barang daur ulang dan bahan lainnya yang dapat
dipasarkan atau dijual kembali. Terdapat 3 fasilitas MRFs utama yang menerima limbah daur ulang dan
40 fasilitas serbaguna di Sydney. Material-material yang tidak dapat diambil kembali atau dimanfaatkan
akan dikirim ke landfill atau TPA. Selain itu, limbah yang membusuk di TPA akan diubah menjadi
energi pada fasilitas Alternative Waste Treatment (AWT) dengan teknologi canggih untuk mengubah
sisa limbah menjadi energi alternatif.

5
Manajemen limbah di Australia dikelola oleh pihak pemerintah maupun swasta. Landfill atau
TPA berlokasi cukup jauh dari tempat pengumpulan sampah karena persaingan penggunaan lahan.
Beberapa TPA yang digunakan oleh Sydney antara lain, Jack’s Gully, Genesis Facility at Eastern Creek,
Lucas Heights, and Belrose. Sebagian besar limbah di Australia berakhir pada Woodlawn landfill at
Tarago, 250 km di tenggara Sydney yang dikelola oleh Veolia dengan jumlah limbah sebanyak 400 ribu
ton per tahun. Limbah dari Sydney diangkut ke TPA tersebut menggunakan kereta.

Gambar 2. 2 Lokasi Landfill/TPA Terdekat dari Kota Sydney


(Sumber: Google Earth)

Regulasi dan kebijakan dalam pengelolaan limbah padat di Australia diatur oleh Department of
the Environment and Energy (DEE). National Food Waste Strategy. Halving Australia's Food Waste by
2030 pada tahun 2017, dokumen yang berisikan panduan bagi institusi di Australia dalam menguraikan
limbah makanan yang dilatarbelakangi oleh salah satu tujuan pada SDGs PBB. Kemudian pada tahun
2018, yaitu National Waste Policy: Less Waste, More Resources. Dalam kebijakan tersebut, terdapat
16 strategi yang menjadi panduan bagi pemerintah maupun institusi terkait dalam mengelola limbah.
Pada 2018, Threat Abatement Plan for the impacts of marine debris on the vertebrate wildlife of
Australia's coasts and oceans, dokumen yang membahas mengenai langkah yang harus dilakukan untuk
memahami dampak dari plastik dan mikroplastik terhadap ekosistem laut, serta cara penanganannya.
Selain itu, pemerintah Australia juga memberlakukan retribusi sampah (waste levy), yaitu pajak yang
dikenakan atas limbah yang dibuang pada TPA. Kebijakan ini diberlakukan untuk mendorong teknologi
pembuangan.

2.3 Pengelolaan Limbah Padat Industri di Australia


Australia menerapkan sistem ekonomi ramah lingkungan atau yang dikenal sebagai circular
economy dengan mengumpulkan limbah terlebih dahulu, selanjutnya diproses dan digunakan kembali
untuk membuat produk baru. Dahulu, Australia melakukan ekspor limbah padat, namun sekarang sudah
tidak dilakukan kembali. Sehingga, untuk mengatasi sampah yang berlebih, kontraktor mulai mengisi
gudang dengan tumpukan barang daur ulang. Saat ini Australia lebih memilih untuk mengelola sampah

6
mereka bukan mengekspor sampah. Dengan demikian, Perusahaan Suez Waste Management sepakat
bahwa pemerintah harus masuk untuk membantu industri daur ulang. Daur ulang dan lingkungan
seharusnya menjadi isu utama bagi pemerintah untuk melihat keadaan lingkungan secara keseluruhan
serta menjadi prioritas bagi pemerintah negara dalam bagian pengelolaan sampah dan menjadi isu bagi
pemerintah daerah.

Saat ini, Australia menciptakan berbagai teknologi baru untuk membantu dalam pengelolaan
limbah yang dihasilkan industri. Teknologi Cat-HTR yang telah dipatenkan saat ini dapat mengubah
plastik menjadi minyak dengan melibatkan pemanasan bahan pada suhu tinggi. Selain itu, pemerintah
Australia juga mendukung industri yang menerapkan daur ulang dengan memberikan insentif kepada
industri daur ulang.
Pengelolaan limbah di Australia dimulai dengan pemilahan terlebih dahulu. Terdapat tempat
sampah yang memiliki 3 tutup warna berbeda, warna tersebut menjadi pembeda dari isi kotak sampah.
Ketika ada masyarakat setempat yang keliru dalam memilah sampahnya maka akan mendapatkan
peringatan dari city council sehingga sampah yang dihasilkannya tidak akan diangkut berujung pada
sampah yang menumpuk.
Kotak sampah pertama, berwarna hijau tua yang biasa diisi sampah rumah tangga berupa sisa
makanan, tulang, daging, buah, dan sayur. Sampah-sampah ini nantinya diangkut oleh compactor dan
akan dikompresi terlebih dahulu. Sampah-sampah tersebut nantinya akan dibuang ke lubang
penimbunan sampah. Jika sudah penuh, maka lubang akan ditutup kembali dan akan dibuka kembali
untuk diambil komposnya setelah beberapa puluh tahun penimbunan. Proses ini disebut sebagai landfill.
Kotak sampah kedua, berwarna kuning yang biasa diisi sampah yang dapat didaur ulang berupa
botol minuman, kaleng kemasan makanan, kertas, dan plastik. Semua sampah dibuang dalam keadaan
kering. Sampah tersebut nantinya akan dituang ke dalam truk sampah. Setelah sampai pada tempat
pembuangan sampah, nantinya sampah akan disortir dengan cara yang unik. Jika sampah tersebut dapat
tertiup angin, sampah tersebut dikategorikan sebagai sampah kertas. Jika sampah tersebut menempel ke
magnet, maka dikategorikan sebagai sampah logam. Namun, jika dapat melewati lobang lingkaran maka
dikategorikan sebagai botol minuman.
Kotak sampah ketiga, berwarna hijau muda atau merah yang biasa diisi dengan ranting atau
daun. Sampah tersebut akan dibawa ke tempat pencacahan. Setelah menjadi cacahan halus, cacahan
akan dilumat bersama serbuk kayu dan diberikan mikroba sehingga membentuk timbulan yang tinggi
karena sangat banyak. Dalam beberapa minggu, cacahan tersebut dapat digunakan menjadi pupuk.
Namun, untuk jenis sampah yang tidak rutin diangkut oleh petugas seperti pakaian, mainan, dan
perangkat elektronik ada dua cara untuk melakukan pembuangannya. Pertama, masyarakat yang
mengunjungi tempat pengumpulan sampah terdekat. Barang-barang yang ingin dibuang dimasukkan
kedalam kotak sampah. Kedua, warga menghubungi city council untuk memberitahukan adanya barang
yang akan dibuang sehingga nantinya petugas akan mengambil barang tersebut di trotoar.
Dalam rangka menangani limbah industri di perairan, terutama sampah kemasan plastik,
diterapkan ide sederhana berupa pemasangan sistem penyaringan sampah di setiap pipa pembuangan.

7
Awalnya, sistem penyaringannya berupa jaringan besar untuk menampung sampah plastik dari saluran
limbah kota. Tujuan dari pemasangan jaring ini tentu untuk mengurangi sampah plastik yang berserakan
di perairan dan mengganggu kualitas biota laut. Pemasangan jaring sangat efektif karena sampah yang
terjaring dapat disortir dan diproses. Sampah dapat didaur ulang menjadi sumber pendapatan lain
sehingga ekosistem perairan tidak terkontaminasi plastik lagi dan warga sekitar mendapat pemasukan
dari pengolahan sampah.

8
BAB III
PENGELOLAAN SPECIAL SOLID WASTE

3.1 Timbulan, Komposisi, dan Karakteristik


Berikut adalah data dari limbah padat berupa marine debris yang dihasilkan oleh penduduk di
negara Australia.
Tabel 3. 1 Jumlah Marinde Debris di Australia Selama Tiga Tahun Terakhir
Tahun Limbah yang dihasilkan (kg)

2019 2432801

2020 2626718

2021 2515257

(Sumber: Tangaroa Blue, 2021)


Dari data tabel di atas, timbulan sampah marine debris yang dihasilkan oleh penduduk Australia
dapat diperoleh selama tiga tahun terakhir. Berikut adalah hasil timbulan yang diperoleh dari hasil
perhitungan.
Tabel 3. 2 Timbulan Marine Debris yang Dihasilkan Australia Selama Tiga Tahun Terakhir
Tahun Jumlah Populasi Timbulan Sampah (kg/orang/hari)

2019 24772247 2.69 × 10!4

2020 25464116 2.82 × 10!4

2021 25857003 2.66 × 10!4

Berdasarkan data pada tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa rata-rata timbulan marine
debris yang dihasilkan Australia sekitar 2.72 × 10!4 kg/orang/hari. Sehingga dapat disimpulkan,
timbulan yang dihasilkan cukup kecil dan konsisten.
Di Negara Australia terdapat 10 jenis marine debris yang paling banyak ditemukan di perairan,
yaitu:
1. Plastic bits & pieces hard & solid
2. Lids & tops, pump spray, flow restrictor & similar
3. Foam insulation & packaging (whole and remnants)
4. Plastic film remnants (bits of plastic bag, wrap etc)
5. Cigarette butts & filters
6. Plastic packaging food (wrap, packets, containers)
7. Fishing line in metres (Recreation)

9
8. Plastic drink bottles (water, juice, milk, soft drink)
9. Glass or ceramic broken
10. Rope & net scraps less than 1 metre
Grafik berikut menunjukkan komposisi marine debris yang ditemukan di perairan Australia.

Gambar 3. 1 Komposisi Marine Debris di Perairan Australia


(Sumber: Tangaroa Blue, 2021)
Sumber utama marine debris di Australia adalah 41% berasal dari daratan dan 59% berasal dari
perairan. Mayoritas marine debris terdiri atas plastik non biodegradable dan dapat menempuh jarak
yang sangat jauh. Pergerakan dari marine debris di permukaan sangat dipengaruhi oleh gerakan arus
yang ada di lautan. Marine debris merupakan materi padatan yang mengapung di permukaan laut dan
bersifat persisten yang diproduksi atau diproses oleh manusia. Marine debris di negara maju, seperti
Australia, lebih banyak terdiri dari sampah non organik seperti plastik dan bahan sintetik. Sampah laut
atau marine debris dapat ditranspor oleh arus laut dan angin dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan
dapat menempuh jarak yang sangat jauh dari sumbernya.

10
Gambar 3. 2 Sumber Marine Debris di Australia
(Sumber: Tangaroa Blue, 2021)
Keberadaan marine debris di laut memberikan dampak negatif terutama pada kehidupan di laut
yang kemudian secara tidak langsung berpengaruh kepada kehidupan manusia di daratan. Dampak
negatif yang ditimbulkan antara lain rusaknya ekosistem lingkungan di laut, terganggunya habitat
makhluk hidup di laut, serta mengganggu jalur transportasi laut. Selain itu, marine debris juga dapat
menyebabkan kerusakan pantai dan pesisir. Untuk dampak negatif terhadap kehidupan di laut dapat
berupa efek fisiologi terhadap makhluk laut, gangguan terhadap reproduksi makhluk laut, perubahan
struktur komunitas, dan bahkan dapat menyebabkan kematian makhluk laut. Sebagian besar marine
debris mempunyai warna yang mencolok sehingga menarik makhluk laut untuk mengkonsumsi atau
sekedar bergerak menuju ke arah marine debris tersebut. Ketika marine debris terutama sampah plastik
ditelan oleh makhluk laut, dapat mengakibatkan pertumbuhan hewan terhambat dan paling buruk
menyebabkan kematian. Hal ini tentunya berdampak pada rantai makanan utamanya pada manusia yang
mengkonsumsi makhluk laut utamanya ikan yang telah mengkonsumsi sampah plastik yang
mengandung bahan-bahan beracun.

3.2 Analisis Teknik Penanganan


Sebanyak lebih dari 40.000 sampah plastik diestimasikan mengapung pada setiap 1 km^2 luas
lautan. 800 spesies termasuk 77 Australian spesies terkena dampak dari marine debris. Lebih dari 75%
sampah yang diangkut dari pantai dan laut terbuat dari plastik.
Australian Marine Debris Initiative (AMDI) adalah jaringan sukarelawan, komunitas,
organisasi, dan lembaga yang berfokus pada pembersihan dan pencegahan sampah laut. AMDI bertugas
untuk mengumpulkan data seputar kegiatan pembersihan sampah laut. Jaringan ini memiliki lebih dari
2000 partners organisasi yang dinaungi oleh Tangaroa Blue Foundation. AMDI sendiri sudah mulai
bergerak mengumpulkan data marine debris di Australia sejak tahun 2004. Data yang terkumpul di
database AMDI ini digunakan untuk mengidentifikasi timbulan, karakteristik, dan komposisi sampah
laut. Hal ini ditujukan untuk memudahkan pihak yang bersangkutan dalam merancang rencana
pencegahan dan penghentian pembuangan sampah ke laut, serta menjalin kerja sama dengan pihak
11
lainnya. AMDI juga terus mengajak dan mengedukasi masyarakat untuk menjaga lingkungan pesisir
dengan menyediakan sumber daya dan program dukungan, serta berkolaborasi dengan industri dan
pemerintah untuk menciptakan perubahan dalam skala besar.
3.2.1 Penanganan di Sumber
Sampah laut sebagian besar akan dikumpulkan oleh kapal. Menurut laporan Ausmarine,
pada tahun 2021, Australian Fisheries Management Authority (AFMA), dengan tidak sengaja
berhasil mengumpulkan 4,5 ton sampah laut saat sedang melakukan patroli laut untuk mencegal
illegal fishing. Biasanya, setiap pelabuhan memiliki pengelola limbah yang bertanggung jawab
untuk mengumpulkan limbah yang dihasilkan oleh fasilitas pelabuhan dan kapal. Jumlah yang
dikumpulkan tergantung pada aktivitas penangkapan di daerah tersebut dan tidak seragam.
Setiap tahun, berbagai program untuk pembersihan pantai dilakukan, di mana sejumlah
besar sampah-sampah laut dikumpulkan dari berbagai daerah pantai oleh banyak sukarelawan.
Selain bekerja sama dengan Non Government Organization, otoritas Australia juga menerapkan
suatu inovasi, yaitu dengan memasang sistem penyaringan sampah baru di sungai lokal di
wilayah hijau Henley Reserve. Sistem penyaringan itu dipasok oleh perusahaan bernama Old
Castle Infrastructure dan Stormwater Systems. Desain sistemnya cukup menarik, sederhana,
bermanfaat, serta berbeda dengan teknik penyaringan sampah di sungai pada umumnya. Sistem
tersebut terdiri dari jaring yang ditempatkan di pipa drainase yang membantu menangkap puing-
puing sampah berukuran besar, sehingga sampah tidak lolos dan hanyut ke sistem perairan
lainnya.
3.2.2 Pengumpulan dan Pengangkutan
Dalam beberapa pekan, sistem penangkap jaring ini berhasil menangkap lebih dari 800
pon (362,8 kg) sampah. Ketika jaring penuh, sampah akan diangkut dan dibuang ke truk
pengumpul sampah khusus dan diangkut ke pusat pemilahan sampah. Di sana, semuanya
dipisahkan menjadi bahan yang tidak dapat didaur ulang dan didaur ulang. Jaring-jaring tersebut
kemudian ditempatkan kembali di pipa drainase untuk digunakan kembali untuk menjaring
sampah.
3.2.3 Pengolahan atau Pemanfaatan
Setelah jaring penuh, sampah-sampah yang terjaring akan disortir dan diproses. Sampah
akan didaur ulang bisa menjadi sumber pendapatan lain. Oleh karena itu, menjaring sampah
menjadi jauh lebih menguntungkan dari berbagai sisi. Ekosistem perairan tidak lagi
terkontaminasi plastik dan warga sekitar bisa mendapat pemasukan dari pengolahan sampah.

3.2.4 Final Disposal


Sisa pengolahan sampah laut dari berbagai pengolahan adalah sampah residu yang tidak
dapat dilakukan pengolahan lagi. Sampah residu ini akan dibuang di landfill.

12
3.3 Analisis Non-Teknis
3.3.1 Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Peraturan perundang undangan yang mengatur tentang sampah laut dalam konteks biota
laut didasarkan pada Undang-Undang Perlindungan Lingkungan dan Konservasi
Keanekaragaman Hayati 1999 atau bisa disebut UU EPBC (Threat Abatement Plan, 2018).
Untuk mengatasi hal yang mengancam biota-biota laut tersebut pemerintah Australia berinisiatif
untuk mengurangi ancaman puing-puing sampah laut yang berimbas kepada hewan-hewan di
dalam laut. Maka, pada Juni 2018 pemerintah Australia membuat sebuah rencana yang
didasarkan pada Undang-Undang Perlindungan Lingkungan dan Konservasi Keanekaragaman
Hayati 1999 atau bisa disebut UU EPBC. Pemerintah Australia membuat Rencana Pengurangan
Ancaman untuk Dampak Puing-puing Laut terhadap Kehidupan Laut Vertebrata. (Australian
Government & Queensland Government, 2018)

Mengenai puing-puing sampah laut, otoritas keselamatan maritim Australia telah


mengizinkan pembuangan makanan, kaca, logam, kertas, dan barang pecah belah kecuali plastik
dari kapal lebih dari 12 mil. Hal ini sudah diatur dalam konvensi internasional untuk pencegahan
polusi dari kapal. Pemerintah Australia telah melakukan beberapa upaya untuk menangani masalah
ini bersama dengan negara bagiannya yaitu Queensland. Upaya tersebut adalah terbentuknya
rencana great barier reef yang berfokus pada kerja sama untuk melindungi dan mengelola terumbu
karang. Kebijakan lain dari rencana Pemerintah Australia dalam menangani puing-puing
sampah laut adalah membuat rencana kebijakan limbah nasional seperti proyek Negara
Bagian/Federal melalui Standing Council on Environment and Water yang menangani sampah
di sumbernya, dengan mengurangi limbah, meningkatkan daur ulang, dan mendorong industri
untuk bertanggung jawab atas produk mereka. Contoh dari hal tersebut adalah The Australian
packaging covenant yang merupakan contoh skema pengawasan produk yang sukses di mana
pemerintah dan industri telah bekerja sama untuk mengurangi dampak lingkungan dari
kemasan. Pemerintah masing-masing negara bagian dan teritori juga mengambil tindakan
khusus untuk menangani sampah plastik (Department of Environment and Energy, 2018).

Pemerintah Australia terlibat aktif dalam menangani puing-puing sampah dengan


melakukan tindakan regional maupun internasional yang disalurkan melalui inisiatif segitiga
karang, Badan Koordinasi di Laut Asia Timur (COBSEA) dan Kelompok Kerja Konservasi
Sumberdaya Laut dari Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Sebagai bagian dari
penyelesaian masalah ini, Pemerintah berkontribusi pada upaya regional untuk meningkatkan
pengetahuan, pencegahan dan tanggapan terhadap puing-puing laut. Ini termasuk memimpin
proyek APEC Memahami Manfaat Ekonomi dan Biaya Pengendalian Puing-puing Laut di
Wilayah APEC.

3.3.2 Analisis Aspek Ekonomi


Biaya pembersihan sampah laut merupakan aspek penting dalam

13
mempertimbangkanstrategi ekonomi untuk mengendalikan sampah laut. Sampah laut bukanlah
produk limbah yang seragam dan biaya pembersihannya juga bervariasi tergantung pada jenis
serpihan, lokasi, dan metode yang digunakan. Pemerintah Australia membuat sebuah proyek
berjudul Sampah Lautan Pasifik dengan menginvestasikan $16 juta (2019 - 2025) di Proyek
Samudra Pasifik (POLP) guna mengurangi sumber sampah laut di Samudra Pasifik. Dana
tersebut digunakan untuk melakukan koordinasi regional dan meningkatkan tingkat dukungan
yang dapat diberikan SPREP ke negara-negara kepulauan Pasifik untuk mengurangi sampah
laut. Proyek tersebut berfokus pada jenis sampah plastik sekali pakai yang paling umum seperti
kantong plastik, mengambil kemasan polistiren makanan, sedotan plastik, dan botol. SPREP
melakukan kerja sama dengan negara-negara anggota Pasifik untuk mengidentifikasi dan
menerapkan tindakan praktis yang dapat mengurangi penggunaan plastik ini, meningkatkan
manajemen pasca penggunaan, atau keduanya.
3.3.3 Analisis Aspek Lingkungan
Australia adalah benua berpenduduk terkering di dunia dan memiliki sekitar 50.000
kilometer garis pantai. Survei terbesar di dunia mengenai sampah di lautan menemukan bahwa
pembuangan sampah ilegal adalah sumber utama sampah di pantai-pantai Australia. Laporan
itu menyatakan bahwa pembuangan sampah secara sembarangan dan ilegal adalah penyebab
utama adanya sampah di pantai-pantai Australia. Salah satu peneliti, Dr. Chris Wilcox
mengatakan masalah sampah pantai lebih buruk terjadi di dekat daerah metropolitan. Sampah
di laut ini bukan hanya berasal dari orang-orang yang tinggal di pantai, melainkan juga dari
sampah yang terbawa arus melalui saluran air dan sungai menuju pantai. Semakin sampah
mendekati ke kota, pantai akan semakin kotor dan dipenuhi sampah.

Konservasi laut dalam konteks puing-puing sampah laut (marine debris) Australia
melihat bahwa bahaya utama yang mengancam hewan di lautan seperti ikan, penyu dan
tumbuhan seperti terumbu karang adalah puing-puing sampah laut. Puing-puing sampah
tersebut bisa mengganggu pernapasan, pencernaan serta pertumbuhan biota-biota laut.

3.3.4 Kebutuhan Tenaga Kerja


Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah laut harus mendapatkan
pengetahuan yang cukup mengenai pentingnya pengelolaan sampah laut, bahaya membiarkan
sampah di laut, serta alur kerja pengelolaan sampah laut. Memberikan tugas pengelolaan
sampah laut kepada orang awam akan membuat pengelolaan sampah di laut menjadi kurang
efektif.

3.4 Lesson Learned


3.4.1 Pengelolaan Marine Debris di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara,
melintang di khatulistiwa benua Asia dan Australia serta berada di antara Samudera Pasifik dan

14
Samudera Hindia. Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG), luas wilayah Indonesia adalah
5.180.053 km^2 dengan luas wilayah perairan sebesar 3.257.483 km^2 atau sekitar 62% luas wilayah
Indonesia merupakan laut dan perairan. Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau, bergaris pantai
sepanjang 81.000 km.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia setelah China,
India, dan Amerika Serikat sebesar 260.580.739 jiwa berdasarkan data Central Intelligence Agency
(CIA, 2017). Banyaknya penduduk di suatu wilayah tentunya memiliki dampak positif dan negatif dari
berbagai aspek, diantaranya aspek kesehatan, lingkungan, sosial, dan ekonomi (Mulasari dkk, 2014).

Salah satu dampak positif dari aspek sosial ekonomi adalah mampu menggerakan roda
perekonomian masyarakat, namun disisi lain dengan banyaknya aktivitas berdampak negatif terhadap
lingkungan yakni menimbulkan banyak sampah (Eramuri, 2016). Terutama sampah di lautan atau
marine debris akibat dari pengelolaan sampah yang kurang baik dan kesadaran masyarakat dalam
membuang sampah.

Regulasi terkait sampah laut di Indonesia

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008


2. Peraturan Pemerintah 81 Tahun 2012
3. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017
4. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018
5. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018

Secara spesifik, dalam rangka menangani sampah plastik di laut, pemerintah telah meluncurkan
Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengelolaan Sampah Plastik di Laut 2017-2025. Dokumen tersebut
diharapkan menjadi arahan strategis dalam akselerasi penanggulangan sampah plastik di laut untuk
periode 9 tahun. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut
mengamanatkan kepada 16 Kementerian atau Lembaga untuk mempercepat penanganan sampah laut.
Terdapat 5 strategi dalam Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut tersebut, yaitu:

1. Gerakan Nasional Peningkatan Kesadaran Para Pemangku Kepentingan


2. Pengelolaan Sampah Yang Bersumber dari Darat
3. Penanggulangan Sampah di Pesisir dan Laut
4. Mekanisme Pendanaan, Penguatan Kelembagaan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum
5. Penelitian dan Pengembangan

Kelemahan mendasar pengaturan melalui dokumen RAN adalah sebagian besar program masih
bersifat voluntary (sukarela) dan bukan mandatory (kewajiban) sehingga sulit memastikan bahwa RAN
akan diikuti oleh para pihak, terutama pelaku usaha. Mekanisme reward and punishment atau insentif
dan disinsentif dapat diterapkan untuk mengatasi hal ini.

Salah satu upaya pengurangan sampah laut di Indonesia terdapat di Kabupaten Banyuwangi
yaitu dengan project STOP (Stopping The Tap On Ocean Plastic) dan Program Banyuwangi Hijau yang
merupakan program pendampingan pengelolaan sampah di laut Banyuwangi dengan melibatkan ahli-

15
ahli di bidang pengelolaan sampah, daur ulang plastik, pengelolaan organik, perubahan perilaku, dan
tata kelola program yang turut membantu kota untuk merancang kemudian menerapkan sistem
pengelolaan sampah yang ekonomis, yang bermanfaat bagi rumah tangga dan lembaga dari segi
pengumpulan dan menjauhkan plastik dari lingkungan.
3.4.2 Analisis Potensi Aplikasi di Indonesia
Dari hasil perbandingan pengelolaan marine debris di Indonesia dan Australia, terdapat banyak
hal yang dapat dipelajari dari Negara Australia terkait dengan penanganan jenis sampah marine debris,
diantaranya yaitu:

1. Penerapan pemilahan sampah dari sumber, dimana masyarakat Australia ditugaskan untuk
melakukan pemilihan dalam membuang sampah.
2. Pengangkutan sampah dilakukan sesuai dengan jenis sampah, sehingga sampah bisa langsung
diangkut ke tempat berbeda dan dilakukan pengolahan sesuai dengan jenis sampah tersebut.
3. Tidak adanya pembakaran sampah.
4. Terdapat penyaringan pada ujung saluran air sebelum masuk ke badan air, hal ini dapat
membantu mengurangi jumlah sampah yang masuk ke dalam sungai dan laut.
5. Diberlakukannya Australian Packaging Covenant yang merupakan kesepakatan antara industri
terkait penggunaan kemasan produk dan pemerintah Australia dalam upaya mengurangi sampah
yang dibuang ke lingkungan dengan cara mengelolanya kembali.
6. Penggandaan uang negara untuk melakukan Pacific Ocean Litter Project (POLP) yang
merupakan salah satu upaya dalam mengurangi sampah yang dibuang ke Samudera Pasifik.

Hal-hal tersebut pada dasarnya merupakan tahapan sederhana dalam penanganan marine debris, dan
Indonesia juga memiliki potensi yang besar untuk menerapkan hal tersebut. Namun, diperlukan
kerjasama antara semua pihak agar marine debris dapat teratasi, terutama pemerintah Indonesia yang
harus fokus dalam menangani marine debris, juga yang terutama yaitu kesadaran masyarakat Indonesia
sendiri.

16
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Alur penanganan marine debris di Australia dapat dilihat pada subbab 3.2. Secara singkat,
penanganan dilakukan dari sumber sampah bukan hanya saat sampah sudah memasuki badan
air saja.
2. Aspek non-teknis pengelolaan limbah padat marine debris di Australia diatur oleh Department
of the Environment and Energy (DEE). National Food Waste Strategy. Halving Australia's Food
Waste by 2030 pada tahun 2017, dokumen yang berisi panduan bagi institusi di Australia dalam
menguraikan limbah makanan yang dilatarbelakangi oleh salah satu tujuan pada SDGs PBB.
Kemudian pada tahun 2018, yaitu National Waste Policy: Less Waste, More Resources. Dalam
kebijakan tersebut, terdapat 16 strategi yang menjadi panduan bagi pemerintah maupun institusi
terkait dalam mengelola limbah. Pada 2018, Threat Abatement Plan for the impacts of marine
debris on the vertebrate wildlife of Australia's coasts and oceans, dokumen yang membahas
mengenai langkah yang harus dilakukan untuk memahami dampak dari plastik dan mikroplastik
terhadap ekosistem laut, serta cara penanganannya. Selain itu, pemerintah Australia juga
memberlakukan retribusi sampah (waste levy), yaitu pajak yang dikenakan atas limbah yang
dibuang pada TPA. Kebijakan ini diberlakukan untuk mendorong teknologi pembuangan
3. Perbaikan sistem pengelolaan marine debris di Indonesia bila merujuk pada pengelolaan marine
debris di Australia mencakup sistem pemilahan dan pengangkutan, tidak adanya pembakaran
sampah, penyaringan sampah di saluran air. Namun, lebih rinci telah dipaparkan pada subbab
3.4.

4.2 Saran
Masih banyak hal yang bisa dipelajari dari pengelolaan marine debris di Australia. Perlunya
mengoptimalkan fasilitas pembuangan dan saat ini Australia memiliki sumber daya manusia yang
memadai dari segi pengetahuan untuk mengelola fasilitas tersebut, serta kesadaran masyarakat akan
pentingnya memilah sampah yang sudah tercipta dengan baik.

Pengelolaan marine debris dari negara-negara yang memiliki sistem pengelolaan sampah lebih
baik mulai diterapkan sedikit demi sedikit di Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
wilayah laut yang sangat luas. Pembangunan fasilitas sampah seperti TPA lebih baik berjalan seiring
dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya mengelola sampah dan
pencegahan agar tidak ada lagi yang membuang sampah di perairan, sehingga berkurangnya pencemaran
perairan baik sungai maupun laut. Selain itu, pengembangan sistem landfill dan kebijakan pembuangan
limbah padat ke perairan yang perlu dilakukan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Angga, La Ode, Dyah Ridhul Airin Datie, Popi Tuhulele, Sabri Fataruba, and Iqbal Taufiq.
“Responsibility of Manufacturers in Waste Management of Plastic Packaged Drink
Products Based on Law Number 18 of 2008 Regarding Waste Management (Case Study
in Ambon City, Maluku Province).” International Journal of Sustainable Development
and Planning 16, no. 2 (2021): 327–34. https://doi.org/10.18280/ijsdp.160212.
Angga, L., Fataruba, S., Sopamena, R.F., & Saununu, D.O. (2021). Pengelolaan Sampah Plastik
di Desa Layeni Kecamatan TNS Kabupaten Maluku Tengah. AIWADTHU: Jurnal
Pengabdian Hukum, 1(1), 32-39. DOI: https://doi.org/10.47268/aiwadthu.v1i1.489
[Diakses pada 27 Maret 2022]
Australian Marine Debris Initiative. (2020). Australian Marine Debris Database.
https://amdi.tangaroablue.org/ [Diakses pada 27 Maret 2022]
Australian Government Department of Agriculture, Water, and the Environment. (2021).
Reducing Waste. https://www.energy.gov.au/households/reducing-waste#toc-anchor-
types-of-household-waste [Diakses pada 31 Maret 2022]
Australian Government, & Queensland Government. (2018). Reef 2050 Long-Term
Sustainability Plan (revised). (July), 124.
Australian Beau Statistics. (2020). Waste Account, Australia, Experimental Estimates.
https://www.abs.gov.au/statistics/environment/environmental-management/waste-
account-australia-experimental-estimates/latest-release#household-insights [Diakses
pada 31 Maret 2022]
Australian Government Department of Agriculture, Water, and the Environment. (2021).
Reducing Waste. https://www.energy.gov.au/households/reducing-waste#toc-anchor-
types-of-household-waste [Diakses pada 31 Maret 2022]
Cecep, Dani Sucipto. (2012). Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah. Semarang: Gosyen
Publishing.
CSIRO Ocean and Atmosphere Flaship. (2014). Marine Debris sources, distribution and fate
of plastic and other refuse – and its impact on ocean and coastal wildlife.
www.csiro.au/marine-debris diakses pada pukul 03.15 WIB, tanggal 28 Maret 2022.
Clark, G. F., Gacutan, J., Lawther, R., Johnston, E. L., Tait, H., Bednarz, T., A visualisation
tool for citizen-science marine debris big data. Water International (2021), DOI:
10.1080/02508060.2021.1888495
Early, C. (2020). What China’s waste import ban has meant for the West.

18
https://www.chinadialogue.net/article/show/single/en/11816-What-China-swaste-
import-ban-has-meant-for-the-West [Diakses pada 31 Maret 2022]
Hetherington J, Leous J, Anziano J, Brockett D, Cherson A, Dean E, Dillon J, Johnson T,
Littman M, Lukehart N, Ombac J, Reilly K. (2005). The Marine Debris Research,
Prevention and Reduction Act: A Policy Analysis. New York: Columbia University
Manik KHTR, Indrajaja M, Amanda S. 2016. Sistem Pengelolaan Sampah di Pulau Bunaken.
Spasial: Perencanaan Wilayah dan Kota. 3(1):15-24.
Parliament of Australia. (2020). Waste Management and Recycling.
https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary
_Library/pubs/rp/BudgetReview202021/WasteManagementRecycling. [Diakses pada
31 Maret 2022]

Purba NP. (2017). Status Sampah Laut Indonesia. Universitas Padjadjaran.


Regional Development Australia Sydney. (2021). A Brief Insight into The Complex World of
Waste Management. https://rdasydney.org.au/a-brief-insight-into-the-complex-world-
of-waste-management/ [Diakses pada 31 Maret 2022]
Sintesis, L. (2018). INDONESIA. (April). Threat Abatement Plan. (2018).
Sohkhlet, D., dan Nagargoje, Shekhar. (2020). Municipal Solid Waste Management: A
comparative study between Sydney (Australia) and Pune (India). RICS School of Built
Environment, Amity University, Mumbai, India.

19

Anda mungkin juga menyukai