BAB IV
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah STIKes Surya Global Yogyakarta
Berawal dari niatan tulus untuk berkiprah di dunia pendidikan dalam usaha
mencerdaskan anak bangsa, maka Yayasan Surya Global Yogyakarta mengambil
peran aktif dalam bidang pendidikan tinggi kesehatan sebagai sarana konkrit dalam
usaha mencerdaskan anak bangsa. Dengan komitmen tersebut Yayasan Surya Global
mendirikan dan meresmikan Perguruan Tinggi yang bergerak di bidang Ilmu
Kesehatan yang diberi nama Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global
Yogyakarta. Tepatnya pada tanggal 13 Maret 2003 dengan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.35/D/O/2003 tanggal 23 Maret 2003
dengan resmi STIKes Surya Global Yogyakarta berdiri. Dalam perjalanannya
setelah 2 (dua) tahun berjalan, STIKes Surya Global Yogyakarta telah mendapat ijin
Perpanjangan Program Studi dari Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia dengan No. 2202/D/T/2005 untuk Program Studi Kesehatan Masyarakat
serta Perpanjangan Ulang Ijin Penyelenggaraan Program Studi Kesehatan
Masyarakat dari Direktur Jendral Perguruan Tinggi Republik Indonesia dengan No.
2970/D/T/K-V/2009 dan Surat Keputusan No. 2203/D/T/2005 untuk Program Studi
Ilmu Keperawatan serta Perpanjangan Ulang Ijin Penyelenggaraan Program Studi
Ilmu Keperawatan dari Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
dengan No. 2971/D/T/K-V/2009.
Pada bulan Desember 2008, STIKes Surya Global menambah satu lagi
program studi yaitu Profesi Ners dengan Ijin Penyelenggaraan Surat Keputusan
Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 267/D/O/2008. Pada tahun 2010, Program Studi
Profesi Ners mendapatkan Perpanjangan Ulang Ijin Penyelenggaraan Program Studi
Profesi Ners dari Kementerian Pendidikan Nasional Kopertis Wilayah V DIY No.
6972/D/T/K-V/2012. 57 Kampus STIKes Surya Global Yogyakarta terletak di Jl.
Ringroad Selatan, Blado, Potorono, Banguntapan, Bantul. Kampus STIKes Surya
Global Yogyakarta memiliki beberapa ruangan dan asrama yang dibangun di lokasi
baru untuk menampung kegiatan perkuliahan, praktikum, asrama, perpustakaan, dan
klinik kesehatan sebagai Kampus Terpadu STIKes Surya Global. Sekolah Tinggi
62
Ilmu Kesehatan Stikes Surya Global Yogyakarta berada di jalan Ringroad Selatan,
Blado, Potorono, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55196.
2. Visi dan Misi STIKes Surya Global Yogyakarta
a. Visi
Menjadi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan yang menghasilkan tenaga
kesehatan yang berkaraktaer Agamis, Humanis dan Kompeten di bidangnya
dengan mengembangkan dan dan menerapkan ilmu kesehatan untuk kesejahteraan
dan kemuliaan peradaban manusia.
b. Misi
1) Menyelenggarakan pendidikan tinggi kesehatan yang berlandaskan pada
kimanan, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia.
2) Mengembangkan perilaku agamis, sikap humanis dan kompeten dibidangnya
bagi seluruh civitas akademika STIKes Surya Global.
3) Menyelenggarakan pendidikan tinggi yang mampu mendukung kemajuan
kesehatan nasional sehingga terwujud sistem kesehatan Nasional yang
bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
4) Menyelenggarakan penelitian dalam bidang kesehatan yang kontektual untuk
menigkatkan kesejahteraan dan kemuliaan peradaban bangsa dan Negara
Indonesia.
5) Mengembangkan dan memanfaatkan Ilmu Kesehatan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat dan kemuliaan peradaban bangsa dalam
rangka pengabdian kepada masyarakat.
6) Menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan prinsip good governance.
B. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
a. Karakteristik responden
Penelitian tentang pengaruh Efektivitas Wet Cupping Therapy Terhadap
Nyeri Menstruasi (Dismenorea) Pada Mahasiswa Keperawatan di STIKes Surya
Global Yogyakarta, dilakukan pada responden dengan jumlah responden
sebanyak 15 mahasiswa. Berikut ini merupakan data responden dalam penelitian
yang di jelaskan dengan menggunakan tabel diantaranya adalah hari menstruasi,
lama dismenorea, penyakit pada sistem resproduksi, yang dilakukan saat
dismenorea, dan adakah dampak dismenorea dalam beraktifitas.
63
Tabel 4.1
Tabel karakteristik responden di STIKes Surya Global Yogyakarta
N Frekuensi Persentase
Karakteristik Responden
o (f) (%)
1 Hari menstruasi ke- :
a. a. Hari 1 7 46,7
b. b. Hari 2 6 40,0
c. c. Hari 3 2 13,3
2 Lama dismenorea yang dirasakan :
a. >7 hari 8 53,3
b. <7 hari 7 46,7
3 Penyakit pada sistem reproduksi :
a. Ada 0 0
b. Tidak ada 15 100,0
4 Yang dilakukan saat dismenorea :
a. Beristirahat 13 86,7
b. Minum obat 0 0
c. Beraktivitas 2 13,3
5 Dampak dismenorea dalam beraktifitas :
a. Mengganggu 9 60,0
b. Kurang bersemangat 6 40,0
c. Tidak mengganggu 0 0
Jumlah Keseluruhan 15 100
Sumber: Data primer diolah, 2022
Tabel 4.2
Nyeri Dismenorea sebelum dan sesudah intervensi wet cupping therapy di
STIKes Surya Global Yogyakarta
Tabel 4.3
Uji Normalitas Data
Variabel Nilai P Min Maks Mean Std. Dev.
Pre test 0,060 3,00 8,00 5,66 1,799
Post test 0,001 1,00 4,00 1,66 0,899
Sumber: Data primer diolah, 2022
Tabel 4.3 menunjukkan hasil uji normalitas untuk mengetahui sebaran data
terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas data ini menggunakan uji shapiro-wilk
karena jumlah sampel ≤ 50. Hasil yang didapatkan sebelum intervensi wet cupping
therapy adalah 0,060 (nilai p > 0,05) dan setelah intervensi wet cupping therapy
adalah 0,001 (nilai p < 0,05) sehingga hasil uji normalitas dinyatakan terdistribusi
tidak normal.
Berdasarkan tabel 4.3 diatas menunjukan nilai tingkatan nyeri pada saat
sebelum dilakukan intervensi bekam dari 15 responden dengan nilai minimum nyeri
3,00 dan nilai maksimum 8,00 didapatkan hasil bahwa nilai mean 5,66 dan memiliki
nilai standar deviasi 1,799. Sedangkan nilai dari tingkatan nyeri pada saat setelah
diberikan intervensi bekam yaitu nilai minimum nyeri 1,00 dan nilai maksimum 4,00
didapatkan hasil bahwa nilai mean 1,66 dan memiliki nilai standar deviasi 0,899.
2. Analisis bivariat
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh intervensi
wet cupping therapy terhadap penurunan intensitas nyeri dismenorea mahasiswa
keperawatan STIKes Surya Global Yogyakarta. Uji pengaruh dilakukan dengan
menggunakan uji wilcoxon yaitu suatu uji statistik nonparametrik. Uji ini digunakan
untuk membandingkan rata-rata skala nyeri sebelum intervensi wet cupping therapy
(pre-test) dan sesudah intervensi wet cupping therapy (post-test). Hasil uji wilcoxon
tersaji pada tabel berikut:
Tabel 4.4
66
Wilcoxon
Variabel N Z Sig. (2-tailed)
Mean
Pre test dan
15 8,00 -3,438 ,001
post test
Sumber: Data primer diolah, 2022
Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa dari hasil pengujian dengan
menggunakan uji Wilcoxon menunjukan bahwa terdapat penurunan yang signifikan
pada nyeri dismenorea sebelum dan setelah diberikan intervensi wet cupping therapy,
dengan nilai P-Value sebesar 0.001. Berdasarkan hasil tersebut nilai P-Value < 0.05
yang menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah
diberikan intervensi wet cupping therapy. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
bekam efektif sebagai intervensi keperawatan terhadap penurunan intensitas nyeri
menstruasi (dismenorea).
C. Pembahasan
1. Karakteristik Responden
a. Hari menstruasi
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang diteliti yaitu
berjenis kelamin perempuan yang sedang menempuh pendidikan sarjana
keperawatan dan sedang mengalami nyeri dismenorea. Responden yang
mengalami dismenorea mayoritas pada hari pertama menstruasi yang berjumlah
7 responden (46,7%), pada hari kedua berjumlah 6 responden (40,0%), dan hari
ketiga berjumlah 2 responden (13,3%).
Menstruasi merupakan peristiwa luruhnya dinding endometrium akibat
penurunan kadar estrogen dan progesteron. Kejadian haid melibatkan ovarium
dan uterus, dengan rata-rata panjang siklus haid 28 hari. Gejala utama dismenorea
adalah nyeri perut hingga ke bagian pinggang dan kaki dimulai sebelum
menstruasi atau pada hari pertama berlangsung 12 – 24 jam, namun beberapa
kasus dapat berlangsung 2- 3 hari yang di sebabkan karena kontraksi dinding
uterus dan sekresi prostaglandin yang berlebih yang juga sering kali diikuti
dengan berbagai gejala lain seperti mual, muntah, marah, pusing, dan sebagainya.
67
Hal ini sejalan dengan penelitian Tri Ayu Illiyun (2019) tentang “Gambaran
Penanganan Nyeri Dismenore Pada Remaja Putri Di Desa Kradenan Kec.
Kaliwungu Kab. Semarang” menyatakan bahwa dari hasil penelitiannya 15
responden adalah dismenore yang terjadi pada hari pertama menstruasi , hal ini
sesuai dengan dengan penelitian yang dilakukan Novia dan Puspitasari (2008)
tentang Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dismenorea. Penelitian
ini menunjukkan bahwa waktu hilangnya gejala dismenore primer yang paling
banyak 24 – 48 jam sejak mulai menstruasi yaitu 63,4% dan yang paling sedikit
< 24 jam sejak mulai menstruasi (7,0%). Sebagian besar waktu hilangnya
dismenore primer < 48 jam (70,4%) karena produksi prostaglandin akan terus
berkurang selama 48 jam, maka kemungkinan lebih dari 48 jam dismenore primer
akan berkurang atau menghilang.
b. Lama dismenorea
Distribusi responden berdasarkan lama menstrusasi pada mahasiswa
keperawatan menunjukkan bahwa 8 responden (53,3%) lama menstruasinya lebih
dari 7 hari dan 7 responden (46,7%) lainnya mengalami menstruasi <7 hari.
Wanita dengan perdarahan durasi lebih dari 5 sampai 7 hari memiliki 1,9 kali
lebih banyak kesempatan untuk menderita dismenorea. Lama durasi haid dapat
disebabkan oleh faktor psikologis maupun fisiologis. Secara psikologis biasanya
berkaitan dengan tingkat emosional wanita yang labil ketika akan haid.
Sementara secara fisiologi lebih kepada kontraksi otot uterus yang berlebihan
atau dapat dikatakan sangat sensitive terhadap hormone, akibatnya endometrium
dalam fase sekresi memproduksi hormone prostaglandin yang lebih tinggi.
Semakin lama durasi haid, maka semakin sering uterus berkontraksi akibatnya
semakin banyak pula prostaglandin yang dikeluarkan sehingga timbul rasa nyeri
saat haid (Larasati, 2016).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa wanita dengan periode menstruasi
lebih lama dapat meningkatkan kejadian dismenorea Primer. Hal ini mendukung
penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa perempuan dengan periode
menstruasi yang lama, jumlah perdarahan yang banyak dan siklus mentruasi yang
tidak teratur dapat beresiko terjadinya dismenorea. Pada saat menstruasi wanita
akan mengalami perdarahan dari vagina yang berlangsung kira-kira 2-7 hari,
volume darah yang dikeluarkan sekitar 40 ml. Tetapi pada sebagian kasus ada
juga wanita yang mengeluarkan darah lebih banyak dan lama yaitu lebih dari 10
68
hari. Semakin lama perode mentruasi maka semki lama uterus berkontraksi
sehingga prostaglandin yang dihasilkan akan lebih banyak dan akhirnya dapat
menimbulkan rasa nyeri dan juga kontraksi uterus yang terus menerus dapat
menimbulkan suplai darah keuterus terhenti atau berkurang sehingga
mengakibatkan terjadinya dismenorea (Eryanti, 2019).
c. Penyakit pada sistem reproduksi
Distribusi responden berdasarkan penyakit pada sistem reproduksi pada
mahasiswa keperawatan menunjukkan bahwa 15 responden (100%) tidak
mempunyai penyakit pada sistem reproduksi. Dismenorea Sekunder Merupakan
rasa sakit menstruasi yang diakibatkan oleh kelainan organ reproduksi atau yang
terjadi karena penyakit tertentu. Pada umumnya terjadi pada perempuan yang
berusia lebih dari 25 tahun. Rasa nyeri yang timbul disebabkan karena adanya
kelainan pelvis misalnya endometriosis, mioma uteri, dan malposisi uterus.
Dismenorea sekunder biasanya terjadi dengan perut besar atau kembung,
pelvis terasa berat dan terasa nyeri di punggung. Perbedaan dengan desminorea
lainnya adalah nyerinya akan semakin kuat pada fase luteal dan akan memuncak
sekitar haid. Sifat nyeri yang dimiliki adalah unilateral dan biasanya terjadi pada
umur lebih dari 20 tahun. Karakteristik yang lain yang dapat terjadi adalah darah
menstruasi yang banyak atau perdarahan yang tidak teratur. Walaupun telah di
berikan terapi NSAID, nyeri yang dirasakan tetap tidak berkurang.
d. Penanganan dismenorea
Distribusi responden berdasarkan penanganan dismenorea pada
mahasiswa keperawatan menunjukkan bahwa 13 responden (86,7%) memilih
beristirahat, sebanyak 2 responden (13,3%) memilih beraktivitas dan tidak ada
responden yang mengkonsumsi obat. Hal ini sejalan dengan penelitian Astrida
Rakhma (2012) yang berjudul “Gambaran Derajat Dismenorea Dan Upaya
Penanganannya Pada Siswi Sekolah Menengah Kejuruan Arjuna Depok Jawa
Barat” menyatakan bahwa upaya penanganan dismenorea yaitu sebanyak 60
siswi melakukan istirahat atau tidur, 51 siswi melakukan pengobatan herbal, dan
38 siswi melakukan teknik nafas dalam.
Tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi
individu terhadap lingkungan menurun. Menurut Lindley (2017) menyatakan
bahwa posisi meringkuk seperti janin merupakan posisi tidur terbaik untuk
meredakan nyeri haid karena posisi tersebut bisa membuat otot – otot perut lebih
69
rileks. Hal ini sejalan dengan Tri Ayu Illiyun (2019) tentang “Gambaran
Penanganan Nyeri Dismenore Pada Remaja Putri Di Desa Kradenan Kec.
Kaliwungu Kab. Semarang” menyatakan bahwa sebesar 17 (73,9%) remaja putri
memilih tidur untuk mengatasi sakit dismenorea yang dirasakan.
Penelitian yang dilakukan Mustaqimah (2013) di MTs Ma’arif
menunjukkan bahwa sebagian besar responden menanganani dismenore dengan
hanya istirahat yaitu sejumlah 14 siswi (23,0%) dari 61 siswi dan sedangkan
penanganan kombinasi yang dilakukan responden sebagian besar ditunjukkan
pada penanganan kombinasi yang dilakukan yaitu sejumlah 9 siswi (14,8%).
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Emmanuel (2013) menunjukkan bahwa 77
dari 245 total responden dalam penelitian tersebut, mengatasi dismenore mereka
yang rasakan dengan beristirahat.
e. Dampak dismenorea dalam aktivitas
Distribusi responden berdasarkan dampak dismenorea dalam aktivitas
mahasiswa keperawatan menunjukkan bahwa 9 responden (60%) merasa
terganggu, 6 responden (40%) mengalami penurunan semangat. Nyeri haid atau
yang biasa disebut dengan dismenore mempengaruhi produktifitas seseorang
karena nyeri dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Dismenorea mempengaruhi
aktifitas fisik seseorang tergantung pada derajat nyeri yang dialaminya, beberapa
perempuan yang mengalami nyeri sedang hingga berat sering absen dalam
perkuliahan.
Tingginya prevalensi dismenore dan gejala yang ditimbulkan dari
dismenore tentunya dapat mengganggu aktivitas belajar mahasiswa. Beberapa
dampak dismenorea yang dapat mengganggu aktivitas belajar mahasiswa yaitu
penurunan konsentrasi dalam mengikuti perkuliahan seperti tidak sanggup
mengikuti perkuliahan, penurunan keaktifan seperti ketidakmampuan presentasi
secara maksimal, ketidakmampuan bertanya dan menjawab secara maksimal
selama kegiatan perkuliahan atau pleno, tidak bisa mengikuti kegiatan
pembelajaran baik terori maupun praktik, dan bahkan akan berdampak lebih
besar lagi apabila gejala tersebut dialami pada mahasiswi yang sedang menjalani
ujian (Maksum, 2019).
70
Selama ini banyak yang melakukan pemberian terapi secara farmakologis, seperti
pemberian analgesik. Namun, obat analgesik dapat menimbulkan efek toleransi,
ketergantungan dan gejala putus obat. Cara penyembuhan lain untuk mengurangai
gejala dismenorea adalah dengan salah satu terapi nonfarmakologis yakni pemberian
terapi bekam (Batubara, 2016).
limfa, dan cairan lain melalui subkutan. Mekanisme bekam akan menciptakan ruang
hampa dengan dikulit yang kemudian mengakibatkan kapiler pecah. Lalu kulit
daerah lokal memerah atau bahkan terdapat petechiae dan ecchymosis atau memar
(Chi, et al, 2016). Titik bekam dapat menyebabkan gerbang nyeri menjadi
meningkatkan frekuensi impuls nyeri, sehingga akhirnya menyebabkan penutupan
gerbang dan sehingga terjadi pengurangan rasa sakit. Pelepasan endorphin
diakibatkan terjadinya nyeri ringan akibat hisapan dan sayatan alat bekam. Stimulasi
kulit dapat menstimulus transmisi serabut saraf sensori A-Beta yang lebih besar dan
lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A
yang berdiameter kecil sehingga gerbang sinaps menutup transmisi implus nyeri
(Hasina, 2017).
Efek terapi bekam dalam menurunkan rasa nyeri dilaporkan setara dengan
efek analgesik. Pada nyeri, terjadi iskemia yang menimbulkan adanya mediator
inflamasi dan mediator nyeri. Mediator ini akan merangsang serat saraf nyeri
sehingga timbul nyeri. Saat terjadi iskemia maka timbul akumulasi asam laktat
dalam jaringan sebagai konsekuensi metabolisme tanpa oksigen. Keadaan rileks
menyebabkan otot tidak menjadi tegang dan tidak memerlukan sedemikian banyak
oksigen dan gula, jantung berdenyut lebih lambat, tekanan darah menurun, nafas
lebih mudah, hati akan mengurangi pelepasan gula, natrium dan kalium dalam tubuh
kembali seimbang, dan keringat akan berhenti bercucuran (Putri, 2020).
Terapi bekam akan mengeluarkan mediator inflamasi dan mediator nyeri dari
tubuh sehingga terjadi penurunan rangsangan terhadap serat saraf nyeri. Selain itu
bekam menstimulasi pelepasan endorfin dan enkefalin yang berperan mengurangi
kepekaan (sensitivitas) terhadap nyeri. Kedua zat ini dilepaskan karena terjadi nyeri
ringan akibat hisapan dan tusukkan alat bekam. Keadaan rileks, tubuh juga
menghentikan produksi hormone adrenalin dan semua hormon yang diperlukan saat
stress. Hormon seks estrogen dan progesterone serta hormon stress adrenalin
diproduksi dari blok kimiawi yang sama, ketika mengurangi stress, berarti juga telah
mengurangi produksi kedua hormone tersebut. Pentingnya bekam untuk
memberikan kesempatan bagi tubuh memproduksi hormon yang penting untuk
mendapatkan haid tanpa rasa nyeri (Anurogo, 2011).
74
otot, tulang, dan sendi serta penyakit organ reproduksi wanita seperti amenorea dan
nyeri menstruasi (disminorea) (Maksum et all, 2019).
Prosedur bekam hijamah terdiri atas beberapa langkah, yaitu: pengekopan
pertama, penorehan kulit, dan diikuti oleh pengekopan kedua. Menurut teori Taibah
mekanisme kerja efek analgesik bekam pada pengekopan pertama adalah melalui
dilusi zat kimia, mediator inflamasi, dan zat nosiseptif. Tekanan negatif kop pada
permukaan kulit akan menyebabkan kulit terangkat, peningkatan filtrasi kapiler, dan
pengumpulan cairan interstisial. Retensi cairan di dalam kulit yang terangkat akan
menyebabkan zat kimia, mediator inflamasi, dan zat nosiseptif menjadi terdilusi
sehingga nyeri akan menurun. Pada penorehan kulit bekam hijamah sejumlah kecil
darah dikeluarkan untuk mengeluarkan toksin. Penorehan kulit akan meningkatkan
imunitas (innate dan acquired) dan membuka sawar kulit. Pembukaan sawar kulit dan
adanya tekanan kop akan menyebabkan terjadinya hemolisis sel darah merah tua,
meningkatkan ekskresi cairan interstisial yang tercampur dengan sampah, menyaring
cairan kapiler yang mengandung sampah larut, melepaskan opioid endogen,
meningkatkan peran sekretorik kulit dan menyebabkan darah nampak pada tempat
torehan. Semua hal tersebut pada akhirnya akan mengembalikan homeostasis tubuh
(Hidayati, 2019).
Bekam mampu menurunkan tingkat nyeri pada gangguan dismenorea.
Berdasarkan Pain-Gate Theory (PGT) ini menjelaskan tentang bagaimana rasa sakit
yang ditransmisikan dari titik awal ke otak dilaporkan bahwa kerusakan lokal pada
kulit dan pembuluh kapiler bertindak sebagai stimulus nosiseptif. Bekam bisa
mengurangi rasa nyeri disebabkan oleh kuatnya isapan alat bekam yang berperan
menyibukkan jalur saraf yang mentransmisi sinyal rasa nyeri ke otak. Adanya stimulus
atau sinyal rasa lain yang sampai ke otak, sehingga otak tidak merasa nyerinya lagi
ataupun merasakan nyerinya berkurang, karena proses bekam memengaruhi nyeri
dengan mengubah proses sinyal pada tingkat baik pada sumsun tulang belakang dan
otak (Perdana,2021).
Maka hasil yang didapatkan setelah terapi bekam dilakukan akan memberikan
efek secara fisik yaitu bekam akan memiliki peran untuk mengurangi kadar zat
prostagladin yang berfungsi untuk mengurangi kontraksi rahim dan mengurangi
kepekaan terhadap nyeri, bekam akan memiliki peran untuk meningkatkan produksi
zat endorfin yang akan berfungsi sebagai mengurangi rasa nyeri, sayatan bekam yang
mengakibatkan pengumpulan darah pada sayatan akan memberikan stimulasi untuk
76
mengencerkan darah haid yang membeku sehingga rahim tidak perlu berkontraksi
untuk mengeluarkan darah dan bekam akan membantu mengendurkan otot leher rahim
sehingga tidak akan menghambat aliran darah haid dan mencegah terjadinya kontraksi
rahim (Maksum et all, 2019).
Sebelum diberikan intervensi, responden akan di berikan pretest untuk
menentukan skala nyeri yang dirasakan. Pemberian intervensi Wet Cupping Therapy
dimulai dengan cara semua alat bekam telah disterilkan, selanjutnya terapis memasang
APD lengkap dan responden menggunakan masker. Sebelum penghisapan kulit,
responden diminta untuk membuka baju dan mengunakan baju bekam khusus,
kemudian berbaring senyaman mungkin. Selanjutnya melakukan pengisapan kulit
primer. Terapis mengalokasikan titik atau area al-kahil dan al-warik untuk bekam dan
melakukan disinfeksi area tersebut, buang udara dalam kop dengan tekanan negatif
maksimum, selanjutnya melakukan bekam luncur sepanjang area titik meridian. .
Kop dengan ukuran yang sesuai ditempatkan pada titik pembekaman yang
dipilih dan terapis menghisap udara di dalam kop dengan hisap manual cukup 2
hisapan, dan dibiarkan selama 3-5 menit. Langkah kedua adalah skarifikasi kulit yang
telah dihisap menggunakan blood lancet dengan kedalaman sayatan sekitar 0,1 mm.
Tidak perlu mengikis kulit dalam-dalam selama bekam agar tidak merusak kapiler
dermal fenestrated (menyebabkan hilangnya fenestrasi kapiler dan fungsi filtrasi) atau
menyebabkan perdarahan hebat. Langkah ketiga adalah menghisap kembali kulit
hingga 3-5 menit. Langkah keempat membersihkan darah yang keluar akibat
skarifikasi dan penghisapan kembali. Pembersihan dan desinfeksi dengan disinfektan
kulit yang disetujui FDA. Perlu diketahui bahwa hisapan dan skarifikasi adalah dua
teknik utama terapi bekam basah. Setelah selesai prosedur bekam, responden
diajurkan istrahat dan minum air putih. Setelah 15 menit terapis melakukan observasi
keadaan umum dan melakukan posttest untuk melihat apakah ada perubahan nyeri
sesudah dilakukan intervensi bekam (Rosyanti et al, 2020).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Maksum (2019) dengan judul Efek
Bekam terhadap Penurunan Nyeri Dismenore pada Mahasiswa didapatkan hasil
penelitian ada perbedaan skala nyeri dismenorea antara sebelum (6,78) dan sesudah
tindakan bekam (5,09) dengan selisih nyeri 1,69 dengan p value 0,000. Bekam menjadi
salah satu terapi komplementer atau upaya yang direkomendasikan untuk mengatasi
gangguan rasa nyeri disminorea dan bebas dari akibat atau komplikasi dari
mengkonsumsi obat-obat kimiawi. Hal ini didukung oleh penelitian yang juga
77
dilakukan oleh Kurniawati (2016) dengan judul Efektifitas Terapi Bekam Terhadap
Penurunan Skala Nyeri Dismenore Pada Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan
Universitas Muhammadyah Jember didapatkan hasil ialah skala nyeri pada kelompok
perlakuan sebelum dilakukan terapi bekam memilki nilai rata-rata sebesar 5.73
sedangkan setelah di terapi bekam memiliki nilai rata-rata sebesar 2.60, pada
kelompok kntrol diperoleh Skala nyeri dismenore sebelum dilakukan intervensi
memiliki nilai rata-rata sebesar 5.73 dan setelah intervensi memiliki nlai rata-rata
sebesar 4.13 setelah dilakukan uji Mann Whitney diperoleh angka Significancy 0.001,
karena nilai p <0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan skala
nyeri dismenore yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Dengan demikian bekam efektif sebagai intervensi keperawatan terhadap nyeri
menstruasi (dismenorea) setelah diberikan intervensi wet chupping therapy pada
mahasiswa keperawatan di Stikes Surya Global Yogyakarta. Bekam merupakan salah
satu dari terapi komplementer yang merupakan pengobatan non farmakologi yang
kemudian dapat diaplikasikan oleh perawat sebagai intervensi keperawatan sebagai
pengobatan kombinasi dengan pengobatan farmakologi untuk mendukung pengobatan
pasien nyeri menstruasi (dismenorea). Perawat memiliki beberapa peran yang
kemudian dapat diaplikasikan untuk mendukung adanya intervensi bekam sebagai
intervensi keperawatan ini, seperti sebagai edukator, konselor, serta pemberi asuhan
keperawatan yang baik, dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Perawat dapat
memberikan pendidikan kesehatan tentang pengobatan bekam, dengan melakukan
bekam secara rutin setiap 1 bulan sekali, maka penurunan nyeri menstruasi
(dismenorea) akan semakin baik.
D. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah:
1. Waktu penelitian yang bersamaan dengan awal semester mengakibatkan peneliti
sedikit kesulitan dalam mencari waktu senggang responden sehingga memakan
waktu yang cukup lama dalam proses penelitian untuk itu peneliti melakukan
penyesuaian jadwal free responden dengan cara bekerja sama dengan ketua kelas.
2. Jumlah responden yang mengalami nyeri menstruasi (dismenorea) dalam waktu
yang bersamaan sehingga tidak seimbang dengan jumlah terapis. Oleh karena itu
peneliti menggunakan bantuan asisten agar semua responden segera mendapatkan
intervensi.